Post on 30-Oct-2019
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L.)
Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman gramine yang
mampu tumbuh hingga 6 meter. Bunga sorgum termasuk bunga sempurna,
dimana kedua alat kelaminnya berada di dalam satu bunga. Bunga sorgum
merupakan bunga tipe panicle (susunan bunga di tangkai). Rangkaian bunga
sorgum berada dibagian ujung tanaman. Bentuk tanaman ini secara umum hampir
mirip dengan jagung yang membedakan adalah tipe bunga, dimana jagung
memiliki bunga tidak sempurna sedangkan sorgum bunga sempurna (Candra,
2011).
Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari
ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnnya silinder dengan ukuran
diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5 cm - 5,0 cm. Tinggi batang
tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5 m - 4,0 meter tergantung pada
varietas. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat
mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan
untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002). Panen batang dilakukan pada
saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 - 18 minggu (112 -
126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90-100 hari. Oleh karena
itu biji dipanen terlebih dahulu (Almodares, 2009).
Tinggi tanaman sorgum bergantung pada jumlah dan ukuran ruas batang,
sorgum memiliki tinggi rata-rata 2,6 - 4 meter. Pohon dan daun sorgum mirip
dengan jagung. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat
mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi dikembangkan untuk pakan
6
7
ternak dan penghasil gula. Tinggi tanaman sorgum berhubungan erat dengan umur
dan jumlah daun (FAO, 2002).
Pada beberapa varietas sorgum, batangnya dapat mengahasilkan tunas baru
membentuk percabangan atau anakan yang dapat tumbuh menjadi individu baru
selain batang utama. Ruas batang sorgum gemmiferous, setiap ruas terdapat satu
mata tunas dapat tumbuh sebagai anakan atau cabang. Tunas yang tumbuh pada
ruas yang terdapat dipermukaan tanah akan tumbuh sebagai anakan, sedangkan
tunas yang tumbuh pada batang bagian atas menjadi cabang. Pertumbuhan tunas
atau anakan bergantung pada varietas dan lingkungan tumbuh tanaman sorgum.
pada suhu kurang dari 18°C memicu munculnya anakan pada fase pertumbuhan
daun ke-4 sampai ke-6. Tanaman sorgum tahunan mampu menghasilkan anakan
2-3 kali lebih banyak dari sorgum semusim. Kemampuan menghasilkan anakan
dan tunas lebih banyak menjadikan tanaman sorgum bisa dipanen untuk kemudian
ditumbuhkan lagi dari batang. Cabang pada tanaman sorgum umumnya tumbuh
apabila batang utama rusak. Jumlah cabang dan anakan bergantung pada varietas,
jarak tanam, dan kondisi lingkungan (Du Plessis,2008).
Sorgum mempunyai daun berbentuk pita, dengan struktur terdiri atas helai
daun dan tangkai daun. Posisi daun terletak secara berlawanan sepanjang batang
dengan pangkal daun menempel pada ruas batang. Panjang daun sorgum rata-rata
1 meter dengan penyimpangan 10 - 15 cm dan lebar 5 - 13 cm. Jumlah daun
bervariasi antara 7 - 40 helai, bergantung pada varietas. Keunikan daun sorgum
terdapat pada sel penggerek yang terletak di sepanjang tulang daun. Sel ini dapat
menggulung daun secara cepat bila terjadi kekeringan, untuk mengurangi
transpirasi. Pelepah daun melekat pada ruas dan menutupi batang, agak tebal dan
8
semakin tipis dipinggir, dengan lebar sekitar 25 - 30 cm atau beragam, bergantung
varietas, bagian dalamnya bewarna putih dan mengkilat, sedangkan bagian luar
bewarna hijau dan berlapis lilin. Permukaan pelepah licin hingga berambut (Du
Plessis, 2008).
Biji sorgum merupakan bagian dari tanaman memiliki ciri-ciri fisik berbentuk
bulat dengan berat 25 - 55 mg. Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4,0 x
2,5 x 3,5 mm. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu biji berukuran kecil (8 - 10 mg), sedang (12 - 24 mg) dan besar
(25 - 35 mg). Biji sorgum tertutup sekam dengan warna muda krem atau
putih,beragantung pada varietas (Dicko et al, 2006).
2.2 Klasifikasi Tanaman Sorgum
Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum diklasifikiasikan oleh United
States Department of Agricultural. (2008) sebagai berikut :
Kingdom : Plantea (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Superdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Class : Liliopsida (Berkeping satu atau monokotil)
Subclass : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (Suku rumput-rumputan)
Genus : Sorghum
Spesies : Sorghum bicolor (L.) Moench
9
2.3 Genotip Sorgum
Salah satu masalah yang dihadapi di pengembangan sorgum komoditi di
Indonesia adalah kurangnya pengembangan varietas unggul, terutama disebabkan
mengenai perkembangan perundingan keragaman genotip lokal setempat. Di Jawa
timur, misalnya masih ada dan ditandai liar tidak dikenal keragaman genotip lokal
sorgum ( Susilowati, 2013).
Proses identifikasi keragaman genotip lokal liar dan aksesi diperlukan untuk
mengembangkan genotip lokal sorgum. Identifikasi dan karakterisasi adalah
orang-orang pertama menemukan variasi genetik tanaman untuk membangun
tanaman sorgum yang unggul melalui berbagai tipe genotip dalam proses
perkembangbiakkan yang baik. ( Mofokeng, 2012).
Berdasarkan pengembangan varietas unggul sorgum data di Indonesia dan
fakta bahwa populasi pemerintah masih membutuhkan rangka mendukung
keberhasilan ketahanan pangan, perlu melakukan penelitian karakterisasi dari
beberapa sorgum lokal keragaman genotip lokal ditemukan dijawa timur yaitu
Pasuruan, Lamongan 1, Lamongan 2, Tuban, Sampang 1, Sampang 2,
Tulungagung 1, Tulungagung 2, dan Jombang.
A.Tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang
Hasil uji tukey lebih lanjut, beberapa genotip menunjukkan perbedaan tinggi
tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Tabel 1 menunjukkan bahwa genotip
1 tulungagung dari pada dengan genotip lainnya dengan rata-rata 389.38 cm.
Tanaman terendah adalah genotip lamongan 1 (168,10 cm) dan tidak berbeda
dengan sampang1 dan sampang 2.
10
Demikian pula dengan jumlah daun dan diameter batang, tertinggi sebelumnya
dimiliki oleh genotip tulungagung 1 (13.56 helai masing-masing 2.44 cm dan),
meskipun ada beberapa yang cocok dengan genotip. Angka terenda dari daun
genotip tulungagung 2 yaitu 5.78 potongan, sementara yang terendah diameternya
ditemukan di genotip sampang 2 (1.32 cm). Dari data yng disebutkan diatas dapat
dijelaskan bahwa tinggi tanmaan tidak merata serta memiliki batang sorgum
terdiri dari segmen daun yang duduk. Tinggi tanaman terkena penyakit panjang
segmen sedangkan jumlah daun tergantung pada jumlah segmen ( L.R House,
1985).
B. Panjang malai, jumlah biji permalai, berat permalai biji, baerat 100 biji
Keragaman genotip bisa mengetahui lebih jelas dalam fase generatif. Secara
kualitatif, terdapat perbedaan besar dan cepat dalam bentuk dari sembilan malai
mempelajari angka 1. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa genotip tulungagung 2
yang telah lebih lama dibanding dengan temuan malai di beberpa genotip, yaitu
50.92 cm tetapi tidak diikuti oleh jumlah biji per malai. Panjang malai terendah
ada di genotip jombang (20.51 cm) dan tidak berbeda dengan genotip tuban.
Jumlah benih tertinggi per malai dimilki oleh genotip sampang 2 yaitu
3,002.00 dan tidak berbeda dengan genotip lamongan 1 sedangakan yang terendah
genotip sampang 1, sebanyak 471,78. Genotip tuban yang telah berada di
peringkat unggulan lebih tinggi, berat genotip per malai dari pada yang lain, yang
merupakan 96.74 g sementara genotip sampang 1 benih cenderung menurun berat
genotip dari pada yang lain.
11
Unggulan 100 kali pertama masuk berat benih juga dapat dicapai melalui
genotip tuban, dari 3.20 g, meskipun tidak seperti genotip tulungagung 2, genotip
sampang 1 masih relatif rendah.
Table 1.Tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Sumber : Sulistyawati
et al, (2018)
Catatan: angka- angka itu menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan hasil
uji tukey 5%.
Table 2. Ukuran malai, jumlah biji panicle-1, berat benih panicle-1 dan berat 100
biji. Sumber : Sulistyawati et al, (2018)
Catatan : angka-angka menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan hasil uji tukey
5%.
12
Gambar 1. Morfologi dari 9 malai sorgum lokal di Jawa Timur. Sumber :
Sulistyawati et al, (2018)
2.4 Syarat Tumbuh
Tanaman sorgum dapat tumbuh dengan baik walaupun dibudidayakan pada
lahan yang kurang subur, air yang terbatas, dan input yang rendah, bahkan dilahan
berpasir pun masih dapat tumbuh dengan baik. Tanaman sorgum baik ditanam
pada kisaran ketinggian 0-500 mdpl. Apabilah ditanam pada ketinggian lebih dari
500 mdpl, tanaman sorgum akan terhambat pertumbuhannya dan memiliki umur
yang panjang. Curah hujan yang dibutuhkan tanaman ini adalah 600 mm/tahun.
Tanaman ini mampu hidup diatas suhu 47°F (Kusuma, 2008). Sorgum dapat
berproduksi dengan baik pada lingkungan yang curah hujannya terbatas atau tidak
teratur. Tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang sedikit
masam hingga sedikit basa.
Kondisi tekstur tanah yang digunakan tanaman sorgum adalah tanah
bertekstur sedang. Tanaman sorgum mampu hidup hampir di seluruh kondisi
lahan, karena tanaman sorgum dapat hidup pada tanah dengan kemasaman tanah
berkisar 5,50 sampai 7,50. Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan
13
ditanam ditanah podzolik merah kuning (PMK) yang masam, namun untuk
memperoleh pertumbuhan dan produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan
atau mengandung pasir dan bahan organik yang cukup (Kusuma, 2008).
2.5 Jenis jenis hama tanaman sorgum
2.5.1 Hama ulat (Spodoptera frugiperda)
Gambar 2. Ulat (Spodoptera Frugiperda). Sumber: https://www.
Forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=1235063
Spodoptera frugiperda merupakan hama penting tanaman sorgum yang
menimbulkan kerusakkan secara ekonomis di seluruh bagian amerika. Investasi
serangan hama spodoptera frugiperda dapat mengurangi hasil tanaman sorgum
yang rentan dengan kerusakkan berisar 55-80%. Spodoptera frugiperda yang
menyerang tanaman sorgum tua yang berumur 13-22 hari menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 50%. Selain itu serangan pada hasil panen menyebabkan
kerusakan pada gabah sorgum sebesar 76- 85%. Jadi hasil kerusakkan tersebut,
spodoptera frugiperda menimbulkan kerugian dari 0 menjadi 33% (Lauren M.
Barcelos et al, 2019).
2.5.2 Lalat bibit Atherigona soccata rondani
Lalat bibit selain menyerang sorgum juga jagung dan millet. Serangga
betina meletakkan telur pada taanaman sorgum berumur satu minggu setelah
tumbuh. Puncak peletakkan telur pada minggu ke tujuh. Telur umumnya
diletakkan pada daun ketiga dan keempat (Kordali et al, 2008). Telur diletakkan
14
satu per satu, umumnya satu per tanaman, sangat jarang 10 telur per tanaman.
Pengamatan pada 385 tanaman, telur yang diletakkan 444 biji dan umumnya pada
permukaan daun yang bersih. Telur yang telah diletakkan pada umur 2-3 hari akan
menetas menjadi larva pada umumnya 10-12 hari sebelum menjadi pupa. Lalat
dewasa akan keluar dari pupa yang telah berumur seminggu. Larva berukuran 1,5-
7,8 mm dan akan membuat lubang pada batang untuk membentuk pupa.
Kerusakkan umumnya terjadi pada tanaman sorgum muda, bahkan dapat
menyebabkan tanaman muda mati akibat gerekan larva.
Gambar 3. Lalat bibit Atherigona soccata rondani. Sumber : Sumarno et al,
(2013).
Pengendalian yang dilakukan secara kultur teknis, lalat bibit dapat hidup
pada sorgum liar, jagung, dan millet. Oleh karena itu, penyiangan tanaman akan
mengurangi intensitas serangan pada tanaman. Waktu tanam segera sesudah hujan
akan mengurangi serangan, terlambat tanam akan meningkatkan infestasi lalat
bibit (Reddy, 1981).
2.5.3 Kepik hijau pengisap malai Nezara viridula
Ada beberapa spsesies hama pengisap malai tanaman sorgum, anatara lain
Nysius raphanus dan leptoglossus phyllopus yang banyak menyerang sorgum di
Afrika, Oebalus pugnax dan Chlorochroa ligita yang penyebarannya terbatas di
Amerika, dan Nezara viradula yang penyebarannya hampir di seluruh dunia
(Teetes et al, 1983).
15
Gambar 4. Kepik hijau pengisap malai Nezara viridula. Sumber : Sumarno et al,
(2013).
Tanaman inang kepik hijau cukup luas yaitu jagung, kedelai, kacang tanah,
kapas, sorgum, padi, tembakau, kentang, cabe, dan sebagainya. Serangga dewasa
bewarna hijau merata di seluruh tubuh, berbentuk segi lima seperti prisai,
sedangkan nimfa warnannya berbeda-beda, bergantung pada perkembangan
instarmya. Awalnya bewarna coklat muda, kemudian hitam bintik putih,
selanjutnya hijau dengan bintik hitam dan putih. Telur diletakkan di bawah
permukaan daun dengan jumlah yang dapat mencapai 1.100 butir per betina
selama hidupnya. Priode telur 4-6 hari, perkembangan telur sampai serangga
dewasa berkisar antara 4-8 minggu. Nimfa maupun dewasa merusak tanaman
dengan mengisap polong, malai maupun bijitanaman kapas. Sorgum digunakan
sebagai tanaman dengan mengisap polong, malai maupun biji tanaman kapas.
Sorgum digunakan sebagai tanaman perangkap, karena kepik hijau lebih
menyukai sorgum dibanding kapas (Tilman, 2006).
Pengendalian secara kultur teknis, melakukan monitoring di sekitar
pertanaman, mungkin ada tanaman lain yang dapat digunakan sebagai perangkap
seperti Crotalaria sp. Penanaman serempak akan mengurangi perkembangan
kepik hijau. Sedangkan secara kimiawi, pengendalian dengan insektisida
sebaiknya pada fase nimfa yang cenderung mengumpul sehingga mudah
dikendalikan.
16
2.5.4 Helicoverpa armigera
Imago betina Helicoverpa armigera meletakkan telur rata-rata 730 butir,
telur menetas setelah tiga hari diletakkan. Larva spesies ini terdiri dari lima
sampai tujuh instar. Larva berkembang pada suhu 24°C-27°C selama rata-rata
12,8-21,3 hari. Larva serangga memiliki sifat kanibalisme dan mengalami masa
prapupa selama 1-4 hari. Masa prapupa dan pupa biasanya terjadi dalam tanah
pada kedalaman bergantung pada kekerasan tanah. Pupa umumnya terbentuk pada
kedalaman 2,5-17,5 cm. Serangga ini adakalanya berpupa pada tumpukkan limbah
tanaman. Pada kondisi lingkungan mendukung fase pupa bervariasi dari 6 hari
pada suhu 35°C sampai dengan 30 hari pada suhu 15°C. Tanaman inang selain
sorgum adalah jagung, kapas, dan tomat.
Gambar 5. Helicoverpa armigera. Sumber : Sumarno et al, (2013).
Pengendalian secara kultur tenis dapat dilakukan melakukan pengolahan
tanah yang baik akan merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan dapat
mengurangi populasi Helicoverpa armigera berikutnya.
2.5.5 Belalang kembara (Locusta migratoria. L)
Salah satu hama penting di indonesia yang terdapat di beberapa provinsi
yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung,
Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Hama ini
merupakan salah satu faktor penghambat dalam program peningkatan produksi
17
tanaman. Kerusakkan dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama belalang
kembara sangat bervariasi diikuti dengan peningkatan populasi yang tinggi.
Belalang ini cenderung untuk membentuk kelompok besar dan suka berpindah-
pindah sehingga dalam waktu yang singkat dapat menyebar pada areal yang luas.
Kelompok yang bermigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilewatinya selama
dalam perjalanan. Prilaku makan belalang kembara dewasa biasanya hinggap
waktu sore hari dan malam hari sampai pagi hari sebelum terbang. Kelompok
nimfa yang bermigrasi dapat memakan tumbuhan di lokasi selama dalam
perjalanan. Belalang ini lebih cenderung memilih makanan yang lebih disukainya
terutama dari famili gramineae. Tanaman yang diserang adalah jagung, padi,
sorgum, atau spesies rumput lainnya.
Pengendalian hama ini dilakukan menggunakan green guard merupakan
bahan dagang bio- insektisida yang berisi konidia Metarhizium anisopliae var
acridum (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang diproduksi untuk pengendalian
populasi belalang kembara. Green guard merupakan pestisida yang bersifat ramah
lingkungan. Hasil uji coba di Australia, Cina dan Timor Leste cukuo efektif dalam
pengendalian hama belalang kembara. Di Australia umumnya pengendalian
belalang menggunakan Metarhizium anisopliae var acridum (F1 985) (Milner,
1997).
18
2.6 Hama ulat (Spodoptera frugiperda)
Gambar 6. Spodoptera frugiperda
Dalam sistem taksonomi tumbuhan, ulat (Spodoptera frugiperda)
diklasifikiasikan sebagai berikut yaitu domain: eukaryota, kingdom: metazoa,
phylum: arthropoda, sub phylum: uniramia, class: insecta, order: lepidoptera,
family: noctuidae, genus: Spodoptera, species: Spodoptera frugiperda, (CABI,
2019).
Ulat (Spodoptera frugiperda) merusak tanaman sorgum dengan cara larva
mengerek daun. Larva instar 1 awalnya memakan jaringan daun dan
meninggalkan lapisan epidermis yang transparan. Larva instar 2 dan 3 membuat
lubang gerekan pada daun dan memakan daun dari tepi hingga ke bagian dalam.
Larva ulat (Spodoptera frugiperda) mempunyai sifat kanibal sehingga larva yang
ditemukan pada satu tanaman sorgum antara 1-2, perilaku kanibal dimiliki oleh
larva instar 2 dan 3. Larva instar akhir dapat menyebabkan kerusakan berat yang
seringkali hanya menyisakan tulang daun dan batang tanaman sorgum.
19
Kepadatan rata-rata populasi 0,2 - 0,8 larva per tanaman dapat mengurangi
hasil 5 - 20%. Kerusakan pada tanaman biasanya ditandai dengan bekas gerekan
larva, yaitu terdapat serbuk kasar menyerupai serbuk gergaji pada permukaan atas
daun, atau disekitar pucuk tanaman jagung. Gejala awal dari serangan ulat
(Spodoptera frugiperda) larva merusak pucuk, daun muda atau titik tumbuh
tanaman, dapat mematikan tanaman. Di negara-negara afrika, kehilangan hasil
tanaman sorgum akibat serangan ulat (spodoptera frugiperda) antara 4 sampai 8
juta ton per tahun dengan nominal kerugian antara us$ 1 - 4,6 juta per tahun.
Infestasi ulat grayak pada tanaman jagung saat daun muda yang masih
menggulung menyebabkan kehilangan hasil 15-73%
2.7 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati merupakan komponen utama pengendalian hama
terpadu (PHT) seperti pemanfaatan parasitoid, predator atau patogen serangga
(entomopatogen). Pengendalian hayati dengan pemanfaatan cendawan
entomopatogen berpotensi besar untuk dikembangkan (Effendy, 2010). Di
Indonesia, pemanfaatan agensia hayati khususnya cendawan entomopatogen
untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke–19 khususnya
untuk mengendalikan hama (Jumar, 2000).
2.8 Jamur Entomopatogen
Jamur entomopatogen merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat
digunakan sebagai agen hayati. Penelitian yang dilakukan terdapat lebih dari 750
spesies jamur penyebab penyakit pada serangga. Spesies jamur yang dapat
dipertimbangkan menjadi insektisida biologis sebagai produk komersial adalah
Beauveria bassiana, Metharhizium anisopliae, Verticillium lecanii, dan Hirsutella
20
thompsonii. Jamur tersebut bersifat patogenik terhadap berbagai jenis serangga
dengan kisaran inang yang luas (Trizelia, 2008).
Ada tiga cara pemanfaatan jamur entomopatogen dalam strategi pengendalian
hama terpadu (PHT) yaitu aplikasi inundatif, pelepasan inokulatif, dan
pengelolaan jamur entomopatogen yang terdapat secara alami (Habazar dan
Yaherwandi 2006). Dari ketiga cara tersebut, penggunaan jamur entomopatogen
yang terdapat secara alami akan lebih menjamin keberhasilan pengendalian.
Untuk mendapatkan jamur entomopatogen tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengisolasinya dari berbagai tempat.
Tanah merupakan salah satu tempat untuk melihat keberadaan jamur
entomopatogen di alam. Menurut Sapieha Waszkiewicz et al (2005), keberadaan
cendawan entomopatogen di dalam tanah tergantung pada habitat. Selanjutnya
Sosa Gomez et al (2001) mengemukakan bahwa keanekaragaman cendawan
entomopatogen dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan
air tanah, kandungan bahan organik, dan temperatur.
Jamur entomopatogen lebih mudah didapatkan pada daerah rhizosfer.
Carlile et al. (2001) mengemukakan bahwa populasi mikroorganisme di
rhizosfer biasanya lebih banyak dan beragam dibandingkan pada tanah
bukan rhizosfer. Salah satu dari faktor-faktor terpenting yang
bertanggung jawab atas terjadinya efek rhizosfer adalah variasi yang besar
dalam hal senyawa organik yang tersedia di daerah perakaran berupa getah
yang dikeluarkan oleh akar, baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kualitas dan kuantititas mikroorganisme di daerah
21
perakaran. Ciri dan jumlah senyawa yang dikeluarkan tergantung pada spesies
tanaman, umur, dan kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman.
Jamur entomopatogen merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat
digunakan sebagai agen hayati. Penelitian yang dilakukan terdapat lebih dari
750 spesies jamur penyebab penyakit pada serangga. Jamur tersebut bersifat
patogenik terhadap berbagai jenis serangga dengan kisaran inang yang luas
(Trizelia, 2008).