Post on 07-Feb-2018
7/22/2019 IPD Lama
1/9
Demam Tifoid -
Rachmat Juwono
Pendahuluan
Tifoid dan paratifoid (selanjutnya disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut usushalus. Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran klinis yang sama, atau
menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid adalah typhoid and paratyphoid fever,
enteric fever, typhus and para typhus abdomi-nalis. Etiologinya ialah Salmonella typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.
Epidemiologi
|^ Tifoid dan paratifoid merupakan endemik di r Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun tifoid
tercantum dalam Undang-undang Wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap
belum ada, sehingga gambaran epidemiologiknyabelum diketahui secara pasti. Di
Indonesia tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis,
terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.
Distribusi
Geografi
Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan
iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis,
hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan
individu kurang baik.
Vfusim
Di Indonesia tifoid dapat ditemukan sepanjang ahun. Tidak ada persesuaian faham
mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus tifoid. Ada peneliti
yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan
peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada
peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.
Jenis kelamin
Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidens tifoid pada pria dan wanita.
Umur
7/22/2019 IPD Lama
2/9
2
Di daerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa
sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada
penderita yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% penderita berumur antara 12 dan
30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.
Patogenesis
Penularan S. typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman
akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus,
mencapai jaringan limfoid lalu berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial hati, limpa dan organ-organ lainnya. Disangka proses
ini terjadi pada masa tunas, yang berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepaskan kuman
ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakteriemia untuk kedua kalinya.
Kuman-kuman selanjutnya masuk ke jaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus
dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala-gejaia tok-semia pada tifoid disebabkan olehendotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimentai disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada
tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis tifoid, karena membantu terjadinya
proses lnfia-masi lokal pada jaringan tempat di mana S. typhi berkembang biak. Demam
pada tifoid disebabkan karena
S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang.
Patologi ^
Kelainan patologik utama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal. Pada
minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaks Peyer, disusul minggu kedua terjadi
nekrosis, dan dalam minggu ketiga ulserasi plaks Peyer dan selanjutnya dalam minggu
keempat penyembuhan ulkus ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Ulkus berbentuk bulat
lonjong dengan sumbu memanjang sejajar dengan sumbu usus. Ulkus dapat menyebabkan
perdarahan bahkan sampai perforasi usus.
Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, sertanekrosis fokal.
Sistem retikuloendotelial menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesenterial
dan limpa membesar.
Kelainan patologik juga dapat dijumpai pada ginjal, paru, jantung, selaput otak, ototdan tulang.
Gambaran klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul
amat bervariasi, perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah
yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit
ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi
dan ke-mstisn. I"!^! ini msnystcil^^c^ri fesliws scorsn*1 slili x,2s*a sudah sangat
berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis tifoid.
7/22/2019 IPD Lama
3/9
3
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi
akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor
di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteoris-mus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, de!?"um, atau psikosis. Roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan leukosit
Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada tifoid terdapat leukopeni dan
limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopeni tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas
normal, malahan kadang-kadang terdapat leu-kositosis, walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosis tifoid.
Biakan darah
Biakan darah positif memastikan tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada
beberapa faktor, antara lain:
a. Teknik pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu
laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
teknik dan media biakan yang digunakan.
Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10
kuman/ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada penderita dewasa diambil 5-10
ml darah dan pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan
bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu,
u arah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pende-
rita dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah
saat demam tinggi pada waktu bakteriemia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Pada tifoid biakan darah terhadap 5. typhi ter-
utama positif pada minggu pertama penyakit dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah bisa positif lagi.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah penderita.
Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin negatif.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.
Bila penderita sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikrobapertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
7/22/2019 IPD Lama
4/9
4
Kepekaan S. typhi terhadap obat antimikroba
Strain S. typhi yang kebal terhadap kloramfeni-kol pernah atau masih endemik diMeksiko, India, Muangtai, Kamboja, Taiwan, Vietnam dan Peru. Sejak tahun 1975, S.
typhi yang kebal terhadap klo-ramfenikol dilaporkan secara sporadik di beberapa daerah di
Indonesia, tetapi persentasenya antara tahun 1975 dan 1983 tidak meningkat. Penelitian
pada Pusat Penelitian Biomedis Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan RI
menunjukkan bahwa strain S. typhi yang diisolasi dari beberapa propinsi di Indonesia
antara tahun 1978 dan 1980 masih sangat sensitif terhadap kloramfenikol (97,8% sensitif)
dan ko-trimoksazol (99,0% sensitif), tetapi tidak sensitif terhadap ampisilin (hanya 13,1%
yang sensitif)- Pada penelitian yang sama, S. paratyphi A masih sensitif terhadap
kloramfenikol (98,1% sensitif) dan kotri-moksazol (98,1%) sensitif), akan tetapi terhadap
ampisillin tidak sensitif (hanya 1,9% yang sensitif).
Reaksi Widal
Reaksi Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum penderita tifoid, juga
pada orang yang pernah ketularan saimonella dan pada orang yang pernah divaksinasi
terhadap tifoid.
Antigen yang digunakan pada reaksi Widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud reaksi Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi
oleh 5. typhi, penderita membual antibodi (aglutinin), yaitu :a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan anti-
gen O (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (ber-asal dari flagela kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (ber-
'i dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan penderita menderita tifoid.
Pada infeksi yang aktif, titer reaksi Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan selang paling sedikit 5 hari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi Widal
1.Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita.2.Faktor-faktor teknis.Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita
a. Keadaan umum.
Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.
7/22/2019 IPD Lama
5/9
5
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pen-
derita sakit satu minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu kelima atau keenam penyakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotika.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan
dini dengan obat antimikroba menghambat pem-
bentukan antibodi, tetapi peneliti-peneliti lain me-
nentang pendapat ini.
d. Penyakit-penyakit tertentu.Pada beberapa penyakit yang menyertai tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,
misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.
Obat-obat ini menhambat pembentukan antibodi
karena supresi sistem retikuloendotelial.
f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.
Pada seorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seorang
yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella
sebelumnya.
Keadaan ini dapat menyebabkan reaksi Widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di
daerah di mana tifoid endemikdapat dijumpai aglutinin pada orang-orang sehat.
h. Reaksi anamnestis.Reaksi anamnestis adalah keadaan di mana terjadi peningkatan titer agiutinin terhadap S.
typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan tifoid pada seorang yang
pernah divaksinasi atau ketularan salmonella di masa lalu.
Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang.
Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat terjadi juga reaksi aglutinasi pada spesies
lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat di- tentukandengan reaksi Widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen.
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada reaksi Widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensiantigen.
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
Interpretasi reaksi Widal
7/22/2019 IPD Lama
6/9
6
Di kepustakaan tidak ada konsensus mengenai tingginya titer reaksi Widal yang
mempunyai nilai diagnosis yang pasti untuk tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
perjanjian saja, yang hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di uu^m
lsl^crcitcniiiTi s c tempel t. ICCiiciilvtiii titer emput kali lipat pada pemeriksaan ulang
memastikan diagnosis. Reaksi Widal negatif atau positif dengan titer rendah tidak
menyingkirkan diagnosis tifoid.
Karena pada seorang setelah sembuh dari tifoid, agiutinin akan berada dalam darah untuk
waktu yang lama, maka reaksi Widal bukan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.
Pengobatan
Pengobatan tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu:
1.Perawatan2.Diet ObatPerawatan
Penderita tifoid perlu'dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi penderita dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan penderita.
Penderita dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hi-postatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi urin.
Diet
Di masa lampau, penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan
akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Pemberian bubur saring
tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus;
karena ada pendapat, bahwa ulkus-ulkus perlu diistirahatkan. Banyak penderita tidak
menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya
makan sedikit dan ini berakibat keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan
masa penyembuhan menjadi lama.Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman pada penderits tifoid. Karena ada juga penderita tifoid yang takut makan nasi,
maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan terserah pada penderita sendiri
apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulose.
Obat
Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan, ialah :
7/22/2019 IPD Lama
7/9
7
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Ko-trimoksazol
d. Ampisilin dan amoksisilin
a. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk tifoid. Belum
ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari per oral atau intravena,
sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak
dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa
nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5
hari.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi
hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan
tiamfenikol demam pada tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol j(kombinasi trimetoprim dan
sulfametoksazol)
Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan ko-trimoksazol
demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.
d Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan
amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah penderita tifoid dengan leukopeni. Dosis yang dianjurkan
berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam.
Dengan ampisilin atau amoksilin detnam pada tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
Kombinasi obat| antimikroba
Pengobatan tifoid dengan kombinasi obat-obat antimikroba tersebut di atas tidak
memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat antimikroba
tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, maupun dalam hal
menurunkan angka kejadian kekambuhan dan angka kejadian pengekskresian kuman
waktu penyembuhan (convalescent excretor rate).
Obat-obat simtomatik
Antipiretika
7/22/2019 IPD Lama
8/9
8
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap penderita tifoid, karena tidak
banyak berguna.
Kortikosteroid
Penderita yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang
menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat
memuaskan, kesadaran penderita menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai
normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat
menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.
Pengobatan tifoid pada wanita hamil
Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk pengobatan tifoid dapat
diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trimester ketiga
kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin dan grey
Syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena
kemungkinan adanya efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat
disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, thiamfenikol boleh diberikan. Ampisilin
dan amoksisilin aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila penderita hipersensitif
terhadap obat tersebut.
Masalah carrier
Setiap orang yang ketularan salmonella, meng-ekskresi kuman tersebut dengan fesesdan air seni selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang
tersebut dinamakan symptomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang
tersebut dinamakan carrier. Hal serupa terjadi pada penderita tifoid. Terbanyak penderita
tifoid berhenti mengekskresi salmonella dalam 3 bulan. Mereka yang tetap mengekskresi
salmonella setelah
3 bulan dinamakan carrier. Kira-kira 3 % penderita tifoid masih mengekskresi salmonella
lebih dari 1 tahun. Carrier didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada
wanita dibanding pria dan jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi salmonella
xialam feses (faecal carrier) lebih banyak dan lebih berperan pada penularan daripada orang
yang mengekskresi salmonella melalui air seni (urinary carrier). Pada faecal carrier, kuman
menetap di kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandungbatu. Pada urinary carrier, salmonella menetap di saluran air seni, biasanya disebabkan
kelainan saluran air seru yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik jatau kelainan
ureter.
Carrier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air senj untuk S. typhi dan paratyphi.
Karena ekskresi salmonella terjadi intermitten, sedikit-dikitnya diperlukan 3 sampai 6
biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan carrier tifoid merupakan
masalah yang sulit. Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau
amoksisilin 1 g tiap 6 jam, per oral, selama 4 minggu; atau ko-trimoksazol 2 tablet tiap 12
jam, selama 4 minggu. Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan
pemberian ampisilin. Pengobatan kadang-kadang gagal karena salmonella dapat bersarang
di dalam saluran empedu intrahepatik.
7/22/2019 IPD Lama
9/9
9
Komplikasi
Komplikasi tifoid dapat dibagi dalam:1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c.
2. Komplikasi ekstra-intestinal:
a. Komplikasi kardiovaskular:
kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.
b. Komplikasi darah:?. .emia hemolitik, trombositopenia dan/atau disseminated intravascular coagulation
(DIC) dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru:
pneumonia, empiema dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu:
hc-atitis dan kolesistitis
e. Komplikasi ginjal:
glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis
f. Komplikasi tulang
osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik.
delirium, meningismusj meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre,
psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering
terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan
penderita kurang sempurna.
PrognosisPrognosis bergantung pada umur, keadaan umum, derajad kekebalan penderita, jumlah dan
virulensi