IPD Lama

download IPD Lama

of 9

Transcript of IPD Lama

  • 7/22/2019 IPD Lama

    1/9

    Demam Tifoid -

    Rachmat Juwono

    Pendahuluan

    Tifoid dan paratifoid (selanjutnya disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut usushalus. Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran klinis yang sama, atau

    menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid adalah typhoid and paratyphoid fever,

    enteric fever, typhus and para typhus abdomi-nalis. Etiologinya ialah Salmonella typhi, S.

    paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.

    Epidemiologi

    |^ Tifoid dan paratifoid merupakan endemik di r Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit

    menular yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.

    Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan

    dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun tifoid

    tercantum dalam Undang-undang Wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap

    belum ada, sehingga gambaran epidemiologiknyabelum diketahui secara pasti. Di

    Indonesia tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis,

    terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada

    orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.

    Distribusi

    Geografi

    Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan

    iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis,

    hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan

    individu kurang baik.

    Vfusim

    Di Indonesia tifoid dapat ditemukan sepanjang ahun. Tidak ada persesuaian faham

    mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus tifoid. Ada peneliti

    yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan

    peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada

    peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

    Jenis kelamin

    Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidens tifoid pada pria dan wanita.

    Umur

  • 7/22/2019 IPD Lama

    2/9

    2

    Di daerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa

    sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada

    penderita yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% penderita berumur antara 12 dan

    30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.

    Patogenesis

    Penularan S. typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman

    akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus,

    mencapai jaringan limfoid lalu berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan

    mencapai sel-sel retikuloendotelial hati, limpa dan organ-organ lainnya. Disangka proses

    ini terjadi pada masa tunas, yang berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepaskan kuman

    ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakteriemia untuk kedua kalinya.

    Kuman-kuman selanjutnya masuk ke jaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus

    dan kandung empedu.

    Semula disangka demam dan gejala-gejaia tok-semia pada tifoid disebabkan olehendotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimentai disimpulkan bahwa

    endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada

    tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis tifoid, karena membantu terjadinya

    proses lnfia-masi lokal pada jaringan tempat di mana S. typhi berkembang biak. Demam

    pada tifoid disebabkan karena

    S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit

    pada jaringan yang meradang.

    Patologi ^

    Kelainan patologik utama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal. Pada

    minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaks Peyer, disusul minggu kedua terjadi

    nekrosis, dan dalam minggu ketiga ulserasi plaks Peyer dan selanjutnya dalam minggu

    keempat penyembuhan ulkus ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Ulkus berbentuk bulat

    lonjong dengan sumbu memanjang sejajar dengan sumbu usus. Ulkus dapat menyebabkan

    perdarahan bahkan sampai perforasi usus.

    Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, sertanekrosis fokal.

    Sistem retikuloendotelial menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesenterial

    dan limpa membesar.

    Kelainan patologik juga dapat dijumpai pada ginjal, paru, jantung, selaput otak, ototdan tulang.

    Gambaran klinis

    Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul

    amat bervariasi, perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah

    yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit

    ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi

    dan ke-mstisn. I"!^! ini msnystcil^^c^ri fesliws scorsn*1 slili x,2s*a sudah sangat

    berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis tifoid.

  • 7/22/2019 IPD Lama

    3/9

    3

    Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi

    akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,

    muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada

    pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua

    gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor

    di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteoris-mus,

    gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, de!?"um, atau psikosis. Roseolae jarang

    ditemukan pada orang Indonesia.

    Pemeriksaan laboratorium

    Pemeriksaan leukosit

    Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada tifoid terdapat leukopeni dan

    limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopeni tidaklah sering dijumpai. Pada

    kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas

    normal, malahan kadang-kadang terdapat leu-kositosis, walaupun tidak ada komplikasi

    atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk

    diagnosis tifoid.

    Biakan darah

    Biakan darah positif memastikan tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak

    menyingkirkan tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada

    beberapa faktor, antara lain:

    a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

    Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu

    laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

    teknik dan media biakan yang digunakan.

    Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10

    kuman/ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada penderita dewasa diambil 5-10

    ml darah dan pada anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan

    bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu,

    u arah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pende-

    rita dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah

    saat demam tinggi pada waktu bakteriemia berlangsung.

    b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

    Pada tifoid biakan darah terhadap 5. typhi ter-

    utama positif pada minggu pertama penyakit dan

    berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada

    waktu kambuh biakan darah bisa positif lagi.

    c. Vaksinasi di masa lampau

    Vaksinasi terhadap tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah penderita.

    Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin negatif.

    d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

    Bila penderita sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikrobapertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

  • 7/22/2019 IPD Lama

    4/9

    4

    Kepekaan S. typhi terhadap obat antimikroba

    Strain S. typhi yang kebal terhadap kloramfeni-kol pernah atau masih endemik diMeksiko, India, Muangtai, Kamboja, Taiwan, Vietnam dan Peru. Sejak tahun 1975, S.

    typhi yang kebal terhadap klo-ramfenikol dilaporkan secara sporadik di beberapa daerah di

    Indonesia, tetapi persentasenya antara tahun 1975 dan 1983 tidak meningkat. Penelitian

    pada Pusat Penelitian Biomedis Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan RI

    menunjukkan bahwa strain S. typhi yang diisolasi dari beberapa propinsi di Indonesia

    antara tahun 1978 dan 1980 masih sangat sensitif terhadap kloramfenikol (97,8% sensitif)

    dan ko-trimoksazol (99,0% sensitif), tetapi tidak sensitif terhadap ampisilin (hanya 13,1%

    yang sensitif)- Pada penelitian yang sama, S. paratyphi A masih sensitif terhadap

    kloramfenikol (98,1% sensitif) dan kotri-moksazol (98,1%) sensitif), akan tetapi terhadap

    ampisillin tidak sensitif (hanya 1,9% yang sensitif).

    Reaksi Widal

    Reaksi Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum penderita tifoid, juga

    pada orang yang pernah ketularan saimonella dan pada orang yang pernah divaksinasi

    terhadap tifoid.

    Antigen yang digunakan pada reaksi Widal adalah suspensi salmonella yang sudah

    dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud reaksi Widal adalah untuk menentukan

    adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi

    oleh 5. typhi, penderita membual antibodi (aglutinin), yaitu :a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan anti-

    gen O (berasal dari tubuh kuman).

    b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (ber-asal dari flagela kuman).

    c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (ber-

    'i dari simpai kuman).

    Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk

    diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan penderita menderita tifoid.

    Pada infeksi yang aktif, titer reaksi Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang

    dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi Widal

    1.Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita.2.Faktor-faktor teknis.Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita

    a. Keadaan umum.

    Gizi buruk menghambat pembentukan antibodi.

  • 7/22/2019 IPD Lama

    5/9

    5

    b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

    Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pen-

    derita sakit satu minggu dan mencapai puncaknya

    pada minggu kelima atau keenam penyakit.

    c. Pengobatan dini dengan antibiotika.

    Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan

    dini dengan obat antimikroba menghambat pem-

    bentukan antibodi, tetapi peneliti-peneliti lain me-

    nentang pendapat ini.

    d. Penyakit-penyakit tertentu.Pada beberapa penyakit yang menyertai tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,

    misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

    e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

    Obat-obat ini menhambat pembentukan antibodi

    karena supresi sistem retikuloendotelial.

    f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

    Pada seorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya

    menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun

    perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seorang

    yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

    g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella

    sebelumnya.

    Keadaan ini dapat menyebabkan reaksi Widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di

    daerah di mana tifoid endemikdapat dijumpai aglutinin pada orang-orang sehat.

    h. Reaksi anamnestis.Reaksi anamnestis adalah keadaan di mana terjadi peningkatan titer agiutinin terhadap S.

    typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan tifoid pada seorang yang

    pernah divaksinasi atau ketularan salmonella di masa lalu.

    Faktor-faktor teknis

    a. Aglutinasi silang.

    Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,

    maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat terjadi juga reaksi aglutinasi pada spesies

    lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat di- tentukandengan reaksi Widal.

    b. Konsentrasi suspensi antigen.

    Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada reaksi Widal akan mempengaruhi

    hasilnya.

    c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensiantigen.

    Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain

    salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

    Interpretasi reaksi Widal

  • 7/22/2019 IPD Lama

    6/9

    6

    Di kepustakaan tidak ada konsensus mengenai tingginya titer reaksi Widal yang

    mempunyai nilai diagnosis yang pasti untuk tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya

    perjanjian saja, yang hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di uu^m

    lsl^crcitcniiiTi s c tempel t. ICCiiciilvtiii titer emput kali lipat pada pemeriksaan ulang

    memastikan diagnosis. Reaksi Widal negatif atau positif dengan titer rendah tidak

    menyingkirkan diagnosis tifoid.

    Karena pada seorang setelah sembuh dari tifoid, agiutinin akan berada dalam darah untuk

    waktu yang lama, maka reaksi Widal bukan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan

    penderita.

    Pengobatan

    Pengobatan tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu:

    1.Perawatan2.Diet ObatPerawatan

    Penderita tifoid perlu'dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.

    Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih

    selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi

    perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi penderita dilakukan secara bertahap, sesuai

    dengan pulihnya kekuatan penderita.

    Penderita dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada

    waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hi-postatik dan dekubitus.

    Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi

    obstipasi dan retensi urin.

    Diet

    Di masa lampau, penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan

    akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Pemberian bubur saring

    tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus;

    karena ada pendapat, bahwa ulkus-ulkus perlu diistirahatkan. Banyak penderita tidak

    menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya

    makan sedikit dan ini berakibat keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan

    masa penyembuhan menjadi lama.Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi

    dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan

    dengan aman pada penderits tifoid. Karena ada juga penderita tifoid yang takut makan nasi,

    maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan terserah pada penderita sendiri

    apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulose.

    Obat

    Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan, ialah :

  • 7/22/2019 IPD Lama

    7/9

    7

    a. Kloramfenikol

    b. Tiamfenikol

    c. Ko-trimoksazol

    d. Ampisilin dan amoksisilin

    a. Kloramfenikol

    Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk tifoid. Belum

    ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan

    kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari per oral atau intravena,

    sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak

    dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa

    nyeri. Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5

    hari.

    b. Tiamfenikol

    Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi

    hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan

    tiamfenikol demam pada tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.

    c. Ko-trimoksazol j(kombinasi trimetoprim dan

    sulfametoksazol)

    Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang

    dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet

    mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan ko-trimoksazol

    demam pada tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.

    d Ampisilin dan amoksisilin

    Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan

    amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak

    penggunaannya adalah penderita tifoid dengan leukopeni. Dosis yang dianjurkan

    berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam.

    Dengan ampisilin atau amoksilin detnam pada tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.

    Kombinasi obat| antimikroba

    Pengobatan tifoid dengan kombinasi obat-obat antimikroba tersebut di atas tidak

    memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat antimikroba

    tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, maupun dalam hal

    menurunkan angka kejadian kekambuhan dan angka kejadian pengekskresian kuman

    waktu penyembuhan (convalescent excretor rate).

    Obat-obat simtomatik

    Antipiretika

  • 7/22/2019 IPD Lama

    8/9

    8

    Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap penderita tifoid, karena tidak

    banyak berguna.

    Kortikosteroid

    Penderita yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang

    menurun secara bertahap (tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat

    memuaskan, kesadaran penderita menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai

    normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat

    menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

    Pengobatan tifoid pada wanita hamil

    Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk pengobatan tifoid dapat

    diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trimester ketiga

    kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin dan grey

    Syndrome pada neonatus.

    Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena

    kemungkinan adanya efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat

    disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, thiamfenikol boleh diberikan. Ampisilin

    dan amoksisilin aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila penderita hipersensitif

    terhadap obat tersebut.

    Masalah carrier

    Setiap orang yang ketularan salmonella, meng-ekskresi kuman tersebut dengan fesesdan air seni selama beberapa jangka waktu. Bila tidak terjadi keluhan atau gejala, orang

    tersebut dinamakan symptomless excretor. Bila ekskresi kuman berlangsung terus orang

    tersebut dinamakan carrier. Hal serupa terjadi pada penderita tifoid. Terbanyak penderita

    tifoid berhenti mengekskresi salmonella dalam 3 bulan. Mereka yang tetap mengekskresi

    salmonella setelah

    3 bulan dinamakan carrier. Kira-kira 3 % penderita tifoid masih mengekskresi salmonella

    lebih dari 1 tahun. Carrier didapatkan terutama pada usia menengah, lebih sering pada

    wanita dibanding pria dan jarang pada anak-anak. Orang yang mengekskresi salmonella

    xialam feses (faecal carrier) lebih banyak dan lebih berperan pada penularan daripada orang

    yang mengekskresi salmonella melalui air seni (urinary carrier). Pada faecal carrier, kuman

    menetap di kandung empedu yang meradang menahun dan kadang-kadang mengandungbatu. Pada urinary carrier, salmonella menetap di saluran air seni, biasanya disebabkan

    kelainan saluran air seru yang sudah ada, misalnya pielonefritis kronik jatau kelainan

    ureter.

    Carrier dapat dideteksi melalui biakan feses dan air senj untuk S. typhi dan paratyphi.

    Karena ekskresi salmonella terjadi intermitten, sedikit-dikitnya diperlukan 3 sampai 6

    biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan carrier tifoid merupakan

    masalah yang sulit. Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan adalah ampisilin atau

    amoksisilin 1 g tiap 6 jam, per oral, selama 4 minggu; atau ko-trimoksazol 2 tablet tiap 12

    jam, selama 4 minggu. Kadang-kadang diperlukan kolesistektomi bersamaan dengan

    pemberian ampisilin. Pengobatan kadang-kadang gagal karena salmonella dapat bersarang

    di dalam saluran empedu intrahepatik.

  • 7/22/2019 IPD Lama

    9/9

    9

    Komplikasi

    Komplikasi tifoid dapat dibagi dalam:1. Komplikasi intestinal

    a. Perdarahan usus

    b. Perforasi usus

    c.

    2. Komplikasi ekstra-intestinal:

    a. Komplikasi kardiovaskular:

    kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan

    tromboflebitis.

    b. Komplikasi darah:?. .emia hemolitik, trombositopenia dan/atau disseminated intravascular coagulation

    (DIC) dan sindrom uremia hemolitik.

    c. Komplikasi paru:

    pneumonia, empiema dan pleuritis

    d. Komplikasi hepar dan kandung empedu:

    hc-atitis dan kolesistitis

    e. Komplikasi ginjal:

    glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis

    f. Komplikasi tulang

    osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis

    g. Komplikasi neuropsikiatrik.

    delirium, meningismusj meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre,

    psikosis dan sindrom katatonia.

    Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering

    terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan

    penderita kurang sempurna.

    PrognosisPrognosis bergantung pada umur, keadaan umum, derajad kekebalan penderita, jumlah dan

    virulensi