Post on 25-Jun-2015
Sabtu, 5 Desember 2009
Editor: Sussy Listiasasih
KIMIA PERNAPASAN
Dra. Salmah Orbayinah,Apt.,M.Kes
(orbayinah_salmah@yahoo.com)
Sebenarnya ada gak siiy hubungan kimia dan pernapasan?
Emangnya kalo gak ada proses kimia kita gak bisa bernapas? Mau tau
jawabannya? Oke deh, selamat mempelajari kimia pernapasan…^_^
Tujuan instruksional umum :
Mahasiswa dapat memahami proses pernapasan dan gangguan
pernapasan serta akibat dari gangguan tersebut pada tubuh manusia
Tujuan Instruksional Khusus :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan komposisi udara inspirasi dan
ekspirasi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan proses pengangkutan gas-gas
pernapasan
3. Mahasiswa dapat menjelaskan reaksi kimia yang terjadi pada proses
pernapasan
4. Mahasiswa dapat menjelaskan gangguan pernapasan, penyebab,
dan akibatnya pada keseimbangan asam-basa tubuh. Pernapasan
diartikan sebagai pertukaran gas oksigen (O2) dan karbondioksida
(CO2) antara badan dan lingkungan sekitarnya. Pernapasan dibagi
menjadi 4 proses yaitu:
1. Pertukaran udara paru-paru, yaitu keluar masuknya udara atmosfer
dengan
alveoli
2. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah
3. Transport O2 dan CO2 ke dan dari sel-sel melalui darah
4. Pengaturan ventilasi
Terdapat perbedaan kandungan udara atmosfer dengan udara
ekspirasi. Pada udara atmosfer (inspirasi) terdapat O2 20,96%, CO2
0,04%, dan nitrogen 79%, sisanya gas–gas lain yang secara fisiologis
kurang berperan. Udara ekspirasi mengandung gas nitrogen yang
kurang lebih sama dengan udara inspirasi, tetapi O2 turun 15 %
sedangkan CO2 meningkat 5%.
Difusi gas ke paru-paru
Udara inspirasi dapat melewati membran alveoli berdasarkan
hokum fisika difusi akibat adanya perbedaan tekanan masing-masing
gas. Tekanan gas disimbolkan sebagai P, misalnya PCO2. Sebagai
gambaran pertukaran gas alveoli dengan darah dapat dilihat sebagai
berikut:
PO2 di udara alveolar 107 mmHg
Po2 darah vena 40 mmHg
Adanya perbedaan tekanan sebesar 67 mmHg tersebut membuat
aliran O2 darivalveolar paru ke darah vena. Sebaliknya dengan CO2:
PCO2 udara alveolar 36 mmHg
PCO2 darah vena 46 mmHg
Perbedaan tekanan sebesar 10 mmHg cukup untuk membuat
CO2 mengalir dari darah ke paru-paru. Tekanan nitrogen antara darah
vena dan paru relatif tidak berubah, sehingga dikatakan secara
fisiologis dalam keadaan inert. Gas-gas yang masuk ke alveoli
selanjutnya masuk ke darah arteri dengan cara difusi sederhana.
Transpor oksigen oleh darah
Oksigen beredar ke sel-sel tubuh dibawa oleh hemoglobin
dengan ikatan
yang sederhana bukan sebagai ikatan oksida, sesuai persamaan
berikut :
Hb + O2 HbO2 Hb=hemoglobin tereduksi
HbO2= oksihemoglobin
Derajat kombinasi oksigen dengan hemoglobin atau disosiasi
oksihemoglobin ditentukan oleh tekanan O2 pada media sekitar
hemoglobin. Pada tekanan 100 mmHg atau lebih, Hb dalam keadaan
tersaturasi total. Pada keadaan ini sekitar 1,34 ml O2 berkombinasi
dengan 1 gram Hb, sehingga bila diasumsikan konsentrasi Hb pada
darah sebanyak 14,5 g%, maka total oksigen yang dibawa sebagai
oksihemoglobin sebesar 14,5 x 1,34 = 19,43ml%.
Hubungan antara saturasi oksigen dengan tekanan oksigen telah
dapat dirumuskan dan ditunjukkan dengan kurva disosiasi
oksihemoglobin. Bentuk kurva bervariasi tergantung tekanan CO2.
Bentuk kurva pada tekanan CO2 40 mmHg menunjukkan keadaan
fisiologis. Darah arteri yang mengandung O2 dengan tekanan 100
mmHg mengandung Hb yang tersaturasi 95-98%, pada keadaan ini
hampir semua Hb membentuk oksiheoglobin. Peningkatan tekanan O2
selanjutnya hanya sedikit meningkatkan saturasi Hb.
Sejalan dengan tekanan O2 yang menurun, saturasi Hb menurun
perlahan. Pada saat tekanan O2 menjadi 50 mmHg penurunan menjadi
sangat cepat. Dalam jaringan yang terdapat O2 dengan tekanan 40
mmHg, oksihemoglobin terdisosiasi dan oksigen menjadi mudah
digunakan oleh sel. Terdapat penurunan isi oksigen darah dari 20%
menjadi hanya 15%. Penurunan ini masih menyisakan cadangan
oksigen yang diperlukan pada keadaan paruparu kekurangan oksigen.
Kurva disosiasi oksihemoglobin dapat bergeser ke kanan atau ke
kiri.
Pergeseran kurva disosiasi ke kanan mengakibatkan pembebasan
oksigen yang
lebih banyak dari oksihemoglobin, atau berarti mengurangi afinitas
hemoglobin
untuk oksigen. Sebaliknya pergeseran kek kiri menambah afinitas
hemoglobin
untuk oksigen. Pergeseran ke kanan dipengaruhi oleh faktor :
1. Peningkatan ion hidrogen atau penurunan pH. Hal ini terjadi pada
larutan elektrolit dibandingkan pada larutan murni.
2. Peningkatan tekanan CO2 yang menyebabkan pembentukan
asam karbonat meningkat. Asam yang meningkat ini
menyebabkan penurunan pH.
3. Peningkatan suhu. Pada suhu yang meningkat saturasi
hemoglobin menurun. Contoh pada PO2 100 mmHg, Hb
tersaturasi 93% pada suhu 38°C, tetapi pada suhu 25°C
tersaturasi 98%.
4. Peningkatan konsentrasi 2,3-bisfosfogliserat (BPG) eritrosit,
dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
BPG
HbO2 Hb + BPG + O2
Keadaan no 1-3 terjadi pada saat kebutuhan oksigen jaringan
meningkat, akibatnya memperbesar pembebasan oksigen. Konsentrasi
BPG yang meninggi terjadi pada keadaan tekanan atmosfer yang
rendah. Pergeseran kurva disosiasi ke kanan oleh penigkatan tekanan
CO2 dinamakan efek Bohr, terjadi akibat peninggian ion H akibat
banyaknya asam karbonat. (lihat grafik 1)
Hemoglobin yang tidak mengandung oksigen (deoksigenated)
mempunyai warna merah yang lebih gelap dibandingkan dengan
oksihemoglobin, sehingga warna darah arteri lebih cerah daripada
darah vena. Penurunan oksigenasi normal darah akan mengakibatkan
warna kebiruan pada kulit disebabkan peningkatan Hbdeoksigenasi.
Hal ini disebut sianosis, dan dapat terjadi pada keracunan sianida.
Penampakan sianotik tergantung dari keadaan paling sedikit 5 g Hb
deoksigenasi perdesiliter darah kapiler. Pada anemia berat,
konsentrasi Hb demikian rendah sehingga tidak nampak sianotik. Pada
keracunan gas CO terbentuk HbCO (karboksihemoglobin) yang
berwarna merah cerry. Apabila hemoglobin telah berikatan dengan gas
CO, maka O2 sukar terikat dengan Hb karena ikatan CO dengan Hb
lebih besar (210 kali lebih cepat) daripada dengan O2. Jika gas CO
terhirup sebesar 0,02% maka akan timbul pusing-pusing, apabila
konsentrasi CO sampai 0,1% maka dapat timbul kematian dalam 4
jam.
Transpor CO2 darah.
CO2 dibawa oleh darah baik di sel atau di plasma. Sejumlah
besar CO2 tidak secara fisik larut dalam plasma, tetapi terdapat dalam
beberapa bentuk yaitu:
1. Sebagian kecil sebagai asam karbonat
2. Ikatan karbamino CO2 yang ditransportasikan dengan protein
(terutama hemoglobin)
3. Sebagai bikarbonat yang berikatan dengan Na atau K
4. CO2 terlarut.
Walaupun jumlah CO2 yang terlarut secara fisik hanya kecil, tetapi
berpengaruh pada keseimbangan persamaan reaksi berikut ini:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Reaksi diatas dikatalisis oleh enzim karbonik anhidrase suatu
enzim kompleks zink-protein yang terdapat di eritrosit. Dalam jumlah
yang sedikit, enzim ini ditemukan di otot, tubuklus renalis, pankreas,
dan spermatozoa, sedangkan dalam jumlah besar enzim karbonik
anhidrase terdapat di sel parietal lambung yang terlibat dalam sekresi
HCl.
Efek pengubahan CO2 menjadi asam karbonat akan
berpengaruh pada pH darah. Diketahui bahwa paru-paru dalam 24 jam
harus mengeluarkan 20-40 liter 1N asam karbonat pada pH darah yang
bervariasi, dan sebagian besar asam karbonat segera diubah menjadi
bikarbonat yang berikatan dengan logam/kation seperti Na dan K.
Rasio konsentrasi bikarbonat:asam karbonat (dihitung dengan
persamaan Henderson-Hesselbalch) pada pH darah normal (7,40)
harus berada pada perbandingan 20:1. Perubahan perbandingan
konsentrasi tersebut akan berpengaruh pada pH darah yaitu isa
menjadi asam (acidemia) atau basa (alkalemia).
Sistem buffer darah
Meskipun darah vena banyak mengandung CO2, tetapi adanya
system buffer menyebabkan perubahan pH darah hanya 0,01-0,03
unit. Buffer darah ini antara lain oleh adanya protein plasma,
hemoglobin, oksihemoglobin, bikarbonat, dan fosfat inorganik. Pada
keadaan masuknya CO2 ke darah, maka terjadi pergeseran rasio asam
menjadi garamnya, sehingga diperlukan kation. Efek pembufferan
dalam hal ini lebih banyak dilakukan oleh protein plasma karena dapat
melepaskan banyak kation, yaitu sebesar 10% dari sistem buffer.
Sistem buffer fosfat yang terdapat dalam eritrosit bertanggung jawab
sekitar 25% jumlah total CO2 yang masuk ke darah. Walau demikian
buufer terpenting adalah sistem buffer oleh hemoglobin dan
oksihemoglobin yang bertanggungjawab sekitar 60% pengangkutan
CO2.
Sistem buffer oleh hemoglobin adalah berdasar kenyataan bahwa
dalam bentuk oksi bersifat lebih asam daripada bentuk deoksi. Pada
paru-paru, pembentukan oksihemoglobin dengan demikian harus
melepaskan ion H yang bereaksi dengan bikarbonat membentuk asam
karbonat. Karena tekanan CO2 yang rendah di paru-paru maka reaksi
bergeser ke pembentukan CO2 yang kemudian dilepaskan lewat udara
ekspirasi.
Meskipun tekanan O2 di jaringan rendah, tetapi bentuk
oksihemoglobin akan melepaskan O2 ke sel dan terbentuk
deoksihemoglobin (dibantu CO2;ingat efek Bohr). Pada saat yang sama
CO2 hasil metabolisme memasuki darah, dan terbentuk H2CO3 yang
selanjutnya membentuk ion H+ dan HCO3-. Hb tereduksi bertindak
selaku anion menerima ion H+ membentuk Hb tereduksiasam HHb.
HHb selanjutnya masuk ke pulmo dan melepaskan H ion karena
pembentukan asam yang lebih kuat oksihemoglobin. Ion yang terlepas
kemudian bergabung dengan HCO3 ion membentuk asam karbonat
yang selanjutnya membebaskan CO2 yang dilepaskan keluar melalui
udara ekspirasi. (lihat gambar 1)
Telah dijelaskan di atas bahwa kapasitas buffer Hb sekitar 60%
dan 25% lagi dari fosfat eritrosit, sehingga jumlah total kapasitas
buffer darah 85%, terbesar dibandingkan plasma atau serum. Hampir
semua CO2 berbentuk sebagai asam karbonat dengan bantuan enzim
karbonik anhidrase yang terdapat di eroitrosit. Asam karbonat yang
terbentuk di eritrosit kemudian dibuffer oleh fosfat dan hemoglobin
dibantu oleh kalium. Ion bikarbonat yang terjadi kemudian kembali ke
plasma bertukar dengan klorida ion, yang masuk ke eritrosit jika
tekanan CO2 darah meningkat. Proses ini reversibel, dan dengan
demikian klorida meninggalkan eritrosit menuju plasma jika tekanan
CO2 menurun. Fakta ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa lebih
banyak ion
klorida di darah arteri daripada darah vena.
CO2 masuk ke sel eritrosit dari jaringan berbentuk asam
karbonat. Sebagian asam karbonat kembali ke plasma, sisanya
bereaksi dengan system buffer hemoglobin membentuk bikarbonat,
kemudian kembali ke plasma bertukaran dengan klorida. Na-
bikarbonat terbentuk di plasma dan ion klorida masuk ke sel bereaksi
dengan kalium intrasel.
Pada keadaan normal sel eritrosit impermeabel terhadap natrium
atau kalium, tetapi permeabel terhadap hidrogen, bikarbonat dan ion
klorida. Kation intraselular (kalium) secara tidak langsung berperan
dalam plasma karena pertukaran klorida (chlorida shift) Hal ini
menguntungkan karena plasma dapatmembawa kelebihan CO2 (dalam
bentuk NaHCO3) (lihat gambar 2)
Gambar 1 Buffer Hemoglobin
Gambar 2. Chlorida Shift
Keseimbangan asam-basa
Telah dijelaskan di muka, bahwa pH darah tidak berpengaruh
atau tetap normal selama rasio bikarbonat:asam karbonat= 20:1.
Perubahan rasio ini akan membawa akibat berubahnya pH darah
menjadi alkalosis atau asidosis. Kandungan asam karbonat (H2CO3)
darah tergantung dari pasokan CO2 respirasi. Adanya gangguan dalam
pasokan CO2 berakibat pada perubahan kadar asam karbonat.
Perubahan ini disebut sebagai respiratorik. Asidosis respiratorik
terjadi akibat penumpukan asam karbonat di darah, sedangkan
alkalosis respiratorik terjadi apabila eliminasi CO2 berlebihan, sehingga
terjadi pengurangan asam karbonat darah. Perubahan pH tak terjadi
bila terjadi keseimbangan rasio bikarbonat:asam karbonat menjadi
20:1 kembali. Hal ini disebut asidosis atau alkalosis respiratorik
terkompensasi. Penyesuaian rasio pada asidosis respiratorik dapat
dilakukan oleh reabsorbsi bikarbonat oleh ginjal. Pada alkalosis
respiratorik penyesuaian dilakukan dengan ekskresi bikarbonat ke urin.
Gangguan pH juga dapat terjadi karena perubahan kadar
bikarbonat plasma, yang disebut sebagai metabolik. Asidosis
metabolik terjadi jika terjadi penurunan bikarbonat yang
berlebihan tanpa perubahan pada asam karbonat, sebaliknya
alkalosis metabolik terjadi jika kadar bikarbonat berlebihan.
Kompensasi dilakukan dengan cara pengubahan asam karbonat yaitu
dengan eliminasi CO2 (hiperventilasi) pada kasus yang pertama atau
retensi CO2 (depresi pernapasan) pada kasus kedua. Kandungan CO2
plasma terlihat lebih rendah pada asidosis metabolik dan lebih tinggi
pada alkalosis metabolik. (lihat gambar 3)
Penyebab gangguan keseimbangan asam-basa dapat
dikelompokkan menjadi kelompok berikut:
1. Asidosis metabolik disebabkan oleh penurunan bikarbonat pada
diabetes tak terkontrol dengan ketosis, beberapa kasus muntah yang
mengeluarkan cairan alkali, penyakit ginjal, keracunan garam asam,
kehilangan berlebihan cairan intestinal pada diare atau kolitis,
kehilangan berlebih elektrolit. Tanda penting bagi yang tak
terkompensasi adalah hiperpneu.
2. Asidosis respiratorik disebabkan peningkatan relatif asam karbonat.
Terjadi pada gagal napas seperti pneumonia, emfisema, congestive
failure, asma, atau depresi pusat napas karena keracunan morfin.
3. Alkalosis metabolik terjadi karena peningkatan bikarbonat pada
keadaan ingesti berlebihan alkali (seperti makan antasida pada kasus
obstruksi pilorus), muntah berkepanjangan, kehilangan berlebih asam
lambung pada kuras lambung (disebut sebagai hipokloremik alkalosis).
Defisiensi kalium sering terjadi pada hipokloremik alkalosis, juga pada
penyakit Cushing’s, dan selama pengobatan dengan kortikotropin atau
kortison.
4. Alkalosis respiratorik terjadi pada penurunan asam karbonat. Hal ini
terjadi pada keadaan hiperventilasi (histeri, gangguana sistem saraf
pusat yang mengenai sistem pernapasan, tahap awal keracunan
salisilat, penggunaan respirator) dan koma hepatikum.
Semua keadaan alkalosis tak terkompensasi ditandai dengan
pernapasan
yang dangkal dan lambat, urin mungkin alkali tapi biasanya memberi
reaksi
asam meskipun bikarbonat darah meningkat. Hal ini karena defisit
natrium dan
kalium yang mengikutinya.
Perhatikan kembali gambar 3. di bawah ini. Gambar ini
menerangkan perubahan rasio karbonat dan bikarbonat pada asidosis
dan alkalosis. Atau secara sederhana gangguan terhadap
keseimbangan asam basa bisa diringkas dalam tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Gangguan sederhana terhadap keseimbangan
asam basa
Nilai
norm
al
Asidosis Alkalosis
Metabol
ik
Respiratorik Metabolik Respiratorik
U C U C U C U C
pH 7,4 ↓ 7,4 ↓ 7,4 ↑ 7,4 ↑ 7,4
[HCO3-]/[CO2
terlarut]
20 ↓ 20 ↓ 20 ↑ 20 ↑ 20
[HCO3-] ( mmol/L) 25-
26
↓ ↓ 25-26 ↑ ↑ ↑ 25-26 ↓
pCO2 ( mm Hg ) 40 40 ↓ ↑ ↑ 40 ↑ ↓ ↓
CO2 total,
(mmol/L)
26-
27
↓ ↓ 26-27 ↑ ↑ ↑ ↓ ↓
Gangguan Keseimbangan Asam Basa
Pada kebanyakan situasi ketakseimbangan asam basa yang
sederhana tersebut, fungsi normal dari paru-paru dan ginjal dapat
diperkirakan. Juga kejadian simultan dari dua gangguan primer belum
ditinjau, situasi semacam ini sering ditemui. Pada kasus-kasus seperti
ini skema sederhana seperti pada table 1. di atas tidak berlaku, meski
mekanisme kompensasi bekerja pada kapasitas penuh. Evaluasi sifat
dan besaran kondisi-kondisi semacam ini memerlukan catatan-catatan
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik menyeluruh bersamasama
dengan analisis data laboratorium. Contoh-contoh macam-macam
gangguan tersebut diberikan dalam tabel 2. berikut.
Tabel 2. Contoh Gangguan dalam keseimbangan asam-basa
No.
Kas
us
pCO2 arteri
dalam pH
Bikarbo
nat
(mmol/
L)
Komentar
mm
Hg
kPa
1 40 (5,33
)
7,4
0
24,5 Normal
2 25 (3,33
)
7,6
0
24,5 Alakalosis respiratorik berat (penderita
diberi pertukaram udara buatan)
3 31 (4,13
)
7,5
1
24,5 Alakalosis respiratorik sedang
(hiperventilasi ringan)
4 60 (8,00
)
7,2
2
24,5 Asidosis respiratorik tidak
terkompensasi, missal hipoventilasi
akibat narkotik dengan dosis terlalu
tinggi
5 60 (8,00
)
7,3
7
35,0 Asidosis respiratorik terkompensasi
sebagian olehalkalosis metabolik
(berasal renal), misal penderitadengan
obstruksi paru-paru kronik
6 32 (4,27
)
7,6
5
35,0 Campuran alkalosis dan metabolik,
penderita dalamkasus 5 pada ventilasi
mekanik diperpanjang
7 22 (2,93
)
7,3
5
11,0 Asidosis metabolik dengan alakalosis
respiratorik sekunder, misal penderita
dengan diabetik berat
8 50 (6,67
)
7,0
7
15,0 Campuran asidosis metabolik dan
respiratorik misalnya penderita pada
kasus 7 yang pertukaran udaranya
sangat tertekan oleh sedasi berat.