Post on 08-Nov-2021
1
KONDISIONALITAS PENGAKUAN TERHADAP STATUS HUKUM
DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
Farah Reza Praditya
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 16424
Email : farah.reza.praditya@gmail.com
Abstrak
Skripsi menjelaskan bagaimana pengaturan tentang wilayah adat yang meliputi tanah ulayat dan hutan adat
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur hak
dan kewajiban Masyarakat Hukum Adat terhadap wilayah tersebut sebagai subjek hukum negara secara limitatif
dan diskriminatif. Penjelasan tersebut disusun secara kronologis, dimana diurutkan dari peraturan perundang-
undangan masa kolonial hingga peraturan terkini yang saat ini berlaku. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan dan pengakuan
yang memadai bagi terselenggaranya hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat bahkan cenderung mencederai
hak-hak konstitusional tersebut.
Kata Kunci : Masyarakat Hukum Adat, Hak Ulayat, Hak Konstitusional.
CONDITIONAL RECOGNITION TO MASYARAKAT HUKUM ADAT’S LEGAL
STATUS AND COLLECTIVE RIGHTS ON INDONESIAN LEGISLATION
Abstract
This thesis does explanations concerning to Indonesian legislation that specifically ruled about adat territories
including their collective rights over customary land and forest. Conceive legal status, duties, and rights of
Masyarakat Hukum Adat in various relevant legislations. This research concluded that Indonesian legislation
gave the collective rights of Masyarakat Hukum Adat to their adat territories but ruled it by conditional
recognitions. Consequently, this conditional recognition has abandoned Masyarakat Hukum Adat’s
constitutional right and bring them to suffering.
Keywords : Masyarakat Hukum Adat, Collective Rights, Constitutional Rights.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
2
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Keberadaan masyarakat hukum adat dan hukum adatnya juga sudah diakui sejak
zaman kolonial Belanda, hal tersebut dibuktikan dengan diaturnya keberlakuan hukum adat
bagi masyarakat pribumi (masyarakat hukum adat) pada zaman itu. Pengaturan mengenai hal
tersebut dituangkan dalam peraturan kolonial dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische
Staatsregering (IS) yang menyatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku
hukum adatnya.1
Pasal ini jelas menyatakan bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat telah diakui
terlebih dahulu sebelum negara ini merdeka dan masyarakat hukum adat sudah mampu
membentuk tatanan hukum sendiri jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dapat merumuskan Undang-Undang sendiri. Kemudian setelah negara ini merdeka
dan mampu membentuk Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, keberadaan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya juga diakui dalam batang tubuh
sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia, hal ini menyebabkan lahirnya tanggung
jawab negara untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat tersebut
beserta hak-hak tradisionalnya dalam setiap kebijakan negara yang diambil.2
Sebagai negara hukum, seperti yang jelas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 negara ini tidak dipersepsikan sebagai negara dengan kedaulatan tunggal
yang absolut melainkan dibatasi oleh hukum (termasuk hukum dasar atau konstitusi).3
Sehingga Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) tersebut adalah landasan yuridis bagi
masyarakat hukum adat untuk dapat menuntut hak-hak tradisonalnya dapat dilindungi dan
diakui oleh negara.
1 Admon Saleo, (2014) “Pengakuan Masyarakat Adat Tentang Hak Ulayat”, Lex Privatum
II : 1.
2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen kedua), Ps 18 ayat (2).
3 Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara : Pengembangan Teori Bernegara dan Suplem, Ed.1.,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 82.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
3
Universitas Indonesia
Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga
diisyaraatkan dengan disebutkannya istilah masyarakat hukum adat, masyarakat adat, hak
ulayat, tanah ulayat maupun hutan ulayat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia selain Undang-Undang Dasar. Dimana, secara khusus Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan hak ulayat atas tanah yang dimiliki
oleh masyarakat hukum adat yaitu dengan mengatur pelaksanaan hak ulayat tersebut dalam
isi pasal-pasalnya, diantaranya Pasal 3 UUPA.
Pasal tersebut secara eksplisit mengakui keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum
adat yang berupa hak-hak atas tanah yang memang sudah terbentuk dan berlaku sebelum
lahirnya Undang-Undang Pokok Agriria (UUPA). Selain UUPA, peraturan perundang-
undangan lain juga menyebutkan istilah-sitilah yang berhubungan dengan hak ulayat maupun
masyarakat hukum adat.
Dengan dicantumkannya istilah yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat
maupun hak ulayat pada berbagai peraturan perundang-undangan nyatanya tidak memberikan
kepastian hukum bagi kedudukan masyarakat hukum adat di Indonesia, hal ini dibuktikan
dengan banyaknya sengketa atas kepemilikan tanah maupun wilayah hutan antara masyarakat
hukum adat dan pihak lainnya, dimana kedudukan hukum mayarakat hukum adat selalu lebih
lemah dibanding pihak luar yang sebenarnya bukan penghuni asal wilayah tersebut.
Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya perlindungan negara terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat maupun hak-hak tradisonalnya dimana dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku status hukum masyarakat hukum adat tidak diperjelas
bahkan seringkali didiskriminasikan. Ketidakjelasan norma hukum yang mengatur status dan
pengakuan serta perlindungan masyarakat hukum adat berisi pengakuan bersyarat bagi
masyarakat hukum adat. Pengakuan bersyarat tersebut dijabarkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang secara semu mengakui masyarakat hukum adat, seperti dalam
Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, Undang Sumber Daya Air dan
Undang-Undang lainnya.
Tinjauan Teoritis
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
4
Universitas Indonesia
Dalam tulisan ini, Penulis memberikan definisi terhadap istilah-istilah berikut:
1. Kondisionalitas (Kondisional-itas)
a. Kondisional berasal dari kata bahasa Inggris condisional yang berarti
determined by something else (ditentukan oleh suatu hal lain).4
b. Akhiran –itas yang digunakan pada kata serapan kondisional menjadikan
makna kata benda.5
Sehingga kondisionalitas berarti suatu hal yang keberadaannya digantungkan
oleh suatu hal yang lain. Dalam Skripsi ini, kondisionalitas merujuk pada
persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menentukan keberadaan suatu hal
tertentu.
2. Legitimasi
Legitimasi adalah keterangan yg mengesahkan, pernyataan yg sah (menurut
undang-undang atau sesuai dengan undang-undang).6
3. Masyarakat Hukum Adat
Menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok masyarakat
yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan
mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda terlihat maupun benda tak terlihat,
dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam
masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun
diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
4Kamus Merriam Webster Online, http://www.merriam-
webster.com/thesaurus/conditional, diunduh pada 28 Desember 2014.
5Kamus Besar Bahasa Indonesia Online , http://kbbi.web.id/-is%20itas, diunduh 9 Agustus
2014
6 Ibid.,
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
5
Universitas Indonesia
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti
melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.7
Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki
karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat
hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,budaya, hukum dan
memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.8
4. Hukum Adat
Hukum adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang
bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun
temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban
masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.9
Hukum Adat menururt C. Van Vollenhoven adalah apabila seorang hakim
menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat
dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum
peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka
peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.10
5. Hak Ulayat
7 B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm. 6.
8 Indonesia, Peraturan Menteri dalam Negeri tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.Permendagri 52 tahun 2014, Ps 1 angka 1.
9Ibid.,Ps. 1 angka 3.
10 C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hlm 398, dalam
Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1981) hlm. 15-
16.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
6
Universitas Indonesia
Ter Haar menyebut Hak Ulayat sebagai Hak Pertuanan (Beschikkingsrecht).
Beliau menggambarkan Hak Pertuanan sebagai suatu hubungan hidup antara
Masyarakat Hukum Adat dengan tanah dimana mereka diam (tinggal), hubungan
ini digambarkan oleh Ter Haar sebagai suatu pertalian hukum (rechtsbetreking).
Pertalian tersebut terjalin antara Masyarakat Hukum Adat dan tanah yang
merupakan tempat tinggal, tempat mencari penghidupan bahkan tanah pemakaman
nenek moyang Masyarakat Hukum Adat.11
Imam Sudiyat menggunakan istilah hak purba untuk merujuk kepada hak
ulayat, dimana hak purba adalah hak yang dimiliki oleh suatu suku
(clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh seuah
desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.12
Menurut Prof. MR. DR. Soekanto, hak ulayat adalah hubungan antara
persekutuan hukum dengan tanah yang diduduki (ditinggali). Hubungan ini terjadi
sebab tanah tersebut memberi penghisupan bagi warga persekutuan hukum
tersebut, dimana atas hak tersebut persekutuan hukum yang bersangkutan
mempunyai hak untuk menguasai tanah, hak atas pohon-pohon, dan lain-lain dalam
wilayah tersebut.13
Hak Ulayat adalah suatu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus.14
6. Tanah Ulayat
11
Uraian B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm.49.
12 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta : Liberty,1981), hlm. 2.
13 Soekanto, Meninjau Hukum dat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat, (Jakarta : CV Rajawali,1985), hlm.80.
14 Indonesia, Peraturan Menteri Agria tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.Permen Agaria Nomor 5 tahun 1999, Ps 1 angka 1.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
7
Universitas Indonesia
Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat
dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.15
7. Hutan Adat
Adalah hutan yang berada diwilayah Masyarakat Hukum Adat.16
8. Wilayah Adat
Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan
beserta sumber daya alam yang ada diatasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,
dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun temurun dan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari
leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.17
9. Doktrin
Doktrin adalah ajaran; pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan (dalam
konteks ini adalah ahli ilmu hukum).18
Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian hukum bekerja didasarkan pada suatu
metode tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dengan
jalan menganalisanya. 19
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif,
15
Ibid.,Ps 1 angka 2.
16 Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU Nomor 41 tahun 1999, LN tahun 1967
Nomor 8, TLN 2823.
17 Permendagri 52 tahun 2014, Op.Cit., Ps. 1 ayat (2).
18 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/doktrin, diunduh 9 Agustus
2014.
19 Soerjono Soekanto(a), Pengantar Penelitian Hukum, Cet3., (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia,1986), hlm.43.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
8
Universitas Indonesia
20 yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder. 21
Bahan hukum yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, mulai dari hierarki peraturan perundang-undangan yang paling tinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 hingga Surat Edaran Menteri.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni yang
mencakup antara lain, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya.
1. Bahan Hukum Penelitian
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat , 22
yang terdiri
dari
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
d. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
e. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
f. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
g. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
h. Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 tahun 1999 tentang Pemoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
i. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
j. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta : Rajawali Press,2001), hlm. 13.
21 Ibid., hlm.13.
22 Ibid., hlm 52.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
9
Universitas Indonesia
2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. 23
Bahan-bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku-
buku literatur yang ada kaitannya dengan ketenagakerjaan dan pertambangan umum
3) Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan
ketenagakerjaan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen atau bahan
pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang
digunakan adalah data sekunder.Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder,
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.24
Dalam penelitian ini pun
diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap
permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil Penelitian
Melalui IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 Nomor 83,
pemerintah Belanda mengakui Pemerintahan Desa di Jawa dan Madura dan IGOB
(Inlandsche Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, Nomor 490 yang
mengakui struktur pemerintahan adat disepuluh wilayah di luar Jawa-Madura.25
Peraturan
tersebut memberikan kesempatan bagi terlaksananya struktur masyarakat desa yang asli tanpa
menciptakan struktur masyarakat yang baru. Ini merupakan peraturan yang bijaksana sebab
dengan demikian tidak perlu dilakukan perombakan struktur masyarakat dalam suatu desa,
dimana setiap kesatuan masyarakat hukum adat dapat tetap melaksanakan Hukum Adatnya
dan memiliki Hak Ulayatnya. Kemudian pada masa berlakunya Indische Staatregeling dalam
Pasal 131 ayat (2) sub-b dinyatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku
hukum adatnya. 26
Walaupun terdapat pengecualian terhadap penerapan Pasal tersebut namun
23
Ibid.
24 Ibid., hlm 69.
25 Bernadius Steni, Problematik Pembaharuan Hukum dan Persoalan Agraria :
Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal dan Agenda Pembaruan Agraria, hlm. 5.www.huma.or.id,
diakses pada 4 Desember 2014,
26 Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), hlm.
112.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
10
Universitas Indonesia
secara eksplisit peraturan tersebut menempatkan dengan jelas status hukum golongan bumi
putera (Masyarakat Hukum Adat) sebagai subjek hukum seperti halnya golongan Eropa dan
Timur Asing.
Pengaturan mengenai keberlakuan hukum adat dalam Pasal 131 IS tersebut juga
sekaligus memberikan pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagai
subjek atau pelaku dari Hukum Adat itu sendiri.Meskipun pada pelaksanaanya, golongan
pribumi pada masa itu adalah subjek hukum yang kedudukannya paling rendah dalam strata
politik, hukum maupun ekonomi.
Sehubungan dengan pemanfaatan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah
Kolonial juga menerapkan beberapa kebijakan yang sangat merugikan pelaksanaan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, salah satunya yang sangat terkenal adalah domein
verklaring.
Dalam pelaksanaannya, peraturan ini mengakibatkan hilangnya Hak Ulayat atas tanah
Masyarakat Hukum Adat sebab penafsiran terhadap peraturan diatas menjadikan hak tanah-
tanah yang kuasai rakyat dengan hak milik adat menjadi tanah domein negara dan peraturan
domein verklaring menggolongkan tanah ulayat sebagai tanah negara yang bebas, sehingga
pemerintah bebas untuk memberikan tanah tersebut kepada pihak lain yang dikehendakinya.
Dalam perkembangannya terjadi kesalahan fatal dalam konsep pengakuan terhadap
hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat dalam pemanfaatan tanah ulayat khususnya
ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Dimana dalam Pasal 3 Undang-Undang
Pokok Agraria disebutkan adanya pengakuan limitatif terhadap pengakuan dan perlindungan
terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, yaitu penerapan tiga syarat berikut :
a. sepanjang menurut kenyataannya masih ada
b. harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa
c. serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
11
Ketentuan dalam Pasal 3 UUPA memang menunjukkan pengakuan terhadap Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat tetapi juga sekaligus membatasi pengakuan tersebut, hal ini
menunjukkan bahwa konsep pengakuan yang diberikan oleh Penjelasan Pasal 18 UUD 1945
sebelum amandemen (yang saat itu masih berlaku) berseberangan dengan konsep pengakuan
UUPA. Sebab apabila dicermati kembali, dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum
amandemen tidak diberlakukan syarat apapun atas pengakuan terhadap keberadaan
Masyarakat Hukum Adat beserta daerah istimewanya.
Selanjutnya Masa Orde Baru merupakan masa kegelapan bagi Masyarakat Hukum Adat
yang melahirkan suatu marginalisasi masyarakat hukum adat disegala bidang.27
Pertama, terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat tidak lagi memiliki Pemerintahan lokal yang
otonom sehingga sistem kelembagaan adat tidak lagi diakui sebagai pranata hukum
melainkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dari tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten.
Kedua adalah diamandemennya UUD 1945 yang kemudian menambahkan Pasal 18 B ayat
(2) yang secara spesifik mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat
Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya. Apabila ditelaah dari segi subtansinya maka ini
adalah bentuk pelemahan pengakuan dan penghormatan negara kepada Masyarakat Hukum
Adat.
Alasannya adalah pengakuan yang dilakukan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang
diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen kedua berisi berbagai klausula yang menjabarkan
syarat-syarat yang bersifat limitatif terhadap terwujudnya pengakuan dan perlindungan
Masyarakat Hukum Adat. Sehingga apabila diuraikan, pengakuan terhadap Masyarakat
Hukum Adat dalam pasal 18 B ayat (2) mengandung empat syarat :
1) Sepanjang masih hidup,
27
Institute for Research and Empowerment, “Masyarakat Adat Urgensi Pemberdayaan” ,
http://www.ireyogya.org/, diakses pada 5 Desember 2014.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
12
Universitas Indonesia
Syarat ini telah sebelumnya disertakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3 dan
Undang-Undang Kehutanan Pasal 4 ayat (3) yang sebelumnya telah terbit sebelum
amandemen UUD 1945 ini.
2) masih sesuai dengan perkembangan masyarakat,
Syarat kedua ini merupakan syarat yang ada dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Pasal 6 ayat (2) yang merumuskan syarat ini dengan frasa “selaras dengan perkembangan
zaman”.
3) masih sesuai dengan prinsip negara kesatuan,
Syarat ini pada dasarnya sama dengan frasa “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara”
dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3, Undang-Undang Kehutanan Pasal 4 ayat (3).
4) diatur dengan undang-undang
Empat persyaratan yuriridis terhadap masyarakat hukum adat ditengarai mengandung
nuansa paradigma patrenalistik dan sentralistik, dengan memandang hukum negara dan
hukum adat sebagai dua sistem hukum yang bertolak belakang. Hal ini sangat merugikan
perlidungan Masyarakat Hukum Adat beserta jaminan terselenggaranya hak-hak
tradisionalnya.28
Bidang kehutanan adalah salah satu bidang yang seringkali mengalami konflik dengan
eksistensi hak ulayat Masyarakat Hukum Adat sebab pada nyatanya sebagian besar kelompok
Masyarakat Hukum Adat memiliki wilayah hutan adat sebagai sumber kehidupan dan
penghidupannya oleh karena itu Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan turut mengatur dan mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak atas
hutan adat.
Dari Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan tersebut sudah dapat ditemukan dua
syarat limitatif bagi pengakuan Masyarakat Hukum Adat :
1) Sepanjang menurut kenyataannya masih ada
2) Diakui keberadaannya oleh Peraturan Daerah
28
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (a),Op.Cit., hlm. 29
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
13
Universitas Indonesia
Setelah jatuhnya Masa Orde baru, terbit dua peraturan perundang-undangan yang
kemudian menjadi kebangkitan kembali pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat
Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya. Yang pertama adalah Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun 1999 yang mencabut Undang-Undang Nomor 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan yang kedua adalah Peraturan Menteri Nomor 5
tahun 1999 yang merupakan Pedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Secara tegas adalam konsiderannya, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengakui
bahwa Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 tahun 1979 yang menyeragamkan
nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah
yang bersifat istimewa. Kemudian pada tahun 2004 undang-undang ini dicabut dan
digantikan oleh undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang kembali menerapkan syarat
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Dimana apabila dijabarkan pada pokoknya
syarat yang ditentukan oleh undang-undang ini merupakan cerminan dari syarat yang
diterapkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen.
Pada tahun yang sama disahkan pula Undang-Undang tentang Sumber Daya Air yang
isinya mengakui Masyarakat Hukum Adat dan hak atas sumber daya air sebagai bagian dari
hak ulayat. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 6 (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air yang mengatur dua syarat penguasaan sumber daya air oleh
masyarakat hukum adat :
1. Sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-
undangan dan,
2. telah dikukukan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang tentang Desa diperbaharui dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014. Undang-Undang tentang Desa yang saat ini berlaku
juga melakukan pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk
pengakuan terhadap Desa Adat. Ini merupakan terobosan baru bagi perkembangan
pengakuan Masyarakat Hukum Adat, sebab saat ini wilayah Masyarakat Hukum Adat
memiliki bentuk khusus yang berbeda dengan bentuk, struktur dan pengaturannya dengan
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
14
Universitas Indonesia
desa umum, yaitu Desa Adat. Dimana nama atau penyebutan Desa Adat dapat disesuaikan
dengan istilah yang berlaku di daerah setempat.29
Kesimpulan
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan kesatuan Masyarakat Hukum Adat
sebagai subjek hukum pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, hal
tersebut dibuktikan dengan pengaturan keberlakuan hukum adat dalam ayat (2) sub b
Indische Staatsregering (IS). Dengan diakuinya hukum adat dalam peraturan tersebut,
maka secara tidak langsung pengaturan tersebut mengakui pula Masyarakat Hukum Adat
yang merupakan subjek dari hukum adat. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia,
pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat dikukuhkan
dalam konstitusi yaitu Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Ini merupakan model pengakuan
terhadap Masyarakat Hukum Adat yang ideal sebab pengakuan yang dilakukan tidak
hanya mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adatnya namun juga mengakui
keberadaan daerah istimewa yang menjadi hak asal-usul Masyarakat Hukum Adat
tersebut.
Dalam perkembangannya terjadi dinamika pengakuan dan perlidungan terhadap
keberadaan Masyarakat Hukum adat dalam peraturan perundang-undangan nasional,
dimana terdapat masa kelam dan masa kejayaan terhadap pengakuan dan perlindungan
Masyarakat Hukum Adat. Periode kelam tersebut dimulai sejak diundangkannya
Undang-Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 tahun 1979 yang memerintahkan
penyeragaman bentuk dan struktur Desa di seluruh wilayah Indonesia, sehingga tidak
lagi diakui bentuk desa adat yang merupakan wilayah ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Dengan tidak diakuinya wilayah ulayat tersebut, maka artinya tidak diakui lagi
keberadaan dari subjek wilayah ulayat tersebut, yaitu Masyarakat Hukum Adat. Namun
dikemudian hari, UU Pemerintahan Desa tersebut dicabut dengan diterbitkan Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999.
29 Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang
Pemerintahan desa.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
15
Universitas Indonesia
2. Pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat nyatanya
tidak memberikan impilikasi langsung terhadap perlindungan pelaksanaan Hak
Ulayatnya.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional saat ini, pengaturan tentang tanah ulayat
diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang lahir pada tahun 1960 dan pengaturan
terhadap hutan ulayat/hutan adat diatur dalam Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.
Pengaturan mengenai tanah ulayat mengalami kendala yang paling besar, sebab
pengaturan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut tidak menjamin pelaksanaan
Hak Ulayat atas tanah dengan baik.
Sedangkan perlindungan dan pengakuan terhadap hutan adat atau hutan ulayat dalam
peraturan perundang-undangan nasional mengalami kemajuan yang siginifikan semenjak
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui
keberadaan Hutan Adat terpisah dari Hutan Negara. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi
ini penting sebab pengakuan terhadap Hutan Adat menjadi pengukuhan terhadap Hak
Ulayat atas hutan. Meskipun pada pelaksanaanya keputusan Mahkamah Konstitusi ini
masih sulit dilakukan sebab beberapa peraturan pelaksananya masih belum menyesuaikan
dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi ini.
3. Dinamika pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Ulayatnya mengalami masa pasang surut dari masa ke masa. Puncak kejayaan pengakuan
terhadap Masyarakat Hukum Adat terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar
1945 sebelum amandemen, namun yang terjadi sekarang adalah pengakuan bersyarat
yang mencederai hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Kondisionalitas
pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat menimbulkan diskriminasi
terhadap Masyarakat Hukum Adat yang kemudian berdampak pada kerugian sosial-
ekonomi, politik dan hukum. Syarat-syarat yang diajukan oleh negara dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, mengindikasikan keengganan negara untuk
melindungi eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya bahkan negara
cenderung mencugai keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagi ancaman integrasi
nasional.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
16
Universitas Indonesia
Saran
Dari kesimpulan-kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut,
1. Negara perlu melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
Pasal 18 B ayat (2) hal ini penting sebab pengakuan bersyarat yang dilakukan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen tidak dapat melindungi eksistensi dan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Amandemen ini diharapkan dapat
“mendekonstitusionalisasi” kondisionalitas pengakuan yang saat ini berlaku sehingga
rumusan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dikembalikan ke konsep pengakuan yang
dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
2. Dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang telah
merugikan hak konsitusional Masyarakat Hukum Adat seperti Undang-Undang Pokok
Agraria dan Undang-Undang Sumber Daya Air sehingga tidak ada lagi norma hukum yang
mencederai hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat.
3. Dibentuk Undang-Undang serta Peraturan Pemerintah baru yang secara spesifik mengatur
perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan pokok pemikiran para pendiri negara ini dalam Penjelasan
Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen.
Daftar Referensi
Buku
Alting, Husen. Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Hukum Indoensia atas Tanah, Yogyakarta : Laksbang Pressindo. 2010.
Ardilaga, Roestandi. Hukum Agraria Indonesia Teori dan Praktek. Bandung : N.V. Masa
Baru, 1962.
Arizona, Yance. Eds Antara Teks dan Konteks : Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap
Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta : Huma, 2010.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
17
Universitas Indonesia
Asshidiqie, Jimmly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Depok : Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI. 2004.
Bzn, B. Ter Haar. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng Soebakti
Poesponoto. Jakarta : Pradnya Paramita,1994.
Hadikusuma, Hilman. Sejarah Hukum Adat Indonesia, Bandung : Alumni, 1978.
Hutagalung, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Hukum Tanah. Jakarta : Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan
Perlindungan Hak . Jakarta : Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Nurtjahjo, Hendra. Ilmu Negara : Pengembangan Teori Bernegara dan Suplem, Ed.1.,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Zakaria, R. Yando. Abih Tandeh : Masyarakat Desa Dibawah Rejim Orde Baru, Jakarta :
ELSA, 2000.
Sepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 2007.
Setiady,Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Alfabeta, 2008.
Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat Indonesia, Jakarta :
UNDP, 2006.
Soekanto dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung : Alumni, 1981.
Soekanto, Meninjau Hukum dat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum
Adat, Jakarta : CV Rajawali,1985.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Jakarta : Rajawali Press, 2001.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
18
Universitas Indonesia
_________________. Pengantar Penelitian Hukum Cet3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia,1986.
_________________.. Hukum Adat Indonesia. Jakarta :Raja Grafindo Persada,2003.
Sudiyat, Imam Hukum. Adat Sketsa Asas. Yogyakarta : Liberty,1981.
______, Imam. Asas-Asas Hukum Adat : Bekal Pengantar. Yogyakarta : Liberty,1978.
Jurnal
Saleo, Admon “Pengakuan Masyarakat Adat Tentang Hak Ulayat”, Lex Privatum II : 1.
2001.
Arizona, Yance. “Hak Ulayat : Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme
Indonesia” Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 2, Juli 2009
Matuankotta, Jenny K “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dalam Mempertahankan Sumber
Daya Alam”, Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Pattimura Volume II Nomor 1, Juni 2010.
Skripsi, Tesis Dan Laporan Penelitian
Elmiyah, Nurul “Negara dan Masyarakat Adat : Studi Mengenai Hak atas Tanah dan Hasil
Hutan di Mamahak Besar dan Long Bangun, Kalimantan Timur” Disertasi Doktor
Universitas Indonesia, 2003.
Nurtjahjo, Hendra Sophian, Martabaya dan Novrizal Bahar, Laporan Hasil Penelitian : Legal
Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah
Konstutusi. Depok : Pusat Kajian HTN FHUI , 2007.
Internet
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), “Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat versi AMAN”
http://www.aman.or.id/, diakses pada 2 Desember 2014.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
19
Universitas Indonesia
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online , http://kbbi.web.id/-is%20itas, diunduh 9 Agustus
2014
Kamus Merriam Webster Online, http://www.merriam-webster.com/thesaurus/conditional,
diunduh pada 28 Desember 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
________________, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 3886.
________________, Undang-Undang tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Lembaran Negara Nomor 2043.
________________,Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5
tahun 1979. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 3153.
________________,Undang-Undang Nomor tentang Pemerintahan Daerah. Undang-
Undang 22 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 60. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 3839.
________________,Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125.
________________, Undang-Undang tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999. Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888.
Kementrian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Agraria tentang Pemoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 tahun 1999.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
20
Universitas Indonesia
Kementrian Negara Dalam Negeri Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 35/PUU-
X/2012, tanggal 26 Maret 2013.
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014