Post on 06-Mar-2019
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Umum
2.1.1 Teori Komunikasi Massa
a. Pengertian
Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan
teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak.
Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang
sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus
akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka
dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator
yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat.
Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika
diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui
media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen
dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi
massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum,
jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja.
Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah
seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak.
Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi
13
massa dalam proses pengkomunikasiannya menggunakan suatu medium (media
massa) – baik media cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi,
dan film), sekarang bahkan sudah ada media cyber / online yakni internet.
Komunikasi massa relative memakan biaya yang lebih mahal karena
kompleksnya peralatan yang dibutuhkan untuk membiayai medianya. Selain itu
biasanya media massa dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang
delembagakan, dan ditujukan kepada sejumlah besar otang yang tersebar di
banyak tempat, anonym, dan heterogen.6 Adapun secara sederhana fungsi
komunikasi massa sendiri adalah;
1. To inform (menginformasikan)
2. To entertaint (memberi hiburan)
3. To educate (mendidik)
4. To persuade (membujuk)
5. transmission of the culture (transmisi budaya)
Menurut McQuail terdapat beberapa asumsi pokok yang menyangkut
akan arti penting media massa7 beberapa asumsi tersebut adalah:
1. Media merupakan asumsi yang berkembang dan kerap kali mengalami
perubahan. Media juga telah berkembang menjadi suatu industri sendiri yang
memiliki peraturan serta norma-norma yang menghubungkan institusi
tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.
6 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Rosda, 2008), hlm.
83. 7 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 35.
14
2. Media massa merupakan alat control, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat.
3. Media massa merupakan sarana untuk menampilkan pristiwa-peristiwa
dalam masyarakat.
4. Media kerap kali berperan sebagai penunjang pengembang kebudayaan. Dan
tidak hanya pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam
pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.
5. Media telah menjadi sumber dominan bagi masyarakat untuk memperoleh
gambaran dan citra realitas sosial.
b. Ciri-ciri Komunikasi Massa
Adapun jika disimpulkan dari penjelasan pada sub-bab sebelumnya, dapat
diuraikan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Komunikator dalam komunikasi massa melembaga
- Komunikan dalam media massa bersifat heterogen
- Pesannya bersifat umum
- Komunikasinya berlangsung satu arah
- Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
- Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper
Dari ciri-ciri diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak semua komunikasi satu
arah yang dilakukan di khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai komunikasi
massa.
15
c. Dimensi Komunikasi Massa
Dalam analisis media massa dikenal adanya dua jenis dimensi
komunikasi), yaitu8:
- Dimensi pertama
Dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta
institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan media
dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
agama, seni, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan
tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan
terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan
dengan media. Pendekatan ini merupaka dimensi makro dari teori
komunikasi massa.
- Dimensi kedua
Dimensi ini melihat kepada hubungan antara media dengan audiens, baik
secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antar
media dan audiens, terutama menekankan pada individu-individu dan
kelompok sebagai hasil interaksi dengan media. Pendekatan ini disebut
sebagai dimensi mikro dari teori komunikasi massa.
8 Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 161.
16
d. Pengaruh Media Massa
Komunikasi massa harus bisa menjelaskan berbagai fenomena yang
berkaitan erat dengan aktivitas manusia. Karena itu media massa merupakan alat
utama dalam komunikasi massa. Media massa berperan penting dalam proses
komunikasi massa dan berpengaruh dalam membangun opini rakyat. Hal ini
serupa dengan pendapat McDevitt yang menyatakan bahwa;
“Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Dan Lindsey yang berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat”9 Contoh sederhana dari pengaruh media massa ini adalah misalnya ketika
ada pemberitaan mengenai bencana kelaparan di Afrika, secara emosional tanpa
disadari audiens telah dipengaruhi. Mereka yang menyaksikan pemberitaan
tersebut kerap kali merasa iba dan terenyuh melihat kondisi anak-anak Afrika
yang menderita kekurangan gizi, padahal audiens tidak menyaksikan kejadian
tersebut secara langsung melainkan melalui media televisi atau mungkin koran.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita lihat bahwa media seringkali
dimanfaatkan sebagai media pencitraan. Lembaga-lembaga atau oknum-oknum
tertentu bahkan memanfaatkan kekuatan media yang satu ini untuk
menampilkan image atau sosok mereka yang berbeda untuk dikenal oleh
masyarakat. Seperti misalnya pada masa kampanye untuk pemilihan umum,
banyak kita dapati tokoh-tokoh masyarakta yang ikut serta sebagai calon
9 Sumber: http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa; 08.34; 20
Maret 2012.
17
presiden melakukan berbagai wawancara ekslusif di televisi. Padahal mungkin
jika tidak sedang dalam rangka pemilu, jarang untuk melihat penampilan tokoh
tersebut di televisi secara eksklusif. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa komunikasi massa dipengaruh dan mempengaruhi lingkungan sosial
masyarakat.
2.1.2. Film
a. Pengertian
Berdasarkan undang-undang perfilman tahun 2009 disebutkan bahwa
film merupakan karya seni budaya yang termasuk pranata sosial dan media
komunikasi massa yang dibuat berdasarkan ketentuan sinematografi dengan atau
tanpa suara dan dapat dipertunjukan (dipertontonkan kepada khalayak banyak).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki 3 makna,
yaitu: 1) film sebagai karya seni dan budaya; 2) film sebagai pranata sosial; dan
3) film sebagai media komunikasi massa. Film yang dimaksudkan dalam
undang-undang itu adalah film yang berupa cerita dan non-cerita.
Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk
film eksperimental dan animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan).
Sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi penyampaian informasi,
termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film
18
eksperimental (abstrak), film seni, film pendidikan, dan film documenter
(nyata).10
Sebenarnya film mempunyai banyak pengertian yang dapat dijelaskan
secara lebih mendalam. Film merupakan salah satu media komunikasi massa
yang menggabungkan antara aspek audio dan visua, meskipun pada awalnya
film sendiri tidak mengandung unsure audio (film bisu). Sekilas sama seperti
televisi, namun yang menjadi perbedaan antara film dan televisi adalah, televisi
cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui
program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan.
Film sendiri lebih terfokus kepada satu inti atau tema sebuah cerita, yang
baik secara tersirat maupun tersurat mencerminkan realita sosial yang terjadi di
sekitar lingkungan tempat film itu diciptakan. Bahkan dalam film fiksi ilmiah
atau kartun animasi, tetap ada nilai-nilai yang berasal dari realita yang
dimasukan. Hanya saja banyak sedikit porsinya, berbeda-beda di setiap film.
b. Asas Film
Film kini sudah menjadi sebuah industri besar, yang mengutamakan pada
eksistensi para bintangnya serta daya tarik ceritanya sendiri yang mampu
menarik perhatian banyak orang. Dan meskipun sama seperti buku dan sinetron
yang juga menyajikan cerita, film memiliki nilai esensi serta asasnya sendiri,
yakni:
10 Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm. 155.
19
1. Asas Industri
Jika dilihat dari sisi industrial film mempunyai asas industri, karena pada
dasarnya meskipun film diproduksi untuk menyampaikan suatu pesan atau
cerita tertentu, namun ada juga harapan agar dapat mencetak suatu
kesuksesan dalam bentuk nilai material. Lagipula terkadang apabila kita jeli
dalam menyaksikan sebuah film, secara tersirat akan nampak produk-produk
sponsor tertentu yang ditampilkan secara sepintas di film, hal ini dikenal
dengan istilah ‘build in’.
2. Asas Sinematografi
Asas lain juga yang ada dalam film yang membedakan film dengan cerita
lain adalah asas sinematografi. Asas sinematografi sendiri merupakan asas
yang identik dengan film, karena asas ini sangat berkaitan dengan
pembuatan film. Asas sinematografi sendiri memiliki acuan berdasarkan
scenario dan bersangkutan dengan bagaimana tata letak kamera dan
pengambilan gambar dalam film, tata artistik, serta peraturan pembuatan
film lainnya
c. Unsur Pembentukan Film
Dalam film terdapat dua unsur utama, yakni; Unsur Naratif dan Unsur
Semantik.11 Unsur naratif adalah materi atau bahan olahan. Dalam film cerita
yang dimaksud dengan unsur naratif itu adalah penceritaannya, mencacakup
11 Bambang Supriadi, Unsur-unsur Pembentuk Film, (Jakarta: IKJ, 2010)
20
unsure intrinsik film seperti: latar, alur, penokohan, naskah, dan jalan cerita.
Sementara yang dimaksud dengan unsur sinematik adalah cara atau dengan gaya
seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur Sinematik sendiri terdiri dari
beberapa aspek :
- Mise en scene atau secara sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu
yang berada di depan kamera (artistic, tata cahaya, kostum, pergerakan
aktor)
- Sinematografi (Pengambilan gambar)
- Editing
- Suara
d. Genre Film
Genre film adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk
menggolaongkan film pada criteria-kriteria tertentu. Namun sebenarnya todak
ada peraturan yang baku atau tertulis sebagai kriteria untuk menggolongkan
genre film. Semuanya itu berdasarkan pendapat penonton, dan sedangkan
pendapat penonton itu kadang labil dan berubah-ubah. Maka dari itu genre dari
suatu film pun sebenarnya dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan
penonton. Namun demikian tetap saja suatu film digolongkan kedalam genre
tertentu untuk membantu penonton dalam mengetahui gambaran umung tentang
film apa yang akan dia saksikan. Tidak ada kategori tertentu yang dapat dipakai
untuk membuat definisi dan batasan genre film secara memuaskan. Hal itu
pulalah yang membuat Yvone Tasker berpendapat bahwa genre pada dasarnya
21
adalah suatu kategori yang selalu berubah dan batasan-batasan kemurnian yang
umum tidak dapat dibuat dalam suatu konteks industry yang selalu berkembang
yang pada gilirannya mempengaruhi bentuk-bentuk narasi popular.12
Menurut Haider genre film Indonesia berbeda dengan genre film
Hollywood. Genre dalam film Indonesia didefinisikan sebagai jenis film yang
dapat dikenali melalui standardisasi latar, periode waktu, alur, dan ada atau
tidaknya unsur kekerasan atau seksualitas dan supernatural. Genre film
Indonesia biasanya digolongkan menjadi: genre legenda, genre kompeni, genre
jaman jepang, genre perjuangan, genre sentimental dan genre horror.13
Sedangkan film Hollywood cenderung memiliki genre thriller, drama, action,
sci-fi, horror, dan komedi. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
genre suatu film, yakni:
1. Formula
Setiap genre sudah memiliki formula atau pakem sendiri yang satu sama lain
tidak memiliki kesamaan, dan kalaupun ada paling hanya sedikit saja.
2. Kritikus film
Sebuah film yang dianggap bagus oleh kritikus film akan dianggap memiliki
banyak elemen yang memungkinkan dikelompokan ke dalam genre
kombinasi yang kompleks. Sebaliknya jika film itu kurang bagus, film
tersebut hanya akan memiliki satu genre.
3. Unsur Cerita
12 Ida Rochani Adi, Mitos di Balik Film Laga Amerika, (Yogyakarta: UGM Press,
2008), hlm. 63. 13 Ibid. hlm. 61
22
Menentukan genre berdasarkan unsur cerita merupakan proses penentuan
genre yang sederhana. Biasanya unsure cerita yang dipakai adalah tokoh.
Misalnya apabila ada tokoh dari cerita yang berupa alien atau makhluk asing,
genre film tersebut diasumsikan sebagai film sci-fi. Meskipun demikian
kadang hal ini kurang akurat karena sebenarnya seluruh elemen harus
diperhatikan.
4. Sekuel dan Pengulangan
Penciptaan genre sebuah film juga berhubunga erat dengan pengulangan.
Ketika sebuah film pernah mengalami sukses besar, ada kecenderungan
untuk membuat film yang serupa. Jika pengulangan itu sangat kuat sehingga
formulanya mudah dikenali, maka pengulangan tersebut telah menciptakan
sub-genre dan bahkan genre film tersendiri.
e. Kajian Film Laga
Action atau laga adalah salah satu genre umum yang ada dalam
pembagian kategori genre film. Film laga identik denggan adegan yang sarat
dengan perkelahian dan konflik yang menampilkan aksi yang menarik. Yang
dimaksudkan dengan aksi disini adalah adegan perkelahian ful-body contact
ataupun yang menggunakan persenjataan cangggih. Suatu film digolongkan
sebagai film laga apabila mayoritas adegan yang ditampilkan di film
menampilkan adegan aksi laga antara pemeran utama protagonist dengan
antagonis.
23
Intinya disini adalah alur utama film laga / action adalah pertarungan
antara kebaikan dan kejahatan. Formula ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang
baru karena pada abad pertengahan bentuk-bentuk cerita seperti ini telah
menjadi tradisi dalam karya sastra pada masa itu. Ketika menjalankan misinya,
biasanya sosok pahlawan (hero) dalam film laga harus memiliki motif tertentu,
misalnya menjaga perdamaian dunia, menyelesaikan permasalah tertentu, atau
mungkin motif pribadi seperti balas dendam atau menyelamatkan seseorang
yang berarti. Settingan tempat untuk film laga juga biasanya adalah tempat-
tempat yang dramatis, dan bukan sekedar ruangan biasanya, bisa berupa alam
terbuka, gedung-gedung pencakar langit, atau mungkin lingkungan kumuh.
Pokoknya merupakan tempat-tempat dramatis yang tidak biasa.
f. Film Action (Laga) Amerika
Karena dalam skripsi ini akan membahas mengenai film Amerika maka
akan dijelaskan mengenai film Amerika. Film action di Amerika mulai
berkembang sejak tahum 1980-an dan 1990-an. Dan meskipun banyak ditonton
oleh perempuan, sebenarnya target audiens dari film laga ana adalah penonton
laki-laki yang berusia antara 13 – 30 tahun. Hal ini bisa dilihat dari kebanyakan
tokoh utama dalam film laga adalah pria. Namun di masa sekarang juga bisa kita
jumpai tokoh utama wanita, contohnya pada film “Tomb Rider”, “Wanted”, dan
“Cat Women”.
Film laga pada umumnya mudah ditebak, dimana pada akhir cerita kita
semua tahu bahwa kebaikan pasti menang melawan kejahatan. Dan pihak yang
24
jahat biasanya akan menerima ganjarannya di akhir film. Tentunya hal ini
membuat film laga menjadi tontonan yang membosankan bagi penonton jika
formula yang sama berulang-ulang kali ditawaekan. Oleh karena itu film laga
biasanya dikombinasikan dengan genre yang lain seperti drama, thriller, sci-fi,
dan sebagainya, agar film laga dapat dikemas menjadi suatu tontonan yang
menarik. Di Amerika sendiri terdapat banyak kombinasi film laga dengan genre
film lain.
2.1.3. Teori Konstruksi Sosial Media Massa
Gagasan teori ini adalah untuk mengoreksi teori konstruksi sosial atas
realitas yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann seperti
yang dijabarkan dalam buku Burhan Bungin yang berjudul Sosiologi
Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarrakat . Substansi dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckman adalah
pada proses stimultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dan aktifitas
kehidupan sehari-hari dalam komunitas primer dan semi sekunder. Dasar dari
teori ini adalah dari pengamatan yang dilakukan pada tahun 1960-an pada masa
transisi-era-modern di Amerika, dimana pada saat itu media massa belum begitu
terkenal dan menjadi suatu industri yang besar dan berpengaruh.
Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan media massa
menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan
internalisasi, teori konstriksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman ini
kemudian direvisi dan dikenal sebagai ‘teori konstruksi sosial media massa’.
25
Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media
massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran
kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi.14
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan
ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan
semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media
massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat
berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media,
menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi
berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua
kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun
penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk
terlibat dalam pembetukan konstruksi.
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki
makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh
individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu
mengkostruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas,
14 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189
26
memantapkan realitas itu berdasarkan suyektivitas individu lain dalam institusi
sosialnya.15
2.1.3.1. Representasi Melalui Media
a. Pengertian
Menurut Graeme Burton (2012) kata representasi merujuk kepada
penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang
penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang
dikonstruksi dibaliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses
pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang
dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia. Adakalanya
representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentuk-
bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu ‘kebenaran’ dalam realitas.
Jika digambarkan hubungannya akan menjadi seperti ini:
REPRESENTASI Penampilan Perilaku MAKNA Mitos-mitos Kekuasaan
Gambar 2.1 Representasi dikaitkan dengan makna
15 Ibid, hlm. 189.
27
Berdasarkan gambar diatas, dapat kita lihat bahawa representasi
diwujudkan dalam bentuk penampilan dan perilaku yang mengandung suatu
makna tertentu. Adapun makna dari representasi tersebut berkaitan dengan
mitos-mitos ataupun motif kekuasaan.
b. Sudut Pandang
Representasi dalam media visual dikonstruksikan dari sudut pandang
tertentu. Menurut Burton (2012) sudut pandang ini memiliki 2 makna;
1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harafiah, yaitu sudut pandang
yang digambarkan dalam media. Misalnya dalam suatu frame gambar, baik
itu foto maupun film, sudut pandang yang tinggi pada suatu jarak objek
memiliki efek berupa menjauhkan kita dari objek tersebut, sehingga
menjadikan kita sebagai pengamt objek dan bukannya subjek partisipan.
2. Pemahaman lainnya tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan
intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media.
Stuart Hall mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi yang
dapat diringkas sebagai berikut16:
1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi
yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita.
2. Intensional; yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator / produser
representasi tersebut.
16 Greame Burton, Media dan Budaya Populer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 141
28
3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi
dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.
Adapun dalam menginterpretasikan suatu representasi tertentu
memungkin adanya interpretasi yang beragam dan tidak menutup kemungkinan
bahwa representasi tersebut akan saling berseberangan.17
c. Pandangan Representasi
Terdapat dua pandangan yang cukup menonjol tentang bagaimana
media bekerja dengan representasi yakni; determinisme dan fungsionalisme.
Untuk penjelasannya dapat kita lihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Pandangan tentang bagaimana media bekerja dengan representasi
Pandangan REPRESENTASI
Realitas Sosial
DETERMINISME
Pengkonstruksian
pandangan tentang apa yang
terjadi di luar sana
FUNGSIONALISME Merefleksikan pandangan
apa yang terjadi di luar sana
17 Akun, Surga Dalam Nimesis: Representasi Surga Dalam Cerpen ‘Sang Pendeta dan
Kekasihnya’ Karya yukio Mishima, Jurnal Humaniora, vol. 1, no.2, Oktober 2010, hlm. 400.
29
Berdasarkan penjelasan dari tabel dapat kita lihat bahwa representasi
dalam media sendiri terdiri atas dua konsep, yang pertama jika dilihat
berdasarkan pandangan determinisme, representasi berupa gambaran akan realita
yang dikonstrukikan atau diatur. Sedangkan yang kedua, yaitu pandangan
fungsionalisme, representasi yang merefleksikan apa yang terjadi dalam realita
sosial sesungguhnya
2.2. Teori Khusus
2.2.1. Pemahaman Amerika Sebagai Negara Adikuasa
a. Pengertian Adikuasa atau ‘Superpower’.
Negara adikuasa atau negara didaya yang dalam bahasa inggris disebut
dengan istilah ‘superpower’. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
kuasa memiliki pengertian; (1) Kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat
sesuatu); (2) Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,
mewakili, mengurus, dsb). Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa kuasa
itu sendiri merupakan suatu posisi ‘istimewa’ karena memiliki kewenangan
untuk mengatur bahkan memerintah sesuatu, namun demikian kewenangan
tersebut tidak serta-merta muncul begitu saja, tapi juga disertai dengan
kesanggupan dan kemampuan untuk mengemban kewenangan itu sendiri.
30
Seperti apa yang dikatakan oleh John Rothgeb18: ‘‘power is found only
when members of the international system interact with one another”,
maksudnya disini adalah kekuasaan ditemukan hanya ketika anggota dari sistem
internasional berinteraksi satu sama lain. Jadi kekuasaan itu sendiri didapatkan
ketika terjadi adanya interaksi yang terjadi secara internasional. Dengan adanya
interaksi tersebut, tentunya pihak yang memiliki kapabilitas lebih tinggi akan
dapat menyatakan dirinya secara terbuka dan mendapatkan pandangan atau
‘pengakuan’ dari pihak lain.
Konsep adikuasa pertama kali menyebar yakni pada masa perang dingin.
Konsep ini dikemukakan oleh sarjanawan Amerika William T. R. Fox dalam
bukunya yang terbit pada tahun 1944. Adapun Fox tidak menemukan konsep ini
seorang diri, terlebih dulu pada tahun 1936 kata adikuasa ini telah digunakan
oleh seorang Amerika juga yang bernama John Dos Passos. Dos Passos
mengartributkan konteks adikuasa kepada seorang pengusaha Amerika yang
sangat berkuasa di sekitar akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20. Dos
Passos meggunakan kata adikuasa untuk mendeskripsikin kerajaan bisnis
pengusaha tersebut yang berbasis pada monopoli usaha gas dan listrik.
Meskipun tidak menemukan konteks adikuasa itu sendiri, bagaimanapun
William Fox dapat diklaim sebagai orang yang pertama kali menerapkan konsep
adikuasa tersebut secara spesifik untuk relasi internasional.
18 Ken Aldred & Martin A. Smith, Superpowers in the Post-Cold War Era, (Great
Britain: 1999, MacMillan Press Ltd.), hlm. 1.
31
Menurut Fox, adikuasa internasional lebih dari sekedar kepemilikan
suatu negara terhadap artibut kekuasaan: militer, ekonomi, politik, dan ideologi.
Status adikuasa, dengan kata lain, diperoleh bukan hanya berdasarkan apa yang
dimiliki oleh suatu negara, tetapi apa yang telah dilakukan atau telah
dipersiapkan untuk dilakukan. Fox kemudian menambahkan; kekuatan besar
ditambah dengan mobilitas kekuatan yang besar, itulah yang menggambarkan
‘superpower’.
b. Unsur Negara Adikuasa
Seperti apa yang telah apa dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa kekuatan suatu negara dapat dilihat dari tiga unsure, yakni: ekonomi,
militer, dan politik. Dari ketiga unsur tersebut Hans J. Morgenthau dalam
bukunya Politics Amoung Nations menyebutkan lagi secara sperifik bahwa
kekuatan negara memiliki sembilan unsur, yaitu: (1) Geografi; (2) Sumber
pendapatan alami untuk makanan dan bahan mentah; (3) Kemampuan industri;
(4) Military preparedness seperti teknologi, kepemimpinan, kualitas, dan
kuantitas angkatan perang, (5) populasi yang terdiri dari persebaran dan
kualitasnya, (6) karakter nasional; (7) moral nasional; (8) kualitas diplomasi; dan
(9) kualitas pemerintahan.19
19 Sumber: http://newzeanando.wordpree.com/2008/06/12/potensi-selandia-baru-
sebagai-negara-adikuasa; 3.47; 28 Mei 2012.
32
c. Amerika Sebagai Adikuasa
Cikal bakal Amerika muncul sebagai negara adikuasa berawal ketika
masa perang dunia II. Ketika itu terdapat dua negara adikuasa yang muncul
sebagai negara pemenang perang yang berhasil mengalahkan blok fasis (Jepang,
Jerman, dan Italia), yakni Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki
pandangan yang berbeda secara ideologis, Amerika Serikat yang berideologi
kapitalis-liberal dengan Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Kedua
negara itupun kemudian bersitegang dan berkompetisi secara politik dan militer
Akibatnya dunia terpecah menjadi dau antara blok barat (Amerika Serikat) dan
blok timur (Uni Soviet). Inilah yang menyebabkan adanya perang dingin. Baru
kemudian pada tahun 1991 Uni Soviet terpecah dan banyak negara-negara yang
tergabung dengannya memerdekan diri, membuat Amerika Serikat yang masih
bertahan keluar sebagai pemenang perang dan tetap memikul predikat sebagai
negara adikuasa.
Sejak saat itu Amerika menjadi satu-satunya negara adikuasa yang
melibatkan diri di begitu banyak peristiwa internasional. Baik untuk misi
perdamaian, maupun misi-misi kemanusiaan, dan hak asasi, serta kegiatan
internasional lainnya
Pada masa sekarang ini meskipun telah terjadi begitu banyak
perkembangan dunia baik dari segi ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan
sebagainya, banyak negara-negara yang tadinya berkembang kini muncul
sebagai competitor Amerika. Salah satu negara yang nampak mencolok
pertumbuhannya adalah Cina. Cina bahkan disebut-sebut sebagai calaon negara
33
adikuasa berikutnya. Namun setelah sekian lama memegang predikat negara
adikuasa, Amerika terlihat masih tetap bisa bertahan. Meskipun tidak diketahui
sampai berapa lama lagi.
2.2.2. Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, ‘semeion’ yang berarti tanda,
atau ‘seme’ yang berarti penafsir tanda.20 Secara sederhana semiotik dapat
diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajii tanda. Sampai
sekarang kajian semiotik dibedakan menjadi dua, yakni semiotika komunikasi
dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan kepada teori tentang
produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam berkomunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan,
saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan yang kedua memberikan tekanan
pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu21. Berikut
adalah rumusan istilah semiotik:
S ( s, i, e, r, c )
S = Semiotic Relation (hubungan semiotik)
s = Sign (tanda)
i = Interpreter (penafsir)
e = Effect (pengaruh)
20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 16.
21 Ibid, hlm. 15.
34
r = Reference (rujukan)
c = Context (konteks)
Berdasarkan rumusan diatas dapat diartikan bahwa relasi atau hubungan
semiotika dari suatu subjek tertentu harus melihat atau mempertimbangkan
tanda, tafsiran atau makna, efek atau kira-kira pengaruh apa yang ditimbulkan,
rujukan atau referensi atau landasan penafsiran suatu makna dan pengaruhnya,
yang berdasarkan konteks tertentu (diciptakan atau dikonstruksikan). Secara
garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik
pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan
semiotik semantik (semiotic semantic).
1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda
menurut yang menerapkan tanda tersebut dan bagi yang
menginterpretasikannya, serta makna atau efek tanda tersebut bagi yang
menginterpretasikan makna tanda terebut.
2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan
‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotic. Jadi
semiotik ini mengabaikan perngaruh atau tidak memperhatikan dampak yang
dialami oleh subyek yang menginterpretasikan tanda tersebut.
35
3. Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan
‘arti’ yang disampaikan oleh tanda itu sendiri. Sehingga semiotik ini bersefat
objektif jika dibandingkan dengan dua kategori semiotik lainnya yang telah
dijabarkan sebelumnya.
2.2.2.1. Teori Semiotika Roland Barthes
Ada sederet nama tokoh dan pakar yang telah menyumbangkan pikiran
mereka dalam meneliti dan menghasilkan perkembangan teori semiotika, sebut
saja Charles Sanders Pierce, Louse Hjemslev, Saussure, dan masih banyak lagi
nama-nama lainnya. Namun pada skripsi ini, penulis hanya akan menjelaskan
dan menjabarkan mengenai teori semiotik menurut Roland Barthes. Sebab untuk
penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori semiotik Roland
Barthes sebagai landasan teori untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan
dalam skripsi ini, yang berkaitan tentang representasi Amerika sebagai negara
adikuasa dalam film Transformers: Revenge of The Fallen. Adapun teori Roland
Barthes yang dipakai karena dirasa teori ini sesuai dan mendukung penulis untuk
melakukan kajian ini.
Meskipun pada awalnya semiotika diterapkan kepada ilmu linguistic
modern, yakni ilmu yang mempelajari tentang bahasa baik tulis maupun lisan,
tapi menurut Roland Barthes, semiotika juga dapat digunakan sebagai
pendekatan untuk mempelajari ‘other than language’. Dalam konteks inilah
Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika
36
hendaknya jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika
harus menjadi ‘general science of sign’ (Sunardi: 2007). Adapun berdasarkan
pernyataan Barthes tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit analisa semiotik
sendiri mencakup: literature, film, iklan, majalah, koran, tv/radio, yang sarat
dengan tanda dan pemaknaan.
a. Denotasi dan Konotasi
Dalam teorinya Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan tentang
hubungan penanda dan petanda terhadap realitas, dan menghasilkan makna
eksplisit atau makna sebenarnya yang langsung dan pasti. Sedangkan konotasi
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya mengandung
makna yang tersirat atau tidak langsung.
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherboug dan dibesarkan di Bayonne, barat daya Perancis, adalah
seorang intelektual dan dikenal sebagai kritikus sasstra Perancis, sehingga dapat
dikatakan pengembangan teori semiotikanya banyak diaplikasikan untuk
melakukan kajian sastra. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang mencerminkanasumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu
dalam wantu tertentu.
Roland Barthes sendiri adalah seorang pemikir struturalis yang getol
mempraktekan model liguistik dan semiologi Saussarean, maka dari itu teori
semiotik Barthes ini merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand
37
De Saussure. Teori yang dikemukan Saussure cenderung mengemukakan
tentang cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
dalam menentukan suatu makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda berdesarkan
interpretasi orang yang berada dalam situasi yang berbeda. Pemikiran inilah
yang kemudian dikemukakan oleh Roland Barthes dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami personal dan cultural
orang yang menginterpretasikannya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order
of Signification”, yang mencakup denotasi (makna sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang timbul dari pengalama cultural dan personal). Inilah yang
menjadi perbedaan Saussure dan Barthes.
Sepanjang hidupnya Barthes telah menulis banyak buku, berikut adalah
beberapa buku karangannya yang membahas mengenai pandangannya dalam
bidang semiotika; pada tahun 1964 ia menerbitkan buku berjudul Elements of
Semiology (Unsur Semiologi), dalam bukunya ini ia menjabarkan tentang
prinsip-prinsip linguistic dan relevansinya dalam bidang-bidang lain, kemudian
pada tahung 1967 terbit bukunya yang berjudul The Fashion System (Sistem
Mode), buku ini merupakan suatu uji coba untuk merapkan analisa structural
atas mode pakaian wanita. Barthes menunjukan bahwa dibalik mode pakaian
wanita terdapat suatu sistem. Ia menyelidiki artikel-artikel tentang mode dalam
majalah dari tahun 1958 – 1959. Dari situ ia menafsirkan bahwa mode
merupakan suatu ‘bahasa’ dan ada sesuatu yang ingin ‘dibicarakan’ oleh suatu
38
mode tertentu terhadap apa yang tengah terjadi saat itu. Dari sini kemudian
orang-orang mulai mengembangkan teori Roland Barthes untuk dipakai dalam
kajian semiotika dalam berbagai bidang, salah satunya perfilman.
Terdapat lima kode yang ditinjau oleh Barthes dalam kajian semiotiknya,
yakni22:
- Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan audiens untuk
mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional.
- Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, yang timbul atau
dibangun oleh audiens dalam proses menyusun teks atau informasi yang
dijabarkan.
- Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas karena
menampilkan symbol-simbol tertentu untuk merepresentasikan suatu hal
yang khas.
- Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, menurut Barthes semua lakuan
dapat dikodifikasi dan memiliki makna tertentu.
- Kode gnomik atau kode cultural, kode ini merupakan acuan teks ke
benda0benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi terhadap suatu budaya
tertentu
Tujuan dari analisis Barthes ini menurut Lechte23, bukan hanya untuk
membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun
22 Ibid, hlm. 65. 23 Ibid, hlm. 66.
39
lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian
yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk
buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata.
Salah satu hal penting yang dikaji oleh Barthes dalam studinya mengenai
sistem tanda ini adalah peran pembaca atau audiens. Dikatakan bahwa konotasi
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Ia kemudian
menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.
Berikut ini gambar peta yang dibuat oleh Barhes untuk menjelaskan
bagaimana suatu tanda bekerja, berdasarkan pemahaman teori yang
dikemukakannya:
2. Signified (petanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotatif Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Gambar 2.2. Peta Tanda Roland Barthes
40
Dari peta diatas dapat dilihat tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Namun demikian pada saat yang bersamaan tanda denotative
juga adalah penanda konotatif (4). Hal inilah yang menjadi sumbangan Barthes
dalam kajian semiotik, dimana makna konotasi tidak sekedar merupakan makna
tambahan (lain) tapi juga mengandung makna denotasi yang melandasi
keberadaannya. Jadi pada dasarnya pengertian makna denotasi dan konotasi
secara umum agak berbeda dengan pemahaman Barthes. Jika menurut
pandangan umum denotasi merupakan makna harafiah atau makna sebenarnya
sedang konotasi merupakan makna tersirat, menurut anggapan Barthes denotasi
sendiri merupakan proses signifikasi tahap pertama, dan konotasi adalah
signifikasi tahap kedua. Sehingga oleh Barthes denotasi diasosiasikan dengan
ketertutupan makna, mungkin ini dikarenakan orang cenderung berhenti pada
tahap signifikasi pertama tanpa mau repot-repot memikirkan makna konotasi
tertentu dibalik suatu tanda.
b. Mitos
Dalam kajain semiotik ini, Barthes juga melihat aspek lain yang ada
dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat.
Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda
baru. Jadi intinya adalah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
41
berkembang jadi denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.24
Contohnya; pohon beringin yang lebat kerap menimbulkan konotasi ‘keramat’
karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi keramat ini lalu
berkembang dan menjadi asumsi umum dan melekat pada symbol pohon
beringin. Sehingga image pohon beringin itu keramat bukan lagi suatu konotasi
tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tahap dua. Pada tahap ini, pohon
beringin yang keramat akhirnya menjadi suatu mitos. , sehingga pohon beringin
yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi
pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat”
akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
2.2.2.2. Semiotika Film
Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis
semiotika. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh van Zoest (Sobur,
2009:128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda itu termasuk
berbagai sitem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Ini tentunya berbeda dengan gambar fotografi yang statis, rangkaian
gambar dalam film cenderung mengasilkan imajinasi yang sarat dengan
penandaan. Van Zoest menjelaskan:
Di sini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dan music film yang mengiringiny. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan
24 Sumber: http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012
42
gambar-gambarnya. Suara, sama seperti gambar, merupakan unsure dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan, dan dianalisis, dengan cara yang juga sebanding. Suara, sebagai tanda, terjalin sangat erat hubungannya dengan tanda gambar. Suara bersama tanda gambar membuat tanda-tanda yang kompleks. Tanda-tanda kompleks ini memang ikonis, tapi kekuatan keberadaannya pada akhirnya diperoleh dari indeksikalitas. Karena realitas yang ditampilkan seluruhnya atau sebagian, tidak hanya mirip, tapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.25 Oleh karena itu menurut Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul
Semiotika Komunikasi, gambar yang dinamis dalam film merupakan ikoniis
bagi realitas yang dinotasikannya. Sobur juga mengatakan bahwa film pada
umumnya dibangun dengan banyak tanda. Film juga pada dasarnya melibatkan
bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang
sedang disampaikan. Metafora visual seringkali menyinggung objek-objek dan
simbol-dimbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial budaya.
Jadi dalam mengkaji tanda-tanda dalam film melalui kajian semiotika,
kita dapat menelaah lebih jau makna suatu film lebih daripada jalan ceritanya.
Dalam film kita dapat melihat aspek-aspek idelogi, kultur, nilai-nilai, ataupun
fenomena yang terjadi dalam realita. Seringkali tanda-tanda dalam film ini
menjadi agak bias dikarenakan pengemasan film yang sangat mendukung,
sehingga fokus penonton sering kali tertuju kepada jalan cerita film tersebut
daripada makna-makan yang tergambar dibalik simbol-simbol yang ditampilkan
dalam sepanjang pemutaran film.
Simbol-simbol inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun
realitas dalam film yang meskipun bertolak dari relita dunia nyata, namun
25 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 129
43
dipilah-pilah sedemikianrupa sehingga menjadi realitas film tersendiri,
disesuaikan dengan tujuan pembuatan film tersebut. Perhatikan tabel berikut:
Tabel 2.2 Tanda Dalam Film
Objek Konkarya Karya
Entitas Visual / Tulisan Visual / Tulisan Tulisan
Fungsi
Elemen tanda yang
mempresentasikan
objek atau pesan
yang difilmkan
Elemen tanda yang
memeberikan (atau
diberikan) konkarya
dan makna pada
objek yang difilmkan
Tanda linguistik
yang berfungsi
memperjelas dan
memberikan
makna (anchoring)
Elemen Signifier / Signified Signifier / Signified Signified
Tanda Tanda semiotik Tanda semiotik Tanda li nguistik
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa film seutuhnya terdiri dari tanda-
tanda yang didasarkan pada ketiga elemen diatas: Objek (objek yang difilmkan),
Konkarya (konteks atau dasar ruang film), dan Karya (berupa tulisan untuk
memperkuat makna). Ketiga hal itu saling berkaitan dalam membangun sebuah
film menjadi suatu jalinan yang utuh, meskipun yang terakhir tidak selalu ada.
Jadi bisa dikatakan yang membangun sistem tanda secara dominan dalam film
adalah objek dan konkarya.
Berdasarkan unsure pembentukan film, khususnya unsure naratif yang telah
dijelaskan pada sub-bab teori film, penulis menyimpulkan bahwa untuk menganalisa
semiotika film dapat dilihat dari unsur:
44
a. Setting
• Ruang atau tempat gambar diambil,
• Kegiatan yang dilakukan oleh pemain,
• Simbol-simbol yang ditonjolkan,
• Fungsi serta maknanya
b. Casting
• Karakter pemain,
c. Captions
• Peggunaan bahasa dalam dialog maupun
• Voice over dan
• Visualisasi yang ditonjolkan dalam film tersebut
Dalam penerapannya dewasa ini, semiotik Roland Barthes memang
kerap kali digunakan oleh peneliti dalam menganalisa iklan dan film, salah
satunya adalah penelitian tentang film ‘Biola Tak Berdawai” produksi Kalyana
Shira Film (bekerjasama dengan Cinekom) tahun 2002, yang dilakukan oleh
Aditia Sonyaruri Hapsari (2005). Pada penelitian ini Hapsari menggunakan
analisis semiotik Roland Barthes untuk meneliti lambang-lambang yang terdapat
dalam film tersebut. Hapsari memperoleh kesan ini sarat dengan pesan-pesan
moral, terutama cinta-kasih dengan konteks yang bervariasi.
Selain nilai cinta-kasih, film berdurasi 90 menit ini juga membawa pesan moral
lain, yakni ketegaran dan kejujuran. Hal demikian ditunjukan lewat tokoh
Renjani yang walaupun sebenarnya ia seorang perempuan korban pemerkosaan
45
dan melakukan aborsi, tetap tegar menjalani hidup dengan tindakan terpuji,
yakni mendirikan panti asuhan yang menampung anak-anak cacat yang dibuang
oleh orang tuanya
2.3. Kerangka Berpikir
Film Transformers Revenge of The Fallen
Representasi Adikuasa
Film Frame Dialog
Teori Semiotik
Analisa Semiotika Roland Barthes
Denotasi Konotasi Mitos
Representasi Amerika sebagai Negara Adikuasa Dalam Film Transformers Revenge of The Fallen
Gambar 2.3. Kerangka Berpikir