Post on 11-Nov-2015
1
PARTISIPATIF: ANTARA PENDEKATAN DAN METODE1
Arief Rahman2
Abstrak
Makalah ini hendak menunjukkan pengertian yang jelas dan pembeda yang tegas antara partisipatif sebagai pendekatan dan partisipatif sebagai metode. Antara pendekatan dan metode seringkali dipertukarkan penggunaan istilahnya tanpa disertai pemahaman yang kuat mengenai pembeda antar keduanya. Pendekatan mengandung seperangkat aksioma, dan aksioma ini diterjemahkan secara prosedural ke dalam metode. Terdapat dua aksioma dalam pendekatan partisipatif (i) rasionalitas terbatas, dan (ii) kesalahan paternalistis. Kedua aksioma ini memiliki implikasi-implikasi logis yang membentuk metode partisipatif yaitu (i) meningkatkan rasionalitas keputusan dengan melibatkan masyarakat lokal secara langsung dalam proses pengambilan keputusan terkait urusan-urusan publik, (ii) guna memungkinkan partisipasi langsung, maka pendekatan partisipatif lebih banyak diterapkan pada skala mikro (RT, RW, dusun, dan desa), (iii) pemenuhan syarat perlu dan syarat cukup, syarat perlu-nya adalah masyarakat yang berdaya sehingga dapat menjadi mitra yang konstruktif dalam proses-proses pengambilan keputusan publik, syarat cukup-nya adalah kesediaan pemerintah untuk mendistribusikan ulang kekuasaan sehingga partisipasi warga disertai dengan kewenangan yang memadai, (iv) pemenuhan syarat perlu melalui pelibatan pihak luar untuk mendampingi, mengorganisir, menguatkan, dan memberdayakan masyarakat sehingga pendekatan partisipatif bukanlah mengarusutamakan masyarakat dan meniadakan keberadaan pihak luar, (v) metode partisipatif menjadi memiliki makna justru karena keberadaan pihak luar bersama masyarakat lokal, ketika masyarakat lokal dalam derajat tertentu telah berdaya, maka keterlibatan pihak luar berikut metode partisipatifnya sudah tidak lagi diperlukan, dan (vi) pemenuhan syarat cukup melalui kesediaan pemerintah untuk mendistribusikan ulang kekuasaannya kepada masyarakat lokal dalam proses-proses pengambilan keputusan publik.
PENDAHULUAN
Sebelumnya harus saya ingatkan bahwa percuma jika anda mencari lema
partisipatif di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring3. Tetapi sudah
diterima secara umum bahwa terjemahan dari kata participatory adalah partisipatif.
Participatory sendiri adalah adjektiva, kata sifat atau kata yang menerangkan nomina
(kata benda). 1 Dipersiapkan untuk Pelatihan Aspek Sosial dan Ekonomi dalam Konsolidasi Tanah, kerjasama dengan Direktorat Konsolidasi Tanah, Badan Pertanahan Nasional, Bogor, 22 25 April 2013 2 Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Komunitas, P4W-LPPM IPB, arief@p4w-ipb.com 3 Menggunakan pangkalan data dari KBBI edisi III
2
Sebagai adjektiva, maka kata partisipatif senantiasa digandengkan dengan
nomina yang diterangkannya. Itu pula sebabnya mengapa partisipatif di dalam judul
makalah ini saya beri tanda kutip, karena adjektiva, menurut tata bahasa, tidak boleh
berdiri sendiri.
Ada partisipatif yang digandengkan dengan pendekatan, ada yang digandengkan
dengan metode, dan ada pula yang dengan teknik. Apakah antara pendekatan,
metode, dan teknik ini memang berbeda secara substansial?
PARTISIPATIF SEBAGAI PENDEKATAN, SEBAGAI METODE, DAN SEBAGAI TEKNIK
Perhatikan apa yang disampaikan Anthony (1963, diacu dalam Richards dan
Rodgers 2001):
The arrangement is hierarchical. The organizational key is that techniques carry out a method which is consistent with an approach
An approach is a set of correlative assumptions An approach is axiomatic. It describes the nature of the subject
Method is an overall plan , no part of wich contradicts, and all of which is based upon, the selected approach. An approach is axiomatic, a method is procedural.
Within one approach, there can be many methods
A technique is implementational It is a particular trick, stratagem, or contrivance used to accomplish an immediate objective. Techniques must be consistent with a method,
and therefore in harmony with an approach as well.
Jadi, pendekatan (approach) adalah seperangkat aksioma (pernyataan yang dapat
diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian), dan aksioma-aksioma ini menjadi dasar
acuan pengembangan metode yang sifatnya prosedural, lebih seperti rencana yang
memuat tahapan-tahapan, yang untuk selanjutnya dikembangkan lagi menjadi teknik-
teknik yang sifatnya implementatif guna menghasilkan output-output jangka pendek.
Jadi, teknik akan senantiasa konsisten dengan metode, dan keseluruhannya selaras
dengan pendekatan yang digunakan.
Aksioma dalam Pendekatan Partisipatif
Aksioma ini, selain perlu diterima sebagai kebenaran, juga perlu dipandang sebagai
ruh/jiwa yang memberi hidup mulai dari lahirnya pendekatan partisipatif hingga
3
perkembangannya saat ini. Terdapat dua aksioma utama yang menjadi ruh pendekatan
ini:
Bounded rationality (rasionalitas terbatas)
Bounded rationality ini awalnya lahir dari ilmu ekonomi, khususnya dalam teori
pengambilan keputusan. Sebagai agen ekonomi, mulanya manusia diasumsikan
memiliki rasionalitas penuh (comprehensive/fully rationality) dalam menentukan
pilihan, dimana pilihan yang dijatuhkan adalah pilihan yang menghasilkan
keuntungan (atau utilitas) paling tinggi dibanding alternatif lainnya.
Sepertinya perilaku manusia memang demikian adanya. Akan tetapi, untuk dapat
menghasilkan keputusan yang paling tinggi tingkat utilitasnya, maka ada syarat-
syarat yang harus dipenuhi yaitu:
a. Seluruh alternatif yang ada harus teridentifikasi;
b. Kalkulasi atas segala bentuk implikasi dari masing-masing alternatif;
c. Tidak ada faktor selain rasionalitas (seperti emosi, atau ilusi kognitif) yang mengontrol keputusan.
Syarat-syarat ini, dalam dunia nyata, sulit (atau tidak mungkin) terpenuhi.
Keterbatasan kemampuan kognitif menyebabkan manusia tidak dapat
mengetahui seluruh alternatif yang mungkin, atau hanya dapat fokus dan
mencerna beberapa alternatif saja sedangkan lainnya yang dianggap kurang
penting ditepikan. Keterbatasan kemampuan kognitif juga menyebabkan
manusia tidak dapat menghitung derajat seluruh variabel dalam mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh masing-masing alternatif. Dan ketika pilihan sudah
dijatuhkan, seringkali pertimbangan rasional tidak melulu mendasarinya, ada
dorongan emosional, bahkan ilusi kognitif 4 yang menghalangi bekerjanya
rasionalitas secara penuh.
4 Secara rasional, merokok dipahami sebagai aktivitas yang tidak ada manfaat kecuali mudharatnya. Tetapi, banyak orang yang memahami hal ini tetapi tetap juga merokok. Ini menjadi contoh dorongan selain rasio terhadap perilaku. Ilusi kognitif dapat dicontohkan dengan penyajian alternatif sama dengan cara yang berbeda, satu menggunakan istilah positif (mis. jumlah jiwa yang dapat diselamatkan oleh sebuah vaksin), lainnya menggunakan istilah negatif (jumlah jiwa yang mungkin tidak terselamatkan). Penyajian secara berbeda akan mempengaruhi keputusan yang diambil, meskipun secara substansi sama.
4
Ini adalah penghalang dari sisi manusianya sebagai pengambil keputusan. Ada
pula penghalang dari sisi lingkungan (environment), yaitu kondisi lingkungan
yang dipenuhi ketidakpastian (uncertainty) (Jones 1999). Kondisi penuh
ketidakpastian ini lebih ekstrem dibanding kondisi penuh risiko (risks), karena
pada risiko, distribusi peluang masih diketahui, sedangkan ketidakpastian adalah
kondisi ketika distribusi peluang tidak diketahui.
Paternalistic fallacy (kesalahan paternalistis)
Jenis kesalahan ini berpangkal mula dari asumsi bahwa birokrasi (pemerintah)
adalah pihak yang paling mengerti apa yang terbaik untuk pembangunan, dan
karenanya dapat melakukan apapun (dalam konteks pembangunan), sendirian
(Uphoff & Esman 1974, diacu dalam Cernea dalam Bhatnagar & Williams [ed.]
1992). Kesalahan pikir ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi di
belahan dunia manapun sebagaimana dinyatakan oleh Chambers (diacu dalam
UN-Habitat 2001):
From the 1950s through the 1960s and 1970s, in the prevailing orthodoxies of development, it was the professionals who had the answers...poor and local people had
the problem,
Tentu, pertanyaan awal yang mengemuka adalah: mengapa ini disebut
kesalahan? Dan jawabannya terkait dengan aksioma pertama. Dengan kondisi
rasionalitas terbatas, bagaimana mungkin birokrasi menjadi pihak yang paling
mengerti apa yang terbaik? Dengan kondisi rasionalitas terbatas, bagaimana
mungkin birokrasi dapat melakukan segalanya dengan benar, sendirian?
Salah asumsi ini diidap oleh pemerintah sentralistis, ketika segala keputusan
pembangunan dihasilkan di atas dan diturunkan ke bawah (top down). Dan
hasilnya di lapangan semakin menegaskan bahwa pendekatan paternalistis ini
memang sebuah kesalahan, ketika banyak inisiatif pembangunan yang tidak
berkelanjutan, baik karena tidak tepat guna, tidak tepat sasaran, ataupun karena
keengganan atau ketidaksiapan masyarakat untuk melanjutkan. Tidak hanya di
5
level proyek saja, di level kebijakan pun, pendekatan paternalistis yang
digunakan bukannya menguatkan tatanan melainkan justru menghancurkannya5.
Inilah dua aksioma utama yang menjadi fondasi dalam pendekatan partisipatif, yang
membentuk metode dan teknik-teknik partisipatif. Aksioma tentunya membawa implikasi
lanjutan yang bersifat lebih operasional, sebagaimana halnya nilai dan norma yang
membentuk laku.
Implikasi Atas Aksioma
Dari dua aksioma tersebut, terdapat empat implikasi yang memberi bentuk pada
pendekatan partisipatif:
Bounded rationality irrationality, but reverse the direction
Pertama, orang dengan rasionalitas terbatas bukan berarti berperilaku irasional.
Pemahaman akan keterbatasan justru menunjukkan rasionalitas, berlawanan
dengan comprehensive rationality yang ideal tetapi tidak riil di dunia nyata.
Orang dengan rasionalitas terbatas adalah orang yang inginnya rasional
(intendedly rational), akan tetapi karena arsitektur kognitif dan emosi manusia,
seringnya gagal, dan kegagalan itu akan berdampak besar jika terjadi pada
keputusan-keputusan penting (Jones 1999). Oleh karena itu, pemahaman akan
keterbatasan justru memaksa orang berpikir untuk meminimumkan kegagalan.
Simon (1983, diacu dalam Jones 1999) menyatakan:
In detailing the general requirements of an organism operating under bounded (as contrasted with comprehensive) rationality, notes the following requisites: (a) Some
way of focus- ing attention, (b) a mechanism for generating alternatives, (c) a capacity for acquiring facts about the environment, and (d) a modest capacity for drawing
inferences from these facts.
Dalam situasi keterbatasan rasionalitas, orang membutuhkan tiga hal ini (i)
meletakkan fokus pada hal-hal (tujuan, alternatif, dan implikasi) kunci, (ii)
mekanisme untuk melahirkan alternatif-alternatif, dan (iii) kapasitas untuk
5 Sebagai contoh kebijakan paternalistis adalah UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan pemerintahan desa dan menghapus tatanan-tatanan adat yang berlaku.
6
mendapatkan fakta-fakta tentang kondisi lingkungan, serta kapasitas untuk
menarik kesimpulan terhadapnya.
Bagaimana memenuhi ketiga hal tersebut? Bagaimana mekanismenya? Jones
(1999) menyatakan:
If people are handicapped by limited cognition, and if the world is fundamentally complex and ambiguous, then it made sense for a decision maker to (a) and (c) be willing to
reverse direction based on feedback from the environment.
Reverse the direction, membalikkan arah, itulah caranya. Apa yang semula top
down, dibalikkan menjadi bottom up. Apa yang semula terakhir, dibalikkan
menjadi yang pertama (sebagaimana Robert Chambers memberi judul bukunya
pada tahun 1983 Rural Development: Putting The Last First). Dan apa yang
semula dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, menjadi dilakukan dengan
melibatkan masyarakat.
Penjelasannya seperti ini: informasi tersebar dan dikuasai oleh masing-masing
agen pembangunan, oleh setiap anggota masyarakat. Masing-masingnya
mungkin menguasai potongan-potongan informasi yang berbeda-beda sehingga
ketika disatukan menjadi satu gambaran utuh, atau bisa jadi menguasai
informasi yang sama sehingga dapat saling menguatkan (verified), atau bisa juga
menguasai informasi yang sama tetapi bertentangan satu sama lain sehingga
dapat diperbandingkan. Melalui pendekatan partisipatif yang hendak melibatkan
seluruh subyek yang berkepentingan, maka informasi yang tersebar itu dapat
dipertentangkan, diverifikasi, dan disatukan. Informasi yang awalnya dikuasai
secara pribadi/pihak-pihak tertentu menjadi informasi yang dibagi dan dimiliki
bersama, yang awalnya hanyalah potongan puzzle menjadi gambaran utuh, dan
yang awalnya bertentangan menjadi terverifikasi. Dengan cara inilah informasi-
yang-mendekati-sempurna (quasi-perfect information) bisa didapatkan, dengan
cara inilah kendala bounded rationality dapat diatasi. Kita memperoleh kapasitas
untuk mendapatkan fakta-fakta tentang kondisi lingkungan serta kapasitas untuk
menarik kesimpulan terhadapnya. Kita dapat secara lebih tepat meletakkan
fokus pada hal-hal (tujuan, alternatif, dan implikasi) kunci, dan melahirkan
alternatif-alternatif secara lebih lengkap.
7
Skala partisipasi: mikro berarti lebih tinggi
Reverse the direction berarti melibatkan masyarakat secara aktif, secara
langsung, dalam proses-proses pembangunan, mulai dari perencanaannya
hingga pelaksanaan dan evaluasinya. Ini membalikkan kondisi sebelumnya
dimana masyarakat hanya menjadi penerima pasif saja.
Muncul pertanyaan berikutnya: mengapa masyarakat perlu dilibatkan secara
langsung dalam proses pembangunan, ketika pada sistem demokrasi, rakyat
telah terwakili melalui kelembagaan legislatif? Dan di Indonesia, bukankah
legislatif menjadi semakin kuat semenjak Orde Reformasi, dibanding orde
sebelumnya?
Ada dua jawaban atas pertanyaan ini, dan jawaban pertama klasik (serta nyata)
adanya, bahwa banyak motif yang menggerakkan para wakil rakyat kita, dan
motif untuk mewakili suara konstituen bisa jadi bukan motif penggerak utama
dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik. Telah (begitu) banyak kasus
yang menunjukkan situasi ini kepada kita. Dan, saya hendak mengutip
pernyataan Moynihan (1969, diacu dalam Arnstein 1969):
In what sense can the representative system be said to have spoken for this community, during the long years of neglect and decay?
Sebagai pelengkap, pernyataan Moynihan ini ditujukan kepada legislatif Amerika
Serikat, negara yang dianggap sebagai soko guru demokrasi, pada tahun 1969,
dan saya pikir pernyataan itu masih tepat menggambarkan legislatif di negara
kita saat ini (atau 43 tahun setelah pernyataan Moynihan).
Jawaban kedua bersifat lebih substantif: pelibatan langsung masyarakat sangat
dimungkinkan pada level perencanaan mikro, seperti Rukun Tetangga (RT),
Rukun Warga (RW), hingga level desa/kelurahan. Semakin mikro skala
perencanaan, semakin tinggi pelibatan langsungnya. Contoh ekstremnya pada
level keluarga, jika anda hendak merencanakan liburan keluarga, anda dapat
membahasnya secara langsung dengan seluruh anggota keluarga tanpa perlu
ada sistem perwakilan.
8
Dan demikian sebaliknya. Semakin makro skala perencanaan, semakin rendah
pelibatan langsungnya, dan perwakilan menjadi dibutuhkan. Gambar 1
menunjukkan hal ini.
Gambar 1. Skala perencanaan berbanding terbalik dengan tingkat pelibatan langsung masyarakat
Jadi, kedua, pendekatan partisipatif lebih banyak bermain di ranah
pembangunan pada skala mikro (RT, RW, dusun, hingga desa). Metode-metode
partisipatif yang kesohor, seperti Participatory Rural Appraisal (PRA), Rapid
Rural Appraisal (RRA), sebagaimana namanya, adalah metode yang diterapkan
di level desa.
Hal ini bukan berarti pendekatan partisipatif menjadi urusan kecil karena
bermain di level mikro. Pertama, Rustiadi (2013, komunikasi pribadi),
memperkirakan bahwa arus desentralisasi, yang saat ini berhenti dari
pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota, akan berlanjut dan tidak
terbendung hingga ke tingkat desa. Artinya, berbicara tentang otonomi daerah,
pada akhirnya akan berbicara tentang otonomi desa, berikut segala sumber daya
yang diserahkan kepadanya. Kondisi ini terjadi di hampir semua negara dengan
sistem demokrasi, dan untuk Indonesia, hanya urusan waktu saja hingga itu
terjadi. Kedua, konflik yang meluas dan melibatkan masyarakat lokal yang terjadi
di berbagai daerah dewasa ini, seringkali dipicu di level mikro (khususnya terkait
pengelolaan sumber daya alam). Pendekatan partisipatif memungkinkan kita
untuk lebih memahami dan mengelola potensi-potensi konflik yang ada sehingga
tidak tercetus menjadi konfrontasi dan krisis. Apalagi, pendekatan ini membuat
semua pihak dapat bersuara dan didengar, proses komunikasi yang seringkali
9
buntu pada fase pra-konflik di banyak kasus hingga tercetuslah konfrontasi.
Ketiga, sistem perencanaan pembangunan yang ada di negara kita saat ini6
memungkinkan untuk hasil perencanaan di tingkat mikro dibawa dan membentuk
perencanaan makro melalui mekanisme Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang awalnya dilakukan di tingkat desa,
kemudian hasilnya dimusyawarahkan pada Musrenbang Kecamatan, selanjutnya
diteruskan ke Musrenbang Kabupaten/Kota, hingga dilanjutkan ke Musrenbang
Provinsi dan berujung pada Musrenbang Nasional.
Meninggalkan kesalahan paternalistis dengan tidak terjebak pada kesalahan populis, menjaga keseimbangan antara keduanya
Ketiga, kesalahan paternalistis jangan membuat kita menjadi romantis sehingga
terjerumus pada kesalahan berikutnya: populist fallacy. Kesalahan populis ini
memegang asumsi yang berlawanan dengan paternalistic fallacy, tetapi sama-
sama salahnya. Asumsinya adalah bahwa masyarakat desa selalu tahu dan
paham lebih baik dibanding orang luar serta memiliki keterampilan yang
memadai untuk membangun wilayahnya (Uphoff & Esman 1974, diacu dalam
Cernea dalam Bhatnagar & Williams [ed.] 1992). Asumsi ini pun dipatahkan oleh
alasan yang sama: rasionalitas terbatas.
Artinya, ada keseimbangan yang perlu dijaga antara pendekatan paternalistis
dan populis ini. Dalam pendekatan partisipatif, masyarakat dibukakan ruang
untuk berperan serta dalam proses pembangunan, tetapi tidak dalam arti
dilepaskan begitu saja, melainkan ada proses-proses untuk mengorganisir,
mendampingi, menguatkan, dan memberdayakan. Pendekatan partisipatif bukan
dalam arti mengangkat masyarakat dan menafikan pihak-pihak luar, karena
pihak luar itulah yang nantinya memerankan diri sebagai pengorganisir,
pendamping, penguat, dan pemberdaya masyarakat.
Syarat perlu: masyarakat yang berdaya
Keempat, bagaimana jika masyarakat, dalam derajat tertentu, telah terorganisir,
telah kuat, dan telah berdaya? Saya melihat bahwa kondisi-kondisi ini adalah 6 Sistem perencanaan pembangunan diatur oleh UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan dioperasionalkan lebih lanjut dalam PP No. 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
10
syarat-syarat perlu (necessary conditions) agar pendekatan partisipatif mencapai
tujuannya: menghasilkan keputusan publik yang lebih rasional.
Jika syarat perlu ini belum terpenuhi, maka melibatkan lebih banyak kepala
mungkin tidak akan membuat keputusan menjadi lebih baik, dan karenanya
proses-proses pendampingan perlu dilakukan. Jika syarat perlu ini telah
terpenuhi, maka pihak luar tidak perlu mengalokasikan sumber daya khusus
untuk memberdayakan, melainkan dapat fokus sebagai stakeholder, bersama
masyarakat, melaksanakan pembangunan yang partisipatif.
Satu hal yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa proses pendampingan harus
ditujukan untuk, dan hanya untuk, memampukan (enabling) masyarakat menjadi
mitra yang konstruktif dalam proses-proses pengambilan keputusan publik
bersama dengan pemerintah dan stakeholders lain. Penegasan ini diperlukan
agar pendekatan partisipatif menjadi bermakna dan bukannya menjadi alat-alat
kooptasi baru, seperti memasukkan agenda-agenda terselubung ke dalam
proses yang dikemas secara partisipatif.
Partisipasi mengandung hierarki, ada tingkat partisipasi yang semu
Kelima, pelibatan masyarakat tidak memiliki makna tunggal melainkan
mengandung hierarki di dalamnya. Kita bisa bayangkan sekumpulan murid di
dalam sebuah kelas. Diantara murid-murid tersebut, ada yang serius
mendengarkan, ada yang aktif bertanya, ada yang selalu beradu argumen
dengan gurunya, dan ada pula yang mengobrol dengan teman sebangkunya,
atau diam-diam mengutak-atik media sosial melalui telepon selulernya, bahkan
ada pula yang tertidur. Melalui contoh ini saya hendak mengajukan pertanyaan:
murid manakah yang bisa dikatakan terlibat di kelas? Apakah kita hendak
mengecualikan murid yang ngobrol, bermain ponsel, atau tertidur sebagai murid
yang terlibat? Tetapi nyatanya murid-murid ini tetap hadir di kelas, tidak
membolos, dan tercatat di daftar kehadiran.
Kesemua murid yang hadir, mulai dari yang tertidur hingga yang aktif bertanya,
dapat dinyatakan terlibat. Tidak ada yang dapat menyangkal hal itu karena
secara fisik mereka hadir di kelas. Hanya saja, yang membedakan antar mereka
11
adalah derajat/level keterlibatannya. Antara yang tertidur dan aktif bertanya
tentu beda derajatnya.
Arnstein (1969) dengan sangat baiknya mendeskripsikan derajat ini di dalam
konsep ladder of participation (tangga partisipasi). Arnstein menyusun tangga
partisipasi ini dalam konteks menilai tingkat keterlibatan masyarakat marginal
(the have-not) dalam program-program pemerintah. Tangga ini mengilustrasikan
level partisipasi, anak tangga terendah menunjukkan partisipasi yang tidak
partisipatif, dan anak tangga tertinggi menunjukkan tingkat partisipasi ketika
masyarakat marginal tidak hanya dapat bersuara, melainkan juga sebagai
pengambil keputusan. Bentuk tangga-nya adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Tangga partisipasi (Arnstein 1969)
Kedua anak tangga terbawah (manipulation dan therapy) digolongkan sebagai
kelas non-participation. Di level ini, masyarakat marginal tidak diberi ruang untuk
berpartisipasi aktif selain hanya diminta untuk menerima informasi yang
diberikan. Dengan kata lain, masyarakat marginal tidak turut dalam membentuk
hasil, melainkan dibentuk sebagai hasilnya. Model-model seperti pengarahan,
pembinaan, penataran, adalah contoh-contoh yang tepat untuk mendeskripsikan
hal tersebut.
Pada kelas yang lebih tinggi adalah tokenism (bisa diterjemahkan sebagai
praktek-praktek simbolik atau pencitraan). Pada kelas ini, masyarakat marginal
12
memang diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Meskipun
demikian, mereka tidak diberikan kekuatan yang cukup untuk memastikan bahwa
apa yang disuarakan lantas ditindaklanjuti sehingga keterlibatanya tetap tidak
memberikan jaminan bahwa keadaan akan berubah sebagaimana yang
diaspirasikan. Seringkali, pelibatan ini hanya berhenti sebagai alat untuk
melegitimasi/pembenar/pembunuh kewajiban bahwa proses sudah dilakukan
secara partisipatif. Kelas ini meliputi anak tangga informing, lalu di atasnya
adalah consultation, dan anak tangga teratas dalam kelas ini adalah placation
(pelunakan).
Puncak teratas dari tangga ini adalah kelas citizen power. Kelas yang memuat
anak tangga partnership, delegated power, dan pada puncak anak tangganya
adalah citizen control ini adalah kelas yang tidak sekedar memberikan ruang
untuk bersuara bagi masyarakat marginal, tetapi sekaligus juga kekuatan
(power) untuk mengambil keputusan. Pada anak tangga partnership, masyarakat
marginal dapat bernegosiasi dengan pihak pengambil kebijakan. Pada dua anak
tangga teratas (delegated power dan citizen control), kaum marginal memiliki
suara mayoritas dalam pengambilan keputusan.
Meskipun Arnstein membangun konsepnya dalam konteks pelibatan masyarakat
marginal, akan tetapi konsep tersebut juga sangat membantu kita untuk lebih
memahami dan kritis terhadap kampanye/slogan-slogan yang banyak
didengungkan berbagai pihak bahwa apa yang mereka lakukan sudah
partisipatif. Memang, kata partisipatif kini telah menjadi kata sakti untuk
melegitimasi bahwa proses yang dilakukan sudah benar. Hal ini dikarenakan
semua orang bersepakat bahwa melakukan proses secara partisipatif itu
adalah benar, tetapi hanya sedikit orang yang melakukannya dengan benar.
Bagaimana dengan kekritisan kita? Kita bisa mulai dengan pertanyaan
sederhana ketika mendengar klaim sebuah proses dilakukan secara partisipatif:
seberapa partisipatif?
13
Syarat cukup: kesediaan penguasa untuk mendistribusikan ulang kekuasaan (redistribution of power)
Keenam, dan terakhir, penjelasan tentang implikasi pertama hingga ketiga
membedakan antara dua agen pembangunan: pemerintah dan masyarakat.
Keduanya sama-sama terbatas rasionalitasnya, untuk meminimalkannya maka
pemerintah perlu melakukan reversing the direction sehingga pendekatan top
down dapat dilengkapi dengan pendekatan bottom up. Pelibatan masyarakat
tentunya tidak hanya di tingkat non partisipasi dan tokenism saja (menggunakan
tangga partisipasi Arnstein), tetapi juga jangan sampai terjebak pada romantika
populist fallacy.
Secara tersirat tampak bahwa pemerintah adalah pemegang kunci pintu bagi
masyarakat untuk berpartisipasi. Ketika pemerintah menguncinya, maka
pendekatan sentralistislah yang digunakan, dan masyarakat cukup (berharap)
menjadi penerima manfaat pembangunan. Ketika pemerintah membukanya,
maka pendekatannya menjadi lebih demokratis dan masyarakat menjadi memiliki
ruang untuk bersuara, beserta kekuatan untuk turut mengambil keputusan.
Artinya, kunci ada di tangan pemerintah. Kehendak untuk membuka kunci
kadang-kadang bukan lahir dari kesadaran pemerintah sebagai benevolent
institution (kelembagaan penyelamat), tetapi juga dari tekanan lingkungan
(termasuk publik) yang merembet menjadi tekanan politik. Transisi pemerintahan
dari Orde Baru ke Orde Reformasi mungkin dapat menjadi contoh.
Apakah pembukaan ruang untuk berpartisipasi ini adalah pengakuan
(recognition) atau pemberian (grant) dari pemerintah kepada masyarakat? Isu ini
dapat menjadi perdebatan panjang tersendiri yang tak hendak dikupas dalam
paper ini. Terlepas dari apakah pengakuan atau pemberian, yang jelas ada
distribusi ulang kewenangan (redistribution of power) dalam penerapan
pendekatan partisipatif.
Kondisi ini tercermin pada tangga partisipasi Arnstein yang hendak
menyampaikan bahwa partisipasi sebenarnya merupakan distribusi ulang
kekuatan/kekuasaan/kewenangan (redistribution of power), dari yang
sebelumnya terpinggirkan menjadi pihak yang suaranya ikut menentukan, dari
14
yang sebelumnya tidak pernah dilibatkan menjadi pelaku utama, dari yang
sebelumnya menjadi bagian dari obyek yang direncakan menjadi subyek yang
turut merencanakan, dan dari penonton di pinggiran menjadi pemain kunci.
Apalah arti partisipasi tanpa authority? Dalam kata partisipasi terkandung
makna tanggung jawab, yaitu tanggung jawab warga untuk aktif berperan
dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya. Tetapi, beban tanggung
jawab jika tidak disertai dengan kewenangan yang memadai akan menjadi
seperti yang dinyatakan UN-HABITAT (2001):
Responsibility without authority can be a trap.
Ini menjadi syarat cukup (sufficient condition) bagi pendekatan partisipatif agar
bermakna. Pemenuhan syarat perlu (yaitu masyarakat yang berdaya) saja
belumlah cukup, harus disertai dengan pemenuhan syarat cukup ini, dua syarat
utama yang mewakili dua pihak kunci dalam pendekatan partisipatif.
Tanpa pemenuhan syarat cukup ini, partisipasi menjadi kosong, partisipasi
yang tidak menguntungkan siapapun kecuali mereka, ialah pihak-pihak yang
secara sengaja membuat partisipasi semu, sebagaimana dituangkan dalam
poster protes mahasiswa Perancis pada tahun 1968 berikut ini:
Gambar 3. Poster protes mahasiswa Perancis pada tahun 1968 yang kira-kira berarti Saya
berpartisipasi, kamu berpartisipasi, dia berpartisipasi, kita berpartisipasi, dan mereka untung.
Sumber: Arnstein (1969)
15
Distribusi ulang kekuasaan ini bukan lagi mirip, tetapi sama dengan
desentralisasi. Mari kita tengok definisi desentralisasi dalam konteks
pemerintahan: penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah). Bukankah penyerahan wewenang ini
adalah sama dengan redistribusi kekuasaan?
Desentralisasi itu (atau otonomi daerah), yang telah berjalan sekitar 13 tahun di
negara kita, adalah pendekatan partisipatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat
kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Dalam konteks kita kali ini,
bagaimana meneruskan semangat partisipatif itu dari kabupaten/kota ke satuan-
satuan di bawahnya (kecamatan, kelurahan/desa)?
Keenam implikasi dari dua aksioma ini memberi bentuk pada pendekatan
partisipatif. Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, kita dapat menarik kerangka dari
pendekatan partisipatif:
a. Sebuah pendekatan untuk memberikan ruang bagi masyarakat berpartisipasi secara langsung dalam proses pengambilan keputusan terkait urusan-urusan publik agar keputusan yang diambil didasari informasi yang mendekati sempurna (quasi-perfect information) dengan akseptabilitas tinggi,
b. Karena bentuk partisipasinya adalah partisipasi langsung (bukan partisipasi perwakilan), maka pendekatan partisipatif lebih banyak bermain pada skala mikro (RT, RW, dusun, dan desa),
c. Ruang yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi juga harus disertai kewenangan yang memadai sehingga pendekatan partisipatif juga mencakup distribusi ulang kekuasaan (redistribution of power), bukan sekadar partisipasi semu,
d. Meskipun demikian, masyarakat tidak dibiarkan sendiri dalam memanfaatkan ruang yang dibuka dan kewenangan yang didistribusikan. Agar pemanfaatannya dapat lebih bertanggungjawab dan berkualitas, maka diperlukan proses-proses pengorganisasian, pendampingan, penguatan, dan pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak luar (outsiders),
e. Pelibatan pihak luar dalam pendekatan partisipatif adalah untuk mengorganisir, mendampingi, menguatkan, dan memberdayakan dengan tujuan akhir adalah kemandirian atau keswadayaan masyarakat,
f. Dengan demikian, ada syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition) agar pendekatan partisipatif menjadi bermakna dan bukan partisipasi kosong belaka. Syarat perlu-nya adalah masyarakat yang berdaya (empowered community) sehingga dapat menjadi mitra yang
16
konstruktif dalam proses-proses pengambilan keputusan publik bersama dengan pemerintah dan stakeholders lain. Syarat cukup-nya adalah kesediaan pemerintah untuk mendistribusikan ulang kekuasaan (willingness to power sharing) sehingga partisipasi warga disertai dengan kewenangan yang memadai.
Dan pendekatan partisipatif ini pun dioperasionalkan lebih lanjut ke dalam metode
dan teknik-teknik partisipatif.
Pustaka
Arnstein SR. 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP. Vol (35). No. 4. p: 216 224.
Cernea MM. 1992. The Building Blocks of Participation: Testing a Social Methodology. Di dalam: Bhatnagar B & Williams AC, editor. Participatory Development and the World Bank: Potential Directions for Change. Washington, D.C.: The World Bank.
Jones BD. 1999. Bounded rationality. Annu. Rev. Polit. Sci. Vol (2). p: 297 321.
Richards JC, Rodgers TS. 2001. Approaches and Methods in Language Teaching. New York: Cambridge University Pr.
Selten R. 1999. What is bounded rationality?. Discussion Paper B-454. Uni Bonn.
[UN-HABITAT] United Nations Centre for Human Settlements. 2001. Building Bridges through Participatory Planning. UN-HABITAT.