Post on 04-Oct-2021
PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP
TERJEMAH DAN TAFSIR
Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
RIDWAN ARIPIN
NIM. 1112034000188
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
iv
v
ABSTRAK
PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP TERJEMAH DAN
TAFSIR. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.
Waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam pengkajian
al-Qur’an. Penguasaan ilmu ini menjadi suatu keharusan bagi setiap orang yang
ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur’an. Waqaf dan ibtida’ juga
termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid. Keduanya adalah
pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap pembaca hingga
bacaan dan tilawah al-Qur’annya menjadi sempurna dan tempat. Waqaf dan
ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur’an yang sedang
dibaca oleh seorang pembaca. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan
dan kaidah mengenai Waqaf dan ibtida’ membuat setiap pembaca akan terhindar
dari kesalahan membaca al-Qur’an. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur’an harus
benar-benar memahami apa arti waqaf dan ibitda’ serta pengaruhnya terhadap
penafsiran al-Qur’an dengan melalui metode penelitian.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library
research dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
melalui penggunaan kajian kepustakaan adalah dengan cara menela’ah buku-buku
dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah akan diteliti. Peneliti
berusaha semaksimal mungkin untuk menggali data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini dari berbagai tulisan dan buku-buku terkait dengan masalah yang
sedang dikaji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Waqaf dan ibtida’ memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap penafsiran. Hal ini disebabkan, waqaf pada umumnya
bersifat ijtihadi karena terkait dengan pemahaman sehingga sangat relative dan
beragam. Penempatan tanda Waqaf dan masalah ibtida’ dalam al-Qur’an
bertujuan untuk membantu dan mempermudah para pembaca al-Qur’an untuk
berhenti dan memulai kembali bacaannya pada kata yang tepat sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam pemahaman dan penafsiran.
Kata kunci : Waqaf, Ibtida’, Terjemah, Tafsir
vi
KATA PENGANTAR
Pujadan puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
selesainya penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tema skripsi ini penulis pilih atas pertimbangan pentingnya pemahaman waqaf
dan ibtida’ dalam sebuah bacaan al-Qur’an. Hasil kajian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagipara qari’ dalam upaya memahami dan mengaplikasikannya
dalam setiap pembacaan al-Qur’an.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu sangatlah wajar bila penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya, khususnya kepada :
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan tugas kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Lilik Ummi Kalsum, Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis beserta seluruh staf yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pada
program ini.
3. Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA, sebagai Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakartabeserta
staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan
dan meminjam buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
6. Ayah dan Ibunda serta adik dan kakakku yang senantiasa berusaha dan
berdo’a serta mendidik penulis dengan penuh tanggung jawab dan selalu
memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga ilmu yang penulis
peroleh dapat menjadi bekal untuk membalas budi dan pengorbanan yang
telah mereka berikan.
7. Sanak famili dan handai taulan serta rekan-rekan mahasiswajurusan Tafsir
Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakartadan semua pihak yang telah memberikan
bantuan dengan sukarela dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teman sejawat dankarib kerabat sertarekan guru-guru privateyang telah
banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
9. Teman-teman KKN 2015 yang senantiasa berjuang demi menuntaskan
program-program yang diagendakan di masyarakat.
Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan
bantuan maupun pengorbanan dalam rangka penyusunan skripsi ini, mendapat
imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin yarabbal ‘alamin.
viii
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan
dan kelemahan. Oleh karenanya sumbangsih dan pemikiran, kritik dan saran yang
konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada
kajian-kajian dengan tema yang sama pada masa yang akan datang.
06 Agustus 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... .. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10
D. Kajian Pustaka ........................................................................... 11
E. Metode Penelitian ...................................................................... 12
F. Sistematika Penyusunan ............................................................ 14
BAB II : DISKURSUS WAQAF DAN IBTIDA’
A. Waqaf ..................................................................................... 15
1. Pengertian Waqaf ............................................................. 15
2. Urgensi Waqaf ................................................................. 16
3. Klasifikasi Waqaf ............................................................. 18
B. Ibtida’ ..................................................................................... 24
x
1. Pengertian Ibtida’ ............................................................. 24
2. Urgensi Ibtida’ ................................................................. 25
3. Klasifikasi Ibtida’ ............................................................. 27
BAB III : WAQAF DAN IBTIDA’ DALAM AL-QUR’AN
A. Tanda Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an ............................. 31
B. Kosa Kata Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an ..................... 32
C. Pendapat Ulama Tentang Waqaf dan Ibtida’ ......................... 34
D. Perbedaan Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah ..................................................................... 38
1. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Standar Indonesia ......... 38
2. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Madinah ........................ 41
BAB IV : DAMPAK WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP
TERJEMAH DAN TAFSIR
A. Terjemah dan Aplikasinya ..................................................... 43
B. Tafsir dan Aplikasinya ........................................................... 53
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 65
B. Saran ....................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 67
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam “Buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
D de د
dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
xii
N en ن
W we و
H ha ه
apostrof ء
Y ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xiii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ى ا
î i dengan topi di atas ى ي
û u dengan topi di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti
huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak ditulis ad-darûrah الض
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
xiv
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Tanda Vokal Latin Keterangan
tarîqah طريقة 1
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجامعة الإسلامية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan
Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya.
Demikian seterusnya.
xv
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an sebagai kitab suci terakhir yang dijamin kesashihannya oleh
Allah SWT,1 tidak ada keraguan di dalamnya,
2 karena tidak ada pertentangan ayat
dan pencampuradukkan antara yang hak dan batil. Bahkan Allah SWT sendiri
menyatakan kalaulah sekiranya al-Qur‟an itu bukan dari Allah SWT pasti
ditemukan di dalamnya banyak perselisihan.3 Di antara tujuan
4 utama
diturunkannya al-Qur‟an adalah untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota
masyarakat tempat kitab ini diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat
manusia5 hingga akhir zaman.
Sebagai petunjuk bagi seluruh manusia al-Qur‟an menjadi kebutuhan
manusia dalam mengarungi hidup dan kehidupannya, guna memperoleh jalan
1Lihat QS. al-Hijr : 9
2Lihat QS. al-Baqarah : 2
3Lihat QS. al-Nisa‟ : 82
4Menurut Muhammad Rasyid Ridha, terdapat 10 tujuan al-Qur‟an yaitu (1) untuk
menerangkan hakekat agama yagn meliputi iman kepada Allah SWT, iman kepada hari
kebangkitan dan amal shaleh, (2) menjelaskan masalah kenabian dan kerasulan serta tugas dan
fungsi mereka, (3) menjelaskan tentang Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal fikiran
dan cocok dengan intuisi serta kata hati, (4) membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu
kesatuan umat (kemanusiaan) agama, undang-undang, persaudaraan seagama, bangsa, hukum dan
bahasa, (5) menjalankan keistimewaan-keistimewaan Islam dalam pembenaran kewajiban-
kewajiban kepada manusia seperti cakupannya yang luas meliputi jasmani dan rohani, material dan
spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah dikerjakan, tidak memberatkan,
gampang dipahami, dan lain sebagainya, (6) menjelaskan prinsip-prinsip berpolitik dan bernegara,
(7) menata kehidupan material, (8) memberi pedoman umum mengenai perang dan cara-cara
mempertahankan diri dari agresi serta intervensi musuh, (9) mengatur dan memberikan kepada
wanita hak-hak mereka dalam bidang agama, sosial dan kemanusiaan pada umumnya dan (10)
memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pembalasan dan kemerdekaan budak. Lihat Muhammad
Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 126 – 128.
Lihat juga Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
Cet. ke-1, h. 3 - 4 5Lihat QS. al-Baqarah : 185
2
keselamatan. Untuk itu, di dalamnya terkandung tema-tema yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia seAperti pola hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya. Dalam rangka menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan
peradaban yang terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat
kealaman dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi
dan etika dalam rekayasa masyarakat serta rekayasa teknik.
Rekayasa masyarakat adalah pencapaian tatanan kemasyarakatan yang
sesuai dengan kondisi obyektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap
bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan al-Qur‟an. Substansi
ajaran al-Qur‟an tidak bermaksud menciptakan masyarakat seragam di seluruh
belahan bumi, dan dimungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup dalam
masyarakat tertentu yang pada gilirannya suasana ketenteraman di bawah ridha
Tuhan yaitu terciptanya Baldatun Toyibatun wa Rabbun Ghafûr. Demikian
konsep negara menurut al-Qur‟an.
Kendati al-Qur‟an mencakup beragam masalah, pembicaraannya tentang
suatu masalah terkesan unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-
buku ilmiah karangan manusia dan juga sangat jarang menyajikan suatu masalah
secara rinci dan detail. Bahkan secara umum pembicaraannya tentang suatu
masalah bersifat global, parsial dan pokok-pokoknya saja. Namun demikian, hal
itu sama sekali tidak akan mengurangi nilai al-Qur‟an. Sebaliknya, justru di
sanalah letak keunikannya dan sekaligus keistimewaannya. Sebab dengan keadaan
seperti itu, al-Qur‟an menjadi obyek kajian yang tidak pernah kering oleh ide dan
3
gagasan para cendekiawan muslim atau non muslim, sehingga tetap aktual sejak
pertama diturunkannya pada 15 abad yang lalu. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha
mengatakan bahwa sekiranya al-Qur‟an disusun menurut bab dan pasal secara
sistematis seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu pengetahuan, maka al-
Qur‟an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman. Justru dalam
sistematikanya yang unik itu yang menyalahi sistematika ilmu pengetahuan,
terletak keistimewaan dan kekuatan al-Qur‟an.6
Untuk mewujudkan ide atau cita al-Qur‟an yang bersifat global tersebut,
manusia membutuhkan al-Qur‟an tentu harus berusaha untuk memahaminya
dengan baik dan benar. Sebab nilai-nilai universal al-Qur‟an pasti akan senantiasa
relevan bagi kemaslahatan manusia di setiap zaman dan tempat, namun
pemahaman manusia dalam menghadapi setiap zaman, senantiasa ditemukan
adanya problema.7 Problem-problem seperti ini biasanya dapat dipecahkan oleh
al-Qur‟an, karena al-Qur‟an al-Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan
mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan
Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana
yang gelap menuju yang terang serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.8
6Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, h. 6
7Menurut Fazlur Rahman, untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam
al-Qur‟an, para pakar al-Qur‟an (muslim) dihadapkan kepada dua problem yaitu (1) mereka
kurang menghayati relevansi al-Qur‟an untuk masa sekarang dan oleh karenanya mereka tidak
dapat menyajikan al-Qur‟an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat manusia masa kini dan
yang lebih penting (2) mereka khawatir jika penyajian al-Qur‟an yang seperti di atas dalam
berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang ditemui secara tradisional, padahal
itu tidak dapat dihindari. Menurut Fazlur Rahman, resiko itu harus diterima dengan ketulusan hati
dan persepsi. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,
(Bandung: Pustaka, 1995), Cet. ke-5, h. x 8Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS., (Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), Cet. ke-16, h. 1
4
Selain itu, al-Qur‟an juga merupakan pedoman hidup bagi umat manusia
yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Untuk itu al-Qur‟an bukan
hanya sekedar dibaca dan dihapal, tetapi dipahami isi kandungannya untuk
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian seorang muslim yang
berpegang teguh kepada al-Qurán dan al-Sunnah, maka ia tidak akan tersesat
dalam kehidupannya dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.9 Untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, maka
seorang muslim diwajibkan untuk bisa membaca dan memahami isi al-Qur‟an.
Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW
melalui perantara malaikat Jibril yang jika dibaca akan bernilai ibadah. Dalam al-
Qur‟an terdapat petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Sebagai pedoman
hidup, al-Qur‟an seharusnya dipelajari dan dipahami isi kandungannya oleh setiap
muslim. Dengan mempelajari dan memahaminya, setiap muslim akan turut serta
melestarikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an.
Membaca al-Qur‟an harus dilakukan dengan baik dan benar, karena hal ini
akan berpengaruh pada pembaca maupun pendengarnya dalam memahami makna-
makna al-Qur‟an dan membuka tabir mukjizat yang ada di dalamnya baik dalam
ketaatan maupun kerendahan hatinya. Para ulama salaf dan kontemporer sangat
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan bacaan al-Qur‟an sehingga
pengucapan kata-kata dalam al-Qur‟an menjadi baik dan benar. Cara membaca
seperti ini di kalangan mereka dikenal dengan istilah Tajwîd al-Qur’an. Menurut
mereka, tajwid adalah memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya,
9Mamsudi AR., Dîn al-Islam, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001), h. 16
5
mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya serta menghaluskan
pengucapan dengan cara-cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-
gesa dan dipaksa-paksakan.10
Cara pengungkapan huruf-huruf dalam al-Qur‟an
biasanya diatur dalam ilmu tajwid.
Secara terminologis, ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk
mengetahui bagaimana cara memberi hak huruf dan mustahiknya baik yang
berkaitan dengan sifat, mad dan lain sebagainya seperti tarqiq dan tafhim serta
selain keduanya.11
Ilmu tajwid menurut Munir ialah ilmu yang dipergunakan
untuk mengetahui tempat keluarnya huruf, sifat-sifat huruf dan bacaan-
bacaannya.12
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilmu tajwid merupakan
ilmu yang digunakan untuk mengetahui aturan-aturan dalam membaca al-Qur‟an
berdasarkan sifat huruf, tempat keluarnya huruf, panjang pendek serta bacaan-
bacaannya, sehingga tidak ada perubahan makna pada saat membacanya sehingga
sesuai dengan pedoman ilmu tajwid.
Dalam ilmu tajwid, banyak diajarkan tentang cara-cara membaca al-Qur‟an
dengan baik dan benar serta banyak hal pula yang perlu diperhatikan seperti
hukum bacaan dan tanda-tanda khusus yang terdapat dalam al-Qur‟an seperti
tanda waqaf dan ibtida’. Dalam al-Qur‟an, waqaf merupakan salah satu tanda
untuk berhenti dalam bacaan al-Qur‟an. Jika tidak berhenti, maka dikhawatirkan
akan memberikan pemahaman yang berbeda pada huruf yang dibacanya.
10
Manna‟al-Qatan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.
229 11
Ahmad Annawi, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010), h. 17 12
M. Misbahul Munir, Pedoman Lagu-Lagu Tilawatil Qur’an; Dilengkapi Dengan Tajwid
dan Qasidah, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 152
6
Sedangkan ibtida‟ adalah memulai bacaan setelah berhenti. Dengan demikian,
waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu aspek dalam disiplin ilmu tajwid yang
harus dikuasai dan diaplikasikan dalam membaca al-Qur‟an.
Waqaf dan ibtida’ termasuk hal yang perlu dipelajari dalam ilmu tajwid.
Keduanya adalah pembahasan yang harus ditekuni dan dituntaskan oleh setiap
qari’ hingga bacaan dan tilawah al-Qur‟annya menjadi sempurna dan tepat. Waqaf
dan ibtida’ merupakan cabang dari kandungan makna ayat al-Qur‟an yang sedang
dibaca oleh seorang qâri’. Dengan cara mengambil dan mempelajari aturan dan
kaidah mengenai waqaf dan ibtida‟ membuat setiap qari’ terhindar dari kesalahan
membaca al-Qur‟an.13
Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus benar-benar
memahami apa arti waqaf dan ibtida’ serta pengaruhnya terhadap penafsiran al-
Qur‟an.
Salah satu disiplin ilmu yang penting untuk dikuasai agar seseorang bisa
memahami dan menafsirkan al-Qur‟an dengan baik dan benar adalah ilmu tentang
waqaf dan ibtida‟. Para pakar al-Qur‟an merumuskan dan menyusun teori-teori
tentang waqaf dan ibitda‟ yang kemudian dicantumkan dalam mushaf al-Qur‟an
dengan tanda-tanda tertentu untuk memudahkan para pembaca al-Qur‟an terutama
orang-orang „Ajam. Faktanya terdapat keragaman tentang tanda-tanda waqaf.14
Adanya keragaman tersebut diprediksi akan mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an.
Di antara berbagai ilmu yang urgen dalam kontelasi Ulum al-Qur‟an adalah
ilmu tentang waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu yang patut dijaikan kajian.
13
Ibnu al-Nazhim, Syarh al-Thayyibah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 39 14
Ahmad Bahruddin, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2,
2013, h. 169
7
Menurut para ulama, ilmu ini sangat penting karena sangat berguna untuk
mengetahui tata cara membaca al-Qur‟an, menghindari kekeliruan pemahaman
dan dapat mendatangkan tujuan serta makna al-Qur‟an secara tepat dan benar. Di
samping itu, karena terkadang seseorang tidak mampu membaca satu ayat, surat
ataupun satu kisah dalam satu nafas sekaligus, maka pengetahuan tentang waqaf
dan ibtida’ menjadi mutlak diperlukan agar seseorang dapat mengetahui di mana
harus berhenti (waqaf) dan memulai (ibtida’) tanpa mengubah makna al-Qur‟an.15
Menguasai ilmu waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu syarat dalam
pembacaan al-Qur‟an secara tartil. Imam Ali ra, ketika memberikan definisi
mengenai kata tartil dalam QS. al-Muzammil : 4 menyatakan bahwa tartil adalah
memperindah bacaan, huruf-huruf dan mengetahui berbagai tempat untuk
menghentikan bacaan al-Qur‟an.16
Al-Qur‟an adalah kitab yang paling banyak dibaca dan dikaji umat Islam
diseluruh dunia dari masake masa dan dari generasi ke generasi. Hal ini
disebabkan al-Qur‟an adalah kitab suci yang menjadi panduan dan pedoman hidup
umat Islam. Ia adalah satu dari dua warisan yang amat berharga dari Nabi
Muhammad SAW kepada umat ini, selain al-Sunnah.17
15
Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilawah, (al-Zaqqa: Maktabah al-Manar, 1988), h. 44 16
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Daar al-Turas,
2007), Jilid I, h. 353 17
Dalam hadits riwayat Imam Malik,Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan untuk
kalian dua pusaka yang kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh
kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”. Lihat Imam Malik, al-Muwatta’, (Mesir:
Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth), Juz II, h. 899, hadits No. 1594
8
Besarnya jumlah umat Islam Indonesia membuat kebutuhan akan mushaf
al-Qur‟an juga sangat besar.18
Para penerbit al-Qur‟an berlomba-lomba
menerbitkan al-Qur‟an dengan beragam kreativitas dan aksesoris yang mereka
tampilkan bersama teks al-Qur‟an agar semakin menarik dan memikat minat umat
Islam untuk memiliki dan mengkaji al-Qur‟an.
Dahulu, umumnya umat Islam Indonesia hanya mengenal Mushaf Standar
Indonesia19
baik yang diterbitkan oleh Kementrian Agama maupun penerbit
swasta dan kondisi seperti ini mulai berubah. Kini Mushaf Madinah20
(MM)
terbitan Mujamma’ Malik Fahd Arab Saudi dengan mudah dijumpai di negeri ini
yang asal muasalnya beragam, sebagian merupakan hadiah yang dibawa pulang
oleh para jama‟ah haji Indonesia, sebagian lagi disebarluaskan oleh lembaga-
lembaga sosial Timur Tengah di Indonesia atau diimpor oleh para pengusaha
untuk memenuhi pasaran lokal. Hal ini didukung pula oleh pesatnya
perkembangan teknologi informasi yang memudahkan orang mengakses al-
Qur‟an digital produk Timur Tengah. Di sini ditemukan fakta bahwa dalam
mushaf tersebut terdapat beberapa perbedaan tentang waqaf dengan Mushaf
18
Beredasarkan data BPS tahun 2003 misalnya, jumlah umat Islam Indonesia mencapai
177.528.722 jiwa (88%) dari total penduduk 201.241.999 jiwa. Kalau diasumsikan satu keluarga
terdiri dari 5 orang (bapak, ibu dan tiga anak) berarti dapat diasumsikan ada 35.505.754 kepala
keluarga muslim. Jika setiap keluarga harus memiliki satu mushaf al-Qur‟an, berarti yang
dibutuhkan adalah 35.505.754 mushaf. Lihat Puslitbang Lektur Keagamaan, Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an Departemen Agama RI, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2005), h. 11 - 12 19
Mushaf Standar Indonesia adalah mushaf yang dibakukan cara penulisan, tanda baca dan
tanda waqafnya sesuai kesepakatan yang dicapai pada Muker Ulama al-Qur‟an Indonesia yang
berlangsung 9 kali antara tahun 1974 sampai dengan 1983 dan dijadikan pedoman bagi al-Qur‟an
yang diterbitkan di Indonesia. Lihat Zainal Arifin, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”,
Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 1, 2011, h. 3 20
Mushaf Madinah adalah mushaf al-Qur‟an yang ditulis oleh kaligrafer Usman Taha dan
diterbitkan oleh Mujamma‟ Malik Fahd di Madinah. Mushaf ini mulai diterbitkan, diedarkan dan
diperkenalkan secara luas mulai 1980-an. Lihat “al-Ta‟rif bi haza al-Mushaf”, dalam al-Qur’an al-
Karim, (Madinah: Mujamma‟ Malik Fahd litiba‟ah al-Mushaf, 1988/1409, h. 5
9
Standar Indonesia yang telah beredar dan dikenal luas oleh masyarakat muslim
Indonesia.
Sebagian masyarakat kemudian bertanya-tanya tentang perbedaan ini,
mengingat waqaf dan ibtida‟ merupakan salahsatu aspek dalam disiplin ilmu
tajwid yang harus dikuasai dan diaplikasikan dalam membaca al-Qur‟an. Ia seperti
titik koma dalam aksara Latin yang menentukan suatu ungkapan benar atau salah,
dimengerti atau tidak dan terkadang menyebabkan ungkapan tersebut
mengundang multitafsir.
Bertitiktolak pada pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
menuangkan sebuah obsesi yang terdapat dalam diri penulis yang kemudian
diwujudkan dalam tulisan sederhana berupa skripsi yang diberi judul :
“PENGARUH WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP TERJEMAHDAN
TAFSIR”. Topik ini menarik untuk dikaji, karena implikasinya sangat luas
sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap makna bacaan al-Qur‟an.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Salah satu kewajiban umat Islam adalah membaca al-Qur‟an dengan tartil.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT yang dituangkan dalam QS. al-
Muzammila ayat 4. Tartil berarti membaguskan suara dan mengetahui waqaf
ketika membaca. Adapun ciri bacaan tartil adalah membaca huruf-huruf hijaiyah
yang jelas sesuai dengan makhraj dan sifatnya serta memahami waqaf (berhenti
sementara) dan tanda ibtida‟ (memulai membaca lagi atau mulai melanjutkan
bacaan lagi dengan mengulang kalimat sebelum waqaf tersebut) yang tepat dan
benar).
10
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas dengan tujuan agar
kajian tentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ mengarah pada fokus pembahasan
selanjutnya, maka perlu dikemukakan pembatasan-pembatasan kajian permasalah
tersebut sesua dengan tujuan penelitian. Adapun pembatasan pada kajian ini
adalahtentang pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir dengan
rumusan masalah adalah : Bagaimana pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap
terjemah dan tafsir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah dan pembatasan serta perumusan
masalah, maka penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waqaf
dalam penafsiran al-Qur‟an.
Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Manfaat bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa buku
bacaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat pada program studi Tafsir Hadits.
2. Manfaat bagi praktisi
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti
bagi perkembangan khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam
mengungkap, menganalisa dan menjelaskan tentangpengaruh waqaf dan
ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir.
11
3. Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ serta
pengaruhnya terhadap penafsiran al-Qur‟an.
D. Kajian Pustaka
Secara umum, penelitian tentangpengaruh waqaf dalam penafsiran al-
Qur‟an telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Adapun para peneliti
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Samsul Bahri dalam tesisnya pada bidangIlmu
AgamaIslam SekolahPascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2009. Penelitiannya berjudul “Makna dan Kasus Gramatika; Studi Implikasi
I’rab Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara I‟rab dan makna.
I‟rab merupakan salah satu faktor terpenting dan dominan dalam menentukan
gramatikal sebuah kalimat serta perubahan posisi I‟rab pada kata dalam suatu
kalimat akan berimplikasi pada perubahan makna kalimat tersebut.21
2. Penelitian yang dilakukan oleh A.Asdari dalam tesisnya pada bidang bahasa
dan Sastra Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004.
Penelitiannnya berjudul “Tanâwub Huruf al-Jâr dan Pengaruhnya Terhadap
Perubahan Makna Dalam al-Qur’an”. Hasil Penelitian ini menunjukkan
bahwa kosa kata suatu bahasa sebenarnya bukanlah berupa sejumlah kata yang
21
Samsul Bahri, “Makna dan Kasus Gramatika; Studi Implikasi I‟rab Terhadap Penafsiran
Ayat al-Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. v
12
masing-masing berdiri sendiri, tetapi semuanya saling terjalin dan
berhubungan serta mengidentifikasikan kata yang satu dengan kata yang lain
dalam satu jaringan makna.22
3. Penelitian yang dilakukan oleh JohnSupyanto dalam tesis nya pada
bidangBahasadanSastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004.
Penelitiannya berjudul “Memahami Makna Unzila al-Qur’an ‘Ala Sab’ati
Ahruf; Tinjauan Sosio-Historis Keragaman Qira’ati”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwauntuk mendefinisikan Unjila al-Qur’an ‘Ala Sab’ati
Ahruf diperlukan sosio-historis tentang keragaman bacaan dalam al-Qur‟an.23
Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka penelitian yang akan dilakukan
penulis ini jelas berbeda. Penelitian ini lebih fokus pada masalah pengaruh waqaf
dan ibtida‟ dalam penafsiran al-Qur‟an. Dengan demikian, tema ini murni belum
ada yang mengkajinya sehingga penulis memberanikan diri untuk mengkaji
tentangpengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemahdan tafsir.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif24
atau disebut penelitian kepustakaan
karena dalam pengumpulan datanya menggunakan teknik pengumpulan
data dokumentasi. Sumber data yang digunakan bagi penulisan ini berupa
22
A.Sadri, “Tanawub Huruf al-Jarr dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Makna Dalam al-
Qur‟an”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 108 23
John Supyanto, “Memahami Makna Unjila al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahruf; Tinjauan Sosio-
Historis Keragaman Qira‟at”, Tesis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. vi 24
Penelitian kualitatif di sini dimaksudkan sebagai penelitian yang pengumpulan datanya
bersifat kualitatif. Lihat Imam Arifin, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan,
(Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4
13
data-data karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Berdasarkan karakter dan tema pokok permasalahan yang akan diteliti oleh
penulis, maka jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif.25
Penelitian kualitatif melalui penggunaan kajian kepustakaan adalah dengan
cara menela‟ah buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya
dengan masalah yang akan diteliti. Peneliti berusaha semaksimal mungkin
untuk menggali data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dari
berbagai tulisan dan buku-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang
akan dikaji. Oleh sebab itu, diperlukan data primer dan data sekunder.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada dua sumber data yakni
data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kitab suci al-
Qur‟an dan kitab-kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer. Sedangkan
data sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tajwid
yang di dalamnya membahas tentang masalah-masalah waqaf dan ibtida‟.
3. Teknik Penulisan
Sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2013.
25
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), h. 4
14
F. Sistematika Penyusunan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, maka
diperlukan sistematika penyusunan. Adapun sistematika penyusunan yang
dimaksud adalah seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Bab I menguraikan tentang pokok-pokok pikiran yang tertuang pada
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas latar belakang masalah yang bertujuan
untuk memberikan alasan yang jelas tentang pemilihan judul, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian serta sistematika penyusunan yang dipergunakan dalam rangka
memberikan penjelasan secara garis besar tentang kajian yang akan diuraikan
dalam pembahasan skripsi ini.
Bab II adalah diskursus waqaf dan ibtida‟ yang pembahasannya meliputi
waqaf dan ibtida‟. Ruang lingkup waqaf terdiri atas pengertian waqaf, urgensi
waqaf dan klasifikasi waqaf. Adapun ruang lingkup dari ibtida‟ terdiri atas
pengertian ibtida‟, urgensi ibtida‟ dan klasifikasi ibtida‟.
Bab III adalah waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an yang pembahasannya
meliputi tanda waqaf dan dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an, kosa kata waqaf dan ibtida‟
dalam al-Qur‟an, pendapat ulama tentang waqaf dan ibtida‟ serta perbedaan
mushaf standar Indonesia dan mushaf Madinah.
Bab IV mengkaji inti persoalan yang diperbincangkan dalam skripsi ini
yaitu dampak waqaf dan ibtida‟ terhadap terjemah dan tafsir yang pembahasannya
meliputi terjemah dan aplikasinya serta tafsir dan aplikasinya.
Bab V merupakan penutup dari skripsi ini yang di dalamnya memuat
beberapa kesimpulan dan saran-saran yang merupakan kristalisasi dari uraian bab-
bab terdahulu yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka.
15
BAB II
DISKURSUS WAQAF DAN IBTIDA’
A. Waqaf
1. Pengertian Waqaf
Secara etimologis, waqaf berarti menahan, diam, berdiri dan
tenang.1 Menurut Wahyudi, waqaf adalah al-Habsu yang berarti
menahan.2 Sebagaimana disebutkan dalam kamus Lisan al-„Arab, waqaf
bermakna berdiri, kebalikan dari duduk. Perubahan struktur katanya
adalah وقف بالمكان وقفا ووقوفا فهو واقف. Bentuk jamak dari واقف adalah
Menurut Ismail, waqaf berarti al-Kaffu yang bermakna 3.وقوف dan وقف
menahan atau berhenti.4
Secara terminologis, waqaf berarti menghentikan suara sesaat
untuk mengambil nafas baru dengan niat melanjutkan bacaan.5 Menurut
Ahmad Muthahar Abdurrahman al-Muraqi yang dikutif oleh Abdul Mujib
Ismail, definisi waqaf adalah sebagai berikut :
6.ف هو قطع الصوت عند آخر الكلمة مقدار زمن التنفس اما اقصر منه فالسكتوقال
Artinya : “Memutus suara di akhir kalimat (ketika membaca al-Qur’an)
selama masa bernapas, tetapi jika lebih pendek dari masa
bernafas itu, maka disebut saktah”.
1Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), Juz VI, h. 4898
2Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwis Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 192
3Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz I, h. 359
4Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,
h. 154 5Ibnu al-Jaziri, al-Nasyr fî al-Qira’ati al-‘Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Juz
I, h. 240 6Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 154
16
Menurut Syekh al-Asymuni, waqaf adalah menghentikan suara di
akhir suatu kata dalam waktu tertentu.7 Syekh al-Musyifi mengemukakan
bahwa waqaf adalah menghentikan suara dari akhir suatu kata dalam
waktu tertentu yang umumnya dipakai untuk mengambil nafas dengan niat
memulai bacaan kembali.8 Adapun menurut A. Ghani, waqaf ialah
memutuskan atau memberhentikan suara dari membaca al-Qur‟an dengan
mengambil nafas dan berniat untuk menyambungkan semula tanpa jarak
waktu yang lama.9
Berdasarkan beberapa definisi tentang waqaf baik ditinjau dari
aspek etimologis maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa waqaf adalah menghentikan bacaan dengan cara
memutuskan suara dan melepaskan nafas di ujung perkataan-perkataan
tertentu dalam suatu tempo biasa.
2. Urgensi Waqaf
Syekh al-Anbari mengatakan bahwa termasuk dari kesempurnaan
wawasan al-Qur‟an adalah mengetahui waqaf, karena seseorang tidak
dapat memahami kandungan makna al-Qur‟an kecuali dengan mengetahui
jeda-jeda pembacaannya. Ini adalah dalil pertama yang menunjukkan
kewajiban mempelajari dan menafikan waqaf.10
Oleh sebab itu, setiap
qari’ sebaiknya mempelajari kapan waqaf diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Selain itu, ia juga harus belajar situasi-situasi yang
7 Syekh al-Asymuni, Manâr al-Huda, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), h. 8
8 Syekh al-Musyrifi, Hidâyat al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth), h. 371
9A. Ghani, Hukum Waqaf dan Ibtida’, (Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995), Cet. ke-1,
h. 57 10
Syekh al-Asymuni, Manar al-Huda, h. 5 - 6
17
memperbolehkan waqaf serta mempelajari mana cara yang benar dan yang
salah dalam masalah waqaf.11
Kemudian ia juga harus mengetahui kapan
harus memulai membaca (ibtida’) dan bagaimana cara mengawali
membaca al-Qur‟an dengan benar. Dengan demikian, waqaf sangatlah
penting terutama dalam mempelajari dan memahami kandungan ayat suci
al-Qur‟an.
Demikian pentingnya masalah waqaf ini hingga para sahabat dalam
mempelajari tempat-tempat waqaf sebagaimana mempelajari al-Qur‟an itu
sendiri. Hal ini mengingatkan kepada setiap qari‟ bahwa sangat penting
mengetahui hukum waqaf. Seandainya seorang pembaca tidak benar dalam
mewaqafkan ayat, maka akan keliru pula tentang arti dan maksudnya.12
Bagi yang mengerti akan isi setiap ayat atau rangkaian kata al-Qur‟an,
maka ia mengerti akan waqaf, karena waqaf merupakan keindahan bacaan
dari seorang qari‟, sebab kesempurnaannya dalam membaca dengan waqaf
pula pendengar dapat lebih paham akan kandungan al-Qur‟an yang dibaca
oleh orang lain.13
Hal ini mengisyaratkan bahwa keberadaan waqaf
sangatlah penting.
Melihat uraian di atas, tampak jelas urgensi waqaf dalam
memahami suatu ayat al-Qur‟an. Syekh al-Asymuni mengutif pendapat al-
11
Muhammad Ihsan Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 131 12
Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat
Nurulhas, 1996), Cet. ke-1, h. 95 13
Ahmad Muhammad Abudl Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, h. 95
18
Anbari14
menyatakan bahwa sebagian dari kesempurnaan mengenal al-
Qur‟an adalah mengetahui waqaf. Mustahil seseorang memahami makna-
makna al-Qur‟an dengan baik tanpa mengetahui tempat-tempat berhenti
(waqaf).15
Para ulama telah bekerja keras guna mendalami masalah ini
terutama untuk memudahkan orang ajam (non Arab) mengenal waqaf
sehingga lahirlah gagasan untuk merumuskan tanda-tanda waqaf dan
menyertakannya dalam penulisan al-Qur‟an.16
Berdasarkan uraian tentang urgensi waqaf dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa keberadaan waqaf sangat penting, karena mustahil
seseorang dapat memahami makna-makna al-Qur‟an dengan baik dan
benar tanpa mengetahui kaidah-kaidah waqaf. Oleh sebab itu, perlu adanya
pemahaman terhadap tanda-tanda bacaan dalam al-Qur‟an terutama
masalah waqaf.
3. Klasifikasi Waqaf
Ada beberapa pembagian dalam masalah waqaf. Pembagian
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Waqaf Idhthirory
14
Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Basyar Abu Bakar al-Anbari adalah seorang
ulama ahli al-Qur‟an yang wafat pada tahun 328 H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,
(Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988), Juz II, h. 220 15
Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manâr al-Huda fî Bayan al-Waqâf
wa al-Ibtida’, (Kairo: Daar al-Hadits, 2008), Juz I, h. 13 16
Salah satu ulama penyusun tanda-tanda waqaf dalam al-Qur‟an yang terkenal adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Taifur al-Sajawandi. Beliau adalah seorang ahli qira‟at dan tata bahasa
Arab yang wafat pada tahun 560 H. Lihat al-Suyuthi, Tabaqah al-Mufassirin, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1396 H), h. 87
19
Waqad dapat diklasifikasikan ke dalam empat macam yang
salah satu di antaranya adalah waqaf idhthirory. Waqaf idhthirory
ialah waqaf yang dilakukan oleh qari‟ karena kehabisan nafas, batuk,
lupa, dan lain sebagainya.17
Waqaf ini boleh diberlakukan pada kata
manapun. Namun demikian, qari‟ sebaiknya menyambung kembali
dengan kata sebelumnya apabila waqaf tadi belum sempurna artinya.
Jika sudah sempurna, maka sebaiknya bacaan dimulai kembali dari
kata berikutnya.18
Misalnya terpaksa waqaf pada kata على dalam ayat
.ختم الله على قلوبهم
b. Waqaf Intizhory
Waqaf intizhory adalah waqaf pada suatu kalimat yang di
dalamnya terdapat banyak hukum qira‟at.19
Dalam kalimat lain
disebutkan bahwa waqaf inthizhory adalah berhenti menunggu.
Artinya pembaca berhenti pada sebuah kata yang perlu untuk
menghubungkan dengan kalimat lain pada bacaannya ketika ia
menghimpun beberapa qira‟at karena adanya perbedaan riwayat.20
Waqaf ini diberlakukan ketika pembaca mengumpulkan atau membaca
beberapa riwayat dari sepuluh qira‟at yang mutawatir yaitu dengan
cara berhenti pada suatu kata tertentu untuk selanjutnya kembali
17
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, (Surabaya: Anggota IKAPI,
1997), Cet. Ke-1, h. 176 18
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010), Cet. ke-1, h. 167 19
Ahmad Muhammad Abdul Ghaffar, Pelajaran Ilmu Tajwid, (Kuala Lumpur: Syarikat
Nurulhas, 1996), h. 95 20
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176
20
mengulangi macam-macam qira‟at yang ada pada ayat tersebut.21
Misalnya waqaf pada kata الحجارة dalam ayat فاتقوا النار التى أعدت... للكافرين. Menurut ulama Qira‟at, mewaqafkan bacaan pada kata الحجارة
itu ada dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh waqaf atau terus
saja dan ada pula yang mengatakan terus itu lebih baik. Hal ini
disebabkan adanya tanda (ج) sehingga diharuskan berhenti. Pendapat
pertama mengatakan bahwa waqaf dibolehkan. Sedangkan pendapat
kedua mengatakan bahwa tidak perlu berhenti bahkan terus itu lebih
baik. Hal ini disebabkan adanya tanda (صلى), maka untuk menghargai
kedua pendapat tersebut di atas sengaja diwaqafkan terlebih dahulu
pada kata الحجارة kemudian diulang kembali pembacaan dari kata (التى) umpamanya.
22
c. Waqaf Ikhtibary
Waqaf ikhtibary ialah ketika seorang qari‟ berhenti sesuai
perintah karena sedang diuji dan dites supaya ia yakin pada kualitas
bacaan dan pengetahuannya tentang tata cara waqaf pada tempat yang
mengharuskan ia melakukannya.23
Waqaf ini diberlakukan ketika
seorang penguji mengajukkan pertanyaan atau seorang guru dalam
mengajarkan muridnya tentang suatu kata apakah boleh waqaf atau
21
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166 22
Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 130 23
Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 137
21
tidak.24
Misalnya waqaf pada kata(ابنى) dalam ayat واتل عليهم نبأبنى آدم بالحق. Pada dasarnya, kata (ابنى) seharusnya diwaqafkan dengan
menggunakan (ن), maka (ن) itu dihilangkan. Apabila diteruskan atau
disambungkan dengan kata (آدم) sesudahnya. Menurut kaidah Ilmu
Tajwid, pada hakekatnya berhenti pada tempat-tempat yang telah
ditentukan itu tidak diperbolehkan, tetapi hal seperti ini diperbolehkan
untuk melakukan pengetesan. Contoh, seorang guru sedang
menerangkan kepada muridnya tentang keadaan waqaf pada tempat-
tempat seperti itu jika terpaksa karena sesak nafas atau nafasnya
pendek, dan lain sebagainya.25
d. Waqaf Ikhtiyary
Secara garis besar, ada dua macam waqaf ikhtiyary yaitu waqaf
ikhtiyari jaiz dan ghairu jaiz. Waqaf ikhtiyary jaiz adalah ketika
seorang qari‟ berhenti pada suatu kata yang sudah mendatangkan
pemahaman makna yang dikehendaki dan tidak merusak arti atau
membingungkan pikiran pendengar.26
Sedangkan waqaf ghairu jaiz
merupakan waqaf yang tidak diperbolehkan atau bisa disebut juga
sebagai waqaf qabih.
24
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 166 25
Ismail Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, h. 131 26
Muhammad Ihsam Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, h. 137
22
Waqaf ikhtiyary merupakan waqaf yang disengaja, dipilih atau
dituju, bukan karena sebab-sebab yang telah lewat pada nomor satu,
dua dan tiga.27
Waqaf ini dipilih secara sengaja oleh seorang qari‟
untuk menghentikan bacaan al-Qur‟an pada suatu kalimat. Pilihannya
untuk waqaf pada kalimat tersebut bukan karena alasan darurat,
menunggu atau memberi keterangan. Keputusan untuk waqaf semata-
mata merupakan pilihan hatinya sendiri.28
Misalnya waqaf pada kata
الحمد لله رب العالمين. dalam ayat العالمين
Waqaf ikhtiyary dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian
yaitu waqaf tamm, kafi, hasan dan waqaf qabih. Berikut ini akan
jelaskan masing-masing dari keempat waqaf tersebut.
a. Waqaf tamm
Waqaf tamm adalah berhenti pada perkataan yang sempurna
susunan kalimatnya dan tidak berkaitan dengan kalimat sesudahnya
baik lafadz maupun maknanya. Pada umumnya, waqaf tamm
terdapat pada akhir ayat seperti berhenti pada :
... إياك Terkadang sebelum habis ayat seperti waqaf pada :
Terkadang pula di pertengahan ayat seperti waqaf pada :
27
Sairuddin A. Shomad Rabith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 176 - 177 28
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 167
23
Kadang-kadang juga sesudah habis ayat tambah sedikit seperti
waqaf pada :
b. Waqaf kafi
Waqf kafi ialah berhenti pada perkataan yang sempurna
kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dengan kalimat
sesudahnya namun tidak berkaitan dengan lafadznya seperti pada
kata لايؤمنونdan memulai pada kata 29.ختم الله على قلوبهم
c. Waqaf hasan
Waqaf hasan ialah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan
kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dan lafadznya dengan
kalimat sesudahnya.30
Dalam mushaf al-Qur‟an, waqaf ini ditandai
dengan rumus (صلى). Waqaf ini sering terjadi antara sifat dan yang
disifatinya. Contoh الحمد لله kemudian mulai dari رب العالمين dan dalam hal ini washal lebih utama.
d. Waqaf qabih
Waqaf qabih adalah berhenti pada perkataan yang tidak sempurna
susunan kalimatnya, karena berkaitan dengan lafadz dan makna
29
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 178 30
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 169
24
perkataan atau kalimat sesudahnya.31
Contoh waqaf qabih pada
lafadz بسم dari lafadz بسم الله. Kedua lafadz ini tidak bisa
dipisahkan karena lafadz pertama berkedudukan sebagai mudhaf,
sementara lafadz berikutnya berkedudukan sebagai mudhaf ilaih.
Mudhaf dan mudhaf ilaih ialah dua kata sempurna kalimat
majemuk yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Contoh
lainnya adalah waqaf pada lafadz الحمدdari lafadz الحمد لله. Lafadz
pertama berkedudukan sebagai mubtada’ atau pokok kalimat.
Sedangkan lafadz kedua berkedudukan sebagai khabar atau
keterangan.32
B. Ibtida’
1. Pengertian Ibtida’
Secara etimologis, ibtida‟ mempunyai akar kata dari bada’a yang
artinya memulai.33
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa ibtida‟ berarti
memulai sesuatu.34
Menurut Ismail, ibtida‟ ialah memulai pembacaan
kembali sesudah menghentikannya seketika untuk mengambil nafas.35
Adapun secara terminologis, ibtida‟ berarti memulai bacaan setelah
berhenti atau waqaf.36
Menurut Ulama Qurra‟, ibtida‟ adalah memulai
31
Sairuddin A. Shomad Robith, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, h. 180 32
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 170 33
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153 34
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz I, h. 223 35
Tekan Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Zikra, 1997), Cet. ke-10, h. 127 36
Abdul Karim ibrahim, al-Waqaf wa al-Ibtida’ wa Silâtuhuma bi Ma’na, (Kairo: Daar al-
Salam, 2008), h. 19
25
membaca al-Qur‟an baik memulai dari awal maupun meneruskan bacaan
yang semula dihentikan.37
Bedasarkan uraian definisi tentang ibtida‟ baik ditinjau dari aspek
etimologis maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa ibtida‟ dapat dipahami sebagai permulaan bacaan setelah berhenti
atau waqaf. Dengan demikian, ibtida‟ merupakan kajian ilmu tajwid yang
sangat penting. Oleh sebab itu, bagi orang yang belajar qira‟ah harus
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tajwid terutama
tentang ibitda‟.
2. Urgensi Ibtida’
Ibtida‟ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam pengkajian al-
Qur‟an. Penguasaan dalam ilmu ibtida‟ merupakan suatu keharusan bagi
setiap orang yang ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur‟an.
Menguasai dan mempelajari ilmu ibtida‟ sangat dituntut, karena
kelemahan dalam memahami ilmu ibtida‟ bisa menyebabkan para
pembaca al-Qur‟an berhenti pada suatu kalimah dengan sesuka hatinya
dan memulai bacaan dengan mengikuti kehendak hatinya tanpa melihat
kepada kondisi ayat tersebut sehingga dapat menimbulkan beda
pemahaman dalam bacaan al-Qur‟an. Untuk itu, menjadi suatu kewajiban
bagi setiap orang untuk mempelajari dan memahami semua kaidah dan
metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ibtida‟. Hal ini sesuai dengan
perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika
37
Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153
26
mengajarkan para sahabat, beliau menyebut dan membaca ayat-ayat suci
al-Qur‟an sebagaimana beliau menerima bacaan tersebut dari malaikat
Jibril.38
Ibtida‟ merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam rangka
mempelajari al-Qur‟an. Mempelajari tata kaidah bahasa Arab adalah wajib
bagi setiap orang yang ingin membaca buku-buku yang berbahasa Arab,
begitulah kedudukan dalam mempelajari ilmu ibtida‟. Ibtida‟ memiliki
peran penting dalam memelihara keindahan bacaan al-Qur‟an sehingga
dapat menepati bacaan yang diajarkan Jibril kepada Rasulullah SAW serta
memelihara dan menjaga maksudnya. Peraturan ini didasarkan pada
firman Allah SWT agar membaca al-Qur‟an dengan tartil, yaitu membaca
dengan suara yang indah sehingga dapat menyejukkan para pendengar al-
Qur‟an.
Kewajiban untuk mempelajari ilmu ibtida‟ sangatlah penting,
karena ilmu ini sangat berkaitan erat dengan pemahaman makna atau tafsir
al-Qur‟an. Seseorang yang melakukan kesalahan dalam memulai bacaan
al-Qur‟an akan mendatangkan pengaruh negatif dalam memahami ayat al-
Qur‟an. Menurut Pangilun, banyak di antara kaum terpelajar yang kurang
memahami kaidah-kaidah ilmu ibtida‟ dalam pembacaan al-Qur‟an.
Meskipun mereka memiliki kefasihan bacaan, namun kesalahan-kesalahan
dalam memulai bacaan sering terjadi.39
Kesalahan seperti ini sangat
38
rmc.kuis.edu.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014 39
Saharuddin Pangilun, Kemahiran Waqaf dan Ibtida’; Kajian Terhadap Guru-Guru al-
Qur’an di Daerah Kuala Langat Selangor Daar al-Ihsan, Kajang: College University Islam
Selangor, 2005), h. 75
27
membingungkan, karena menyebabkan pemahaman yang menyimpang
dari arti yang sebenarnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa ibtida‟ merupakan ilmu yang sangat penting dan memiliki peran
yang cukup urgen dalam mempelajari, mengkaji dan memahami al-Qur‟an
sehingga ilmu ini sangat diperlukan dalam setiap kajian al-Qur‟an.
3. Klasifikasi Ibtida’
Ibtida‟ merupakan salah satu ilmu sangat penting untuk dipelajari.
Untuk memudahkan pembelajaran ini, ibtida‟ dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa bagian yaitu :
a. Ibtida‟ Tamm
Ibtida‟ dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian yang salah satu
di antaranya adalah ibtida‟ tamm. Ibtida‟ tamm adalah memulai bacaan
yang tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya baik dari segi
lafadz maupun makna.40
Contohnya :
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS.
al-Hijr : 9).
b. Ibtida‟ Kafi
Ibtida‟ kafi ialah memulai bacaan dari satu kalimat yang mempunyai
hubungan arti dengan lafadz sebelumnya. Contoh :
40
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 171
28
c. Ibtida‟ Hasan
Ibtida‟ hasan adalah memulai bacaan dengan kalimat yang masih ada
hubungan dengan kalimat sebelumnya, namun lafadznya bagus jika
dimulai dengannya.41
Contoh :
d. Ibtida‟ Qabih
Ibtida‟ qabih ialah memulai bacaan dengan kalimat yang merusak
makna disebabkan sangat eratnya hubungan terhadap kalimat
sebelumnya.42
Contoh QS. Huda : 53 dan QS. al-Taubah : 31 adalah
sebagai berikut :
Menurut Wahyudi, ibtida‟ itu adakalanya mulai membaca pertama kali dan
adakalanya, memulai membacanya sesudah waqaf. Ibtida‟ itu harus dari awal
kalimat dan tidak boleh diambil dari potongan kalimat, sebab dapat merusak
kalimat al-Qur‟an seperti membaca مد لله الح diulang dari دلله atau dari حمد .dengan meninggalkan al-nya لله
41
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172 42
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Tajwid, h. 172
29
Mengetahui ibtida‟ itu harus lebih hati-hati dari pada waqaf, karena
waqaf itu masih bisa berhenti di mana saja apabila dalam keadaan
darurat. Lain halnya dengan ibtida‟ yang tidak boleh seenaknya saja
memulai bacaan, tetapi harus memilih dari perkataan yang mafhum.43
Secara garis besar, ibtida‟ dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Ibtida‟ jaiz
Ibtida‟ jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang jelas maknanya atau
sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.
b. Ibtida‟ ghairu jaiz
Ibtida‟ ghairu jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang dapat merusak
atau merubah makna kalimat. Ibtida‟ ini dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
- Ibtida‟ dari perkataan yang masih berkaitan dengan kalimat
sebelumnya baik lafadz maupun maknanya seperti :
Artinya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa” (QS. Al-Lahab :
1).
- Ibtida‟ dari perkataan yang mendatangkan makna yang tidak
dikehendaki oleh Allah SWT atau menyalahi aqidah seperti :
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa ibtida‟ itu tidak boleh kecuali dengan awalnya huruf suatu lafadz.
43
Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 243
30
Ibtida‟ juga tidak boleh kecuali dengan huruf yang hidup. Oleh sebab itu,
apabila terdapat lafadz yang huruf pertamanya disukun (mati), maka
haruslah didatangkan kepadanya hamzah washal agar bisa diucapkan.
31
BAB III
WAQAF DAN IBTIDA’ DALAM AL-QUR’AN
A. Tanda Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an
Dalam perkembangan waqaf dan ibtida‟, para ulama merumuskan beberapa
tanda untuk menunjukkan tempat berhenti (waqaf) yang digunakan dalam al-
Qur‟an. Para ulama melihat kebutuhan para pembaca al-Qur‟an terhadap tanda-
tanda yang menunjukkan tempat-tempat yang baik untuk berhenti atau
mewaqafkan bacaan. Tanda-tanda waqaf yang ada dalam al-Qur‟an merupakan
hasil dari ijtihad para ulama guna memudahkan para pembaca al-Qur‟an agar
terhindar dari kesalahan dalam menentukan tempat-tempat berhenti (waqaf) ketika
membaca al-Qur‟an. Jika seorang pembaca al-Qur‟an tidak berhenti di tempat
yang tepat, maka hal itu akan mengubah makna al-Qur‟an. Salah satu contohnya
ialah ketika membaca QS. al-Ma‟un : 4. Jika berhenti pada ayat tersebut, maka
ayat tersebut akan berarti : “maka celakahlah orang-orang yang shalat”. Hal ini
merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena tidak mungkin orang yang
mengerjakan shalat termasuk orang yang celaka. Seharusnya ayat tersebut
disambung dengan ayat berikutnya yang berarti : “yaitu orang-orang yang lalai
dari shalatnya”. Untuk itu, muncul beragam tanda waqaf dalam al-Qur‟an
sebagaimana yang biasa ditemukan dalam berbagai cetakan mushaf al-Qur‟an.1
1Penjelasan yang cukup rinci mengenai hal ini dapat dilihat pada Muhaimin, “Perbedaan
Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Makna al-Qur‟an”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Dalam salah satu sub babnya, ia
menjelaskan secara cukup mendetail tentang perkembangan tanda waqaf mulai dari awal
kemunculannya di Timur Tengah hingga perkembangannya di Indonesia.
32
Penggunaan tanda-tanda waqaf dalam al-Qur‟an ini merupakan salah satu
bentuk resepsi sosial budaya terhadap al-Qur‟an. Disebut demikian, karena awal
mula digunakannya tanda waqaf memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan
konteks sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Apabila para ulama ahli al-
Qur‟an menganggap tanda waqaf tidak dibutuhkan oleh masyarakat pada
umumnya, tentu mereka tidak akan menciptakan tanda-tanda waqaf. Di samping
itu, tanda merupakan salah satu unsur budaya dan tanda waqaf yang terdapat
dalam al-Qur‟an pun dapat disebut sebagai budaya. Penggunaan tanda waqaf ini
menunjukkan bahwa manusia menggunakan menggunakan simbol untuk
berinteraksi dengan manusia yang lain dalam kehidupannya. Simbol digunakan
oleh manusia karena ia mampu membuat penanda
B. Kosa Kata Waqaf dan Ibtida’ Dalam al-Qur’an
Waqaf hendaknya diletakkan pada akhir suku kata. Sedangkan ibtida‟
hendaknya diletakkan pada pangkal suku kata. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa ibtida‟ tidak diletakkan pada pertengahan suku kata sebagaimana tidak
bolehnya waqaf diletakkan pada pangkal suku kata. Namun waqaf sebaiknya
diletakkan pada akhirnya ayat yang sempurna jika nafas mencukupi. Demikian
pula halnya dengan ibtida‟ ialah pada pangkal ayat yang baru dan sempurna pula.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa waqaf adalah memutuskan
suara dari bacaan selama waktu yang cukup bagi si pembaca untuk menarik nafas
baru sepreti biasanya dengan niat akan memulai bacaan dan bukan berpaling dari
33
bacaan. Waqaf tidak boleh dilakukan pada pertengahan kalimat dan juga tidak
boleh dilakukan pada lafadz tulisan yang berhubungan.2
Berdasarkan pemahaman tentang kosa kata waqaf, maka waqaf memiliki
tiga bagian yaitu :3
1. Waqaf untuk berhenti selamanya, misalnya orang membacan surah al-
Baqarah, setelah tamat ia meneruskan shalat dan pada akhir bacaan surah al-
Baqarah itulah yang kemudian disebut dengan waqaf.
2. Waqaf yang bertujuan untuk mengambil nafas, karena nafas tidak kuat maka
si pembaca menghentikan bacaannya pada kalimat tertentu dan setelah
mengambil nafas, ia kemudian meneruskan lagi bacaannya.
3. Waqaf yang bertujuan untuk berhenti sebentar saja sehingga tidak sempat
bernafas meskipun hanya sejenak. Waqaf yang terkhir inilah yang kemudian
disebut dengan istilah saktah.
Adapun kosa kata ibtida‟ dapat dipahami sebagai permulaan dalam
membaca suatu ayat. Ketika hendak memulai membaca suatu ayat, maka
hendaknya dimulai dengan ayat yang dapat dimengerti artinya, jangan memulai
dengan ayat yang boleh mengubah maknanya seperti يد الله مغلولة –إن الله فقير– dan seandainya terpaksa berhenti pada salah satu contoh ayat إن الله ثالث ثلاثة
seperti di atas disebabkan tidak kuat menahan nafas, maka hendaknya memulai
pada ayat sebelumnya agar tidak salah tentang pengertian ayat tersebut.4 Oleh
2Muhammad al-Shadiq Ibnu Qamhari, al-Burhân fî Tajwîd al-Qur’an, alih bahasa Abu
Bakar Bahrun, (Bandung: Triganda Karya, 1995), Cet. ke-1, h. 92 3Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, (Surabaya: Karya Aditama, 1995), Cet. ke-1,
h. 154 - 155 4A. Ghani, Hukum Waqaf dan Ibtida’, (Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995), Cet. ke-1,
h. 58
34
sebab itu, perlu pemahaman lebih lanjut tentang kosa kata ibtida‟ dalam al-
Qur‟an.
Ibtida‟ adalah memulai membaca al-Qur‟an baik memulai dari awal maupun
meneruskan bacaan yang semua dihentikan. Melihat konsep seperti ini, dapat
diketahui bahwa ibtida‟ mempunyai dua versi. Pertama, memulai membaca al-
Qur‟an untuk pertama kali misalnya, setelah shalat seseorang membaca surah al-
Baqarah, ketika membaca lafadz آلمitulah yang dinamakan ibtida‟ yaitu memulai
pertamakali membaca al-Qur‟an. Kedua, memulai membaca al-Qur‟an setelah
berhenti yang sebelumnya sudah membaca al-Qur‟an. Misalnya, seseorang
membaca surah al-Fatihah ayat pertama dan kedua yaitu بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد lalu berhenti, kemudian diteruskan dengan ayat yang ketiga, maka لله رب العالمين
pada saat memulai membaca ayat ketiga itulah yang disebut dengan ibtida‟.5
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kosa
kata waqaf dan ibtida‟ merupakan metode bacaan yang dilafadzkan oleh si
pembaca ketika membaca ayat-ayat suci al-Qur‟an dengan tujuan agar memahami
apa itu waqaf dan ibtida‟ dalam sebuah bacaan al-Qur‟an.
C. Pendapat Ulama Tentang Waqaf dan Ibtida’
Dalam penjelasan secara singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida‟ yang
terdapat dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa metode dalam menetapkan waqaf dan
tanda-tandanya di antaranya adalah melakukan diskusi tentang masalah-masalah
waqaf, mengambil keputusan dengan mempertimbangkan makna-makna yang
tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir dan ulama ahli waqaf dan ibtida‟.
5Abdul Mujib Ismail, Pedoman Ilmu Tajwid, h. 153
35
Berdasarkan keterangan di atas, maka da tiga sumber waqaf dan ibtida‟
dalam penulisan dan penyusunan dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut :
1. Pendapat ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman Allah
SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2 : 138 adalah sebagai berikut :
Artinya : “Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari
pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” (QS.
Al-Baqarah : 138).
Berdasarkan penjelasan dari al-Asymuni, waqaf pada ayat ini
hukumnya hasan.6 Contoh lainnya adalah firman Allah SWT dalam QS. Ali
Imran/3 : 95 adalah sebagai berikut :
Artinya : “Katakanlah: Benarlah (apa yang difirmankan) Allah, maka ikutilah
agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Dia Termasuk orang-
orang yang musyrik” (QS. Al-Imran : 95).
Waqaf pada berdasarkan keterangan Abu Amr al-Dani
adalah waqaf tam.7
2. Pendapat ulama tafsir, seperti waqaf pada QS. Ali Imran/3 : 181 adalah
sebagai berikut :
6Al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtid’, (Kairo: Daar al-Hdits, 2008),
Juz I, h. 6 7Abû Amr al-Dani Sâid Usmân, al-Muktafa fî al-Waqaf al-Ibtida’, (Kairo: Dâr al-Sahabah,
2006), h. 63
36
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang
mengatakan: sesunguhnya Allah miskin itu dan kami kaya. Kami
akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka
membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan
mengatakan (kepada mereka): "rasakanlah olehmu azab yang
membakar” (QS. Al-Imran : 181).
Waqaf pada kata (اغنياء) adalah lazim, karena bila diwashalkan dengan
kalimat setelahnya maka akan terkesan kalimat setelahnya yaitu Kami akan
mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka …..” termasuk perkataan
kaum kafir, padahal tidaklah demikian. Riwayat beberapa mufassir tentang
asbabun nuzul ayat ini memperkuat keterangan di atas.
3. Pakar tajwid sepakat bahwa waqaf pada kata yang berstatus hasan ini
dibolehkan, tetapi mereka tidak sepakat tentang ibtida‟ dari kata berikutnya.
Syekh al-Mar‟syi berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata berikutnya tidak baik,
karena masih berkaitan dengan lafadz sebelumnya. Ibtida‟ harus mengulang
dari tempat waqaf atau dari kata sebelumnya sehingga menjadi susunan
kalimat yang baik. Syekh Ibnu Qosim berpendapat bahwa ibtida‟ dari kata
berikutnya adalah boleh, karena kalimat yang telah dibaca ada pengertiannya
sehingga tidak perlu diulang. Imam Suyuthi berpendapat bahwa ibtida‟ dari
kata berikutnya tidak baik, kecuali bila bertepatangan dengan ro‟su ayat.
Ibtida‟ dari ro‟su ayat selamanya baik walaupun waqaf sebelumnya berstatus
hasan, karena adanya hadits tentang berwaqaf pada ro‟su ayat. Pendapat imam
Suyuthi ini tampaknya lebih menekankan pada segi ta‟abudi bahkan dikatakan
sunnah hukumnya.8
8Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, (Surabaya: Halim Jaya, 2008), Cet. ke-2, h. 205
37
Jika diperhatikan, susunan satu kalimat memang adakalanya telah dapat
dimengerti dan ibtida‟ dari kata berikutnya tidak merusak pengertian atau makna
bahkan dengan menghubungkan keduanya adakalanya justru merusak makna.
Dalam hal seperti ini, ibtida‟ dari kata berikutnya tentu lebih utama. Sementara
itu, ada pula susunan kalimat yang sagat erat hubungannya yang dalam hal ini
adalah ibtida‟ dengan cara mengulang tentu lebih baik.9 Hal ini sesuai dengan
ijtihad lajnah atau tim penyusun jurnal Suhuf.
Ijtihad lajnah (tim penyusun), misalnya keputusan tidak menulis tanda
waqaf apa pun pada tiap akhir ayat. Mereka mengikuti pendapat yang
membolehkan waqaf pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai
keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya atau bisa merusak makna bila
tidak ada waqaf pada ayat tersebut.10
Misalnya saja waqaf pada akhir QS. al-
Baqarah/2: 219 dan QS. al-Ma‟un/107: 4. Pada kedua ayat ini para ulama tidak
mencantumkan tanda waqaf (لا) dengan dalil beberapa riwayat hadits Nabi yang
menjelaskan bagaimana beliau membaca al-Qur‟an. Misalnya riwayat dari Ummu
Salamah bahwa ketika membaca al-Qur‟an, Rasulullah SAW selalu memutus
bacaannya ayat per ayat. Beliau membaca basmallah lalu berhenti; membaca al-
Hamdulillah lalu berhenti; membaca al-Rahmân terus berhenti.11
Hal ini disebabkan makna memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap
ayat, maka berhenti pada akhir tiap ayat adalah sunnah yang telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Atas dasar ini, para ulama tidak merasa perlu
9Moh. Wahyudi, Ilmu Tajwid Plus, h. 205
10Abdul Karim Ibrahim Awal Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bî al-Ma’na fî al-
Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salam, 2008), h. 36 11
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr al-Ihya al-Turats al-„Arabi, tth), Juz V, h.
185. Bab Sawab al-Qur’an, Sub bab : Bagaimana Rasul Membaca al-Qur‟an, hadits No. 2927.
38
mencantumkan tanda waqaf. Mereka mengikuti mazhab yang menyatakan harus
waqaf di akhir tiap ayat.12
Meskipun waqaf pada akhir ayat tersebut memiliki
kesan berbeda-beda sesuai dengan keterkaitan yang kuat dengan ayat setelahnya
baik dari segi lafadz maupun dari segi makna atau dari keduanya. Bila melihat
kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya keterkaitan yang kuat
dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir ayat tersebut banyak
membantu memberi pemahaman yang utuh kepada orang Ajam/non Arab
khususnya.13
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
waqaf itu dibolehkan pada akhir ayat secara mutlak meski masih mempunyai
keterkaitan makna yang erat dengan ayat setelahnya. Hal ini disebabkan makna
memutus bacaan di sini adalah waqaf pada tiap ayat, maka berhenti pada akhir
tiap ayat adalah sunnah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
D. Perbedaan Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah
Paling tidak ada dua hal yang bersifat prinsipil terkait dengan masalah
mushaf standar Indonesia dan mushaf Madinah. Kedua hal tersebut adalah :
1. Waqaf dan Ibtida’ Pada Mushaf Standar Indonesia
Berdasarkan dokumen yang diperoleh dari hasil Musyawarah Kerja
ulama al-Qur‟an ke-5 tahun 1979, metodologi atau langkah-langkah yang
12
Ada dua mazhab utama dalam masalah waqaf di akhir ayat. Pendapat pertama
mengharuskan waqad di akhir ayat berdasarka riwayat hadits di atas. Pendapat kedua
membolehkan washl dengan ayat berikutnya terutama bila maknanya saling berkaitan. Lihat Abdul
Karim Ibrahim Awad Salih, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillâtuhuma bi al-Ma’na fi al-Qur’an al-Karim,
h. 35 13
Ahmad Badruddin, “Waqf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf
Madinah serta Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Suhuf, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 180
39
dilakukan ulama al-Qur‟an dalam menetapkan waqaf dan ibtida‟ pada Mushaf
Standar Indonesia adalah (a) berpedoman pada mushaf yang telah beredar
sebelumnya, yaitu cetakan Departemen Agama tahun 1960-an; (b) membaca
ulang waqaf-waqaf pada mushaf tersebut dan menyandingkannya dengan
kitab-kitab tafsir untuk melihat korelasi dan ketepatan makna; (c) selama tidak
berpotensi membingungkan, tanda-tanda waqaf itu akan dibakukan;
sebaliknya, bila dianggap lemah atau bermasalah maka ia akan dirubah atau
disesuaikan.14
Referensi pengambilan waqaf dan ibtida‟ pada Mushaf Standar
Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Muker Ulama al-Qur‟an VI tahun
1979/1980 antara lain adalah Jami’ al-Bayan karya al-Thabari, Ruh al-Ma’ani
karya al-Alusi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi dan Manaar al-
Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’ karya al-Asymuni,15
di samping waqaf-
waqaf hasil ijtihad para ulama yang terekam dalam al-Qur‟an cetakan
Departemen Agama edisi sebelumnya dan al-Qur‟an terbitan Mesir dan
Makkah sebagai pembanding.
Berdasarkan hasil penelusuran, maka dapat dipahami bahwa salah satu
dari referensi tersebut yakni Jami’ al-Bayan sebenarnya adalah Tafsir Gara’ib
al-Qur’an wa Raga’ib al-Furqan karya Nizamuddin al-Hasan bin Muhammad
Husain al-Naisaburi yang kebetulan disertakan sebagai bagian dari tafsir itu.
14
Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V,
(Jakarta: Departemen Agama, 1979), h. 33-38
15
Puslitbang Lektur Keagamaan, Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama al-Qur’an V, h.
27
40
Berikut ini adalah contoh-contoh waqaf dalam Mushaf Standar
Indonesia yang merujuuk pada referensi-referensi di atas yaitu QS. al-An‟am :
20.
Artinya : “Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka
mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-
anaknya sendiri, orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu
tidak beriman kepada Allah” (QS. al-An‟am : 20).
Menurut al-Naisaburi, waqaf pada kata Abnaa’ahum adalah laazim
agar tidak disangka bahwa kalimat setelahnya merupakan sifat dari kata ini.16
Kemudian dalam QS. al-Nahl : 32 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para
malaikat dengan mengatakan kepada mereka: Salaamun'alaikum,
masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah
kamu kerjakan" (QS. al-Nahl : 32).
Al-Alusi mengatakan bahwa kata yaquuluuna adalah hal dari kata
malaikat atau menjadi khabar jumlah dari kata al-laziina yang menjadi
mubtada’.17
Berdasarkan pada pendapat ini, maka Mushaf Standar Indonesia
mencantumkan tanda waqaf mamnu’ pada kata tayyiib.
16
Nizamuddin al-Hasan bin Muhammad Husain al-Naisaburi, Gara’ib al-Qur’an wa
Raga’ib al-Furqan, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Cet. ke-2, Juz VII, h. 112
17
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz VII, h. 505
41
Selanjutnya dalam QS. al-Mu‟minun : 100 yang berbunyi sebagai
berikut :
Artinya : “Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan
yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding
sampal hari mereka dibangkitkan” (QS. al-Mu‟minun : 100).
Kata kalla pada ayat ini termasuk yang diharuskan waqaf oleh al-
Zarkasyi, karena ia bermakna menolak.18
Mushaf Standar Indonesia yang
didasarkan pada pendapat ini mencantumkan tanda waqaf (qolaa) setelah kata
ini.
2. Waqaf dan Ibtida Pada Mushaf Madinah
Dalam penjelasan singkat tentang asal usul waqaf dan ibtida’ Mushaf
Madinah disebutkan bahwa tim panitia dalam menetapkan waqaf dan tanda-
tandanya di antaranya adalah (a) melakukan diskusi tentang waqaf-waqaf pada
mushaf yang masih eksis; (b) mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan makna yang tepat dan mengacu pada pendapat mufassir
dan ulama ahli waqaf dan ibtida’.19
Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga sumber waqaf dan ibtida‟
dalam penulisan dan penyusunan Mushaf Madinah yaitu :
18
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1972), Juz I, h. 448 19
Mushaf Madinah, (Madinah: Mujamma‟ al-Malik Fahd Littiba‟i al-Mushaf, 1985), h. 6
42
a. Pendapat para ulama ahli waqaf dan ibtida‟. Misalnya waqaf pada firman
Allah SWT dalam QS. al-Baqarah : 138 dan QS. Ali Imran : 95 seperti
yang telah dipaparkan di atas.
b. Pendapat ulama tafsir seperti waqaf pada QS. Ali Imran : 181. Hal ini juga
telah diterangkan di atas.
c. Ijtihad tim penyusun. Pada dua ayat ini, tim penyusun tidak
mencantumkan tanda waqaf (laam alif) dengan dalil beberapa riwayat
hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bagaimana beliau membaca al-
Qur‟an. Misalnya riwayat dari Ummu Salamah, bahwa ketika membaca al-
Qur‟an, Rasulullah SAW selalu memutus bacaannya ayat per ayat. Beliau
membaca basmallah lalu berhenti; membaca al-hamdulillah lalu berhenti;
membaca al-rahman lalu berhenti.20
Di sinilah letak salah satu perbedaan
mendasar antara Mushaf Madinah dengan Mushaf Standar Indonesia yang
banyak mencantumkan tanda waqaf di akhir ayat. Salah satu alasan kuat
yang diikuti oleh Mushaf Standar Indonesia adalah pendapat al-Zarkasyi
yang menyatakan bahwa yang menjadi fokus perhatian mayoritas ahli
qira‟at dalam persoalan waqaf adalah memperhatikan makna meskipun
bukan dipandang ayat.21
20
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi. t.th), Juz V, h.
185, bab Sawab al-Qur’an, sub bab “Bagaimana Rasululllah SAW membaca al-Qur‟an”, hadis no.
2927 21
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, h. 505
43
BAB IV
DAMPAK WAQAF DAN IBTIDA’ TERHADAP
TERJEMAH DAN TAFSIR
A. Terjemah dan Aplikasinya
Al-Qurán beserta cakupan bacaannya sudah muncul sejak masa Rasulullah
SAW. Adanya ragam bacaan tersebut ditulis pertama kali dalam mushaf secara
resmi oleh Usman bin Affan pada masa pemerintahannya (23-35) H.1 Mushaf-
mushaf inilah yang kemudian disebar ke berbagai kota di jazirah Arab dengan
disertai seorang qari‟ untuk setiap mushaf yang dikirim.2 Sedangkan satu mushaf
tetap disimpan di Madinah yang menjadi standar dan rujukkan akhir apabila
terjadi perselisihan di antara mushaf-mushaf tersebut3 bila ditinjau dari bentuk
tulisan.
Bentuk tulisan dalam mushaf Usmani pada awalnya ditulis tanpa ada titik,
harakat dan tanda waqaf. Keadaan seperti ini berjalan selama hampir 40 tahun
1Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa ciri dan karakteristik mushaf yang
ditulis pada masa khalifah Usman ini di antaranya adalah mencakup apa yang termuat dalam
bentuknya yang tujuh huruf yang mana al-Qurán itu diturunkan dengannya. Lihat Abu Amr al-
Dhani, al-Ahruf al-Sabáh li al-Qurán, (Jeddah: Dâr al-Manarah lî al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1997),
Cet. ke-1, h. 60. Lihat juga Abdurrahman bin Ibrahim al-Matrudi, al-Ahruf al-Qur’aniyah al-
Sab’ah, (Riyadh: Dâr al-Alam al-Kutub, 1991), Cet. ke-1, h. 86 2Mushaf-mushaf dengan masing-masing pola penulisannya ini dikirim ke berbagai kota
sesuai dengan bacaan yang berkembang dan dianut oleh kebanyakan penduduk di daerah tersebut.
Lihat Abd Hadi al-Fadli, al-Qira’at al-Qur’aniyyah; Tarikh wa Ta’rif, (Beirut: Daar al-Majma‟ al-
Ilmi, 1979), h. 132. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa khalifah Usman bin Affan
memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai imam qira‟at di Madinah, Abdullah bin al-Saib di Mekkah,
al-Mughirah bin Syihab di Syam, Abu Abdurrahman al-Sulami di Kufah dan Amir bin Abd. al-
Qais di Basrah. Mereka mendapat rekomendasi dari Khalifah ini selanjutnya diinstruksikan untuk
mengajarkan kepada sahabat dan tabi‟in yang lainnya berdasarkan mushaf yang dikirim ke daerah
masing-masing. Lihat Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manâhil al-Irfan fî Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), Juz I, Cet. ke-1, h. 278 - 279 3Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 2001), Juz I, h. 240. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), Juz I, h. 104
44
lebih.4 Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya ekspansi besar-besaran hingga
meluaslah Islam ke berbagai daerah di jazirah Arab dan implikasinya adalah
rentan sekali terjadi kesalahan dalam membaca al-Qur‟an bagi non Arab yang
tidak bisa berbahasa Arab.5 Untuk itu, upaya perbaikan bentuk tulisan mulai
dirasa penting untuk segera dilakukan. Adalah Yahya bin Ya‟mar dan Nasir bin
Asim pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (75 – 86) H yang dikenal
sebagai pemberi tanda titik pada huruf, sedangkan Abu Aswad al-Duwali (w. 69)
H sendiri memberikan tanda baca terhadap pola penulisan al-Qur‟an.
Sementara itu, perbaikan yang berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟ sudah
muncul pada abad pertama hijriyah, namun pada awalnya masih merupakan
bagian integral dalam praktek pembacaan al-Qur‟an dengan berbagai variasi
bacaannya6 dan tidak tertulis secara simbolis dalam mushaf al-Qur‟an. Adapun
sumbernya masih terbatas dari Nabi atau imam qira‟at yang menisbatkan
bacaannya kepada Rasulullah SAW. Hingga awal abad kedua hijriyah, sudah
banyak ulama yang berijtihad untuk menentukan tempat-tempat waqaf dan
sekaligus meletakkan simbol-simbol tertentu baik pada tengah ayat maupun ujung
ayat sehingga memunculkan banyak variasi tempat waqaf.7
Menurut para ulama, ilmu waqaf dan ibtida‟ sangat berguna untuk
mengetahui tata cara membaca al-Qur‟an, menghindari kekeliruan pemahaman8
dan dapat mendatangkan tujuan makna al-Qurán secara tepat dan benar. Selain itu,
4Abdul Sabur Syahin, Tarikh al-Qur’an, (Kairo: Nahdah Misr li al-Taba‟ah wa al-Tauzi wa
al-Nasyr, 2007), Cet. ke-3, h. 111 5Abd. al-Hayy Husin al-Farmawi, Rasm al-Mushaf wa Naqtuh, (Jeddah: Daar al-Nur al-
Maktabah, 2004), h. 287 6M. al-Azmi, Sejarah Teks al-Qur’an; Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Solihin,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 123 - 128 7 Al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 415. Lihat juga Abdul Qayyum al-
Sindi, Safahat fî Ulûm al-Qur’an, (Mekkah: Maktabah al-Imdadiyyah, 2001), h. 173 8 Ibn al-Jazari, al-Nasyr fî Qira’at al-Asyr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tth), h. 242.
Lihat juga al-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, Juz I, h. 342
45
urgensi menguasai ilmu ini adalah untuk memahami makna al-Qur‟an dan
menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.9Al-Qur‟an sebagai teks
yang dibaca dan yang ditulis, maka cara menyampaikan bahasanya yang baik
adalah yang mampu mengungkapkan sebuah gagasan atau konsep yang jelas,
teratur dan indah sehingga enak didengar dan tidak mudah menimbulkan salah
paham.10
Di sinilah letak arti penting kajian mengenai waqaf dan ibtida‟.
Kasus mengenai pengaruh ragam bacaan yang menyebabkan perbedaan
makna dan berimplikasi terhadap hukum waqaf dan ibtida‟ ini dapat ditemukan
dalam beberapa ayat al-Qur‟an di antaranya QS. al-Baqarah : 125 adalah sebagai
berikut :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman dan jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-
orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. al-
Baqarah : 125).
9 Manna‟ Khalil al-Qathan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
Cet. ke-11, h. 176. Lihat juga Husni Syeikh Usman, Haqq al-Tilâwah, (Jeddah: Dâr al-Manarah,
1988), Cet. ke-12, h. 73 – 74. Dalam sebuah pernyataan yang dikutif dari Abu Bakar al-Anbari (w.
328 H), ia mengatakan: min tamam (i) ma’rifat (i) al-Qur’an ma’rifat (u) al-waqaf wa al-ibtida’
fihi, bahwa salah satu kesempurnaan dalam memahami makna atau isi kandungan al-Qur‟an adalah
pengetahuan yang cukup tentang hukum al-waqaf dan al-ibtida’. Lihat Abu Bakar Muhammad ibn
Qasim ibn Basyar al-Anbari, Kitâb Idah al-Waqaf wa al-Ibtida’fi Kitabillah Azza wa Jalla,
(Damaskus: Majma‟al-Lughah al-Arabiyyah, 1971), Juz I, h. 108 10
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 5
46
Pada ayat di atas, qira‟at Nafi membaca huruf „ta‟ pada kata tersebut
dengan harakat fathah (tanda bunyi „a‟), dalam bentuk kata kerja lampau yaitu
kata ittakhaju.11
Jika dilihat dari segi analisis tata gramatika menurut versi bacaan
ini, kata tersebut harus ma’tuf (dihubungkan) dengan kata ganti orang kedua yang
terdapat dalam kata wa ij pada ayat sebelumnya. Sedangkan jika dilihat dari aspek
pemaknaan, versi bacaan ini sebenarnya ingin memaknai ayat tersebut sebagai
pemberitaan tentang kisah orang-orang beriman pada masa nabi Ibrahim bahwa
mereka menjadikan maqam Ibrahim12
sebagai tempat beribadah sehingga tafsir
ayat ini berupa :
مير كاذ و حد م ا ! إلت ب اي واتمالكبمي اىرب ى حر كاذ ... ال نل عجي تي ب ااسلن لةابثم ال ذى إب راىي م مقام من الن اس ات ذ حي اي ضا واذ كر نا، سيوأم
إل نا عهد حي واذ كر ها، إلي يصلو ن لة قب عن ده ذريتو كان وإس تمامو لإى بو13إب راىي م....
Semua pernyataan tersebut diungkapkan dengan bentuk pemberitaan yang
menurut Makki al-Qisi berfungsi sebagai tanbih atau tazkir (peringatan) bagi Nabi
SAW.14
Oleh sebab itu, derajat atau hukum berhenti membaca pada kata wa
11
Abu Amar al-Dhani, Jâmi’ al-Bayân fî Qira’ati al-Sab’, (Mekkah: Jami‟ah Ummul Qurra,
1995), h. 112. Lihat juga Muhammad Ibrahim, Farîdah al-Dahr fî Ta’sîl wa Jam’ al-Qira’at al-
Asyar, (Kairo: Daar al-Bayan al-Arabiy, tth), Juz II, h. 174. Bandingkan dengan Abdul Fattah
Abdul Ghani al-Qadi, al-Budûr al-Zahirah fî al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah, (Beirut: Daar
al-Kitab al-Arabiy, tth), h. 40 12
Maqam secara harfiah berarti tempat berdiri. Sedangkan yang dimaksud dengan maqam
Ibrahim di sini adalah sebuah batu tempat beliau berdiri dahulu ketika membangun ka‟bah. Lihat
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), Vol. I, h. 329 13
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
Juz I, Cet. ke-1, h. 552 14
Abi Muhammad Makki ibn Abi Thalib al-Qisiy, al-Kasyf ‘an Wujuh al-Qira’at al-Sab’
wa Illahiha wa Hijajiha, (Beirut: Muasassah al-Risalah, 1984), Juz I, Cet. ke-3, h. 263
47
amanna termasuk waqaf hasan,15
karena masih ada keterkaitan baik dari segi
lafadz maupun makna dengan kalimat selanjutnya. Dengan kata lain, semua anak
kalimat yang terdapat dalam ayat ini masih merupakan kesatuan wacana yang
utuh sehingga perlu diintegrasikan antara satu dengan yang lainnya.
Adapun bacaan lain termasuk Ashim, membaca kata tersebut dalam benuk
kata kerja imperative. Dari versi bacaan seperti ini, bias diartikan bahwa perintah
yang dituju dalam konteks ayat ini adalah Nabi Ibrahim dan keturunannya atau
bisa juga dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kalimat ini
menurut mereka, difungsikan menjadi kalimat pengalihan yang disisipkan dalam
sebuah wacana kisah Ibrahim.16
Dengan demikian, berdasarkan analisis tata
bahasa Arab dalam konteks ayat ini, maka berhenti membaca pada kata wa amna
termasuk jenis waqaf tamm,17
karena sudah tidak ada lagi keterkatian lafadz dan
makna dengan kalimat sesudahnya.
Adanya perbedaan-perbedaan bacaan ini dalam perjalanan sejarahnya,
ditulis dalam mushaf yang berbeda dan terkadang juga dengan bentuk yang
berbeda pula. Dalam hal ini, mushaf yang dikirim untuk penduduk Kufah
dipegang oleh Imam Asim, sementara Imam Nafi‟ lebih banyak mengambil dari
mushaf penduduk Madinah. Belakangan ini, penamaan mushaf tersebut
15
Waqaf hasan adalah waqaf yang diperbolehkan berhenti di tempat tersebut, namun secara
lafadz dan makna masih berkaitan dengan kalimat setelahnya. Ada juga yang mengartikan bahwa
dibolehkan waqaf di tempat tersebut, namun tidak boleh ibtida‟pada kalimat selanjutnya, karena
makna dan lafadz kalimat sesudahnya itu memerlukan pada kalimat sebelumnya, tidak bisa dipisah
sendiri-sendiri. Lihat Abi Hasan Alam al-Dhin Ali bin Muhammad al-Sakhawi, Jamal al-Qurra
wa Kamal al-Aqra’, (Beirut: Dâr al-Ma‟mun li al-Turas, 1997), Cet. ke-1, h. 684. Bandingkan,
Husni Syekh Usman, Haqq al-Tilawah, h. 93. 16
Fakhruddin al-Razy, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), Juz VI, Cet. ke-1, h. 53 17
Waqaf tamm adalah berhenti membaca di tempat yang kalimatnya sudah sempurna, dan
tidak ada keterkaitan dengan kalimat sesudahnya baik secara lafadz maupun makna. Lihat Ibn al-
Tahhan, Nizam al-Ada fi al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, tth), h. 30
48
dinisbatkan kepada imam atau rawi dari bacaan yang bersangkutan. Misalnya al-
Mushaf al-Karim bi riwayah Hafs ‘an Ashim (mushaf al-Qur‟an dengan riwayat
Hafs dari Ashim), al-Mushaf al-Karim bi riwayah Qalun al-Nafi’ (Mushaf al-
Qur‟an dengan riwayat Qalun dari Nafi‟), dan seterusnya.
Adapun deskripsi kedua mushaf qira‟at ini di antaranya dari segi perbedaan
jumlah huruf, menurut catatan al-Sijistani, terdapat 12 huruf perbedaan antara
mushaf Kufah dengan mushaf Madinah. Demikian pula dengan jumlah ayatnya,
mushaf qira‟at Ashim mengikuti pendapat ulama Kufah yaitu sebanyak 6236 ayat.
Sedangkan jumlah ayat dalam mushaf qira‟at Nafi‟ adalah mengikuti pendapat al-
Madani al-akhir yakni 6214 ayat.
Setelah diuraikan contoh kasus ayat tentang adanya pengaruh keragaman
bacaan terhadap hukum waqaf dan ibtida‟, maka langkah selanjutnya adalah
aplikasi tanda waqaf dalam sebuah mushaf. Pada sebagian mushaf qira‟at lainnya
hanya meletakkan simbol tertentu untuk semua tanda waqaf dalam mushaf
tersebut, padahal jika diteliti lebih jauh masing-masing bacaan tentunya memiliki
pengaruh tersendiri dalam hal waqaf dan ibtida‟.
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka dapat dipahami bahwa waqaf dan
ibtida‟ dipengaruhi oleh linguistik Arab. Paling tidak, ada dua aspek yang dapat
mempengaruhi keabsahan waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an yaitu aspek
semantik dan sintaksis. Aspek semantik yang digunakan oleh seseorang dalam
menentukan waqaf terbagi ke dalam tiga bagian yaitu :
1. Pemahaman makna tanpa terikat dengan simbol waqaf
Contoh dari pemahaman makna tanpa terikat dengan simbol waqaf adalah
firman Allah SWT sebagai berikut :
49
ديارىم من وت رجو نفري قامن كم ت لو نأن فسكم ىؤلاءت ق ان تم ث
2. Pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf
Contoh pemahaman makna yang terikat dengan simbol waqaf adalah firman
Allah SWT sebagai berikut :
ت تهاا لأن هارو بشرال ذي نآمن و اوعملو االص الاتأن لم جن اتت رىمن
3. Pemahaman makna pada perkataan yang mudah
Contoh pemahaman makna pada kata-kata yang mudah adalah firman Allah
SWT sebagai berikut :
اهبشتموابو ت و أو Sedangkan aspek yang kedua yang dapat mempengaruhi bacaan waqaf
dalam al-Qur‟an adalah aspek sintaksis. Dalam aspek sintaksis, dua kategori yang
diaplikasikan oleh seorang qari‟ dalam membaca al-Qur‟an adalah huruf wau dan
struktur ayat. Dalam membicarakan huruf wau, terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi para qari‟ dalam melakukan waqaf yang didasarkan pada huruf
wau yaitu :
1. Kesempurnaan ayat
Kesempurnaan ayat yang dimaksudkan adalah jumlah mufidah yang terdapat
dalam ilmu sintaksis yaitu ayat yang mengandung paham yang telah sempurna
tentang strukutur dan makna ayat.
2. Pemberian maklumat
Seorang qari‟ menyatakan bahwa maklumat yang diberikan pada saat
pembelajaran awal tajwid adalah dengan melakukan waqaf sebelum bertemu
huruf wau.
50
3. Pengaruh makna
Seorang qari‟ tiba-tiba berhenti membaca karena tidak kuat menahan nafas,
maka hal itu dikategorikan sebagai makna yang tidak sampai. Kata kunci
makna tidak sampai menunjukkan pemahaman seorang qari‟ terhadap ayat
yang dibaca dengan mengutamakan factor makna walaupun terdapat beberapa
pilihan huruf wau dalam petikan ayat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa struktur ayat
dijadikan sebab utama dalam menentukan tempat untuk memberhentikan bacaan
meskipun para qari‟ tidak memahami makna ayat yang dibaca secara keseluruhan.
Ia dikategorikan dalam aspek sintaksis karena dalam mempelajari ilmu ini,
penelitian terhadap baris atau struktur ayat diberi penekanan terhadap pemahaman
makna yang dibaca yang terdapat dalam tanda waqaf.
Waqaf banyak memiliki manfaat seperti pemanis bacaan, perhiasan qari‟,
cara penyampaian yang tepat bagi pembaca, bisa memahamkan pendengar,
kebanggaan orang yang berilmu dan dengan waqaf dapat diketahui makna yang
berbeda, ketetapan yang berlainan serta antara dua hukum yang berlainan.18
Demikan pula halnya dengan ibtida‟. Penjelasan secara singkat tentang asal usul
waqaf dan ibtida‟disebutkan bahwa tim penyusun dalam menetapkan waqaf dan
tanda-tandanya salah satu di antaranya adalah mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan makna yang tepat dan mengacu pada pendapat para mufassir
dan ulama ahli waqaf dan ibtida‟.19
18
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2016), Cet. ke-1, h. 166 19
Abu Amr al-Dani Usman Said Usman, al-Mukhtafa fî al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Kairo:
Daar al-Sahabah, 2006), h. 63
51
Adapun yang menjadi fokus perhatian mayoritas ahli qira‟at dalam
persoalan waqaf adalah memperhatikan makna meskipun bukan dipenghujung
ayat.20
Bila melihat kenyataan ini memang banyak sekali ayat yang masih punya
keterkaitan yang kuat dengan ayat berikutnya sehingga tanda waqaf pada akhir
ayat ini banyak membantu memberi pemahaman yang utuh dalam bacaan sebuah
ayat al-Qur‟an.
Waqaf dan tidak ibtida‟ merupakan bagian tajwid yang terpenting.
Seseorang yang belajar membaca al-Qur‟an harus memperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan waqaf dan ibtida‟. Waqaf di saat melakukan bacaan al-Qur‟an
memerlukan pengetahuan yang khusus agar bacaan al-Qur‟an terdengar bagus dan
indah. Dengan adanya waqaf, maka dapat dibedakan antara dua makna yang
berbeda dan dua makna yang berlawanan serta dua hukum yang berbeda.21
Oleh sebab itu, bagi pembaca al-Qur‟an yang sudah memahami al-Qur‟an
dengan baik, maka akan mampu menentukan waqaf dengan tepat walaupun tanpa
terikat dengan tanda-tanda waqaf. Dengan mengetahu tanda-tanda waqaf, maka
diharapkan seorang qari‟ mampu memahami makna ayat-ayat suci al-Qur‟an,
karena salah satu dari manfaat waqaf adalah untuk memahami makna ayat suci al-
Qur‟an.
Adapun tanda-tanda waqaf yang dapat mempengaruhi terjemah dan
aplikasinya adalah sebagai berikut :22
20
Al-Zarkasy, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Mishriyyah, tth), Juz I, h. 505 21
Ahmad Nuri, Panduan Tahsin al-Qur’án dan Ilmu Tajwid, h. 165 22
Muhammad Isham Muflih al-Qudhat, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk Segala
Tingkatan, (Jakarta: Turos, 2015), Cet. ke-1, h. 151
52
1. Tanda waqaf lazim (م)
Tanda waqaf ini diletakkan ketika maksud ayat sudah sempurna. Kandungan
tandanya tidak dapat terlihat jelas kecuali dengan waqaf. Jika pembaca
meneruskan dengan lafal selanjutnya, maka maknanya akan membingungkan
pendengar.
2. Tanda waqaf (قلى)
Waqaf ini lebih diutamakan dari pada waqaf washal meskipun diperbolehkan
washal.
3. Tanda waqaf (صلى)
Washal lebih diutamakan dari pada waqaf meskipun diperbolehkan waqaf
juga.
4. Tanda waqaf (ج)
Hukum waqaf jaiz (boleh) tanpa mengutamakan antara waqaf dan washal.
5. Tanda waqaf mu‟anaqah
Waqaf mu‟anaqah atau waqaf muraqabah adalah diperbolehkan waqaf pada
salah satu dari dua tempat yang terdapat tanda titik tiga di atasnya. Jika sudah
waqaf pada tempat pertama, tidak boleh lagi waqaf pada tempat kedua. Begitu
juga, bila hendak waqaf pada tempat kedua, maka tidak boleh waqaf pada
tempat pertama dan diperbolehkan juga meninggalkan waqaf pada kedua
tempat tersebut.
6. Tanda waqaf (لا)
Tidak diperbolehkan waqaf pada lafal yang terdapat tanda itu di atasnya lalu
mengawali bacaan dengan lafal berikutnya. Tanda waqaf ini hanya berlaku
53
jika terdapat pada pertengahan ayat saja. Tidak berlaku apabila terdapat pada
ujung ayat karena sudah berlaku kesunahan waqaf pada setiap akhir ayat.
Melihat tanda-tanda waqaf di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulah
bahwa waqaf lazim akan berpengaruh pada makna al-Qur‟an jika pembaca
meneruskan lafal selanjutnya. Oleh sebab itu, para pembaca al-Qur‟an harus hati-
hati dalam membaca al-Qur‟an apabila berhadapan dengan waqaf lazim. Jika tidak
diperhatikan oleh pembaca dalam membaca al-Qur‟an, maka tanda waqaf ini akan
berpengaruh terhadap makna bacaan al-Qur‟an.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pertama, ragam bacaan sangat mempengaruhi terhadap perbedaan jenis, hukum
dan tempat waqaf serta ibtida‟dalam al-Qur‟an. Kedua, adanya perbedaan ini
disebabkan oleh adanya tata gramatika bahasa Arab dan pemaknaan ayat. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan bacaan pada dasarnya berusaha menafsirkan apa
yang dikehendaki oleh suatu ayat sehingga kekeliruan dalam tata cara berhenti
dan memulai dapat berakibat terhadap pemaknaan yang tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh bacaan tersebut. Ketiga, dengan landasan adanya perintah
untuk membaca al-Qur‟an secara tartil dan teori kajian pengaruh bacaan terhadap
waqaf dan ibtida‟ yang sangat memperhatikan kesemurnaan kalimat dan makna
ketika berhenti dan memulai bacaan, maka tanda-tanda waqaf dalam sebuah
mushaf yang beredar selama ini kiranya perlu untuk dikritisi dan dikaji ulang.
B. Tafsir dan Aplikasinya
Membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar perlu disandarkan pada empat
ciri utama yaitu kelancaran, panjang dan pendek, dengung serta tebal dan tipis.
54
Salah satu tanda baca dalam al-Qur‟an adalah waqaf dan ia merupakan salah satu
ciri kelancaran yang perlu dikuasai dalam bacaan al-Qur‟an. Abdul Hamid
menjelaskan bahwa pengetahuan dan keterangan waqaf dalam bacaan al-Qur‟an
sangat dititikberatkan oleh para ulama, malah mayoritas ulama menjadikan
kemampuan menggunakan waqaf ini wajib diketahui oleh setiap pembaca al-
Qur‟an.23
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya : “Atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Quran itu dengan
perlahan-lahan” (QS. Al-Mujammil : 4).
Berdasarkan ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa menguasai ilmu
waqaf merupakan salah satu ciri kelancaran dan tartil yang kedua-keduanya
merupakan aspek yang paling penting yang perlu diperhatikan dalam bacaan al-
Qur‟an yang menitikberatkan pada tanda-tanda bacaan dalam al-Qur‟an yang
salah satu di antaranya adalah tanda waqaf.
Waqaf artinya memutuskan suara pada akhir kalimah seketika atau
memutuskan suara dengan perkataan yang berada sesudahnya.24
Waqaf juga dapat
dipahami sebagai pemutusan sebentar suara dari perkataan ketika membaca al-
Qur‟an. Namun kebanyakan di antara para pakar Arab menjelaskan bahwa jika
seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dari membaca al-Qur‟an tanpa
mengambil nafas yang baru, maka hal ini dinamakan saktah berbanding dengan
23
Su‟ad Abdul Hamid, Taysîr al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an, (Kahirah: Dâr al-Taqwa li
al-Nasyr wa al-Tawzi, 2001), h. 17 24
Al-Ashmuni, Manaar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2002), h. 67
55
waqaf dimana seorang qari‟ itu memutuskan sebentar suara dengan mengambil
nafas yang baru.
Waqaf diberlakukan untuk tujuan bernafas dengan niat guna menyambung
kembali bacaan dan tidak berniat untuk berhenti. Hal ini perlu dilakukan pada
akhir atau pertengahan ayat dan bukan pada pertengahan atau perkataan yang
bersambung tulisannya. Selain itu, waqaf juga boleh diartikan dengan
memutuskan suara bacaan di akhir perkataan hanya untuk sekedar bernafas guna
mengikuti kebiasaan individu serta dengan niat untuk menyambung kembali
bacaan. Dengan demikian, ilmu waqaf merupakan satu subyek untuk mengetahui
cara menyempurnakan bacaan dengan berhenti pada tempat-tempat yang telah
ditetapkan ulama qurra‟ agar dapat menyempurnakan makna pada tempat-tempat
tertentu dengan tidak merubah makna.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka tidak ada pendapat yang disepakati
ulama dalam hal menentukan tempat yang sesuai dalam melakukan waqaf. Hal ini
disebabkan oleh tidak adanya tanda-tanda yang tepat dalam menentukan tempat
guna melakukan waqaf atau hukum secara jelas tentang waqaf apakah ia wajib,
sunnah, makruh atau haram dalam menetapkan tempat waqaf.
Waqaf dan ibtida‟ merupakan salah satu ilmu terpenting dalam kajian ilmu
al-Qur‟an. Penguasaan ilmu ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang yang
ingin memahami dan menghayati kesucian al-Qur‟an. Mempelajari dan menguasai
ilmu waqaf dan ibtida‟ini sangat dianjurkan, karena kelemahan dalam memahami
ilmu ini, menyebabkan para pembaca akan berhenti pada kalimat sesuai dengan
kehendak hatinya sehingga akan merusak kesucian dan kemurnian al-Qur‟an.
Oleh sebab itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari dan
56
memahami semua kaidah dan metode ilmu tajwid terutama dalam bidang ilmu
waqaf dan ibtida‟.
Untuk memudahkan para pembaca dalam menetapkan waqaf yang sesuai
dengan bacaan al-Qur‟an, maka symbol yang diletakkan sebagai pedoman umum
yang merupakan ijtihad para ulama terdahulu membantu para pembaca al-Qur‟an
melakukan waqaf dengan mudah. Namun menurut penelitian, tidak ada perbedaan
simbol yang jelas bagi setiap kategori waqaf tersebut karena simbol ini diperoleh
dari saling bercampurnya antara satu sama lain.
Selain itu, waqaf juga bukanlah suatu perkara putus yaitu wajib berhenti
pada tempat tertentu dan meninggalkannya pada tempat yang lain.25
Untuk
mendapatkan kepastian dibalik perbedaan pendapat ini, maka setiap ayat perlu
diteliti berdasarkan keterangan yang telah direkomendasikan oleh para ulama
terdahulu berdasarkan beberapa aspek seperti semantik, retorika dan sintaksis
untuk tujuan penafsiran hokum berkaitan dengan aqidah, syari‟ah, social, dan lain
sebagainya. Selain itu, penyelarasan yang berkaitan dengan simbol waqaf dalam
al-Qur‟an juga perlu dilakukan guna mengoreksi kekeliruan yang berlaku di
kalangan para pembaca al-Qur‟an.
Kemampuan mempelajari ilmu waqaf sangat penting agar al-Qur‟an dapat
dibaca dengan sempurna tanpa merusak makna atau maksud dari suatu ayat dalam
al-Qur‟an. Manakala bahasa Arab perlu diaplikasikan sebagai pelengkap karena
kesempurnaan manka tidak mungkin berlaku tanpa dikaitkan dengan ilmu waqaf.
Dalam kajian sintaksis, perhatian diberikan pada analisis penggunaan dan susunan
25
Muhammad Rohim Jusoh, Tajwid al-Huruf dan Mengenal Waqaf, (Selangor: Pustaka al-
Khodim al-Mushaf, 2012), h. 75
57
kata dalam ayat. Dalam hal ini, juga dibahas tentang kaidah yang berkaitan
dengan hokum pada akhir kalimat Arab. Kajian cara pembentukan hukum melalui
partikel sebagai contoh, memerlukan penganalisaan struktur ayat gramatis yang
sempurna dengan melihat pada sudut waqaf yang diharapkan sesuai dengan
kesempurnaan makna.
Dalam kajian semantik yang merupakan disiplin ilmu bahasa Arab yang
pertama menerima pengaruh al-Qur‟an al-Karim, menjelaskan bahwa waqaf
adalah pemanis bacaan, perhiasan qari‟, dipahami pendengarnya, dikagumi oleh
orang alim dan dapat membedakan dua makna yang berlainan dan hokum yang
berlainan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antara peranan penting yang
disumbangkan oleh waqaf adalah untuk membedakan dua makna yang berlainan.
Hal ini bertujuan untuk memisahkan dua makna yang berbeda, maka kiranya
aspek semantik perlu dikaji guna memahami permasalahan waqaf.
Dalam kajian retorik, pembahasan al-fasl dan al-wasl menjurus pada kaidah
tentang pemberhentian dan penyambungan semula perkataan dalam ayat yang
melibatkan makna, pemahaman dan kehalusan bahasa Arab. Persamaan antara
ilmu waqaf dan al-fasl dan al-wasl berlaku pada konsep berhenti dan bersambung
dalam ayat yang member implikasi terhadap makna. Kaidah penyambungan dan
pemberhentian yang tepat amat penting untuk mengukur tahap pemahaman dalam
memahami konsep sebenarnya tentang retorika dalam bahasa Arab.
Seseorang yang membaca al-Qur‟an tidak akan mampu membaca secara
keseluruhan surat ataupun kisah yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan hanya
satu nafas. Ketika mencuri nafas antara dua perkataan dalam keadaan
58
bersambung, maka hal itu bukanlah suatu bacaan yang baik dan tertib. Kondisi
seperti ini banyak terjadi di masyarakat dalam menetapkan tempat untuk
melakukan waqaf dalam bacaan al-Qur‟an. Ada yang melakukan waqaf pada akhir
nafas dan ada juga yang menyangka bahwa waqaf perlu dilakukan pada akhir
ayat. Namun yang paling tepat adalah dengan berpedoman pada aspek makna.
Waqaf merupakan faktor utama dalam menentukan tempat waqaf yang diikuti
dengan aspek pernafasan. Oleh sebab itu, berhentilah pada akhir ayat yang telah
sempurna maknanya yang diambil dari bahasa Arab.
Linguistik Arab sangat membantu dalam menentukan bacaan waqaf yang
tepat dalam bacaan al-Qur‟an. Walaupun bidang linguistik Arab ini sangat luas,
namun cabang yang paling dominan dalam memahami waqaf adalah aspek
sintaksis atau i’rab dan terjemahan atau pemahaman maksud secara keseluruhan.
Dengan demikian, ada beberapa aspek yang turut mempengaruhi pemahaman
waqaf dan ibtida‟ dalam al-Qur‟an.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa aplikasi ilmu waqaf
dan bahasa Arab sangat membantu proses kelancaran bacaan al-Qur‟an. Ia
merupakan hubungan antara dua aspek yang saling melengkapi antara satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan bahasa Arab
dapat mempengaruhi proses waqaf yang didasarkan pada beberapa cirri umum
yaitu qari‟ tidak terlalu terikat dengan pedoman tanda waqaf dalam al-Qur‟an,
mampu melakukan waqaf dengan melihat pada aspek bahasa dan makna serta
mampu mengatasi masalah kekurangan nafas dengan memilih tempat yang sesuai
untuk melakukan waqaf.
59
Salah satu manfaat waqaf dan ibtida‟adalah membantu memahami al-
Qur‟an. Pemahaman memang sifatnya sangat relatif, sehingga keragaman bahkan
perbedaan dalam pemahaman merupakan hal yang biasa terutama pemahaman
terhadap tafsir. Tafsir adalah kajian yang berusaha menguraikan dan membahas
maksud Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai dengan kemampuan manusia. Oleh
sebab itu, kajian ini sangat tergantung pada pemahaman yang utuh dan penjelasan
yang komprehensif. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah : 274).
Ayat ini berisi pujian bagi orang-orang yang gemar berinfak siang atau
malam baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan. Bagi mereka
Allah SWT menjanjikan pahala yang besar dan mereka tidak akan diliputi rasa
takut dan sedih hati. Kemudian pada ayat berikutnya, Allah SWT berfirman
adalah sebagai berikut :
60
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan,
dan urusannya diserahkan kepada Allah. Orang yang kembali
mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah : 275).
Ayat ini berisi celaan Allah SWT kepada para perlaku riba. Kandungan ayat
ini sangat bertolak belakang dengan ayat sebelumnya. Jelas pula bahwa sifat-sifat
yang disebut pada ayat ini bukanlah sifat orang yang disebutkan pada ayat
sebelumnya. Oleh sebab itu, diwajibkan waqaf pada akhir ayat pertama dan ibtida‟
pada awal ayat kedua agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Ini adalah
satu dari tujuh tempat dimana ibtida‟dengan (الذين) diharuskan.26
Ketentuan ini
berbeda dari biasanya, karena pada umumnya ism mausul merupakan penjelas dari
ungkapan sebelumnya sehingga boleh diwashalkan, misalnya pada QS. al-
Baqarah: 3 yang menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa. Dengan demikian, dalam
sebuah ayat al-Qur‟an sangat dibutuhkan apa yang dikenal dengan istilah waqaf.
Pengetahuan tentang waqaf memili kaitan yang erat dengan kajian aqidah.
Pengaruh waqaf dan ibtida‟ terhadap penafsiran dalam kajian aqidah dapat dilihat
pada firman Allah SWT sebagai berikut :
26
Tujuh tempat itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarkasy adalah QS. Al-Baqarah: 121,
146 dan 275. al-An‟am: 20, al-Taubah: 19. al-Furqan: 34 dan al-Mu‟min: 7. Lihat al-Zarkasy, al-
Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 358
61
Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya,
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. al-Qashash: 68).
Waqaf pada (ويختار) yang diberi tanda (قلى) adalah waqaf tamm.27
Ini adalah
pendapat mayoritas ulama ahli waqaf dan ulam ahli tafsir. Bahkan al-Syaukani
menyatakan hal ini sebagai konsensus ulama.28
Dengan waqaf ini pula tampak perbedaan antara Ahlusunnah dengan
Mu‟tazillah.29
Ahlusunnah menafikan pilihan Allah berdasarkan pilihan
makhluknya. Artinya, dalam pandangan Ahlusunnah, tidak ada pilihan bagi
makhluk atas apa yang telah Allah pilih. Pilihan hanya milik Allah SWT dalam
semua perbuatan-Nya. Dia yang lebih mengetahui hikmah di balik yang
tersembunyi. Tidak ada seorang pun yang menentukan pilihan bagi-Nya. (ها) pada
ayat ini berfungsi sebagai nafy, ia menafikan pilihan pada makhluk dan
menetapkannya hanya untuk Allah SWT. Dengan penafsiran seperti ini, ayat di
atas sejalan dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka …” (QS. al-Ahzab 36)
Mengomentari ayat ini, al-Qurtubi mengatakan (ها) pada firman Allah SWT
adalah nafy yang universal. Ia mencakup segala aspek yang terkait (هاكان لهن الخيزة )
27
Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’,
(Beirut:: Daar al-Syuruq, tth), h. 293 28
Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Maktabah Asyriyah, 1997), Juz V, h. 418 29
Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni, Manar al-Huda fi Bayan al-Waqaf wa al-Ibtida’, h.
293
62
dengan manusia. Jadi, mereka mendapat hasil apapun dari hasil usahanya kecuali
berdasarkan kekuasaan dan takdir Allah SWT.30
Berbeda dari itu, beberapa ulama menetapkan waqaf pada kata (هايشاء) dan
ibtida‟ dengan kata (ويختار). Mereka mengikuti pendapat bahwa (ها) adalah
mausulah (sesuatu), sehingga penggalan ayat ini berarti “dan Allah memilihkan
sesuau yang mereka sendiri (manusia) punya pilihan”. Pendapat ini diyakini oleh
kaum Mu‟tazilah. Mereka mewajibkan adanya (صلح) dan (أصلح) dalam setiap
perbuatan Allah SWT terhadap makhluknya.31
Hal ini disebabkan adanya
pengaruh waqaf dalam sebuah al-Qur‟an.
Pengetahuan tentang waqaf juga memiliki kaitan yang erat dengan ilmu
fiqh, karena perbedaan waqaf mengakibatkan perbedaan dalam suatu hukum fiqh.
Misalnya hukum tidak mengucap basmalah pada saat menyembelih hewan. Hal
ini dapat dilihat pada firman Allah SWT sebagai berikut :
قس فلون إووي لعاللماس ركذ يال امو لكأ تلاو
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan”.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum menyembelih yang tidak
disertai dengan membaca basmalah atau tasmiyah. Pendapat pertama mengatakan
bahwa membaca basmalah atau menyebut nama Allah SWT ketika menyembelih
hukumnya sunnah sehingga kalaupun ditinggalkan dengan sengaja atau karena
30
Abu Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, al-Jami’ li al-Ahkam al-
Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1993), Juz VII, h. 280 31
Abu al-Fadl Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusi, Ruh al-al-Ma’ani, (Kairo: Daar al-
Hadits, 2005), Juz X, h. 408. Lihat juga Muhammad Fakhruddin al-Razi bin Diya‟uddin Umar,
Tafsir al-Kabir, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), Juz XIII, h. 11
63
lupa, maka hal itu tidak menjadi masalah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-
Syafi‟i dan Hasan al-Basri. Pendapat kedua mengatakan hukumnya wajib,
sehingga jika ditinggalkan akan mengakibatkan hewan sembelihan haram
dimakan. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Hanifah serta satu riwayat dari
Malik dan Ahmad.32
Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan waqaf pada
kata (اسن عليه) pada ayat tersebut di atas.
Kelompok pertama menyebutkan bahwa tidak ada waqaf pada (اسن عليه), dan
firman-Nya (وإنه لفسق) masih bersambung dengan kata sebelumnya karena menjadi
hal (menjelaskan kondisi). Dengan demikian, arti ayat ini adalah “janganlah
kalian memakan sembelihan orang yang tidak menyebut nama Allah sementara
keadaan orang tersebut adalah fasiq”. Jadi, kefasikan itu melekat pada diri orang
yang menyembelih ketika ia tidak menyebut nama Allah SWT. Kelompok ini
menguatkan pendapatnya dengan sebab turunnya ayat ini. Ayat ini turun berkaitan
dengan pertanyaan kaum musyrik yang bernada melecehkan kepada Rasulullah
SAW. Mereka bertanya, bangkai ini adalah sembelihan Allah, mengapa
diharamkan ?33
Kelompok kedua menyatakan bahwa waqaf dibolehkan pada kata (اسن عليه).
Dengan demikian, haram hukumnya memakan hewan yang disembelih tanpa
menyebut nama Allah. Ibtida‟ dengan kata (وإنه لفسق) menurut mereka, berfungsi
menjelaskan penyebab keharaman tersebut. Mereka meyakini ayat ini bersifat
umum, bukan saja berlaku bagi sembelihan orang musyrik seperti dibantah oleh
32
Muhammad Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, h. 224. Lihat juga Ibnu al-Arabi, al-
Ahkam al-Qur’an, Juz II, h. 272 dan lihat juga al-Jasas, Ahkam al-Qur’an, Juz III, h. 10 33
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Mu‟asassah al-
Halabi, tth), h. 150
64
kelompok pertama, tetapi juga bagi semua sembelihan yang tidak disertai
penyembelihan nama Allah SWT.
Berkaitan dengan orang yang meninggalkan basmalah karena lupa, maka
dalam hal ini Ibnu al-„Arabi mengatakan, “Tidak diharamkan memakan
sembelihan orang yang lupa menyebut nama Allah, karena ia tidak termasuk
kategori fasik dan tidak terkena khitab dari ayat tersebut”.34
34
Ibnu al-„Arabi, Ahkâm al-Qur’an, Juz II, h. 274
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian, penjelasan dan analisa sebagai hasil kajian yang berkenaan
dengan pengaruh waqaf dan ibtida’ terhadap terjemah dan tafsir, maka sebagai
upaya mengakhiri pembahasan skripsi ini penulis mengambil kesimpulan bahwa
penempatan tanda waqaf dalam al-Qur’an bertujuan untuk membantu dan
mempermudah pembaca al-Qur’an untuk berhenti dan memulai kembali
bacaannya pada kata yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
pemahaman dan penafsiran, karena waqaf dan ibtida’ mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penafsiran, maka pada umumnya waqaf bersifat ijtihadi
karena terkait dengan pemahaman sehingga sangat relatif dan beragam.
B. Saran
Dari hasil studi dan pembahasan tentang pengaruh waqaf dan ibtida’
terhadap terjemah dan tafsir yang tertuang dalam skripsi ini, kiranya tidak
berlebiihan jika penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Pada saat membaca al-Qur’an, banyak di antara para qari’ yang tidak
memperhatikan tanda-tanda waqaf. Untuk itu, setiap qari’ hendaknya
mempelajari kapan waqaf itu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Selain
itu, ia juga harus belajar tentang situasi-situasi yang memperbolehkan waqaf
dan mempelajari mana cara yang benar dan yang salah dalam masalah waqaf.
66
2. Pada saat membaca al-Qur’an, biasanya banyak di antara para qari’ yang
kurang mengetahui kapan memulai membaca al-Qur’an. Oleh karena itu,
setiap qari’ hendaknya mengetahui kapan waktunya harus memulai membaca
(ibtida’) dan bagaimana cara mengawali membaca al-Qur’an dengan baik.
3. Mempelajari aturan dan kaidah mengenai waqaf dan ibtida’ membuat setiap
qari’ akan terhindar dari kesalahan membaca al-Qur’an. Untuk itu, setiap qari’
hendaknya membaca al-Qur’an dilakukan secara tartil yaitu membaca setiap
huruf dengan berpedoman kepada ilmu tajwid dan mengetahui posisi serta
keadaan waqaf dan ibtida’.
4. Kesalahan fatal yang dialami oleh mayoritas kaum muslimin yang tergolong
parah ketika membaca al-Qur’an di antaranya adalah karena tidak
mendapatkan guru ngaji yang mempunyai ilmu yang mumpuni ketika mereka
belajar dahulu dan ketika mereka beranjak dewasa, bacaannya tetap lestari
dengan berbagai kesalahan yang tidak disadari. Oleh sebab itu, para guru ngaji
hendaknya mengajarkan kepada mereka dengan sungguh-sungguh sehingga
mereka benar-benar memahami ilmu tajwid.
5. Sekarang ini, banyak kajian lokal al-Qur’an dengan publikasi terbatas
cenderung termarjinalkan dan luput dari perhatian. Oleh sebab itu, para pakar
al-Qur’an hendaknya melakukan kajian al-Qur’an secara berkesinambungan
sehingga ajaran Islam tidak lagi ada di permukaan, tetapi sudah menjadi
bagian dari identitas Islam.
67
DAFTAR PUSTAKA
A. Shomad Robith, Sairuddin, Tuntunan Ilmu Tajwid Praktis, Surabaya: Anggota
IKAPI, 1997, Cet. ke-1
Abdillah Muhammad Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, Abu, al-Jami’ li al-
Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar al-Fikr, 1993, Juz VII
Al-Asymuni, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, Manar al-Huda fi Bayan
al-Waqaf wa al-Ibtida’, Kairo: Daar al-Hadits, 2008, Juz I
Amr al-Dani Said Usman, Abu, al-Muktafa fi al-Waqaf al-Ibtida’, Kairo: Daar al-
Sahabah, 2006
Annuri, Ahmad, Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an dan Ilmu Tajwid, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010, Cet. ke-1
AR., Mamsudi, Dienul Islam, Jakarta: LPPTKA BKPRMI DKI Jakarta, 2001
Arifin, Imam, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang:
Kalimasahada Press, 1996
Arifin, Zainal, “Mengenal Mushaf Standar Usmani Indonesia”, Jurnal Suhuf, Vol.
4, No. 1, 2011
Bahruddin, Ahmad, “Waqaf dan Ibtida‟ Dalam Mushaf Standar Indonesia dan
Mushaf Madinah; Pengaruhnya Terhadap Penafsiran”, Jurnal Kajian al-
Qur’an (Suhuf), Vol. 6, No. 2, 2013
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufur Dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang,
1991, Cet. ke-1
Al-Fadl Syihabuddin Sayyid Muhammad al-Alusi, Abu, Ruh al-al-Ma’ani, Kairo:
Daar al-Hadits, 2005, Juz X
Fakhruddin al-Razi bin Diya‟uddin Umar, Muhammad, Tafsir al-Kabir, Beirut:
Daar al-Fikr, 1995, Juz XIII
Ghani, A., Hukum Waqaf dan Ibtida’, Kuala Lumpur: Daar al-Nu‟man, 1995, Cet.
ke-1
Ismail, Tekan, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10
J. Maleong, Lexy,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007
68
Al-Jaziri, Ibnu, al-Nasyr fi al-Qira’ati al-‘Asyr, Beirut: Daar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tth, Juz I
Karim Ibrahim Awal Salih, Abdul, al-Waqf wa al-Ibtida’ Sillatuhuma bi al-Ma’na
fi al-Qur’an al-Karim, Kairo: Daar al-Salam, 2008
Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Daar al-Turas al-„Arabi, 1988, Juz
II
Khalil al-Qattan, Manna‟, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir AS.,
Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013, Cet. ke-16
----------------------------, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2005
Lihat Puslitbang Lektur Keagamaan, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Departemen Agama RI, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2005
Malik, Imam, al-Muwatta’, Mesir: Daar al-Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, tth, Juz II
Manzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth, Juz VI
Misbahul Munir, M., Pedoman Lagu-Lagu Tilawatil Qur’an; Dilengkapi Dengan
Tajwid dan Qasidah, Surabaya: Apollo, 1997
Muhammad Abdul Ghaffar, Ahmad, Pelajaran Ilmu Tajwid, Kuala Lumpur:
Syarikat Nurulhas, 1996, Cet. ke-1
Mujib Ismail, Abdul, Pedoman Ilmu Tajwid, Surabaya: Karya Aditama, 1995,
Cet. ke-1
Al-Musyrifi, Syekh, Hidayah al-Qur’an, Beirut: Daar al-Ma‟arif, tth
Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Mu‟asassah
al-Halabi, tth
Al-Nazhim, Ibnu, Syarh al-Thayyibah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Al-Qudhat, Muhammad Ihsan Muflih, Panduan Lengkap Ilmu Tajwid Untuk
Segala Tingkatan, Jakarta: Turos, 2015, Cet. ke-1
Rahman, Fazlur, Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyudin,
Bandung: Pustaka, 1995, Cet. ke-5
Rasyid Ridha, Muhammad, al-Wahyu al-Muhammadi, Qahirah: Maktabah al-
Qahirah, 1960
69
Al-Shadiq Ibnu Qamhari, Muhammad, al-Burhan fi Tajwid al-Qur’an, alih bahasa
Abu Bakar Bahrun, Bandung: Triganda Karya, 1995, Cet. ke-1
Al-Suyuthi, Tabaqah al-Mufassirin, Kairo: Maktabah Wahbah, 1396 H.
Al-Syaukani, Muhammad Ali, Fath al-Qadir, Beirut: Maktabah Asyriyah, 1997,
Juz V
Tekan, Ismail, Tajwid al-Qur’an al-Karim, Jakarta: Zikra, 1997, Cet. ke-10
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Daar al-Ihya al-Turas al-„Arabi, tth, Juz V
Wahyudi, Moh., Ilmu Tajwis Plus, Surabaya: Halim Jaya, 2008, Cet. ke-2
Al-Zarkasy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Daar al-Mishriyyah, tth, Juz I