Post on 26-Mar-2019
BAB I PENDAHULUAN
A. Permasalahan
1. Latar Belakang Masalah
Sejak awal kependetaan saya di GKJ Prembun tahun 1998, terdapat persoalan yang
cukup memprihatinkan saya, yaitu suatu “proses” sistematis di mana GKJ telah, sedang
dan akan melupakan sejarahnya. Keprihatinan ini didasarkan pada pengalaman selama
bimbingan kependetaan saya, di mana saya memasuki lingkungan GKJ ibarat berada di
lingkungan asing kecuali saya mempunyai tata gereja hasil keputusan Sidang Sinode
GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar
sendiri tentang kebiasaan praktek kependetaan yang telah ada tanpa harus mengerti
maknanya. Keprihatinan tersebut kemudian semakin mendalam setelah saya berkenalan
dengan banyak rekan pendeta di GKJ dalam berbagai pertemuan, bahwa keadaan yang
saya alami ternyata hampir sama terjadi pada mereka. Banyak di antara pendeta GKJ
termasuk saya belum mengetahui A, B, C – nya GKJ.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menduga bahwa proses melupakan sejarah
berangkat dari proses reproduksi atau regenerasi kepemimpinan GKJ terutama
kependetaannya. Proses seseorang menjadi pendeta di GKJ sangat sederhana hampir
tanpa dibimbing untuk mengenal A, B, C -nya GKJ terutama sejarah. Proses reproduksi
kepemimpinan atau kependetaan yang cenderung formalistik, di mana hampir tidak
terjadi internasilisasi A, B, C -nya GKJ ke dalam kesadaran dan pemahamannya. Tanpa
kesadaran dan pemahaman sejarah, maka reproduksi kependetaan akan menciptakan
kepemimpinan yang gamang terhadap peran dan fungsinya bagi gereja.
2
Hal tersebut memprihatinkan oleh karena berdampak luas dan mendasar bagi hidup
gerejawi GKJ. Beberapa persoalan yang saya duga ikut dipengaruhi oleh
ketidakpahaman terhadap sejarah GKJ sendiri, seperti: 1) kekacauan menejemen
keputusan-keputusan yang berangkat dari ketidakefektifan persidangan-persidangan
gerejawi. Keputusan-keputusan persidangan sering dibuat tanpa mempertimbangkan
keputusan-keputusan yang pernah dibuat dan sering berhenti pada Akta dan tidak
diimplementasikan secara operasional. Dengan keadaan demikian, maka kasus seperti
konflik antara Lembaga Penerbitan Sinode GKJ - “Toko Buku Kristen” Yogyakarta
dengan Badan Musyawarah Gereja-Gereja Berbahasa Jawa (BMGJ) mengenai hak
penerbitan buku Kidung Pasamuan Kristen beberapa tahun lalu merupakan sesuatu yang
sangat mungkin terjadi.
2) Adanya krisis identitas GKJ. Tidak mudah bagi warga termasuk para pendeta GKJ
untuk mengerti tentang “siapakah GKJ”, apakah ia merupakan Gereja – nya orang-
orang Kristen Jawa (eksklusif Gereja suku Jawa: terjemahan dalam bahasa Inggris
“Javanese Christian Churches”) atau Gereja Kristen di Jawa (insklusif terhadap
keberagaman suku di luar suku Jawa)? Demikian juga tidak mudah bagi warga GKJ
termasuk para pendetanya untuk menjawab mengenai persoalan status denominasinya,
semuanya akan sangat bergantung dengan wawasannya masing-masing dan tidak
mudah ditemukan dalam pemahaman definitif-formalnya. Mengenai krisis identitas ini
ada suatu pengalaman menarik berikut:
Dalam suatu pertemuan pra Sidang Sinode Non-Reguler tahun 2005 di Gedung Pertemuan Komplek Kantor Sinode GKJ yang membahas Draft Revisi PPAGKJ, saya agak kaget bahwa ternyata pemahaman para pendeta sangat beragam mengenai GKJ. Terjadi perdebatan yang rumit ketika membahas hakikat Gereja berkaitan dengan latarbelakang sistem presbiterial GKN. Seorang pendeta dari Klasis tertentu di wilayah Yogyakarta, mempertanyakan “mengapa yang disebut
3
gereja hanya gereja lokal, padahal hikmat saya klasis dan sinode juga gereja. Gereja-gereja lain seperti GKI, Sinode merupakan Gereja.” Pertanyaan yang cenderung usulan tersebut kemudian mendapat reaksi pro-kontra dari para peserta pertemuan sebelum akhirnya isi draf revisi PPAG tersebut diterima.”
Keprihatinan tersebut bukan ekspresi keputusasaan saya, tetapi ia merupakan usaha
pemetaan persoalan dalam kerangka posisi dan peran kependetaan saya, di mana
kesadaran dan pemahaman sejarah GKJ mutlak diperlukan. Bahkan dengan keprihatinan
tersebut saya seolah tidak sendirian di mana dalam Sidang Sinode XXII tahun 1998
GKJ memperbarui komitmennya untuk memperlengkapi para pendetanya dengan
kesadaran dan pemahaman sejarah gerejanya, meskipun kemudian diperhadapkan
persoalan keterbatasan historiografi gerejanya sendiri dan keberadaan dan ketersediaan
dokumen-dokumen sejarah yang sebelumnya kurang dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, historiografi gereja sebagai usaha mengembangkan kesadaran dan
pemahaman sejarah merupakan langkah penting yang harus dikerjakan, yang dengannya
identitas eksistensial-fungsionalnya dapat dipahami dan diaktualisasikan secara kritis,
apresiatif, kreatif dan dinamis.1 Ketersediaan buku-buku sejarah mengenai kelahiran
dan perkembangan GKJ sangat menolong siapapun terutama pemimpin dan warga GKJ
sendiri untuk mengenal dan menghayati identitas eksistensial-fungsionalnya secara
kritis, apresiatif, kreatif dan konstruktif. Pendapat Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo berikut
dapat memberikan referensi penalaran tentang kausalitas antara historiografi suatu
komunitas dengan pemeliharaan dan pengembangan identitasnya oleh komunitas yang
bersangkutan: 1 Istilah “identitas eksistensial-fungsional” dipakai di sini dan selanjutnya dalam pengertian sebagai ciri-ciri formal keberadaan dan fungsi (misioner) GKJ sebagai gereja dewasa yang selain secara struktural telah mandiri dari keterikatannya dengan GKN – mantan gereja induknya, juga secara kultural dan spiritual GKJ harus mempunyai karakter yang khas berkaitan dengan konteks dan unsur-unsur yang ikut membentuknya.
4
“Nasional history by definition refers to the construct of past events commonly experienced by members of a community or a nation. It functions to justify or to legitimate the existence of that community (or nation)…..The crucial point of the identity of the Indonesian nation-state lies in its historicity”2
Oleh karena itu, sejarah pada satu sisi berarti kesadaran untuk merekonstruksikan
peristiwa-peristiwa masalalunya, sedangkan pada sisi lain juga kesadaran untuk
mendokumentasikan keputusan-keputusan dan peristiwa-peristiwa kontemporernya dan
mengkonstruksikan tantangan-tantangan aktual dan gagasan dan cita-cita atau proyeksi-
proyeksi masa depannya. Pergumulan terhadap persoalan-persoalan kontemporer harus
mempunyai dimensi historis-empirisnya, dan sebaliknya sejarah harus dibaca dan
dipikirkan dalam perspektif pergumulan kontemporernya. Dengan demikian, maka
studi sejarah selalu aktual dan relevan bagi siapapun sebagaimana pendapat Benedetto
Croce berikut:
“History is living chronicle, chronicle is dead history; history is contemporary history, chronicle is past history; history is principally an act of thought, chronicle an act of will. Every history becomes chronicle when it is no longer thought, but only recorded in abstract words.” 3
Dengan pendapatnya tersebut, Benedetto Croce ingin mengatakan bahwa sejarah bukan
merupakan kronologi catatan peristiwa-peristiwa masa lalu, melainkan kronologi waktu
kehidupan yang tidak terpisahkan dengan kehidupan kontemporer. Oleh karena itu,
sejarah merupakan aktivitas atau tindakan berpikir dan berkehendak di mana konstruksi
peristiwa-peristiwa masa lalu memberikan dimensi empiris-historis terhadap
pergumulan kontemporer seseorang atau komunitas sosial. Seseorang atau komunitas
sosial yang mempunyai kesadaran sejarah, maka ia akan menyadari pula bahwa setiap 2 Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography, Yogyakarta,1998, hal.79-80. 3 Benedetto Croce, “History And Chronicle”, dalam Prof.DR.P.J.Suwarno,S.H. (Penyunting), Kumpulan Bahan Kuliah Filsafat Sejarah tanpa judul, tanpa tahun, hal.44 - 57.
5
realitas tidak pernah terjadi dan atau dipikirkan dalam konteks ruang dan waktu yang
kosong, melainkan ia selalu mempunyai hubungan kausalitas dan komparabilitas
dengan realitas lain baik secara diakronis maupun sinkronisnya.
GKJ sebagai perkembangan dari sejarah gereja Barat - reformatoris-Calvinis secara
formal mempunyai dua dimensi kesadaran sejarah. Dimensi pertama memberikan
fondasi bagi keharusan sikap kritis-progresivitasnya, yaitu “Ecclesia reformata semper
reformanda est”.4 GKJ mengidentifikasikan diri sebagai perkembangan dari sejarah
gereja Barat dengan rumpun Gereja reformasi yang dibidani oleh Jean Calvin, di mana
reformasi gerejawinya merupakan keharusan eksistensial-fungsional dalam perjalanan
sejarahnya. Dimensi kedua memberikan fondasi dan pilar-pilar keharusan sikap
ortodoksnya, yaitu “Sola fide, sola gratia, dan sola scriptura”. Eksistensi Gereja
dibangun dan ditegakkan hanya berdasarkan Alkitab yang dari dalamnya mengajarkan
bahwa keselamatan sebagai anugerah Allah hanya diperoleh dengan cara beriman
kepada Kristus Yesus. Oleh karena itu, secara formal GKJ berada pada posisi
ketegangan kreatif antara keharusan kritis-dinamis-progresif dan keharusan ortodoks
tersebut.
Sebagai kajian sejarah, tesis ini berusaha merekonstruksikan pergumulan dan
pengalaman GKJ mengelola dua keharusan eksistensialnya tersebut. Namun harus
diakui bahwa GKJ sebagai entitas sosio-religius mempunyai cakupan aspek hidup yang
luas, yang tidak mungkin dikaji secara menyeluruh dan tuntas dalam tesis ini. Demikian
juga diakui bahwa hubungan kausalitas dan komparabilitas peristiwa-peristiwa masa
lalu tidak mempunyai batasan-batasan yang mutlak baik secara diakronis maupun
4 Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (penyunting), GKJ (Gereja-gereja Kristen Jawa): Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta, 1988, hal.203.
6
sinkronis. Oleh karena itu, supaya dapat dilakukan langkah-langkah reconnaisance
(peninjauan untuk mengidentifikasi masalah) dan feasibility (kemungkinan yang dapat
dikerjakan dalam penelitian dan penulisan), maka saya membatasi kajian tesis ini fokus
pada satu aspek sejarah GKJ.
Aspek sejarah yang hendak dikaji adalah pergumulan GKJ mengupayakan dogma
gerejanya sendiri selama periode 1945-1996. Fokus tersebut dipilih dengan beberapa
pertimbangan dan fakta berikut: 1) ciri-ciri formal yang harus ada pada GKJ sebagai
gereja dewasa dan mandiri, yaitu a) harus memerintah sendiri, b) mencukupi kebutuhan
dana sendiri, dan c) mengembangkan atau memberitakan Injil sendiri, yang ditandai
dengan memiliki Tata Gereja sendiri, Pengakuan Iman atau dogma gereja sendiri, dan
Liturgi sendiri.5 2) bagi GKJ, dogma gereja merupakan kebutuhan dan persoalan
eksistensial yang menyita perhatian besar sejak awal sejarahnya sampai sekarang.6
Paling tidak secara kasat mata (sekilas pandang dapat dilihat) beberapa fakta berikut
dapat memberikan gambaran tentang besarnya perhatian GKJ terhadap kebutuhan dan
persoalan dogma: (a) GKJ hampir secara regular sejak sidang sinodenya tahun 1945
terus membahas materi mengenai persoalan dogmanya sendiri. (b) GKJ memiliki
banyak ahli dogmatika yang dahulu cukup dominan dalam dunia pendidikan teologi di
Indonesia terutama di tiga lembaga: Sekolah Tinggi Theologia Jakarta (Pdt. Prof. Dr. R.
Sudarmo dan Pdt. Sularso Sopater, Th.D.), Sekolah Tinggi Theologia (sekarang
Fakultas Theologia) Duta Wacana (Pdt. Dr. Harun Hadiwijono), dan Fakultas Theologia
5 Akta Sinode IX GKJ tahun 1964 Artikel 32 dalam: Siwandargo (penghimpun), Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ volume 2, hal.12. Tiga kriteria gereja dewasa adalah: 1) kemandirian daya, 2) kemandirian dana, dan 3) kemandirian teologi dalam rangka pelaksanaan pekabaran Injil. 6 Bdk. J.A.C. Rullmann Sr. Zending Gereformeerd di Djawa-Tengah, Baarn, 1970, hal. 39.
7
Universitas Kristen Satya Wacana (Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo, S.Th.).7 (c). Dalam
lingkungan GKJ telah banyak dihasilkan buku-buku dogma baik dalam bentuk buku-
buku bacaan teologi maupun dalam bentuk buku katekisasi.
Besarnya perhatian terhadap persoalan dogma gereja tersebut oleh karena juga didukung
oleh tradisi gerejawinya yang diwarisi dari Zending der Gereformeerde Kerken in
Nederland (ZGKN) yang selain bersifat gerejawi-konfesional dan “pilaris” bahkan juga
sangat ortodoks dan “superior”.8 Dengan tradisi gerejawi tersebut, peran dan posisi
dogma gereja sangat penting dan mendasar sebagai pilar praksis gerejawinya dan
bahkan untuk mengekspresikan identitas eksistensial dan mendukung tugas
misionernya. Sebagaimana GKN sendiri dikenal sangat ortodoks terhadap 12 Pokok
Pengakuan Iman Rasuli dan tiga dokumen keesaan gereja Belanda (Katekismus
Heidelberg, Pengakuan Iman Belanda atau Confessio Belgica, dan Pasal-pasal melawan
kaum Remonstran) sebagai standar pengajaran iman yang benar.9 Watak yang kurang
lebih sama ortodoksnya juga melekat pada GKJ.
Kedewasaan dan kemandirian GKJ mempunyai konskuensi munculnya kebutuhan
formal dan fungsionalnya terhadap dogma gerejanya. Posisi dua dokumen dogma gereja
7 Terhadap fakta ini sangat mungkin terjadi multi tafsir, baik dengan atau tanpa menegasikan satu penafsiran oleh penafsiran lain. Tafsir yang pernah saya dengar adalah bahwa fakta tersebut merupakan bentuk dominasi GKJ dalam menyediakan ahli-ahli dogmatika oleh karena ”kesepakatan” adanya alokasi Gereja-gereja pendukung untuk menyediakan dosen sesuai mata kuliah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi teologi di Indonesia pada beberapa ”Sekolah Tinggi Teologi”, dimana GKJ mendapatkan alokasi untuk mengisi ahli dogmatika. Dukungan GKJ sendiri terhadap STTh Jakaarta secara formal diberikan baru tahun 1969 setelah dalam laporannya kepada Sidang Sinode XI GKJ Pdt. Prof. Dr. R. Sudarmo atas nama STTh menyatakan aliran teologi yang dikembangkannya. 8 Oleh karena ZGKN merupakan Zending yang diselenggarakan oleh Gereja (GKN) maka ia bersifat konfesional (berdasarkan konfesi atau ajaran gerejanya). Karakter lain dari ZGKN adalah pilaris, yaitu kehidupan gereja dibangun berdasarkan pilar-pilar ajaran dan tata gereja yang dipegang dan dikerjakan secara kaku (rigid). Ia juga dikenal sebagai gereja yang berkarakter superior selain ortodoks, sehingga mempengaruhi perilakunya dalam hubungannya dengan agama dan gereja lain dengan menempatkan diri sebagai yang paling benar dan harus diikuti oleh yang lain. Mengenai hal terakhir ini akan dibahas berkaitan dengan usaha GKJ untuk mempersatukan Gereja-gereja Jawa sejak tahun 1942. 9 Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme?, Jakarta, 2000, hal. 290-297.
8
yang diwarisinya dari ZGKN, 12 Pokok Pengakuan Iman Rasuli dan Katekismus
Heidelberg kemudian dipertanyakan validitasnya sebagai pilar dan ekspresi identitas
eksistensial-fungsionalnya bagi praksis gerejawi GKJ. Validitas keduanya juga layak
dipertanyakan pada saat GKJ berusaha berkoeksistensi-ekumenis dengan Gereja-gereja
lain yang mempunyai tradisi dogma gereja yang berbeda. Pada satu pihak, ia lama
“terperangkap” oleh sikap mental kamizendingen di mana ia tersubordinasikan atau
mensubordinasikan diri secara mental dan struktural di bawah otoritas GKN,10 yang
dengan sikap tersebut tergoda untuk memegang dua warisan dokumen dogma gerejanya
sebagai ajaran ortodoksnya, namun pada pihak lain sebagai gereja dewasa dia dituntut
untuk menyusun dogma gereja kontekstualnya sendiri. Dalam ketegangan-kreatif
tersebut secara evolutif dan sangat hati-hati, sejak kelahirannya terutama sejak periode
pencapaian kemerdekaan Indonesia, GKJ telah mulai mempergumulkan wujud
kemandirian teologi untuk menyusun dogma gerejanya.
Oleh karena itu, pencapaian GKJ dalam Sidang Sinode Terbatas-nya tahun 1996 yang
telah menetapkan secara definitif Pokok-pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) sebagai dogma
gerejanya bukanlah hasil pergumulan sesaat sebagaimana yang selama ini diketahui
oleh hampir semua warga termasuk banyak di antara para pendetanya. Bahkan ternyata
pencapaian tersebut tidak ”menghentikan” pergumulan dogmatisnya, melainkan justru
semakin intensif, seolah-olah pergumulan dogmatis GKJ sedang dimulai. PPAGKJ,
10 Bdk. Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (penyunting), GKJ (Gereja-gereja Kristen Jawa): Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta, 1986, hal. 155, dan Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada abad XIX, Jakarta, 2001, hal. 278-279. Istilah ”Kamizendingen” ini pertama kali digunakan oleh Pdt. Wirjotenojo (ayah dari Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo) pada tahun 1936 dalam pidatonya menyambut 30 tahun Sekolah Teologi milik ZGKN di Yogyakarta (sekarang: Fakultas Theologia UKDW Yogyakarta). Dalam pidatonya Wirjotenojo mengkritik Zending yang dianggapnya tidak jujur dalam membina GKJ dimana ia tidak mensosialisasikan tujuannya semula untuk mendewasakan GKJ. Oleh karena itu, dengan model pembinaan yang tidak mendorong warga gereja berpartisipasi bagi kemandirian gerejanya, maka GKJ justru merasa nyaman terus hidup dengan mental ketergantungannya terhadap ZGKN.
9
baik yang berkaitan dengan proses, yang dianggap banyak pihak kurang melibatkan
partisipasi warga dan pendetanya termasuk Tim Pembaca-nya, maupun dengan
substansi ajarannya justru menjadi bahan polemik internal yang menguras banyak
energi. Dengan demikian, kajian sejarah tentang bagaimana GKJ mempergumulkan
wujud dogma gerejanya sendiri dalam setiap perkembangan sejarahnya akan sangat
penting untuk menolong memberikan dimensi empiris-historis bagi para warga
termasuk para pemimpinnya dalam berpartisipasi kritis, apresiatif, kreatif dan
konstruktifnya terhadap pergumulan kontemporer GKJ.
2. Rumusan Masalah
2.1. Kerangka Masalah Hampir selalu sulit bagi siapapun atau gereja apapun untuk bersikap kritis terhadap
warisan dogma tradisionalnya kemudian berupaya membangun sendiri dogma
kontekstualnya. Pada satu pihak, dogma dalam praktik gereja sudah terlanjur diterima
berdasarkan aksioma, yaitu bahwa dogma gereja sebagai suatu bentuk truth claim
“hampir selalu” dipahami sebagai kebenaran illahi itu sendiri (yang terkait dengan
eksistensi dan otoritas Allah), sehingga loyalitas terhadap kebenaran (eksplisit:
keagamaan) bertindih tepat dengan sikap ortodoksnya terhadap formula dogma tertentu.
Sehingga sifat sikap dan pemikiran dogmatis hampir selalu berasumsi sama dengan
”absoluditas” dan ”stagnasi” sikap dan pemikiran teologis tertentu, baik dalam praktik
gerejawi maupun dalam dunia akademik. Pada pihak lain, dalam dunia teologi
akademik apresiasi terhadap konteks merupakan suatu yang “baru” dalam arus
kontekstualisasi, setelah sebelumnya terjadi dekontekstualisasi pada hampir “seluruh”
10
pemikiran teologi.11 Setiap konteks bukan hanya diperlukan dalam kerangka metodologi
tetapi juga secara substantive ternyata ikut berpengaruh dan berkonstribusi dalam
bangunan dogma. Oleh karena itu, istilah “teologi kontekstual” hampir selalu dipahami
kaitannya dengan relativitas dan dinamisitas pemikiran teologi.12
Kesulitan yang ditimbulkan oleh dua aspek paradoksal dalam pemikiran teologi-
dogmatis tersebut dapat membantu memahami pengalaman historis GKJ dalam usaha
mengimplementasikan kemandiriannya. Telah disadari sejak awal kelahiran GKJ bahwa
tugas menyusun dogma gereja sendiri merupakan tanggungjawab formal dan
eksistensial-fungsional sebagai konskuensi pendewasaannya. Sedangkan dua warisan
dokumen dogma gerejanya, Pengakuan Iman Rasuli dan Katekismus Heidelberg,
merupakan dogma sementara selama GKJ belum memiliki dogma gerejanya sendiri
sesuai dengan konteks ketimurannya. Sesuatu yang tidak mudah dan semakin sulit
bahkan sering tampak tidak terpikirkan sebagai tugas formal dan eksistensial-
fungsionalnya ketika secara mental pada satu sisi GKJ kurang percaya diri, lemah dan
sangat tergantung pada ZGKN – Gereja induknya (kamizendingen), sedangkan pada
sisi lain dengan mewarisi tradisi Gereformeerdnya GKJ merasa percaya diri, kuat dan
superior dalam berhadapan dengan Gereja-gereja lain – tetangga domestiknya.
11 Stephen Toulmin, Cosmopolis : The Hidden Agenda of Modernity, New York, 1990, hal. 21, 31-32, 105-107 dan Dr. Richard A.D. Siwu, Misi dalam Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia, Jakarta, 1996, hal.185-187. Menurut Stephen Toulmin, dunia pemikiran Barat yang kemudian melekat pada pemikiran modern yang dipelopori oleh para filsuf Eropa abad 17 telah mengalami dekontekstualisasi, dimana para filsuf percaya bahwa pemikiran-pemikiran filsafat mereka bebas dari pengaruh konteks tertentu. Dengan dekontekstualisasi tersebut para pemikir Barat menciptakan teori-teori abstrak yang dapat dipakai secara universal. Sedangkan kontekstualisasi sebagai metode berteologi menurut Dr. Richard A.D. Siwu mulai dikenal dan dipakai oleh sementara teolog Asia, bahkan umumnya mereka yang tergabung dalam “Asosiasi Ekumenikal Teolog-teolog Dunia ketiga” sejak tahun 1970. 12 Bdk. Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX, Jakarta dan Yogyakarta, 2001, hal. 3 – 4.
11
Pada satu sisi dengan tradisi keyakinan superior – Gereformeerdnya, bahwa warisan
dogma gerejanya merupakan ajaran iman yang paling benar, maka dalam waktu relatif
lama dua warisan dokumen dogmanya, baik disadari maupun kurang disadari, justru
seolah-olah menjadi dogma gereja definitif atau ortodoksnya sehingga tugas formal dan
eksistensial-fungsionalnya untuk menyusun dogma gerejanya sendiri terabaikan. Secara
substantif dalam waktu relatif lama GKJ mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari
persekutuan ”Gereformeerd”, di mana ke-Timur-an atau ke-Jawa-an dan ke-indonesia-
annya tidak diadopsi sebagai unsur penting bagi identitas eksistensial-fungsionalnya.
Ke-Timur-an atau ke-Jawa-an dan ke-Indonesia-an cenderung hanya dimaknai sebagai
tempat di mana ia hidup dan mengembangkan ke-Gereformeerd-annya. Sedang pada
sisi lain dinamika tantangan kontekstualnya, baik konteks sosial-budaya, sosial-politik,
ekumene maupun perkembangan peradaban dunia, senantiasa memanggilnya untuk
berefleksi diri dan menyusun dogma gerejanya sebagai jawaban iman kontekstualnya –
meskipun sering terdengar lemah sebelum kemudian secara kuat memaksanya.
Dengan demikian, GKJ senantiasa berada pada situasi ”ketegangan kreatif” di mana
warisan dogmanya secara evolutif sedang kehilangan validitas formal dan eksistensial-
fungsionalnya bersamaan dengan semakin kuatnya arus tantangan aktual yang terus
mendesaknya keluar dari perangkap ortodoks ”Gereformeerdnya”. Reformasi diri untuk
bereksistensi dan beradaptasi di dalam dan dengan dinamika konteksnya semakin
disadari sebagai kebutuhan normatif dan eksistensial-fungsional. GKJ kembali kepada
kesadarannya sebagai bagian dari perkembangan sejarah gereja reformasi yang lebih
luas dan seolah-olah menemukan pondasi baru pada aksioma-aksioma ortodoks: ”Sola
fide, sola gratia dan sola scriptura” dan progresif-reformatifnya: ”Ecclesia reformata
semper reformanda est.” Dengan demikian ketegangan kreatif mendapat pola
12
konstruktifnya, di mana ortodoksi diperlukan untuk menjaga konsistensi dan stabilitas
pondasional kristianinya, dan progresif-reformatif diperlukan untuk terus menjaga
konsistensi dinamisitasnya dalam bereksistensi dan beraktualisasi diri secara
kontekstual.
2.2. Fokus Masalah
Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, maka saya merumuskan fokus masalah tesis
sebagai berikut: Bagaimana GKJ dalam ketegangan kreatifnya mengimplementasikan
tanggungjawab formal dan eksistensial-fungsionalnya sebagai gereja dewasa untuk
menyusun dogma gerejanya sendiri dalam dinamika konteksnya antara tahun 1945
sampai tahun 1996, sehingga kontinuitas dan diskontinuitas berkaitan dengan
kontekstualitas dan dekontekstualitas dogmanya secara periodik dapat dideskripsikan
secara runtut membentuk satu kesatuan sejarah pergumulan dogmatis GKJ.
Kajian ini selain bermanfaat juga bersifat mendesak oleh karena selama ini perdebatan
internal GKJ terutama mengenai PPAGKJ-nya, baik langsung maupun tidak langsung,
di dalam maupun di luar persidangan gerejawi terjadi hampir tanpa kesadaran dan
pemahaman terhadap perkembangan sejarah pergumulan gerejanya secara utuh
sehingga perdebatan yang terjadi sering kurang konstruktif. Tanpa kesadaran dan
pemahaman sejarahnya, maka polemik internal GKJ mengenai dogma gerejanya jelas
bersifat a-historis atau tidak mempunyai pondasi empirisnya, sehingga dogma gereja
cenderung dipikirkan dalam bentuk wacana-wacana abstrak di luar realitas-empiris
gerejanya. Oleh karena itu, sebagai bentuk historiografi tesis ini juga didedikasikan
13
untuk ikut membangun kesadaran dan pemahaman sejarah GKJ yang sekarang ini
sedang berusaha dilakukannya.
B. Judul Tesis
Berdasarkan permasalahan di atas, maka saya menentukan judul tesis ini sebagai
berikut:
KONTINUITAS DAN DISKONTINUiTAS DALAM MENGUPAYAKAN DOGMA
KONTEKSTUAL GKJ PADA TAHUN 1945 – 1996
Keterangan: 1) Unit kajian tesis ini adalah (lembaga) Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa
(selanjutnya disebut: GKJ), 2) penunjukkan tahun 1945-1996 merupakan periode tahun
sebagai range waktu persidangan sinode GKJ, yaitu antara Sidang Sinode reguler GKJ
tahun 1945 di Yogyakarta sampai Sidang Sinode Terbatas GKJ tahun 1996 di Cilacap.
C. Hipotesis
Pertama, tesis ini merupakan studi sejarah Gereja, yaitu sejarah pergumulan GKJ
menyusun dogma gerejanya sendiri. Berkaitan dengan studi sejarah tersebut, maka
model kajian yang pertama dipakai adalah diakronis, di mana dalam rekonstruksi
peristiwa-peristiwa masa lalu lebih menekankan pada dimensi waktu atau memanjang
dalam waktu. Kedua, namun disadari juga bahwa studi sejarah tidak pernah bisa lepas
14
dari penggunaan bantuan model kajian sinkronis yang lebih menekankan dimensi ruang
atau meluas dalam ruang sosialnya. Ketiga, studi ini mencakup periode waktu yang
relative panjang yang melukiskan dinamika sejarah GKJ baik yang terkait dengan
konteks dinamika sejarah misi, sejarah gerakan ekumenis, sejarah nasional Indonesia,
maupun sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran.
Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas merupakan keniscayaan dalam dinamika
sejarah pergumulan GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri pada tahun 1945-1996.
Untuk melukiskan realitas kontinuitas dan diskontinuitas dalam dinamika sejarah
tersebut sebagai satu kesatuan lukisan sejarah perkembangan, maka harus dilakukan
periodisasi. Periodisasi pada satu sisi dapat dipakai untuk melukiskan konstruksi sejarah
secara parsial dalam konteks waktu dan ruang tertentu dengan karakter khasnya sendiri,
namun pada sisi lain juga dapat dipakai untuk melukiskan konstruksi sejarah dalam
konteks waktu dan ruang yang lebih panjang dan lebih luas sehingga dapat ditelusuri
dinamika sejarah perkembangan pergumulan GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri
dari satu periode kepada periode berikutnya.
Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas dalam dinamika sejarah pergumulan
GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri pada tahun 1945-1996 harus ditelusuri
berdasarkan dua hal berikut:
1) GKJ, sebagai perkembangan dari Gereja Barat -reformatoris-Calvinis, sejak awal
telah mewarisi dua dokumen dogma dari ZGKN, yaitu 12 Pokok Pengakuan Iman
Rasuli dan Katekismus Heidelberg. Pada satu sisi, secara formal dalam GKJ mengalir
“darah” semangat progresivitas dan ortodoksi reformatoris sebagaimana diformulasikan
15
dalam untaian frase latin berikut: Ecclesia reformata semper reformanda est dan Sola
fide, sola gratia, dan sola scriptura. Ini merupakan lapisan dalam pertama keyakinan
ortodoksnya dan sebagai aksioma dogmatisnya. Sedangkan pada sisi lain, GKJ juga
dilahirkan dan dibina oleh ZGKN yang secara formal mewariskan sikap ortodoks yang
cukup kuat terhadap Pengakuan Iman Rasuli dan terutama Katekismus Heidelberg.
Pengakuan Iman Rasuli merupakan lapisan dalam kedua keyakinan ortodoksnya dan
sebagai aksioma dogmatisnya, dan Katekismus Heidelberg merupakan lapisan luar
keyakinan ortodoksnya dan sebagai aksioma dogmatisnya.
Pada periode awal sikap ortodoks GKJ bertumpu terutama pada Katekismus Heidelberg
sebagai lapisan luar dan aksioma dogmatisnya yang dengannya ia berusaha menjaga
konsistensi dan stabilitas identitas eksistensial tradisional-gereformeednya. ”Gagasan
baru atau lain” belum menjadi kebutuhan dan cenderung dicurigai ”sesat”. Pada periode
berikutnya, berkaitan dengan konteks sosial-budaya; sosial-politik; ekumene; dan
perkembangan peradaban global, sikap ortodoks GKJ terhadap Katekismus Heidelberg
mulai goyah dan mulai bergeser masuk ke lapisan dalam kedua keyakinan ortodoksnya,
yaitu Pengakuan Iman Rasuli, meskipun pergeseran tersebut mungkin berjalan relatif
lama. GKJ mulai melakukan adaptasi dengan konteks pergumulan aktualnya.
Sedangkan pada periode terakhir sikap ortodoks GKJ mengalami pergeseran ke titik
tumpunya masuk ke lapisan dalam pertama keyakinan ortodoksnya, yaitu Alkitab
sekaligus pada pondasi progresivitas dan ortodoksi reformatorisnya pada Ecclesia
reformata semper reformanda est dan Sola fide, sola gratia, dan sola scriptura.
2) Oleh karena dogma gereja sendiri secara formal dan fungsional disusun dalam
rangka mengekspresikan identitas eksistensial dan mendukung tugas misionernya, maka
16
dogma gereja pada dasarnya harus kontekstual. Oleh karena itu, pada dasarnya usaha
menyusun dogma gereja sendiri merupakan bentuk “kontekstualisasi” dogma. Namun
kontekstualisasi dogma harus dipahami berdasarkan parameter tertentu yang berkaitan
dengan pemahaman dan kebutuhan tentang identitas eksistensial dan orientasi
misionernya. Sehingga dogma gereja kontekstual harus secara efektif dapat
mengekspresikan identitas eksistensial-fungsionalnya dan mendukung orientasi
misionernya dalam setiap periode sejarahnya.
Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas pergumulan GKJ menyusun dogma
gerejanya sangat dipengaruhi oleh dua hal tersebut dalam setiap periode sejarahnya.
Pada satu sisi dalam perspektif sejarah realitas kontinuitas dan diskontinuitas
merupakan wajar dan normatif, namun pada sisi lain keduanya juga harus secara sadar
dapat dikelola dan dikerjakan secara fungsional-konstruktif untuk menyusun dogma
gereja kontekstual sebagai ekspresi kemandiriannya. Dinamika sejarah demikian
kemudian dapat dilukiskan sebagai sebuah proses dialektis historis yang bertolak dari
dogma ortodoksnya (tesis) yang secara historis-empiris diperhadapkan tantangan-
tantangan kontekstualnya (antitesis) sehingga menghasilkan dogma gereja
kontekstualnya (sintesis).13
D. Metodologi
Dalam kajian sejarah ini saya menggunakan langkah-langkah sebagaimana diungkapkan
oleh Gilbert J. Garraghan SJ.14 Sedangkan berkaitan dengan pokok kajiannya saya juga
13 Bandingkan dengan penjelasan mengenai metodologi tesis ini pada halaman 19. 14 Gilbert J. Garraghan SJ., A Guide to Historical Method, New York, 1957, hal. 33-34.
17
menggunakan beberapa metode atau pendekatan tertentu sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. Langkah-langkah kajian sejarah tersebut sebagai berikut:
Pertama: Heuristik, yaitu tindakan pengumpulan sumber-sumber data sesuai dengan
pokok kajian. Oleh karena tesis ini merupakan kajian literer-dokumenter, maka dalam
pengumpulan sumber-sumber data ini pertama dan terutama saya menggunakan metode
dokumenter. Yaitu, metode pengumpulan dan penggunaan dokumen-dokumen tertulis
dan literatur-literatur baik sebagai sumber data primer maupun sumber data sekunder.
Dokumen-dokumen seperti Akta dan Materi Sidang Sinode GKJ, Warta Gereja,
Majalah dan Buku-buku sejaman dipakai sebagai sumber data primer. Sedangkan
dokumen-dokumen dan literatur-literatur lain yang dapat mendukung sumber-sumber
primer dipakai sebagai sumber sekunder. Kedua, saya menggunakan metode wawancara
dengan menetapkan orang-orang yang dipandang dapat dipakai sebagai informan
sumber sekunder. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, di mana pertanyaan-
pertanyaan mengenai materi dalam wawancara ”mengalir” dan dikembangkan sesuai
keadaan pada saat wawancara dilakukan.
Kedua: Kritik sumber, yaitu tindakan menyeleksi dan mengkritik terhadap sumber-
sumber yang telah dikumpulkan, baik kritik ekstern maupun intern dengan tujuan
mendapatkan validitas atau keabsahan sumber dan relevansinya terhadap pokok kajian.
Kritik ekstern dimaksudkan untuk menguji keabsahan dan otentisitas sumber,
sedangkan kritik intern dimaksudkan untuk menguji materi data dan relevansinya
terhadap pokok kajian.
18
Ketiga: Interpretasi, yaitu tindakan menganalisa dan menafsirkan data secara
korelasional sehingga dapat dilakukan identifikasi data dan ditentukan hubungan
kausalitasnya menjadi satu kesatuan peristiwa sejarah secara integral. Untuk melakukan
tugas ini saya menggunakan dua dari beberapa pendekatan yang disampaikan oleh Dr.
Kuntowijoyo, yaitu pendekatan konteks dan pendekatan teks berikut:15
1) Pendekatan konteks. Pendekatan ini mempunyai asumsi dasar bahwa setiap
gagasan atau tindakan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan telah
dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh konteks peristiwa sejarah tertentu yang
cukup besar, konteks perubahan tertentu yang cukup besar, konteks sosio-
kultural tertentu yang dominan, dan konteks sosio-politik tertentu yang
dominan. Dalam hal ini, pendekatan konteks terutama digunakan untuk
menganalisa hubungan kausalitas sejarah pergumulan dogmatis GKJ dengan
konteks sejarah misi, konteks sejarah nasional Indonesia, konteks sejarah
ekumenis dan konteks sejarah peradaban manusia. Selanjutnya pendekatan
konteks juga digunakan untuk menilai kontekstualitas dokumen-dokumen
dogma GKJ berkaitan dengan kesanggupannya secara fungsional untuk
mengekspresikan identitas eksistensial-fungsionalnya.
2) Pendekatan teks; dialetika internal; kesinambungan pemikiran dan
intertekstualitas. Pendekatan ini mempunyai asumsi dasar bahwa suatu konsep
pemikiran (tesis) yang terus dipergumulkan aktualisasinya akan mendorong
terjadinya dialektika. Yaitu dinamika gerak progresif aksi - reaksi pemikiran
antara konsep pemikiran (tesis) yang telah ada dengan pemikiran kontra
15 Dr. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi 2, 2003, hal. 195-197.
19
(antitesis) dan atau pemikiran pengembangan, sehingga membentuk suatu
konsep lain (sintesis) sebagai bentuk kontinuitas dan diskontinuitasnya dari
tesis-antitesis sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menelusuri fakta kontinuitas
dan diskontinuitas dalam dialetika internal, maka harus dilakukan
perbandingan antar teks. Pendekatan ini terutama akan digunakan pada bagian
akhir tesis ini untuk menganalisa dan mendeskripsikan fakta kontinuitas dan
diskontinuitas pergumulan dogmatis GKJ dalam dokumen-dokumen dogma
hasil pergumulannya menyusun dogma gerejanya sendiri.
Selanjutnya mengenai tindakan menganalisa dan menafsirkan data sejarah, satu hal
yang harus dipahami adalah peranan subyektivitas saya. Dalam taraf tertentu
subyektivitas saya pasti ikut menentukan makna dalam proses analisa dan penafsiran
terhadap data-data sejarah, meskipun sebagai realitas sejarah data merupakan sesuatu
yang berbeda dan berjarak dengan subyektivitas pendapat dan keyakinan saya. Dalam
hal ini, subyektivitas berarti pemahaman dan intelektualitas saya mengenai sejarah.
Oleh karena itu, pengutipan-pengutipan dan pemberian referensi data dan sumber data
dimaksudkan sebagai usaha semaksimal mungkin untuk mengungkapkan obyektivitas
pemaknaan yang saya lakukan. Meskipun demikian, dalam hal tindakan pemilihan dan
pemaknaan setiap kutipan dan referensi data, subyektivitas saya ikut berperan penting.
Namun demikialah pengertian obyektivitas dan subyektivitas sejarah menurut Hans-
Goerg Gadamer seperti saya kutip berikut:
”The de-specialization of ”temporal distance” and the de-idealization of the ”thing itself” allows us to understand how it is possible to know in the ”historical object” the genuinely ”other” despite ”my own” convictions and opinions; that is to say, how it is possible to know them both. Thus it is more true to state that the historical object, in the authentic sense of that term, is not an “object” but the “unity” of one with the other. It is the relasionship, that is, “affinity”, through
20
which they both manifest themselves: the historical reality on the one hand and the reality of historical understanding on the other.”16
Keempat: Historiografi, yaitu langkah terakhir dengan menganalisa dan
mendeskripsikan seluruh data sejarah menjadi satu kesatuan konstruksi peristiwa-
peristiwa masa lalu berkaitan dengan upaya GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri
antara tahun 1945-1996. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan rajut pergumulan
GKJ dalam mengupayakan dogma gerejanya tersebut, saya akan melakukan periodisasi
terhadap periode panjang antara tahun 1945-1996. Saya membagi menjadi tiga periode
dimana setiap periode mempunyai karakter pergumulan dan pemikirannya berkaitan
dengan konteks perkembangan sejarah misi; ekumene; sosial-politik dan peradaban
masyarakatnya, sehingga secara keseluruhan dapat mendeskripsikan fakta kontinuitas
dan diskontinuitas pemikiran dalam mengupayakan dogma kontekstual GKJ. Periodisasi
tersebut sebagai berikut: 1) periode antara Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1945
sampai Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1967, 2) periode antara Sidang Sinode
Reguler GKJ tahun 1969 sampai Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1984, dan 3)
periode antara Sidang Sinode Kontrakta GKJ tahun 1992 sampai Sidang Sinode
Terbatas GKJ tahun 1996.
E. Sistematika
Untuk mendeskripsikan seluruh data menjadi satu kesatuan konstruksi peristiwa sejarah
secara logis, maka saya menyusun sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:
16 Hans-Goerg Gadamer, ”The Problem of Historical Consciousness”, dalam Paul Rabinow dan William M. Sullivan (editor), Interpretative Social Science: A Reader, Berkeley, 1979, hal. 159.
21
BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian
pertama berisi penjelasan mengenai latarbelakang masalah yang menggambarkan
realitas empiris GKJ sebagai konteks permasalahan, kemudian penjelasan mengenai
permasalahan dan rumusan masalah. Selanjutnya berturut-turut berisi tentang hipotesis,
judul, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II ORTODOKSI GKJ TERHADAP PENGAKUAN IMAN RASULI DAN
KATEKISMUS HEIDELBERG PADA TAHUN 1945 - 1967. Pembahasan dalam bab
ini akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama mengungkapkan konteks
sejarah pencapaian kemerdekaan dan sejarah gerakan ekumenis yang memicu
munculnya pergumulan GKJ terhadap bentuk dogma gerejanya. Bagian kedua
mengungkapkan mengenai usaha GKJ meninjau kembali terhadap status dua warisan
dokumen dogmanya berkaitan dengan agenda ekumenisnya terutama dengan Gereja-
gereja Jawa lain sampai pada keputusannya menetapkan kedua dokumen tersebut
sebagai dogma ortodoksnya dan kegagalannya membina sinode kesatuannya dengan
GKJTU. Bagian terakhir mengungkapkan mengenai mulai munculnya kesadaran dan
kritik internal GKJ terhadap fakta dekontekstualitas dokumen dogma ortodoksnya
terutama Katekismus Heidelberg dalam mendukung kebutuhan misioner dan
pastoralnya paska restrukturisasi hubungan GKJ dan GKN berdasarkan Kwitang
Accoord dan Regional Accoord.
BAB III UPAYA MENYUSUN DOGMA KONTEKSTUAL GKJ PADA TAHUN
1969-1984. Pembahasan bab ini akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama
mengungkapkan konteks sejarah sosial-politik nasional paska revolusi G 30 S 1965
berkaitan dengan kebutuhan misioner dan pastoral GKJ yang memicu munculnya
22
kebutuhan dogma kontekstualnya. Kemudian bagian kedua mengungkapkan mengenai
usaha penyusunan buku katekisasi kontekstual berdasarkan agenda misioner dan
pastoral GKJ. Selanjutnya bagian terakhir mengungkapkan mengenai dua kali
kegagalan GKJ berturut-turut menetapkan buku katekisasinya pada tahun 1978 dan
1984.
BAB IV KONTEKSTUALISASI DOGMA GKJ DALAM KONTEKS POST-
MODERN DAN GLOBALISASI PADA TAHUN 1992 – 1996. Pembahasan bab ini
akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama mengungkapkan konteks sejarah
sosial-politik nasional Indonesia di bawah Orde Baru dan konteks sejarah peradaban
post-modern dan globalisasi dengan perubahan paradigma kultural dan intelektual.
Bagian kedua mengungkapkan mengenai masa transisi dalam bentuk adanya jalan buntu
usaha penyusunan formulir pokok-pokok ajaran GKJ antara tahun 1984-1991. Bagian
ketiga mengungkapkan tentang penyusunan dogma kontekstual GKJ antara tahun 1992-
1996 yang menghasilkan PPAGKJ sebagai dogma definitifnya.
BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI. Pembahasan bab ini akan dilakukan dalam
dua bagian. Bagian pertama mengenai kesimpulan berkaitan dengan hipotesis yang
telah dibuat dan hasil kajiannya. Bagian kedua mengungkapkan mengenai refleksi
teologis saya berkaitan dengan hasil kajian dan relevansinya dengan pergumulan
kontemporer GKJ.