PROPOSAL TESIS -...

22
BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Sejak awal kependetaan saya di GKJ Prembun tahun 1998, terdapat persoalan yang cukup memprihatinkan saya, yaitu suatu “proses” sistematis di mana GKJ telah, sedang dan akan melupakan sejarahnya. Keprihatinan ini didasarkan pada pengalaman selama bimbingan kependetaan saya, di mana saya memasuki lingkungan GKJ ibarat berada di lingkungan asing kecuali saya mempunyai tata gereja hasil keputusan Sidang Sinode GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri tentang kebiasaan praktek kependetaan yang telah ada tanpa harus mengerti maknanya. Keprihatinan tersebut kemudian semakin mendalam setelah saya berkenalan dengan banyak rekan pendeta di GKJ dalam berbagai pertemuan, bahwa keadaan yang saya alami ternyata hampir sama terjadi pada mereka. Banyak di antara pendeta GKJ termasuk saya belum mengetahui A, B, C – nya GKJ. Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menduga bahwa proses melupakan sejarah berangkat dari proses reproduksi atau regenerasi kepemimpinan GKJ terutama kependetaannya. Proses seseorang menjadi pendeta di GKJ sangat sederhana hampir tanpa dibimbing untuk mengenal A, B, C -nya GKJ terutama sejarah. Proses reproduksi kepemimpinan atau kependetaan yang cenderung formalistik, di mana hampir tidak terjadi internasilisasi A, B, C -nya GKJ ke dalam kesadaran dan pemahamannya. Tanpa kesadaran dan pemahaman sejarah, maka reproduksi kependetaan akan menciptakan kepemimpinan yang gamang terhadap peran dan fungsinya bagi gereja.

Transcript of PROPOSAL TESIS -...

Page 1: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

BAB I PENDAHULUAN

A. Permasalahan

1. Latar Belakang Masalah

Sejak awal kependetaan saya di GKJ Prembun tahun 1998, terdapat persoalan yang

cukup memprihatinkan saya, yaitu suatu “proses” sistematis di mana GKJ telah, sedang

dan akan melupakan sejarahnya. Keprihatinan ini didasarkan pada pengalaman selama

bimbingan kependetaan saya, di mana saya memasuki lingkungan GKJ ibarat berada di

lingkungan asing kecuali saya mempunyai tata gereja hasil keputusan Sidang Sinode

GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar

sendiri tentang kebiasaan praktek kependetaan yang telah ada tanpa harus mengerti

maknanya. Keprihatinan tersebut kemudian semakin mendalam setelah saya berkenalan

dengan banyak rekan pendeta di GKJ dalam berbagai pertemuan, bahwa keadaan yang

saya alami ternyata hampir sama terjadi pada mereka. Banyak di antara pendeta GKJ

termasuk saya belum mengetahui A, B, C – nya GKJ.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menduga bahwa proses melupakan sejarah

berangkat dari proses reproduksi atau regenerasi kepemimpinan GKJ terutama

kependetaannya. Proses seseorang menjadi pendeta di GKJ sangat sederhana hampir

tanpa dibimbing untuk mengenal A, B, C -nya GKJ terutama sejarah. Proses reproduksi

kepemimpinan atau kependetaan yang cenderung formalistik, di mana hampir tidak

terjadi internasilisasi A, B, C -nya GKJ ke dalam kesadaran dan pemahamannya. Tanpa

kesadaran dan pemahaman sejarah, maka reproduksi kependetaan akan menciptakan

kepemimpinan yang gamang terhadap peran dan fungsinya bagi gereja.

Page 2: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

2

Hal tersebut memprihatinkan oleh karena berdampak luas dan mendasar bagi hidup

gerejawi GKJ. Beberapa persoalan yang saya duga ikut dipengaruhi oleh

ketidakpahaman terhadap sejarah GKJ sendiri, seperti: 1) kekacauan menejemen

keputusan-keputusan yang berangkat dari ketidakefektifan persidangan-persidangan

gerejawi. Keputusan-keputusan persidangan sering dibuat tanpa mempertimbangkan

keputusan-keputusan yang pernah dibuat dan sering berhenti pada Akta dan tidak

diimplementasikan secara operasional. Dengan keadaan demikian, maka kasus seperti

konflik antara Lembaga Penerbitan Sinode GKJ - “Toko Buku Kristen” Yogyakarta

dengan Badan Musyawarah Gereja-Gereja Berbahasa Jawa (BMGJ) mengenai hak

penerbitan buku Kidung Pasamuan Kristen beberapa tahun lalu merupakan sesuatu yang

sangat mungkin terjadi.

2) Adanya krisis identitas GKJ. Tidak mudah bagi warga termasuk para pendeta GKJ

untuk mengerti tentang “siapakah GKJ”, apakah ia merupakan Gereja – nya orang-

orang Kristen Jawa (eksklusif Gereja suku Jawa: terjemahan dalam bahasa Inggris

“Javanese Christian Churches”) atau Gereja Kristen di Jawa (insklusif terhadap

keberagaman suku di luar suku Jawa)? Demikian juga tidak mudah bagi warga GKJ

termasuk para pendetanya untuk menjawab mengenai persoalan status denominasinya,

semuanya akan sangat bergantung dengan wawasannya masing-masing dan tidak

mudah ditemukan dalam pemahaman definitif-formalnya. Mengenai krisis identitas ini

ada suatu pengalaman menarik berikut:

Dalam suatu pertemuan pra Sidang Sinode Non-Reguler tahun 2005 di Gedung Pertemuan Komplek Kantor Sinode GKJ yang membahas Draft Revisi PPAGKJ, saya agak kaget bahwa ternyata pemahaman para pendeta sangat beragam mengenai GKJ. Terjadi perdebatan yang rumit ketika membahas hakikat Gereja berkaitan dengan latarbelakang sistem presbiterial GKN. Seorang pendeta dari Klasis tertentu di wilayah Yogyakarta, mempertanyakan “mengapa yang disebut

Page 3: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

3

gereja hanya gereja lokal, padahal hikmat saya klasis dan sinode juga gereja. Gereja-gereja lain seperti GKI, Sinode merupakan Gereja.” Pertanyaan yang cenderung usulan tersebut kemudian mendapat reaksi pro-kontra dari para peserta pertemuan sebelum akhirnya isi draf revisi PPAG tersebut diterima.”

Keprihatinan tersebut bukan ekspresi keputusasaan saya, tetapi ia merupakan usaha

pemetaan persoalan dalam kerangka posisi dan peran kependetaan saya, di mana

kesadaran dan pemahaman sejarah GKJ mutlak diperlukan. Bahkan dengan keprihatinan

tersebut saya seolah tidak sendirian di mana dalam Sidang Sinode XXII tahun 1998

GKJ memperbarui komitmennya untuk memperlengkapi para pendetanya dengan

kesadaran dan pemahaman sejarah gerejanya, meskipun kemudian diperhadapkan

persoalan keterbatasan historiografi gerejanya sendiri dan keberadaan dan ketersediaan

dokumen-dokumen sejarah yang sebelumnya kurang dikelola dengan baik.

Oleh karena itu, historiografi gereja sebagai usaha mengembangkan kesadaran dan

pemahaman sejarah merupakan langkah penting yang harus dikerjakan, yang dengannya

identitas eksistensial-fungsionalnya dapat dipahami dan diaktualisasikan secara kritis,

apresiatif, kreatif dan dinamis.1 Ketersediaan buku-buku sejarah mengenai kelahiran

dan perkembangan GKJ sangat menolong siapapun terutama pemimpin dan warga GKJ

sendiri untuk mengenal dan menghayati identitas eksistensial-fungsionalnya secara

kritis, apresiatif, kreatif dan konstruktif. Pendapat Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo berikut

dapat memberikan referensi penalaran tentang kausalitas antara historiografi suatu

komunitas dengan pemeliharaan dan pengembangan identitasnya oleh komunitas yang

bersangkutan: 1 Istilah “identitas eksistensial-fungsional” dipakai di sini dan selanjutnya dalam pengertian sebagai ciri-ciri formal keberadaan dan fungsi (misioner) GKJ sebagai gereja dewasa yang selain secara struktural telah mandiri dari keterikatannya dengan GKN – mantan gereja induknya, juga secara kultural dan spiritual GKJ harus mempunyai karakter yang khas berkaitan dengan konteks dan unsur-unsur yang ikut membentuknya.

Page 4: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

4

“Nasional history by definition refers to the construct of past events commonly experienced by members of a community or a nation. It functions to justify or to legitimate the existence of that community (or nation)…..The crucial point of the identity of the Indonesian nation-state lies in its historicity”2

Oleh karena itu, sejarah pada satu sisi berarti kesadaran untuk merekonstruksikan

peristiwa-peristiwa masalalunya, sedangkan pada sisi lain juga kesadaran untuk

mendokumentasikan keputusan-keputusan dan peristiwa-peristiwa kontemporernya dan

mengkonstruksikan tantangan-tantangan aktual dan gagasan dan cita-cita atau proyeksi-

proyeksi masa depannya. Pergumulan terhadap persoalan-persoalan kontemporer harus

mempunyai dimensi historis-empirisnya, dan sebaliknya sejarah harus dibaca dan

dipikirkan dalam perspektif pergumulan kontemporernya. Dengan demikian, maka

studi sejarah selalu aktual dan relevan bagi siapapun sebagaimana pendapat Benedetto

Croce berikut:

“History is living chronicle, chronicle is dead history; history is contemporary history, chronicle is past history; history is principally an act of thought, chronicle an act of will. Every history becomes chronicle when it is no longer thought, but only recorded in abstract words.” 3

Dengan pendapatnya tersebut, Benedetto Croce ingin mengatakan bahwa sejarah bukan

merupakan kronologi catatan peristiwa-peristiwa masa lalu, melainkan kronologi waktu

kehidupan yang tidak terpisahkan dengan kehidupan kontemporer. Oleh karena itu,

sejarah merupakan aktivitas atau tindakan berpikir dan berkehendak di mana konstruksi

peristiwa-peristiwa masa lalu memberikan dimensi empiris-historis terhadap

pergumulan kontemporer seseorang atau komunitas sosial. Seseorang atau komunitas

sosial yang mempunyai kesadaran sejarah, maka ia akan menyadari pula bahwa setiap 2 Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Indonesian Historiography, Yogyakarta,1998, hal.79-80. 3 Benedetto Croce, “History And Chronicle”, dalam Prof.DR.P.J.Suwarno,S.H. (Penyunting), Kumpulan Bahan Kuliah Filsafat Sejarah tanpa judul, tanpa tahun, hal.44 - 57.

Page 5: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

5

realitas tidak pernah terjadi dan atau dipikirkan dalam konteks ruang dan waktu yang

kosong, melainkan ia selalu mempunyai hubungan kausalitas dan komparabilitas

dengan realitas lain baik secara diakronis maupun sinkronisnya.

GKJ sebagai perkembangan dari sejarah gereja Barat - reformatoris-Calvinis secara

formal mempunyai dua dimensi kesadaran sejarah. Dimensi pertama memberikan

fondasi bagi keharusan sikap kritis-progresivitasnya, yaitu “Ecclesia reformata semper

reformanda est”.4 GKJ mengidentifikasikan diri sebagai perkembangan dari sejarah

gereja Barat dengan rumpun Gereja reformasi yang dibidani oleh Jean Calvin, di mana

reformasi gerejawinya merupakan keharusan eksistensial-fungsional dalam perjalanan

sejarahnya. Dimensi kedua memberikan fondasi dan pilar-pilar keharusan sikap

ortodoksnya, yaitu “Sola fide, sola gratia, dan sola scriptura”. Eksistensi Gereja

dibangun dan ditegakkan hanya berdasarkan Alkitab yang dari dalamnya mengajarkan

bahwa keselamatan sebagai anugerah Allah hanya diperoleh dengan cara beriman

kepada Kristus Yesus. Oleh karena itu, secara formal GKJ berada pada posisi

ketegangan kreatif antara keharusan kritis-dinamis-progresif dan keharusan ortodoks

tersebut.

Sebagai kajian sejarah, tesis ini berusaha merekonstruksikan pergumulan dan

pengalaman GKJ mengelola dua keharusan eksistensialnya tersebut. Namun harus

diakui bahwa GKJ sebagai entitas sosio-religius mempunyai cakupan aspek hidup yang

luas, yang tidak mungkin dikaji secara menyeluruh dan tuntas dalam tesis ini. Demikian

juga diakui bahwa hubungan kausalitas dan komparabilitas peristiwa-peristiwa masa

lalu tidak mempunyai batasan-batasan yang mutlak baik secara diakronis maupun

4 Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (penyunting), GKJ (Gereja-gereja Kristen Jawa): Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta, 1988, hal.203.

Page 6: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

6

sinkronis. Oleh karena itu, supaya dapat dilakukan langkah-langkah reconnaisance

(peninjauan untuk mengidentifikasi masalah) dan feasibility (kemungkinan yang dapat

dikerjakan dalam penelitian dan penulisan), maka saya membatasi kajian tesis ini fokus

pada satu aspek sejarah GKJ.

Aspek sejarah yang hendak dikaji adalah pergumulan GKJ mengupayakan dogma

gerejanya sendiri selama periode 1945-1996. Fokus tersebut dipilih dengan beberapa

pertimbangan dan fakta berikut: 1) ciri-ciri formal yang harus ada pada GKJ sebagai

gereja dewasa dan mandiri, yaitu a) harus memerintah sendiri, b) mencukupi kebutuhan

dana sendiri, dan c) mengembangkan atau memberitakan Injil sendiri, yang ditandai

dengan memiliki Tata Gereja sendiri, Pengakuan Iman atau dogma gereja sendiri, dan

Liturgi sendiri.5 2) bagi GKJ, dogma gereja merupakan kebutuhan dan persoalan

eksistensial yang menyita perhatian besar sejak awal sejarahnya sampai sekarang.6

Paling tidak secara kasat mata (sekilas pandang dapat dilihat) beberapa fakta berikut

dapat memberikan gambaran tentang besarnya perhatian GKJ terhadap kebutuhan dan

persoalan dogma: (a) GKJ hampir secara regular sejak sidang sinodenya tahun 1945

terus membahas materi mengenai persoalan dogmanya sendiri. (b) GKJ memiliki

banyak ahli dogmatika yang dahulu cukup dominan dalam dunia pendidikan teologi di

Indonesia terutama di tiga lembaga: Sekolah Tinggi Theologia Jakarta (Pdt. Prof. Dr. R.

Sudarmo dan Pdt. Sularso Sopater, Th.D.), Sekolah Tinggi Theologia (sekarang

Fakultas Theologia) Duta Wacana (Pdt. Dr. Harun Hadiwijono), dan Fakultas Theologia

5 Akta Sinode IX GKJ tahun 1964 Artikel 32 dalam: Siwandargo (penghimpun), Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ volume 2, hal.12. Tiga kriteria gereja dewasa adalah: 1) kemandirian daya, 2) kemandirian dana, dan 3) kemandirian teologi dalam rangka pelaksanaan pekabaran Injil. 6 Bdk. J.A.C. Rullmann Sr. Zending Gereformeerd di Djawa-Tengah, Baarn, 1970, hal. 39.

Page 7: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

7

Universitas Kristen Satya Wacana (Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo, S.Th.).7 (c). Dalam

lingkungan GKJ telah banyak dihasilkan buku-buku dogma baik dalam bentuk buku-

buku bacaan teologi maupun dalam bentuk buku katekisasi.

Besarnya perhatian terhadap persoalan dogma gereja tersebut oleh karena juga didukung

oleh tradisi gerejawinya yang diwarisi dari Zending der Gereformeerde Kerken in

Nederland (ZGKN) yang selain bersifat gerejawi-konfesional dan “pilaris” bahkan juga

sangat ortodoks dan “superior”.8 Dengan tradisi gerejawi tersebut, peran dan posisi

dogma gereja sangat penting dan mendasar sebagai pilar praksis gerejawinya dan

bahkan untuk mengekspresikan identitas eksistensial dan mendukung tugas

misionernya. Sebagaimana GKN sendiri dikenal sangat ortodoks terhadap 12 Pokok

Pengakuan Iman Rasuli dan tiga dokumen keesaan gereja Belanda (Katekismus

Heidelberg, Pengakuan Iman Belanda atau Confessio Belgica, dan Pasal-pasal melawan

kaum Remonstran) sebagai standar pengajaran iman yang benar.9 Watak yang kurang

lebih sama ortodoksnya juga melekat pada GKJ.

Kedewasaan dan kemandirian GKJ mempunyai konskuensi munculnya kebutuhan

formal dan fungsionalnya terhadap dogma gerejanya. Posisi dua dokumen dogma gereja

7 Terhadap fakta ini sangat mungkin terjadi multi tafsir, baik dengan atau tanpa menegasikan satu penafsiran oleh penafsiran lain. Tafsir yang pernah saya dengar adalah bahwa fakta tersebut merupakan bentuk dominasi GKJ dalam menyediakan ahli-ahli dogmatika oleh karena ”kesepakatan” adanya alokasi Gereja-gereja pendukung untuk menyediakan dosen sesuai mata kuliah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi teologi di Indonesia pada beberapa ”Sekolah Tinggi Teologi”, dimana GKJ mendapatkan alokasi untuk mengisi ahli dogmatika. Dukungan GKJ sendiri terhadap STTh Jakaarta secara formal diberikan baru tahun 1969 setelah dalam laporannya kepada Sidang Sinode XI GKJ Pdt. Prof. Dr. R. Sudarmo atas nama STTh menyatakan aliran teologi yang dikembangkannya. 8 Oleh karena ZGKN merupakan Zending yang diselenggarakan oleh Gereja (GKN) maka ia bersifat konfesional (berdasarkan konfesi atau ajaran gerejanya). Karakter lain dari ZGKN adalah pilaris, yaitu kehidupan gereja dibangun berdasarkan pilar-pilar ajaran dan tata gereja yang dipegang dan dikerjakan secara kaku (rigid). Ia juga dikenal sebagai gereja yang berkarakter superior selain ortodoks, sehingga mempengaruhi perilakunya dalam hubungannya dengan agama dan gereja lain dengan menempatkan diri sebagai yang paling benar dan harus diikuti oleh yang lain. Mengenai hal terakhir ini akan dibahas berkaitan dengan usaha GKJ untuk mempersatukan Gereja-gereja Jawa sejak tahun 1942. 9 Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme?, Jakarta, 2000, hal. 290-297.

Page 8: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

8

yang diwarisinya dari ZGKN, 12 Pokok Pengakuan Iman Rasuli dan Katekismus

Heidelberg kemudian dipertanyakan validitasnya sebagai pilar dan ekspresi identitas

eksistensial-fungsionalnya bagi praksis gerejawi GKJ. Validitas keduanya juga layak

dipertanyakan pada saat GKJ berusaha berkoeksistensi-ekumenis dengan Gereja-gereja

lain yang mempunyai tradisi dogma gereja yang berbeda. Pada satu pihak, ia lama

“terperangkap” oleh sikap mental kamizendingen di mana ia tersubordinasikan atau

mensubordinasikan diri secara mental dan struktural di bawah otoritas GKN,10 yang

dengan sikap tersebut tergoda untuk memegang dua warisan dokumen dogma gerejanya

sebagai ajaran ortodoksnya, namun pada pihak lain sebagai gereja dewasa dia dituntut

untuk menyusun dogma gereja kontekstualnya sendiri. Dalam ketegangan-kreatif

tersebut secara evolutif dan sangat hati-hati, sejak kelahirannya terutama sejak periode

pencapaian kemerdekaan Indonesia, GKJ telah mulai mempergumulkan wujud

kemandirian teologi untuk menyusun dogma gerejanya.

Oleh karena itu, pencapaian GKJ dalam Sidang Sinode Terbatas-nya tahun 1996 yang

telah menetapkan secara definitif Pokok-pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) sebagai dogma

gerejanya bukanlah hasil pergumulan sesaat sebagaimana yang selama ini diketahui

oleh hampir semua warga termasuk banyak di antara para pendetanya. Bahkan ternyata

pencapaian tersebut tidak ”menghentikan” pergumulan dogmatisnya, melainkan justru

semakin intensif, seolah-olah pergumulan dogmatis GKJ sedang dimulai. PPAGKJ,

10 Bdk. Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (penyunting), GKJ (Gereja-gereja Kristen Jawa): Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta, 1986, hal. 155, dan Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada abad XIX, Jakarta, 2001, hal. 278-279. Istilah ”Kamizendingen” ini pertama kali digunakan oleh Pdt. Wirjotenojo (ayah dari Pdt. Brotosemedi Wirjotenojo) pada tahun 1936 dalam pidatonya menyambut 30 tahun Sekolah Teologi milik ZGKN di Yogyakarta (sekarang: Fakultas Theologia UKDW Yogyakarta). Dalam pidatonya Wirjotenojo mengkritik Zending yang dianggapnya tidak jujur dalam membina GKJ dimana ia tidak mensosialisasikan tujuannya semula untuk mendewasakan GKJ. Oleh karena itu, dengan model pembinaan yang tidak mendorong warga gereja berpartisipasi bagi kemandirian gerejanya, maka GKJ justru merasa nyaman terus hidup dengan mental ketergantungannya terhadap ZGKN.

Page 9: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

9

baik yang berkaitan dengan proses, yang dianggap banyak pihak kurang melibatkan

partisipasi warga dan pendetanya termasuk Tim Pembaca-nya, maupun dengan

substansi ajarannya justru menjadi bahan polemik internal yang menguras banyak

energi. Dengan demikian, kajian sejarah tentang bagaimana GKJ mempergumulkan

wujud dogma gerejanya sendiri dalam setiap perkembangan sejarahnya akan sangat

penting untuk menolong memberikan dimensi empiris-historis bagi para warga

termasuk para pemimpinnya dalam berpartisipasi kritis, apresiatif, kreatif dan

konstruktifnya terhadap pergumulan kontemporer GKJ.

2. Rumusan Masalah

2.1. Kerangka Masalah Hampir selalu sulit bagi siapapun atau gereja apapun untuk bersikap kritis terhadap

warisan dogma tradisionalnya kemudian berupaya membangun sendiri dogma

kontekstualnya. Pada satu pihak, dogma dalam praktik gereja sudah terlanjur diterima

berdasarkan aksioma, yaitu bahwa dogma gereja sebagai suatu bentuk truth claim

“hampir selalu” dipahami sebagai kebenaran illahi itu sendiri (yang terkait dengan

eksistensi dan otoritas Allah), sehingga loyalitas terhadap kebenaran (eksplisit:

keagamaan) bertindih tepat dengan sikap ortodoksnya terhadap formula dogma tertentu.

Sehingga sifat sikap dan pemikiran dogmatis hampir selalu berasumsi sama dengan

”absoluditas” dan ”stagnasi” sikap dan pemikiran teologis tertentu, baik dalam praktik

gerejawi maupun dalam dunia akademik. Pada pihak lain, dalam dunia teologi

akademik apresiasi terhadap konteks merupakan suatu yang “baru” dalam arus

kontekstualisasi, setelah sebelumnya terjadi dekontekstualisasi pada hampir “seluruh”

Page 10: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

10

pemikiran teologi.11 Setiap konteks bukan hanya diperlukan dalam kerangka metodologi

tetapi juga secara substantive ternyata ikut berpengaruh dan berkonstribusi dalam

bangunan dogma. Oleh karena itu, istilah “teologi kontekstual” hampir selalu dipahami

kaitannya dengan relativitas dan dinamisitas pemikiran teologi.12

Kesulitan yang ditimbulkan oleh dua aspek paradoksal dalam pemikiran teologi-

dogmatis tersebut dapat membantu memahami pengalaman historis GKJ dalam usaha

mengimplementasikan kemandiriannya. Telah disadari sejak awal kelahiran GKJ bahwa

tugas menyusun dogma gereja sendiri merupakan tanggungjawab formal dan

eksistensial-fungsional sebagai konskuensi pendewasaannya. Sedangkan dua warisan

dokumen dogma gerejanya, Pengakuan Iman Rasuli dan Katekismus Heidelberg,

merupakan dogma sementara selama GKJ belum memiliki dogma gerejanya sendiri

sesuai dengan konteks ketimurannya. Sesuatu yang tidak mudah dan semakin sulit

bahkan sering tampak tidak terpikirkan sebagai tugas formal dan eksistensial-

fungsionalnya ketika secara mental pada satu sisi GKJ kurang percaya diri, lemah dan

sangat tergantung pada ZGKN – Gereja induknya (kamizendingen), sedangkan pada

sisi lain dengan mewarisi tradisi Gereformeerdnya GKJ merasa percaya diri, kuat dan

superior dalam berhadapan dengan Gereja-gereja lain – tetangga domestiknya.

11 Stephen Toulmin, Cosmopolis : The Hidden Agenda of Modernity, New York, 1990, hal. 21, 31-32, 105-107 dan Dr. Richard A.D. Siwu, Misi dalam Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia, Jakarta, 1996, hal.185-187. Menurut Stephen Toulmin, dunia pemikiran Barat yang kemudian melekat pada pemikiran modern yang dipelopori oleh para filsuf Eropa abad 17 telah mengalami dekontekstualisasi, dimana para filsuf percaya bahwa pemikiran-pemikiran filsafat mereka bebas dari pengaruh konteks tertentu. Dengan dekontekstualisasi tersebut para pemikir Barat menciptakan teori-teori abstrak yang dapat dipakai secara universal. Sedangkan kontekstualisasi sebagai metode berteologi menurut Dr. Richard A.D. Siwu mulai dikenal dan dipakai oleh sementara teolog Asia, bahkan umumnya mereka yang tergabung dalam “Asosiasi Ekumenikal Teolog-teolog Dunia ketiga” sejak tahun 1970. 12 Bdk. Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX, Jakarta dan Yogyakarta, 2001, hal. 3 – 4.

Page 11: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

11

Pada satu sisi dengan tradisi keyakinan superior – Gereformeerdnya, bahwa warisan

dogma gerejanya merupakan ajaran iman yang paling benar, maka dalam waktu relatif

lama dua warisan dokumen dogmanya, baik disadari maupun kurang disadari, justru

seolah-olah menjadi dogma gereja definitif atau ortodoksnya sehingga tugas formal dan

eksistensial-fungsionalnya untuk menyusun dogma gerejanya sendiri terabaikan. Secara

substantif dalam waktu relatif lama GKJ mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari

persekutuan ”Gereformeerd”, di mana ke-Timur-an atau ke-Jawa-an dan ke-indonesia-

annya tidak diadopsi sebagai unsur penting bagi identitas eksistensial-fungsionalnya.

Ke-Timur-an atau ke-Jawa-an dan ke-Indonesia-an cenderung hanya dimaknai sebagai

tempat di mana ia hidup dan mengembangkan ke-Gereformeerd-annya. Sedang pada

sisi lain dinamika tantangan kontekstualnya, baik konteks sosial-budaya, sosial-politik,

ekumene maupun perkembangan peradaban dunia, senantiasa memanggilnya untuk

berefleksi diri dan menyusun dogma gerejanya sebagai jawaban iman kontekstualnya –

meskipun sering terdengar lemah sebelum kemudian secara kuat memaksanya.

Dengan demikian, GKJ senantiasa berada pada situasi ”ketegangan kreatif” di mana

warisan dogmanya secara evolutif sedang kehilangan validitas formal dan eksistensial-

fungsionalnya bersamaan dengan semakin kuatnya arus tantangan aktual yang terus

mendesaknya keluar dari perangkap ortodoks ”Gereformeerdnya”. Reformasi diri untuk

bereksistensi dan beradaptasi di dalam dan dengan dinamika konteksnya semakin

disadari sebagai kebutuhan normatif dan eksistensial-fungsional. GKJ kembali kepada

kesadarannya sebagai bagian dari perkembangan sejarah gereja reformasi yang lebih

luas dan seolah-olah menemukan pondasi baru pada aksioma-aksioma ortodoks: ”Sola

fide, sola gratia dan sola scriptura” dan progresif-reformatifnya: ”Ecclesia reformata

semper reformanda est.” Dengan demikian ketegangan kreatif mendapat pola

Page 12: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

12

konstruktifnya, di mana ortodoksi diperlukan untuk menjaga konsistensi dan stabilitas

pondasional kristianinya, dan progresif-reformatif diperlukan untuk terus menjaga

konsistensi dinamisitasnya dalam bereksistensi dan beraktualisasi diri secara

kontekstual.

2.2. Fokus Masalah

Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, maka saya merumuskan fokus masalah tesis

sebagai berikut: Bagaimana GKJ dalam ketegangan kreatifnya mengimplementasikan

tanggungjawab formal dan eksistensial-fungsionalnya sebagai gereja dewasa untuk

menyusun dogma gerejanya sendiri dalam dinamika konteksnya antara tahun 1945

sampai tahun 1996, sehingga kontinuitas dan diskontinuitas berkaitan dengan

kontekstualitas dan dekontekstualitas dogmanya secara periodik dapat dideskripsikan

secara runtut membentuk satu kesatuan sejarah pergumulan dogmatis GKJ.

Kajian ini selain bermanfaat juga bersifat mendesak oleh karena selama ini perdebatan

internal GKJ terutama mengenai PPAGKJ-nya, baik langsung maupun tidak langsung,

di dalam maupun di luar persidangan gerejawi terjadi hampir tanpa kesadaran dan

pemahaman terhadap perkembangan sejarah pergumulan gerejanya secara utuh

sehingga perdebatan yang terjadi sering kurang konstruktif. Tanpa kesadaran dan

pemahaman sejarahnya, maka polemik internal GKJ mengenai dogma gerejanya jelas

bersifat a-historis atau tidak mempunyai pondasi empirisnya, sehingga dogma gereja

cenderung dipikirkan dalam bentuk wacana-wacana abstrak di luar realitas-empiris

gerejanya. Oleh karena itu, sebagai bentuk historiografi tesis ini juga didedikasikan

Page 13: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

13

untuk ikut membangun kesadaran dan pemahaman sejarah GKJ yang sekarang ini

sedang berusaha dilakukannya.

B. Judul Tesis

Berdasarkan permasalahan di atas, maka saya menentukan judul tesis ini sebagai

berikut:

KONTINUITAS DAN DISKONTINUiTAS DALAM MENGUPAYAKAN DOGMA

KONTEKSTUAL GKJ PADA TAHUN 1945 – 1996

Keterangan: 1) Unit kajian tesis ini adalah (lembaga) Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa

(selanjutnya disebut: GKJ), 2) penunjukkan tahun 1945-1996 merupakan periode tahun

sebagai range waktu persidangan sinode GKJ, yaitu antara Sidang Sinode reguler GKJ

tahun 1945 di Yogyakarta sampai Sidang Sinode Terbatas GKJ tahun 1996 di Cilacap.

C. Hipotesis

Pertama, tesis ini merupakan studi sejarah Gereja, yaitu sejarah pergumulan GKJ

menyusun dogma gerejanya sendiri. Berkaitan dengan studi sejarah tersebut, maka

model kajian yang pertama dipakai adalah diakronis, di mana dalam rekonstruksi

peristiwa-peristiwa masa lalu lebih menekankan pada dimensi waktu atau memanjang

dalam waktu. Kedua, namun disadari juga bahwa studi sejarah tidak pernah bisa lepas

Page 14: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

14

dari penggunaan bantuan model kajian sinkronis yang lebih menekankan dimensi ruang

atau meluas dalam ruang sosialnya. Ketiga, studi ini mencakup periode waktu yang

relative panjang yang melukiskan dinamika sejarah GKJ baik yang terkait dengan

konteks dinamika sejarah misi, sejarah gerakan ekumenis, sejarah nasional Indonesia,

maupun sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran.

Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas merupakan keniscayaan dalam dinamika

sejarah pergumulan GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri pada tahun 1945-1996.

Untuk melukiskan realitas kontinuitas dan diskontinuitas dalam dinamika sejarah

tersebut sebagai satu kesatuan lukisan sejarah perkembangan, maka harus dilakukan

periodisasi. Periodisasi pada satu sisi dapat dipakai untuk melukiskan konstruksi sejarah

secara parsial dalam konteks waktu dan ruang tertentu dengan karakter khasnya sendiri,

namun pada sisi lain juga dapat dipakai untuk melukiskan konstruksi sejarah dalam

konteks waktu dan ruang yang lebih panjang dan lebih luas sehingga dapat ditelusuri

dinamika sejarah perkembangan pergumulan GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri

dari satu periode kepada periode berikutnya.

Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas dalam dinamika sejarah pergumulan

GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri pada tahun 1945-1996 harus ditelusuri

berdasarkan dua hal berikut:

1) GKJ, sebagai perkembangan dari Gereja Barat -reformatoris-Calvinis, sejak awal

telah mewarisi dua dokumen dogma dari ZGKN, yaitu 12 Pokok Pengakuan Iman

Rasuli dan Katekismus Heidelberg. Pada satu sisi, secara formal dalam GKJ mengalir

“darah” semangat progresivitas dan ortodoksi reformatoris sebagaimana diformulasikan

Page 15: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

15

dalam untaian frase latin berikut: Ecclesia reformata semper reformanda est dan Sola

fide, sola gratia, dan sola scriptura. Ini merupakan lapisan dalam pertama keyakinan

ortodoksnya dan sebagai aksioma dogmatisnya. Sedangkan pada sisi lain, GKJ juga

dilahirkan dan dibina oleh ZGKN yang secara formal mewariskan sikap ortodoks yang

cukup kuat terhadap Pengakuan Iman Rasuli dan terutama Katekismus Heidelberg.

Pengakuan Iman Rasuli merupakan lapisan dalam kedua keyakinan ortodoksnya dan

sebagai aksioma dogmatisnya, dan Katekismus Heidelberg merupakan lapisan luar

keyakinan ortodoksnya dan sebagai aksioma dogmatisnya.

Pada periode awal sikap ortodoks GKJ bertumpu terutama pada Katekismus Heidelberg

sebagai lapisan luar dan aksioma dogmatisnya yang dengannya ia berusaha menjaga

konsistensi dan stabilitas identitas eksistensial tradisional-gereformeednya. ”Gagasan

baru atau lain” belum menjadi kebutuhan dan cenderung dicurigai ”sesat”. Pada periode

berikutnya, berkaitan dengan konteks sosial-budaya; sosial-politik; ekumene; dan

perkembangan peradaban global, sikap ortodoks GKJ terhadap Katekismus Heidelberg

mulai goyah dan mulai bergeser masuk ke lapisan dalam kedua keyakinan ortodoksnya,

yaitu Pengakuan Iman Rasuli, meskipun pergeseran tersebut mungkin berjalan relatif

lama. GKJ mulai melakukan adaptasi dengan konteks pergumulan aktualnya.

Sedangkan pada periode terakhir sikap ortodoks GKJ mengalami pergeseran ke titik

tumpunya masuk ke lapisan dalam pertama keyakinan ortodoksnya, yaitu Alkitab

sekaligus pada pondasi progresivitas dan ortodoksi reformatorisnya pada Ecclesia

reformata semper reformanda est dan Sola fide, sola gratia, dan sola scriptura.

2) Oleh karena dogma gereja sendiri secara formal dan fungsional disusun dalam

rangka mengekspresikan identitas eksistensial dan mendukung tugas misionernya, maka

Page 16: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

16

dogma gereja pada dasarnya harus kontekstual. Oleh karena itu, pada dasarnya usaha

menyusun dogma gereja sendiri merupakan bentuk “kontekstualisasi” dogma. Namun

kontekstualisasi dogma harus dipahami berdasarkan parameter tertentu yang berkaitan

dengan pemahaman dan kebutuhan tentang identitas eksistensial dan orientasi

misionernya. Sehingga dogma gereja kontekstual harus secara efektif dapat

mengekspresikan identitas eksistensial-fungsionalnya dan mendukung orientasi

misionernya dalam setiap periode sejarahnya.

Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas pergumulan GKJ menyusun dogma

gerejanya sangat dipengaruhi oleh dua hal tersebut dalam setiap periode sejarahnya.

Pada satu sisi dalam perspektif sejarah realitas kontinuitas dan diskontinuitas

merupakan wajar dan normatif, namun pada sisi lain keduanya juga harus secara sadar

dapat dikelola dan dikerjakan secara fungsional-konstruktif untuk menyusun dogma

gereja kontekstual sebagai ekspresi kemandiriannya. Dinamika sejarah demikian

kemudian dapat dilukiskan sebagai sebuah proses dialektis historis yang bertolak dari

dogma ortodoksnya (tesis) yang secara historis-empiris diperhadapkan tantangan-

tantangan kontekstualnya (antitesis) sehingga menghasilkan dogma gereja

kontekstualnya (sintesis).13

D. Metodologi

Dalam kajian sejarah ini saya menggunakan langkah-langkah sebagaimana diungkapkan

oleh Gilbert J. Garraghan SJ.14 Sedangkan berkaitan dengan pokok kajiannya saya juga

13 Bandingkan dengan penjelasan mengenai metodologi tesis ini pada halaman 19. 14 Gilbert J. Garraghan SJ., A Guide to Historical Method, New York, 1957, hal. 33-34.

Page 17: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

17

menggunakan beberapa metode atau pendekatan tertentu sesuai dengan tujuan yang

ingin dicapai. Langkah-langkah kajian sejarah tersebut sebagai berikut:

Pertama: Heuristik, yaitu tindakan pengumpulan sumber-sumber data sesuai dengan

pokok kajian. Oleh karena tesis ini merupakan kajian literer-dokumenter, maka dalam

pengumpulan sumber-sumber data ini pertama dan terutama saya menggunakan metode

dokumenter. Yaitu, metode pengumpulan dan penggunaan dokumen-dokumen tertulis

dan literatur-literatur baik sebagai sumber data primer maupun sumber data sekunder.

Dokumen-dokumen seperti Akta dan Materi Sidang Sinode GKJ, Warta Gereja,

Majalah dan Buku-buku sejaman dipakai sebagai sumber data primer. Sedangkan

dokumen-dokumen dan literatur-literatur lain yang dapat mendukung sumber-sumber

primer dipakai sebagai sumber sekunder. Kedua, saya menggunakan metode wawancara

dengan menetapkan orang-orang yang dipandang dapat dipakai sebagai informan

sumber sekunder. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, di mana pertanyaan-

pertanyaan mengenai materi dalam wawancara ”mengalir” dan dikembangkan sesuai

keadaan pada saat wawancara dilakukan.

Kedua: Kritik sumber, yaitu tindakan menyeleksi dan mengkritik terhadap sumber-

sumber yang telah dikumpulkan, baik kritik ekstern maupun intern dengan tujuan

mendapatkan validitas atau keabsahan sumber dan relevansinya terhadap pokok kajian.

Kritik ekstern dimaksudkan untuk menguji keabsahan dan otentisitas sumber,

sedangkan kritik intern dimaksudkan untuk menguji materi data dan relevansinya

terhadap pokok kajian.

Page 18: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

18

Ketiga: Interpretasi, yaitu tindakan menganalisa dan menafsirkan data secara

korelasional sehingga dapat dilakukan identifikasi data dan ditentukan hubungan

kausalitasnya menjadi satu kesatuan peristiwa sejarah secara integral. Untuk melakukan

tugas ini saya menggunakan dua dari beberapa pendekatan yang disampaikan oleh Dr.

Kuntowijoyo, yaitu pendekatan konteks dan pendekatan teks berikut:15

1) Pendekatan konteks. Pendekatan ini mempunyai asumsi dasar bahwa setiap

gagasan atau tindakan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan telah

dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh konteks peristiwa sejarah tertentu yang

cukup besar, konteks perubahan tertentu yang cukup besar, konteks sosio-

kultural tertentu yang dominan, dan konteks sosio-politik tertentu yang

dominan. Dalam hal ini, pendekatan konteks terutama digunakan untuk

menganalisa hubungan kausalitas sejarah pergumulan dogmatis GKJ dengan

konteks sejarah misi, konteks sejarah nasional Indonesia, konteks sejarah

ekumenis dan konteks sejarah peradaban manusia. Selanjutnya pendekatan

konteks juga digunakan untuk menilai kontekstualitas dokumen-dokumen

dogma GKJ berkaitan dengan kesanggupannya secara fungsional untuk

mengekspresikan identitas eksistensial-fungsionalnya.

2) Pendekatan teks; dialetika internal; kesinambungan pemikiran dan

intertekstualitas. Pendekatan ini mempunyai asumsi dasar bahwa suatu konsep

pemikiran (tesis) yang terus dipergumulkan aktualisasinya akan mendorong

terjadinya dialektika. Yaitu dinamika gerak progresif aksi - reaksi pemikiran

antara konsep pemikiran (tesis) yang telah ada dengan pemikiran kontra

15 Dr. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi 2, 2003, hal. 195-197.

Page 19: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

19

(antitesis) dan atau pemikiran pengembangan, sehingga membentuk suatu

konsep lain (sintesis) sebagai bentuk kontinuitas dan diskontinuitasnya dari

tesis-antitesis sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menelusuri fakta kontinuitas

dan diskontinuitas dalam dialetika internal, maka harus dilakukan

perbandingan antar teks. Pendekatan ini terutama akan digunakan pada bagian

akhir tesis ini untuk menganalisa dan mendeskripsikan fakta kontinuitas dan

diskontinuitas pergumulan dogmatis GKJ dalam dokumen-dokumen dogma

hasil pergumulannya menyusun dogma gerejanya sendiri.

Selanjutnya mengenai tindakan menganalisa dan menafsirkan data sejarah, satu hal

yang harus dipahami adalah peranan subyektivitas saya. Dalam taraf tertentu

subyektivitas saya pasti ikut menentukan makna dalam proses analisa dan penafsiran

terhadap data-data sejarah, meskipun sebagai realitas sejarah data merupakan sesuatu

yang berbeda dan berjarak dengan subyektivitas pendapat dan keyakinan saya. Dalam

hal ini, subyektivitas berarti pemahaman dan intelektualitas saya mengenai sejarah.

Oleh karena itu, pengutipan-pengutipan dan pemberian referensi data dan sumber data

dimaksudkan sebagai usaha semaksimal mungkin untuk mengungkapkan obyektivitas

pemaknaan yang saya lakukan. Meskipun demikian, dalam hal tindakan pemilihan dan

pemaknaan setiap kutipan dan referensi data, subyektivitas saya ikut berperan penting.

Namun demikialah pengertian obyektivitas dan subyektivitas sejarah menurut Hans-

Goerg Gadamer seperti saya kutip berikut:

”The de-specialization of ”temporal distance” and the de-idealization of the ”thing itself” allows us to understand how it is possible to know in the ”historical object” the genuinely ”other” despite ”my own” convictions and opinions; that is to say, how it is possible to know them both. Thus it is more true to state that the historical object, in the authentic sense of that term, is not an “object” but the “unity” of one with the other. It is the relasionship, that is, “affinity”, through

Page 20: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

20

which they both manifest themselves: the historical reality on the one hand and the reality of historical understanding on the other.”16

Keempat: Historiografi, yaitu langkah terakhir dengan menganalisa dan

mendeskripsikan seluruh data sejarah menjadi satu kesatuan konstruksi peristiwa-

peristiwa masa lalu berkaitan dengan upaya GKJ menyusun dogma gerejanya sendiri

antara tahun 1945-1996. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan rajut pergumulan

GKJ dalam mengupayakan dogma gerejanya tersebut, saya akan melakukan periodisasi

terhadap periode panjang antara tahun 1945-1996. Saya membagi menjadi tiga periode

dimana setiap periode mempunyai karakter pergumulan dan pemikirannya berkaitan

dengan konteks perkembangan sejarah misi; ekumene; sosial-politik dan peradaban

masyarakatnya, sehingga secara keseluruhan dapat mendeskripsikan fakta kontinuitas

dan diskontinuitas pemikiran dalam mengupayakan dogma kontekstual GKJ. Periodisasi

tersebut sebagai berikut: 1) periode antara Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1945

sampai Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1967, 2) periode antara Sidang Sinode

Reguler GKJ tahun 1969 sampai Sidang Sinode Reguler GKJ tahun 1984, dan 3)

periode antara Sidang Sinode Kontrakta GKJ tahun 1992 sampai Sidang Sinode

Terbatas GKJ tahun 1996.

E. Sistematika

Untuk mendeskripsikan seluruh data menjadi satu kesatuan konstruksi peristiwa sejarah

secara logis, maka saya menyusun sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:

16 Hans-Goerg Gadamer, ”The Problem of Historical Consciousness”, dalam Paul Rabinow dan William M. Sullivan (editor), Interpretative Social Science: A Reader, Berkeley, 1979, hal. 159.

Page 21: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

21

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian

pertama berisi penjelasan mengenai latarbelakang masalah yang menggambarkan

realitas empiris GKJ sebagai konteks permasalahan, kemudian penjelasan mengenai

permasalahan dan rumusan masalah. Selanjutnya berturut-turut berisi tentang hipotesis,

judul, metodologi, dan sistematika penulisan.

BAB II ORTODOKSI GKJ TERHADAP PENGAKUAN IMAN RASULI DAN

KATEKISMUS HEIDELBERG PADA TAHUN 1945 - 1967. Pembahasan dalam bab

ini akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama mengungkapkan konteks

sejarah pencapaian kemerdekaan dan sejarah gerakan ekumenis yang memicu

munculnya pergumulan GKJ terhadap bentuk dogma gerejanya. Bagian kedua

mengungkapkan mengenai usaha GKJ meninjau kembali terhadap status dua warisan

dokumen dogmanya berkaitan dengan agenda ekumenisnya terutama dengan Gereja-

gereja Jawa lain sampai pada keputusannya menetapkan kedua dokumen tersebut

sebagai dogma ortodoksnya dan kegagalannya membina sinode kesatuannya dengan

GKJTU. Bagian terakhir mengungkapkan mengenai mulai munculnya kesadaran dan

kritik internal GKJ terhadap fakta dekontekstualitas dokumen dogma ortodoksnya

terutama Katekismus Heidelberg dalam mendukung kebutuhan misioner dan

pastoralnya paska restrukturisasi hubungan GKJ dan GKN berdasarkan Kwitang

Accoord dan Regional Accoord.

BAB III UPAYA MENYUSUN DOGMA KONTEKSTUAL GKJ PADA TAHUN

1969-1984. Pembahasan bab ini akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama

mengungkapkan konteks sejarah sosial-politik nasional paska revolusi G 30 S 1965

berkaitan dengan kebutuhan misioner dan pastoral GKJ yang memicu munculnya

Page 22: PROPOSAL TESIS - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50020153/9e...GKJ tahun 1984 dan Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ) serta lebih banyak belajar sendiri

22

kebutuhan dogma kontekstualnya. Kemudian bagian kedua mengungkapkan mengenai

usaha penyusunan buku katekisasi kontekstual berdasarkan agenda misioner dan

pastoral GKJ. Selanjutnya bagian terakhir mengungkapkan mengenai dua kali

kegagalan GKJ berturut-turut menetapkan buku katekisasinya pada tahun 1978 dan

1984.

BAB IV KONTEKSTUALISASI DOGMA GKJ DALAM KONTEKS POST-

MODERN DAN GLOBALISASI PADA TAHUN 1992 – 1996. Pembahasan bab ini

akan dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama mengungkapkan konteks sejarah

sosial-politik nasional Indonesia di bawah Orde Baru dan konteks sejarah peradaban

post-modern dan globalisasi dengan perubahan paradigma kultural dan intelektual.

Bagian kedua mengungkapkan mengenai masa transisi dalam bentuk adanya jalan buntu

usaha penyusunan formulir pokok-pokok ajaran GKJ antara tahun 1984-1991. Bagian

ketiga mengungkapkan tentang penyusunan dogma kontekstual GKJ antara tahun 1992-

1996 yang menghasilkan PPAGKJ sebagai dogma definitifnya.

BAB V KESIMPULAN DAN REFLEKSI. Pembahasan bab ini akan dilakukan dalam

dua bagian. Bagian pertama mengenai kesimpulan berkaitan dengan hipotesis yang

telah dibuat dan hasil kajiannya. Bagian kedua mengungkapkan mengenai refleksi

teologis saya berkaitan dengan hasil kajian dan relevansinya dengan pergumulan

kontemporer GKJ.