Post on 29-Dec-2015
description
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
SMF Ilmu Bedah di RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai
Disusun Oleh :
Dara MaulinaNPM. 7111080371
Pembimbing :
dr. David I Tambun, Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU BEDAHUNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
RSUD DR. RM. DJOELHAM BINJAI2014
KATA PENGANTAR
1
CA COLORECTAL
REFERAT
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
baik. Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Bedah RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai.
Penulis berharap referat ini bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan,
pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh
berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima
kasih kepada:
1. Dr. David I Tambun, Sp.B dan dr. Abdi Gunawan, Sp.B selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini.
2. Rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, jika ada kesalahan dalam segi apapun penulis minta maaf, dan penulis
dengan terbuka menerima saran dari pembaca, guna untuk memperbaiki semua
kesalahan-kesalahan dalam penulisan referat ini.
Binjai, Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
2
Kata pengantar ........................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................................. ii
Daftar Gambar ........................................................................................................
.................................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 11.2 Epidemiologi ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Usus Besar (Colon) .................................................................... 32.1.1 Fungsi clon dan rectum ............................................................ 5
2.2 Ca Colorectal ............................................................................................ 62.2.1 Definisi Ca Colorectal............................................................... 62.2.2 Etiologi Ca Colorectal............................................................... 62.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Ca Colorectal .............................. 72.2.4 Patofisiologi Ca Colorectal ...................................................... 102.2.5 Gambaran Klinis Ca Colorectal ............................................... 102.2.6 Deteksi Dini Ca Colorectal ...................................................... 132.2.7 Diagnosis Ca Colorectal............................................................ 152.2.8 Penatalaksanaan Ca Colorectal ................................................ 182.2.9 Komplikasi Ca Colorectal ........................................................ 202.2.10 Prognosis Ca Colorectal............................................................ 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................
...................................................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagian-bagian Colon .......................................................................... 3
Gambar 2.2 Stadium Kanker Kolorektal ................................................................ 12
Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan Enema Barium................................................... 16
Gambar 2.4 Pemeriksaan dengan Endoskopi ......................................................... 17
Gambar 2.5 Reseksi Low Anterior ......................................................................... 19
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang
berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum.
Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun kecuali
bila mereka merupakan komplikasi dari penyakit kolitis ulseratif, kolitis
granulomatosa, poliposis multipel familial, sindrom Gardner, dan sindrom Turcot.
Pada populasi umum, risiko terjadinya kanker kolorektal secara nyata akan
meningkat pada umur 50 tahun dan menjadi dua kali lipat lebih besar pada setiap
dekade berikutnya. Karsinoma rektum lebih banyak ditemukan pada laki-laki
daripada wanita, tetapi tidak ada perbedaan jenis kelamin yang mencolok pada
karsinoma di daerah kolon yang lain.
Dari kajian epidemiologi, disimpulkan ada pengaruh lingkungan yang
sangat besar, khususnya diet, memainkan peranan yang nyata pada penyebab dari
kanker kolon, yang peranannya lebih besar daripada pada kanker rektum. Faktor
keturunan dapat juga berperan sebagai pencetus timbulnya kanker jenis ini.
Sebagaimana pengaruh genetik dari sindrom karsinoma poliposis yang dapat
diterangkan menurut hukum Mendel, maka predisposisi genetik pada kanker dapat
timbul pada populasi umum. Sanak keluarga derajat satu (first degree relatives)
dari pasien yang menderita karsinoma kolorektal mempunyai risiko tiga kali lipat
lebih besar daripada kontrol (Sjamsuhidayat et al, 2006).
1.2 Epidemiologi
Sekitar 75% dari kanker colorectal terjadi pada orang yang tidak memiliki
faktor risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan
faktor-faktor risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker
5
colorectal atau polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor
risiko penting lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary
Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial
Adenomatosa Polyposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1%
dari semua kasus).
Kanker colorectal merupakan salah satu penyakit yang mematikan.
Berdasarkan laporan World Cancer Report WHO, diperkirakan 944.717 kasus
ditemukan di seluruh dunia pada tahun 2000. Insiden yang tinggi pada kasus
kanker colorectal ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, negara bagian
Eropa, New Zealand, Israel, dan Australia, sedangkan insiden yang rendah itu
ditemukan di Aljazair dan India. Sebagian besar kanker colorectal terjadi di
negara-negara industri. Insiden kanker colorectal mulai mengalami kenaikan di
beberapa negara seperti di Jepang, Cina (Shanghai) dan di beberapa negara Eropa
Timur.8 Menurut American Cancer Society pada tahun 2008 di Amerika Serikat
diperkirakan sekitar 148.810 orang didiagnosis menderita kanker colorectal dan
49.960 mengalami kematian dengan CFR 33,57%.
Eropa, sebagai salah satu negara maju memiliki angka kesakitan kanker
colorectal yang tinggi. Pada tahun 2004, terdapat 2.886.800 kasus dan 1.711.000
kematian karena kanker dengan CFR 59,27%, kanker colorectal menduduki
peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.
Insidens kanker colorectal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker colorectal menduduki peringkat kedua
pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker
colorectal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Pada kebanyakan
kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insidens yang ditemukan, yang
mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama
antara negara maju dan berkembang.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Usus Besar (Colon)
Usus besar atau colon berbentuk tabung muskular berongga dengan
panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani.
Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5
cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu caecum, colon ascenden, colon
transversum, colon descenden, colon sigmoid dan rectum. Berbeda dengan
mukosa usus halus, pada mukosa colon tidak dijumpai vili dan kelenjar biasanya
lurus-lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe absorptif
diselang-seling dengan sel goblet. Pada lamina propria dan basis kripta secara
sporadik terdapat nodul jaringan limfoid.
Gambar 2.1 Bagian-Bagian Colon
a. Caecum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus
besar. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak
7
pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum
inguinale. Biasanya caecum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga
dapat bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai mesenterium; terdapat
perlekatan ke fossa iliaca di sebelah medial dan lateral melalui lipatan
peritoneum yaitu plica caecalis, menghasilkan suatu kantong peritoneum
kecil, recessus retrocaecalis.
b. Colon ascenden
Bagian ini memanjang dari caecum ke fossa iliaca kanan sampai ke
sebelah kanan abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen
sebelah kanan, dan di bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut
fleksura hepatica (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan colon
transversum.
c. Colon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat
bergerak bebas karena tergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk
omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen
dari fleksura coli dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke
lateralis. Letaknya tidak tepat melintang (transversal) tetapi sedikit
melengkung ke bawah sehingga terletak di regio umbilicalis.
d. Colon descenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian
kiri, dari atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum
kiri, bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.1
e. Colon sigmoid
Disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan
berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis
superior (pelvic brim) sampai peralihan menjadi rectum di depan vertebra S-
3. Tempat peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli, dan
8
terletak + 15 cm di atas anus. Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon
sigmoideum pada dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak
bebas (mobile).2
f. Rectum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu colon sigmoid
dengan panjang sekitar 15 cm. Rectum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar.3
Rectum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih
panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian
terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih
proksimal, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot
yang mengatur pasase isi rectum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri
dari 3 sling: atas, medial dan depan.4
2.1.1 Fungsi Colon dan Rectum
Usus besar atau colon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan
elektrolit dari kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi
massa semi padat. Usus besar hanya memproduksi mucus. Sekresinya tidak
mengandung enzim atau hormon pencernaan. Sejumlah bakteri dalam colon
mampu mencerna sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori
nutrien bagi tubuh dalam setiap hari. Bakteri juga memproduksi vitamin K,
riboflavin, dan tiamin, dan berbagai gas. Usus besar mengekskresi zat sisa
dalam bentuk feses.5
Fungsi utama dari rectum dan canalis anal ialah untuk mengeluarkan
massa feses yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang
terkontrol. Fungsi rectum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks.
Apabila feses masuk ke dalam rectum, terjadi peregangan rectum sehingga
menimbulkan gelombang peristaltik pada colon descendens dan colon
sigmoid mendorong feses ke arah anus, sfingter ani internus dihambat dan
sfingter ani internus melemas sehingga terjadi defekasi. Feses tidak keluar
9
secara terus menerus dan sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya
kontraksi tonik otot sfingter ani internus dan externus.6,7
2.2 Ca Colorectal
2.2.1 Definisi
Kanker colorectal merupakan tumor ganas yang berasal dari mukosa
colon atau rectum. Kebanyakan kanker colorectal berkembang dari polip,
oleh karena itu polypectomy colon mampu menurunkan kejadian kanker
colorectal. Polip colon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak
menunjukkan gejala.8 Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar
adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi
mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui
infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe pericolon dan mesocolon,
dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena colon mengalirkan darah ke
sistem portal.9
2.2.2 Etiologi
Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap
predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker
kolorektal (Robbins, 2005). Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal
berdasarkan perkembangannya yaitu: 1) kelompok yang diturunkan
(inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus kanker kolorektal; 2)
kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%; 3) kelompok familial,
mencakup 20%.
Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan
mutasi germline (germline mutation), pada salah satu allele dan terjadi mutasi
somatik pada allele yang lain. Contohnya adalah FAP (familial adenomatous
polyposis) dan HNPCC (hereditery non-polyposis colorectal cancer).
HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolorektal. Kelompok sporadik
membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing masing allele-nya
10
(Schwartz, 1995). Terdapat dua model perjalanan perkembangan kanker
kolorektal (karsinogenesis) yaitu LOH (loss of heterozygocity) dan RER
(replication error). Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor
meliputi gen APC, DCC, dan p53 serta aktifasi onkogen yaitu K-ras. Model
ini contohnya adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma.
Sementara model RER karena adanya mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1,
dan hPMS2. Model terakhir ini contohnya adalah perkembangan HNPCC.
Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat model LOH dan 20%
berkembang lewat model RER (Robbins, 2005).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker
colorectal yaitu:
a. Umur
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90%
penyakit ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan
di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis
ulseratif atau polyposis familial.9
b. Faktor Genetik
Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan disebabkan
oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting.
Ada beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada
terjadinya kanker colorectal. Risiko terjadinya kanker colorectal pada
keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3 kali dibandingkan
pada populasi umum.10 Banyak kelainan genetik yang dikaitkan
dengan keganasan kanker colorectal diantaranya sindrom poliposis.
Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua
kanker colorectal. Selain itu terdapat Hereditary Non-Poliposis
Colorectal Cancer (HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3%
dari kanker colorectal.11
c. Faktor Lingkungan
11
Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan
bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker colorectal.
Risiko mendapat kanker colorectal meningkat pada masyarakat yang
bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang rendah
ke wilayah dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini
menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan
berpengaruh pada karsinogenesis.11
d. Faktor Makanan
Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker
colorectal. Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat
menurunkan risiko timbulnya kanker colorectal sebesar 40%
dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari.
Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi,
kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih)
akan mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar 35%
dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per
minggu.12 Waktu transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-
zat iritatif dengan mukosa colorectal menjadi singkat, sehingga dapat
mencegah terjadinya penyakit di colon dan rectum. Di samping
menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga
hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa
colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat dicegah.13
e. Polyposis Familial
Polyposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden
pada populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip
bervariasi 100-10.000 dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip
ini biasanya mirip dengan polip adenomatosun bertangkai atau berupa
polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada mukosa colon. Sebagian
dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di
abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil
yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa
12
remaja dan awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien
yang tidak diobati adalah sekitar 90% pada usia 40 tahun.14,15
f. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak
pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada
semua umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan.
Polip adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid (60%), ukuran
bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip
terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan
ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma.
Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan.
Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis
mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan
tangkai serta basis polip. Risiko terjadinya kanker meningkat seiring
dengan meningkatnya ukuran dan jumlah polip.16
g. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma
colon. Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya
berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak
tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Adenoma vilosa
mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan
diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin
besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker.14,15
h. Colitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker colorectal yang
berhubungan dengan colitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6%
pada 30 tahun, dan 10,8% pada 50 tahun.Colitis ulserosa dimulai
dengan mikroabses pada kripta mukosa colon dan beberapa abses
bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip
yaitu penonjolan mukosa colon yang ada diantara ulkus. Perjalanan
penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai
adanya pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma.
13
Pada kasus demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan
menghindari penyakit yang sering berulang-ulang. Karsinoma yang
timbul sebagai komplikasi colitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat
tumbuh dan metastasis.14,17
2.2.4 Patofisiologi
Pada umumnya, dalam perjalanan penyakit, pertumbuhan
adenokarsinoma usus besar sebelah kanan dan kiri berbeda. Adenokarsinoma
usus besar kanan (caecum, colon ascenden, transversum sampai batas flexura
lienalis), tumor cenderung tumbuh eksofitik atau polipoid. Pada permulaan,
massa tumor berbentuk sesil, sama seperti tumor colon kiri. Akan tetapi
kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah iritasi dengan
simptom habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan sakit,
sering berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan
kadang-kadang disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan
anemia karena adanya perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang
terjadi, mungkin karena volum colon kanan lebih besar. Suatu saat dapat
dipalpasi massa tumor di rongga abdomen sebelah kanan.16
Karsinoma usus besar kiri (colon transversum batas flexura lienalis,
colon descenden, sigmoid dan rectum) tumbuh berbentuk cincin
menimbulkan napkin-ring. Pada permulaan, tumor tampak seperti massa
berbentuk sesil, kemudian tumbuh berbentuk plak melingkar yang
menimbulkan obstipasi. Kemudian bagian tengah mengalami ulserasi yang
menimbulkan simtom diare, tinja campur lendir dan darah, konstipasi dan
tenesmus mirip dengan sindrom disentri.16
2.2.5 Gambaran Klinis
Karsinoma colon dan rectum dapat menyebabkan ulserasi, atau
perdarahan, menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi)
keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa
14
terjadi perforasi dan menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala
tergantung juga dari lokasi dan besarnya tumor.18
1) Karsinoma Colon Sebelah Kanan
Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma
pada caecum atau pada ascending colon biasanya memperlihatkan gejala
nonspesifik seperti kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini
biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma colon yang belum
terdeteksi, yang lebih cenderung berada di proksimal daripada di colon distal.
Beberapa tanda gejala yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit
perut pada bagian bawah yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan
di anus. Pada 50-60% pasien terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut.13
2) Karsinoma colon sebelah kiri
Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar
akan ada gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di
feses. Beberapa karsinoma pada transversa colon dan colon sigmoid dapat
teraba melalui dinding perut.13
Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi, sehingga
terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja yang
masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.18
3) Karsinoma Rectum
Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare.
Sering terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan
menurun. Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker
rectum. Kadang-kadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala
utama.19
4) Stadium kanker kolon dan rektum
Sistem klasifikasi yang digunakan adalah sistem Astler-Coller yang
dimodifikasi dari Duke’s classification system dan diperkenalkan pada tahun
1954, kemudian direvisi tahun 1978 oleh Gunderson dan Sosin, berdasarkan
atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan adanya
metastasis jauh yaitu: 1) stadium A: hanya terbatas pada lapisan mukosa; 2)
15
stadium B: sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam
lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan
(B3); 3) stadium C: bila sudah ada keterlibatan kelenjar (Cl sampai C3); 4)
stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen.
Pada tahun 1987 American joint committee on cancer dan
international union against cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM
yaitu: 1) ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; 2) adanya keterlibatan
kelenjar (N) dibagi atas: N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3 bila
terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; 3) adanya metastasis jauh (M1).
Adapun sistim TNM dapat dijabarkan sebagai berikut (tabel 2.1) (Schwartz,
1995):
Tabel 2.1 Stadium Kanker Kolorektal
StadiumDeskripsi Histopatologi
Dukes TNM Derajat
A TisN0M0 0Carcinoma in situ: invasi intraepithelial atau
sebatas lapisan mukosaA T1N0M0 I A Kanker terbatas pada mukosa/submukosaB1 T2N0M0 I B Kanker mancapai muskularis propia
B2 T3N0M0 II AKanker cenderung untuk masuk atau
melewati lapisan serosa
B2 T4N0M0 II BKanker menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi sampai
peritoneum visceral
C1 TXN1M0 III AKanker melibatkan 1-3 kelenjar getah
bening regional
C2 TxN2M0 III BKanker melibatkan 4 atau lebih kelenjar
getah bening regionalD TXNXM1 IV Metastasis limfatik/hematogen
16
Gambar 2.2 Stadium Kanker Kolorektal
2.2.6 Deteksi dini
Deteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik yang
bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga
dapat dilakukan terapi kuratif.
Indikasi, secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok
yaitu populasi umum dan kelompok risiko tinggi. Deteksi dini pada populasi
dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Deteksi dini
dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi
menderita kanker kolorektal yaitu: 1) penderita yang telah menderita kolitis
ulserativa atau Crohn >10 tahun; 2) penderita yang telah menjalani
polipektomi pada adenoma kolorektal; 3) individu dengan adanya riwayat
keluarga penderita kanker kolorektal.
Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita kanker
kolorektal 5 kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang
sama tanpa riwayat penyakit tersebut. Terdapat dua kelompok pada individu
dengan keluarga penderita kanker kolorektal, yaitu: 1) individu yang
memiliki riwayat keluarga dengan hereditery non-polyposis colorectal cancer
(HNPCC); 2) individu yang didiagnosis secara klinis menderita familial
adenomatous polyposis (FAP).
Macam-macam deteksi dini pada kanker kolorektal adalah sebagai
berikut:
1) Deteksi dini pada populasi.
17
a) Test darah tersamar pada feses (fecal occult blood test/FOBT)
setiap tahun. FOBT menurunkan tingkat mortalitas kanker
kolorektal sebesar 16% dan juga menurunkan insidens kanker
kolorektal, disebabkan oleh deteksi dan polipektomi pada
adenoma yang ditemukan.
b) Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kebanyakan kanker
kolorektal berasal dari polip adenoma sehingga setiap lesi harus
diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti secara bermakna
menurunkan risiko kanker kolorektal.
2) Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi.
a) Penderita yang telah menderita colitis ulserativa atau Crohn >10
tahun. Apabila telah berjalan selama 20 tahun atau ditemukan
adanya displasia, maka kolonoskopi harus dilakukan setiap
tahun. Penderita yang telah menjalani polipektomi pada
adenoma kolorektal: 1) penderita yang telah menjalani
polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk
menjalani follow-up kolonoskopi; 2) apabila ditemukan polip
berukuran < 1 cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan
kolonoskopi setiap 5 tahun; 3) apabila ditemukan lebih dari 3
adenoma, atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm, atau adanya
displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun.
Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip,
maka kolonoskopi dapat dihentikan.
b) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal. Meliputi: 1) penderita yang telah menjalani
polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk
menjalani follow-up kolonoskopi; 2) apabila ditemukan polip
berukuran <1cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan
kolonoskopi setiap 5 tahun; 3) apabila ditemukan lebih dari 3
adenoma, atau paling sedikit satu berukutan > 1 cm, atau adanya
displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun.
18
Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip,
maka kolonoskopi dapat dihentikan.
c) Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker
kolorektal.
d) Individu berisiko tinggi menderita FAP berdasarkan riwayat
katuarga dengan FAP. Meliputi: 1) bila fasilitas tersedia
dilakukan pemeriksaan genetik adanya mutasi gen APC; 2)
ditawarkan kolonoskopi setiap dua tahun dan sigmoidoskopi
setiap tahun.20
2.2.7 Diagnosis
Gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi terhadap
akan adanya kanker kolon dan rektum.
a) Keluhan utama dan pemeriksaan fisik
Perdarahan peranum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan
atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
Perdarahan peranum tanpa gejala anal (diatas 60 tahun)
Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal6
minggu (diatas 60 tahun)
Massa teraba pada fosa iliaca dextra (semua umur)
Massa intraluminal didalam rektum
Tanda-tanda obstruksi mekanik usus (ileus obstruksi)
Setiap penderita dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11 gr% pada
pria dan Hb <10 gr % pada wanita pasca menopause)
b) Pemeriksaan colok dubur
Dilakukan pada setiap penderita dengan gejala anorektal
Menetapkan keutuhan spingter ani
Menetapkan ukuran dan derajat fiksasi serta jarak tumor dari
garis anokutan. Lokasinya 1/3 tengah dan 1/3 distal rektum.
c) Pemeriksaan penunjang
19
Berdasarkan bukti sampai dengan saat ini, terdapat tiga macam
pemeriksaan penunjang yang efektif di dalam diagnosis kanker kolon
dan rektum, yaitu: enema barium, endoskopi dan CT-pneumokolon.
Tingkat akurasi pemeriksaan tersebut sangat tergantung pada
persiapan kolon yang baik.
Pemeriksaan laboratorium
Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara
makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood)
serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar
yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat
meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru,
sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, colitis
ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat
yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis
karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA
meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA
penting untuk tindak lanjut.18
Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan ini mempunyai keuntungan sebagai berikut:
Sensitivitas untuk KKR 65-95%
Tidak memerlukan sedasi
Keberhasilan prosedur sangat tinggi
Tersedia hampir diseluruh rumah sakit
Cukup aman
Kelemahan enema barium adalah:
Lesi T1 sering tidak terdiagnosa
Lesi direktosigmoid dengan divertikulosis dan caecum ,
akurasinya rendah
Akurasinya rendah untuk lesi dengan tipe datar
Untuk polip dengan ukuran < 1 cm, sensitivitasnya hanya
70-95%.
Mendapat paparan radiasi
20
Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan Enema Barium
Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidoskopi
rigid, sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi
fleksibel lebih efektif dibandingkan dengan yang rigid untuk
visualisasi kolon dan rektum. Dapat mendeteksi polip yang
berukuran < 9mm. Sensitivitas dan spesifitas kolonoskopi akan
semakin tinggi bila persiapan kolon, sedasi dan kompetensi
operator semakin baik.
Keuntungan kolonoskopi sebagai berikut:
Sensivitas untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal 95%
Dapat langsung digunakan sebagai biopsi untuk diagnostik
Untuk lesi synchronous polip dapat dilakukan reseksi
Tidak ada paparan radiasi
21
Gambar 2.4 Pemeriksaan dengan Endoskopi
Kelemahannya adalah:
5-30% kasus pemeriksaan tidak sampai caecum
Lokalisasi tumor dapat tidak akurat
Harus selalu sedasi intravena
Mortalitas 1:5000 kolonoskopi
Pneumocolon Computed Tomography (PCT)
Dapat dilakukan pemeriksaan ini bila ada ahli radiologi yang
berkompeten dengan keuntungan:
Sensitivitas tinggi dalam mendiagnosa KKR
Toleransi dari penderita baik
Dapat memberikan informasi kondisi diluar kolon, termasuk
menentukan stadium invasi lokal, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening.
Kerugiannya adalah:
Tidak dapat mendiagnosa polip <10mm
Memerlukan radiasi yang lebih tinggi
Jumlah dokter spesialis radiologi yang berkompeten masih
terbatas
22
Tidak dapat dilakukan biopsi dan polipektomi
2.2.8 Penatalaksanaan
Terapi kanker kolon dan rektum merupakan terapi multimodalitas
dengan andalan utama adalah terapi pembedahan. Modalitas terapi pada kasus
kanker kolon dan rektum terdiri dari: operasi kuratif dan operasi palliatif,
kemoterapi adjuvan dan neoadjuvan, kemoradioterapi dan pre dan pasca
operasi, dan immunoterapi.
1. Terapi pembedahan
Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan,
kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan reseksi
abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan pada pasien
yang tidak mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut dengan antigen
embrionik adalah penanda yang sensitif untuk rekurensi tumor yang tidak
terdeteksi. Daya tahan hidup 5 tahun adalah sekitar 50%.21
Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum, colon
ascenden, colon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan colon
descenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rectum
proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection).
Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan
secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi
terhadap metastasis di hati dapat memberikan hasil 25-35% rata-rata masa
bebas tumor (disease free survival rate).22
23
Gambar 2.5 Reseksi Low Anterior
2. Terapi adjuvan
a) Radioterapi
Radiasi pra bedah hanya diberikan pada karsinoma rectum. Sementara
itu, radiasi pasca bedah diberikan jika sel karsinoma telah menembus tunika
muscularis propria, ada metastasis ke kelenjar limfe regional, atau apabila
masih ada sisa-sisa sel karsinoma yang tertinggal akan tetapi belum ada
metastasis jauh.18 Radiasi pada kanker rektum dapat diberikan sebagai radiasi
eksterna pasca operasi; pre operasi dan kemoradiasi. Selain itu dapat juga
dilakukan Brakiterapi: intracavitary brachitherapy dan interstitial
brachitherapy.
b) Kemoterapi
Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional
(Dukes C), tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor
setelah dioperasi kemudian residif kembali.18 Kemoterapi yang biasa
diberikan pada penderita kanker colorectal adalah kemoterapi ajuvan.
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi.
Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker
colorectal setelah operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi
sehingga tidak perlu terapi ajuvan. Pasien kanker colorectal Dukes C yang
mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup
24
dan masa interval bebas tumor (disease free interval). Kemoterapi ajuvan
tidak berpengaruh pada kanker colorectal Dukes B.22
Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan
kriteria:
Derajat keganasan III,IV
Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah
Adanya obstruksi usus
Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah
Stadium T4N0M0 atau
T3 dengan perforasi terlokalisasi
Tepi sayatan dengan positif untuk tumor
Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor
atau sulit ditentukan.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi primer yang dihubungakan dengan kanker kolorektal
adalah:
1. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen usus akibat lesi
2. Perforasi dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi dari rongga
peritoneal oleh isi usus
3. Perluasan langsung tumor ke organ-organ yang berdekatan
Komplikasi yang timbul setelah pembedahan (reseksi usus besar) dibagi
menjadi 2 berdasarkan perkiraan waktu munculnya komplikasi, yaitu komplikasi
segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera meliputi: kardiorespirasi,
kebocoran anastomosis, infeksi luka, retensi urin, impoten. Komplikasi lambat
meliputi: kekambuhan, sistemik, lokal.
2.2.10 Prognosis
Prognosis dari pasien kanker colorectal tergantung pada stadium
penyakit saat terdeteksi dan penanganannya. Sebanyak 75% pasien kanker
kolorektal mampu bertahan hisup selama 5 tahun. Daya tahan buruk/lebih rendah
pada usia dewasa tua.
25
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut:
a) Stadium I – 72%
b) Stadium II – 54%
c) Stadium III – 39%
d) Stadium IV – 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi
termasuk kemampuan ahli bedah, stadium kanker, lokasi dan kemampuan
untuk memperoleh batas-batas negatif tumor.23
Rekurensi lokal setelah operasi reseksi dilaporkan mencapai 3-32%
penderita. Beberapa faktor seperti letak tumor, penetrasi dinding usus,
keterlibatan kelenjar limfe, perforasi rektum pada saat diseksi dan diferensiasi
tumor diduga sebagai faktor yang mempengaruhi rekurensi lokal.23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
26
Kanker colorectal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa
colon atau rectum. Hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma
(terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-
beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang
berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar
limfe pericolon dan mesocolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena
colon mengalirkan darah ke sistem portal. Keluhan dan gejala tergantung dari
lokasi dan besarnya tumor.
Deteksi dini pada individu asimtomatik untuk mendeteksi adanya penyakit
pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif. Operasi merupakan
terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai penyebaran tumor maka
pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi
dan perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syaifuddin, H., 2002. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia. Widya Medika.
Jakarta.
27
2. Widjaja, H.PA., 2009. Anatomi Abdomen. Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Jakarta.
3. Saladin, K.S., 2008. Human Anatomy. 2nd Edition. Mc. Graw-Hill Companies.
New York.
4. Shafik, A., 2000. Surgical Anatomy of the Anal Canal. Neto JA. Rio de Jainero.
5. Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran (EGC). Jakarta.
6. Robby, F., 2006. Hemorrhoid. Referat. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.
7. Waspadji, S., 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
8. The McGraw-Hill Companies, Inc., 2002. McGraw-Hill Concise Dictionary of
Modern Medicine. http://www.medical-dictionary.com/
9. Lindseth, N.G., 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi, Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Jakarta
10. Beahrs, O.H., 1988. Colorectal Tumors. J.B. Lippincott Company. Philadelphia.
11. Abdullah, M., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
12. Waspodo, A. Kanker Kolorektal. Dharmais Cancer Hospital.
http://www.dharmais.co.id/
13. Jones, P.F., 1990. Integrated Clinical Science Gastroenterology. William
Heinemann Medical Books. London.
14. Tambunan, G.W., 1993. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia. Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.
15. Chandrasoma, P. dan Clive R, Taylor., 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.
16. Tambunan, G.W., 1994. Patologi Gastroenterologi. Penerbit Buku Kedokteran
(EGC). Jakarta.
17. Lee, D., 2005. Colon Cancer (Colorectal Cancer). http//www.medicinenet.com/
18. Simadibrata, R., 1997. Karsinoma Kolo-Rektal dalam Gastroenterologi
Hepatologi. Cetakan Kedua. Sagung Seto. Jakarta.
19. Casciato, DA., 2004. Manual of Clinical Oncology. 5th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. USA.
28
20. Syamsuhidajat, R. dan Jong W.D., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd Edition.
Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Jakarta.
21. Lindseth, N.G., 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi, Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Jakarta
22. Abdullah, M., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
23. Zahari, A. Deteksi dan diagnosa dini kanker kolon dan rektum: Majalah
Kedokteran Andalas Vol 26. Ed Suplemen 2002; S63-70
29