Post on 26-Jun-2015
Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura di Riau26 Juli 2009 - 12.53 WIB
1901 klik
Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak,
tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini.
Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.
Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.
Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak,tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat.
Selama berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di Buantan, Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi, yang lebih dikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.
Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946. Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari jajahan Belanda. Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari Republik Indonesia.
Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu, Tanah Putih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah,
Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai dengan Kerajaan Siak.
Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.
Urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
1. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 - 1744)2. Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760)3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 - 1761)4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)5. Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 - 1779)6. Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 - 1781)7. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 - 1784)8. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 - 1811)9. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)10. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 - 1864)11. Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 - 1889)12. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 - 1908)13. Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 - 1946).
Sumber: Melayuonline
didukung oleh
Blog iniBlog ini
Kerajaan Melayu Riau
Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.
Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.
Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT,
atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.
Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat Bajak LautDari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.
Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.
Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan
Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.
Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.
Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham Raja KecilSejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.
Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).
Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang
merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.
Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.
Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.
TenggelamJejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung
dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.
Anti BugisUsaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.
Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.
Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)
Judul asli: Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?Tulisan Jurnalistik Rida K Liamsi: Dari Seminar Kebudayaan Melayu
Surat PembacaSejarah Melayu Siak15 Oktober 2010
122 klik Beritahu TemanSETELAH membaca tulisan opini Prof Dr H Samsul Nizar MA, Senin (11/10/2010) berjudul “Menguak Kemasyhuran Melayu Siak” patut kiranya diberikan sambutan yang layak dan patut diberikan data-data yang diperlukan untuk melengkapi tulisan menyangkut Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Di dalam tulisan itu telah pula dikemukakan beberapa dokumen sejarah, tetapi belumlah lengkap karena buku karangan E Netscher bekas Residen Riau zaman Belanda dulu berjudul De Nedelander in Johor En Siak belum tercatat dalam tulisan Prof Samsul. Buku tersebut berbahasa Belanda dan telah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan sudah dicetak oleh Pemda Siak dan Pemprov Riau masing-masing sebanyak 1.000 eksemplar. Sayang tidak meluas disebarkan.
Buku inilah yang saya beri judul Belanda di Johor dan Siak menjadi pegangan utama dalam penulisan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura, karena data-data yang dikemukakan lebih lengkap terdiri dari 600 halaman. Selain itu perlu saya singgung mengenai Raja Siak Sri Indrapura pertama yang oleh Pemda Siak sudah diubah menjadi Raja Kecik. Padahal, dalam dokumen sejarah tidaklah etis kalau diubah-ubah, karena nama Raja Kecik tidak dijumpai dalam dokumen-dokumen sejarah.
Selanjutnya, patut pula saya singgung tulisan yang terbit pada 23 Agustus 2010 berjudul Melihat Masjid Syahabuddin Peninggalan Kerajaan Siak dikatakan; Selain bangunan Masjid Syahabuddin bercat kuning yang terletak di Jalan Sultan Ismail Siak dan tidak jauh dari Istana Siak masih terlihat kokoh dan megah. Setiap waktu bulan Ramadan di masjid itu ramai dikunjungi umat Islam untuk melakukan salat berjamaah lima waktu maupun kegiatan lainnya.
Masjid yang dibangun 1302 hijriah atau sekitar 120 tahun itu dengan arsitektur dari Negara Arab sampai saat ini belum ada perubahan di dalamnya. Masjid bersejarah yang bernama Masjid Syahabuddin yang dibangun oleh Sultan Syarif Hasyim, sultan ke-11. Apa yang ditulis di atas sama sekali tidak benar, karena Sultan Syarif Hasyim belum sempat membangun masjid di Kota Tinggi sewaktu memindahkan ibu kota dari Mempura ke Kota Tinggi dan baru sempat baginda bangun adalah Istana Asserayah Hasyimiah dan Balai Rung Sari. Semoga orang Siak menjadi maklum adanya.
Wan Ghalib, Jalan Banda Aceh No 12A Harapan Raya, Pekanbaru.
Sejarah Tenun Songket Siak Melayu Riau
fabric homes oranges
singapura indonesia
family photo malaysia
Songket Adalah Asli Seni Budaya Melayu Indonesia | Sejarah sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak bang tenun songket budaya melayu Article: Sejarah Batik Riau · Article: Sejarah Kerajinan Tenun Songket Siak. budaya+lover+seni+tenun+songket+melayu+pekanbaru+riau - Tembolok # Tenun Songket Meniti Sejarah Tenun Songket Melayu Pekanbaru merupakan kekayaan asli negeri bertuah, khasanah songket melayu Riau ini amatlah kaya dari (turunan) Songket Melayu Siak. Bila dilirik dari sejarah Tenun Siak, sebagaimana namanya, merupakan Beranda | Berita | Opini | Artikel | Sejarah Melayu Beranda > Budaya Melayu > Kesenian Melayu > Seni Tenun > Tenun Siak Kain Tradisional Riau misalnya Songket Batubara di Asahan, Ulos Batak, Tapis Lampung atau songket Siak. Tetapi yang telah menjadi industri Sejarah Seni Tenun Songket Melayu Pekanbaru Riau Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang ”Kain songket tenun melayu Mengandung makna serta ibarat 8 komentar to “Songket Melayu Pekanbaru Riau” Pagi..pagi Pic Bottom: Family photo, all ages wearing songket with baju melayu most Malaysian hand weaved fabrics such as Songket, Kain Tenun tenunan di Pahang dipercayai berasal dari Riau bangsa Minangkabau itu bisa dilihat dari sejarah Motif Tenun Songket Siak | Riau By. riauinfo.com Tenun Songket Melayu Pekanbaru Terpanjang di Indonesia br />#Article: Sejarah Tenun Songket Siak Songket, Warisan Asli Melayu - Riau - Pekanbaru RiauSongket Riau Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah Article: Sejarah Tenun Songket Siak You are here: Home Songket, Warisan Asli Melayu - Riau - Pekanbaru Riau Songket Riau Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang Tokoh wanita melayu riau yang sangat berperan dalam kerajinan kain tenun songketmelayu siak di riau adalahtenmgku maha ratu. Tengku maha ratu. Tengku maha ratu adalah permaisuri sultan syarif kasim. Yang kedua setelah permaisuri yang pertama Tenun yang lazimnya itu disebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah melahirkan berbagai macam jenis motif yang mengandung makna dan kalsapah tentu motif-motif yang lazimnya yang di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewam Dekranasda Riau, terletak di ujung jalan Sisimangaraja, merupakan pusat cinderamata Riau terlengkap di Pekanbaru, segala macam aksesories dapat dijumpai seperti busana melayu, batik Riau, kain tenun dan songket, berbagai kerajinan kayu Songket Melayu Pekanbaru pada dasarnya berasal dari (turunan) Songket Melayu Siak. Bila dilirik dari sejarah seni dan budaya melayu di Pekanbaru , bermula pada saat Kesultanan Siak memindahkan pusat pemerintahan sekaligus ibukota Sejarah Tenun Songket Siak Melayu Riau. Serentak Menyusun Jemari. Salah dan khilaf maaf diberi. Kain Songket Melayu Berseri. Tenunan Asli Karya Anak Negri. Assalammualaikum awal bermula salam. Shalawat dan salam kepada junjungan kita Article: Sejarah Batik Riau · Article: Sejarah Kerajinan Tenun Songket Siak myhandicraftshop.com/sejarah-batik-riau - Tembolok - Mirip # Jambi akan mengadakan
1
pameran batik & songket. Untuk meningkatkan kualitas batik dan kain songket khas Pencarian Berita Tenunan-songket-adalah-asli-seni-budaya-melayu 20 Jan 2010 Pengaruh seni Batik Mega Mendung Cirebon Terhadap seni Mode Di Jakarta Wacana Nusantara Kain songket sejarah Dan Arti Yang Terkandung . Tips+Memilih+Kain+Tenun+Songket++Kumpulan+Artikel++Tips - Tembolok # Budaya Lover Seni Tenun Songket Melayu Pekanbaru Riau | PromoLaris attayaya belajar: Tenunan Songket Adalah Asli Seni Budaya Melayu Indonesia | Sejarah Melayu - bertravel Article: Sejarah Tenun Songket Siak Sejarah Kerajinan Tenun Songket. Untuk Tenun Siak, orang pertama yang memperkenalkan Tenun ini adalah seorang pengrajin yang didatangkan dari Kerajaan myhandicraftshop.com/sejarah-tenun-siak Article: Sejarah Tenun Songket Siak You are here: Home Article: Sejarah Kerajinan Tenun Songket Siak dan terampil dalam bertenun dan beliau mengajarkan bagaimana bertenun kain songket. myhandicraftshop.com/sejarah-tenun-siak Songket, Warisan Asli Melayu - Riau - Pekanbaru Riau Songket Riau Tenunan yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang Ada satu lagu mengenai Kain Songket dendangan Saloma. Antara liriknya: www.pekanbaruriau.com/. UNTUK menambah khasanah kekayaan produk kerajinan daerahnya, DEKRANASDA Provinsi Riau melaksanakan pembinaan kerajinan yang berpotensi, antara lain : Batik Tabir dan Tenun Songket Melayu. Pengembangan tenun songket ini telah menghasilkan Tenun Siak, Tenun Bukit Batu dan Tenun Indragiri. Sejarah Kerajinan sebagai suatu perwujudan perpaduan ketrampilan untuk menciptakan suatu karya dan nilai keindahan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kebudayaan . Melayu Indonesia lebih tua daripada melayu malaysia. Jika ingin menyebutkan asal muasal Melayu, menurut sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura; di Kepulauan Riau telah berdiri sebuah Tenunan Songket Adalah Asli Seni Budaya Melayu Indonesia | Sejarah Melayu Judul ini menggubah sedikit dari judul aslinya “Songket adalah Seni Warisan Asli Melayu” yang merupakan Sekapur Sirih Budayawan Melayu Riau – Tenas Effendy. Melayu Indonesia lebih tua daripada melayu malaysia. Jika ingin menyebutkan asal muasal Melayu, menurut sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura; di Kepulauan Riau telah berdiri sebuah
Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia? Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau,
secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi
ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi
aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat
kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.
Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan
emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan
sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk
yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk
dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975)
yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan
kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam
dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.
Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke
buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT
misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi
buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan
merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah
antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional
Kebudayaa Melayu itu berlangsung.
Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini
pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang
budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada
kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan
suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada
dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar
tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua
kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang
secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di
semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik
adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah
makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.
Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk
penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan
waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun
sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan.
Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan
Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu
Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau
dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-
1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau.
Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah.
Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika
orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang
justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi
politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor
dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura
dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.
Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat
Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan
terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-
raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada
tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk
menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut
yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham
perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut
tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut.
Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.
Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak
kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah
dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu
kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang
unggul itu.
Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas
perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim
yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu,
adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan
dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau
itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan
dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian
tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.
Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang
terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di
Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di
Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja
Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan
di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu
ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun,
namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam
upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh
kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat
kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru
yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).
Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau
(dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang
berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan
penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu
kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh
karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan
tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-
1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945.
Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan
bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.
Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu,
adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan
Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan
Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722
saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan
bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan
daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang
Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi
gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta
Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.
Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat,
sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab,
dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat
itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang
VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan
pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya
sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian
kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi
peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap
menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan
negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri.
Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman
Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.
Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau
yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan
tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528
sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-
1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda
di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi
teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma
diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari
di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai
habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784
yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC
“Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing,
seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.
Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau
sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan
terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan
pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak
dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan
tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti
Bugis”.
Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa
dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol.
Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan
orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat
sebelah.
Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan
sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali
Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris”
pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu,
serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi
bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau
dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada
beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar
SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber
pembentukan bahasa Melayu tinggi itu
ISTANA SIAK SRI INDRAPURA TEMPAT RAJA MELAYU BERSEMAYAM
26 Oktober 2009 — syafyess
Kabupaten Siak, memiliki beberapa bangunan megah dan bersejarah yang sekarang difungsikan sebagai perkantoran, rumah tinggal, penginapan dan toko oleh penduduk Siak. Salah satunya adalah peninggalan yang termasyur dengan bagunan bercirikan arsitektur gabungan antara Melayu, Arab, dan Eropa, yaitu Istana Siak Sri Indrapura.
Sepanjang perkembangan sejarah bangsa Indonesia, telah banyak meninggalkan sisa-sisa kehidupan yang memberi corak khas pada kebudayaan bangsa di Siak, salah satunya adalah Istana Siak Sri Indrapura yang menjadi salah obyek wisata Riau.
Untuk dapat melihat Bangunan bangunan Melayu zaman/tempo dulu yang dijuluki juga sebagai ‘Istana Matahari Timur’, jarak yang ditempuh dari sebelah timur Pekanbaru mencapai empat jam perjalanan melalui sungai hingga menuju Kabupaten Siak Sri Indrapura.
Istana Siak yang juga bernama Asserayah Hasyimiah ini dibangun oleh Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 oleh arsitek berkebangsaan Jerman. Arsitektur bangunan merupakan gabungan antara arsitektur Melayu, Arab dan Eropa. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dibagi menjadi enam ruangan sidang: Ruang tunggu para tamu, ruang tamu kehormatan, ruang tamu laki-laki, ruang tamu untuk perempuan, dan satu ruangan disamping kanan adalah ruang sidang kerajaan yang juga digunakan untuk ruang pesta. Lantai atas terbagi menjadi sembilan ruangan yang berfungsi untuk istirahat Sultan dan para tamu kerajaan.
Banguna bersejarah ini selesai pada tahun 1893. Pada dinding istana dihiasi dengan keramik yang khusus didatangkan dari Prancis. Beberapa koleksi benda antik Istana, kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta, dan di Istananya sendiri menyimpan duplikat dari koleksi tersebut.
Diantara koleksi benda antik itu adalah: Keramik dari Cina, Eropa, Kursi-kursi kristal yang dibuat tahun 1896, Patung perunggu Ratu Wihemina yang merupakan hadiah dari Kerajaan Belanda dan patung pualam Sultan Syarim Hasim I bermata berlian yang dibuat pada tahun 1889, perkakas seperti sendok, piring, gelas dan cangkir berlambangkan Kerajaan Siak masih terdapat dalam Istana.
Dipuncak bangunan terdapat enam patung burung elang yang dijadikan sebagai lambang keberanian Istana. Di sekitar istana masih dapat dilihat delapan meriam menyebar di ke berbagai sisi-sisi halaman istana dan disebelah kiri belakang Istana terdapat bangunan kecil sebagai penjara sementara.
Beberapa bangunan sejarah lainnya yang tak hanya Istana Siak dapat juga dilihat di sekitar bangunan:
JEMBATAN ISTANA
Jembatan Istana Siak berada sekitar 100 meter disebelah Tenggara kompleks Istana Siak Sri Indrapura. Jembatan tersebut berangka tahun 1899. Dibawah jembatan istana terdapat sungai (parit) yang diduga dulu sekaligus sebagai parit pertahanan kompleks istana.
BALAI KERAPATAN TINGGI SIAK
Balai Kerapatan Tinggi Siak pada masa pemerintahan Sultan Assyaidisyarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889. Bangunan ini menghadap kearah sungai (selatan). Tangga masuk bangunan terbuat dari beton. Balai Kerapatan tinggi Siak dahulu berfungsi sebagai tempat pertemuan (sidang) Sultan dengan Panglima-panglimanya.
Bangunan ini bertingkat 2, denah persegi 4, berukuran 30, 8 X 30, 2 m dengan tiang utama berupa pilar berbentuk silinder. Lantai bawah bangunan terdiri dari 7 ruang dan lantai atas 3 ruang.
Masjid SyahabuddinMasjid ini merupakan masjid Kerajaan Siak yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Kasim I. Masjid berdenah 21, 6 X 18, 5 m. Bangunan masjid telah berkali-kali mengalami perbaikan tetapi masih mempertahankan bentuk aslinya.
Makam Sultan Kasim IIMakam ini berada dibelakang masjid Syahabuddin tokoh utama yang dimakamkan yang disebut sebagai Sultan Kasim II (Sultan terakhir mangkat pada 23 April 1968. Jirat makam sultan berbentuk 4 undak dari tegel dan marmer berukuran panjang 305 cm. Lebar 153 cm. Dan tinggi 110 m. Nisannya dari kayu berukir motif suluran –suluran. Bentuknya bulat silinder bersudut 8 dengan diameter 26 cm dan kelopak bunga teratai.