Post on 04-Oct-2021
1
Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran
Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S.1) dalam (Ilmu Al-Quran dan Tafsir)
Fakultas Ushuluddin
Oleh
MELA ANGGRAINI
NIM: UT160088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020/2021
2
3
4
iii
MOTTO
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”
iv
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,
yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan, kesempatan dan
kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memperoleh gelar strata satu (S1). Shalawat beriringan salam tak lupa pula
kukirimkan kepada baginda Rasulullah Saw.
karya ini ku persembahkan kepada orang-orang terkasih dan tersayang yang
telah banyak membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi kepada saya
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dan juga merupakan rasa ucapan
terimakasih saya pada mereka. Mereka adalah:
Ayahku tercinta Siamad,
Ibundaku termulia Salama,
Suamiku tercinta Edo Laksamana
Kakandaku tersayang:
Eli,
Herawati S.Pd
Rita Astuti,
Hairul maknun,
Dan Riki Juanda.
Dosen Pembimbingku terhormat
Dr. H. Abd.Ghaffar, M.Ag
Dr. Masiyan, M.Ag
Dan semua Dosen fakultas Ushuluddin serta teman-teman dan rekan-rekan
seperjuangan.
v
ABSTRAK
Penelitian ini menyatakan ayat yang memerintahkan hendaklah perempuan
tetap tinggal di rumah mereka, bukan berarti mereka harus tinggal dan menetap
selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang dimaksud adalah
isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama bagi kehidupan
mereka, Islam tidak melarang secara mutlak untuk perempuan keluar rumah. Akan
tetapi, saat perempuan keluar rumah harus memperhatikan beberapa syarat yang telah
ditetapkan oleh ajaran Islam, yaitu : 1) menutup aurat, 2) tidak bertabarruj, 3)
meminta isin suami (bagi yang sudah bersuami), 4) menundukkan pandangan, 5)
menghiasi diri dengan rasa malu. Selain itu, adanya peran perempuan di luar rumah,
seperti bekerja atau berkarir tidak boleh membuatnya mengabaikan rumah tangganya.
Penulis ingin menelisik lebih jauh mengenai penafsiran Sayyid Quthb dan M.
Quraish Shihab terhadap konsep wanita keluar rumah yang terkandung dalam surah
al-Ahzab ayat 33. keduanya memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, berasal
dari negara yang berbeda, dan terdapat jarak yang cukup jauh antara masa hidup
keduanya. Maka penulis mengajukan penelitian secara mendalam dalam bentuk
skripsi yang berjudul “Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)”.
Pendekatan Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research) dengan pendekatan fenomenologis, metode penelitian ini yaitu
metode muqarran, di mana penulis berupaya memaparkan data-data yang berkaitan
dengan biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish serta menganalisis penafsiran
keduanya secara objektif.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,
yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan, kesempatan dan
kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul,
“Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir fi Zhilalil
Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)”.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw, seluruh keluarga beserta para sahabat beliau, yang senantiasa
istiqomah dalam memperjuangkan agama Islamn, semoga kita menjadi hamba-hamba
pilihan seperti mereka Amiin ya Rabbal ‘aalamin.
Selanjutnya penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis
telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang telah membantu penulisan
skripsi ini sampai selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga yang telah menjaga, mendidik,
menyayangi dan senantiasa mengsupport serta mendoakan penulis sehingga karya ini
dapat disesaikan.
Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besar kepada:
1. Bapak Dr. H. Abd.Ghaffar, M.Ag selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi ini.
2. Bapak Dr. Masiyan, M.Ag selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
saran dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi ini.
3. Bapak Bambang Husni Nugroho, S.Th.I.,M.H.I selaku ketua jurusan Ilmu Al-
Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
vii
4. Bapak Dr. Pirhat Abbas M,Ag selaku pembimbing akademik yang senantiasa
selalu memberi saran, semangat dan waktunya demi terselesaikannya Skripsi ini.
5. Bapak Dr. Halim, S.Ag.,M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil dekan bidang Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
7. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M. Fil.I. selaku Wakil dekan bidang Administrasi Umum
Perencanaan dan Keuangan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS
Jambi.
8. Bapak Dr. M.Led Al-Munir, M.Ag selaku Wakil dekan bidang Kemahasiswaan
dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS
Jambi.
9. Prof. Dr. H. Suaidi Asy’ary, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan
Thaha Saifuddin Jambi.
10. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.M.EI, Bapak Dr. As’ad Isma, M.Pd, Bapak Bahrul
Ulum, S.Ag.,MA, selaku Wakil Rektor I, II, dan III Universitas Islam Negeri
Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
11. Para Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN
STS Jambi.
12. Bapak Ibuk Karyawan dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN
STS Jambi.
13. Ayah, Ibu, Suami, Kakak, Keluarga Besar, Sahabat-sahabat seperjuangan dan
teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang senantiasa
memberikan dukungan dan semangat demi kelancaran penulisan Skripsi ini.
14. Kepada Sahabat KHAFS Muhammad, Lili Maria Asmi, Mesi Auliani, Zhuraida,
yang selalu menyelipkan doa-doa terbaik kalian untukku.
15. Sahabat Pleiades, Kurniasih Mufidayati, Lili, Ahfaz, Andria Bakti Mahendra dan
Zainal Abidin, Kalian luar biasa. Terimakasih untuk motivasi dan canda tawa yang
selalu menghiasi hari-hari perkuliahan.
viii
16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis demi kelancaran penulisan
Skripsi ini.
Semoga Allah SWT., membalas segala kebaikan dan bantuannya kepada penulis
selama ini. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna untuk
itu penulis mengharapkan masukan serta saran dari pembaca. Semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pada umumnya kepada seluruh pembaca.
Jambi, 15 September 2020
Penulis
Mela Anggraini
UT.160088
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
NOTA DINAS ..................................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................... ii
MOTTO ............................................................................................................ iii
PERSEMBAHAN ............................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Permasalahan .....................................................................................5
C. Batasan Masalah ................................................................................5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................6
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................6
F. Metodologi Penelitian .........................................................................8
G. Sistematika Penulisan ........................................................................10
BAB II PERAN PEREMPUAN MENURUT ISLAM
A.Peran Perempuan Di Dalam Rumah.................................................. 12
B.Peran Perempuan Diluar Rumah .......................................................21
BAB III PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DAN M. QURAISH SHIHAB
TERHADAP SURAH Al-AHZAB: 33
A.Biografi Sayyid Quthb ...................................................................... 26
1.Riwayat hidup ............................................................................ 26
2.Karya-karya Sayyid Quthb .......................................................... 29
3.Metode, Pendekatan, dan Corak Penafsiran ................................ 31
x
B. Biografi M.Quraish Shihab .............................................................. 32
1.Riwayat hidup M.Quraish Shihab ............................................... 32
2.Karya-karya M.Quraish Shihab................................................... 33
3.Metode dan Corak Penafsiran .................................................... 36
C. Penafsiran Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33 ............................... 37
1. Penafsiran Sayyid Qutbh Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33 ... 37
2. Penafsiran M.Quraish Shihab Terhadap Surah Al-Ahzab : 33 .. 46
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTTHB
DAN QURAISH SHIHAB TERHADAP Q.S. AL-AHZAB : 33
A.Perbandingan Penafsiran Sayyid Qutthb dan Quraish Shihab Terhadap
Q.S. Al-Ahzab : 33 ........................................................................... 54
1. Segi Metodologi .......................................................................... 54
2. Segi Substansi Penafsiran terhadap peran perempuan dalam Q.S
Al-Ahzab : 33 ................................................................................... 56
B. Konseptualisasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang
Peran Perempuan Masa Kini ............................................................ 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................65
B. Rekomendasi ....................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 67
CURRICULUM VITAE ................................................................................... 68
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط ’ ا
ẓ ظ B ب
‘ ع T ت
Gh غ Th ث
F ف J ج
Q ق ḥ ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dz ذ
N ن R ر
H ه Z ز
W و S س
’ ء Sh ش
Y ي ṣ ص
xii
ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
ȋ اي Ā آ A ا
Aw ا و ȋ اي I ا
Ai ا ي Ū ا و U ا
C.Syaddah atau Tasydid
Syaddah dilambangkan dengan tanda (-), dalam alih aksara ini dilambangkan
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal itu tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah huruf
syamsiyyah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an membawa revolusi terbesar dalam memberikan martabat paling
terhormat kepada perempuan, karena perempuan di dalam Islam merupakan sosok
terhormat dengan hak-hak yang sangat istimewa. Ketika kitab-kitab suci selain al-
Qur’an tidak memberikan porsi secara benar mengenai hak-hak wanita, al-Qur’an
memberikan ruang yang sedemikian lebar dalam membincangkan hak-hak mereka.
Sebagai kitab suci, al-Qur’an sangat peduli dalam memberikan arahan hidup, baik
kepada kaum pria, maupun kaum wanita.
Al-Qur’an sama sekali tidak menjadikan wanita sebagai makhluk nomor
dua, wanita adalah makhluk yang setara dengan laki-laki. Dalam pandangan al-
Qur’an:
٩٧ ... وة طيبة حي ى وهو مؤمن فلنحيينه من عمل صالحا من ذكر او انث
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun wanita
dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik...”. (QS. Al-Nahl: 97).1
Ini adalah suatu deklarasi kepada dunia bahwa wanita dalam Islam memiliki
kesempatan yang sama pula dalam menggapai kebaikan hidup di dunia melalui
amal saleh, kerja produktif, aksi positif dan gerakan yang dinamis dalam
membangun dunia sebagai khalifah Allah.
Kehadiran Islam telah membalikkan pandangan negatif manusia terhadap
wanita kepada pandangan positif dan dari pandangan pelecehan kepada pandangan
penghormatan. Islam menganggap bahwa pria dan wanita adalah partner/mitra
dalam hidup ini, di mana Allah berfirman:
٧١ ...ء بعض ت بعضهم اوليا والمؤمنون والمؤمن
1Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang:
Karya Toha Putra Semarang, 2002), 378-379.
1
2
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain...”. (QS. Al-Taubah: 71).2
Kendati Islam tidak mendiskriminasi kedudukan antara perempuan dan laki-
laki, namun dalam realitanya, kedudukan keduanya dianggap sebagai dua roda
yang semuanya harus bergerak secara serentak dengan tugas dan posisi mereka
masing-masing. Perhatian Islam yang demikian tinggi pada wanita agar tidak
keluar rumahnya secara bebas terbukti dengan tidak diwajibkannya mereka
melakukan salat Jumat dan shalat berjamaah.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di antara teks-teks al-Qur’an yang
berbicara tentang perempuan sering dipahami orang-orang dengan cara yang
keliru, sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru pula. Di antaranya adalah
tentang peran sosial perempuan dalam aktivitas muamalah dalam masyarakat. Ada
asumsi yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan, menurut agama,
tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial, peran perempuan hanya
sebatas dalam wilayah domestik.3
Sehingga masalah yang timbul saat ini berkaitan dengan keterlibatan wanita
dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya berada pada sektor publik,
sedangkan di sisi lain wanita memiliki peran sebagai ra’iyyah fi bait zaujiha
(penanggung jawab dalam masalah-masalah internal rumah tangga), cukup
menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama-.
Ada yang menyatakan pandangan bahwa wanita harus menetap di dalam rumah,
sementara pandangan lain menyatakan bahwa wanita mempunyai kebebasan untuk
berperan, baik di dalam maupun di luar rumah. Perbedaan pendapat ini terjadi
karena belum dipahaminya teks ayat al-Qur’an yang menurut sebagian orang yang
masih bias gender.
2Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang:
Karya Toha Putra Semarang, 2002), 266. 3Tim Penyusun, Kedudukan dan Peran Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009), 126-127.
3
Adapun di antara ayat yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan bahwa
seorang perempuan, atau lebih khususnya adalah istri, harus tetap tinggal di rumah
adalah surah al-Ahzab ayat 33. Allah berfirman:
ه وة واطعن الل تين الزك وة وا ى واقمن الصل وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الاول
٣٣ راه ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهركم تطهي انما يريد الل ورسوله
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah
salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. Al-Aḥzāb: 33).4
Dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim, Ibnu Katsir berpendapat bahwa
sebagai wanita harus istiqamah berada di rumah kecuali ada hajat syar’i seperti
sholat dan lain-lain yang mana diperbolehkannya wanita keluar rumah dengan
berbagai ketentuan. Ada ketentuan syariat seperti saat shalat yang dibolehkan utuk
keluar bagi para perempuan.
Sayyid Quṭb menyatakan bahwa ayat tersebut bukan larangan atas wanita
untuk meninggalkan rumah, ayat tersebut memberikan isyarat bahwa rumah
tangga adalah tugas pokok para istri, sedangkan tempat selainnya adalah tempat
untuk ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.5
Allah berfirman: tetaplah kamu tinggal di rumah kamu kecuali jika ada
keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh adat atau agama dan berilah
perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu dan janganlah kamu
bertabarruj, yakni berhias, dan bertingkah laku seperti tabarruj jahiliah yang lalu
dan laksanakanlah secara bersinambung serta dengan baik dan benar ibadah shalat,
baik yang wajib maupun yang sunnah, dan tunaikanlah secara sempurna kewajiban
zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya dalam semua perintah dan larangan-Nya.
4Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 597. 5Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 2003) V, 2859.
4
Sesungguhnya Allah dengan tuntunan-tuntunan-Nya ini sama sekali tidak
berkepentingan tetapi tidak lain tujuannya hanya bermaksud hendak
menghilangkan dari kamu dosa dan kekotoran serta kebejatan moral, hai Ahl al-
Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.6
Disisi lain, longgarnya aturan yang membolehkan perempuan untuk keluar
rumah seringkali dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.
Mereka mengabaikan aturan-aturan atau syariat yang telah ditetapkan oleh agama.
Seperti keluar rumah tanpa menutup aurat, atau mereka yang berjilbab namun
tidak sesuai syariat, pergi tanpa disertai mahram, bahkan dengan sengaja pergi
dengan lawan jenis yang bukan mahram. Oleh karena itu penting sekali bagi
perempuan untuk mengetahui hal-hal yang terkait tentang bagaimana seharusnya
adab perempuan keluar rumah.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menelisik lebih jauh mengenai
penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab terhadap peran perempuan yang
terkandung dalam surah al-Ahzab ayat 33, yang mana dewasa ini adanya
keterlibatan perempuan dalam aktivitas muamalah dalam masyarakat. Salah satu
diantaranya yaitu terlibatnya perempuan dalam dunia profesi. Sedangkan dalam
Al-Qur’an surah Al-Ahzab yang penulis teliti ini terdapat teks yang
memerintahkan perempuan untuk tetap tinggal dirumahnya. Berdasarkan hal
tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, ada yang
menyatakan pandangan bahwa perempuan harus menetap dan berdiam diri di
rumah, sementara pandangan lain menyatakan bahwa perempuan memiliki
kebebasan untuk berperan di luar rumah. Adapun alasan penulis mengambil
penafsiraan Sayyid Quthb dan Quraish Shihab karena keduanya menafsirkan Al-
Qur’an dengan corak Adabi Ijtima;i, dimana corak ini adalah corak yang lahir
sebagai akibat dari perkembangan dan fenomena yang muncul pada zaman
modern. Salah satunya adalah menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
6 M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Pt.Lantera Hati,2016) 446
5
realitas sosial untuk memecahkan berbagai problematika yang dihadapi oleh umat
Islam, yang dalam hal ini maraknya yang terjadi pada perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat, dimana perempuan terlibat dalam dunia profesi atau yang biasa
disebut dengan wanita karir. Adapun kedua mufassir ini memiliki latar belakang
keilmuan yang berbeda, berasal dari negara yang berbeda, dan terdapat jarak yang
cukup jauh antara masa hidup keduanya sehingga penulis tertarik untuk
membandingkan pendapat diantara keduany.. Maka penulis mengajukan penelitian
secara mendalam dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peran Perempuan Dalam
Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-
Mishbah)”.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang penulis angkat dari latar belakang di atas adalah:
“Bagaimana penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab terhadap peran
perempuan dalam surah al-Ahzab ayat 33?”. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana peran perempuan menurut Islam ?
2. Bagaimana penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab dalam menafsirkan
Q.S Al-Ahzab : 33 ?
3. Bagaimanan analisis perbandingan terhadap Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir
Al-Mishbah mengenai peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33 ?
C. Batasan Masalah
Penulis merasa perlu untuk membatasi masalah dalam penelitian ini guna
menghindari melebarnya fokus penelitian yang akan penulis bahas. Karenanya
dalam penelitian ini, penulis hanya akan membahas peran perempuan dari ayat 33
surah al-Ahzab.
6
D. Tujuan & Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin penulis capai dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui peran perempuan menurut Islam.
b. Untuk mengetahui penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab dalam
menafsirkan Q.S Al-Ahzab : 33.
c. Untuk mengetahui perbandingan Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-
Mishbah mengenai peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang penulis harapkan dari penelitian ini di antaranya
adalah:
a. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap khazanah keilmuan,
khususnya yang berkaitan dengan kajian ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
b. Memberikan pemahaman tentang bagaimana Islam dan para mufasir
memandang konsep keluar rumah bagi perempuan.
c. Sebagai pelengkap persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S.I) pada jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis telah menelusuri beberapa karya ilmiah yang sekiranya berkaitan
dengan konsep keluar rumah bagi perempuan yang terdapat pada surah al-Ahzab
ayat 33, di antaranya adalah:
1. Skripsi berjudul Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat
33 (Studi Istinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i) yang ditulis oleh
Nur Hanafi pada tahun 2010. Skripsi ini berusaha menguraikan metodologi
istinbath hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i tentang hak keluar rumah
bagi wanita dalam sruah al-Ahzab ayat 33 serta hasil istinbath keduanya.
7
Sedangkan penelitian yang saya buat hanya membandingkan penafsiran antara
dua mufassir tanpa melakukan istinbath hukum.7
2. Skripsi berjudul Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbāh karya Evi Lathifatun Nisa’ yang ditulis pada tahun 2017. Skripsi ini
berusaha mengetahui cakupan pemaknaan terhadap term wanita karier apabila
di tarik ke dalam konteks masyarakat Indonesia melalui pandangan M. Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.8 Skripsi ini tidak membatasi ayat yang hendak
dibahasnya terkhusus pada surah al-Ahzab ayat 33, melainkan hanya pada ayat-
ayat yang memiliki term wanita karier. Adapun pada penelitian saya membatasi
ayat yang akan dibahas, yaitu hanya surah Al-Ahzab : 33, sedangkan
pandangan mufassir yang akan dibahas yaitu Sayyid Quthb dan Quraish Shihab.
3. Jurnal karya Naili Fauziah Luthfiani berjudul Hak-hak Perempuan dalam Surat
Al-Ahzab Ayat 33: Sebuah Pendekatan Hermeneutik, jurnal ini membahas
tentang hak kiprah sosial perempuan di luar urusan domestik rumah tangga
dengan metodologi hermeneutika.9 Penelitian ini membahas tentang hak-hak
diluar kewajibannya terhadap rumah tangga. Sedangkan penelitian yang akan
saya tulis layaknya memberi tambahan tentang bagaimana baiknya konsep
perempuan dalam berkegiatan di luar rumah.
Berdasarkan tiga penelitian yang telah dilakukan di atas, penelitian yang
hendak penulis lakukan berbeda daripada ketiganya. Penelitian yang hendak
penulis lakukan adalah menelisik lebih dalam penafsiran Sayyid Quthb dan M.
Quraish Shihab, tanpa membahas istinbath hukum, serta tidak menggunakan
metode tematik ataupun metodologi hermeneutika. Selain itu, penulis hanya
7 Nur Hanafi, “Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat 33 (Studi
Instinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i)”, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2010), ii. 8 Elvi Lathifatun Nisa’, “Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbāh”, Skripsi (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2017), xiii. 9 Naili Fauziah Lutfiani, “Hak-hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33: Sebuah
Pendekatan Hermeneutik”, Jurnal eL-Tarbawi, X, No.2 (2017), 64.
8
menekankan pada konsep keluar rumah bagi perempuan dalam surah al-Ahzab
ayat 33.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Adapun
metode penelitian ini yaitu metode muqarran, di mana penulis berupaya
memaparkan data-data yang berkaitan dengan biografi Sayyid Quthb dan M.
Quraish serta menganalisis penafsiran keduanya secara objektif.
Adapun metode muqarran dilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa terdapat
tiga aspek yang dikaji, yaitu :
a. Perbandingan ayat dengan ayat.
b. Perbandingan ayat dengan hadits.
c. Perbandingan pendapat para mufassir.
Dalam penelitian ini, penulis berupaya memaparkan pendapat Sayyid Quthb
dan Quraish Shihab dalam menafsirkan Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 33. Artinya,
aspek yang penulis gunakan adalah aspek perbandingan pendapat para mufassir.
Adapun langkah-langkah dalam pembahasan perbandingan penafsiran para
mufassir ini adalah :
a. Menghimpun atau menentukan ayat yang hendak dijadikan objek studi.
b. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut.
c. Membandingkan pendapat-pendapat para mufassir untuk mendapatkan
informasi berkenaan dengan identitas dan pola berfikir dari masing-masing
mufassir serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka
anut.
9
2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data-data berupa berbagai sumber
tertulis seperti buku, kitab, jurnal dan sebagainya. Data-data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
a. Data primernya adalah kitab Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb dan
Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
b. Data sekunder adalah sumber data yang merupakan referensi penunjang
maupun pelengkap terhadap data primer. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data pendukung antara lain, seperti internet, jurnal, artikel dan buku-
buku yang berkaitan dengan penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
teknik dokumen, yang dilakukan dengan:
a. Menghimpun data-data yang berkaitan dengan pokok persoalan penelitian.
b. Menelaah data-data yang terkumpul secara literal.
c. Memilah dan mengklasifikasikan data-data yang telah ditelaah sesuai dengan
sub bahasan masing-masing.
4. Metode Analisis Data
Data-data dokumen yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis
dengan dua metode analisis, yaitu:
a. Analisis historis, untuk mengungkap biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish
Shihab serta latar belakang keilmuan dan sosial keduanya.
b. Analisis isi, untuk menganalisis penafsiran Sayyid Quthb dalam kitab tafsir
keduanya.
10
G. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini tersusun secara sistematis, peneliti merumuskan
sistematika penulisan kedalam beberapa bab, antara lain sebagai berikut:
Bab satu membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian serta sistematika penulisan.
Bab dua berisi tentang Peran Perempuan Menurut syari’at Islam. Dimana
pada bab ini akan menguraikan bagaimana peran perempuan di dalam dan di luar
rumah.
Bab tiga membahas tentang biografi Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab,
yang meliputi latar belakang, karya-karyanya, metode dan corak penafsiran. Serta
membahas tentang penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab terhadap Q.S Al-
Ahzab : 33.
Bab empat berisi tentang analisis penulis terhadap perbandingan penafsiran
Sayyid Quthb dan Quraish Shihab mengenai Q.S. Al-Ahzab : 33, serta membahas
tentang konseptualiasasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang
Peran Perempuan Masa Kini
Bab lima berisi penutup penelitian yang terdiri dari dua sub-bab yaitu
kesimpulan dan rekomedasi penelitian.
11
BAB II
PERAN PEREMPUAN MENURUT ISLAM
Sehubungan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan yang memilki
perbedaan kodrati dan nonkodrati, maka perempuan mempunyai beberapa peran
dalam hidupnya, terutama dalam lingkungan keluarga (peran domestik). Yaitu
perempuan sebagai istri (pendamping suami), penggelola rumah tangga, sebagai ibu
(penerus keturunan dan pendidikan anak), pencari nafkah tambahan, dan sebagai
warga masyarakat.10
Pada umumnya budaya di Indonesia, perempuan mempunyai peran ganda.
Beberapa peran dalam keluarga yang sifatnya nonkodrati, hampir seluruhnya
dibebankan kepada perempuan. Berbeda dengan laki-laki, dibalik kodrat yang
diembannya, perempuan tetap tidak dapat meninggalkan peran domestiknya.
Sehingga kuatnya peran perempuan dengan tugas utama dan pertama disektor
domestik, membuat orang percaya sepenuhnya bahwa semua peran domestik itu
memang garis takdir perempuan atau kodrat yang telah diciptakan dan ditentukan
Tuhan.11
hubungan suami dan istri adalah hubungan yang berdasarkan cinta dan kasih
sayang, bukan hubungan menindas, tidak ada yang mendominasi dan didominasi
yang dapat menciptakan kesenjangan diantara keduanya. Lebih ditekankan pada
kebersamaan antar anggota-anggotanya, hierarki dan kewenangan yang jelas antar
anggota-anggota, hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan norma-norma
10 Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer,
Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat
Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan
Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir), (Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2018), 61. 11 Mariatul Qibtiyah Harun, “Rethinking Peran Perempuan, Feminisme Dalam Kajian
Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam
Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi
Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir), (Tesis
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), 4.
11
12
agama dan kepatutan budaya. Istri juga memiliki hak bermasyarakat dan melakukan
aktifitas lain di luar kehidupan rumah tangganya. Hak untuk bermasyarakat dan
beraktifitas di ruang publik ini tidak serta merta istri lalai terhadap kebutuhan
keluarganya. Oleh karenanya perempuan haruslah mengetahui secara betul peran-
perannnya baik peran yang di dalam rumah terhadap tugas rumah tangganya, maupun
peran di luar rumah terhadap tugas dalam berkarir maupun bermasyarakat. Sehingga
adanya keseimbangan terhadap kodrat perempuan dan tidak mengabaikan tugas yang
utama dimana rumah tangga adalah kewajiban utama bagi perempuan.
A. Peran Perempuan Di Dalam Rumah
Islam sebagai sebuah ajaran memposisikan perempuan pada tempat yang
mulia. Tidak ada dikotomi dan diskriminasi. Namun adanya kesetaraan gender saat
ini, bukan semerta-merta untuk mendukung perempuan untuk fokus pada tugas di
luar rumah dan mengabaikan perannya dalam rumah tangga. Peran dan tugas
perempuan dalam keluarga secara garis besar dapat dibagi menjadi peran
perempuan sebagai istri, sebagai ibu, sebagai anak (jika belum menikah), dan
anggota masyarakat.12 Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan baik,
maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan dari peran itu dan harus
menguasai cara atau teknik memainkan perannya.
Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai
perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak. Islam menghapus tradisi
Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan, dalam Islam laki-laki dan
perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas bertasarruf,
bahkan satu sama lain saling melengkapi dan membutuhkan. Beberapa ayat Al-
Qur’an menjelaskan bagaimana kedekatan hubungan laki-laki dan perempuan
12 Sofia Retnowati Noor, Tinjauan Psikologis Peran Perempuan dalam Keluarga Islami,
dalam Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial Dan Peran Rumah
Tangga), (Jurnal Al-Maiyyah, Volume 8 No. 2, 2015), 189.
13
(atau perempuan dengan laki-laki), misalnya dalam ikatan perkawinan.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Rum : 21.
[D]an di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.
ayat di atas, menginformasikan betapa dekatnya hubungan antara laki-laki
dan perempuan berdasarkan asal kejadian, bahwa perempuan dan laki-laki berasal
dari asal yang sama, bahkan diri yang sama. Karena itu adanya rasa saling
membutuhkan antara laki-laki dan perempuan dan adanya kecenderungan untuk
hidup bersama, hal ini merupakan fitrah yang telah ada sejak awal penciptaan
manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan kesetaraan dalam hak mendapatkan kasih
sayang dan kedamaian dengan jalan saling menerima. Tuhan tidak menciptakan
yang satu untuk mengeksploitasi yang lain, dan kebahagiaan yang satu di atas
penderitaan yang lain, tetapi justeru dengan saling mengasihi dan menyayangi,
mereka akan mendapatkan kedamaian.13
Sedangkan pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan dalam rumah tangga
atau keluarga begitu banyak ragamnya, mulai mengatur keuangan, memasak,
kepiawaian belanja yang kadang-kadang harus menyiapkan beberapa menu sesuai
dengan masing-masing selera jumlah anggota keluarga, merawat dan menjaga
kebersihan dan keasrihan lingkungan rumah, merawat, menjaga dan merawat serta
mendidik anak, serta memenuhi keperluan keluarga yang lain.14
Sebagai seorang istri, perempuan hendaknya menaati dan berbakti kepada
suami, berusaha untuk mencari keridhaan serta memberikan kebahagiaan pada
suami meskipun berada dalam kemiskinan maupun kesulitan. Istri sebagai teman
hidup artinya adanya kedudukan yang sama. Istri dapat menjadi teman yang dapat
13 Agustin Hanapi, Peran Perempuan Dalam Islam, (Gender Equality: Internasional Journal
of Child and Gender Studies Vol. 1, No. 1, 2015), 17. 14 Ibid.
14
diajak berdiskusi tentang masalah yang dihadapi suami. Sehingga apabila suami
mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu
sumbangan pemecahannya maka beban yang dirasakan suami berkurang. sebagai
teman mengandung pengertian jadi pendengar yang baik. dalam lingkungan
keluarga, beberapa ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa perempuan mempunyai
peran penting dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah, baik
peran sebagai isteri maupun sebagai ibu bagi anak-anaknya.
Dalam pandangan Islam perempuan adalah partner atau mitra bagi laki-laki
dalam membangun dan mendayung bahtera kehidupan, sebagaimana firman Allah
swt dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 187; “…perempuan adalah pakaian bagimu dan
kamu adalah pakaian bagi mereka...”. Pada ayat tersebut tergambar dengan jelas
bahwa perempuan berperan sebagai istri pendamping suami bukan pembantu
rumah tangga. Kedudukan perempuan pada ayat tersebut sejajar dengan kaum
laki-laki.
Menurut pandangan Islam laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
kedudukan yang sama, kecuali beberapa hal yang khas bagi perempuan atau laki-
laki karena adanya dalil syar’i dan untuk kepentingan mereka semua. Antara laki-
laki dan perempuan keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan. Laki-laki
bertugas untuk mencari nafkah, memelihara istri dan anak-anaknya serta
menyediakan kebutuhan hidupnya, sedangkan perempuan bertugas untuk
memelihara rumah tangga, hamil, melahirkan, mendidik anak dan menjadi tempat
berteduhnya suami guna mendapatkan sakinah dan ketenangan. Ketika suami
datang dari kerja dan kelelahan setelah bersusah-payah mencari nafkah, disambut
oleh sang istri dengan senyuman dan kasih-sayang yang menghapus kepenatan
kerjanya, masing-masing mendapatkan apa yang dibutuhkannya.15
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, bahwa suami isteri merupakan
pasangan yang saling melengkapi antara satu sama lain. Secara naluri
15 Retoliah, Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah, MUSAWA, Vol. 7 No.1,
2015, 7.
15
kemanusiaan keduanya saling membutuhkan terutama dalam melakukan aktivitas
reproduksi (pasangan secara biologis) demikian pula dalam hal-hal yang bersifat
psikologis (pasangan secara psikologis).16
1. Menjadi pasangan suaminya secara biologis. Tidak dapat diingkari bahwa salah
satu kebutuhan biologis manusia adalah melakukan aktivitas reproduksi. Pada
aktivitas ini Allah swt meletakkan kenikmatan agar manusia senang
melakukannya. Dengan begitu generasi manusia tidak punah dan tetap
berkelanjutan dalam rangka memakmurkan bumi. Istri harus menerima peran
ini dan menjadi wadah dalam rangka melanjutkan dan memelihara keturunan
2. Menjadi pasangan suaminya secara psikologis. Peran lain perempuan sebagai
istri adalah menjadi pasangan suaminya dalam hal-hal yang bersifat psikologis.
Istri yang baik (shalihah) adalah istri yang mampu mengaktualisasikan dirinya
dengan baik, sehingga suaminya senantiasa memperoleh kesenangan secara
psikologis. Istri yang menjalankan perannya dengan baik sehingga menjadi istri
shalehah bagi suaminya diumpamakan seperti mahkota emas di atas kepala raja,
sementara istri yang tidak menjalankan perannya laksana beban berat di atas
punggung kakek tua.
Dengan demikian peran perempuan sebagai istri harus mampu
memposisikan diri sebagai isteri yang dapat menjadi pasangan secara biologis
maupun psikologis bagi suaminya, dapat bertindak sebagai teman yang dapat
diajak berdiskusi tentang masalah yang dihadapi, menjadi pendengar yang baik,
mengingatkan suami jika melakukan kekhilafan, memberikan motivasi dalam
berbagai situasi. Yang paling utama adalah menjadi istri yang shalehah yang
senantiasa memelihara dirinya, mentaati dan menghormati suaminya, mampu
bersikap, bertutur kata dan bertindak sesuai dengan syariat Islam.17
Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang paling besar perannya bagi
kesejahteraan sosial dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya.
16 Ibid., 8. 17 Ibid., 10.
16
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan
pembentukan pribadi anak dan merupakan wadah tempat bimbingan dan latihan
anak sejak kehidupan mereka yang sangat muda sehingga dapat menempuh
kehidupannya dengan baik kelak.18
Tugas perempuan sebagai ibu bukanlah hal yang gampang, sebab ada sederet
peran yang harus dimainkan oleh seorang ibu dalam rumah tangga. Dalam sebuah
artikel dijelaskan bahwa terdapat tujuh peran penting ibu dalam keluarga, yakni :
sebagai manajer, sebagai teacher, sebagai chef/coock, sebagai nurse, sebagai
accountant, sebagai design interior, sebagai dokter.19
1. Peran ibu sebagai manajer, dalam hal ini ibu disibukkan dengan urusan
memanej keluarga mulai dari menyusun perencanaan tentang berbagai hal,
antara lain; penggunaan anggaran rumah tangga, pendidikan, membagi-bagi
tugas, mengkordinir, mengawasi, mengevaluasi
2. Peran ibu sebagai teacher : ibu bertanggung jawab mendidik, membimbing,
melatih putra putrinya agar menjadi manusia berbudi pekerti memiliki akhlaqul
karimah.
3. Peran ibu sebagai chef : ibu sebagai chef/cook menuntut seorang ibu memiliki
keterampilan dalam mengolah makanan dengan menu yang bervariasi sesuai
dengan selera masing-masing anggota keluarga dengan mempertimbangkan
ketersediaan fasilitas (alat-alat masak) serta ketersediaan bahan-bahan baku
yang akan diolah.
4. Peran ibu sebagai accountant : ibu harus memiliki kemampuan dalam
mengelola anggaran pendapat dan belanja keluarga dengan sebaik-baiknya.
Merencanakan dengan matang penggunaan anggaran pendapatan keluarga
seefisien mungkin, sehingga semuanya dapat terpenuhi kebutuhan selama satu
bulan dari mulai belanja rutin, kebutuhan pokok, biaya listrik, PDAM, telephon,
18 Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial Dan Peran
Rumah Tangga), (Jurnal Al-Maiyyah, Volume 8 No. 2, 2015, 190. 19 Retoliah, Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah…, 11.
17
biaya pendidikan, biaya tak terduga. Biaya-biaya tersebut harus dipisahkan
supaya tidak terjadi overlapping dalam penggunaannya. Dalam penggunaan
anggaran harus sesuai dengan posnya dan diupayakan tetap terkendali melalui
pengawasan yang ketat (pengendalian diri ) sehingga tidak terjadi besar pasak
dari tiang.
5. Peran ibu sebagai nurse : ibu sebagai perawat harus mencurahkan kasih
sayangnya dengan setulus hati dalam merawat buah hatinya, memandikan,
menyuapi makanan, menyiapkan pakaian, menidurkannya, dll.
6. Peran ibu sebagai design interior : seorang ibu harus trampil dalam menata
ruang keluarganya, seindah dan senyaman mungkin sehingga anggota keluarga
betah tinggal dalam rumahnya. Penempatan fasilitas rumah sesuai dengan
fungsinya masing-masing, ibu harus mengupayakan sedemikian rupa agar tidak
terjadi penumpukan barang di satu tempat.
7. Peran ibu sebagai Dokter : ibu sebagai dokter harus berupaya menjaga putra
putrinya memelihara kesehatan, menjaga dari hal-hal yang bisa mengancam
kesehatan misalnya menemani anak bermain, sehingga terkontrol makanan
yang masuk dalam tubuhnya, lingkungannya steril atau tidak.
Berdasarkan hasil pengamatan tentang peran ibu tersebut dapat dipahami
bahwa di antara sekian peran tersebut, yang paling utama adalah peran dan
tanggung jawab mendidik anak-anaknya, sebab pertama kali anak-anak
memperoleh pendidikan adalah dalam lingkungan keluarga. Dengan demikian ibu
dituntut untuk memberikan perhatian sepenuhnya dalam merawat dan mendidik
anaknya, terutama di awal kelahirannya.20 Mendidik anak merupakan tugas yang
mulia yang diamatkan Allah SWT pada orangtua agar anak-anaknya tidak
terjerumus dalam lembah kesesatan, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam
QS At-Tahrim ayat 6:
20 Ibid., 12-13.
18
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (At-Tahrim: 6).
M. Quraisy Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa dakwah dan pendidikan
harus bermula dari rumah. Ayat tersebut walaupun secara redaksional tertuju
kepada kaum pria (ayah), tetapi bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat
ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah), ini berarti bahwa kedua
orang tua bertanggung jawab terhadap anak dan juga pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas perbuatannya.21
Adapun peran seorang anak perempuan terhadap orang tuanya dalam rumah
yaitu berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua, membantu mereka dalam
mengurus rumah seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan
sebagainya. Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada
kedua orangtua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang
ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.22 Sebenarnya berbakti kepada kedua orang
tua tidak hanya saat di rumah, namun juga ketika sedang tidak berada dekat
denganyya. Hal ini karena Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa
dan utama bagi diri seseorang. Allah telah memerintahkan dalam berbagai tempat
di dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya
21 Ibid., 13. 22 'Abdul 'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Birrul Walidain (Berbakti Kepada Kedua Orang
Tua), Islamhouse.com, 3.
19
berbarengan dengan pentauhidan-Nya dan memerintahkan para hamba-Nya untuk
melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian.23
Karena Islam telah memerintahkan supaya manusia senantiasa berbakti dan
berbuat baik kepada kedua orangtua. Hal itu disampaikannya melalui beberapa
nash qath’i baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw. Setiap
perempuan muslim yang membaca dan menelaah nash-nash tersebut tidak dapat
berbuat sesuatu melainkan berkomitmen untuk berpegang teguh pada petunjuknya,
dan segera berbuat baik kepada kedua orangtua, bagaimana pun keadaan dan
hubungan yang terjadi antara dirinya dengan orangtuanya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
[A]pakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para
sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “(Dosa
terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”
Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba-tiba
beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.”
Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai,
seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menempatkan keridhaan orang tua setelah
keridhaan Allah Swt , dan menjadikan berbuat baik kepada keduanya sebagai
keutamaan tertinggi setelah iman kepada Allah:
“sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Dan, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”(An-
Nisa’:36)
Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan
perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau
dengan ucapan 'ah'. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat
mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak
mendurhakai Allah.
23 Ibid., 7.
20
mantan presiden Islamic Society of North America, Muzammil H. Siddiqi
dilansir dari About Islam, beliau mengatakan, Islam tidak pernah menghentikan
hubungan orang tua dan anak meskipun berbeda agama. Islam sangat
menganjurkan anak selalu berbakti kepada orang tua mereka selama tidak
mengajak mengingkari Allah.24
Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad, manusia yang
paling mulia akhlaknya, dimana beliau berpesan agar umatnya selalu berbakti dan
berbuat baik kepada kedua orang tuanya, meskipun keduanya bukan beragama
Islam, seperti yang dikisahkan dalam hadits berikut ini:
[A]sma’ binti Abi Bakar ra. Berkata, “Ibuku pernah mendatangiku, sedang
dia seorang musyrik pada masa Rasulullah Saw. Lalu ku meminta petunjuk
kepada seraya berucap. ‘ibuku telah datang kepadaku dengan penuh harapan
kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan dengan ibuku itu?”
Beliau menjawab, “Benar, sambunglah hubungan dengan ibumu!” (Muttafaq
Alaih).
Sebagai seorang perempuan muslim, akan segera berbakti dan berbuat baik
kepada orangtuanya karena takut durhaka kepada keduanya. Yang demikian itu
karena dia mengetahui besarnya kejahatan tersebut yang dikategorikan sebagai
dosa besar. Selain dia juga mengetahui gambaran menakutkan yang dilukiskan
oleh nash-nash shahih tentang orang-orang yang berbuat durhaka kepada kedua
orangtuanya, yang dapat mengetuk hatinya yang beku dan menyentuh nuraninya
yang tertutup serta menghidupkan perasaannya yang telah membantu.25
Sebagaimana sabda Rasululah :
[S]esungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah adalah dosa seseorang
yang melaknat kedua orang tuanya ”para sahabat bertanya, ”bagaimanakan
bentuknya seseorang itu melaknat kedua orang tuanya? ’’Rasullullah
menjawab, seseorang mengeluarkan kata-kata yang isinya mencela dan
menghina keduanya.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
24https://republika.co.id/berita/qjdixq366/cara-bersikap-kepada-orang-tua-nonmuslim.
Diakses pada tanggal 20 November 2020. 25 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,
197), 129.
21
Durhaka kepada orangtua merupakan kejahatan yang paling buruk, yang
dapat menggoncang jiwa perempuan muslim yang jujur dan menghilangkan rasa
kebenaran dan dalam dirinya. Dan kedurhakaan ini termasuk perbuatan dosa besar.
B. Peran Perempuan di Luar Rumah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “wanita” berarti perempuan dewasa.
Sedangkan ‘karier” berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi
(usaha, perkantoran dsb).26 Karier adalah pekerjaan yang memberikan harapan
untuk maju. Oleh karena itu, karier selalu dikaitkan dengan uang dan kuasa.
Namun bagi sebagian yang lain, karier tidak hanya seperti itu, tapi juga merupakan
karya yang tidak dapat dipisahkan dengan panggilan hidup bahagia.27
Meski ajaran Islam sangat menganjurkan perempuan untuk menjaga
keluarga dan rumah tangganya, namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk
berperan aktif dalam membangun dan memberdayakan masyarakat bersama-sama
dengan lelaki dalam kehidupan nyata tanpa melalaikan tugas dan menjaga rumah
tangga.
Secara garis besar, para ulama sesunguhnya sepakat untuk membolehkan
seorang wanita untuk bekerja di luar rumah, tetapi mereka memberikan batasan-
batasan yang jelas yang harus dipatuhi jika seorang wanita ingin bekerja atau
berkarir terutama harus didasari dengan izin dari suami. Di mana istri yang bekerja
dengan ridho sang suami, dia tetap berhak mendapatkan hak nafkahnya,
sebaliknya istri yang tetap bekerja (berkarir) sementara suaminya melarangnya,
maka istri dianggap telah durhaka terhadap suami, dan mengakibatkan gugurnya
hak nafkah istri.28
26 Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). 27 Dwi Runjani Juwita, Pandangan Hukum Islam Terhadap Wanita Karir, (El-Wasathiya:
Jurnal Studi Agama Vol. 6, No. 2, 2018), 176. 28 Ibid., 187.
22
Sesungguhnya Islam membuka pintu lebar-lebar untuk memanfaatkan
sumber daya manusia secara ideal dalam sebuah masyarakat dengan bertumpuh
kepada setiap jenis laki-laki atau perempuan, masyarakat Islam mampu bekerja
dan berproduksi bukan berbuat gaduh atau hanyut dalam ranah debat omong
kosong atau menciptakan gagasan semu. Perempuan pun mampu hidup dengan
layak dan terhormat dengan memainkan peran aktif dan signifikan dalam
kehidupan ekonomi dan sosial berdiri sejajar di hadapan lelaki. Perempuan di era
masa kini seharusnya bisa lebih meneladani jejak leluhurnya, sehingga mampu
menjadi perempuan karier yang aktif menjalankan peran ekonomi dengan segala
bentuk warna-warninya mulai dari peran sebagai pengelola rumah tangga dengan
pelayanan yang di persembahkan bagi anggota keluarga, kemudian dengan
memproduksi beberapa hasil keterampilan yang layak di perjual belikan atau
dengan berkecimpung dalam lembaga kerja professional yang sesuai dengan
kodrat dan fitrah perempuan atau dengan memiliki manage beberapa lembaga
kerja tersebut. Namun semua aktivitas positif di atas harus di lakukan dalam
koridor norma-norma keIslaman melalui kriteria-kriteria keimanan sehingga
kegiatan perempuan di luar rumah berjalan sesuai syariat Islam yang kelak di
akhirat akan mendapatkan pahala dan imbalan dari Allah SWT beserta imbalan
yang telah di berikan di dunia.29
Peran perempuan di luar rumah tak melulu tentang perempuan dalam
karirnya. Perempuan yang cerdas tentunya mengetahui bahwa kerabatnya
memiliki hak atas dirinya, dan dia di tuntut untuk mempererat hubungan dan
berbuat baik terhadap mereka. Yang dimaksud dengan kerabat adalah semua orang
yang memiliki hubungan nasab, baik dari ahli waris maupun non ahli waris.
29 Titin Fatimah, Wanita Karir dalam Islam, (MUSAWA, Vol. 7, No.1 2015), 42.
23
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’:36)
pada ayat di atas, berbuat baik kepada kerabat menduduki peringkat setelah
berbuat baik kepada orang tua, di mana bimbingan Al-Qur’an mengunakan urutan
dari peringkat tertinggi ke peringkat terendah, dengan menerangkan urutan
hubungan kemanusiaan. Di mulai dari orang tua, kerabat, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil, dan tetangga.30 Dalam berbuat baik kepada kaum kerabatnya
dan bersilaturahmi kepada mereka mendapatkan dua pahala, pahala kekerabatan
dan pahala sedekah. Apabila dia dari kalangan orang kaya, dia akan memberikan
sebagian kekayaan jika mereka membutukannya.
Begitu juga dalam bertetangga, tetangga merupakan orang yang terdekat
kepada kita di samping keluarga. Dalam pergaulan sehari-hari kedudukan tetangga
sangat terasa penting. Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab At-Tafsir Al-
Munir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah orang
yang dekat dengan kita baik secara tempat, nasab, atau agama. Sedangkan tetangga
30 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,
1997), 217.
24
jauh adalah orang yang jauh tempat tinggalnya dengan kita atau orang yang tidak
memiliki nasab dengan kita (bukan keluarga).31
“Apabila engkau memasak sayur, maka perbanyaklah airnya, kemudian
perhatikanlah anggota keluarga tetanggamu, lalu berilah mereka dengan cara
yang baik.” (HR. Muslim)
Adapun adab-adab dalam bertetangga, yaiu :
1. Membantu tetangga apabila membutuhkan bantuan
2. Apabila berjanji, maka wajib ditepati
3. Menjaga anak-anak dan barang-barang milik tetangga
4. Mengundang tetangga ketika mengadakan syukuran
5. Tidak menyebar luaskan kejelekan-kejelekan tetangga
6. Menjenguk tetangga yang sakit
Kemudian perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-
laki, yaitu pembawa risalah dalam kehidupan. oleh karena itu dia harus memiliki
sifat sosial, dinamis dan dapat memberikan pengaruh, selama keadaan hidup dan
keluarganya mengizinkan untuk itu, mau bergaul dengan wanita-wanita yang lain
sesuai dengan kemampuannya serta mempergauli mereka dengan akhlak luhur
yang diajarkan islam yang menjadikannya berbeda dari wanita-wanita yang lain.
Salah satu peran perempuan dalam bermasyarakat, di samping berperan
sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keluarga, yaitu seorang wanita juga
dapat berperan mendidik generasi agar menjadi pemuda-pemudi Islami yang
berakhlak mulia dan berpendidikan serta taat kepada ajaran agama. Seorang
peempuan boleh bekerja atau berkegiatan di luar rumah untuk mengisi peran dan
tugasnya tersebut dalam masyarakat. Ia dapat menjadi guru bagi anak-anak di
lingkungannya maupun memberikan pelajaran pada perempuan-perempuan lain di
sekelilingnya.32
31https://bincangsyariah.com/kalam/dalil-berbuat-baik-kepada-tetangga-dalam-al-quran-dan-
hadis/ 32 https://dalamislam.com/info-islami/peran-wanita-dalam-islam
25
[D]an orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. (Q.S.
At-Taubah:71).
Perempuan muslim tentunya mengetahui bahwa berbuat kebaikan bagi
manusia merupakan ibadah, selama hal itu dilandasi karena mencari keridhaan
Allah Ta’ala. Pintu-pintu kebaikan itu senantiasa terbuka bagi kaum Muslimin
secara keseluruhan dan mereka dapat memasukinya sekehendak hatinya sehingga
mereka mendapatkan kemenangan yang berhadiahkan rahmat dan keridhaan Allah
Swt.33
33 Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta,
1997), 283.
26
BAB III
PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DAN M. QURAISH SHIHAB TERHADAP
SURAH Al-AHZAB: 33
A. Biografi Sayyid Quthb
1. Riwayat Hidup Sayyid Quthb
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy-Syadzilly. Pria
ini di lahirkan pada tanggal 9 oktober 1906 di desa Musya, sebuah desa yang
terletak di provinsi Asyuth. Sebagaimana halnya ia menjalani masa kecil hingga
kanak-kanak di desa ini, Sayyid Quthb kecil juga menempuh pendidikan dasar di
desa ini, Sayyid Quthb kecil juga menempuh pendidikan dasar di desa yang
sama.34
Keluarga Quthb merupakan keluarga terpandang dan dianggap lebih maju
dari pada yang lain. Sang ayah cukup disegani dan dihormati oleh warga desa yang
lain karena dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi. Ayah beliau bernama Haji
Quthb Ibrahim, sebuah nama yang bisa kita kenal melalui buku tulis Quthb adik-
beradik dengan judul “Empat Spektrum” (Al-Athyaf al-Arba’ah)”.35
Sayyid Quthb adalah sosok laki-laki dengan kulit cokelat karena sering
terpapar panasnya matahari. Beliau memiliki tubuh bertinggi sedang, dengan
ukuran tubuh yang juga sedang. Tidak gemuk dan tidak kurus. Selain itu, tubuh
beliau juga tidak tegap bahkan cenderung kurus.36
Sayyid menjalani masa kecil nya di Desa Musyah sampai menjelang remaja.
Kampung kecil itu tak pernah ia tinggalkan hingga berangkat ke Kairo pada saat
berusia lima belas tahun. Kedua orangtua Sayyid Quthb juga telah menanamkan
nilai-nilai keimanan, nilai-nilai luhur, dan kewibawaan diri kedalam kejiwaan
beliau.
34 Sayyid Quthb, Biografi Sayyid Quthb (Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), 23 35 Ibid., 45 36 Ibid., 59.
26
27
Pada tahun 1920, Sayyid Quthb remaja berangkat ke Kairo dan menumpang
di rumah pamannya, Ahmad Husain Ustman. Melalui sang paman, ia kemudian
mengenal Partai Al-Wafd dan tokoh terkenal yang bernama Abbas Mahmud al-
Aqqad. Setelah lulus dari sekolah Pendidikan Guru tingkat pertama dan berhasil
mendapatkan Ijazah Kecakapan (Al-kafa’ah) untuk pendidikan dasar, beliau
mengikuti kelas persiapan untuk masuk ke Dar al-Ulum (Tajhiziyyah). Namun, ia
baru benar-benar masuk ke kulliyyah Dar al-‘Ulum pada tahun 1929 dan berhasil
lulus pda tahun 1933, dengan gelar Bachelor.37
Setelah itu, beliau bekerja selama 6 tahun sebagai guru di beberapa sekolah
negeri di bawah Kementerian Pendidikan, untuk selanjutnya ditarik ke
Kementerian Pendidikan dan menempati beberapa posisi, pada bagian pengawas
pendidikan dan inspektorat. Kementrian Pendidikan kemudian mengirimkan ke
Amerika, dalam sebuah delegrasi bidang pendidikan, untuk melakukan studi
tentang metodologi pendidikan dan pengajaran disana. Beliau pulang ke Mesir
tahun 1950 setelah tinggal di Amerika selama 2 tahun. Namun, karena berbeda
pendapat dengan para pejabat di Kementerian, beliau akhirnya mengajukan
pengunduran diri selang beberapa bulan saja pascarevolusi Juli. Waktu
mengajukan pengunduran diri, beliau sudah bekerja di Kementerian selama hampir
19 tahun.
Sewaktu masih muda, Sayyid Quthb bergabung dengan Partai Al-Wafd dan
tetap menjadi loyalis partai itu sampai tahun 1942. Ia sering menulis di sejumlah
media (surat kabar dan majalah) yang di kelola oleh partai tersebut, di samping
menulis kajian dan kumpulan puisi. Akan tetapi, untuk kuurun waktu selama lebih
dari 20 tahun setelahnya, beliau tidak berminat untuk bergabung dengan partai,
kelompok, atau organisasi manapun. Sampai akhirnya menemukan tempat
37 Ibid..
28
berlabuh hatinya, pergerakan Ikhwanul Muslimin. Beliau secara resmi bergabung
pada tahun 1953 dan menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk organisasi ini.38
Di usianya yang masih belia, beliau berkecimpung dalam bidang sastra dan
kritik sastra. Ia menjadi kritikus dengan menulis sejumlah artikel dan buku kritik
sastra selama beberapa tahun. Beliau juga mengarang beberapa puisi yang nuansa
sastranya sangat kental, bahkan telah menerbitkan sebuah kumpulan puisi yang
memuat sejumlah sajak beliau pada masa itu.
Tahun 40-an, perhatian beliau mulai beralih pada Al-Qur’an. Beliau
mempelajari Al-Qur’an dari sudut pandang sastra dan kritiknya karena ingin
menulis sebuah buku yang berjudul “Perpustakaan Baru Al-Qur’an” (Maktabah
Al-Qur’an al-Jadidah). Hal ini membuat beliau berusaha keras untuk mempelajari
pemikiran Islam hingga berhasil menulis beberapa buku dalam bidang ini.
Bagi Sayyid Quthb, kala itu, perhatiannya kepada Al-Qur’an merupakan hal
baru, yang justru berhasil menyeretnya lebih jauh: masuk kedalam arus dakwah,
pergerakan, dan dunia aktivis. Ia kemudian menempuh jalan itu dan meneranginya
dengan “rambu-rambu” (ma’alim) sebagai pedoman bagi para dai setelah beliau.
Selama menempuh perjalanan ini, beliau menekuni Aal-Qur’an yang hasilnya
beliau paparkan dalam buku tafsirnya “Di Bawah Naungan Al-Qur’an” (fi Zhilal
al-Qur’an).39
Sewaktu Mesir masih berbentuk kerajaan, Sayyid Quthb sangat antusias
terhadap revolusi dan menyerukan agar revolusi segera di laksanakan. Tidak
berhenti sampai disitu, beliau bahkan ikut merintis dan menyusun strategi revolusi.
Setelah revolusi berhasil, beliau awalnya bergerak aktif bersama para tokoh
revolusi yang lain. Namun, karena visi revolusi itu kemudian tidak sejalan dengan
visi baru yang kental warna Islamnya, beliau memilih untuk meninggalkan dan
menghindar. Namun akibatnya, beliau justru menjadi sasaran utama dari
38 Ibid., 24 39 Ibid., 25
29
kebrutalan dan kebiadaban para tokoh revolusi itu terhadap para aktivis IM, yang
membuat beliau sangat menderita.
Pengadilan revolusi kemudian memvonis beliau dengan hukuman 15 tahun
penjara. Namun, karena menderita beragam penyakit, mulai dari radang paru-paru,
nyeri dada, ginjal, usus, sebagian besar dari masa hukuman 15 tahun itu beliau
habiskan di Rumah Sakit Penjara Laiman Thurrah. Hingga akhirnya beliau
dibebaskan pada tahun 1964 atas alasan kesehatan, itu pun setelah ada campur
tangan dari Presiden Irak, Abdussalam Arif. Sayangnya, kebebasan itu hanya
berlangsung beberapa bulan karena beliau kembali dijebloskan ke dalam penjara
pada musim panas tahun 1965 bersama puluhan anggota IM lain mereka di tuduh
terlibat konspirasi untuk menggulingkan rezim berkuasa.
Bagaimanapun juga, sudah dalam garis Allah bahwa pemikiran tentang
pergerakan Islam yang dicetuskan Sayyid Quthb, justru mendapat sambutan yang
luar biasa setelah ia meninggal. Di mata para ulama, pendakwah dan aktivis Islam,
tokoh ini memiliki tempat tersendiri dan mulia karena mewariskan 26 judul buku
yang tersebar dalam bidang sastra, kritik sastra, dan pemikiran Islam. Mahakarya
(masterpiece) beliau adalah tafsir “Di Bawah Naungan Al-Qur’an” (Fi Zhilal al-
Qur’an) yang membuatnya di laut menjadi seorang ahli tafsir pembaru, pelopor
pemikiran Islam yang sejati. 40
.
2. Karya-karya Sayyid Quthb
Karya-karya Sayyid Quthb sangat banyak yang beredar di kalangan Negara
Islam. Bahkan beredar di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Dimana
terdapat pengikut Ikhwanul Muslimin, dan hampir dipastikan disana ada buku-
bukunya, karena ia merupakan tokoh Ikhwan terkemuka. Adapun karyakarya buku
hasil torehan Sayyid Quthb adalah sebagai berikut:
• Muhimmatus Sya’ir fil Hayah wa Syi’ir Al-Jail Al-Hadhir, tahun terbit 1933.
40 Ibid., 27
30
• As-Sathi’ Al-Majhul, kumpulan sajak Quthb satu-satunya, terbit Februari
1935.
• Naqd Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah di Mishr” li Ad-Duktur Thaha Husain,
terbit tahun 1939.
• At-Tashwir Al-Fanni fi Al-Qur’an, buku Islamnya yang pertama, terbit April
1954.
• Al-Athyaf Al-Arba’ah, ditulis bersama-sama saudaranya yaitu Aminah,
Muhammad dan Hamidah, terbit tahun 1945.
• Thilf min Al-Qaryah, berisi tentang gambaran desanya, serta catatan masa
kecilnya di desa, terbitan 1946.
• Al-Madinah Al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah Seribu Satu
Malam, terbit tahun 1946.
• Kutub wa Syakhsyiat, sebuah studinya terhadap karya- karya pengarang lain,
terbit tahun 1946.
• Ashwak, terbit tahun 1947.
• Mashahid Al-Qiyamah fi Al-Qur’an, bagian kedua dari serial Pustaka Baru
Al-Qur’an, terbit pada bulan April 1947.
• Raudhatul Thifl, ditulis bersama Aminah As’said dan Yusuf Murad, terbit dua
episode.
• Al-Qashash Ad-Diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah As-Sahar.
• m.Al-Jadid Al-Lughah Al-Arabiyyah, bersama penulis lain.
• Al-Adalah Al-Ijtima’iyah fil Al-Islam. Buku pertamanya dalam pemikiran
Islam, terbit April 1949.
• Ma’rakah Al-Islam wa Ar-Ra’simaliyah, terbit Februari 1951.
• As-Salam Al-Islami wa Al-Islam, terbit Oktober 1951.
• Tafsir Fi-Zhilal Al-Qur’an, diterbit dalam tiga masa yang berlainan.
• Dirasat Islamiah, kumpulan bermacam artikel yang dihimpun oleh
Muhibbudin al-Khatib, terbit 1953.
31
• Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din, buku penyempurna dari buku Hadza Ad-Din.
• Khashaish At-Tashawwur Al-Islami wa Muqawwimatahu, buku dia yang
mendalam yang dikhususkan untuk membicarakan karakteristik akidah dan
unsur-unsurnya.
• Al-Islami wa Musykilat Al-Hadharah.
Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang
menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut:
• Ma’alim fith-Thariq
• Fi-Zhilal As-Sirah.
• Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islami.
• Fi Maukib Al-Iman.
• Nahwu Mujtama’ Islami.
• Hadza Al-Qur’an.
• Awwaliyat li Hadza Ad-Din.
• Tashwibat fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir.
3. Metodologi, Pendekatan, dan Corak Penafsiran Sayyid Quthb pada Kitab Tafsir
fii Zhilalil Qur’an
Metode dalam menafsirkan kitab Fii Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb
menggunakan metode tahlili. Adapun pendekatan yang digunakan oleh Sayyid
Quthb dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan pendekatan Qur’ani serta
pemahaman dan ijtihad. Sayyid Quthb menggunakan berbagai corak dalam
menafsirkan surah Al-Qur’an berdasarkan metode dan pendekatannya yang
menggunakan sistematika mushaf. Beberapa corak tafsir yang digunakannya
adalah corak ‘ilmi, corak fiqhi, corak ‘adaby, dan lain-lain. Namun, dari berbagai
corak itu, Sayyid Quthb selalu fokus pada hikmah, kandungan, dan pelajaran yang
dapat diambil dari setiap potongan ayat yang ditafsirkan. Dapat disimpulkan
bahwa yang difokuskan pada tiap corak itu adalah ‘adaby ijtima’i, karena beliau
32
selalu mengambil hikmah dan pelajaran dan kemudian dikorelasikan untuk
diambil pengarahannya pada umat zaman sekarang.
Bisa dikatakan bahwa tafsir Fi Zhilal al-Qur’an dapat digolongkan ke dalam
tafsir al-Adabi al-Ijtima’I (satra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat
backgroundnya yang merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa merasakan
keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya
dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.41
B. Biografi M.Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup M.Quraish Shihab
M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 februari
1944. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang Ulama dan guru
besar di bidang tafsir. Abdurrahman Shihab di pandang sebagai salah seorang
tokoh pendidikan yang memiliki reputasi baik di kalangan masayarakat Sulawesi
Selatan.42
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia
melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok
Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir
dan di terima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc
(S-1) pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar.
Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969
meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul
Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Quran Al-Karim.43
Setelah kembali ke Indonesia, sejak 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
41 Mahdi Fadullah, Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Quthb), CV.
Ramadhani, Solo, 1991, 42. 42 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994),, 6. 43 Ibid., xx.
33
Selang 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor IAIN
Syarif Hidayatullah menggantikan Ahmad Syadall. Selain itu, di luar kampus ia
juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain; Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashihan Al-
Quran Depag (sejak 1984), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
(1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan.44
Tidak hanya itu, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, M. Quraish Shihab
mendapat kepercayaan sebagai duta besar RI di Mesir, merangkap untuk Negara
Jiboutidan Somalia. Ketika menjadi duta besar inilah M. Quraish Shihab menulis
karyanya Tafsir Al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 Jilid. Tafsir Al-Misbah
merupakan karya lengkap yang ditulis oleh putra Indonesia.45
Beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Lebih dari 40 buku yang
telah lahir di tangannya, dan ada sekitar 5 karya yang sudah diterbitkan. Dua di
antara karyanya yang mencatat sukses adalah “Membumikan” Al-Quran: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan Mei 1992) dan Lentera
Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, Februari 1994). Selain itu, ada juga
yang paling legendaris adalah “Membumikan Al-Quran” (Mizan 1966), dan
“Tafsir Al-Misbah” ( 15 Jilid, Lentera Hati, 2003). Sosok M. Quraish Shihab juga
sering tampil di berbagai media untuk memberikan siraman rohani dan intelektual.
Aktivitas utamanya sekarang beliau adalah seorang dosen (guru besar) Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan direktur Pusat Studi Al-Quran
(PSQ) Jakarta.46
2. Karya-karya M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab tidak hanya merupakan seorang tokoh pakar di bidang
Tafsir yang berasal dari Indonesia. namun, disisi lain ia juga di kenal sebagai
44 Ibid. 45 Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran A-Qur’an M. Quraish Shihab, (Jurnal Tsaqafah,
Vol. 6, No. 2, 2010), 249. 46 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 1996), xx.
34
seorang tokoh yang mampu melahirkan karya-karya tulis yang telah banyak di
terbitkan. Hingga saat ini, karyanya masih banyak sekali di minati oleh
masyarakat, maka tidak heran jika karyanya ada di seluruh Indonesia.47 Antara lain
karya M. Quraish Shihab ialah;
• Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahnnya
• Filsafat Hukum Islam
• Mahkota tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al-Fatihah
• Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat
• Studi kritik Tafsir al-Mannar
• Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan
• Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Quran untuk Mempelai
• Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudu’i Atas Berbagai Persoalan Umat
• Hidangan Ayat-ayat Tahlil
• Tafsir Al-Quran Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu
• Mukjizat Al-Quran ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib
• Sahur Bersama M. Quraish Shihab
• Menyikap Ta’bir Illahi: al-Asma’ al-Husna dalam Perspektif Al-Quran
• Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis Untuk Menuju Haji Mabrur
• Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah
• Yang Tersembunyi Jin Syetan dan Masyarakat: dalam Al-Quran dan as-
Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini
• Fatwa-Fatwa Seputar Al-Quran dan Hadits
• Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab
47 Atik Wartini, Tafsir Feminim M. Quraish Shihab, Telaah Ayat-Ayat Gender dalam Tafsir
Al-Misbah, (Jurnal Palastren, 2013), 478-482.
35
• Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume I, II, III
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IV
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume V,
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VI
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VII
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VIII
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IX
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume X
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XI
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XII
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIII
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIV
• Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XV
• Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil
• Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab
• Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab
• Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam
• Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer Pakaian
Perempuan Muslimah
• Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena
• Perempuan, dari Cinta Sampai Sexs, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah
Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru
• Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT
• Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anakku
• Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Quran
• Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata, Jilid I, II, III
• Al-Lubab: Makna dan Tujuan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz Amma
36
3. Metodologi dan Corak Penafsiran M. Quraish Shihab
Dalam menulis tafsir, metode tulisan M. Quraish Shihab menggunakan
metode semi tematik (tahlilī dan maudhû‟ī), yaitu mengelompokkan ayat yang
memiliki tema yang sama dengan mengikuti urutan mushaf. Awal metode yang
digunakan M. Quraish Shihab adalah metode tahlilī, kemudian M. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa metode tahlilī memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu
M. Quraish Shihab juga menggunakan metode maudhû‟ī atau tematik, yang
menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya adalah
metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan Al-Qur‟an secara
mendalam menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakan. Maka dari itu M.
Quraish Shihab di samping menggunakan metode tahlilī juga menggunakan
metode maudhû‟ī Metode tahlili ialah metode yang berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan,
kecendrungan, dan keinginann mufassirnya yang dihidangkannya secara runtut
sesuai dengan perurutan ayat-ayat di dalam Mushaf.48
Adapun corak pada tafsir Al-Misbah ini sama dengan Tafsir Fii Zhilalil
Qur’an karya Sayyid Quthb, yaitu lebih menekankan dan memfokuskan pada
corak ‘adabiy ijtima’i. M. Quraish Shihab lebih banyak menekankan sangat
perlunya memahami wahyu Allah secara kontekstual, maka pesan-pesan yang
terkandung di dalamnya dan dapat difungsikan dengan baik dalam dunia nyata.
Corak-corak tafsir yang berorientasi pada kemasyarakatan akan cenderung
mengarahkan pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi dimasyarakat.
Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan
persoalan-persoalan yang sedang diamati ummat, dan uraiannya diupayakan untuk
memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Dengan
demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah dituliskan mampu memberi jawaban
48 Syaeful Rokim, Mengenal Metode Tafsir Tahlili, 43.
37
terhadap segala sesuatu yang bahwa Al-Quran memang sangat tepat untuk
dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.
C. Penafsiran Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33
Islam adalah agama terakhir yang sempurna, agama yang selalu menyerukan
kepada hal kebajikan. Agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan
perempuan, sehingga dalam hal sekecil apapun misalnya tentang wanita yang
keluar rumah dengan berhias diri, semua diatur dalam Al-Qur’an dan hadits
sebagai pedoman kedua yang kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas para
ulama. Sebagai umat muslim yang berpedoman kepada Alquran dan hadits sebagai
tuntunan dalam hidup mereka. Tidak sempurna apabila manusia tidak berpedoman
pada Alquran dan Hadits.49
Islam adalah agama yang banyak malahirkan para ulama, para ilmuwan, para
cendekiawan muslim yang sesuai dengan bidangnya masing-masing, baik ilmu
alam, ilmu alat, ilmu sastra, maupun ilmu tafsir. Diantara sekian banyak ribuan
tokoh ulama tafsir dalam Islam, tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing
masing dalam setiap surat yang ditafsirkannya. Dalam karya ini penulis
mengambil ulama tafsir Sayyid Qutb dan Quraish Shihab dalam menafsirkan QS.
Al-Ahzab (33):
1. Penafsiran Sayyid Quthb Terhadap Surah Al-Ahzab Ayat 33
49 1M. Rifqy Zulkarnaen, Mukjizat Alquran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 3-4.
38
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)
Islam datang kepada masyarakat Arab disaat Sebagian bahkan hampir
seluruh masyarakatnya memandang wanita sebagai objek hawa nafsu dan
kenikmatan serta pemuas syahwat. Sehingga pandangan masyarakat jahiliah
terhadap wanita sebagai manusia begitu sangat rendah.50 Demikian pula terdapat
kekacauan dalam pandangan masyarakatnya tentang perempuan, seperti
pandangan tehadap seks, penonjolan bentuk-benuk fisik, estetika kecantikan, dan
sebagainya. Gambaran tentang ini banyak terdapat dalam syair-syair jahiliah yang
banyak berkisar tentang kecantikan jasad wanita, sentuhan anggota yang paling
sensitif di dalamnya, dan maknanya yang paling keji.51
Setelah islam datang, mulailah ia mengoreksi pandangan dan mengangkat
apresiasi persepsi masyarakat terhadap wanita. Islam mementingkan segi
kemanusiaan dalam hubungan antara dua jenis manusia. Jadi, ia bukan sekedar
pemuas bagi dahaga jasmani dan pemadam dari gejolak daging dan darah. Namun,
hubungan itu adalah hubungan antara dua jenis manusia dari jiwa yang sama,
antara keduanya terjalin cinta dan kasih sayang, dan dalam hubungan keduanya
terdapat kedamaian dan ketenangan.52
Syari’at tentang keluarga memenuhi bagian yang sangat besar dari bahasan
syari’at Islam dan porsi bahasannya dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat tampak.
Disamping syari’at, ada pengarahan yang terus-menerus untuk menguatkan
pondasi pokok dan utama ini yang diatasnya terbangun masyarakat. Pengarahan
itu khususnya menyangkut penyucian jiwa, kesucian dalam hubungan antara dua
50 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Anggota IKAPI. 2004), 260. 51 Ibid. 52 Ibid.
39
jenis manusia, pemeliharaannya dari kebejatan, pembersihannya dari keliaran
syahwat hingga dalam hubungan-hubungan jasmani semata-mata.
Dalam surah ini, porsi bahasan tentang masalah keluarga dan system
masyarakat memenuhi bagian yang besar. Terdapat seruan kepada istri Rasulullah
dan pengarahan kepada mereka dalam hal berhubungan dengan manusia,
berhubungan dengan diri mereka sendiri secara khusus, dan berhubungan dengan
Allah suatu pengarahan di mana Allah berfirman,
“… sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Sarana penghilangan dosa itu dan sarana-sarana penyucian diri yang
diserukan oleh Allah kepada mereka dan akan dimintai pertanggungjawaban
tentangnya. Padahal mereka adalah anggota keluarga Nabi saw. Dan istri-istri
Rasulullah serta mereka dikenal sebagai wanita yang paling suci di dunia. Maka,
wanita selain mereka lebih membutuhkan sarana-sarana itu, bagi siapa yang ingin
hidup dibawah naungan Rasulullah dan rumah tangganya yang tinggi.
Sesungguhnya sarana itu diawali dengan penyadaran terhadap ketinggian
derajat dan kemuliaan kedudukan mereka, keutamaan mereka atas seluruh wanita
lain, dan kekhususan mereka menempati kedudukan yang mulia itu diantara
seluruh wanita dunia. Maka, sepantasnyalah mereka memenuhi hak-hak dari
kedudukan yang mulia itu dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
ditentukan olehnya.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu….”
Secara bahasa, makna dari kata waqara-yaqaru adalah bermakna berat dan
menetap. Namun, bukanlah makna dari pernyataan itu bahwa mereka harus tinggal
40
dan menetap selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang
dimaksud adalah isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama
bagi kehidupan mereka. Rumah merekalah yang menjadi tempat utama dan primer
dari kehidupan mereka. Sedangkan, yang selain daripada itu adalah sekunder,
dimana mereka seharusnya tidak merasa berat berpisah dan harus menetap di
dalamnya. Tempat-tempat sekunder itu hanyalah tempat memenuhi kebutuhan
sesuai dengan kadarnya dan waktu dibutuhkannya.53
Rumah merupakan tempat yang disediakan Allah bagi wanita-wanita yang
menemukan hakikat dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Wanita-wanita yang
tidak terkontaminasi, menyimpang, dan dikotori oleh syahwat, tidak diperbudak
oleh tugas-tugas yang sebetulnya bukan tugasnya yang telah disediakan oleh Allah
dalam fitrahnya Guna mempersiapkan lingkungan yang baik dan melindungi
generasi yang tumbuh di dalamnya, Islam mewajibkan pemberian nafkah atas laki-
laki sebagai suatu yang fardhu. Sehingga memberikan kesempatan kepada ibu-ibu
rumah tangga untuk mempersembahkan segala tenaga, waktu, dan limpahan kasih
sayang dan hati dalam mengawasi dan membimbing generasi yang mulai
merangkak dan tumbuh.54.
Hakikat rumah tangga tidak akan terwujud bila tidak diciptakan oleh seorang
wanita. Keharuman rumah tangga tidak akan semerbak bila tidak diembuskan oleh
seorang istri. Kasih sayang dalam rumah tangga tidak akan tersebar melainkan di
tangan seorang ibu. Jadi wanita, istri, dan ibu yang menghabiskan waktunya,
tenaganya, kekuatan ruhnya dalam bekerja dan berkarir tidak menyebarkan apa-
apa dalam kehidupan rumah tangga, melainkan tekanan, kelelahan, dan
kebosanan.55
Sesungguhnya keluarnya wanita dari rumah untuk bekerja merupakan
bencana yang hanya di perbolehkan bila kondisi darurat terjadi. Sedangkan bila
53 Ibid., 262. 54 Ibid., 263 55 Ibid.,
41
manusia menganjurkannya pada mereka mampu menghindari hal itu, maka itu
telah berubah menjadi laknat yang menimpa ruh-ruh, nurani, dan akal dalam
zaman yang berbalik keji dan sesat.56
Sedangkan, keluarnya wanita bukan karena mengejar karir dan berkerja,
yaitu keluar untuk bercampur baur dengan lelaki, bersenang-senang, bersenda
gurau, dan beranjangsana dalam klub-klub dan perkumpulan-perkumpulan, itulah
kubangan dalam lumpur hitam yang menjerumuskan kedalam kehidupan
binatang.57
Wanita di zaman Rasulullah telah biasa keluar untuk shalat tanpa ada
larangan secara syariat dalam hal ini. Namun, pada saat itu, zaman dimana
kehormatan dijunjung tinggi dan ketakwaan menjadi pegangan. Wanita keluar
untuk shalat dalam keadaan terbungkus tidak menampakkan anggota tubuh yang
membawa fitnah sedikit pun.
“…Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliah
yang dahulu…”
Yaitu, janganlah kalian berhias pada saat harus menunaikan kebutuhan dan
terpaksa harus keluar dari rumah setelah Allah memerintahkan kalian untuk
tinggal di rumah. Wanita pada zaman jahiliah memang bertabarruj atau berhias
agar menor. Namun, semua riwayat yang menyebutkan tabarruj jahiliah yang
dahulu sebetulnya sederhana dan masih punya rasa malu bila dibandingkan dengan
tabarruj yang terjadi pada zaman jahiliah abad kita ini.58
Mujahid berkata, ”Wanita keluar dan berjalan di antara laki-laki itulah
gambaran tabarruj jahiliah dahulu.”
56 Ibid. 57 Ibid. 58 Ibid., 263.
42
Qatadah berkata,”Mereka berjalan dengan lengak-lengok dan genit. Maka,
Allah pun melarang perilaku demikian.”
Muqotil bin Hayyan berkata,”Tabarruj adalah meletakkan jilbab (khimar) di
atas kepala, namun tanpa diikat. Sehingga melingkari kalung-kalung mereka,
anting-anting mereka, dan leher mereka. Semua itu tampak dari wanita, itulah
yang dinamakan tabarruj.”
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Sebagian wanita di antara wanita-
wanita jahiliah berjalan di tengah-tengah laki-laki dengan membuka dadanya
(bukan payudara) tanpa ditutup oleh apapun. Kadangkala lehernya, punuk-punuk
rambutnya dan anting-antingnya juga ikut ditampakkan. Maka, Allah pun
memerintahkan kepada wanita-wanita mukminat untuk menutupnya dalam
kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan mereka.59
Itulah beberapa gambaran tentang tabarruj dalam masa jahiliah, yang ingin
dikoreksi oleh Al-Qur’an yang mulai, agar membersihkan masyarakat islami dari
segala pengaruhnya dan menjauhkan mereka dari faktor-faktor fitnah, serta
godaan-godaan penyimpangan. Juga agar meninggikan adab-adab, persepsi-
persepsi mereka, perasaan-perasaan mereka, dan cita rasa mereka.
Kami mengatakan “cita rasa”, karena cita rasa manusia memang terpana
dengan kecantikan dan lekuk-lekuk tubuh yang telanjang. Ia merupakan cita rasa
yang mendasar dan keras. Dan, cita rasa itu tanpa diragukan lebih rendah dari cita
rasa yang terpana dengan kecantikan dengan malu-malu dan sederhana, serta apa
yang dibangkitkan olehnya dengan kecantikan ruh, kecantikan menjaga diri, dan
kecantikan perasaan-perasaan.60
Standar dan barometer ini tidak pernah salah dalam mengenal ketinggian
derajat manusia dan kemajuannya. Sesungguhnya sifat malu adalah kecantikan
yang hakiki dan tinggi. Namun, kecantikan yang demikian tidak akan dapat
dirasakan oleh orang-orang jahiliah, yang memandang bahwa kecantikan itu
59 Ibid., 264. 60 Ibid., 264
43
hanyalah tubuh dan daging yang telanjang. Dan mereka tidak tertarik melainkan
hanya dengan daya tarik fisik yang nyata.61
Nash Al-Qur’an mengisyaratkan tabarruj jahiliah bahwa ia merupakan
peninggalan abad jahiliah, dimana orang-orang telah melampai abad jahiliah itu
harus menanggalkannya. Seyogianya mereka telah mencapai persepsi, idola, dan
cita rasa yang lebih tinggi dan membebaskan diri dari persepsi, idola, dan cita rasa
jahiliah.
Jahiliah itu bukanlah periode sejarah tertentu dalam waktu yang terbatas.
Namun, sesungguhnya ia adalah kondisi dan situasi masyarakat dalam bentuk
tertentu yang memiliki persepsi tertentu tentang kehidupan. Kemungkinan adanya
kondisi ini dan persepsi ini adalah sangat mungkin pada zaman manapun dan
tempat manapun. Jadi, kondisi dan persepsi itulah yang menjadi tolak ukur ada
tidaknya jahiliah di suatu tempat dan di suatu zaman.
Dengan standar ini, kita menemukan diri kita, sedang berada di alam jahiliah
yang membabi buta, perasaan yang membantu, persepsi binatang, yang jatuh
hingga ke derajat yang paling hina dan rendah dari seluruh manusia. Kita
menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada kebersihan, kesucian, dan keberkahan
menjalani kehidupan dalam masyarakat seperti ini, yang tidak menjalani, dan
menjadikan pegangan sarana-sarana penyucian dan kebersihan yang ditentukan
oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk menyucikan diri dari kotoran dan
membebaskan diri dari jahiliah yang pertama.
Orang yang pertama yang menjalani dan memegang prinsip itu adalah para
Ahlul Bait istri dan keluarga Rasulullah, meskipun tidak diragukan bahwa mereka
adalah orang-orang yang suci, bersinar, dan bersih.
61 Ibid., 264
44
“…Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya…”
Ibadah kepada Allah bukanlah mengasingkan diri dari perilaku sosial dan
akhlak dalam kehidupan. Namun, ibadah itu merupakan jalan menuju tingkat yang
tinggi dan merupakan bekal yang dengannya para pejalan kaki dan pelancong
membekali diri untuk menempuh perjalanan yang panjang itu. Oleh karena itu,
mau tidak mau harus ada jalinan hubungan dengan Allah sehingga dari nya turun
bantuan dan perbekalan. Dan mau tidak mau harus ada jalinan hubungan dengan
Allah sehingga hati menjadi bersih dan suci. Mau tidak mau harus ada jalinan
hubungan dengan Allah sehingga seseorang dapat menanggalkan dan
membebaskan diri dari segala kebiasaan manusia, adat istiadat suatu masyarakat
dan tekanan lingkungan.62
Dengan demikian, dia akan merasakan bahwa dia lebih tinggi dan lebih
terarah dengan hidayah dari pada orang-orang dan manusia lain, masyarakat dan
lingkungannya. Pada kondisi demikian, pantaslah dia memimpin orang-orang yang
lain kepada cahaya yang telah dilihatnya. Bukan sebaliknya, orang-orang lain yang
akan menuntunnya kepada kegelapan dan kejahiliahan yang menenggelamkan
kehidupannya ketika ia berpaling dan menyimpang dari jalan Allah.
Islam merupakan suatu kesatuan yang menghimpun syiar-syiar, adab-adab,
akhlak, syariat, dan sistem-sistem. semua itu berada dalam kesatuan logika akidah.
Masing-masing dari unsur itu memiliki peran sendiri-sendiri dalam merealisasikan
akidah tersebut dan semua unsur itu berjalan seiring dalam arah yang sama. Dari
perhimpunan dan keserasian itulah keberadaan dan eksistensi umum dari agama
ini berdiri. Dan tanpa kedua hal itu eksistensi tersebut tidak akan pernah berdiri.
Oleh karena itu, perintah mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasul nya merupakan penutup pengarahan terhadap cita rasa dan
akhlak perilaku ahlul bait yang mulia. Karena, pengarahan-pengarahan itu tidak
62 Ibid., 265.
45
mungkin terlaksana tanpa ibadah dan ketaatan. Dan semua memiliki tujuan,
hikmah, dan target,
“…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(Al-Ahzab: 33)
Dalam ungkapan ayat ini terdapat isyarat yang sangat banyak, dan semua
isyarat itu sangat lembut, tipis, dan penuh kasih sayang. Mereka dinamakan ahlul
bait dengan tanpa keterangan tambahan untuk kata bait ‘rumah’. Seolah-olah bait
itu adalah bait satu-satunya di alam ini, yang memilki sifat keistimewaan dan
kekhususan. Sehingga, bila dikatakan bait, maka orang akan mengenalnya
langsung dengan sejelas-jelasnya dan dapat membayangkan dalam pikirannya
tentang gambaran sifat-sifatnya dengan jelas dan terang. Demikianlah halnya bila
orang mengatakan ka’bah, maka ka’bah akan tergambar dengan jelas karena orang
telah mengenal sifat-sifatnya dan ia adalah satu-satunya di alam ini. Ka’bah itu
juga dinamakan dengan Baitullah, kemudian bait saja dan dinamakan juga dengan
al-Bait al-Haram jadi ungkapan tentang “bait Rasulullah” merupakan
penghormatan, kemuliaan, karakteristik, keutamaan, dan kekhususan yang sangat
agung.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Dalam ungkapan ini, terdapat kelembutan tentang penjelasan sebab pembebanan
taklif syari’at dan tujuannya. Kelembutan yang mengisyaratkan bahwa Allah ingin
menjadikan manusia merasakan bahwa Dia Yang Mahatinggi dengan Zat-Nya
yang menyucikan mereka dan menghilangkan kotoran dari mereka. Itu merupakan
46
pengawasan yang tinggi dan langsung kepada keluarga (bait) Rasulullah. Kita
membayangkan siapa yang mengatakan itu yaitu Allah.63
2. Penafsiran M.Quraish Shihab Pada Surah Al-Ahzab : 33
Pada Ayat 32 menyangkut siksa dan ancaman yang melebihi wanita-wanita
lain disebabkan istri seorang nabi memang berbeda dari segi tanggung jawabnya
dengan wanita-wanita lain, dan memberi tuntunan kepada istri-istri Nabi saw.
menyangkut ucapan, kini dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan
dan tingkah laku.
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab: 33)
Allah berfirman: dan disamping itu, tetaplah kamu tinggal di rumah kamu
kecuali jika ada keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh adat atau
agama dan berilah perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu dan
janganlah kamu bertabarruj, yakni berhias, dan bertingkah laku seperti tabarruj
jahiliah yang lalu dan laksanakanlah secara bersinambung serta dengan baik dan
benar ibadah shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan tunaikanlah secara
63 Ibid., 266.
47
sempurna kewajiban zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya dalam semua
perintah dan larangan-Nya. Sesungguhnya Allah dengan tuntunan-tuntunan-Nya
ini sama sekali tidak berkepentingan tetapi tidak lain tujuannya hanya bermaksud
hendak menghilangkan dari kamu dosa dan kekotoran serta kebejatan moral, hai
Ahl al-Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.64
Kata (قرن) qarna, begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far terambil dari
kata (اقررن) iqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara menetap.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata (عين قرة) qurrat
‘ain dan yang ini berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian.
Perintah ayat ini berarti : biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan
hati kamu. Ini dapat juga mengandung tuntunan untuk berada di rumah dan tidak
keluar rumah kecuali ada kepentingan.
Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasrah pada huruf qaf yakni
qirna. Ini terambil dari kata (قرار) qarar, yakni berada di tempat. Dengan
demikian, ayat ini memerintahkan istri-istri Nabi saw. itu untuk berada ditempat
yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Ibn ‘Athiyyah membuka
kemungkinan memahami kata qirna terambil dari kata (وقار) waqar, yakni wibawa
dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena itu mengundang
wibawa dan kehormatan buat kamu.
Kata (تبرجن) tabarrajna dan (تبرج) tabarruj terambil dari kata (برج) baraja,
yaitu tampak dan meninggi. Dari sini kemudian ia dipahami juga dalam arti
kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang tampak
dan tinggi. Larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan “perhiasan”
dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak di tampakkan oleh wanita
baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan
secara berlebihan, atau berdandan dengan berlenggak-lenggok, dan sebagainya.
Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak di tampakkan kecuali kepada suami
64 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Pt.Lantera Hati.2016) 465.
48
dapat mengandung decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat
menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.
Kata ( الجاهليه ) al-jahiliyyah terambil dari kata (جهل) jahl yang digunakan
Al-Qur’an untuk menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya
mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas
dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu,
istilah ini secara berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum islam, tetapi
menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran islam,
kapan dan dimanapun.
Ayat di atas menyifati jahiliyyah tersebut dengan al-ula. Yakni, masa lalu.
Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjuk masa
Nabi Nuh as. Atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah
menyatakan masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
selama pada masa itu masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi. Disisi lain,
adanya apa yang dinamai “jahiliah yang lalu” mengisyaratkan akan adanya
“Jahilliah kemudian”. Itu tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. Masa kini
dinilai oleh Sayyid Qutbh dan banyak ulama lain sebagai Jahiliah modern.65
Kata ( الرجس ) ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup
empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, atau tabi’at manusia, atau
ketiga hal tersebut. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan
agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’,
meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan
keringat yang melekat adalah kotoran dalam pandanga dalam tabiat manusia.
Sedang, bangkai adalah kotoran dalam pandangan agama, akal, dan juga tabiat
manusia.
Kata ( البيث ) al-bait secara harfiah berarti rumah. Yang di maksud di sini
adalah rumah tempat tinggal istri-istri nabi Muhamad saw. Rumah itu beliau
65 Ibid., 466.
49
bangun berdampingan atau menyatu dengan masjid. Ia terdiri dari sembilan kamar
yang sagat sederhana.
Berbeda pendapat ulama tentang siapa saja yang di cakup oleh Ahl al-Bait
pada ayat ini. Melihat konteks ayat, istri-istri Nabi Muhamad saw. termasuk
didalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini.
Sementara ulama memperluas dengan memahami kata al-Bait dalam arti Baitullah
al-Haram sehingga Ahl al-Bait adalah penduduk Mekkah yang bertakwa. Namun,
pendapat ini jelas keluar dari konteks pembicaraan ayat. Namun dari sisi lain, tidak
dapat juga dikatakan bahwa Ahl al-Bait hanya istri-istri Nabi saw. ini karena
redaksi ayat yang digunakan sebagai mitra bicara dalam konteks uraian Ahl al-Bait
bukannya bentuk yang digunakan khusus buat perempuan (muannats/feminin)
tetapi justru (mudzakkar/maskulin) yang dapat juga digunakan utuk pria bersama
wanita. Anda lihat ayat tersebut tidak menggunakan istilah (ليدهب عنكن ) li
yudzhiba ‘ankunna yang digunakan terhadap mitra bicara perempuan, tetapi
redaksi yang digunakan adalah (ليدهب عنكم) li yudzhiba ‘ankum dalam bentuk
Mudzakkar itu. Ini berarti bahwa Ahl al Bait bukan hanya istri Nabi tetapi
mencakup pula sekian banyak pria. Pandangan ini didukung oleh riwayat yang
menyatakan bahwa ayat ini turun di rumah istri Nabi saw., Ummu salamah. Ketika
itu, Nabi saw. memanggil Fatimah, putri beliau, bersama suaminya, yakni ‘Ali Ibn
Abi Thalib, dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw.), yakni al-Hasan dan al-
Husain. Nabi saw. menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdo’a: “Ya
Allah mereka itulah Ahl Bait-ku, bersihkanlah mereka dari dosa, dan sucikanlah
mereka sesuci-sucinya.” Ummu Salamah yang melihat peristiwa ini berkata: “Aku
ingin bergabung ke dalam kerudung itu, tetapi Nabi saw. mencegahku sambil
bersabda: Engkau dalam kebajikan ... engkau dalam kebajikan.” (HR.ath-
Thabarani dan Ibn Katsir melalui Ummu Salamah ra.).66
66 Ibid., 467.
50
Agaknya, Nabi saw. menolak memasukkan Ummu Salamah kedalam
kerudung itu bukan karena beliau bukan Ahl al-Bait, tetapi karena yang masuk di
kerudung itu adalah yang didoa kan Nabi saw. secara khusus, sedang Ummu
Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok Ahl al-Bait melalui konteks
ayat ini. Atas dasar ini, ulama-ulama salaf berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah
seluru istri Nabi saw. bersama Fatimah, ‘Ali Ibnu Abi Thalib, serta al-Hasan dan
al-Husain. Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i, membatasi pengertian Ahl al-
Bait pada ayat ini hanya terbatas pada lima orang yang masuk dalam kerudung itu,
yaitu Nabi Muhamad saw., ‘Ali Ibnu Abi Thalib, Fathimah az-Zahra’, serta al-
Hasan al-Husain. Sadang, pembersian mereka dari dosa dan penyucian mereka
dipahminya dalam arti ‘ishmat yakni keterpeliharan mereka dari perbuatan dosa.
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah semua
anggota keluarga Nabi Muhammad saw. yang bergaris keturunan sampai kepada
Hasyim, yaitu ayah kake Nabi Muhamad saw., putra Abdullah, putra Abdul
Muthalib, putra Hasyim.
Kini, penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah
waqarna atau waqirna fi buyutikum. Perintah di atas sebagaimana terbaca
ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. persoalan yang di bicarakan
ulama adalah apakah wanita-wanita muslimah selain istri-istri Nabi dicakup juga
oleh perintah tersebut? Al-Qurthubi (w 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang
pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: “Makna ayat
diatas adalah perintah utuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi Muhammad saw., selain dari mereka juga tercakup dalam
perintah tersebut.” Selanjutnya, Al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi
oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali
karena darurat. Pendapat yang sama di kemukakan juga oleh Ibnu al-‘Arabi (1076-
1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibn
Katsir sedikit lebih longar. Menurutnya, ayat tersebut merupakan larangan bagi
51
wanita untuk keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama,
seperti shalat, misalnya.67
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer, menganut paham yang
mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya, al-Hijab, Ulama ini antara lain
menulis bahwa “tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang
dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga.
Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka keluar
rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
“Terbaca bahwa al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi” kebutuhan
atau keperluan”. Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang
diterbitkan oleh Departemen Agama RI.
Thahir Ibn Asyur menggaris bawahi bahwa perintah ayat ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sebagai bagi wanita-wanita muslimah
selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni, tidak wajib, tetapi sangat baik
dan menjadikan wanita-wanita yang mengindahkannya menjadi lebih sempurna.
Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya,
“bolehkah mereka bekerja? Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-
Muslimin menulis dalam bukunya Ma’rakah at-Taqalid, bahwa: “Ayat itu bukan
berarti bahwa wanita boleh bekerja karena islam tidak melarang wanita bekerja.
Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam
membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai
dasar.”
Dalam bukunnya, Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Quthub lebih
menjelaskan bahwa: Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja ketika
kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau
tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa islam tidak
67 Ibid., 468.
52
cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan
yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan
wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang
membiayai hidupnya atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu
mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthub menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah: Waqarna fi
buyutikunna berarti “Berat, mantap, menetap”. Tetapi, tulisnya lebih jauh, “ini
bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan
bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia
tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”
Sa’id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer memberikan contoh
tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orangtua dan
belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.68
Dalam surat al-Ahzāb ayat 33 ini mencakup dua kandungan hukum, yaitu
perintah untuk tetap berada di dalam rumah dan larangan tabarruj (berhias yang
berlebihan) bagi perempuan. M. Quraish Shihab berpendapat bahwa pada
prinsipnya Islam tidak melarang wanita bekerja di dalam atau di luar rumahnya,
secara mandiri atau bersama-sama, dengan swasta atau pemerintah, siang atau
malam, selama pekerjaan itu dilakukannya dalam suasana terhormat, serta selama
mereka dapat memelihara tuntunan agama serta dapat menghindarkan dampak-
dampak negatif dari pekerjaan yang dilakukannya itu terhadap diri dan
lingkungannya. Bekerja dapat menjadi wajib bagi wanita jika keadaan
membutuhkannya, seperti jika ada seorang yang melahirkan dan tidak ada bidan
yang membantunya kecuali dia, ataukah yang dia selaku pekerja
membutuhkannya, demi memelihara kelangsungan hidupnya atau menghidupi
anak-anaknya. Sekian banyak wanita pada zaman Nabi saw. dan sahabat-sahabat
68 Ibid.,469.,
53
beliau yang bekerja, baik mandiri maupun tidak, guna membantu suami yang tidak
mampu memenuhi kewajibannya untuk memberi nafkah keluarga. Pada zaman
Nabi dan sahabat beliau dikenal antara lain Ummu Salim binti Malhan sebagai
perias pengantin, Qilat Ummi Bany Ammar sebagai pedagang. Zainab Ibn Jahsy
yang dikenal terlibat dalam pekerjaan menyamak kulit binatang, Asy-Syaffa yang
mendapat tugas dari Khalifah Umar Ibn Khaththab menangani pasar Madinah, dan
masih banyak lagi yang lain.69
Khusus untuk wanita yang berstatus istri, sebelum bekerja ia harus
mendapatkan izin dari suaminya, dan seandainya tanpa izinnya, maka kewajiban
suami untuk memberi nafkah kepadanya dapat gugur.70
69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 10, hlm. 332. 70 Ibid.
54
BAB 1V
ANALISIS PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTTHB DAN
QURAISH SHIHAB TERHADAP Q.S. AL-AHZAB : 33
A. Perbandingan Penafsiran Sayyid Qutthb dan Quraish Shihab Terhadap Q.S.
Al-Ahzab : 33
1. Segi Metodologi Penafsiran
Sayyid Quthb Quraish Shihab
Metodologi ➔ Dalam menafsirkan
kitab Fii Zhilalil Qur’an Sayyid Quthb
menggunakan metode tahlili.
Metodologi ➔ Begitu juga dengan
Quraish Shihab dalam
menafsirakan Kitab Al-Misbah, ia
menggunaakan metode tahlili.
Namun Quraish Shihab
menggunakan metode semi tematik
(tahlili dan maudhui), yaitu
mengelompokkan ayat yang
memiliki tema yang sama dengan
mengikuti urutan mushaf. Awal
metode yang digunakan M. Quraish
Shihab adalah metode tahlili,
kemudian M. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa metode
tahlili memiliki berbagai
kelemahan, maka dari itu M.
Quraish Shihab juga menggunakan
metode maudhu’i atau tematik,
yang menurutnya metode ini
memiliki beberapa keistimewaan,
54
55
diantaranya adalah metode ini
dinilai dapat menghidangkan
pandangan dan pesan Al-Qur‟an
secara mendalam menyeluruh
menyangkut tema-tema yang
dibicarakan. Maka dari itu M.
Quraish Shihab di samping
menggunakan metode tahlili juga
menggunakan metode maudhu’i.
Corak ➔ oleh Sayyid Quthb dalam
Tafsir Fii Zhilalil Qur’an adalah
corak ‘ilmi, corak fiqhi, corak
‘adaby, dan lain-lain. Namun, dari
berbagai corak itu, Sayyid Quthb
selalu fokus pada hikmah,
kandungan, dan pelajaran yang
dapat diambil dari setiap potongan
ayat yang ditafsirkan. Dapat
disimpulkan bahwa yang
difokuskan pada tiap corak itu
adalah ‘adaby ijtima’i, karena
beliau selalu mengambil hikmah
dan pelajaran dan kemudian
dikorelasikan untuk diambil
pengarahannya pada umat zaman
sekarang.
Bisa dikatakan bahwa tafsir
Corak ➔ Corak pada tafsir Al-
Misbah yaitu lebih menekankan
dan memfokuskan pada corak
‘adabiy ijtima’i. M. Quraish Shihab
lebih banyak menekankan sangat
perlunya memahami wahyu Allah
secara kontekstual, maka pesan-
pesan yang terkandung di dalamnya
dan dapat difungsikan dengan baik
dalam dunia nyata. Corak-corak
tafsir yang berorientasi pada
kemasyarakatan akan cenderung
mengarahkan pada masalah-
masalah yang berlaku atau terjadi
dimasyarakat.
56
Fi Zhilal al-Qur’an dapat
digolongkan ke dalam tafsir al-
Adabi al-Ijtima’I (satra, budaya,
dan kemasyarakatan). Hal ini
mengingat backgroundnya yang
merupakan seorang sastrawan
hingga ia bisa merasakan
keindahan bahasa serta nilai-nilai
yang dibawa al-Qur’an yang
memang kaya dengan gaya bahasa
yang sangat tinggi.71 Begitu juga
dengan kepeduliannya terhadap
sosial. Oleh karenanya dalam
menafsirkan Al-Qur’an banyak
dipenaruhi oleh fenomena-
fenomena sosial yang terjadi pada
zamannya.
2. Segi Substansi Penafsiran terhadap peran perempuan dalam Q.S Al-Ahzab : 33
Sayyid Quthb Quraish Shihab
Dalam menafsirkan kalimat “Dan
hendaklah kamu tetap di
rumahmu….”, Sayyid Quthb
mengartikan kata waqara-yaqaru
adalah bermakna berat dan
Quraish Shihab berpendapat bahwa
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu….”, pada prinsipnya
Islam tidak melarang perempuan
bekerja di dalam atau di luar rumah.
71 Mahdi Fadullah, Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Quthb), CV.
Ramadhani, Solo, 1991, 42.
57
menetap. Namun, bukanlah makna
dari pernyataan itu bahwa
perempuan harus tinggal dan
menetap selamanya dirumah
sehingga tidak keluar sama sekali.
Tetapi, yang dimaksud adalah
isyarat bahwa rumah mereka
adalah fondasi pokok dan utama
bagi kehidupan mereka. Rumah
merekalah yang menjadi tempat
utama dan primer dari kehidupan
mereka. Sedangkan, yang selain
daripada itu adalah sekunder,
dimana mereka seharusnya tidak
merasa berat berpisah dan harus
menetap di dalamnya. Tempat-
tempat sekunder itu hanyalah
tempat memenuhi kebutuhan sesuai
dengan kadarnya dan waktu
dibutuhkannya.
Bagi Sayyid Quthb perempuan
diperbolehkan keluar rumah hanya
dalam keadaan yang mendesak dan
sangat penting. menurutnya
keluarnya perempuam dari rumah
untuk bekerja merupakan bencana
yang hanya di perbolehkan bila
selama pekerjaan itu dilakukannya
dalam suasana terhormat, serta
selama mereka dapat memelihara
tuntunan agama serta dapat
menghindarkan dampak-dampak
negatif dari pekerjaan yang
dilakukannya itu terhadap diri dan
lingkungannya. Bekerja dapat
menjadi wajib bagi wanita jika
keadaan membutuhkannya, seperti
jika ada seorang yang melahirkan
dan tidak ada bidan yang
membantunya kecuali dia, ataukah
yang dia selaku pekerja
membutuhkannya, demi
memelihara kelangsungan hidupnya
atau menghidupi anak-anaknya.
58
kondisi darurat terjadi. Sedangkan,
keluarnya perempuan bukan karena
mengejar karir dan berkerja, yaitu
keluar untuk bercampur baur
dengan lelaki, bersenang-senang,
bersenda gurau, dan beranjangsana
dalam klub-klub dan perkumpulan-
perkumpulan, itulah kubangan
dalam lumpur hitam yang
menjerumuskan kedalam
kehidupan binatang.
Hemat penulis, bahwa penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab
terhadap peran perempuan ayat waqarna fii buyuutikum terdapat sedikit
perbedaan. Meskipun Quraish Shihab dalam tulisannya banyak menyadur
pandangan-pandangan mufassir terdahulu, termasuk pandangan Sayyid Quthb
yang paling banyak ia sadur, namun Quraish Shihab tetap memberikan analisis dan
pandangannya sendiri. Yaitu bahwa Islam memperbolehkan perempuan keluar
rumah selama masih berada pada koridor-koridor yang telah di atur oleh agama.
Bahkan ada keadaan yang mewajibkan perempuan untuk keluar rumah. Sedangkan
Sayyid Quthb berpendapat bahwa perempuan jauh lebih baik berada di rumah.
Meskipun menurutnya bukan berarti mengasingkan diri dari perilaku sosial dan
kehidupan, akan tetapi jika tidak ada hal-hal yang mendesak untuk peempuan
bekeja, maka sebaiknya perempuan tidak bekerja. Apalagi jika keluar rumah hanya
untuk untuk bercampur baur dengan lelaki, bersenang-senang, dan bersenda gurau,
maka hal itu sangat dilarang.
Kemudian setelah adanya rukhsah diperbolehkannya perempuan keluar
rumah, muncul syariat yang menyusun konsep bagaimana etika atau adab
59
perempuan jika keluar rumah. Sebagaimana dalam kata “…Dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliah yang dahulu…”
Sayyid Quthb Quraish Shihab
janganlah kalian berhias pada saat harus
menunaikan kebutuhan dan terpaksa
harus keluar dari rumah setelah Allah
memerintahkan kalian untuk tinggal di
rumah. Wanita pada zaman jahiliah
memang bertabarruj atau berhias agar
menor. Namun, semua riwayat yang
menyebutkan tabarruj jahiliah yang
dahulu sebetulnya sederhana dan masih
punya rasa malu bila dibandingkan
dengan tabarruj yang terjadi pada
zaman jahiliah abad kita ini.72
Quraish Shihab mengartikan
Larangan bertabarruj berarti larangan
menampakkan “perhiasan” dalam
pengertiannya yang umum yang
biasanya tidak di tampakkan oleh
wanita baik-baik, atau memakai
sesuatu yang tidak wajar dipakai,
seperti berdandan secara berlebihan,
atau berdandan dengan berlenggak-
lenggok, dan sebagainya.
Menampakkan sesuatu yang
biasanya tidak di tampakkan kecuali
kepada suami dapat mengandung
decak kagum pria lain yang pada
gilirannya dapat menimbulkan
rangsangan atau mengakibatkan
gangguan dari yang usil.
Menurut penulis keduanya sama dalam mengartikan tebarruj. Hanya saja
tedapat pebedaan pada pandangan Batasan tabaruj. Sayyid Quthb menambahkan
bahwa tabarrujnya perempuan dahulu sebetulnya lebih sederhana daripada tabarruj
pada zaman sekarang.
72 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran (Jakarta: Anggota IKAPI. 2004), 263.
60
Adapun dalam memaknai kata jahiliah yang terdapat dalam kalimat larangan
betabarruj, Sayyid Quthb memandang bahwa Jahiliah itu bukanlah periode sejarah
tertentu dalam waktu yang terbatas. Namun, sesungguhnya ia adalah adanya
kondisi dan persepsi yang sangat mungkin pada zaman manapun dan tempat
manapun. Jadi, kondisi dan persepsi itulah yang menjadi tolak ukur ada tidaknya
jahiliah di suatu tempatss dan di suatu zaman, termasuk zaman sekarang.
Sedangkan Quraish Shihab menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya
mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas
dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu,
istilah ini secara berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum islam, tetapi
menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran islam,
kapan dan dimanapun.
Artinya kedua mufassir ini sama dalam menafsirkan kata jahiliah. Yaitu
bukan hanya periode sejarah tertentu atau sebelum datangnya Islam, akan tetapi
dapat diartikan menggambarkan suatu kondisi masyarakat yang dalam
kehidupannya bertentangan dengan ajaran Islam.
B. Konseptualisasi Pemikiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab tentang Peran
Perempuan Masa Kini
Islam sudah menetapkan ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan.
Semuanya tercantum dalam kitab suci Alquran, hadis, maupun fatwa ulama, agar
menjadi tuntunan. Ada tiga pendapat dari para ulama serta cendekiawan yang
mewarnai pembahasan seputar wanita karier. Pertama, mereka yang membolehkan
wanita bekerja tanpa syarat apapun. Kedua, tidak membolehkan sama sekali, dan
ketiga, membolehkan tapi dengan syarat-syarat tertentu.73
Seperti dikutip dari Kitab al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
menurut ulama dan cendekiawan asal Mesir, Sayid Qutb, ajaran Islam lebih dekat
73https://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/09/30/mtxb47-wanita-karier-dalam-
pandangan-islam, diakses pada tanggal 11 Desembe 2020.
61
dengan pandangan yang terakhir. "Sebab, tidak ada larangan dalam Islam,
membolehkan wanita bekerja di bidang kemampuannya asal disesuaikan dengan
kodrat kewanitaannya. Yakni kodrat biologis dan mentalnya."
Dengan memperhatikan uraian itu, jelaslah bahwa Islam sama sekali tidak
pernah menganggap wanita hanya sebagai penganggur, atau harus di rumah saja,
seperti yang dituduhkan sejumlah kalangan. "Sebaik-baik canda seorang Muslimah
di rumahnya adalah bertenun," demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang
menekankan agar wanita juga harus tekun berkarya.
Berdasarkan budaya hidup masyarakat Indonesia, keterlibatan kaum wanita
dalam tugas-tugas di luar rumah adalah hal biasa namun menjadi kebiasaan bagi
wanita bekerja membantu keluarga, ada sebagai petani, peternak dan pedagang.
Keterlibatan mereka dalam kerja seperti ini tidak menimbulkan banyak masalah
karena pekerjaan tersebut tidak terikat dengan berbagai peraturan. Namun
permasalahan yang dihadapi pada zaman sekarang ini adalah bagi wanita yang
sudah berkeluarga dan memiliki anak harus terus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya sehingga mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk
keluarga mereka.74
Namun demikian, bukan tidak mungkin perempuan dapat menyesuaikan
diantara keduanya. Oleh karenanya sebelum memutuskan untuk bekerja di luar
rumah, perempuan seharusnya memahami secara betul keberadaanannya sebagai
ibu rumah tangga dan keberadaanya sebagai perempuan bekerja. Begitu juga,
perempuan juga hendaknya hendaknya mengetahui etika dan adab-adab ketika
mereka keluar rumah agar mereka tidak melewati koridor yang dibatasi oleh ajaran
Islam. Adapun adab dan etika perempuan ketika keluar rumah yaitu :
1. Menutup Aurat, tentang Batasan aurat perempuan terdapat perbedaan di
kalangan ulama. Salah satunya M. Quraish Shihab batasan aura yang boleh
tampak adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, rambut, dan kaki.
74 Nurliana, Wanita Karir Menurut Hukum Islam, 74.
62
Tentu saja pakaian yang digunakan tidak boleh ketat sehingga menampakkan
lekuk-lekuk tubuh, tidak juga dengan menggunakan bahan yang transparan.75
Adapula ulama yang mengatakan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan, dan ada yang mengatakan wajah seorang wanita juga merupakan aurat,
maka dari itu harus ditutup dengan jilbab dan hanya menampakkan satu mata
saja untuk melihat. Hemat penulis semua pendapat baik untuk diterapkan.
Meskipun demikian, ada baiknya menjadi perempuan yang salehah, sebaiknya
memakai pakaian yang lebih panjang dan lebar, supaya terhindar dari perbuatan
fitnah dan dari binatangbinatang kecil pengganggu, seperti nyamuk dan lalat,
yang kadang membawa berbagai macam penyakit. Selain itu, dengan memakai
busana panjang dan lebar, gerakan akan lebih bebas, hati menjadi tenang, tidak
khawatir kalau organ tubuh tampak dari luar.
2. Tidak Bertabaruj, Pada dasarnya Islam telah melarang wanita melakukan
Tabarruj. walaupun seorang wanita telah menutup aurat dan berbusana Syar’i, 76
namun tidak menutup kemungkinan ia melakukan tabarruj, yaitu ia berhias
wajah secara berlebihan, atau memakai pakaian yang membuatnya terlihat
indah di dpan laki-laki ajnabi. Tabarruj juga berarti keluarnya wanita yang telah
berhias dari rumahnya yang dengan sengaja tidak memakai hijab serta
berpakaian tipis lagi ketat padahal dia mengetahui hukumnya kalau memakai
hijab itu wajib. Sedangkan dia keluar rumah lalu berjalan dengan
memperlihatkan kecantikan wajah dengan behias yang berlebih-lebihan
melenggak-lenggokkan jalanya sehingga terlihat perhiasan yang ada padanya
dihadapan orang lain.
3. Meminta Izin Suami (Bagi Yang Sudah Bersuami), Syarat dan adab keluar rumah
bagi perempuan pertama yaitu izin. Terlebih lagi jika perempuan tersebut sudah memiliki
keluarga. Meminta izin kepada suami merupakan hal yang wajib bagi perempuan untuk keluar
75 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama AlQur‟an), PT. Mizan
Pustaka, Bandung, 2007, h. 314 76 Abdul Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita, (Jakarta Timur : Gria
Ilmu, 2010), 427.
63
rumah. Izin kepada suami pun bertujuan untuk menghindari fitnah, dan agar suami kita
mengetahui apa tujuan yang akan kita lakukan sekaligus agar lebih mudah mencari tahu jika
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi
4. Menundukkan pandangan, Istilah menundukkan pandangan disebut dengan
ghadul bashar. Ghadul bhasar terdiri dari dua kata yaitu berasal kata ghadda
dan bashara. ghadda menunjukkan berarti menahan, menundukkan,
mengurangi, atau memejamkan. Sedangkan bashara berarti melihat atau
memandang. Menahan pandangan adalah menahan pandangan dari hal-hal yang
haram dilihat. Perintah menahan pandangan ini ditujukan kepada orang yang
beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan menahan pandangan,
menurut Quraish Shihab adalah mengalihkan arah pandangan, serta tidak
memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang
terlarang atau kurang baik.77 menjaga pandangan merupakan sesuatu yang
sangat diperhatikan dan ditekankan dalam Islam, karena pandangan inilah yang
menjadi pemicu utama munculnya tindakan-tindakan asusila dan kriminalitas di
masyarakat. Agama Islam menegaskan bahwa yang pertama kali dijaga adalah
pandangan, sebelum menjaga kemaluan karena semua yang terjadi itu bermula
dari pandangan mata, laksana api besar bermula dari lilitan kecil. Pada awalnya
dimulai dari pandangan, kemudian terlintas dalam pikiran, lalu menjadi
langkah, dan selanjutnya terjadi dosa ataupun kesalahan. Maka dari itu,
dikatakan bahwa barang siapa yang mampu menjaga pandangan, pikiran,
ucapan, dan tindakan, berarti dia telah menjaga agamanya.
5. Menghiasi diri dengan rasa malu, Diantara kandungan as-Sunnah terdapat hal-
hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yang hal ini sangat
mendapatkan sorotan. Dalam masa transisi ke agama Islam banyak pula sikap-
sikap yang harus dirubah untuk sesuai dalam syari’at Islam, salah satunya
adalah sikap malu. Pada masa Jahiliyah, masyarakat kurang memiliki rasa malu
77 Akbar HS, Gadd Al-Bashar (Menahan Pandangan) Dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian
Tahlili Terhadap QS Al-Nuur / 24: 30 dan 31), (Skripsi UIN Alauddin Makassar, 2016), 15.
64
sehingga kesombongan dominan adanya, dan kurang adanya sikap rendah diri
setiap individu.78 Dalam hal ini, perempuan yang ingin keluar rumah
diwajibkan untuk menghiasi diri dengan rasa malu. Hal ini bertujuan tak lain
untuk menjaga dirinya sendiri. Perempuan dintuntut untuk menghiasi diri
dengan rasa malu akan pakaian yang tidak sesuai syari’at, malu kepada laki-laki
yang bukan mahram sehingga ia senantiasa menjaga sikapnya. Dan malu
terhadap hal-hal buruk lainnya.
6. Menjaga kehormatan suaminya serta mendukung dan mendorong pekerjaan
suaminya, tidak berniat menghianti suami dan hartanya.
7. Senantiasa memperbaiki dirinya dan mengatur rumah tangganya dengan baik,
tidak melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah dan sebagai seorang istri.
8. Senantiasa merasa cukup dengan pemberian suaminya dari rezki yang diberikan
Allah.
9. Istri tidak membangga-banggakan kecantikannya dan melecehkan keburukan
suaminya
Siapa di antara perempuan muslimah yang menginginkan kedudukan
terhormat, mulia disisi Allah serta tidak diganggu oleh laki-laki, maka
tanamkanlah ketaqwaan, keimanan, mendekatlah diri kepada Allah dengan
menjalankan apa yang diperintahkan dan pakailah pakaian yang menutupi aurat
ketika berada di luar rumah, serta mengerti dan menjalankan etika dan adab-adab
dalam Islam. Selanjutnya Islam melihat hukum wanita karir adalah mubah, selama
ia masih menjaga kodratnya sebagai wanita, sebagai ibu dan sebagai istri dan apa
yang diperolehnya merupakan suatu ibadah sedekah terhadap rumah tangganya.
Namun hukum tersebut bisa berubah menjadi haram, bila para wanita melalaikan
tugasnya dan bekerja tanpa izin suaminya.
78 Maratus Solichah, Malu Tidak Akan Mendatangkan Sesuatu Kecuali Kebaikan (Hadis
Kitab Musnad Ahmad No. Indeks 19328), (Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018), 2.
65
BAB V
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sayyid Quthb dan Quraish Shihab merupakan ulama yang lahir dari zaman yang
terpaut tidak terlalu jauh. Sayyid Quthb lahir pada tahun 1906 sedangkan M.
Quraish Shihab lahir pada tahun 1944. Oleh karena mereka hidup di zaman
yang tidak terpaut jauh menjadikan pemikirannya tidak banyak perbedaan.
Sayyid Quthb dan Quraish Shihab hampir memiliki pola penafsiran yang sama
baik dari segi metode dan corak, yaitu metode. Mereka sama-sama
menggunakan pendekatan sosial atau ‘adabiy ‘ijtimai. M.Quraish Shihab pun
dalam tafsirnya banyak menyadu pendapat Sayyid Quthb.
b. Berdasarkan research dari berbagai literatur yang penulis dapatkan, dapat
disimpulkan bahwa syari’at Islam tidak melarang secara mutlak untuk
perempuan keluar rumah. Akan tetapi, saat perempuan keluar rumah harus
memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam, yaitu :
1) menutup aurat, 2) tidak bertabarruj, 3) meminta isin suami (bagi yang sudah
bersuami), 4) menundukkan pandangan, 5) menghiasi diri dengan rasa malu.
Selain itu, adanya peran perempuan di luar rumah, seperti bekerja atau berkarir
tidak boleh membuatnya mengabaikan rumah tangganya. Rumah tangga dan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di dalam rumah adalah kewajiban dan prioritas
utama bagi perempuan.
c. Pada penafsiran Sayyid Quthb mengenai perempuan keluar rumah adalah hal
yang mubah. Pernyataan ayat yang memerintahkan hendaklah perempuan tetap
tinggal di rumah mereka, bukan berarti mereka harus tinggal dan menetap
selamanya dirumah sehingga tidak keluar sama sekali. Tetapi, yang dimaksud
adalah isyarat bahwa rumah mereka adalah fondasi pokok dan utama bagi
65
66
kehidupan mereka. Rumah merekalah yang menjadi tempat utama dan primer
dari kehidupan mereka. Sedangkan, yang selain daripada itu adalah sekunder,
dimana mereka seharusnya tidak merasa berat berpisah dan harus menetap di
dalamnya. Tempat-tempat sekunder itu hanyalah tempat memenuhi kebutuhan
sesuai dengan kadarnya dan waktu dibutuhkannya. Menurutnya keluarnya
wanita dari rumah untuk bekerja merupakan bencana yang hanya di
perbolehkan bila kondisi darurat terjadi. Sedangkan, keluarnya wanita bukan
karena mengejar karir dan berkerja, yaitu keluar untuk bercampur baur dengan
lelaki, bersenang-senang, bersenda gurau, dan beranjangsana dalam klub-klub
dan perkumpulan-perkumpulan, itulah kubangan dalam lumpur hitam yang
menjerumuskan kedalam kehidupan binatang. Sedangkan pada Tafsir Al-
Misbah, Quraish Shihab tidak menyebut atau menjelaskan secara gamblang
mengenai hukum perempuan keluar rumah atau bekerja di luar rumah, akan
tetapi Quraish Shihab banyak menyadur pendapat para mufassir dari berbagai
generasi. Mayoritas pendapat mufassir yang ia kutip adalah bahwa Islam tidak
melarang perempuan keluar rumah. Akan tetapi jangan sampai pekerjaan di luar
rumah membuatnya mengabaikan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam
rumah, karena rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu
adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.
B. Rekomendasi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti merekomendasikan
hendaklah perempuan-perempuan muslimah yang ingin keluar rumah
memperhatikan adab-adab yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Jangan
sampai sebagai perempuan muslimah kehilangan jati diri dan identitas sebagai
muslimah. Selain itu jika ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka
keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara
rasa malu.
67
adapun bagi perempuan yang telah berumah tangga, hendaklah
mendahulukan kewajiban terhadap rumah tangga dibanding kegiatan di luar
rumah. Karena rumah tangga merupakan prioritas utama dan tugas pokok,
sedangkan yang di luar itu adalah tugas sekunder. Selain itu Masalahnya bukan
terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah
bahwa islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk
pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau
atas dasar kebutuhan perempuan tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja
karena tidak ada yang membiayai hidupnya atau karena yang menanggung
hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bashar, Akbar HS. 2016. Gadd (Menahan Pandangan) Dalam Perspektif Al-
Qur’an (Kajian Tahlili Terhadap QS Al-Nuur / 24: 30 dan 31). Skripsi. UIN
Alauddin. Makassar
Al-Hasyimi, Muhammad Ali. 1997. Jati Diri Wanita Muslimah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar
Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Fadullah, Mahdi. 1991. Titik Temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid
Quthb). Solo: CV. Ramadhani
Fatimah, Titin. 2015. Wanita Karir dalam Islam. MUSAWA. 7(1), 42
Ghafir, Abd. 2016. Sekilas Mengenal At-Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i, Al-Aḥkām, I,
No.1, 27.
Hanafi, Nur. 2010. Hak Keluar Rumah bagi Wanita Menurut Surat Al-Ahzab Ayat 33
(Studi Instinbath Hukum Ibnu Katsir dan At-Thabathaba’i), Skripsi. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga
Hanapi, Agustin. 2015. Peran Perempuan Dalam Islam. Gender Equality:
Internasional Journal of Child and Gender Studies 1(1), 17
Harun, Mariatul Qibtiyah. 2018. Rethinking Peran Perempuan, Feminisme Dalam
Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah,
Peranan Perempuan Dalam Rumah Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat
34 (Studi Komparasi Tafsir Al-Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi
Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn Kathir). Tesis. Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel. Surabaya
https://bincangsyariah.com/kalam/dalil-berbuat-baik-kepada-tetangga-dalam-al-
quran-dan-hadis/
https://dalamislam.com/info-islami/peran-wanita-dalam-islam
https://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/13/09/30/mtxb47-wanita-karier-
dalam-pandangan-islam, diakses pada tanggal 11 Desember 2020
69
Ilyas, Yunahar Feminisme. 2018. Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik Dan
Kontemporer, Dalam Nurul Ilmah Nafi’ah, Peranan Perempuan Dalam Rumah
Tangga Menurut Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ Ayat 34 (Studi Komparasi Tafsir Al-
Sya’rawi Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi Dan Tafsir Ibn Kathir Karya Ibn
Kathir). Tesis. Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya
Iqbal, Muhammad. 2010. Metode Penafsiran A-Qur’an M. Quraish Shihab. Jurnal
Tsaqafah. 6(2), 249
Juwita, Dwi Runjani. 2018. Pandangan Hukum Islam Terhadap Wanita Karir, (El-
Wasathiya. Jurnal Studi Agama. 6(2), 176
Lutfiani, Naili Fauziah. 2017. Hak-hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33:
Sebuah Pendekatan Hermeneutik. Jurnal eL-Tarbawi. X, 2 (64)
Nisa, Elvi Lathifatun. 2017. Wanita Karier Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Mishbāh. Skripsi. IAIN Tulungagung.
Noor, Sofia Retnowati. 2015. Tinjauan Psikologis Peran Perempuan dalam Keluarga
Islami, dalam Andi Bahri S, Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran
Sosial Dan Peran Rumah Tangga). Jurnal Al-Maiyyah. 8(2), 189
Nurliana. Wanita Karir Menurut Hukum Islam
Quthb, Sayyid Quthb. 2016. Biografi Sayyid Quthb. Yogyakarta: Pro-U Media
Quthb, Sayyid. 2003. Fi Zhilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Quran. Jakarta: Anggota IKAPI
Quthb, Sayyid. 2016. Biografi Sayyid Quthb.Yogyakarta: Pro-U Media
Retoliah. 2015. Perempuan Dalam Manajemen Keluarga Sakinah. MUSAWA. 7(1),
7
Rokim, Syaeful, Mengenal Metode Tafsir Tahlili.
S, Andi Bahri. 2015. Perempuan Dalam Islam (Mensinerjikan Antara Peran Sosial
Dan Peran Rumah Tangga). Jurnal Al-Maiyyah. 8(2), 190
Salim, Abdul Malik Kamal Bin As-Sayyid. 2010. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta
Timur: Gria Ilmu
Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan
70
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka
Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama AlQur‟an).
Bandung: PT. Mizan Pustaka
Shihab, M.Quraish. 2016. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Pt.Lantera Hati
Solichah, Maratus. 2018. Malu Tidak Akan Mendatangkan Sesuatu Kecuali Kebaikan
(Hadis Kitab Musnad Ahmad No. Indeks 19328) Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel
Tim Penyusun. 2009. Kedudukan dan Peran Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Walidain, Abdul 'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Birrul. (Berbakti Kepada Kedua
Orang Tua). https://republika.co.id/berita/qjdixq366/cara-bersikap-kepada-orang-tua-
nonmuslim. Diakses pada tanggal 20 November 2020.
Wartini, Atik. 2013. Tafsir Feminim M. Quraish Shihab, Telaah Ayat-Ayat Gender
dalam Tafsir Al-Misbah. Jurnal Palastren. 478-482
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Semarang: Karya Toha
Zulkarnaen, M. Rifqy. 2006. Mukjizat Alquran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
71
CURICULUM VITAE
Informasi Diri
Mela Anggraini dilahirkan di desa Berembang Kecamatan Sekernan,
Kabupaten Muaro Jambi, pada 02 Sepetembar 1998 Putri dari Siamad (Alm) dan
Salama.
Riwayat Pendidikan
Mela Anggraini memperoleh Sarjana Agama dari Universitas Islam Negeri
Sultan Thaha Saifuddin Jambi pada 2020, ijazah Madrasah Aliyah Swasta (MAS)
diperolehnya pada 2016, Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2013 dan dia
memperoleh ijazah Sekolah Dasar (SD) pada 2010.
Riwayat Organisasi
Mela mempunyai pengalaman organisasi baik di kampus maupun di luar
kampus. LDK Al-Uswah merupakan organisasi yang di pilih selama berada di
kampus. Sedangkan organisasi di luar yaitu Badan Komunikasi Pemuda Remaja
Masjid Indonesia (BKPRMI) Muaro Jambi.