Post on 16-Oct-2021
Tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin Turki | Dr. Abdul Fattah Muhammad Al-Hilwu
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 1 of 1195
A. Muqaddimah
Bismillahirrahmanirrahim
Asy-Syaikh al-Imam al-‘Amil Syaikh al-Islam Qudwah al-Anam,
Majmu’ al- Fadhaail, Muwaffiq ad-Din Abu Muhammad
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy,
semoga Allah mensucikan ruhnya dan menerangi kuburnya,
beliau berkata :
Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan sekalian makhluk,
mengampuni semua dosa, mengetahui segala yang tersembunyi,
menyingkap semua perasaan dan keinginan di hati. Ia meliputi
segala sesuatu dalam ilmu-Nya, ia menyebarkan rahmat dan kasih
sayang-Nya untuk semesta, dan menaklukkan seluruh ciptaan-
Nya dalam keagungan dan kemaha bijaksanaan-Nya.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 2 of 1195
ما لم يع ي بي م خل وما ديهم أ ون ول فه يط 1 ماعل ۦبه ي
“Dia (Allah) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan
apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi
ilmu-Nya”.
Dia tidak tampak oleh pandangan mata, tidak berubah
karena pergantian masa, dan tidak menimbulkan keraguan dalam
fikiran.
ل مل ت ما لم يع لل ٱ نثى ك ٱ تغيض وما أ
داد تز وما حام ر ل
ل 2 دار بمق ۥعنده ء ش وك
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan,
dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan
segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”
Dia menyempurnakan dan bijak dalam penciptaannya,
menciptakan manusia kemudian mengajarkannya, mengangkat
derajat dan memuliakan yang berilmu, mencegah manusia dari
hal-hal yang dilarang dan diharamkan. Dengan ilmu, Allah
1 Surat Thaha: 110 2 Surat ar-Ra’du: 8
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 3 of 1195
mengistimewakan manusia sebagai makhluk yang dimuliakannya.
Ia mengistimewakan sekelompok hamba-Nya yang mencari ilmu
untuk mendalami agama (tafaqquh fiddin)
فح فج غم غج عمعج ظم طح ضم ضخ ضح ٱ
لج كم كل كخ كح كج قم قح فم فخ
١٢٢التوبة: له لم لخ لح
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”3 Mereka diutus untuk memberikan peringatan kepada
kaumnya sebagaimana yang diperintahkan kepada para
pengemban risah-Nya, mereka dikaruniai warisan para nabi dan
meridhai mereka untuk menyampaikan hujjahNya, sebagai wakil
dalam menyampaikan syariat-Nya. Ia memilih diantara hamba-
Nya sebagai golongan orang-orang yang takut kepada-Nya.
3 Surat at-Taubah: 122
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 4 of 1195
لدوا ٱو لناس ٱ ومن ٱو ب ل تلف م م عى ن ل
ى أ إنما لك كذى ۥن ه و
لم ل ٱ عباده من لل ٱ ش ي ا ع ور عزيز لل ٱ إن ؤ 4 غف
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya
(dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun”
Kemudian Allah menyuruh manusia untuk bertanya
kepada mereka dan merujuk kepada pendapat mereka, dan
menjadikan wafatnya para ulama dan diangkatnya orang-orang
jahil sebagai pemimpin sebagai tanda kebinasaan dan kesesatan
mereka. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بض ل الل إن بض ولكن الناس من ان تاع ال عل م يق يق
لماء بقب ض ال عل م الناس اتذ علم يب ق لم إذا حت ال ع
ؤساء هال ر ئل وا ج ف تو ا فس فأ ضللوا فضللوا م عل بغي
وأ
4 Surat Fathir: 28
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 5 of 1195
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mengambilnya
dari umat manusia, tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para
ulama. Sehingga disaat tidak tersisa lagi seorang ‘alim pun maka manusia
mengangkat pemuka-pemuka yang bodoh, mereka bertanya kepadanya dan
mereka menjawab dengan fatwa tanpa ilmu, maka mereka menjadi sesat
dan menyesatkan.”5
Shalawat untuk nabi penutup, pemimpin orang-orang
suci, imam para ulama, manusia paling mulia yang berjalan di
kolong langit ini, Muhammad Nabi yang membawa rahmat,
penyeru kepada jalan Tuhannya dengan penuh hikmah, dengan
risalah-Nya ia menyingkap tabir kegelapan, dan ialah sebaik-baik
nabi yang diutus kepada sebaik-baik umat, Allah mengutusnya
sebagai penyampai kabar gembira dan peringatan
اجا نه بإذ الل إل وداعيا نيا وس م
5 Diriwayatkan oleh al-Bukhari: Bab Kayfa Yaqbidhu al-‘Ilmu, Kitab al-‘Ilm, dan Bab Maa Yadzkuru min Dzammi ar-Ra’yi, Kitab al-I’tisham, Shahih al-Bukhari 1/36, 9/123, dan Muslim: Bab Raf’u al-‘Ilmi wa Qabdhihi, Kitab al-‘Ilmu, Shahih Muslim 3/2058, 2059. At-Tirmidzi: Bab Ma Jaa-a fi Dzihaabi al-‘Ilmi, dalam Bab-bab ‘Ilm, ‘Aridhah al-Ahwadzi 10/120, Ibnu Majah: Bab Ijtinab ar-Ra’yi wa al-Qiyaas, dalam Muqaddimah. Sunan Ibnu Majah 1/20. Ad-Darimi: Bab Dzihaab al-‘Ilmi, dalam Muqaddimah, Sunan ad-Darimi: 1/77. Imam Ahmad: Musnad 2/162, 190, 203.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 6 of 1195
“Dia menyeru kepada Allah dengan izin-Nya6 dan dialah cahaya
yang menerangi7).
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallama tasliiman
katsiira.”
Amma ba’du. Sesungguhnya Allah dengan rahmat yang
tak terhingga dan kekuasaan yang tak terbatas menjamin
keberadaan sekelompok umat yang berada di jalan kebenaran
hingga datang hari kiamat bahwa tidak akan memberikan
mudharat siapa yang menghalanginya. Allah menjadikan
keberadaan umat karena keberadaan ulama mereka, dan ketaatan
mereka dalam mengikuti para imam dan fuqaha’. Keberadaan
umat ini disertai dengan para ulamanya, seperti umat terdahulu
dengan para nabi-nabinya. Di setiap generasi fuqaha’ ada pemuka
yang diteladani dan dipedomani pendapatnya. Untuk generasi
terdahulu dijadikan tokoh-tokoh keilmuan yang memaparkan
kaidah-kaidah Islam, menjelaskan persoalan-persoalan hukum.
Kesepakatan pandangan mereka menjadi dalil yang kuat, dan
perbedaan mereka adalah rahmat yang luas. Hati akan hidup
dengan menelusuri sejarah mereka, kebahagiaan akan terwujud
dengan mengikuti jejaknya. Dari kalangan ulama itu ada yang
tinggi tingkat kemampuan dan kepakarannya, ia meninggalkan
6 Tidak ada di kitab asli 7 Surat al-Ahzab, 36
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 7 of 1195
berbagai macam madzhab, pendapatnya dijadikan sebagai rujukan
hukum, bahkan banyak fuqaha’ yang berfatwa berdasarkan
madzhab-madzhab itu.
Imam Abdullah Muhammad bin Hanbal radhiyallaahu
‘anhu adalah salah satu ulama yang paling utama, sangat dekat
kepada Allah dan mengetahui serta mengikuti sunnah Rasulullah,
ia juga sangat zuhud terhadap dunia dan senantiasa taat kepada
Allah. Oleh karena itu kami memilih madzhabnya.
Saya tertarik untuk memilih dan menjelaskan madzhab
imam Ahmad yang juga diikuti oleh banyak orang. Saya akan
menjelaskan berbagai masalah baik yang diselisihi maupun yang
disepakati ulama, dan saya akan menyebutkan ulama yang
mengikuti madzhab imam Ahmad ini sebagai tabarruk8 terhadap
mereka sekaligus pengenalan terhadap madzhab-madzhabnya.
Saya juga menunjukkan dalil yang mendasari pendapat mereka
8 Beliau menggunakan ungkapan tabarruk disini bukan makna sesungguhnya, beliau tidak membolehkan tabarruk dengan orang-orang shaleh, karena para sahabat tidak melakukannya selain kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya, tidak pula kepada Abu Bakr ataupun sahabat lain. Demikian pula halnya dengan tabi’in, mereka tidak melakukan itu (tabarruk) sementara itu mereka adalah pemuka dalam bidang ilmu dan agama. Adapun Nabi Shallallaahu ‘alaiihi wa sallam mempunyai keistimewaan pada dirinya sendiri, tidak seorang pun yang menyertainya dalam hal itu, maka tidak dibolehkan mengqiyaskan (menyamakan) salah satu dari para ulama/imam terhadap keistimewaan ini (tabarruk), ini jika mereka masih hidup, apalagi jika telah wafat. Suatu perkara jika berlebihan maka secara mutlak tidak dibolehkan.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 8 of 1195
dengan singkat dan terbatas pada persoalam yang dipilih,
kemudian jika memungkinkan saya melacak sejarahnya dari buku-
buku para pakar sejarah untuk membuktikan ketsiqqahan dalilnya,
mengidentifikasi antara yang shahih dan yang cacat sehingga
dapat diyakini kebenarannya, terhindar dari kekeliruan.
Kemudian saya menyusun dalam syarah mukhtashar
(penjelasan ringkas) Abi al-Qasim ‘Umar bin al-Husain bin
‘Abdullah al Khiraqi, rahimahullaah (ini merupakan kitab yang
penuh berkah dan manfaat) sebuah ringkasan yang singkat dan
lengkap. Pengarangnya adalah imam besar, yang shalih dan
paham agama, seorang laki-laki yang wara’, yang pada dirinya
terhimpun ilmu dan amal. Kami bertabarruk 9dengan kitabnya
dengan membuat syarah yang tersusun dalam pembahasan dan
bab. Setiap masalah diawali dengan penjelasan dan pemaparan
yang mengacu kepada manthuq (teks), mafhum (konteks) dan
madhmun (kandungan), kemudian menyertai dengan hal-hal
terkait yang tidak tercantum dalam kitab ini. Sehingga setiap
masalah seperti penjelasan bab.
9 Ini hanyalah ungkapan mubaalaghah (hiperbola) beliau, karena tidak ada kitab yang diyaniki ada keberkahan padanya selain kitab Allah ‘Azza wa Jalla (al-Qur`an), Allah berfirman (Inilah kitab yang kami turukan sebagai berkah), Surat al-An’am, 92, karena ia terpelihara dari kesalahan, adapun kitab selain al-Qur`an terdapat kesalahan di dalamnya. Wallaahu ‘alam
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 9 of 1195
Kepada Allah saya berpegang teguh dan memohon
pertolongan atas apa yang saya kehendaki, saya berserah diri
kepada-Nya atas apa yang saya pegang. Hanya kepada-Nya saya
meminta agar Allah memberikan taufik dan menjadikan usaha ini
sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan rahmat-
Nya. Wabillahi taufiq.
Abu al Qasim ‘Umar bin al-Husain bin ‘Abdullah bin
Ahmad al-Khiraqiy, semoga Allah merahmati:
Al Qadhi Imam Abu Ya’la10 rahimahullaah,11 berkata: Al-
Khiraqi adalah seorang ulama kenamaaan, ahli dalam madzhab
Abi ‘Abdullah, seorang yang taat beragama dan wara’.
Al Qadhi Abu al-Husain12 berkata: Al-Khiraqi memiliki
banyak hasil karya dalam madzhab, sebagian besar karyanya
belum tersebar kecuali kitab “al-Mukhtashar” dalam bidang fiqh,
karena ia keluar dari madinah as-Salam ketika terjadi di kota itu
fenomena penistaan terhadap sahabat, ia menitipkan kitab-
10 Beliau adalah Abu Ya’la Muhammad bin al Husain bin Muhammad, bin al-Farra’, al-Hanbal, salah satu ulama di zamannya dalam ushuul dan furuu’, wafat pada tahun 458. Biografinya disebutkan oleh anaknya pada Thabaqaat al-Hanaabilah 2/193-230 11 Tidak dinukilkan Ibnu Abi Ya’la, dalam Thabaqaat 2/57-118 12 Muhammad bin Muhammad bin al-husain bin Muhammad bin Khalaf al-Faraa’, Ibnu Abi Ya’la. Dalam Thabaqaat al-Hanaabilah 2/75
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 10 of 1195
kitabnya di rumah Sulaiman, namun rumah dan juga buku-buku
itu terbakar.
Ia membacakan kitabnya kepada Abi Bakr al-Marudzi13,
dan Harb al-Kirmani14, Shalih dan Abdullah bin Ahmad15, ia juga
bersahabar dengan Abi Bakr al Marudzi.
Abi al-Qasim al-Khiraqi juga mendengar bacaan sebagian
ulama madzhab terhadap kitabnya, diantaranya yaitu Abu
13 Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaaj al-Maruudzi, salah satu sahabat Imam Ahmad, beliau yang menutupkan kelopak mata dan memandikan ketika imam Ahmad wafat, beliau wafat pada tahun 275. Thabaqaat al-Hanaabilah 1/56-63, al-‘Ibru 2/54 14 Abu Muhammad Harb bin Ismaa’il bin Khalaf al-Hanzhali al-Kirmaani, seorang lelaki yang mulia, beliau menuliskan berbagai pokok permasalahan yang ia dengar langsung dari Imam Ahmad, beliau hidup pada abad ketiga. Thabaqaat al-Hanaabilah 1/145, 146 15 Abu al-Fadhl Shaalih bin al-Imaam Ahmad, beliau adalah putra sulungnya , seorang dermawan, mendengar dari ayahnya berbagai pokok persoalan dan pernah menjabat sebagai Qadhi. Lahir pada tahun 203, dan wafat pada tahun 266. Thabawaat al-Hanaabilah 1/173-176. Adapun Abdurrahman Abdullaah, lahir pada tahun 213, seorang yang shaleh, jujur , dan pemalu, beliau wafat tahun 290. Thabaqaat al-Hanaabilah 2/139
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 11 of 1195
Abdullah bin Baththah16, Abu al Hasan at-Tamimi17, dan Abu al
Husain bin Sam’un18.
Abu Abdullah bin Baththah mengungkapkan: Abu al
Qasim al Khiraqi wafat pada tahun 334 H dan dimakamkan di
Damaskus. Saya telah menziarahi makamnya.19
Saya juga mendengar kabar tentang penyebab
kematiannya, yaitu ia dihukum karena menentang kemungkaran di
Damaskus.
Selanjutnya Ibnu Qudamah berkata: (Aku mengikhtisar
kitab ini), yakni memendekkannya, menyingkat lafaz-lafaznya dan
meringkasnya. Ikhtisar artinya mengurangi sesuatu, dalam hal
ikhtisar buku adakalanya dengan mengurangi pokok
permasalahannya, dan adakalanya dengan mengurangi lafaznya
16 Abu Abdullaah Ubaidillaah bin Muhammad bin Muhammad al-Abkari, Ibnu Bathathah, beliau banyak menulis kitab Sunnah, selalu memenuhi undangan, beliau wafat pada tahun 387. Thabaqaat al-Hanaabilah 2/144-253, al-‘Ibr 3/53 17 Beliau adalah Abu al-Hasan Abdul Aziiz bin al-Haarits bin Asad at-Tamiimi, lahir pada tahun 317, menyusun kitab tentang Ushuul, Furuu’ dan Faraaidh, beliau wafat pada tahun 371. Thabaqaat al-Hanaabilah 2/139 18 Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Ismaa’il, bin Sam’uun, seorang Syaikh yang zuhud, banyak orang yang membukukan hukum-hukum dan pendapatnya, yang beliau diktekan di majlis-majlis ilmu. Wafat pada tahun 380. Thabaqaat al-Hanaabilah 2/155-162, al-‘Ibru 3/36 19 Ini adalah akhir perkataan Ibnu Baththah, sebagaimana yang terdapat dalam at-Thabaqaat 2/118
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 12 of 1195
dengan tanpa mengurangi makna, hal ini terdapat dalam hadits
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ع طيت ت ص ال كم جوامع أ ديث ل واخ تصارا ال اخ
“Aku telah diberikan jawami’ al Kalim (kalimat yang ringkas dengan
makna yang luas) dan aku diberikan kata-kata dengan ikhtisar”.20 Juga
tentang meringkas jalan, dalam haditsnya: “Jihad adalah jalan
pintas menuju surga”. Ada juga larangan dalam meringkas sujud,
yaitu mengumpulkan ayat sajadah dan membacanya dalam satu
waktu. Ada yang mengatakan maksud ikhtishar dalam sujud yaitu
meninggalkan ayat sajadah dengan tidak membacanya. Adapun
faidah ikhtisar atau meringkas adalah untuk memberikan
kemudahan bagi siapa yang ingin mempelajari dan menghapal
sebuah kitab. Sesungguhnya kalimat diringkas untuk dihapal dan
dipaparkan dengan panjang untuk dipahami.
Ibnu Qudamah, rahimahullaah mengungkapkan tujuannya
dalam meringkas, ia berkata “liyaqruba ‘ala muta’allimihi” artinya
20 Diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni, dalam an-Nawaadir, Sunan ad-Daaruquthni 4/144,145. Al-Bayhaqi: Sya’bu al-Imaan. Al-Jami’ al-Kabiir, as-Suyuthi 1/10, al-Jami’ as-Shaghiir 1/199. Imam Bukhari meriwayatkan dalam: Bab Qaulu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Nashartu Bi Ar-Ru’bi Masiirah Syahr, dalam Kitab Fadhlu al-Jihaad wa as-Sair, dan Bab al-Mafaatih fi al-Yadd, dalam Kitab Ta’biir ar-Ru’ya, dan dalam Bab Qaulu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam: bu’itstu bi jawaami’ al-kalim, Kitab al-I’tishaam. Shahih al-Bukhari 4/65, 9/47, 113
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 13 of 1195
memudahkan bagi orang yang mempelajari, mengurangi kesulitan
dalam memahami.
Ungkapannya (atas madzhab Abi Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, radhiyallaahu ‘anhu), dia adalah Imam21
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Dzuhli
bin Syaiban bin Tsa’labah bin ‘Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakr
bin Wail bin Qasith bin Hinb bin Afsha bin Du’miy bin Jadilah
bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnaan, nasabnya
bertemu dengan nasab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
pada Nizar. Rasulullah termasuk keturunan Mudhar bin Nizar,
dan Ahmad adalah keturunan Rabi’ah bin Nizar.
Abdullah bin Ahmad berkata: Ayahku berkata: Saya lahir
pada tahun 164
Abdullah juga berkata: Ia wafat pada bulan Rabi’ul Akhir,
tahun 241 dalam usia 70 tahun.
21 Lihat: Manaaqib al-Imaam Ahmad, karya Ibnu al-Jauzi, Thabaqaat al-Hanaabilah, karya Ibnu Abi Ya’la 1/4-20, al-Manhaj al-Ahmad, karya ‘Ulaimi 1/5-54, Thabaqaat asy-Syafi’iyyah al-Kubraa 2/27-63, dan referensi lain dalam hasyiyahnya, dan biografi Imam Ahmad dalam kitab Taarikh al-Islaam, karya adz-Dzahabiy, dan Siyar A’laam an-Nubalaa’, 11/177-358
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 14 of 1195
Semasa hamil ibunya tinggal di Marwa, melahirkan di
Baghdad dan wafat di sana setelah menjadi pemimpin kaumnya,
menolong agama Allah.
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam22: Tidak ada di belahan
dunia bagian timur dan barat seperti Ahmad bin Hanbal, tidak
ada seorang pun yang lebih memahami Sunnah melebihi beliau.
Imam Abu ‘Abdillah bin Idris asy-Syafi’I, rahimahullaah wa
ridhwaanahu ‘alaihi: “Ahmad bin Hanbal adalah Imam delapan
cabang ilmu, yaitu; Hadits, Fiqh, al-Qur’an, Bahasa, Fakir, Zuhud,
Wara’ dan Sunnah.
Abdurrahman bin al Mahdi23 pernah berkata ketika Imam
Ahmad masih kecil: “Anak kecil ini sudah menjadi imam sejak ia
masih di dalam rahim ibunya.
Abu ‘Umair24 bin Nahas ar Ramli berkomentar tentang
Ahmad bin Hanbal: “Semoga Allah merahmatinya, tidak ada yang
menandingi beliau, tidak ada yang menyerupainya dari generasi
terdahulu, tidak ada orang-orang shalih yang setara
22 Beliau adalah ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Khuza’I al-Lughawi, penulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu, wafat pada tahun 224. Taarikh al-‘Ulamaa’ an-Nahwiyyiin 197-200, lihat footnotenya. 23 Beliau adalah Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Mahdi al-Bashari al-Lu’lui al-Haafizh, salah seorang ahli hadis di Iraq, wafat pada tahun 198. Siyar A’laam An-Nubalaa,, 9/192-209 24 Nama beliau dalam kitab asli adalah Umar, Manaqib al-Imaam Ahmad,173, nama kecilnya Isa bin Muhammad
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 15 of 1195
dengannya,dan ketika dunia disuguhkan untuknya, beliau tidak
mengacuhkan, ketika bid’ah bermunculan beliau menafikannya25.
Allah telah memilih beliau sebagai pembela agama-Nya dan
penjaga Sunnah-Nya. Allah meridhainya untuk menegakkan
hujjahnya dan menolong lisannya ketika orang-orang
melemahkannya.
Seseorang berkata kepada Basyar bin al-Harits26 ketika
imam Ahmad dihukum: Wahai Abu Nashar, seandainya engkau
telah keluar akankah engkau menyatakan: aku mendukung
pendapat Ahmad bin Hanbal?
Basyar menjawab: Apakah engkau ingin aku menempati
posisi para nabi? Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal telah berada
di tempat para nabi.
‘Ali bin Syu’aib at-Thusi mengatakan: “Ahmad bin
Hanbal bagi kami adalah seorang teladan, sebagaimana yang
disabdakan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
25 Sampai bagian ini selesai penjelasan dalam Siyar A’laam an-Nubalaa’ 26 Beliau adalah Abu Nashar Basyar bin al-Harits al-Marudzi al-Zahid, dikenal dengan julukan Basyar al-Haafi, wafat pada tahun 227. Al-‘Ibr 1/199
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 16 of 1195
مت ف كئن إنه ائيل بن ف كن ما أ ن شار ال م إن حت إس
رق ع ل وضع س مف حدهم رأ
ف ه ما أ ه ين د عن ذلك يص
“Sesunguhnya ada diantara golongan ummatku sebagaimana yang ada pada
Bani Israil, hingga gergaji diletakkan di ubun-ubunnya, maka yang
demikian itu tidak akan menggoyahkan keimanannya.27
Jikalau Ahmad bin Hanbal tidak menempati posisi tersebut,
sungguh ini akan menjadi aib dan cela bagi kita di hari kiamat
kelak, ketika ummat ini ditanya tidak ada seorang pun dari mereka
yang muncul.
Adapun keutamaannya telah diungkapkan para ulama dengan
begitu banyak pujian, tentunya tidak dipaparkan seluruhnya di
sini, dan sejumlah ulama telah menulisnya dalam kitab tersendiri.
Disini kami hanya menunjukkan poin-poin keutamaan beliau saja,
mengungkapkan nasabnya, waktu kelahiran, usia, karena tidak
27 Dalam teks asli tidak ada kalimat “Bani Israil”, yang ada adalah “kalimat umat sebelum kalian”. Diriwayatkan oleh al-Bukhari: Bab Ma Laqiya Nabi wa Ashhaabuhu min al-musyrikiin bi Makkah, Kitab al Manaqib, Shahih al-Bukhari 5/57, 9/26. Muslim: Bab Qisshah Ashaab al-Ukhduud, Kitab az-Zuhd, Shahih Muslim 4/2300. Abu Dawud: Bab Fi al-Asiir Yakrahu ‘ala al-Kufr, Kitab al-Jihad, Sunan Abi Dawud 2/44. At-Tirmidzi: Tafsir Surah al-Buruj, Kitab Tafsir. ‘Aridhah al-Ahwaadzy 12/241. Imam Ahmad dalam Musnad 5/109-111, 6/17, 395.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 17 of 1195
wajar bagi orang-orang yang memegang teguh madzhab Ahmad
bin Hanbal dan mengikuti jalannya tidak mengetahui kemuliaan
pribadi imamnya sendiri.
Kami memohon kepada Allah agar dikumpulkan dengan
beliau di tempat yang penuh kemuliaan, yaitu di surga yang
tertinggi, dan menjadikan karya ini sebagai amal saleh dan ikhlas
karena Allah, serta menjadi jalan untuk mendekat kepada-Nya
dan menggapai ridha-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi
dan Maha Mulia.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 18 of 1195
BAB
BERSUCI DENGAN AIR
Thaharah secara bahasa artinya suci dari kotoran, adapun
secara istilah thaharah adalah mensucikan diri dari hal-hal yang
bisa menghalangi sahnya shalat yaitu hadas atau najis dengan
menggunakan air, atau membersihkan secara hukum dengan
debu/tanah. Secara mutlak lafaz “Thaharah” yang dimaksud oleh
syaari’ atau ulama fiqh adalah makna secara istilah bukan secara
bahasa. Demikian juga halnya semua tema yang dibahas
mempunyai makna secara istilah (syar’i) dan bahasa. Namun pada
umumnya makna yang dimaksud adalah makna syar’i seperti
makna wudhu, shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 19 of 1195
At-Thuhur, dengan huruf tha’ yang berharakat dhammah
adalah bentuk masdar (asal). Ini adalah pendapat al-Yazidi28.
At-Thahur dengan huruf tha’ berharakat fathah –
termasuk ke dalam isim muta’adi, berarti
mensucikan/membersihkan benda lain, seperti kata al-ghasul.
Sebagian golongan Hanafiyyah mengatakan bahwa lafaz
“thaharah” termasuk isim laazim (tidak membutuhkan objek) yang
artinya ath-Thaahir (Pembersih), karena bangsa Arab membedakan
pemakaian antara faa’il dan fa’ul dalam isim muta’adi dan lazim,
jika faa’il adalah isim laazim maka fa’ul pun fi’il lazim, seperti
qaa’id dan qaa’ud, naa’im dan naa’um, dhaarib dan dharuub.
Pendapat ini keliru, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
م 29 رك به ل طه
“Untuk mensucikanmu dengannya.”
Diriwayatkan oleh Jabir radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
28 Abu Muhammad Yahya bin al-Mubaarak al-Yaziidi an-Nahwi al-Lughawi al-Muqri, guru Khalifah al-Ma’mun , wafat pada tahun 202. Taarikh al-‘Ulamaa’ an-Nahwiyyin 113-120 29 Al-Anfaal: 11
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 20 of 1195
ع طيت ن لم خ سا أ ع طه بالرلع ب ن ص ت ; قب ل نبي ي
علت شه ر مسية ر ض ل وج جدا ال ورا مس وطه
“Aku diberikan Allah lima perkara yang belum pernah diberikan kepada
nabi-nabi sebelumku, yaitu: “Aku dimenangkan dengan menggentarkan
musuh-musuhku sejauh sebulan perjalan, bumi dijadikan bagiku sebagai
tempat shalat dan alat bersuci.” (Muttafaq ‘Alaih)30
Jika maksudnya adalah at-thahir (yang bersih) maka tidak ada
keistimewaannya, karena bersuci adalah hak setiap orang. Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang bolehkah
berwudhu’ dengan air laut? Beliau menjawab:
30 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam bab Pertama pada Kitab Tayammum, dan dalam Bab Qaulun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Ju’ilat Li al-Ardha Masjidan wa Thahuuran, pada Kitab as-Shalaah. Shahih a-Bukhaari 1/91, 92, 119. Muslim, dalam Mawaadhi’ as-Shalaah dalam Kitab al-Masaajid. Shahih Muslim 1/270, 271. An-Nasaa’I, dalam Bab at-Tayammum bi as-Sha’iid, pada Kitab al-Ghuslu wa at-Tayammum. Al-Mujtaba min as-Sunan 1/172. Ad-Daarimi, dalam Bab al-Ardhu Kulluha Thahuurun Ma Khalaa al-Maqbarah wa al-Hammaam, pada Kitab as-Shalaah dan bab Al-Ghaniimah Laa Tuhillu li Ahadin Qablina, dari Kitab as-Sair, Sunan Ad-Daariimi 1/322, 323, 2/224. At-Tirmizdi dalam Bab Maa Jaa-a fi al-Ghaniimah, dari Bab as-Sair, ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 7/42. Imam Ahmad dalam al-Musnad 1/98, 301, 351, 2/222, 412, 501, 3/304, 4/416, 5/145, 148, 161, 162, 248, 256.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 21 of 1195
و 31 ور ه ه الطه لل ماؤ مي تت ه ال
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Jika lafaz at-thahur bukan muta’addi maka ia tidak bisa menjadi
jawaban atas pertanyaan kaum tadi, karena tidak semua yang suci
itu mensucikan. Pendapat yang dikemukakan kelompok ini tidak
konsisten, karena orang arab membedakan antara faa’il dan fa’uul.
Ada sebuah ungkapan: Qaa’id digunakan untuk orang yang
duduk, dan qaa’ud adalah orang yang duduk berulang kali.
Semestinya dua hal ini harus dibedakan tidak hanya dari segi
mutaa’di dan lazimnya saja.
1. Abu al-Qasim rahimahullaah berkata:
31 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Bab al-Wudhu’ bi Maa-I al-Bahr, pada Kitab Thahaarah. Sunan Abi Dawud, 1/19. At-Tirmidzi dalam Bab Maa Jaa-a fi al-Bahri Annahu Thahuur, pada Bab Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/88. An-Nasaa-I dalam Bab Maa-u al-Bahr, pada Kitab at-Thahaarah, dan dalam Bab al-Wudhu bi Maa-i al-Bahr, pada Kitab al-Miyaah, dan dalam Bab Maytah al-Bahr, pada Kitab as-Shaid. Al-Mujtaba 1/44, 143, 7/183. Ibnu Maajah dalam Bab al-Wudhuu bi Maa-i al-Bahr, pada Kitab at-Thahaarah dan Bab at-Thaafi min Shaydi al-Bahr, pada Kitab ash-Shayd. Sunan ad-Daarimi 1/186, 2/91. Imam Maalik dalam Bab at-Thahuur li al-Wudhuu, pada Kitab at-Thahaarah, dan dalam Bab Maa Jaa-a fi Shaydi al-Bahr, pada Kitab as-Shayd. Al-Muwaththa’ 1/22, 2/495. Al-Imaam Ahmad, dalam al-Musnad 2/237, 361, 378, 393, 3/373, 5/365.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 22 of 1195
لق الطاهر بال ماء والطهارة ط إل ي ضاف ل الي ال م
م ء اس ش ه اقل ماء مث ل :غي وماء ال ور د وماء ال
مص فران وماء ال بهه وما الزع ش ي زايل ل مما أ
ه م م اس ( وق ت ف ال ماء اس
(Thaharah dengan air suci mutlak yang tidak
digandengkan dengan kata benda lain, seperti: air
tumbuhan, air bunga, air kacang, air kunyit, dan
sebagainya yang tidak memisahkan namanya dengan nama
air)
Beliau mengatakan: at-thaharah adalah mubtada’ (subjek),
khabar (prediketnya) dihapuskan. Maksudnya: at-
thaharah dibolehkan, dilakukan. Alif dan lam adalah
untuk istighraq (cakupan). Dengan kata lain sepertinya
beliau menyatakan bahwa: Seluruh praktek thaharah yang
dibolehkan dengan menggunakan air suci mutlaq; yaitu
yang tidak mengandung najis. Mutlaq artinya sesuatu yang
tidak disandarkan kepada benda yang lain. Inilah maksud
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 23 of 1195
kalimat “tidak disandangkan kepada nama benda lain”.
Beliau menyebutkan sifat dan penjelasan tentang benda
tersebut, kemudian memberikan contoh “air tumbuhan,
air bunga, air kacang, air kunyit, dan sebagainya”.
Beliau mengatakan: “Dari sesuatu/benda yang tidak
memisahkan namanya dengan nama air”, yaitu sifat bagi
benda yang namanya digandengkan dengan air. Al-
Muzayalah: memisahkan. Allah ta’ala berfirman:
وا الين لعذب نا تزيل وا لو م كفر لما عذابا من ه 32أ
“Jikalau mereka memisahkan, sungguh Kami akan
mengazab orang kafir dengan azab yang pedih.”
Abu Thalib33 mengungkapkan:
وا وقد م ر طاوع أ و عد
ز ال ال م لاي
“Dan mereka telah menyetujui perintah musuh pemecah-
belah. Artinya yang memisahkan/mencerai-berai.”
32 Surat al-Fath: 25 33 Paman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihu wa sallam yang bertekad menjaga kehormatan negeri Makkah,ia mempunyai kedudukan di tengah masyarakat dan dicintai oleh pemuka suku Quraisy. As-Siirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyaam 1/272
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 24 of 1195
Artinya tidak disebutkan air saja, melainkan
digandengkan dengan unsur campuran yang ada pada
umumnya. Gambaran ini berfaidah untuk pengecualian
terhadap penyandaran yang terkait dengan tempat dan
waktu, seperti air sungai, air sumur, maka air dalam
kategori ini apabila telah pindah dari tempatnya maka
hilanglah penyandarannya. Demikian juga air yang sedikit
berobah baunya.
Al-Qaadhi34 berkata: Ini merupakan pembatas
bagi yang mengubah bahwa thaharah dengan tanah,
karena beliau juga menjelaskannya dan membedakan
nama masing-masing.
Hukum yang terkandung dalam masalah ini antara
lain:
Bolehnya melakukan thaharah dengan air yang
memiliki sifat sebagaimana yang dijelaskan, sifat disini
artinya sifat air yang sesuai dengan asal mula
penciptaannya, seperti air dingin dan air panas, air tawar
dan air asin, diturunkan dari langit atau memancar dari
permukaan bumi, di laut, sungai, sumur atau kolam. Hal
ini telah ditunjukkan Allah Ta’ala:
34 Beliau adalah Abu Ya’la bin al-Farraa’
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 25 of 1195
ل م وي ن م ماء السماء من علي ك رك به ل طه
“Dan kami turunkan atas kalian air dari langit untuk bersuci
dengannya”.35
Dan firman Allah:
ا ن زلن ور ماء السماء من وأ طه
“Dan kami turunkan dari langit air yang suci”.36
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ور ال ماء ه ل طه س نج ء ي ش
“Air itu suci tidak menodainya sesuatu apapun”.37
35 Surat al-Anfaal: 11 36 Surat al-Furqaan: 48 37 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Bab Maa Jaa-a Fi Bi’r Bidhaa’ah, pada Kitab at-Thahaarah. Sunan Abi Dawud. At-Tirmidzi dalam Bab Maa Jaa-a Anna al-Maa’ Laa Yunajjisuhu Syai’, pada Bab Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/83. An-Nasaa’i dalam al-Baab al-Awwal dan Bab Dzikru Bi’r Bidhaa’ah, pada Kitab al-Miyaah. Al-Mujtaba 1/141, 142. Ibnu Maajah dalam Bab al-Hayaadh, pada Kitab at-Thahaarah, Sunan Ibnu Maajah 1/173, 174. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 1/234, 308, 3/16, 31, 86, 6/172, 330.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 26 of 1195
Hadis Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut:
و ور ه ه الطه لل ماؤ مي تت ه ال
“Suci airnya dan halal bangkainya”.
Inilah pendapat ulama secara umum, kecuali
pendapat lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar
dan Abdullah bin ‘Amru, radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa
mereka berpendapat tentang thaharah dengan air laut:
Tayammum lebih kami sukai daripada hal demikian. Ibnu
‘Amru mengatakan: air laut itu adalah api. Perkataan ini
diceritakan oleh al-Mawardi38 dari Sa’id bin al-
Muasayyab.39
Landasan utama yaitu firman Allah:
وا فلم وا ماء تد فتيمم
38 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi asy-Syaafi’i, seorang imam yang mulia, penulis kitab al-Haawi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, dan al-Ahkaam as-Sulthaniyyah, beliau wafat pada tahun 450. Thabaqaat asy-Syafi’iyyah al-Kubraaa 5/267-285. 39 Abu Muhammad Sa’id bin al-Musayyab bin Hazn al-Makhzuumi al-Madini al-Faqiih, salah seorang ulama yang tersohor, beliau wafat pada tahun 94. Thabaqaat al-Fuqahaa’ karya asy-Syiraazi 57, 58, dan al-‘Ibr 1/110
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 27 of 1195
“Maka jika kalian tidak menemukan air, bertayammumlah”40.
Air laut termasuk air yang dibolehkan, maka tidak boleh beralih
kepada tayammum disaat ada air. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah, ia berkata:
ل ل سأ ول يا :فقال وسلم علي ه الل صل النب رج رس
ر، نر كب إنا الل، ح ال ماء، من ال قليل معنا ون مل ال
نا فإن نا، به توضأ عطش
فنتوضأ
ر بماء أ ح
فقال ؟ ال
ول و :وسلم ه علي الل صل الل رس ور ه ه الطه لل ماؤ ال
مي تت ه
“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami berlayar di laut, dan kami hanya membawa sedikit air, jika
kami berwudhu kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu
40 Surat al-Maaidah: 6
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 28 of 1195
dengan air laut?. Maka Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: air laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Hadis diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasaa’i,
at-Tirmidzi (ia mengatakan: Hadis ini hasan shahih).
Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar, radhiyallaahu ‘anhu,
bahwa beliau berkata: “Siapa yang tidak bersuci dengan air
laut, maka Allah tidak mensucikannya”. Karena air laut
adalah air yang tidak berubah semenjak asal mula
penciptaannya, maka boleh berwudhu dengannya
sebagaimana halnya air tawar.
Pendapat mereka: “Air laut adalah api”. Jika air
laut dimaksud dengan api tentu menyalahi panca indera.
Jika maksudnya air laut bisa menjadi api, maka hal ini
tidak menghalangi penggunaanya untuk berwudhu ketika
berwujud air.
Thaharah dari najis tidak terpenuhi kecuali dengan
apa yang dapat digunakan untuk thaharah dari hadats,
karena hal ini juga termasuk dalam ruang lingkup
thaharah secara umum. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i,
Muhammad bin al-Hasan41 dan Zufar.42
41 Abu Abdullaah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad asy-Syaibaani, teman sejawat Imam Abi Hanifah, beliau menyebarkan ilmunya dan
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 29 of 1195
Abu Hanifah mengatakan: Menghilangkan najis
dibolehkan dengan seluruh zat cair yang suci dapat
menghilangkan zat dan bekas najis itu, seperti cuka, air
bunga dan lainnya. Sebuah riwayat dari Ahmad
menunjukkan hal tersebutt, karena Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
م إناء ف ال ك ب ولغ إذا حدك ا سب ع فل يغ سل ه أ
“Jika anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian maka
basuhlah sebanyak tujuh kali”43.
menulis banyak karya yang bernilai tinggi. Beliau wafat pada tahun 187. Al-Jawaahir al-Madhiyyah 3/122-127. 42 Abu al-Hudzail Zafar bin al-Hudzail bin Qais al-‘Anbaari al-Bashri, teman sejawat Imam Abu Hanifah, seorang Hafizh, Tsiqqah. Beliau wafat pada tahun 158. Al-Jawaahir al-Madhiyyah 2/207-209. 43 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab al-Maa’ alladzi Yughsalu bihi Sya’ru al-Insaan, pda Kitab al-Wudhu. Shahih al-Bukhari 1/45. Muslim dalam Bab Hukmu Wuluughu al-Kalbi, pada Kitab at-Thahaarah. Shahih Muslim 1/234, 235. Abu Dawud dalam Bab al-Wudhuu bi Su’ri al-Kalbi, pada Bab at-Thahaarah. Sunan Abi Dawud, 1/17, 18. At-Tirmidzi dalam Bab Ma Jaa-a fi Su’ri al-Kalbi, pada Bab at-Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/133. An-Nasaa’I dalam Bab Su’r al-Kalbi, dan Bab al-Amru bi Iraqati Ma fi al-inaa-i Idza Wuligha al-Kalbu Fiihi, dan Bab Ta’fiir al-inaa-i alladzi Wuligha Fiihi al-Kalbu bi at-Turaab, pada Kitab at-Thahaarah. Dan dalam Bab Su’r al-Kalb, dan Bab Ta’fiir al-inaa’ bi at-Turaab min Wuluugh al-Kalbi Fiihi, pada Kitab al Miyaah. Al-Mujtaba 1/46, 47, 144, 145. Ibnu Majah dalam Bab Ghusl al-inaa’ min Wuluugh al-Kalb, pada Kitab at-Thahaarah. Sunan Ibnu Majah1/130. Ad-Darimi dalam Bab Fi Wulugh al-Kalb, pada Kitab as-Shalaah dan at-Thahaarah. Sunan ad-Darimi 1/188. Al-Imaam Malik dalam
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 30 of 1195
Yang diperintahkan secara mutlak adalah membasuh,
maka mengaitkannya dengan air membutuhkan dalil.
Karena yang disebutkan di atas adalah zat cair yang suci
dan dapat menghapus/menghilangkan, maka boleh
membersikan najis dengannya sebagaimana halnya air.
Adapun yang tidak dapat menghilangkan najis seperti air
keringat, air susu maka tidak ada perbedaan bahwa ia
tidak dapat menghilangkan najis.
Yang menjadi dalil bagi kami adalah sebuah
riwayat bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada Asma’ binti Abi Bakr44:
صاب إذان ثو ب أ داك ي ضة من الدم إح ال
ه ، ر ص ه ث م فل تق فيه ل صل ث م بماء ، لن ضح
“Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian
hendaklah kamu mengorek darah itu, kemudian bersihkan dengan
Bab Jaami’ al-Wudhu, pada Kitab at-Thahaarah. Al-Muwaththa’ 1/34. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 2/245, 253, 260, 271, 314, 360, 398, 424, 427, 460, 480, 482, 508, 4/86, 5/56. 44 Perkataan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini ditujukan kepada seorang perempuan yang datang untuk bertanya kepada beliau, hadits ini diriwayatkan oleh Asma binti Abi Bakr radhiyallaahu ‘anhuma.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 31 of 1195
air dan setelah itu kamu boleh shalat dengan memakai pakaian
itu”. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari45.
Dan dari Anas, radhiyallaahu ‘anhu:
ن مر وسلم علي ه الل صل النب أ
ماء من بذن وب أ
ه ريق راب بو ل ع فأ ع
ال
“Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘anhu menyuruh
untuk mengambil segentong air dan aku menuangkannya untuk
45 Dalam Bab Ghuslu ad-Dam, pada Kitab al-Wudhu, dan dalam Bab Ghuslu Dam al-Haidh, pada Kitab al-Haidh. Shahih al-Bukhari 1/66, 83. Dikeluarkan juga oleh Muslim dalam Bab Najaasah ad-Dam wa Kaifiyah Ghuslih, pada Kitab at-Thahaarah. Shahih Muslim 1/140. Abu Dawud dalam Bab al-Mar-atu Taghsilu Tsaubaha alladzi Talbisuhu fi Haidhiha, pada Kitab at-Thahaarah. Sunan Abi Dawud 1/87. At-Tirmidzi dalam Bab Maa Jaa-a Fi Ghusli Dam al-Haidh min ats-Tsaub, pada Kitab at-Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwadzi 1/219. An-Nasaa-I dalam Bab Dam al-Haidh Yushiibu ats-Tsaub, pada Kitab at-Thahaarah, dan Bab Dam al-Haidh Yushiibu ats-Tsaub, pada Kitab al-Haidh. Al-Mujabaa 1/126, 127, 160, 161. Ibnu Majah dalam Bab Maa Jaa-a fi ad- Dam al-Haidh Yushiibu ats-Tsaub, pada Kitab at-Thahaarah 1/206. Ad-Darimi, dalam Bab fi ad- Dam al-Haidh Yushiibu ats-Tsaub, pada Kitab as-Shalaah dan at-Thahaarah. Sunan ad-Daarimi 1/197. Al-Imaam Malik dalam Bab Jaami’ al-Haidhah, pada Kitab at-Thahaarah. Al-Muwaththa’ 1/60, 61. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 6/345, 346, 353.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 32 of 1195
membersihkan air kencing seorang lelaki Arab”. Muttafaq
‘alaihi.46
Perintah ini merupakan suatu kewajiban, karena thaharah
disini tujuannya adalah untuk shalat, maka tidak dapat terlaksana
tanpa adanya air, seperti halnya thaharah dari hadats. Secara
mutlak hadis tersebut berkaitan dengan hadits yang menjadi dalil
kami, dan air dikhususkan sebagai alat untuk salah satu dari dua
thaharah, demikian juga untuk yang lainnya.
Pengkhususan thaharah dengan menggunakan air, maka
thaharah tidak terpenuhi hanya dengan cairan/atau yang lainnya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Abu Ubaid dan Yusuf.47
Diriwayatkan dari Ali, radhiyallaahu ‘anhu -tidak terlalu
pasti ini berasal dari beliau- bahwa beliau tidak melihat masalah
46 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab Yuhrriq al-Maa’ ‘ala al-Baul, pada Kitab al-Wudhu, dan dalam Bab Qaulu an-Nabiyyi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Yassiruu wa Laa Tu’assiruu, pada Kitab al-Adab. Shahih al-Bukhari 1/65, 8/37. Muslim dalam Bab Wujuub Ghusli al-Baul wa Ghairihi min an-Najaasaat Idza Hashalat fi al-Masjid, pada Kitab at-Thahaarah. Shahih Muslim 1/236, 237. Sebagaimana halnya yang dikeluarkan Abu Dawud dalam Bab al-Ardhu Yushiibuha al-Baul, pada Kitab at-Thahaarah. Sunan Abi Dawud 1/90, 91. At-Tirmidzi dalam Bab Maa Jaa-a fi al-Baul Yushiibu al-Ardh, pada bab at-Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/243, 344. Al-Imaam Malik dalam Bab Maa Jaa-a fi al-Baul Qaaiman wa Ghairuhu, pada Kitab at-Thahaarah. Al-Muwaththa’ 1/64, 65. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 2/239, 282, 3/110-111, 164. 47 Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Habin al-Anshaari, teman sejawat Imam Abu Hanifah, beliau adalah pimpinan lembaga peradilan pada zamannya. Wafat di Baghdad pada tahun 182. Al-Jawaahir al-Madhiyyah 3/611-613.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 33 of 1195
tentang berwudhu menggunakan minuman anggur. Ini menjadi
landasan pendapat oleh al-Hasan48 dan al-Auza’i49.
Ikrimah50 mengatakan: berwudhu dengan air anggur yaitu
bagi siapa yang tidak memperoleh air.
Ishaq51 mengatakan: Minuman anggur manis lebih saya
sukai daripada tayammum, dan saya juga lebih suka
menggabungkan keduanya.
Dari Abi Hanifah sebagaimana yang diungkapkan
Ikrimah, dikatakan bahwa boleh berwudhu dengan minuman
tamar, apa bila dimasak sampai benar-benar matang, ketika tidak
ada air, sebagaimana riwayat Ibnu Mas’ud bahwa suatu ketika
beliau bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wa sallam di suatu
malam yang amat gelap dan ingin melaksanakan shalat subuh.
48 Abu Sa’id al-Hasan bin Yasaar al-Bashri, seorang yang ‘alim dan ahli ibadah yang taat. Beliau wafat pada tahun 110. Siyar A’laam an-Nubalaa’ 4/563-588. 49 Abu ‘Amru ‘Abdurrahmaan bin ‘Umar bin Yuhmad al-Auzaa’I, imam dan ahli fiqh penduduk Syam, sosok yang zuhud dan penulis yang produktif. Beliau wafat pada tahun 157. Wafayaat al-A’yaan 3/127, 128, al-‘Ibr 1/227 50 Beliau adalah Ikrimah mawla Ibnu ‘Abbas, berasal dari Barbar dan meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya “Pergi dan berfatwalah kepada manusia”. Beliau wafat pada tahun 107. Thabaqaat al-Fuqahaa’ karya asy-Syiraazai:70. 51 Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin Mukhallad at-Tamimi al-Maruuzi, Ibnu Rahawaih. Pada dirinya terhimpun hadis, fiqh, hafizh, jujur, wara’ dan zuhud. Beliau wafat pada tahun 238. Thabaqaat al-Hanaabilah 1/109, Siyar A’laam an-Nubalaa’ 11/358-383.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 34 of 1195
Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mempunyai air wudhu”?,
Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidak, saya hanya memiliki sekantong
minuman anggur”. Kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Buah yang baik dan air yang suci”.52
Allah Ta’ala berfirman:
وا فلم وا ماء تد فتيمم
(Jika kalian tidak mendapatkan air maka
bertayammumlah).53 Nash ini menunjukkan bahwa peralihan
thaharah dengan tanah dilakukan ketika tidak ada air. Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وء الطي ب الصعيد لم وض ع ال ماء يد لم وإن ال م س ش
سني
52 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Bab al-Wudhu bi an-nabiidz, pada kitab al-Wudhu. Sunan Abi Dawud 1/20. At-Tirmidzi dalam bab al-Wudhu min an-Nabiidz, pada bab at-Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/127. Ibnu Majah, dalam Bab al-Wudhu bi an-Nabiidz, pada kitab al-Wudhu. Sunan Ibnu Majah 1/135, 136. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 1/398, 402, 449, 450, 458. 53 Surat al-Maidah: 6
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 35 of 1195
“Tanah yang bersih adalah alat berwudhu’ orang muslim
sekalipun tidak ditemukan air selama sepuluh tahun”.54 Riwayat
Abu Dawud. Karenanya tidak boleh berwudhu dengan tanah
disaat ada air. Adapun benda yang menyerupainya seperti cuka
dan kuah, haditsnya tidak kuat karena salah seorang periwayatnya
yang bernama Abu Zaid majhul (tidak dikenal) di kalangan ulama
hadits, bahkan tidak diketahui hadits lain yang diriwayatkannya
serta tidak dikenal sebagai teman sejawat Abdullah. At-Tirmidzi55
dan Ibnu Mundzir56 mengungkapkan:
وي وقد ع ود ، اب ن عن ر نه مس ئل أ ن ت هل :س مع ك
ول ن ل لة وسلم لي ه ع الل صل الل رس ما :فقال ؟ ال
حد منا معه كن أ
54 Dalam Bab al-Junubu Yatayammamu, pada Kitab at-Thahaarah. Sunan Abi Dawud 1/80. Demikian juga yang dikeluarkan oleh an-Nasaa-I dalam Bab as-Shalawaat bi Tayammum Waahid, pada Kitab at-Thahaarah 1/139. 55 Dalam Bab al-Wudhu min an-Nabiidz, pada Bab at-Thahaarah. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 1/128. 56 Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Naysaaburi asy-Syaafi’I, berdomisili di Makkah. Beliau adalah salah satu ulama tersohor di tengah umat, wafat pada tahun 317, demikian yang diungapkan Abu Ishaaq asy-Syiraadzi, dan adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Muhammad bin Yahya bin ‘Ammaar menemuinya pada tahun 310. Thabawaat asy-Syafi’iyyah al-Kubraa 3/102-108
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 36 of 1195
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau ditanya: “Apakah
engkau bersama Rasulullah pada malam yang ketika itu
diturunkan surat al Jinn? Beliau menjawab: Tidak ada seorang pun
diantara kami bersama beliau.
Hadis riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud, ia berkata:
ن لم ك ول مع أ ، ة ل ل وسلم علي ه الل صل الل رس ن
ال
ن وودد تن ت أ معه ك
(Aku tidak bersama Nabi di malam itu, dan tentunya aku
berharap bersama beliau).57
Adapun cairan selain air anggur tidak termasuk air (untuk
thaharah), seperti cuka, kuah, dan susu. Sejauh yang kami ketahui
tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa tidak boleh
berwudhu dan mandi dengannya, karena Allah Ta’ala telah
menetapkan bahwa thaharah itu dengan air, sebagaimana
firmanNya:
ل م وي ن م ماء السماء من علي ك رك به ل طه
57 Dalam Bab al-Wudhu bi an-Nabiidz, pada kitab al-Wudhu. Sunan abi Dawud 1/20. Demikian juga yang dikeluarkan at-Tirmidzi dalam Tafsir Surah al-Ahqaaf, dalam Bab Tafsiir. ‘Aaridhah al-Ahwaadzi 12/141.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 37 of 1195
(Dan kami turunkan untuk kalian air dari langit untuk
mensucikan).58. Tidak terdapat nama air pada ayat itu.
Air yang digandengkan dengan benda lain tidak dapat dijadikan
untuk thaharah, ini dikelompokkan kepada tiga hal:
Pertama, yang tidak dapat dijadikan untuk thaharah sebagaimana
dalam sebuah riwayat, terdiri atas tiga jenis:
1. Sari pati benda-benda yang bersih, seperti air bunga,
air cengkeh, dan air yang merembes dari pohon yang
ditebang tandanya.
2. Air yang dicampur dengan zat/benda lain sehingga
unsurnya tercampur menjadi celupan, tinta, cuka,
kuah dan sebagainya.
3. Air yang dimasak dengan sesuatu yang bersih, seperti
air mendidih
Semua jenis air tersebut tidak boleh digunakan untuk berwudhu
dan mandi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini kecuali
pendapat yang diceritakan dari Ibnu Abi Laila59 dan al-Ashamm60
58 Dikeluarkan oleh Muslim dalam Bab al-Jahru bi Qiraati Fi as-Shubhi wa Qira’ah ‘ala al-Jinn, dalam Kitab as-Shalah. Shahih Muslim 1/332, 333 59 Surat al-Anfaal: 11 60 Abu ‘Abdurrahmaan Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshaari al-Kuufi, seorang mufti dan qadhi, beliau wafat pada tahun 148. Siyar A’laam an-Nubalaa’ 6/310-316
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 38 of 1195
tentang air yang dijadikan sari pati/diperas, bahwa air ini suci da
dapat mengangkan hadas dan menghilangkan najis.
Abu Bakr bin Mundzir berkata: Terdapat kesepakatan pendapat
ulama yang telah kami himpun bahwa tidak boleh berwudhu
dengan air bunga, air tumbuhan/pepohonan, air kunyit. Tidak
dibolehkan thaharah kecuali dengan air mutlak.
Kedua, Sesuatu yang tercampur dengan air itu yang dapat
merobah salah satu sifatnya yaitu rasa, warna, dan bau, seperti air
sayuran, air kacang dan air kunyit.
Perbedaan pendapat ulama terjadi dalam masalah ini,
sebuah riwayat dari imam kita, rahimahullaah: Tidak terlaksana
thaharah dengannya. Ini pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ishaq.
Al-Qadhi Abu Ya’la berkata: Pendapat tersebut paling shahih.
Dikabarkan dari Ahmad bahwa sebagian sahabatnya
diantara mereka Abu al-Harits61, al-Maymuuni62 dan Ishaq bin
61 Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf al-Asham an-Naysabuuri, seorang muhaddits dan musnid, beliau wafat pada tahun 340. Siyar A’laam an-Nubalaa’ 15/452-460 62 Abu al-Haarits Ahmad bin Muhammad as-Shaani’, beliau banyak meriwayatkan dari Imam Ahmd, yaitu lebih dari sepuluh juz. Thabaqaat al-Hanaabilah 1/74, 75
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 39 of 1195
Manshur63 bahwa boleh berwudhu dengannya. Ini adalah
pendapat mazhab Abu Hanifah. Allah Ta’ala berfirman:
وا فلم وا فتيمم ماء تد
“Jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah.”64
Ini menunjukkan air secara umum, karena merupakan isim
nakirah dalam bentuk nafiy dan nakirah dalam bentuk nafiy
bermakna umum, maka tidak boleh bertayammum selama ada air.
Demikian juga dengan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اب ال ماء تد لم ما ك كفي التل
“Cukuplah tanah bagimu (untuk berwudhu) selama tidak ada
air.”65
Ketika itu tentunya ada air, karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya ketika melakukan safar, biasanya
63 Abu al-Hasan ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Hamid bin Mahraan al-Maymuuni al-Ruqy, beliau adalah seorang imam yang mulia, teman sejawat Imam Ahmad sejak tahun 205 sampai 227. Dari Imam Ahmad beliau meriwayatkan 16 juz masail. Wafat di Naysabur pada tahun 251. Thabaqaat al-Hanaabilah 1/113-115, al-‘Ibr 1/2 64 Surat al-Maidah: 6 65 Hadits Abi Dzar yang dikeluarkan oleh as-Suyuthi dalam al-Jaami’ al-Kabiir 2/641 dengan lafaz yang hampir sama dalam kisah yang panjang dari Abdurrazaaq dan Sa’id bin al-Manshur.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 40 of 1195
membawa air minum dengan kantong kulit, dan biasanya kantong
itu dapat merubah air. Tidak diberitakan bahwa mereka
melakukan tayammum sementara itu air tersedia. Karena air
dalam kantong kulit bercampur dengan sesuatu yang bersih
namun tidak dianggap air yang bisa digunakan untuk thaharah,
karena tidak tergenang d tanah dan tidak mengalir maka air itu
akan berubah oleh lemak.
a. Air itu berubah karena bercampur dengan sesuatu
yang tidak suci sedapat mungkin untuk dihindari,
maka tidak boleh berwudhu dengan air tersebut
sebagaimana halnya air yang sudah dimasak karena ia
telah keluar dari status kemutlakannya.
Ketika permasalahan ini telah ditetapkan, maka
penganut mazhab kami tidak membedakan antara
yang zat berupa serbuk (yang ditaburkan) seperti
kunyit, tumbuhan ushfur, asynan dan sejenisnya dan
biji-bijian, seperti kacang-kacangan serta buah-buahan
seperti kurma kering, kismis dan dedaunan.
Pengikut mazhab asy-Syafi’i berkata: Sesuatu yang
berbentuk serbuk terlarang jika dapat merubah
kondisi air. Selain hal ini tidak dilarang kecuali jika
benda itu larut di dalam air, jika suatu benda baik larut
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 41 of 1195
atau tidak larut merubah kondisi namun tak
mengurangi kesuciannya seperti air kapur barus.
Mazhab kami sepakat tentang kayu kering dan ranting
pohon, namun berbeda tentang benda lain yang telah
kami sebutkan karena perubahan pada air dapat
terjadi karena benda yang terpisah / tidak larut dan
juga yang larut di dalamnya, maka hal ini terlarang,
sebagaimana juga halnya jika air itu dimasak, karena
air telah tercampur dengan benda lain yang bersih
seperti air mendidih.
Ketiga, sesuatu yang disandarkan dengan air, yang dibolehkan
untuk berwudhu. Ada empat jenis:
1. Air yang disandarkan kepada wadah dan tempatnya,
seperti sungai, sumur, dan sejenisnya. Jenis ini tidak
termasuk air yang terlarang, penyandaran ini tidak
mengakibatkan pencampuran. Hal ini tidak diperdebatkan
di kalangan ulama.
2. Sesuatu yang terdapat pada air dan tidak mungkin
dihindari, seperti lumut, spora dan tumbuhan air lainnya,
demikian juga dengan daun kayu yang jatuh ke air atau
diterbangkan angin dan jatuh di tempat itu dan dahan
kayu atau jerami yang hanyut dibawa aliran air, serta
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 42 of 1195
benda yang menetap di dalam air seperti belerang dan
tunggul yang jika mengalir akan merobah keadaan air.
Adapun sesuatu yang telah menetap di dalam air dapat
ditolerir karena sulit untuk menghindarkannya. Akan
tetapi jika yang jatuh kepermukaan air sesuatu yang dapat
dihindari seperti serbuk dan lainnya dihukum sebagai
keadaan yang dapat dihindari.
3. Sesuatu yang memiliki sifat yang sama dengan air yaitu
suci dan mensucikan seperti debu yang tercampur dengan
air maka itu tidak merusak kesuciannya karena tanah juga
termasuk sesuatu yang suci dan mensucikan. Namun jika
ia tanah itu tebal dan tidak mengalir maka tidak boleh
dijadikan untuk thaharah karena ia telah berbentuk tanah
yang keras atau lumpur. Dalam tidak ada perbedaan
antara keadaan yang disengaja atau tidak. Demikian juga
halnya dengan garam yang asal muasalnya adalah dari air
laur. Garam terbentuk dari air laut yang hanyut di tanah
lembab yang asin kemudian menjadi garam, maka ini tidak
mengurangi kesuciannya karena asal muasalnya adalah air
seperti es dan salju. Dan jenis mineral yang asalnya tidak
dari air seperti air pencelup dari kunyit.
4. Sesuatu yang merubah keadaan air karena karena
berdekatan tanpa tercampur, seperti lemak dan segala
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 43 of 1195
jenisnya, dan benda-benda yang bersih seperti minyak,
kapur barus dan wewangian, apabila tidak merusak
kondisi air dan tidak mencair/larut maka tidak merusak
kemutlakkan air tersebut karena hanya berpengaruh
terhadap apa yang ada didekatnya, sama halnya sesuatu
karena dibawa oleh hembusan angin dan jatuh di dekat
air. Kami tidak menemukan perbedan dalam masalah ini.
Perubahan karena unsur minyak adalah berubah karena
pengaruh tetesan, ter dan lilin karena dalam hal ini unsur
minyak merubah benda yang berdekatan dengan air, maka
tidak dilarang.
Air aajin (yang berubah warna dan rasanya), yaitu berubah
karena berada di suatu wajan dalam waktu yang lama
tanpa bercampur dengan apapun. Air seperti ini tetap
dianggap sebagai air mutlak oleh kebanyakan ulama. Ibnu
al-Mundzir berkata: Terdapat kesepakatan dalam sejumlah
pendapat ulama yang kami himpun, bahwa berwudhu
dengan air aajin yang tidak bernajis hukumya boleh. Akan
tetapi pendapat ini tidak disepakati oleh Ibnu Sirin66 yang
66 Abu Bakr Muhammad bin Sirin al-Anshaari al-Bashri, ia seorang yang cerdas, menguasi ilmu Faraidh, Qadha’ dan Hisab. Beliau juga sosok yang
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 44 of 1195
memakruhkannya. Pendapat jumhur lebih utama
berdasarkan sebuah riwayat bahwa Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam berwudhu dengan air sumur67 yang
digenaangi inai, karena ia berubah tanpa pencampuran
maka ini hanya perubahan pada benda yang ada
didekatnya.
Apabila air dikenai oleh benda-benda yang bersih, seperti
air celupan/pewarna dan adonan yang merubah air ketika
membersihkan maka hal ini tidak menghalangi thaharah
karena ia merubah kepada kondisi yang juga bersih, ini
serupa dengan sesuatu yang merubah kondisi air karena
menghilangkan najis yang ada di sekitarnya.
Hal 24-36- Af-N
wara’ dan sastrawan. Wafat pada tahun 110. Siyar A’laam an-Nubalaa’ 4/606-622 67 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab as-Sihr wa Qaulu Ta’ala (walakinna asy-syayaathiina kafaruu yu’allimuuna an-naassa as-sihr), dan dalam Bab Hal Yastakhrij as-Sihr, pada Bab as-Sihr, pada Kitab at-Thibb, dan dalam Bab Qaulu Ta’ala (Innallaaha ya’muru bi al-‘adli wa al-ihsan), pada Kitab al-Adab, dan dalam Bab Takriir ad-Du’aa’, pada Kitab ad-Da’awaat. Shahih al-Bukhari 7/177, 178, 8/23, 103. Muslim, dalam Bab As-Sihr, pada Kitab as-Salaam. Shahih Muslim 4/1720 Ibnu Majah, dalam Bab as-Sihr, pada Kitab at-Thibb. Sunan Ibnu Majah 2/1173. Al-Imaam Ahmad dalam al-Musnad 6/57, 63, 96
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 45 of 1195
2. Adapun hal-hal yang tidak kami sebutkan, yaitu sesuatu
yang tidak merubah rasa, warna dan bau sehingga
digolongkan kepada air yang dapat dipakai untuk
berwudhu.
“Apa yang kami sebutkan”, maksudnya adalah air pada
tumbuhan, kacang-kacangan, bunga, kunyit dan lainnya dari
benda-benda yang dianggap bersih. “sehingga dapat digolongkan
kepada air”, maksudnya disandarkan kepadanya, sebagaimana
yang telah kami ungkapkan. Ungkapkan tersebut lebih banyak
dipakai untuk “bau/aroma” daripada untuk sifat lainnya. Karena
adakalanya aroma ini akibat penyertaan dan adakalanya akibat
percampuran, namun kebanyakan adalah akibat percampuran.
Ibnu ‘Aqil mengatakan: Selain al-Khiraqi, ulama menyamakan
antara aroma, warna dan rasa, karena aroma termasuk sifat dari
air seperti halnya warna dan rasa. Al-Qadhi mengatakan: harus
sama antara aroma, warna dan rasa. Maka jika
dimafkan/diberikan keringanan untuk salah satunya maka yang
lain pun harus diberi keringanan, dan jika tidak
dimafkan/diberikan keringanan untuk salah satunya maka yang
lain pun tidak ada keringanan.
Kami tidak menemukan adanya perbedaan ulama dalam hal
kebolehan berwudhu dengan air yang tercampur dengan benda
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 46 of 1195
yang suci dan tidak merubahnya, kecuali seperti yang disebutkan
Ummu Hani tentang air yang dicelupkan roti ke dalamnya: tidak
dapat digunakan untuk berwudhu68. Mungkin saja ia menemukan
perubahan pada air tersebut.
Ibnu Mundzir menceritakan dari az-Zuhri69 tentang pecahan roti
yang dimasukkan ke dalam air, baik hingga berubah warnanya
ataupun tidak berubah, maka tidak bisa dipakai untuk berwudhu.
Tentunya pendapat jumhur lebih utama, yaitu termasuk benda
yang suci dan tidak mengubah sifat air maka tidak dilarang seperti
benda-benda lain yang juga suci selama tidak mengubahnya. Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan istrinya mandi dari sebuah
baskom yang terdapat disitu bekas adonan roti. Riwayat an-
Nasa’i70, Ibnu Majah71 dan al-Atsram72.
68 Dikeluarkan oleh ad-Daruquthni, dalam: Bab al-Maa’ biila fihi al-Khubz, dari Kitab at-Thaharah. Sunan ad-Daruquthni 1/39 69 Abu Bakr Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah, Ibn Syihab az-Zuhri, al-Imam al-‘Alim, seorang hafizh pada zamannya. Beliau wafat pada tahun 124. Siyar A’lam an-Nubala 5/326-350 70 Bab al-Ightisal fi al-Qash’ah allati yu’janu fiiha, dari Kitab at-Thaharah, dan dalam: Bab al-Ightisal fi al-Qash’ah fiiha Atsaru al-‘Ajiin, dari kitab al-Ghuslu wa at-Tayammum. Al-Mujtaba 1/108, 166 71 Bab ar-Rajulu wa al-Mar’atu Yaghtasilaani min Inaa-in Waahid, dari Kitab at-Thaharah wa Sunaniha. Sunan Ibnu Majah 1/134 Demikian juga yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dalam al-Musnad 6/324 72 Abu Bakr Muhammad bin Hani’ at-Tha’I al-Atsram al-Hafizh al-Imam, banyak meriwayatkan dari Imam Ahmad, menyusn dan menertibkan bab-
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 47 of 1195
Jika terdapat pada air suatu zat cair yang tidak mengubah sifatnya,
ini juga tidak termasuk yang terlarang, karena secara zhahir air
masih tetap pada sifat asalnya, ia dianggap berubah jika secara
jelas/nyata terdapat perubahan. Jika hal ini telah disepakati kami
menganggap demikian pula dengan sifat yang tampak jelas pada
air seperti seorang yang merdeka apabila dituduh berbuat jahat
tanpa bukti, kami mengurusinya seakan-akan ia seorang budak,
maka jika ada keraguan tentang keadaannya menghalangi
keyakinan tentang kesucian air tersebut. Karena suci adalah sifat
asal maka keraguan tidak bisa menghilangkan kesuciannya.
Jika air suci terkena air musta’mal, dimaafkan jika terjadi dalam
ukuran yang sedikit.
Ishaq bin Manshur mengatakan: Aku berkata kepada Ahmad
“Ada seorang laki-laki melaksanakan wudhu”, maka bagaimana
jika tetesan air wudhunya jatuh ke dalam bejana?”, Ahmad
menjawab: Tidak mengapa.
Ibrahim an-Nakh’i73 mengatakan: memang demikian.
babnya, ia wafat setelah tahun 260. Thabaqat al-Hanabilah 1/66-74, al-‘Ibr 2/22 (10-10) 73 Abu ‘Imran Ibrahim bin Yazid bin al-Aswad an-Nakh’i, seorang faqih di Iraq, wafat pada tahun 96. Thabaqat al-Fuqaha, oleh asy-Syirazi 82. Adz-Dzahabi mengatakan: ia wafat pada tahun 95. Al-‘Ibr 1/113
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 48 of 1195
Peristiwa ini juga terjadi pada masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat. Karena mereka pernah berwudhu dari
gelas/dan tempat minum, mandi dari baskom/mangkok. Telah
diriwayatkan bahwa Nabi pernah mandi bersama istrinya
Maimunah dari baskom yang masih terdapat bekas adonan roti,
beliau juga pernah mandi bersama Aisyah dari satu bejana, tangan
mereka bergantian mengambil air, satu sama lain saling berkata
“sisakan untukku”74.
Yang demikian ini tentunya tidak terhindar dari percikan yang
jatuh ke dalam air, jika kadar air yang jatuh itu banyak dan
mencemarinya maka ini terlarang berdasarakan salah satu riwayat.
Ulama dari madzhab as-Syafi’I mengatakan: apabila air musta’mal
itu dalam jumlah yang banyak maka ini dilarang, tetapi jika
dsedikit tidak apa-apa.
74 Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dalam al-Musnad 6/91 Hadis ini juga dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab Hal Yadkhulu al-Junub yadahu fi al-Inaa’, dari Kitab al-Ghusl. Shahih al-Bukhari 1/74. Muslim, dalam Bab al-Qadru al-Mustahab min al-Maa-I fi al-Janabah wa Ghuslu al-Rajul wa al-Mar’ah fi Inaa-I Wahid, dari Kitab al-Haidh. Shahih Muslim 1/256, 257. Abu Dawud, dalam Bab al-Wudhu bi Fadhli al-Mar’ah, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Abu Dawud 1/18. Nasaa’I, dalam Bab ar-Rukhshah fi al-Ightisal bi Fadhli al-Junub, Kitab at-Thaharah. Bab Ightisal ar-Rajul wa al-Mar’ah min Nisaa’ihi min Inaa-in Wahid, Bab ar-Rukhshah fi Dzalik, dari Kitab al-Ghuslu wa at-Tayammum. Al-Mujtaba 1/108, 166. Ibnu Majah dalam Bab ar-Rajulu wa al-Mar’ah yaghtasilaani min Inaa-in Wahid, dari Kitab at-Thahara. Sunan Ibnu Majah 1/133
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 49 of 1195
Ibnu ‘Uqail mengatakan: Jika yang jatuh ke dalam air itu cairan
seperti cuka yang dapat merubah kondisi air maka ini terlarang.
Adapun riwayat yang telah diungkapkan tampak jelas keadaan
Nabi dan para sahabat, tidak tergolongnya cuka dalam masalah ini
disebabkan zatnya yang berupa cairan yang sangat mudah
bereaksi, cepat mengalir dan memberikan pengaruh meskipun
dalam kadar yang sedikit. Hadis di atas menunjukkan keringanan
terhadap kadarnya yang sedikit. Demikian halnya jika merujuk
kepada kebiasaan jika terjadi dalam jumlah yang banyak dan
mencemari ini dilarang jika tidak mencemari tidak mengapa. Jika
masih dikeragui maka air tersebut tetap dalam keadaan suci,
sesuai dengan kondisi asalnya dan rasa ragu tidak mengubah
kondisi aslinya.
Apabila jumlah air tidak mencukupi untuk bersuci kemudian
ditambahkan cairan yang tidak sampai mengubah kondisinya
boleh dipakai untuk berwudhu karena cairan itu bersih dan tidak
mengubah kondisi air, maka ini tidak terlarang. Pendapat Kedua,
tidak boleh. Karena kami meyakini adanya anggota wudhu yang
terbasuh oleh cairan itu. Hanya saja pendapat Pertama lebih kuat
karena dalam kondisi ini ketika sifat cairan itu tidak tampak jelas
pada air maka secara umum tetap dianggap air (suci). Apa yang
telah diungkapkan pada riwayat kedua menjadi batal apabila air
kadarnya sebagian dari jimlah air untuk thaharah maka ia
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 50 of 1195
dicampur dengan cairan lain, setelah itu digunakan untuk
berwudhu dan tersisa sebagian cairan maka hal ini dibolehkan,
selama diketahui bahwa yang telah digunakan untuk berwudhu
sebagiannya adalah air dan sebagian lainnya adalah cairan lain,
demikian pula dengan sisanya karena mustahil air dan cairan itu
terpisah. Wallahu a’lam
Tidak makruh berwudhu dengan air yang dipanaskan dengan
benda yang suci kecuali jika kondisi panas itu menghalangi untuk
berwudhu. Diantara riwayat yang mengisyaratkan berwudhu
dengan air yang dipanaskan ini yaitu Umar dan anaknya, Ibnu
Abbas dan Anas radhiyallahu ‘anhum. Ini adalah pendapat
penduduk Hijaz, Iraq yang bersumber dari Mujahid75. Zaid bin
Aslam radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: Bahwa Umar memiliki
sebuah bejana untuk memanaskan air76, dan diriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiyyallahu ‘anhuma bahwa beliau memasuki
sebuah kamar mandi di daerah Juhfah77, dan Ibnu ‘Aqil
75 Abu al-Hajaj Mujahid bin Jibrin, mawla Bani Makhzum, seorang fuqahaa dari kalangan tabi’in di Makkah, dkenal sebagai pakar tafsir, adz-Dzahabi menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 103. Thabaqat al-Fuqahaa 69, al-‘Ibr 1/125 76 Dikeluarkan oleh ad-Daruquthni dalam Bab al-Maa’ al-Musakhin, dari Kitab at-Thaharah. Sunan ad-Daruquthni 1/37, dan al-Baihaqi dalam Bab Karaahah at-Tathhiir bi al-Maa’ al-Musakhin, dari Kitab at-Thaharah. Sunan al-Kubra 1/6 77 Al-Juhfah: Sebuah negeri yang luas di jalan arah ke Madinah, miqat penduduk Mesir dan Syam. Mu’jam al-Buldan 2/35
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 51 of 1195
menyebutkan sebuah hadits dari Aslagh78 bin Syarik, pembuat
pelana onta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: Saya
berada dalam keadaan junub ketika bersama Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, lalu saya mengumpulkan kayu bakar,
memanaskan air dan mandi dengan air itu. Kemudian saya
menceritakan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
tidak melarang saya79. Karena panas juga termasuk sifat
penciptaan Allah seperti halnya jika air didinginkan.
Tidak makruh bersuci dengan air musyammasy (terkena sinar
matahari).
As-Syafi’i mengatakan: Dimakruhkan thaharah dengan air yang
sengaja dipanaskan dengan matahari dalam sebuah bejana, namun
tidak makruh jika dalam rangka pengobatan, sebagaimana yang
diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan aku sedang
memanaskan air dengan matahari, beliau berkata: Jangan lakukan
ini wahai Humaira’, karena dapat mengakibatkan penyakit kusta.
Inilah dalil yang dipilih oleh Abu al-Hasan at-Tamimi.
78 Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Bab at-Tathhir bi al-Maa’al-Musakhin, dari Kitab at-Thaharah. Sunan al-Kubra 1/5 79Dikeluarkan oleh ad-Daruquthni dalam Bab al-Maa’ al-Musakhin, dari Kitab at-Thaharah. Sunan ad-Daruquthni 1/38, ia berkata: Gharib Jiddan. Al-Baihaqi, dalam Bab Karaahah at-Tathhir bi al-Maa’ al-Musyammasy, dari Kitab at-Thaharah, as-Sunan al-Kubra 1/6
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 52 of 1195
Menurut kami, air yang dipanaskan dengan sesuatu yang suci
seperti air yang ada di kolam dan sungai, dan air yang dipanaskan
dengan api dan yang tidak sengaja memanaskan dengan matahari,
maka kemudharatannya tidak akan berbeda baik disengaja
memanaskan atau tidak. Hadits tersebut tidak kuat, salah seorang
perawinya yaitu Khalid bin Isma’il dinilai matruk al-hadits, dan
Amru80 bin Muhammad al-A’sam dinilai munkar al-hadits. Ad-
Daruquthni mengomentarinya: Tidak benar hadis ini bersumber
dari az-Zuhri, riwayat ini diceritakan dari para tabib dan mereka
tidak mengetahui adanya efek yang berbahaya.
Adapun air yang dipanaskan dengan benda yang termasuk najis,
dalam hal ini ada tiga jenis:
Pertama, apabila terbukti bagian dari najis itu sampai ke air,
maka najis itu akan mengotorinya walaupun sedkit.
Kedua, apabila tidak terbukti bagian dari najis itu sampai ke air
dan pembatasnya tidak tebal, pada dasarnya air itu suci, tetapi
makruh digunakan untuk berwudhu.
As-Syafi’I berkata: Tidak makruh, karena Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam memasuki kamar kecil di juhfah.
80 Lihat Mizan al-I’tidal 3/286
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 53 of 1195
Bagi kami, ini adalah air yang dikeragui statusnya antara suci dan
bernajis dengan adanya sebab, kondisi minimalnya adalah
makruh. Hadits tersebut tidak pasti berasal dari Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, tapi diriwayatkan dari Ibnu Abbas, tidak
dipastikan juga tungku yang dipakai bernajis dan pembatasnya
tidak tebal. Hadis tersebut merupakan sebuah kasus yang tidak
bisa dipakai untuk menafikan kemakruhannya dalam hal ini dan
juga tidak dapat menafikan kemakruhannya secara mutlak.
Ketiga, apabila pembatasnya tebal, Qadhi ‘Iyadh berkata:
Makruh. Abu Ja’far81 dan Ibnu Aqil berpendapat tidak makruh,
karena tidak dikeragui tentang bernajis atau tidak, berbeda dengan
keadaan yang kedua di atas.
Abu al-Khaththab82 menyebutkan tentang makruhnya
memanaskan air dengan benda bernajis pada dua riwayat, secara
umum.
81 Abu Ja’far ‘Abdul Khaliq bin ‘Isa bin Ahmad as-Syarif, nasabnya sampai kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, radhiyallahu ‘anhu, ia lahir pada tahun 411, pakar dalam madzhab, mengajar, berfatwa dan menyusun kitab. Beliau wafat pada tahun 470. Thabaqat al-Hanabilah 2/237-241, al-‘Ibr 3/273, 274 82 Abu al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad bin al-Hasan al-Kaludzani al-Baghdadi, salah seorang imam madzhab al-Hanbali, ia lahir pada tahun 432, ia menyusun kitab terbaik dalam bidang madzhab, ushul dan khilaf. Beliau wafat pada tahun 510. Thabaqat al-Hanabilah 2/258, Dzail Thabaqat al-Hanabilah 1/116-127, al-‘Ibr 3/21
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 54 of 1195
Tidak makruh berwudhu dan mandi dengan air zamzam, karena
ini adalah air yang suci seperti air lainnya. Namun makruh
berdasarkan pendapat Ibnu Abbas: Tidak dibolehkan untuk orang
yang hanya ingin mandi, akan tetapi untuk orang yang sedang
ihram dibolehkan dan membasuh karena dapat menghilangkan
apa yang menghalangi shalat seperti menghilangkan najis.
Pendapat yang Pertama lebih utama, perkataan Ibnu Abbas tidak
menyatakan secara jelas tentang keharamannya, memuliakan
zamzam tidak mengakibatkan kemakruhan untuk
menggunakannya, seperti air yang diletakkan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam di telapak tangannya atau membasuh dengan air
tersebut.
Air tawar dari salju dan air dingin adalah suci karena air ini berasal
dari langit, dan dalam sebuah do’a Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
م ن الله ر وال بد والثل ج بال ماء طه
“Ya Allah sucikan diriku dengan air, salju dan air dingin.”83
83 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab Ma Yaquulu Ba’da at-Takbiir, dari Kitab al-Adzaan, dan Bab at-Ta’awwudz min al-Ma’tsam dan al-Maghram, Bab al-Isti’adzah min Ardzal al-‘Umur, Bab at-Ta’awwudz min Fitnah al-Faqr, dari Kitab ad-Da’awaat. Shahih al-Bukhari 1/189, 8/98, 100.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 55 of 1195
Apabila diambil seonggok salju kemudian diusapkan ke anggota
wudhu tidak dianggap sebagai thaharah karena wajib membasuh,
minimal air itu mengalir ke setiap anggota wudhu kecuali jika
jumlahnya sedikit maka dapat dilelehkan dan dialirkan airnya ke
seluruh anggota wudhu, maka ini termasuk membasuh.
3. Masalah: (Dan janganlah berwudhu’ dengan air yang bekas
wudhu)
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota wudhu seseorang yang
telah membasuh anggota wudhunya. Pendapat madzhab bahwa
Muslim dalam Bab Ma Yaquulu Idza Rafa’ Ra’suhu min ar-Rukuu’, dari Kitab as-Shalah, Bab Maa Yuqaalu bayna Takbiiratul Ihraam wa al-Qiraah, dari Kitab al-Masaajid wa Mawaadhi’ as-Shalah, dan Bab at-Ta’awwudz min Syarri al-Fitan wa Ghairiha, dari Kitab adz-Dzikr. Shahih Muslim 1/346, 347, 419, 4/2078, 2078. Abu Dawud dalam Bab as-Saktah ‘inda al-Iftitaah, dari Kitab as-Shalaah. Sunan Abu Dawud 1/180 At-Tirmidzi dalam Bab ad-Du’aa. ‘Aridhah al-Ahwadzi 13/29. An-Nasaa’I dalam Bab al-Wudhu bi Maa’I as-Tsalji wa al-Bard, dari Kitab at-Thaharah, dari Kitab al-Miyaah, Bab al-Ightisaal bi as-Tsalji wa al-Bard, Bab al-Ightisaal bi as-Tsalji wa al-Bard,, dari Kitab al-Ghuslu wa at-Tayammum, Bab ad-Du’aa bayna at-Takbiir wa al-Qiraah, dari Kitab al-Iftitaah, Bab al-Isti’aadzah min Syarri Fitnah al-Qabr, Bab al-Isti’adzah min Syarri Fitnah al-Ghina, dari Kitab al-Isti’aadzah. Al-Mujtaba 1/45, 46, 244, 263, 2/100, 8/230, 234. Ibnu Majah, dalam Bab Iftitaah al-Shalaah, dari Kitab Iqaamah al-Shalaah, dan Bab Maa Ta’awadza minhu Rasulullah Shalallah ‘alayhi wa sallam, dari Kitab ad-Du’aa. Sunan Ibnu Majah 1/260, 2/1262. Ad-Daarimi dalam Bab Fi as-Saktataini, dari Kitab as-Shalaah. Sunan ad-Daarimi 1/283. Imam Ahmad, dalam al-Musnad 23/231, 493, 4/354, 381, 6/57, 207
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 56 of 1195
memakai air musta’mal untuk mengangkat hadats, hukumnya suci
tapi tidak mensucikan, tidak bisa mengangkat hadats dan
menghilangkan najis. Pendapat ini diungkapkan al-Layts84, al-
Auzaa’I, ulama madzhab Abi Hanifah, salah satu riwayat dari
Malik, dan madzhab as-Syafi’i.
Selain itu dari Ahmad ada riwayat yang lain, bahwa air musta’mal
itu suci lagi mensucikan. Ini adalah pendapat al-Hasan, ‘Atha’85,
an-Nakh’i, az-Zuhriy, Makhul86, pengikut Zhahiriyah.
Diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abi Umamah tentang orang
yang lupa mengusap kepalanya, jika ia mendapatkan janggutnya
masih basah, ia bisa mengusap kepalanya. Yang mendasari
pendapat ini adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Air tidak menyebabkan junub.”87
84 Abu al-Harits al-Layts bin Sa’ad al-Fahmi, Syaikh dari negeri Mesir, Imam yang tsiqqah dan hujjah, wafat pada tahun 175. Wafayaat al-A’yaan 4/127, 128, al-‘Ibr 1/266, 267 85 Abu Muhammad ‘Atha bin Abi Rabaah, fuqaha dari kalangan tabi’in di Makkah, wafat pada tahun 114/115. Thabaqaat al-Fuqahaa’ 69, al-‘Ibr 1/141 86 Abu Abdillah Makhul bin Abdillah al-Hadzali, seorang ahli fiqh dari Syam, terdapat perbedaan informasi tentang tahun wafatnya yaitu antara tahun 112, 113, 114,116, 118. Thabaqaat al-Fuqahaa karya as-Syirazi 75, Wafayaat al-A’yaan 5/280-283, Tadzkirah al-Huffaz, 1/107, 108 87 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Bab al-Maa’ Laa Yujnib, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Abi Dawud 1/17 At-Tirmidzi, dalam Bab ar-Rukhshah fi Fadhli Thahuur al-Mar’ah, dari Bab Thaharah. ‘Aridhah al-Ahwadzi 1/82
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 57 of 1195
“Air tidak mengandung janabah.”
Diriwayatkan juga bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mandi
janabah, kemudian beliau melihat ubun-ubun yang belum terkena
air, kemudian membasahi rambutnya yang tumbuh di bagian
ubun-ubun itu. Ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad88 dan Ibnu
Majah89, karena yang dibasuh dengan air adalah bagian yang
bersih, maka tidak menghilangkan kesuciannya. Seperti pakaian
yang dicuci dengan air karena air itu mengenai tempat yang bersih
tidak akan membatalkan hukum pelaksanaan kewajiban, seerti
pakaian yang digunakan untuk shalat berulang kali.
Abu Yusuf mengatakan: Air tersebut najis. Ini riwayat yang
berasal dari Abi Hanifah, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Ibnu Majah dalam Bab ar-Rukhshah fi Fadhli Thahuur al-Mar’ah, dari Bab Thaharah, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Ibnu Majah 1/132 88 Yang Pertama dalam 6/330, kedua al-Fathu ar-Rabbaani 2/138 89 Bab Man Ightasala min al-Janaabah Fa Baqa fi Jasadihi Lum’ah Lam Yushibha al-Maa’ Kayfa Yashna’, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Ibnu Maajah 1/217
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 58 of 1195
ح يب ولن ل ك أ من فيه يغ تسل ول الدائم، ال ماء ف م د
90جنابة
“Janganlah kalian buang air di air yang tergenang, dan janganlah mandi
junub dengan air itu.”
Maka mandi sama hukumnya dengan buang air karena hal ini
dinamakan dengan thaharah. Dan thaharah tidak ada kecuali
thaharah dari najis, maka membersihkan sesuatu yang sudah
bersih tentu tidak masuk akal.
Bagi kami, terkait dengan persolan thaharah ini, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam apabila beliau berwudhu para sahabat hampir
90 Dalam Bab al-Bawl fi al-Maa’ al-Raakid, dari Kitab at-Thaharah. Shahih Muslim 1/235 Sunan Abu Dawud 1/17 dalam Bab Bab al-Maa’ ad-Daa’im, dari Kitab al-Wudhu, Shahih al-Bukhari 1/69 An-Nasaa’I dalam Bab an-Nahyu ‘an Ightisal al-Junub fi al-Maa’ ad-Daa’im, dan Bab an-Nahyu ‘an al-Bawl fi ar-Rakid wa al-Ightisaal minhu, min Kitab at-Thaharah, dan Bab Dzikru Nahyi al-Junub ‘an al-Ightisaal fi al-Maa’ ad-Daaim, dari Kitab al-Ghaslu wa at-Tayammum. Al-Mujtaba 1/103, 104, 162. Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/433 At-Tirmidzi dalam Bab Karaahiyah al-Bawl fi al-Maa’ al-Raakid, dari Bab at-Thaharah. Al-Mujtaba 1/44
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 59 of 1195
berebut air wudhu. Diriwayatkan oleh al-Bukhari91, Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Jabir dengan air wudhunya
ketika Jabir sedang sakit92, jika air itu dalam keadaan bernajis tidak
mungkin hal ini dibolehkan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat dan istri-istri beliau berwudhu pada gelas,
bejana kecil, dan mangkuk besar. Dengan benda-benda semacam
ini tidak mungkin terhindar dari percikan yang jatuh pada tempat
air yang sedang digunakan, atas dasar ini Ibrahim an-Nakh’I
mengatakan: Semestinya demikian. Jika air musta’mal tergolong
najis maka air yang jatuh ke dalmnya juga najis. Diriwayatkan dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika seorang
wanita membawakan bejana berisi air untuk berwudhu. Wanita itu
berkata: Aku membenamkan tanganku ke dalam bejana ini
sementara aku dalam keadaan junub. Nabi menjawab:
ي نب ل ال ماء
Air tidak menjadikan junub93
91 Dalam Bab Isti’maal Fadhli Wudhu an-Naas, dari Kitab al-Wudhu’, dan Bab as-Syuruuth fi al-Jihaad, dari Kitab as-Syuruuth. Shahih al-Bukhari 1/59, 3/254 Imam Ahmad, dalam al-Musnad 4/329, 330 92 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab Wudhu’ al-‘Aid Li al-Mariidh, dari Kitab al-Mardha. Shahih al-Bukhari 7/15 93 Sebagaimana keterangan sebelumnya
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 60 of 1195
Diriwayatkan Imam Abu ‘Abdullah dalam al-Musnad94: (Air tidak
menjadikan najis), menurut mereka hadas terangkat tanpa niat,
karena air yang suci ketika bertemu dengan benda yang suci maka
air itu tetap suci, seperti air yang digunakan untuk membasuh kain
yang bersih. Dalil bahwa orang yang berhadats itu bersih
berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
ول لقين نا وسلم علي ه الل صل الل رس ، وأ ن ب ج
ت نس ي ن :فقال جئ ت، ث م فاغ تسل ت من ه فان ن ت أ يا ك
باري رة أ ول يا :ق ل ت ؟ ه ن ت :الل رس ن با، ك فكره ت ج
ن جالسك، أ
:ل فقا .جئ ت ث م فاغ تسل ت فذهب ت أ
ب حان لم الل، س س ل ال م س ين ج
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: (Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam menemuiku sedangkan aku berada dalam
keadaan junub, aku bersembunyi dari Nabi, mandi kemudian
94 Dalam 1/337
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 61 of 1195
mendatangi beliau. Beliau berkata: Dimana engkau wahai Abu
Hurairah?, aku menjawab: Ya Rasulullah, aku dalam keadaan
junub karena itu aku tidak mau duduk bersamamu, maka aku
mandi setelah itu mendatangimu. Beliau berkata: Maha Suci Allah,
seorang muslim bukanlah najis. Muttafaq ‘alahi95
Oleh karena itu walaupun ia membenamkan tangannya ke dalam
air maka tidak akan menjadikan najis, atau menyeka sesuatu yang
basah, jika ia menyentuh orang yang sedang shalat tidak akan
membatalkan shalatnya.
Pendapat: Larangan mandi janabah dengan air yang tergenang,
sebagaimana larangan buang air kecil. Adanya persamaan pada
hukum asal bukan pada penjelasannya. Sesungguhnya wudhu dan
mandi dinamakan dengan thaharah karena itu mensucikan diri
95 Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Bab ‘Irqu al-Junub wa Anna al-Muslim La Yanjis, dan Bab al-Junub Yakhruju wa Yamsyi fi as-Suuq wa Ghairihi, Kitab al-Ghasl. Shahih al-Bukhari 1/79, 80 Muslim, dalam Bab ad-Dalil ‘ala Anna al-Muslim La Yanjis, dari Kitab al-Haidh. Shahih Muslim 1/282 Abu Dawud dalam Bab Fi al-Junub Yushaafih, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Abi Dawud 1/52 At-Tirmidzi, dalam Bab Maa Ja’a fi Mushaafahati al-Junub, dari Bab at-Thaharah.’Aridhah al-Ahwadzi 1/184, 185 An-Nasaa’I dalam Bab Mumaasah al-Junub wa Mujaalasatih, dari Kitab at-Thaharah. Al-Mujtaba 1/119. Ibnu Majah, dalam Bab Mushafahatu al-Junub, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Ibnu Majah 1/178 Imam Ahmad, dalam al-Musnad 2/235, 382, 471, 5/384, 402
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 62 of 1195
dari dosa, sebagaimana yang ada pada riwayat yang telah
disebutkan.
Jika ini telah ditetapkan, maka dalil atas ketidaksucian air
tergenang ini sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
(Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air tergenang dan ia
dalam keadaan junub. HR. Muslim96. Larangan mandi sama
seperti larangan buang air, jikalau hadis itu tidak mengandung
larangan maka inipun tidak dilarang, karena air adalah salah satu
alat untuk membersihkan hal-hal penghalang shalat, maka tidak
boleh digunakan untuk thaharah yang lain seperti air musta’mal
digunakan untuk menghilangkan najis.
Semua jenis hadats baik hadats kecil, janabah, haid, nifas,
demikian juga sisa air mandi jenazah. Terdapat perbedaan riwayat
dalam hal sisa air mandi orang dzimmi setelah haid, diriwayatkan
bahwa air ini mensucikan karena dapat menghilangkan
penghalang sahnya shalat, ibarat air yang didinginkan.ada riwayat
lain yang mengatakan bahwa air ini tidak mensucikan, karena
thaharah dari haid menghilangkan penghalang dari hubungan
suami istri.
96 Dalam Bab an-Nahyu ‘an al-Ightisaal fi al-Maa’ al-Raakid, dari Kitab at-Thaharah. Shahih Muslim 1/236
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 63 of 1195
Jika air dipakai untuk thaharah mustahibbah yang bukan wajib,
seperti memperbaharui thaharah, membasuh kali kedua dan
ketiga dalam wudhu, mandi di hari jum’at dan mandi dua hari
raya, dan lainnya. Ada dua pendapat:
Pertama, Air tersebut seperti air musta’mal yang digunakan
untuk menghilangkan hadats, karena termasuk thaharah yang
disyari’atkan seperti mandi janabah.
Kedua, Tidak terlarang, karena tidak meghilangkan penghalang
sahnya shalat, sama seperti menyejukkan badan dengan air itu.
Apabila ini bukan thaharah yang disyari’atkan maka tidak ada
pengaruh menggunakan air ini baik untuk menyejukkan badan
atau mencuci pakaian. Tidak ada perbedaan riwayat tentang air
yang digunakan untuk mendinginkan badan dan membersihkan.
Air tersebut tetap sebagai air mutlak, dan kami tidak menemukan
perbedaan dalam masalah ini.
Adapun air musta’mal yang digunakan dalam rangka ibadah
bukan dalam rangka menghilangkan hadats, seperti mandi dua
hari raya. Jika kami mengatakan: Hal ini tidak wajib dan tidak
berpengaruh terhadap air yang digunakan. Jika kami mengatakan
ini wajib, al-Qadhi mengatakan: Ia suci tetapi tidak mensucikan.
Terkait hal ini Abu al-Khathab memaparkan 2 hal:
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 64 of 1195
Pertama, air tidak lagi bersifat mutlak, karena digunakan untuk
thaharah dalam rangka ibadah, sama seperti yang digunakan
untuk menghilangkan hadats. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
melarang orang yang bangun tidur membenamkan tangannya
yang belum dicuci ke dalam bejana.
Ini menunjukkan adalanya larangan.
Kedua, Air tersebut tetap bersifat mutlak, karena tidak
mengangkat hadats, serupa dengan air yang digunakan untuk
mendinginkan badan. Qiyasnya adalah air musta’mal untuk anak
laki-laki dan dua orang anak perempuan.
Apabila seseorang yang junub atau berhadats membenamkan
tangannya ke air yang jumlahnya kurang dari dua qullah dan
berniat untuk mengangkat hadats maka air itu menjadi musta’mal
dan tidak dapat menghilangkan hadats.
As-Syafi’I mengatakan: Air itu menjadi musta’mal dan hadatsnya
terangkat. Perubahan menjadi musta’mal seiring dengan
terangkatnya hadats.
Kami berpedoman dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam:
م يغ تسل ل ك حد و الدائم ال ماء ف أ ن ب وه ج
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 65 of 1195
Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dengan air yang
tergenang dan ia dalam keadaan junub. HR. Muslim
Pearangan menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang, karena
dengan bagian air yang terpisah setelah mengaliri badannya
menjadi air musta’mal, tidak dapat menghilangkan hadats di
seluruh badan sama halnya jika dipakai orang lain untuk mandi.
Jika air banyaknya dua kullah atau lebih maka hadats menjadi
terangkat dan tidak berpengaruh terhadap air yang tersisa karena
tidak mengandung kotoran.
Apabila bercampur air musta’mal dengan dua kullah air tidak
musta’mal maka seluruhnya menjadi suci, karena jikalau
musta’mal itu bernajis ia akan menjadi suci secara keselurahan.
Apabila tercampur dengan air yang kurang dari dua kullah dan
kadar air musta’mal lebih banyak maka ini terlarang, berdasarkan
hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ال ماء بلغ إذا بث ي مل لم ق لتي ال
Apabila air sampai jumlahnya dua kullah, ia tidak mengandung
najis97
97 Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Bab Ma Yanjisu al-Maa’, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Abi Dawud, 1/15.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 66 of 1195
Jika terjadi percampuran air musta’mal dengan air tidak musta’mal
yang kurang dari dua kullah maka tetap terlarang, namun jika
lebih dari dua kullah ada dua pendapat seperti yang telah
dijelaskan.
4. Masalah; al-Khiraqi berkata,”Jika air tersebut mencapai
sampai dua qullah, yaitu lima qirab (geriba atau tempat air yang
terbuat dari kulit biri-biri), lalu jatuh ke dalamnya najis, namun
tidak didapati pada najis tersebut yang memiliki rasa, warna dan
tidak juga bau, maka air itu adalah suci.”
Qullah adalah al-jarrah yaitu sejenis tempayan atau bejana.
Dinamakan dengan qullah karena dia dibawa dengan kedua
tangan. Di antaranya seperti firman Allah Swt:
قلت إذا حت ... ...ثقال سحابا أ
”...hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung...”(al-A’raf:
57)
At-Tirmidzi, dalam Bab Min Anna al-Maa’ La Yanjisuhu Syai’I dari Bab at-Thaharah. ‘Aridhah al-Ahwadzi 1/58. An-Nasaa’I dalam Bab at-Tawqiit fi al –Maa’, dari Kitab al-Miyaah. Al-Mujtaba 1/42, 142 Ibnu Majah dalam Bab Min Miqdaar al-Maa’ alladzi La Yanjis, dari Kitab at-Thaharah. Sunan Ibnu Majah 1/172. Imam Ahmad, dalam al-Musnad 2/12, 38
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 67 of 1195
Nama ini digunakan untuk tempayan yang besar dan kecil. Yang
dimaksud di sini dengan dua qullah adalah qullah-qullah yang
berasal dari daerah Hajr (sebuah kota di Bahrain), yaitu sebanyak
lima qirab dan setiap qirab standar ukurannya adalah seratus liter
‘Iraq, sehingga dua qullah tersebut ukurannya adalah sebanyak
lima ratus liter ‘Iraq.
Ini merupakan pemahaman zhahir mazhab dari ulama golongan
kami, yaitu mazhab Imam Syafi’i, karena sesungguhnya
diriwayatkan dari Ibn Juraih bahwasanya dia berkata,”saya melihat
qullah-qullah yang berasal dari daerah Hajr dan satu qullah itu
seluas dua qirab atau dua qirab lebih, maka sebagai kehati-hatian
hendaklah menjadikan satu qullah itu sebanyak dua setengah
qirab.”
Diriwayatkan dari al-Atsram dan Isma’il bin Sa’id dari Ahmad
bahwa dua qullah itu adalah sebanyak empat qirab. Ibnu al-
Mundzir meriwayatkannya dari Ahmad dalam kitabnya. Hal yang
demikian juga sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh al-
Jauzajani dengan sanadnya dari Yahya bin ‘Uqail berkata,”saya
melihat qullah-qullah yang berasal dari daerah Hajr, dan saya
mengira satu qullah itu sama dengan dua qirab.” Hal yang seperti
ini juga diriwayatkan dari Ibnu Juraih.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 68 of 1195
Orang-orang yang menggunakan qirab untuk membatasi
banyaknya air sepakat bahwa standar ukuran setiap qirab itu
adalah seratus liter ‘Iraq. Saya tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat di antara mereka dalam hal ini. Semoga mereka
mengambil pendapat yang demikian dari orang-orang yang
memakai qirab yang berasal dari daerah Hijaz dan mengetahui
bahwa itu adalah ukrannya.
Sesungguhnya kami mengkhususkan qullah di sini dengan qullah
yang berasal dari daerah Hajr karena dua hal:
Pertama, sesungguhnya diriwayatkan dalam sebuah hadis oleh al-
Khattabi dalam “Ma’aalim as-Sunan” dengan sanadnya sampai
kepada Ibnu Juraih dari Nabi Saw. secara mursal,”apabila air itu
mencapai dua qullah dengan ukuran qullah-qullah yang berasal dari daerah
Hajr.” Kemudian al-Khattabi menyebutkan hadis tersebut.
Kedua, sesungguhnya qullah-qullah yang berasal dari daerah Hajr
itu lebih besar ukurannya dari pada qullah-qullah yang lain dan juga
merupakan qullah yang paling terkenal pada masa Nabi Saw. al-
Khattabi menyebutkan bahwa dia berkata,”qullah yang berasal dari
daerah Hajr ini merupakan produk yang terkenal dan ukurannya
dapat diketahui dengan jelas yang mana ukuran satu qullah dengan
qullah yang lainnya tidak berbeda dan tidak sama halnya dengan
ukuran sha’-sha’ atau takaran-takaran yang lain. Kemudian, juga
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 69 of 1195
karena batasan ukurannya itu tidak dilakukan dengan
menggunakan takaran yang tidak jelas.”
Abu ‘Ubaid berkata,”yang dimaksud dengan qullah di sini adalah
al-hibab, yaitu sebuah takaran yang sudah terkenal, sehingga
ukuran dua qullah itu pantas digunakan untuknya karena sudah
terkenal dan ukurannya juga besar, karena dalam menghitung
sesuatu seseorang harus menentukan satu takaran tertentu tidak
bisa dicapai kecuali dengan menggunakan takaran yang besar
karena itu menyebabkan mudah untuk diketahui dan akan
menyebabkan bilangan yang dihasilkan lebih sedikit. Dengan
demikian, ukuran nisab zakat dipakai dengan menggunakan awsaq
dan bukan sha’ ataupun mud.”
Masalah ini menunjukkan secara jelas bahwa air yang sudah
mencapai dua qullah dan tidak berubah jika ada sesuatu yang jatuh
ke dalamnya, maka air itu tidak menjadi najis. Pemahamannya
bahwa air yang berubah karena suatu najis, maka air itu tetap
menjadi najis meskipun jumlahnya banyak. Dan air yang
jumlahnya kurang dari dua qullah akan tetap menjadi najis hanya
jika bercampur dengan suatu najis meskipun sifat air tersebut
tidak berubah.
Adapun najis yang menyebabkan berubahnya sifat air karena
suatu najis tersebut, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 70 of 1195
ulama tentangnya. Ibn al-Mundzir berkata,”semua ulama sepakat
bahwa air yang sedikit dan banyak apabila terjatuh ke dalamnya
sesuatu yang bernajis, lalu air tersebut berubah baik berubah
rasanya, warnanya ataupun baunya, maka sesungguhnya air itu
menjadi bernajis selama dalam keadaan yang demikian.”
Diriwayatkan dari Abu ‘Umamah al-Bahiliy bahwa Nabi Saw.
bersabda:
ه ل ال ماء إن س نج ء ي وطع مه ريحه ع غلب ما إل ش
نه 98( ماجه بنا رواه ) .ولو
"Sesungguhnya air tidak bisa menjadi najis karena sesuatu kecuali bila
merubah bau, rasa dan warnanya." (HR. Ibn Majah)
Harb bin Ismail berkata,”Ahmad pernah ditanya tentang air
apabila telah berubah rasanya atau baunya, dia berkata,”jangan
berwudhu’ dengan air tersebut dan jangan juga minum dengan air
itu, meskipun tidak ada hadis dalam hal ini, akan tetapi Allah Swt.
mengharamkan bangkai, apabila bangkai tersebut terdapat dalam
air, lalu rasa atau bau air tersebut berubah, maka yang demikian
98Ibn Majah pada kitab ath-Thahaarah wa Sunanuha bab Hiyaad.
(Sunan Ibn Maajah: 1/184)
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 71 of 1195
sama halnya dengan rasa dan bau bangkai, sehingga air tersebut
tidak halal lagi.” Yang demikian sangatlah jelas.
Al-Khallal berkata,”sesungguhnya perkataan Ahmad tersebut,
tidak ada hadis yang menegaskannya, hal ini disebabkan karena
sesungguhnya hadis ini tentang ini diriwayatkan oleh Sulaiman bin
‘Umar dan Risydin bin sa’ad, dan kedua-duanya itu adalah dha’if.
Sedangkan Ibn Majah meriwayatkannya dari jalur Risydin.”
Adapun jumlah air yang kurang dari dua qullah apabila terjatuh ke
dalamnya sesuatu yang bernajis, lalu air tersebut tidak berubah,
maka pendapat yang masyhur dalam mazhab adalah
sesungguhnya air tersebut bernajis. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar,
Sa’id bin Jabir dan Mujahid. Pendapat ini juga dikatakan oleh
Imam Syafi’i, Ishaq dan Abu ‘Ubaidah.
Ada riwayat lain dari Ahmad bahwa air tersebut tidak dianggap
bernajis kecuali kalau air itu berubah baik jumlahnya sedikit
ataupun banyak. Hal yang seperti itu diriwayatkan dari Huzaifah,
Abu Hurairah dan Ibn ‘Abbas. Mereka berkata,”air itu tidak
menjadi najis.” Hal yang demikian juga diriwayatkan dari Sa’id bin
al-Musayyab, Hasan, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Jabir bin Zaid, Ibn Abi
Laila, Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauriy, Yahya al-Qatthan,
‘Abdurrahman bin Mahdiy dan Ibn al-Mundzir. Dan itu
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 72 of 1195
merupakan pendapat Imam Syafi’i yang didasarkan pada hadis
dari Abu ‘Umamah yang telah kami paparkan.
Abu Sa’id juga meriwayatkan:
ب عن ري سعيد أ ول يا قيل ال ق ال د لل ا رس
نتوضأ
من أ
يض فيها ي ل ق بئ وه ب ضاعة بئ ب ول وم ال ال كل
ول فقال والنت ال ماء إن وسلم علي ه الل صل الل رس
ور ه ل طه س نج ء ي والنسائى د داو أبو رواه) .ش
99(والتمذي
"Dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; ada yang bertanya; "Wahai
Rasulullah, apakah kami boleh berwudlu dari air sumur Budla'ah yang
dibuang ke dalamnya terdapat kain bekas pembalut haid, daging anjing dan
99 Abu Daud pada kitab ath-Thahaarah bab Maa Jaa’a fii Bi’ri
Bidhaa’ah. (Sunan Abii Daawud: 1/16). An-Nasa’i pada kitab al-Miyaah bab Dzikru Bi’ri Bidhaa’ah. (al-Mujtaba: 1/141, 141). At-Tirmidziy pada kitab ath-Thahaarah bab Maa Jaa’a anna al-Maa’a laa Yanjisuhu. (‘Aaridhah al-Ahwadziy: 1/82). Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad: 3/15, 16, 31, 86.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 73 of 1195
bangkai?" maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
"Sungguh air itu suci tidak ada sesuatu yang membuatnya najis." (HR.
Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidziy)
Menurut Imam at-Tirmidziy hadis ini adalah hadis hasan.
Sedangkan Imam Ahmad berkata,”hadis tentang sumur
Budhaa’ah ini adalah shahih.
Imam Ibn Majah juga meriwayatkan:
ب عن ري سعيد أ ن ال د
ئل وسلم علي ه الل صل النب أ س
ياض عن الت ال ها وال مدينة مكة بي باع ترد الس
ب ر وال كل ف حلت ما لها فقال من ها الطهارة وعن وال م
ون ور غب ما ولنا هاب ط 100طه
"Dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
ditanya tentang telaga-telaga yang terdapat di antara Makkah dan
Madinah yang dikunjungi hewan buas, anjing dan himar, serta hukum
bersuci dengannya. Maka beliau pun menjawab: "Baginya apa yang
100 Ibn Majah pada kitab ath-Thahaarah bab al-Hiyaadh. (Sunan
Ibn Maajah: 1/173)
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 74 of 1195
dikandung di dalam perutnya dan bagi kita tidak menghalangi untuk
bersuci."
Nabi tidak membedakan sedikit atau banyaknya air tersebut.
Kemudian, juga karena sesungguhnya tidak tampak di dalamnya
itu salah satu sifat najis, sehingga air tersebut tidak menjadi
bernajis karena sifat tersebut seperti air yang lebih dari dua qullah.
Pada riwayat yang Pertama, Ibn ‘Umar Ra. meriwayatkan:
ئل ول س ين وب ه وما ال ماء عن وسلم علي ه الل صل الل رس
من باع الدواب كن إذا وسلم علي ه الل صل فقال والس
ل ماء ا بث ي مل لم ق لتي والنسائى داود أبو رواه ) .ال
101(والتمذي
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang air dan (lokasi)
air yang selalu didatangi binatang melata dan binatang buas, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila air itu dua
101 Sudah dijelaskan takhirijnya sebelumnya
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 75 of 1195
qullah, maka ia tidak najis." (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan at-
Tirmidziy)
Dalam lafazh lain:
ال ماء بلغ إذا ه لم ق لتي س نج ء ي ش
"Jika air itu mencapai dua qullah (tempayan besar) maka ia tidak akan
najis karena sesuatu."
Pembatasan dengan dua qullah itu menunjukkan bahwa air yang
jumlahnya kurang dari dua qullah adalah najis, karena kalau sama
saja hukum air yang jumlahnya dua qullah dengan yang kurang
dari dua qullah, maka tentu pembatasan tersebut tidak ada
gunanya. Dan yang benarnya adalah bahwa Nabi Saw. bersabda:
تي قظ إذا م اس ك حد ناء ف يده يغ مس فل نو مه من أ
ال
ري ل فإنه ثلثا يغ سلها حت ي ن يد ه باتت أ 102يد
102 Al-Bukhari pada kitab al-Wudhuu’ bab al-Istijmaar Witran.
(Shahih al-Bukhaariy: 1/52). Muslim pada kitab ath-Thahaarah bab Karaahah Ghams al-Mutawaddhi’ waghairihi Yadduhul Masykuuk fii Najaasatihaa fii al-Inaa’ qabla Ghaslihaa Tsalaatsan Tsalaatsan. (Shahih Muslim: 1/233). Abu Daud pada kitab ath-Thahaarah bab ar-Rajulu Yadkhulu Yaddahu fii al-Inaa’ qabla an Yaghsilahaa. (Sunan Abii Daawud:
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 76 of 1195
"Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka
janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana hingga dia
membasuhnya tiga kali, karena dia tidak mengetahui di mana tangan itu
menginap."
Kalau pembatasan itu tidak ada manfaatnya, tentu Nabi Saw.
tidak melarangnya. Nabi Saw. memerintahkan untuk mencuci
bejana yang terkena air liur anjing atau sisa air yang tertinggal dari
air liur anjing. Dalam hal ini, Nabi Saw. tidak membedakan antara
air yang berubah dengan yang tidak berubah meskipun secara
zhahir air tersebut tidak berubah. Khabar yang diriwayatkan oleh
Abu Umamah adalah dha’if dan hadis tentang sumur Budhaa’ah
serta hadis yang lainnya adalah mengandung kemungkinan bahwa
jumlah air tersebut banyak dengan alasan bahwa jika air tersebut
berubah, maka itu adalah najis atau kita mengkhususkan keduanya
1/23, 24). At-Tirmidziy pada kitab ath-Thahaarah bab Idzaa Istaiqazha Ahadukum min Naumihi fala Yaghmis Yadahu fii al-Inaa’ hatta Yaghsilahaa. (‘Aaridhah al-Ahwadziy: 1/41, 42). An-Nasa’i pada kitab ath-Thahaarah bab Ta’wiil Qaulihi Ta’aala,”Idzaa Qumtum ila ash-Shalaah Faghsiluu,” bab al-Wudhuu’ min an-Naum dan kitab al-Ghuslu bab al-Amr bil al-Wudhuu’min an-Naum. (al-Mujtaba: 1/12, 83, 176). Ibn Majah pada kitab ath-Thahaarah bab ar-Rajulu Yastaiqizhu min Manaamihi hal Yadkhulu Yadahu fii al-Inaa’ qabla an Yaghsilahaa. (Sunan Ibn Maajah: 1/138, 139). Ad-Darimiy pada kitab al-Wudhuu’ bab Idzaa Istaiqazha Ahadukum min Manaamihi. (Sunan ad-Daarimiy: 1/196). Imam Malik pada kitab ath-Thahaarah bab Wudhuu’ an-Naa’im Idzaa Qaama ila ash-Shalaah. (al-Muwatthaa’: 1/21). Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad: 2/241, 253, 259, 283, 316, 348, 382, 403, 455, 465, 471, 500, 507.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 77 of 1195
itu dengan hadis tentang dua qullah, karena sesungguhnya hadis
tersebut lebih khusus dari kedua hadis yang lainnya dan sesuatu
yang khusus didahulukan dari pada yang umum.
Adapun air yang jumlahnya lebih dari dua qullah, apabila air
tersebut tidak berubah dan najis yang masuk ke dalamnya bukan
berupa najis air pipis atau tahi manusia, maka tidak ada perbedaa
pendapat mazhab tentang kesucian air tersebut. . hal yang
demikian diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, Sa’id bin Jubair, Mujahid
dan juga merupakan perkataan Imam Syafi’i, Ishaq, Ibu ‘Ubaidah
dan Abu Tsaur serta itu juga merupakan perkataan yang kami
riwayatka dari mereka bahwa air yang jumlahnya sedikit tidak
menjadi najis kecuali jika air tersebut berubah.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwasanya dia berkata,”apabila air
itu jumlah sampai dua ember, maka ia tidak mengandung
kotoran.” ‘Ikrimah mengatakan,”satu atau dua ember.” Imam
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa air yang
jumlahnya banyak tetap menjadi najis jika masuk ke dalam air
tersebut sesuatu yang bernajis kecuali air itu mencapai batas
tertentu yang hampir dapat dipastikan bahwa najis tersebut tidak
sampai mengenai seluruh air. Mereka berbeda pendapat tentang
batasannya. Sebagian mereka mengatakan jika salah satu tepi air
tersebut bergerak dan ujung tepinya yang lain tidak bergerak.
Sebagian mereka juga mengatakan jika air tersebut mencapai
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 78 of 1195
batasan sekitar sepuluh hasta pada sepuluh hasta dan jika kurang
dari itu, maka air itu menjadi najis meskipun air tersebut sampai
mencapai sebanyak seribu qullah, karena Nabi Saw. bersabda:
م يب ولن ل ك حد ث م الدائم ال ماء ف أ
متفق ) .من ه يتوضأ
103( عليه
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam
(tidak mengalir) kemudian berwudlu darinya." (Muttafaq ‘alaih)
Maka Nabi Saw. melarang seseorang untuk berwudhu’ pada air
yang tidak mengalir setelah pipis pada air tersebut dan Beliau
tidak membedakan banyak atau sedikitnya jumlahnya air tersebut.
Kemudian, juga karena sesungguhnya air itu telah dimasuki oleh
najis yang tidak aman dari tersebarnya najis itu pada air tersebut
sehingga air itu menjadi najis seperti haknya air yang sedikit.
103 Sudah dijelaskan takhrijnya sebelumnya. Lafazh seperti ini juga
diriwayatkan oleh at-Tirmidziy pada kitab ath-Thahaarah bab Karaahiyah al-Bawl fi al-Maa’ ar-Raakid. (‘Aaridhah al-Ahwadziy: 1/86). An-Nasa’i pada kitab al-Ghuslu bab Dzikru Nahy al-Junb ‘an al-Ightisaal fii al-Maa’ ad-Daa’im. (al-Mujtaba:1/162). Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad: 2/259, 275, 529, 532.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 79 of 1195
Menurut kami, hadis tentang dua qullah dan hadis tentang sumur
Budhaa’ah yang telah kami sebutkan bahwwa Nabi Saw.
bersabda:
ور ال ماء إن ه ل طه س نج ء ي ش
"Sungguh air itu suci tidak ada sesuatu yang membuatnya najis."
Berberengan dengan perkataan mereka:
نتوضأ
من أ يض فيها ي ل ق بئ وه ب ضاعة بئ ول وم ال
ب والنت ال كل
"Apakah kami boleh berwudlu dari air sumur Budla'ah yang dibuang ke
dalamnya terdapat kain bekas pembalut haid, daging anjing dan bangkai?"
Sumur Budhaa’ah tidak mencapai batasan yang mereka sebutkan.
Abu Daud berkata:
ب و قال تي سمع ت و داو د أ ل ت قال سعيد ب ن ة ب ق
قي م سأ بئ
م قها عن ب ضاعة ث قال ع ك ون ما أ إل ال ماء فيها يك
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 80 of 1195
رة د ون قال نقص فإذا ق ل ت ال عانة ب و قال ال عو داو د أ
نا وقدر ت أ ت ه ث م لي هاع مدد ت ه بردائي ب ضاعة بئ ذرع
ها فإذا ع ستة عر ض ذ ر ل ت أ
تان باب ل فتح الي وسأ ال ب س
د خلن هل إل ه فأ ل قال علي ه كنت عما بناؤ ها غ ي
ي ت ماء فيها ورأ تغي 104اللو ن م
"Abu Dawud berkata; Dan saya telah mendengar Qutaibah bin Sa'id
berkata; Saya pernah bertanya kepada penjaga sumur tersebut tentang
kedalamannya, dia menjawab; "Dalam kondisi air yang maksimal bisa
mencapai tempat tumbuhnya bulu kemaluan." Saya bertanya; "Apabila
berkurang?" Dia menjawab; "Di bawah aurat." Abu Dawud berkata;
Dan saya sendiri pernah mengukur sumur Bidla'ah dengan selendang saya,
saya julurkan kedalam sumur kemudian saya tarik kembali, ternyata
tingginya adalah enam hasta. Kemudian saya bertanya kepada orang yang
membukakan pintu kebun untukku dan mengantarkanku kepadanya;
"Apakah bangunan sumur ini telah dirubah dari bangunan semula?" Dia
104 Lihat Sunan Abi Dawud: 1/16
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 81 of 1195
menjawab; "Tidak." Dan saya melihat kedalam sumur, terdapat air yang
sudah berubah warnanya. "
Karena sesungguhnya air tersebut sampai mencapai dua qullah,
sehingga sama halnya dengan air yang jumlahnya lebih dari
sepuluh hasta. Hadis mereka mereka tersebut adalah umum dan
hadis kami adalah khusus sehingga wajib untuk
mendahulukannya.
Kedua, bahwa hadis yang mereka sebutkan mesti untuk
mengkhususkannya, karena jumlahnya yang lebih dari batasan
yang telah mereka sebutkan tidak menghalangi untuk dipakai
berwudhui sesuai dengan kesepakatan. Apabila wajib untuk
mengkhususkannya, maka pengkhususannya itu dengan dalil
sabda Nabi Saw. adalah lebih utama dari pada mengkhususkannya
dengan pendapat atau dengan hawa nafsu yang tidak didasarkan
pada sebuah sumber yang tidak mempunyai dalil yang akan
dijadikan sebagai pegangan. Kemudian, juga karena apa yang
mereka sebutkan tentang batasan merupakan sebuah ukuran yang
jalannya adalah dengan cara tauqif yang tidak bisa sampai kepada
hal tersebut kecuali dengan nash atau berdasarkan ijma’,
sedangkan bagi mereka tersebut tidak ada nash dan juga tidak ada
ijma’. Kemudian, karena hadis mereka tersebut khusus tentang
masalah pipis saja dan kami mengatakan terhadap salah satu dari
dua riwayat dan kami membatasi hukum terhadap apa yang
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 82 of 1195
dicakup oleh nash, yaitu tentang pipis, karena sesungguhnya
baginya adalah sebagai penguat dan pipis tersebut tersebar dalam
air terhadap apa yang tidak ada bagi yang lainnya berdasarkan apa
yang akan kami sebutkan in shaa Allaah ta’aala.
Jika dikatakan, yang dimaksud dengan perkataannya,”lam yahmil al-
khabs,” adalah ia tidak menolak kotoran dari dirinya, artinya
bahwa sesungguhnya ia akan menjadi najis karena ada sesuatu
yang bernajis yang jatuh ke dalamnya. Kami katakan bahwa
pendapat ini fasid atau rusak karena tiga hal:
Pertama, bahwa dalam sebagian lafazhnya berbunyi “lam
yanjus.”Diriwayatkan oleh Abu Daud, ibnu Majah dan Ahmad
berhujjah dengannya.
Kedua, sesungguhnya dia menginginkan bahwa air yang
mencapai dua qullah dalam jumlah yang sedikit akan menjadi najis,
tentu air yang lebih dari dua qullah tidak menjadi najis untuk
mewujudkan perbedaan di antara keduanya, karena sesungguhnya
dia menjadikan dua qullah tersebut sebagai pemisah di antara yang
menjadi najis dan yang tidak menjadi najis. Kalau kita
menyamakan keduanya, tentu tidak penting tetap adanya
pemisahan tersebut.
Ketiga, bahwa apa yang ditetapkannya dalam bahasa,
sesungguhnya air itu mencegah kotoran dari dirinya sendiri dari
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 83 of 1195
perkataan mereka,”fulan la yuhtamil adh-dhaim”, maksudnya fulan
menolaknya dari dirinya sendiri. Wallaahu a’lam
Pasal: Para ulama kami berbeda pendapat bahwa apakah dua
qullah yang sama dengan lima ratus liter tersebut sebagai batasan
atau sebagai kisaran saja?.
Abu al-Hasan al-Amidiy berkata,”yang benar itu adalah sebagai
batasan. Itu secara zhahir merupakan perkataan al-Qadhi dan juga
salah satu pendapat para pengikut Imam Syafi’i, karena
pengungakapan itu adalah untuk kehati-hatian. Dan apa yang
diungkapkan sebagai kehati-hatian adalah wajib, seperti mencuci
bagian kepala yang bersamaan dengan wajah, waktu menahan
dalam puasa yang dimulai dari sebagian malam yang bersamaan
dengan siang. Kemudian, juga karena sesungguhnya itu
merupakan standar ukuran untuk menghilangkan najis dari
dirinya sendiri, sehingga dianggaplah hal untuk mewujudkannya
tersebut, seperti jumlah bilangan ketika membasuh anggota
tubuh.
Yang benar adalah bahwa itu merupakan kisaran atau perkiraan,
karena orang-orang yang menukilkan ukuran qullah-qullah tersebut
tidak mendisiplinkan keduanya dengan batasan. Sedangkan Ibn
Juraij berkata,”luas satu qullah itu sama dengan dua qirab atau dua
qirab lebih.” Yahya bin ‘Uqail berkata,”aku mengira luas satu
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 84 of 1195
qullah itu sama dengan dua qirab.” Ini bukanlah merupakan
sebuah batasan, akan tetapi perkataan keduanya itu menunjukkan
bahwa keduanya itu hanya mengira saja dan sesuatu yang lebih
dari dua qirab merupakan sesuatu yang masih diragukan
bersamaan dengan adanya ketidakjelasan. Secara zhahir
maksudnya adalah batasan paling sedikit karena lafaznya
menunjukkan untuk kisaran di antara dua hal yang disebutkan.
Tatkala sedikitnya sesuatu, maka itu dekat dengan dua qullah dan
perkataan Ahmad menunjukkan tentang ini, karena sesungguhnya
diriwayatkan darinya bahwa satu qullah itu adalah dua qirab. Dan
diriwayatkan juga dua qirab setengah. Bahkan juga diriwayatkan
dua qirab sepertiga. Ini menunjukkan bahwa hal yang demikian
tidak membatasi sebuah batasan. Kemudian, tidak ada bagi qirab
tersebut batasan tertentu, karena sesungguhnya bagi qirab tersebut
terdapat banyak perbedaan, sehingga dua qirab tersebut tidak
hampirnya keduanya sepakat untuk satu batasan. Karena ini, kalau
seseorang membeli sesuatu yang diukur dengan takaran pakai
qirab atau menyerahkan sesuatu yang dibatasi dengan qirab, maka
itu tidak diperboelehkan, karena Nabi Saw. mengetahui bahwa
manusia tidak menakar air dan juga tidak menimbangnya sehingga
Rasul tidak memperkenalkan kepada mereka batasan yang tidak
mereka kenal, akan tetapi siapa yang mendapati air dan di
dalamnya itu ada najis, lalu dia mengiranya sekitar dua qullah,
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 85 of 1195
maka dia boleh berwudhu’ dengan air tersebut. Dan jika dia
mengira bahwa air tersebut kurang dari dua qullah, maka dia harus
meninggalkannya.
Faedah ini adalah bahwa siapa yang menganggap itu sebagai
batasan, lalu sedikit saja berkurang dari batasan tersebut, maka
tidak ada maaf baginya, dan dia menjadi najis jika ada sesuatu
yang bernajis masuk ke dalamnya. Siapa yang mengatakan itu
sebagai kisaran saja, maka diampuni baginya dari kekurangan yang
sedikit tersebut dan hukumnya dikaitkan dengan perkiraan sekitar
dua qullah. Jika dia ragu sampai atau tidaknya air tersebut untuk
menolak najis yang masuk ke dalamnya, maka ada dua pendapat
dalam hal ini:
Pertama, air tersebut dihukum sebagai air yang suci, karena
sesungguhnya air itu adalah suci sebelum masuknya sesuatu yang
bernajis ke dalamnya dan dia ragu apakah air itu menjadi najis
atau tidak?. Maka suatu keyakinan tidak bisa hilang dengan suatu
keraguan.
Kedua, air itu dihukum sebagai air yang bernajis, karena pada
dasarnya air itu adalah sedikit, lalu dibinalah sebuah hukum di
atasnya, sehingga hal itu menjadikan air tersebut dihukum sebagai
air yang bernajis.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 86 of 1195
Pasal: Adapun selain dari air yang merupakan zat-zat cair, maka
ada tiga riwayat dalam hal ini.
Pertama, sesungguhnya zat-zat cair itu dihukum bernajis karena
adanya najis yang jatuh ke dalamnya meskipun jumlahnya banyak,
karena Nabi Saw. pernah ditanya tentang tikus yang jatuh ke
dalam minyak:
ئل ر عن وسلم علي ه الل صل النبل س السم ن ف تقع ة ال فأ
وها جامدا كن إن فقال ل ق لها وما فأ فل مائعا كن وإن حو
رب وه 105( أحد رواه) .تق
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam ditanya tentang tikus yang ada
diminyak, maka beliau bersabda: "Jika minyak tersebut beku maka tikus
tersebut dibuang beserta minyak yang ada disekitarnya saja, namun jika
minyak itu cair maka janganlah kalian dekati." (HR. Ahmad)
105 Abu Daud pada kitab al-Ath’imah bab al-Fa’rah Taqa’u fii as-
Samn. (Sunan Abi Daawud: 2/328). At-Tirmidziy pada kitab al-Ath’imah bab Maa Jaa’a fii al-Fa’rah Tamuutu fii as-Samn. (‘Aaridhah al-Ahwadziy: 7/303). An-Nasa’i pada kitab al-Far’ wa al-‘Atiirah bab al-Fa’rah Taqa’u fii as-Samn. (al-Mujtaba: 7/157).
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 87 of 1195
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan
sanadnya yang shahih berdasarkan syarat “ash-shahihain,” dan
beliau tidak membedakan banyak atau sedikitnya zat cair tersebut.
Kemudian, juga karena sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya
untuk menolak najis, maka dia tidak bisa mensucikan yang lainnya
sehingga dia tidak menolaknya dari dirinya sendiri, sama halnya
seperti air yang sedikit.
Kedua, sesungguhnya keadaannya sama seperti air, tidak
dianggap menjadi najis jika jumlahnya sampai mencapai dua
qullah, kecuali jika air tersebut berubah. Harb berkata,” aku
bertanya kepada Ahmad, aku berkata,”bagaimana halnya jika
seekor anjing yang menjilat minyak?, beliau menjawab,”jika
minyak itu berada dalam sebuah bejana yang besar seperti hubb
atau semisalnya, aku berharap tidak ada masalah apa-apa dan
boleh dimakan. Namun, jika minyak itu berada dalam sebuah
bejana yang kecil, maka itu tidak mengherankanku.” Yang
demikian itu karena sesungguhnya jumlahnya banyak sehingga
tidak menjadi najis dengan adanya najis yang masuk atau yang
jatuh ke dalamnya tidak berubah seperti air.
Ketiga, asal dari zat-zat cair tersebut adalah air, seperti cuka yang
dapat menolak najis dengan dirinya sendiri, karena air yang ada itu
mengalahkannya dan jika tidak maka tidak bisa. Pendapat yang
Pertama adalah lebih utama.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 88 of 1195
Pasal: Adapun air musta’mal, yaitu air yang sudah dipakai untuk
bersuci dan air yang suci tetapi tidak bisa mensucikan yang lain,
sesungguhnya dapat menghilangkan najis dengan dirinya sendiri
apabila jumlahnya banyak
seperti sabda Nabi:
ال ماء كن إذا بث ي مل لم ق لتي ال
"Apabila air itu dua qullah, maka ia tidak mengandung kotoran."
Namun, ada kemungkinan juga air tersebut menjadi najis, karena
air tersebut suci dan tidak mensucikan, sama halnya seperti cuka.
Pasal: Apabila jumlah air itu banyak, lalu pada bagian sampingnya
jatuh atau masuk suatu najis, lalu najis itu menjadikan air tersebut
berubah. Maka harus dilihat bagian mana yang tidak berubah. Jika
air tersebut kurang dari dua qullah, maka semua air itu menjadi
najis, sebab sesuatu yang berubah menjadi najis dengan adanya
perubahan itu sendiri dan sisanya yang lain tetap juga menjadi
najis karena bercampurnya dengannya. Namun, jika air tersebut
lebih dari dua qullah, maka air itu adalah suci.
Ibn ‘Aqil dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berkata,”bagian-
bagian yang lain dari air tersebut tetap menjadi najis meskipun
jumlahnya airnya banyak dan bagian sisi-sisinya saling berjauhan,
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 89 of 1195
karena sesungguhnya airnya merupakan air yang diam yang
sebagaiannya adalah najis, sehingga semuanya juga menjadi najis
sebagaimana halnya kalau bagian sisi-sisinya itu saling berdekatan.
Kemudian, juga karena air yang telah berubah merupakan zat-zat
cair yang sudah menjadi najis sehingga bagian lain yang
bersinggungan dengannya juga menjadi najis, kemudian bagian
yang bersinggungan itu juga menjadikan najis bagian yang lainnya.
Jika airtersebut bergerak, lalu hilang juga perubahan yang terdapat
pada air tersebut, maka najisnya juga menjadi hilang karena
hilangnya ‘illatnya.
Menurut kami, sabda Nabi Saw:
ال ماء بلغ إذا ه لم ق لتي س نج ء ي ش
"Jika air itu mencapai dua qullah (tempayan besar) maka ia tidak akan
najis karena sesuatu."
Dan sabdanya yang lain:
ور ال ماء إن ه ل طه س نج ء ي ش
“Sungguh air itu suci tidak ada sesuatu yang membuatnya najis."
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 90 of 1195
Bagian air yang tidak berubah yang mana jumlahnya mencapai
dua qullah dan tidak berubah, maka ia dimasukkan ke dalam
umunya hadis-hadis Rasul di atas.kemudian, juga karena
sesungguhnya airnya banyak yang tidak berubah dengan
masuknya najis ke dalamnya, sehingga air itu tetap menjadi suci
sebagaimana halnya kalau tidak ada sesuatupun yang berubah dari
air tersebut, sebab ‘illat tentang najisnya air yang banyak adalah
hanya berubah atau tidaknya air tersebut, sehingga sesuatu yang
bernajis hanya dikhususkan dengan tempat ‘illat tersebut,
sebagaimana halnya kalau sebagiannya berubah dengan yang
suatu yang suci, sehingga pengqiyasannya terhadap air yang tidak
berubah yang jumlahnya kurang dari dua qullah adalah tidak sah,
karena sesungguhnya yang jumlah air yang sedikit itu menjadi
najis dengan kesendiriannya bersinggungan dengan suatu yang
merupakan najis, berbeda halnya dengan jumlah air yang banyak.
Adapun bagian-bagian sisinya saling berjauhan atau berdekatan,
maka itu tidak dianggap di sana. Akan tetapi yang dianggap itu
adalah tidak berubahnya air tersebut sedikit ataupun banyak,
sehingga hukum tidak menghalangi kesucian air yang menempel
dengan sesuatu yang merupakan najis dengan alasan kalau di
dalamnya itu masuk anjing atau jatuhnya bangkai, maka
sesungguhnya sesuatu yang menempel itu adalah suci. Jika
kesuciannya itu hilang, maka sesuatu yang menempel dengan
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 91 of 1195
sesuatu yang menempel adalah suci. Berdasarkan pengqiyasan dari
perkataan mereka, tentu laut apabila berubah sifat air pada bagian
ujungnya juga menjadi najis dan begitu juga dengan air yang
mengalir serta semua air yang berubah sebagiannya dan tidak yang
mengatakan tentang itu. sungguh Imam Ahmad telah mengatakan
dalam masalah kolam atau sesuatu yang dibuat untuk
mengumpulkan air yang mana hal itu tidak menjadikan air
tersebut menjadi najis.
Pasal: Tidak ada perbedaan banyak atau sedikitnya najis yang
masuk ke dalam air tersebut, baik najis itu sedikit yang bisa
diketahui pada bagian ujungnya atau atau tidak diketahui dari
seluruh najis, kecuali bagian yang sedikit yang bisa dimaafkan
pada pakaian seperti darah dan semisalnya.
Hukum air yang bernajis padanya sama hukumnya dengan
dimaafkannya kenajisannya jika najisnya itu sedikit. Semua najis
yang menyebabkan air menjadi najis, maka hukum air itu menjadi
hukum najis tersebut karena najis yang terdapat pada air
berkembang dari najis yang jatuh ke dalamnya dan bercabang-
cabang, dan furu’ atau cabang ditetapkan baginya hukum dari
hukum asalnya.
Dikatakan dari Imam Syafi’i bahwa suatu najis yang tidak dapat
diketahui ujungnya dengan jelas akan dimaafkan karena sulit
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 92 of 1195
untuk mengetahuinya dengan jelas. Namun, juga ada nash dari
Imam Syafi’i pada tempat yang lain bahwa lalat apabila jatuh ke
dalam tahi atau kotoran yang sudah kering atau jatuh ke dalam
pipis, kemudian lalat itu hinggap disebuah baju, maka tempat lalat
hinggap itu harus dicuci karena najis yang ada pada lalat tersebut
tidak bisa diketahui dengan jelas. Kemudian, juga karena dalil
tentang suatu yang bernajis tidak dibedakan sedikit atau
banyaknya najis tersebut serta juga tidak dibedakan jelas atau
tidak jelasnya najis tersebut, maka perbedaan itu dihukum tanpa
adanya dalil. Apa yang mereka sebutkan tentang sulitnya
mengetahui najis tersebut adalah tidak benar, karena kita
menghukum bernajis atau tidaknya sesuatu berdasarkan apa yang
kita ketahui sampainya najis tersebut ke dalam air serta tidak
boleh membedakan apakah kesulitan unuk mengetahui atau tidak.
Kemudian, sesungguhnya kesulitan itu merupakan sebuah hikmah
yang tidak boleh dikaitkan dengan sebuah hukum dengan
sendirinya. Kemudian, juga karena menjadikan sesuatu yang tidak
bisa diketahui dengan jelas sebagai acuan dalam permasalahan ini
adalah tidak benar, sebab hal yang demikian hanya bisa diketahui
dengan sebuah ketetapan atau berdasarkan ketentuan yang sudah
ditetapkan oleh syari’at dalam sebuah pembahasan. Dalam hal ini
tidak didapati satupun dari dua unsur tersebut.
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 93 of 1195
Pasal: Sebuah kolam apabila bersambungan salah satunya dengan
yang lain dengan sebuah silang yang di dalamnya terdapat air yang
banyak ataupun sedikit, maka itu dianggap satu air saja. Hukum
keduanya adalah hukum satu kolam.
Jika kedua kolam itu sampai mencapai jumlah dua qullah, maka
salah satu dari keduanya itu tidak dihukum menjadi najis kecuali
jika sifat air tersebut berubah. Jika kedua kolam itu tidak
mencapai jumlah dua qullah, maka masing-masing dari keduanya
itu dihukum menjadi najis karena jatuh atau masuknya najis pada
salah satu dari keduanya, karena air yang diam berhubungan
sebagiannya dengan sebagian yang lain, sama halnya dengan satu
kolam.
Pasal tentang air yang mengalir
Dinukilkan dari Ahmad –rahimahullaah- tentang sesuatu yang
menunjukkan adanya perbedaan antara air yang mengalir dengan
air yang tenang atau diam. Sesungguhnya dia mengatakan tentang
sebuah kolam kamar mandi, sungguh dikatakan bahwa
sesungguhnya itu sama dudukannya dengan air yang mengalir.
Dan dia juga mengatakan tentang air sumur bahwa air sumur itu
sama dengan air yang berhenti atau sama dengan air yang tidak
mengalir dan kedudukannya tidak sama dengan air yang mengalir.
Berdasarkan hal ini, air yang mengalir itu tidak menjadi najis
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 94 of 1195
kecuali kalau sifat air tersebut berubah, karena pada dasarnya air
itu adalah suci. Kemudian, juga karena sesungguhnya ia masuk ke
dalam umumnya sabda Nabi Saw. yang berbunyi:
ور ال ماء إن ه ل طه س نج ء ي ش
“Sungguh air itu suci tidak ada sesuatu yang membuatnya najis."
Dan juga sabdanya yang lain:
ه ل ال ماء س نج ء ي نه مه وطع ريحه ع غلب ما إل ش ولو
"Sesungguhnya air tidak bisa menjadi najis karena sesuatu kecuali bila
merubah bau, rasa dan warnanya." (HR. Ibn Majah)
Jika dikatakan, dalam syari’at terdapat ketentuan bahwa air
dianggap menjadi najis jika jumlah sedikit berdasarkan sabda Nabi
Saw:
ال ماء كن إذا بث ي مل لم ق لتي ال
"Apabila air itu dua qullah, maka ia tidak mengandung kotoran."
Kami katakan, ini merupakan hujjah tentang sucinya air tersebut,
karena kadar air silang yang terkumpul dalam kedua kolam
tersebut sungguh telah mencapai dua qullah, sehingga tidak lagi
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 95 of 1195
mengandung kotoran dan pengkhususan mengalir dengan ukuran
ini merupakan hukum yang tidak ada dalilnya. Kemudian, khabar
ini adalah membahas tentang air yang tenang, sehingga tidak sah
pengqiyasan air yang mengalir terhadapnya karena kuatnya aliran
dan hubungannya dengan unsur-unsurnya. Kemudian,
sesungguhnya khabar itu hanya menunjukkan dengan manthuqnya
bahwa tidak adanya najis pada air yang jumlahnya sampai
mencapai dua qullah. Sedangkan dalam pembahasan ini, yang
digunakan adalah makna mafhumnya dan menghilangkan makna
mafhum menghasilkan mukhalafahnya terhadap air yang kurang dari
dua qullah. Sungguh mukhalafahnya itu menghasilkan tentang
keadaan air yang kurang dari dua qullah untuk membedakan di
dalamnya itu air yang mengalir dan air yang diam tentang suatu
najis. Dan air yang sudah mencapai dua qullah tidak ada
perbedaan di dalamnya dan pemahaman ini sudah cukup.
Al-Qadhi dan para pengikutnya berpendapat,”setiap aliran dari air
yang mengalir diungkapkan dengan dirinya sendiri. Jika najis itu
mengalir bersamaan dengan air, maka apa yang ada di depannya
adalah suci, karena sesungguhnya najis itu tidak sampai kepada air
tersebut. Dan apa yang ada dibelakang najis itu juga suci karena
najis itu juga tidak sampai ke sana. Aliran air yang padanya itu
terdapat najis, jika air itu mencapai dua qullah maka air itu tetap
suci, kecuali kalau air tersebut berubah karena najis yang masuk
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 96 of 1195
ke dalamnya. Dan jika air tersebut kurang dari dua qullah, maka air
itu menjadi najis. Jika najis itu terdampar di tepi sungai atau
bagian bawahnya atau berhenti di tempat air yang tenang, maka
setiap aliran yang dilewatinya menjadi najis jika airnya kurang dari
dua qullah. Dan jika aliran yang dilewatinya itu sampai mencapai
dua qullah, maka air itu tetap suci, kecuali kalau air tersebut
berubah.
Al-jiryah atau aliran yang dimaksud adalah air yang padanya
terdapat najis dan bagian yang terdekat dengannya baik dari
depan maupun dari belakangnya sebagaimana biasanya
tersebarnya najis itu terhadap air tersebut meskipun najis itu
menyebar yang bersamaan dengan tersebarnya semuanya di antara
bagian-bagian tepi sungai. Jika najis itu panjang dan berkelanjutan,
maka setiap bagian yang dilewatinya sama seperti aliran itu yang
dianggap sebagai najis yang sedikit dan tidak dijadikan semua
yang dilewatinya itu sebagai satu aliran agar tidak sampai
berlanjutnya najis pada air yang banyak dengan najis yang sedikit.
Kenajisan menjadi hilang dari air yang banyak disertai dengan
adanya najis yang banyak. Jika sesuatu yang menyebabkan itu
adalah untuk air yang banyak, maka itu tidak menjadi najis dan
penyebab yang sedikit untuk air yang sedikit tetap menjadi najis.
Kalau kita membuang anjing pada bagian tepi sungai dan bulunya
pada bagian yang lain, maka sesuatu yang menyebabkan menjadi
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 97 of 1195
najis bagi bulunya tidak sampai dua qullah karena sedikitnya apa
yang menjadi penghalangnya, sedangkan sesuatu yang mennjadi
najis dari anjing sampai beberapa qullah. Al-Qadhi dan Ibn ‘Aqil
menyebutkan bahwa aliran sesuatu yang menyebabkan menjadi
najis adalah di antara tepi-tepi sungai dan sudah jelas batasannya
sebagaimana telah kami sebutkan tatkala kami menjelaskannya.
Jika dikatakan bahwa ini menyebabkan menyamakan antara najis
yang sedikit dengan najis yang banyak. Maka kami jawab, syari’at
menyamakan antara keduanya itu terhadap air yang tenang, dan
itu adalah asalnya sehingga wajib menyamakan antara keduanya
dalam masalah aliran yang mana itu merupakan furu’ atau cabang.
Pasal: Jika di bagian tepi sungai itu ada air yang tidak mengalir
yang jauh dari aliran air, akan tetapi berhubungan dengan air yang
mengalir, atau berada pada dasar sungai yang di dalamnya itu
terdapat air yang tidak mengalir yang mana pada hal yang
demikian bersamaan dengan aliran pertemuan air yang kurang
dari dua qullah, maka semua air itu menjadi najis karena adanya
najis pada salah satu dari keduanya, karena sesungguhnya air itu
berhubungan dengan air yang kurang dari dua qullah, sehingga
semuanya menjadi najis seperti halnya air yang tenang.
Jika salah satu dari keduanya itu dua qullah, maka salah satu dari
keduanya itu tidak menjadi najis selama keduanya saling
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 98 of 1195
berhubungan kecuali kalau air tersebut berubah sifat, karena
jumlah air yang dua qullah dapat menolak najis dari dirinya sendiri
dan dari apa yang berhungan dengannya. Kemudian, keadaan
najis tersebut tidak senyap dari dalam sungai atau pada air yang
tidak mengalir. Jika najis itu ada di dalam sungai dan jumlah
airnya sampai mencapai dua qullah, maka air itu tetap suci dalam
keadaan apapun. Demikian juga halnya dengan air yang tidak
mengalir, jika jumlahnya kurang dari dua qullah, maka air itu
menjadi najis sebelum bertemu dengan air yang tidak mengalir.
Jika air itu berhubungan dengan air yang tidak mengalir, maka air
itu menjadi suci karena hubungan air tersebut. Apabila air sungai
itu terpisah dengan air yang mengalir, maka ia kembali menjadi
najis karena jumlah airnya sedikit, sedangkan di dalamnya terdapat
sesuatu yang merupakan najis.
Jika najis tersebut terdapat pada air yang tidak mengalir, maka air
itu tidak menjadi ketika keadaan tersebut, karena sesungguhnya
air tersebut dan air yang berhubungan dengannya mencapai dua
qullah. Jika air yang tidak mengalir itu tidak mencapai dua qullah
dan alirannya juga seperti itu, kecuali bahwa perkumpulan kedua
air tersebut mencapai lebih dari dua qullah dan najisnya berada
pada air yang tidak mengalir, maka salah satu dari keduanya itu
tidak menjadi najis, karena sesungguhnya najis tersebut
bersamaan dengan air yang ditemuinya lebih dari dua qullah. Jika
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 99 of 1195
najis tersebut terdapat di dalam sungai, maka pengqiyasan
pendapat ulama kami bahwa air yang tidak mengalir itu menjadi
najis dan begitu juga dengan aliran air yang di dalamnya terdapat
najis serta semua yang dilewatinya setelah air yang tidak mengalir,
karena aliran air yang di dalamnya terdapat najis merupakan najis
sebelum bertemu atau sebelum berhubungan dengan air yang
tidak mengalir. Kemudian, air yang tidak mengalir juga menjadi
najis karena keadaannya merupakan air yang jumlahnya kurang
dari dua qullah yang di dalam nya terdapat air bernajis serta aliran
air tersebut juga tidak suci karena kedudukannya sama dengan air
yang bernajis yang dituangkan ke dalam air yang jumlahnya
kurang dari dua qullah. Tatkala air yang tidak mengalir menjadi
najis, maka aliran yang dilewatinya juga menjadi najis. Namun,
ada kemungkinan juga dihukum sucinya aliran tersebut ketika
dalam keadaannya bertemu dengan air yang tidak mengalir dan air
yang tidak mengalir tidak menjadi najis karenanya, karena
sesungguhnya ia merupakan air yang banyak yang tidak berubah
dan juga tidak bernajis, berdasarkan sabda Nabi Saw:
ال ماء بلغ إذا ه لم ق لتي س نج ء ي ش
"Jika air itu mencapai dua qullah (tempayan besar) maka ia tidak akan
najis karena sesuatu."
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 100 of 1195
Seperti inilah pendapat mazhab Imam Syafi’i.
Semuanya ini adalah selama air tersebut tidak berubah. Namun,
jika air tersebut berubah, maka ia menjadi najis dan hukumnya
sama dengan hukum benda-benda yang bernajis. Apabila sifat air
yang tidak mengalir itu berubah dengan sendirinya, maka aliran
yang dilewatinya jika sampai dua qullah adalah suci. Dan jika air
itu kurang dari dua qullah, maka air itu menjadi najis. Jika aliran air
tersebut berubah dan air yang tidak mengalir itu sampai mencapai
dua qullah, maka air itu tetap suci, namun jika tidak sampai dua
qullah maka air itu menjadi najis.
Jika sebagian air yang tidak mengalir itu berubah dan sebagiannya
lagi tidak berubah dan air yang tidak berubah itu bersamaan
dengan aliran air yang ditemuinya mencapai dua qullah, maka air
itu tidak menjadi najis, karena sesungguhnya ia adalah air yang
lebih dari dua qullah yang tidak berubah sehingga ia tetap menjadi
suci, sebagaimana halnya kalau aliran air itu mencapai dua qullah.
Jika air yang berubah sifatnya itu dari air yang tidak mengalir
berikutnya dua aliran dan tidak berubah tidak yang berikutnya dan
tidak juga berhubungan dengan dari atas air dan tidak juga
bawahnya serta tidak juga sisi-sisinya yang lain dan setiap masing-
masing dari keduanya itu kurang dari dua qullah, maka wajar saja
semua air tersebut menjadi najis karena semua yang ditemuinya
dari air adalah terkena najis yang tidak mencapai jumlah dua
© HAKI FiqhLearningCenter.com | KSO.FiqhLearningCenter.com
Page 101 of 1195
qullah. Jika bersambungan dengannya dari satu sisi, maka semua
yang tidak berubah adalah suci apabila air tersebut mencapai dua
qullah, sebab sesungguhnya itu adalah dua kolam yang antara
keduanya itu dihubungkan oleh silang. Jika dia ragu dalam hal itu,
maka airnya adalah suci, karena pada asalnya air tersebut adalah
suci sehingga tidak hilang kesuciannya dengan keragua-raguan.
Wallaahu a’lam
Pasal: Apabila aliran-aliran air itu berkumpul dalam suatu tempat,
jika dia berubah karena suatu najis, maka air tersebut menjadi
najis meskipun jumlahnya banyak.
Jika pada sebagian alirannya itu ada air yang suci yang
berkelanjutan yang sampai jumlahnya dua qullah, bisa jadi ia
terletak sebelum ataupun setelah air yang mengalir, maka semua
air tersebut adalah suci selama air tersebut tidak berubah karena
jumlah air yang dua qullah dapat menolak najis dari dirinya sendiri
dan dari apa-apa yang terkumpul dengannya.
Jika air yang terkumpul itu tidak mencapai dua qullah dan pada
sebagian alirannya terdapat suatu najis, maka semua air tersebut
adalah najis menurut pemahaman zhahir mazhab. Jika jumlah air
tersebut mencapai dua qullah, kecuali semua aliran-aliran air itu
menjadi najis atau sebagian alirannya adalah suci dan sebagiannya
adalah najis dan air yang suci itu tidak mencapai dua qullah, maka
PERHATIAN
• File PDF Versi 1 ini adalah Terjemah yang belum masuk
tahap pengeditan.
• Tahap Pengeditan akan dimulai setelah semua honor
penerjemah Lunas.
• Apabila Anda menemukan kesalahan dalam
penerjemahan/penulisan silahkan beritahukan kami via
email: fiqhlearningcenter@gmail.com
Dengan menyebutkan nomor halaman, redaksi yang
keliru beserta revisi yang Anda anggap benar.
Terima kasih.
PROGRAM DAKWAH PENERJEMAHAN
KITAB FIQIH AL-MUGHNY IBNU QUDAMAH
By FIQH LEARNING CENTER TEAM
JILID HAL.KITAB/ TERJEMAH
PROGRESS BIAYA
PENERJEMAHAN, EDITING, LAYOUT
1 480/737 FINISH Rp 28.000.000
2 669/730 (1/2) ± 50% Rp 19.512.000 (1/2)
3 575/1092 FINISH Rp 35.335.000
4 540 - 5 515/743 FINISH (REVISI) ± Rp 30.041.000
6 695/1371 FINISH Rp 39.473.000
7 637 -
8 643/1003 FINISH Rp 32.152.000
9 636 -
10 655/984 FINISH Rp 32.880.000
11 679 - 12 615 -
13 739/575 (1/2) ± 50% Rp 21.054.000 (1/2)
14 672 -
File dipublikasikan full setelah terpenuhinya donasi untuk Tim Penerjemah!
Raih Kesempatan Emas untuk Tabungan Akhirat Anda dengan BERDONASI
untuk pembiayaan Penerjemahan Kitab Al-Mughni ini.
DONASI DAKWAH UNTUK BIAYA PENERJEMAHAN Al-MUGHNI
REK. BNI SYARIAH: 0-587-587-555
a.n (Ustadz) Muhamad Taufiq
Konfirmasi: WA 085 777 5522 01