Post on 18-Mar-2019
TINJAUAN PUSTAKA
Belimbing
Belimbing merupakan tanaman buah yang berasal dari kawasan Malaysia dan
kemudian menyebar luas ke berbagai negara yang beriklim tropis lainnya di dunia
termasuk Indonesia. Belimbing memiliki bentuk yang unik dimana jika diiris secara
melintang maka bentuknya akan seperti bintang. Oleh karenanya, orang barat
menyebut belimbing sebagai star fruit. Sewaktu muda warna buahnya adalah hijau
muda dan berubah menjadi kuning sampai kemerahan setelah tua . Di Indonesia,
pada umumnya belimbing ditanam dalam bentuk kultur pekarangan (home yard
gardening), yaitu ditanam sebagai tanaman peneduh di halaman rumah (Anonim,
2000).
Jenis belimbing manis yang diunggulkan ciri-cirinya adalah bentuknya besar,
warnanya menarik, seratnya halus, berair banyak, dan rasanya manis segar. Buah
belimbing manis sangat lezat jika dikonsumsi tidak hanya dalam keadaan segar akan
tetapi juga dalam bentuk produk olahan seperti juice atau yang lainnya. Adapun
kandungan gizi dalam 100 gram buah belimbing manis tampak seperti pada Tabel 1.
Tabel 2. Kandungan Gizi dalam 100 gram Buah Belimbing
Komponen Gizi Nilai Energi 35,00 kkal Protein 0,50 g Lemak 0,70 g Karbohidrat 7,70 g Kalsium 8,00 mg Fosfor 22,00 mg Serat 0,90 g Besi 0,80 mg Vitamin A 18,00 RE Vitamin B1 0,03 mg Vitamin B2 0,02 mg Vitamin C 33,00 mg Niacin 0,40 g
(Sumber : Anonima, 2002)
9
Disamping sebagai sumber nutrisi tubuh manusia, buah belimbing juga dapat
digunakan untuk pencegahan bahkan terapi berbagai macam penyakit, antara lain
bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah, anti kanker, memperlancar
pencernaan, menurunkan kolesterol, dan membersihkan usus
Seperti dapat dilihat pada Tabel 2, buah belimbing manis merupakan sumber
vitamin C yang baik, juga zat besi dan zat kapur. Belimbing dapat digunakan sebagai
anti oksidan yang berfungsi mencegah penyebaran sel kanker. Selain itu, bagi yang
tahan terhadap makanan yang bersifat asam serta tidak mengidap penyakit maag,
juice belimbing sayur (belimbing wuluh) dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
darah tinggi bila diminum sehari 1 sendok makan. Di Indonesia khasiat ini sudah
banyak dikenal sebagai obat tradisional.
Pada dinding sel belimbing terdapat pektin yang merupakan bahan pembentuk
gel di dalam usus. Terbentuknya gel tersebut mempunyai pengaruh menurunkan
kolesterol. Dalam hal ini pektin mengikat kolesterol dan asam empedu dalam usus
serta mendorong pengeluarannya.
Kualitas buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara pemetikan pada saat
panen dimana umur panen belimbing sangatlah dipengaruhi oleh geografi lokasi
penanaman yang meliputi faktor lingkungan dan iklim. Di dataran rendah dimana tipe
iklimnya bersifat basah, umur petik buah belimbing adalah sekitar 35 – 60 hari
setelah pembungkusan buah atau sekitar 65 – 90 hari setelah buah mekar. Ciri buah
belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar (maksimal), telah
matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi putih atau kuning atau merah
atau variasi warna lainnya tergantung dari varietas belimbing. Cara panen buah
belimbing dilakukan dengan cara memotong tangkainya. Pemetikan buah
berlangsung secara kontinyu dengan memilih buah yang telah matang. Waktu panen
yang paling baik adalah pagi hari, saat buah masih segar dan sebelum cuaca terlalu
panas (terik). Buah belimbing yang baru dipetik segera dimasukkan (ditampung)
dalam suatu wadah secara hati-hati agar tidak memar atau rusak.
Perubahan warna merupakan indikator untuk menentukan tingkat kematangan.
Indeks kematangan berdasarkan warna dan tujuan pemasaran yang digunakan oleh
10
Malaysia dapat dilihat pada Tabel 3. Pada awal tingkat ketuaannya belimbing
tampak berwarna hijau. Warna ini secara gradual berubah menjadi kuning ketika
matang dan menjadi oranye ketika terlalu matang. Selama perkembangan warna
buah, kandungan kadar gula meningkat dan kadar asam menurun. Pada prinsipnya,
perubahan warna hijau disebabkan karena penurunan kandungan klorofil. Selain itu
terdapat sejumlah pigmen seperti anthocyanin, karotenoid dan flavon yang turut
berperan dalam menentukan perubahan warna buah belimbing disamping proses
penuaan dan penurunan kesegaran buah setelah panen.
Tabel 3. Indeks Kematangan Buah Belimbing Berdasarkan Perubahan Warna
Indeks Kematangan
Karakteristik
Indeks 1- Warna hijau tua, buah belum matang tidak sesuai untuk dipasarkan
Indeks 2 - Warna hijau sedikit kuning, buah matang dan sesuai untuk diekspor
Indeks 3 - Warna hijau melebihi kuning, buah matang, sesuai diekspor melalui udara
Indeks 4- Warna kuning dominan dibanding hijau, buah matang, sesuai untuk diekspor melalui udara
Indeks 5- Warna kuning dengan sedikit warna hijau, buah matang sesuai untuk pasaran lokal
Indeks 6 - Warna Kuning, buah matang, sesuai untuk pasaran lokal
Indeks 7 - Oranye, buah terlalu matang, tidak sesuai untuk dipasarkan
Sumber : ( FAMA, 2005)
Lembaga pemasaran pertanian persekutuan (FAMA) Kementerian Pertanian
dan Industri Asas Tani Malaysia telah menetapkan standar untuk belimbing yang
akan dipasarkan segar ke konsumen. Pada standar tersebut belimbing dibagi menjadi
11
3 klas yaitu klas premium, kelas I dan kelas 2. Spesifikasi untuk masing-masing
kelas dan toleransi yang diperbolehkan ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi, spesifikasi dan toleransi untuk belimbing yang dipasarkan segar
Klas Spesifikasi Toleransi (maksimum)
Premium Mempunyai varietas yang sama, segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, bebas dari cacat dan kerusakan
Kematangan ≤ 3 % Segar ≤ 5 % Rusak ≤ 3 % Cacat ≤ 3 % Keseragaman ukuran ≤ 5 %
Klas 1 Mempunyai varietas yang sama, segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, agak bebas dari cacat dan kerusakan
Kematangan ≤ 5 % Segar ≤ 5 % Rusak ≤ 5 % Cacat ≤ 5 % Keseragaman ukuran ≤ 10 %
Klas 2 Mempunyai varietas yang sama, segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, agak bebas dari cacat dan kerusakan
Kematangan ≤ 10 % Segar ≤ 10 % Rusak ≤ 10% Cacat ≤ 10 % Keseragaman ukuran ≤ 10 %
Sumber : ( FAMA, 2005)
Klasifikasi berdasarkan ukuran buah ditentukan oleh massa buah dalam unit
gram. Klasifikasi dibagi menjadi 4 kelas yaitu terlalu besar (XL) untuk massa buah
yang lebih besar dari 220 g, besar (L) untuk massa buah yang berkisar antara 181-220
g, sedang (M) untuk massa buah yang berkisar antara 141-180 g) dan kecil untuk
massa buah yang berkisar antara 100 – 140 g.
CODEX (2005) menetapkan standard mutu untuk buah belimbing dan syarat
minimum meliputi buah utuh, bersih dari kotoran, bebas dari kerusakan yang
disebabkan hama, bebas dari bau dan rasa asing, keras, tampak segar, bebas dari
kerusakan akibat suhu yang rendah, bebas dari cacat dan cukup matang. CODEX
mengklasifikasi buah belimbing menjadi 3 klas yaitu: klas ekstra, klas I dan klas II.
Klas ekstra mempersyaratkan warna dan tingkat kematangan harus seragam, memiliki
bentuk yang baik dan bebas dari cacat. Belimbing yang masuk dalam klas I adalah
buah yang memiliki keseragaman warna dan kematangan, memiliki bentuk yang
12
cukup baik dan bebas cacat. Pada kelas ini dimungkinkan cacat kecil yang tidak
mempengaruhi penampilan umum produk dan kualitasnya. Total permukaan cacat
yang diperbolehkan tidak lebih dari 5 %. Klas II adalah buah yang memenuhi
persyaratan minimum dan permukaan cacat tidak boleh lebih dari 10 %.
Klasifikasi berdasarkan ukuran dibagi menjadi 3 klas yaitu klas A, B dan C.
Klas A buah yang memiliki massa berkisar antara 80 – 129 g, klas B adalah buah
yang memiliki massa berkisar antara 130 – 190 g dan kelas C adalah buah yang
memiliki massa lebih besar dari 190 g. Dalam satu kemasan toleransi ukuran adalah
5 % untuk klas ekstra, 10 % untuk klas I dan II.
Siller et.al. (2004) mengevaluasi kualitas buah belimbing pada beberapa tingkat
ketuaan yang disimpan pada suhu 20 °C selama 10 hari. Tingkat ketuaan dibedakan
berdasarkan warna kulit yaitu tingkat ketuaan I (buah berwarna hijau), tingkat
ketuaan II (buah berwarna hijau kekuningan), tingkat ketuaan III (buah berwarna
kuning) dan tingkat ketuaan IV (buah berwarna oranye). Selama penyimpanan
kehilangan berat buah terbesar terjadi pada buah yang berwarna hijau (> 6,7 %).
Pada saat pemetikan kandungan padatan terlarut buah berwarna hijau dan total asam
tertitrasi secara berurutan 4,89 °Brix dan 0,808 sementara buah yang berwarna
oranye memiliki nilai 6,7 °Brix dan 0,412. Selama penyimpanan tidak ada
perubahan yang nyata kandungan padatan terlarut dan keasaman pada setiap tingkat
ketuaan.
Mitcham dan Mcdonald (1991) telah melakukan kajian terhadap proses
pematangan buah dan menyatakan bahwa proses pematangan belimbing sangat terkait
dengan perubahan warna, kekerasan, kandungan sellulose, hemisellulose, dan pectin.
Perubahan warna merupakan indikator terbaik untuk menentukan tingkat kematangan
buah.
Evaluasi Mutu Buah dengan Pengolahan Citra (Image Processing)
Teknik pengolahan citra merupakan teknik analisis citra yang melibatkan
persepsi visual dengan cara menangkap reflektan objek. Data masukan diperoleh
13
melalui kamera yang mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap cahaya yang
masuk. Cahaya yang masuk selanjutnya dirubah dari masukan analog menjadi
digital dan kemudian dengan menggunakan algoritma pengolahan citra dapat
digunakan untuk mengetahui karakter objek.
Pada saat ini pengembangan teknologi image processing (pengolahan citra)
telah mencapai aplikasi yang luas pada sortasi buah. Palanlappan et al. (2004) dari
Department of Agricultural and Biological Engineering, University of Florida telah
berhasil mengembangkan sebuah mesin sistem imaging warna untuk
mengindentifikasi jeruk dan memperkirakan kondisi real time buah jeruk. Sistem ini
terdiri dari kamera analog warna, Receiver DCPS dan encoder. Treshold segmentasi
image untuk mengenal buah jeruk diperoleh dari sebaran pixel warna menggunakan
model warna HSI.
Arham et al.(2004) menentukan mutu jeruk nipis menggunakan image
processing dan pengolahan data menggunakan model warna melalui pengukuran
intensitas warna merah, hijau dan biru (RGB). Untuk mendapatkan nilai RGB, tingkat
RGB dikomposisikan dari tiga warna tersebut dan masing-masing warna mempunyai
28 atau 256 bit (0 sampai 255). Model warna RGB dinyatakan dalam indeks warna
RGB dengan cara menormalisasi setiap komponen warna. Berdasarkan percobaan
yang dilakukan diperoleh bahwa nilai indeks warna merah meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur petik sedangkan indeks warna hijau dan indeks warna biru
menurun dengan bertambahnya umur petik. Dari percobaan dapat dinyatakan bahwa
indeks warna model warna RGB dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat
ketuaan buah jeruk nipis.
Delwiche dan Baumgardner (1985) melakukan kajian terhadap perubahan
warna dasar buah peach untuk 3 kultivar menggunkan model warna L ab.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa perubahan warna dasar 3 kultivar hampir
serupa. Semua koordinat warna bertambah selama 3 minggu sebelum pemanenan
dimana koordinat a menunjukkan laju perubahan yang tertinggi.
Choi et al. (1995) mengembangkan prosedur analisis image warna dan
mengklasifikasikan tomat segar ke dalam 6 tingkat kematangan sesuai dengan
14
kreteria standar USDA. Nilai Image RGB, masing-masing tomat diperoleh dan
dikonversi ke nilai HSI. Klasifikasi didasarkan pada persentase luas permukaan sudut
hue. Informasi yang didapatkan melalui hue ini dapat digunakan dengan baik untuk
mengklasifikasikan tingkat kematangan buah tomat.
Nakano (1997) berhasil menggunakan jaringan syaraf tiruan untuk mensortasi
apel fuji berdasarkan warna dimana akurasi tingkat pengklasifikasiannya adalah
sebesar 75 % dalam memisahkan buah yang rusak. Li (2002) memperkenalkan
system pemutuan berbasis computer vision based system untuk sortasi apel
berdasarkan luasan area ujung tangkai /calyx yang diidentifikasi dengan jaringan
syaraf tiruan. Kondo et al. (2000) mengevaluasi kualitas jeruk iyokan secara non
destruktif menggunakan pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Jaringan Syaraf
Tiruan (JST) yang dibuat dapat memprediksi kandungan gula dan tingkat keasaman
buah dengan tingkat akurasi yang dapat diterima. Sementara itu, Kavdir et al. (2002)
berhasil mensortasi buah apel berdasarkan kualitas permukaan menggunakan back
propagation neural network. Evaluasi mutu buah yang dilakukan oleh Ying et al.
(2003) menggunakan jaringan syaraf tiruan berhasil mengklasifikasikan buah pear
berdasarkan bentuknya dengan tingkat akurasi pengklasifikasiannya mencapai 90%.
Mendoza dan Aquilera (2004) mengklasifikasi tingkat kematangan pisang
menggunakan pengolahan citra dengan fitur L*, a*, b*, % BSA (persentase bercak
coklat per luasan total) dan kontras. Teknik klasifikasi menggunakan analisis
diskriminan dan dapat mengklasifikasi buah pisang pada tujuh tingkat kematangan
dengan akurasi 98 %.
Pedreschi et al. (2006) mengembangkan sistem citra untuk mengukur warna
bahan makanan yang heterogen seperti potato chips pada model warna L*a*b* dari
model warna RGB. Briones dan Aguilera (2005) menggunakan pengolahan citra
untuk menganalisis perubahan warna permukaan coklat selama penyimpanan. Kang
et al. (2008) melakukan pengukuran secara akurat dan dapat mendeskripsikan
perubahan warna buah mangga selama proses pematangan menggunakan pengolahan
citra.
15
Penerapan Logika Fuzzy untuk Pemutuan Buah
Kavdir dan Guyer (2003) mengembangkan model logika fuzzy untuk
pemutuan apel. Model logika fuzzy yang disusun menggunakan masukan berupa
parameter warna, kerusakan eksternal, berat dan ukuran. Keluaran dari model adalah
berupa tiga klasifikasi mutu dan selanjutnya hasil predikasi model dibandingkan
dengan pemutuan yang dilakukan expert. Hasil prediksi model dibandingkan dengan
pemutuan expert dengan tingkat akurasi sebesar 89 %.
Shahin et al. (2000) mengembangkan model logika fuzzy untuk pendugaan
tingkat ketuaan kacang tanah. Model logika fuzzy yang dikembangkan menggunakan
masukan hari setelah panen dan parameter FID (Free Induction Decay) yang
diperoleh dari pengukuran menggunakan NMR (Nuclear Magnetic Resonance).
Model logika fuzzy yang dikembangkan mampu mengklasifikasikan kacang
menjadi 3 tingkat ketuaan dengan hasil pendugaan lebih akurat dibandingakan
pendugaan menggunakan Linear Discriminant Analysis (LDA).
Kajian pengembangan system pemutuan kualitas eksternal melon dengan
menggunakan fuzzy inference dilakukan oleh Nakano et al. (2004). Dalam kajian ini
digunakan 30 melon untuk masing-masing 3 tingkat mutu melon (excellent, superior
dan good). Input yang digunakan dalam model adalah besaran pengolahan citra
berupa rasio net, warna, bentuk dan vine index. Algoritma yang dibuat dapat
mengklasifikasi melon dengan tingkat akurasi untuk excellent 80 %, superior 73,3 %
dan good 83,3 %.
Sementara itu, Anjar (2005) telah berhasil mengembangkan model fuzzy
untuk pemutuan belimbing berdasarkan tingkat kemanisan. Model logika fuzzy yang
dibuat menggunakan masukan nilai kadar gula dan nilai kadar asam yang diperoleh
dari pengukuran refractometer dan metode titrasi. Proses pendugaan tingkat
kemanisan menggunakan sistem inferensi fuzzy metode Mamdani. Out put dari
model mampu mengklasifikasikan belimbing menjadi tiga tingkat kemanisan yaitu
manis, sedang dan asam. Hasil pendugaan memiliki tingkat akurasi sebesar 88 %
dibandingkan dengan hasil uji organoleptik.
16
Sistem Inferensi Fuzzy
Sistem Inferensi Fuzzy disebut juga Fuzzy Inference System (FIS). Inferensi
Fuzzy adalah proses yang memformulasikan pemetaan suatu input yang diberikan
menuju suatu output tertentu menggunakan logika fuzzy. Struktur dasar FIS
ditunjukkan pada Gambar 1 .
NormalizationModule
FuzzificationModule
InferenceEngine
------------------Rulebase
meaning representation
Database
DefuzzificationModule
DenormalizationModule
Crisp State InputValues
Crisp Control-OutputValues
Computational Flow
Information Flow Gambar 1. Struktur dasar Sistem Inferensi Fuzzy.
Ada berbagai macam tipe FIS (Fuzzy Inference System), tetapi yang paling
sering dipakai ada 3, yaitu model fuzzy Mamdani, model fuzzy Sugeno, dan model
fuzzy Tsukamoto. Model FIS tersebut, secara ringkas, yaitu:
1. Sistem inferensi Mamdani
Hasil keluaran sistem inferensi mamdani masih berupa fuzzy.
2. Sistem inferensi Sugeno (Takagi-Sugeno-Kang)
Basis kaidah fuzzy tipe Sugeno memiliki bentuk
If x adalah X dan y adalah Y Then z = f(x,y)
Dengan X dan Y merupakan himpunan fuzzy dan z = f(x,y) merupakan fungsi
tegas yang biasanya dalam bentuk polinomial dengan variabel x dan y. Jika
f(x,y) adalah konstan model ini dikatakan sistem inferensi Sugeno orde nol
(zero-order). Hasil keluaran sistem inferensi Sugeno sudah berbentuk tegas.
17
3. Sistem inferensi Tsukamoto
Pada model Tsukamoto, dicirikan dengan consequent dari tiap aturan fuzzy if-
then direpresentasikan dengan set fuzzy yang mempunyai MF yang monoton.
Akibatnya output yang didapatkan dari tiap rule didefinisikan sebagai nilai
crisp yang diinduksi oleh firing strength dari rule. Karena tiap rule
menghasilkan output crisp, model fuzzy Tsukamoto mengumpulkan output
setiap rule dengan menggunakan metode rata-rata bobot sehingga
menghindari proses deffuzification yang menghabiskan waktu.
Input sistem inferensi fuzzy bisa berupa input fuzzy ataupun input crisp,
sementara outputnya set fuzzy. Namun kadangkala dibutuhkan bahwa output
haruslah berupa input crisp. Kasus ini sering terjadi pada disain pengendali fuzzy,
dengan demikian dibutuhkan metoda tambahan yang disebut sebagai defuzzification,
yang bertujuan untuk mengekstrak nilai crisp yang paling tepat untuk
merepresentasikan nilai fuzzy yang dihasilkan oleh FIS
Gambar 2. Model Fuzzy Inference System, dan representasi bilangannya.
Proses fuzzy inference Mamdani berdasarkan pada proses perhitungan terdiri
dari 5 tahapan, yaitu:
1. Fuzzifikasi variabel input
2. Operasi Fuzzy pada antecedent (And - Or atau secara teoritis menggunakan
komposisi min-max,dll)
3. Operasi Implikasi dari antecedent ke consequent
18
4. Aggregasi masing-masing consequent dari tiap rule untuk menghasilkan suatu
kesimpulan
5. Defuzzifikasi
Fuzzifikasi
Proses fuzzifikasi yaitu mengambil data dari input bilangan tegas dan
menentukan derajat keanggotaan dari input tersebut. Caranya yaitu lewat
Membership Function. Proses fuzzifikasi input ini bisa didapat dengan cara
membandingkan input dengan lookup table atau pengevaluasian fungsi keanggotaan
(evaluasi rumus matematika).
Operasi Fuzzy
Setelah masing-masing input di defuzzifikasi, maka dapat ditemukan derajat
keanggotaan masing-masing antecedent dalam setiap aturan (rule). Jika antecedent
dari sebuah rule mempunyai lebih dari 1 input, maka operasi fuzzy harus dilakukan
untuk mencapai 1 nilai yang merepresentasikan hasil dari antecedent untuk masing
masing rule. Hasil berupa 1 nilai tersebut disebut juga dengan firing strength.
Metode Operator Fuzzy ini diatur oleh kaidah fuzzy If-Then. Metode yang
sering digunakan adalah operasi AND (yaitu:metode minimum, metode product) dan
operasi OR(yaitu: metode maximum, dan metode Probabilistic OR)
Implikasi
Sebelum melakukan proses implikasi, setiap firing strength akan diberikan
pembobotan sesuai dengan kaidahnya. Pembobotan itu disebut dengan rule weight
(bernilai antara 0 sampai 1). Umumnya rule weight adalah 1. Selanjutnya, consequent
akan dibentuk sesuai dengan fungsi yang berhubungan dengan antecedent (dalam hal
ini adalah firing strength). Input dari proses implikasi adalah firing strength, dan
outputnya adalah sebuah gugus fuzzy. Proses implikasi ini dilakukan untuk setiap
rule. Metode Implikasi adalah metode penalaran fuzzy. Metode yang sering
digunakan ada 2, yaitu: minimum dan product.
19
Aggregasi
Keputusan/kesimpulan dalam sistem logika fuzzy didasarkan pada pengujian
untuk semua aturan , maka setiap rule harus digabungkan dengan suatu metode untuk
mencapai suatu kesimpulan. Aggregasi adalah proses yang menggabungkan beberapa
gugus fuzzy yang merepresentasikan suatu output menjadi satu fuzzy set. Ilustrasi
proses agregasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Metode penggabungannya yaitu menggunakan operator komposisi. Beberapa
metode yang sering digunakan untuk aggregasi adalah: maximum , probabilistic or,
dan sum (penjumlahan langsung).
0
MetodeAggregasi: Max
Mem
bers
hip
Gra
de
25%
Mem
bers
hip
Gra
deM
embe
rshi
pG
rade
0Mem
bers
hip
Gra
de
25%
Rule Output 1:
Rule Output 2:
Rule Output 3:
HasilAggregasi:
0 25%
0 25%
Gambar 3. Ilustrasi proses Aggregasi
Defuzzifikasi
Defuzzifikasi merupakan cara untuk mendapatkan sebuah bilangan/nilai crisp
dari nilai fuzzy (yang representatif). Metode defuzzifikasi pada dasarnya terdiri dari
5 metode defuzzifikasi yaitu Centroid of area (zCOA), Bisector of area (zBOA), Mean
of maximum ( zMOM ), Smallest of maximum (zSOM), dan Largest of maximum (ZLOM).
Metode defuzzifikasi ditunjukkan pada Gambar 4.
20
S m allesto f m ax
C entro idof M ax
C entro ido f A rea
Largesto f M ax
Gambar 4. Berbagai metode defuzzifikasi untuk memperoleh output tegas (crisp)
Centroid of area (zCOA) :
Untuk sistem kontinyu: ∫∫
=
Z A
Z ACOA
dzz
zdzzz
)(
)(
μ
μ
Untuk sistem diskrit: ∑
∑
=
=⋅
=l
l
1
1
)(
)(
i
iCOA
zi
ziziz
μ
μ
Dengan μA(z) adalah kumpulan output MF. Metode ini adalah yang paling
banyak dipakai untuk strategi deffuzification. Walaupun konsepnya berbeda,
metode ini mengingatkan kembali pada cara penghitungan nilai harapan pada
distribusi probabilitas.
Bisector of area (zBOA):
∫∫ =β
αμμ
BOAz ABOAz
A dzzdzz )()(
Dengan α=min{z|z ∈ Z} dan β=max{z| z ∈ Z}. Jadi zBOA adalah garis tegak
lurus yang membagi area antara z=α sampai z=β.
Mean of maximum ( zMOM ):
∫∫
=
'
'
Z
ZMOM
dz
zdzz
21
zMOM adalah nilai z yang berada pada titik dimana garis lurus pada titik ini
akan membagi area yang memiliki MF bernilai maksimum menjadi 2 daerah
sama besar.
Smallest of maximum (zSOM):
zSOM adalah nilai z terkecil yang mempunyai nilai MF maksimum.
Largest of maximum (ZLOM):
ZLOM adalah nilai z terbesar yang mempunyai nilai MF maksimum.
Penghitungan untuk memperoleh hasil dari kelima metode tersebut membutuhkan
banyak waktu kecuali bila digunakan prosesor yang handal. Selain itu kelima metode
tersebut juga tidak mudah untuk dianalisis secara matematis.