[3] Pemeriksaan Glukosa Dalam Urine by Jhs[7]

download [3] Pemeriksaan Glukosa Dalam Urine by Jhs[7]

of 9

description

tugas

Transcript of [3] Pemeriksaan Glukosa Dalam Urine by Jhs[7]

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEPERAWATAN

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEPERAWATANPENGUKURAN GLUKOSA DALAM URIN

Kelompok IIIHerry Setiawan I1B108227Ema Norsantri I1B108205

Ifa Hafifah

I1B108214Fatimatuzzahrah I1B108216Melissa Effendie I1B108217Nurullah Azmi I1B108220

Devi M Siagian I1B108224

Fitri Shoufia I1B108226

Winda Anggraini I1B108231

Khusnul Khatimah I1B108233

Raudhatul Jannah I1B108234

Bagian Biokimia Fakultas KedokteranUniversitas Lambung Mangkurat

BANJARBARU

APRIL, 2009JUDUL PRAKTIKUM:

" Pengukuran Glukosa dalam Urin"

TUJUAN PRAKTIKUM

Adapun tujuan praktikum kali ini adalah mengetahui secara kualitatif kadar glukosa dalam urin.METODE PRAKTIKUM

A. Alat Praktikum

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Tabung reaksi

2. Penjepit tabung

3. Lampu spritus

4. Pipet ukur

B. Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Reagen Benedict

2. UrineC. Cara Praktikum

Ambil tabung reaksi dan isilah 2-3 ml reagen Benedict, kemudian tambahkan kurang lebih 1ml urine (sekitar 20 tetes). Panaskan diatas api sampai mendidih maksimum 1 menit. Amati hasilnya!

HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil Praktikum

Sesuai hasil praktikum, didapatkan hasil sebagai berikut:

Urine sampel ( positif (+) DM (Diabetes Mellitus)

Hasil reaksi ialah ++ (positif 2) karena campuran urine dan benedict setelah dipanaskan berwarna merah bata.

Urine praktikan/probandus ( negatif () ( Tidak ada / tidak menderita DM / diabetes melitus)

Hasil reaksi ialah + (positif 1) karena campuran urine dan benedict setelah dipanaskan berwarna biru.

B. Pembahasan.

Pembahasan glukosa dalam urine didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Glukosa sebagai aldehida mempunyai sifat sebagai reduktor, maka bila ada senyawa/reagen yang bersifat mudah menerima electron sepert Cu2+ (dari CuSO4) akan terjadi reaksi oksidasi reduksi. Cu2+ direduksi menjadi Cu+ (dalam bentuk endapan Cu2O yang berwarna merah bata), sedangkan glukosanya dioksidasi menjadi asam glukonat. Sebagai indikator dalam reaksi ini bila reaksinya positif adalah terbentuknya endapan Cu2O yang berwarna merah bata. Warna yang terjadi tergantung dari banyaknya endapan Cu2O yang berbaur warna dengan warna CuSO4 yang warnanya biru.

Kalau glukosa darah naik hingga mencapai kadar yang relatif tinggi, ginjal juga melakukan suatu pengaturan. Glukosa disaring oleh glomerulus secara terus menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan seluruhnya ke dalam darah melalui sistem reabsorbsi tubulus ginjal. Reabsorbsi glukosa melawan gradien konsentrasinya terkait dengan pengadaan ATP di sel-sel tubulus. Kapasitas tubulus untuk mereabsorbsi glikosa terbatas pada laju sekita 350mg/menit. Ketika kadar glukosa darah naik, filtrat glomerulus dapat mengandung glukosa lebih banyak daripada jumlah yang bisa direabsorbsi, kelebihan ini akan dikeluarkan ke urin sehingga menimbulkan gejala glikosuria. Pada orang-orang normal, glikosuria terjadi jika konsentrasi glukosa di dalam darah vena melampaui 9,5-10,0 mmol/L. Keadaan ini dinamakan ambang ginjal (renal threshold) untuk glukosa.

Pada Glukosuria ginjal (ginjal gagal merabsorbsi glukosa) konsentrasi glukosa darah mungkin normal, tetapi mekanisme transpor untuk reabsorbsi glukosa di tubulus akan sangat terbatas atau tidak ada. Akibatnya, meskipun kadar glukosa darah normal, sejumlah besar glukosa masuk ke dalam urin setiap harinya. Karena diabetes mellitus juga berhubungan dengan adanya glukosa dalam urin, diagnosis glukosuria renalis, yang merupakan kondisi benigna, harus disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis diabetes melitus.

Penyakit diabetes mellitus (diabetes melitus tipe 1 atau diabetes melitus bergantung insulin, IDDM) ditandai dengan penurunan toleransi glukosa akibat berkurangnya sekresi insulin sebagai respon terhadap pemberian glukosa. Manifestasi klinis penyakit ini berupa kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan glikosuria yang dapat disertai perubahan pada metabolisme lemak. Toleransi terhadap glukosa bukan saja menurun pada penyakit diabetes tipe 1 tetapi juga pada kerusakan hati. Pada beberapa infeksi, pada penyakit diabetes melitus tipe II (NIDDM), yang sering disertai obesitas serta peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam plasma, pada keadaann di bawah pengaruh beberapa obat tertentu, dan kadang-kadang pada aterosklerosis. Penurunan toleransi glukosa ini diperkirakan akan terjadi pula pada hiperaktivitas kelenjar hipofisis atau korteks adrenal, karena sifat antagonisme hormon-hormon kelenjar endokrin terhadap kerja insulin.

Pada diabetes mellitus terdapat kekurangan relatif atau absolut insulin, yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan hal tersebut mempunyai konsekuensi yang serius. Lipolisis dan proteolisis otot menyebabkan penurunan berat badan dan kelemahan. Kadar asam lemak bebas dan gliserol dalam darah meningkat. Kelebihan asetil-KoA dihasilkan dalam hatidan diubah menjadi asam asetoasetat yang kemudian mengalami reduksi menjadi asam -hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Badan keton ini terakumulasi dalam darah dan menyebabkan asidosis (ketoasidosis). Sekitar 25% pasien diabetes mengalami defisiensi insulin berat. Diabetes tipe I atau diabetes tergantung insulin ini berhubungan dengan human leucocyte antigen dan destruksi sel selektif secara imunologis. Pada pasien ini, ketosis sering terjadi dan dibutuhkan insulin. Digunakan berbagai sediaan insulin dan regimen. Terdapat bukti bahwa kontrol metabolik sejak dini pada perjalanan penyakit bisa mencegah atau memperlambat awitan komplikasi diabetesnya. Etiologi diabetes tipe II atau diabetes tidak tergantung insulin tidak diketahui, tetapi terdapat komponen genetik yang kuat. Terdapat resistensi terhadap insulin dalam sirkulasi, yang bagaimanapun juga melindungi pasien dari ketosis. Terdapat penurunan jumlah reseptor insulin dan ini sering berhubungan dengan obesitas. Penurunan berat badan (diet dan olahraga) mengurangi resistensi insulin dan mengendalikan kira-kira sepertiga pasien diabetes tipe II. Diabetes tipe II yang tidak terkontrol dengan diet dan obat antidiabetes oral membutuhkan suntikan insulin. Pasien-pasien ini cenderung merupakan pasien yang lebih kurus yang kekurangan respons insulin fase pertama. [4]

Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel pulau Langerhans dalam pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel , tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikema). Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh otot, hati, dan jaringan adiposa. [4]

Insulin merupakan polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu prekursor, yang disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk membentuk insulin dan peptida C residual. Granula menyimpan insulin sebagai kristal yang mengandung zink dan insulin. [4]

Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu makan. Sel-sel memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP) intraseluler (kanal KATP). Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel dan metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP intraseluler yang menutup kanal KATP. Depolarisasi sel yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin. [4]

Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiiri dari dua subunit dan dua subunit yang terikat secara kovalen oleh ikatan disulfida. Setelah insulin terikat pada subunit , kompleks insulin-reseptor memasuki sel, dimana insulin dihancurkan oleh enzim lisosom. Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor medasari down-regulation reseptor yang dihasilkan oleh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien obes). Ikatan insulin pada reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit dan memulai suatu rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin. [4]Diabetes adalah penyebab utama kematian dan kelebihan sifat mudah kena sakit. Sekarang satu-satunya yang paling umum penyebab kebutaan dan gagal ginjal di tengah usia. Studi yang baru-baru ini menekankan pentingnya tingkat gula darah dalam kecenderungan ini microvascular komplikasi. [5]

Sebagian besar pasien diabetes tipe I menggunakan regimen yang mencakup insulin kerja singkat dicampur dengan insulin kerja menengah yang disuntikkan subkutan dua kali sehari, sebelum makan pagi dan sebelum makan sore. Regimen kontrol intensif yang lebih banyak dibutuhkan dibuat untuk menghasilkan normoglikema dengan tujuan mengurangi komplikasi diabetes. Salah satu regimen adalah suntikan insulin kerja menengah, untuk memberikan kadar insulin dasar, dan insulin yang dapat larut tiga kali sehari sebelum makan. [4]

Diabetes tipe 2 adalah peningkatan proporsi epidemi di seluruh dunia. Terkait dengan sifat mudah kena sakit dan kematian yang mengesankan beban yang besar pada sistem kesehatan. Berdasarkan pemahaman tentang pathophysiology dari glukosa intoleransi, percobaan klinis pada pencegahan diabetes telah dilakukan. Percobaan tersebut telah menunjukkan bahwa diet dan olah raga, metformin, acarbose, dan troglitazone dapat mencegah atau paling tidak menunda pengembangan diabetes. [6]

Dari praktikum, dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh untuk urin dari probandus adalah bernilai + (positif satu). Karena warna biru yang muncul setelah campuran dari urin probandus dengan reagen benedict dipanaskan. Glukosa positif satu ini mengandung pengertian bahwa kandungan glukosa dalam urine lebih sedikit dibandingkan dengan ++ (positif dua) dan +++ (positif tiga). Sebagai pembanding, diberikan sampel uji glukosa urine yang positif menderita Diabetes Mellitus (DM). Pada sampel ini, nilainya adalah ++ (positif dua), karena campuran urine dan reagen benedict setelah dipanaskan berwarna merah bata dan terdapat endapan. Dari hasil ini, berarti bahwa nilai glukosanya lebih sedikit dari +++ (positif tiga) akan tetapi lebih banyak daripada + (positif satu).PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktikum, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Apabila hasil pemanasan urine dengan reagen benedict tidak berubah warna , maka hasil reaksinya adalah negatif dan artinya urine tidak mengandung glukosa dan normal.

2. Apabila hasil pemanasan urine dengan reagen benedict berubah warna menjadi kebiruan atau kehijauan, maka hasil reaksinya adalah positif 1 (+) dan artinya urine mengandung sedikit glukosa.

3. Apabila hasil pemanasan urine dengan reagen benedict berubah warna menjadi kemerahan atau merah bata, maka hasil reaksinya adalah positif 2 (++) dan artinya urine mengandung banyak glukosa, dan dinyatakan sebagai penderita diabetes mellitus.

4. Makin banyak endapan merah batanya maka artinya makin banyak kandungan glukosa dalam urin.

B. Saran

Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan bahwa hasil yang didapat adalah positif , karena reaksi ini hanya berdasarkan reaksi oksidasi reduksi, maka tidak spesifik untuk glukosa. Reaksi akan positif bila dalam urine terdapat pereduktor baik glukosa maupun pereduktor lain seperti vitamin C.DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. 2007. Modul Praktikum Biokimia Kedokteran I. Bagian Biokimia Kedokteran FK UNLAM, Banjarbaru.

2. Murray, RK. 1999. Biokimia Harper. EGC, Jakarta.

3. Arthur C.Guyton dan E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.4. Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga.

5. Snieder, Harold, et al. Evidence From Healthy and Diabetic Twins. Vol;50. 2001.6. Chiasson, J-L, et al. Prevention of Type 2 Diabetes Insulin Resistance and Cell Function. Vol; 53. 2004.Banjarbaru, 15 April 2009

Ketua Kelompok Dosen Praktikum

Herry Setiawan dr. Triawanti, M. Kes

NIM. I1B108227 NIP. 132165729_1300781381.unknown

_1300781410.unknown

_1300781439.unknown

_1300781354.unknown