4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO … · diletakkan garis transek dengan cara meletakkan...
Transcript of 4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO … · diletakkan garis transek dengan cara meletakkan...
4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR DENGAN TRANSEK SABUK
DAN TRANSEK GARIS INTERSEP
4.1 Pendahuluan
Sampai dengan awal tahun 2000-an, penelitian dengan melakukan
pemotretan bawah air masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan untuk
melakukan pemotretan bawah air diperlukan biaya yang relatif mahal, baik dari
segi biaya peralatan kamera maupun dari segi pemrosesan fotonya. Hasil
pemotretannya pun belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Penggunaan
kamera analog dengan kapasitas film yang terbatas untuk setiap roll-nya (+ 36
film saja) dirasakan sangat tidak praktis. Peneliti harus membatasi keinginannya
untuk memotret hanya obyek-obyek yang sudah direncanakannya sebelum turun
menyelam. Naik ke perahu setelah film habis untuk mengganti dengan roll film
yang baru dimungkinkan meskipun tidak praktis dan juga mengandung resiko
bagian dalam kamera terkena air laut. Selain itu, hasil foto kamera analog harus
diproses dulu di laboratorium foto untuk dicetak di atas kertas khusus foto. Jadi,
bila terjadi kesalahan teknis dalam pengambilan foto (foto kurang jelas
gambarnya), maka hilanglah kesempatan mendokumentasikan obyek, yang
berarti pula kehilangan informasi penting dalam penelitian.
Perkembangan teknologi yang pesat pada teknologi kamera digital
membuat penggunaan foto bawah air menjadi salah satu alternatif untuk menilai
kondisi terumbu karang. Penggunaan kamera analog yang digantikan dengan
penggunaan kamera digital dirasa jauh lebih praktis bagi penggunanya. Kapasitas
film yang bisa memuat ratusan foto, dan hasil fotonya yang bisa langsung dilihat
beberapa detik setelah pemotretan menjadi nilai lebih dari kamera digital
dibandingkan dengan kamera analog. Perkembangan teknologi komputer
termasuk piranti lunaknya juga menambah kepraktisan dalam menganalisis foto
bawah air. Bila dulu sebelum berkembangnya piranti lunak untuk analisis foto,
objek yang akan difoto diberi frame yang terbagi atas beberapa kotak kecil-kecil
(grid) agar bisa diperkirakan luasan/persentase tutupannya (atau bila pemotretan
tanpa menggunakan frame, maka persentase tutupan koloni dilakukan secara
36
manual dari foto yang dihasilkan), kini terdapat beberapa piranti lunak untuk
analisis fotonya. Piranti lunak yang dipakai antara lain Sigma Scan Pro, Image J
ataupun CPCe.
Metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transek (UPT)
merupakan metode penelitian yang memanfaatkan perkembangan teknologi, baik
teknologi kamera digital maupun teknologi komputer termasuk piranti lunaknya.
Metode UPT ini diharapkan bisa menjadi salah satu metode alternatif untuk
menilai kondisi terumbu karang. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah
apakah metode tersebut dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang.
Oleh karena itu penggunaan metode UPT perlu dikaji lebih mendalam, termasuk
melakukan kajian perbandingan antara hasil yang diperoleh menggunakan
metode UPT dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode lain yang telah
dikenal dan umum dipakai dalam penelitian penilaian kondisi terumbu karang.
Misalnya dengan metode Transek Sabuk atau Belt transect (BT) (Hill and
Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004) dan Transek Garis Intersep atau Line
Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson
2004, Oliver et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka pada bagian ini akan
dilakukan kajian perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan
metode UPT dengan metode BT dan UPT. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat
menjawab pertanyaan tentang apakah penggunaan metode UPT dapat dipakai
untuk menilai kondisi terumbu karang.
4.2 Bahan dan Metode
4.2.1 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di sepuluh lokasi penelitian di Kepulauan Seribu
(Tabel 1). Untuk masing-masing lokasi penelitian dipilih satu stasiun, sehingga
seluruhnya terdapat sepuluh stasiun penelitian. Urutan stasiun dilakukan
berdasarkan urutan penelitian di lapangan. Posisi koordinat lintang dan bujur
stasiun penelitian di masing-masing lokasi pulau disajikan pada Lampiran 2.
37
Tabel 1 Lokasi penelitian beserta kode stasiunnya
Kode Stasiun Nama pulau ST01 Semak Daun ST02 Air ST03 Kotok Besar ST04 Panjang ST05 Pantara Kecil (Hantu Kecil) ST06 Jukung ST07 Belanda ST08 Putri ST09 Tidung ST10 Tikus
4.2.2 Metode pengambilan data
Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara penyelaman
menggunakan peralatan selam SCUBA. Untuk setiap stasiun penelitian,
diletakkan garis transek dengan cara meletakkan roll meter sepanjang 70 m yang
diletakkan pada kedalaman sekitar 3-5 m. Garis transek dipasang sejajar garis
pantai. Selanjutnya dengan bantuan garis transek tersebut, dilakukan
pengambilan data menggunakan ketiga metode yang berbeda, yaitu metode BT,
LIT dan UPT.
Untuk metode BT, transek dilakukan pada bidang luasan 1 meter sebelah
kiri dan 1 meter sebelah kanan sepanjang 70 m garis transek, sehingga luas
bidang transek seluruhnya adalah (2 m x 70 m) = 140 m2. Semua karang keras
yang berada di dalam luasan transek diukur panjang dan lebar maksimumnya.
Untuk metode LIT, transek dilakukan sepanjang garis transek 70 m. Semua biota
dan substrat yang berada tepat di bawah garis transek dicatat posisinya pada garis
transek (transition) dengan ketelitian hingga 1 cm. Untuk metode UPT,
pengambilan foto dilakukan setiap rentang jarak 1 m, dimulai dari meter ke-1
hingga meter ke-70. Kamera yang digunakan untuk pemotretan adalah kamera
Olympus Camedia C8080WZ (selanjutnya hanya disebut sebagai kamera ”WZ”
saja). Pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar dan tanpa
menggunakan pembesaran (zoom) sehingga luas bidang pemotretan yang
dihasilkan untuk setiap framenya sebesar (58cm x 44cm) atau 2552 cm2. Teknis
38
pelaksanaannya yang lebih rinci dari masing-masing metode telah diuraikan pada
Bab 3 Metodologi Penelitian dari disertasi ini.
Selain data lapangan yang diperoleh dari garis transek, lamanya waktu
yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan juga dicatat. Lamanya
waktu pengambilan data di lapangan (in situ), dan lamanya waktu pemasukan
data ke dalam komputer (data entry) (ex situ) diperlukan untuk melihat tingkat
efisiensi suatu metode terhadap metode yang lainnya.
4.2.3 Analisis data
Data-data yang diambil dari lapangan belum berupa data-data yang siap
pakai. Data-data tersebut perlu dimasukkan ke dalam komputer dan disimpan di
dalam lembaran kerja (worksheet) yang siap untuk diolah lebih lanjut. Data
mentah (row data) yang diperoleh pada pengambilan data menggunakan metode
BT dan LIT merupakan data yang bisa langsung dimasukkan ke dalam komputer.
Hal ini berbeda dengan pengambilan data menggunakan metode UPT dimana
datanya masih dalam bentuk foto-foto yang masih perlu dianalisis di ruang kerja
untuk mendapatkan data kuantitatif yang siap untuk dianalisis lebih lanjut. Jadi,
pada penggunaan metode UPT lamanya waktu pemasukan data ke dalam
komputer merupakan waktu untuk proses analisis foto, dimana data yang diambil
dari lapangan yang masih berupa foto-foto dianalisis dengan menggunakan
komputer.
Foto-foto hasil pemotretan bawah air dianalisis menggunakan piranti lunak
(software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Piranti lunak ini bisa diunduh
(download) secara bebas lewat internet. Analisis foto dilakukan berdasarkan
keseluruhan gambar (entire image) dari masing-masing foto dan dilakukan
dengan menggunakan teknik menghitung luas area (Gambar 16).
Penggunaan panjang transek 70 m dengan pemotretan dimulai dari titik 1
m dan rentang jarang pemotretan 1 m akan menghasilkan foto sebanyak 70 frame
foto. Selanjutnya persentase tutupan untuk setiap kategori biota dan substrat
dihitung menggunakan rumus :
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 = 𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃
𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚 𝑓𝑓𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑘𝑘𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑚𝑚 100%
39
Gambar 16 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori.
Sedangkan persentase tutupan untuk data yang diperoleh dengan
menggunakan metode LIT dihiung menggunakan rumus:
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 = 𝑃𝑃𝑘𝑘𝑃𝑃𝑚𝑚𝑙𝑙 𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑖𝑖𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑝𝑝 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃
𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑖𝑖𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑚𝑚 100%
Data yang diambil menggunakan metode BT berupa data panjang dan lebar
maksimum dari setiap jenis karang keras yang berada dalam luasan transek.
Untuk menghitung persentase tutupan karang keras dalam suatu luasan transek,
pertama-tama dihitung terlebih dahulu luas dari setiap jenis karang yang
dijumpai. Pada umumnya bentuk karang dilihat dari permukaan (atas)
menyerupai bidang elips, sehingga luas bidang setiap jenis karang diperkirakan
menggunakan rumus luas bidang elips yaitu = ½P x ½L x π, dimana P = panjang
maksimum; L = lebar maksimum; dan π = 3,14. Untuk kondisi dimana P = L
maka bentuk bidangnya adalah lingkaran. Selanjutnya persentase tutupan karang
hidup dihitung berdasarkan rumus:
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃 = 𝑃𝑃𝑘𝑘𝑃𝑃𝑚𝑚𝑙𝑙 𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑃𝑃𝑚𝑚𝑡𝑡𝑡𝑡𝑘𝑘
𝑚𝑚 100%
Untuk melihat efisiensi suatu metode ditentukan berdasarkan analisis biaya
dan waktu (cost and time analysis) yaitu dengan mempertimbangkan faktor biaya
dan waktu yang harus ditanggung akibat penggunaan metode yang dipilih. Total
biaya dan waktu masing-masing metode lalu distandarisasikan dengan cara
membaginya dengan nilai total biaya dan waktu yang terendah di antara ketiga
40
metode tersebut, dan nilainya disebut sebagai nilai koefisien efisiensi biaya dan
waktu (ψ). Semakin efisien suatu metode, maka nilai ψ akan lebih rendah
dibandingkan nilai ψ metode yang lainnya.
Untuk uji perbandingan antara ketiga metode yang dipakai (BT, LIT dan
UPT), digunakan analisis ragam (anova = analysis of variance) untuk rancangan
percobaan dengan pengukuran berulang (repeated-measures experimental design)
(Zar 1996), karena ketiga metode (perlakuan) diterapkan pada garis transek yang
sama di masing-masing stasiun penelitian. Data yang dibandingkan adalah data
persentase tutupan karang keras (HC). Sedangkan untuk kelompok yang lainnya
yaitu karang mati (DS), alga (ALG), fauna lain (OF) dan abiotik (ABI),
perbandingan hanya dilakukan untuk persentase tutupan yang diperoleh dari
metode LIT dan UPT saja karena pada metode BT tidak mengukur kelompok-
kelompok tersebut. Pada metode BT, data yang diukur hanya panjang dan lebar
maksimum karang keras (HC) saja. Uji yang digunakan untuk kelompok DS,
ALG, OF dan ABI yaitu uji t berpasangan. Anova untuk rancangan percobaan
dengan pengukuran berulang juga dilakukan terhadap data keanekaragaman
karang keras seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’) dan indeks
kemerataan (J’).
Bila pada anova disimpulkan bahwa tidak semua data menghasilkan nilai
dugaan yang sama, maka dilakukan uji perbandingan berganda menggunakan uji
simultan Tukey (Neter et al. 1996, Zar 1996). Uji ini dilakukan untuk
menemukan metode mana yang memiliki nilai dugaan yang sama ataupun nilai
dugaan yang berbeda.
Sebelum dilakukan uji statistik, untuk memenuhi asumsi data berdistribusi
normal, bila perlu data ditransformasikan terlebih dahulu (Sokal and Rohlf 1995,
Neter et al. 1996, Zar 1996). Metode transformasi Box-Cox (Sokal and Rohlf
1995, Neter et al. 1996, Zar 1996) diterapkan pada data untuk menyelidiki
transformasi yang sesuai sebelum dilakukan pengujian. Untuk data berupa
persentase, sebelum dilakukan uji statistik data ditransformasi ke bentuk
transformasi Arcsin akar pangkat dua (p’ = arcsin √p) (Sokal and Rohlf 1995,
Zar 1996). Selain itu, berdasarkan frekuensi kehadiran dari setiap jenis karang
keras di masing-masing stasiun penelitian, dilakukan analisis Multi Dimensional
41
Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi dari masing-
masing Metode ataupun Stasiun. Untuk anova dan uji perbandingan digunakan
program Minitab v16, sedangkan analisis MDS menggunakan Primer v5 (Clarke
and Gorley 2001).
4.3 Hasil
4.3.1 Analisis biaya dan waktu
4.3.1.1 Biaya
Biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing metode dihitung berdasarkan
saat melakukan:
1. pengambilan data di lapangan, dan
2. pemasukan data ke dalam komputer (data entry) sehingga siap untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk metode UPT, waktu pemasukan data meliputi
juga waktu analisis foto.
Biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan oleh masing-masing metode
diasumsikan tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Tabel 2 merupakan biaya
yang harus dikeluarkan akibat penggunaan metode yang dipilih, baik saat
pengambilan data di lapangan maupun saat pemasukan data ke dalam komputer.
Besarnya biaya yang dikeluarkan mungkin bervariasi antar lokasi penelitian
maupun standar pengupahan untuk personil. Untuk pekerjaan lapangan dimana
harus dilakukan penyelaman, minimal diperlukan dua penyelam, dimana satu
penyelam untuk meletakkan dan menggulung roll meter sebagai garis transek,
sedangkan satu penyelam lagi melakukan penelitian menggunakan metode UPT,
atau LIT atau pun BT.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa biaya per hari yang dikeluarkan saat
pengambilan data di lapangan jauh lebih besar dibandingkan biaya per hari yang
dikeluarkan saat pemasukan data. Perbandingan antara biaya per hari yang
dikeluarkan saat pengambilan data di lapangan menggunaakan metode LIT dan
BT terhadap biaya per hari saat pengambilan data di lapangan menggunaakan
metode UPT serta biaya per hari saat pemasukan data (baik metode BT, LIT
maupun UPT) adalah Rp. 2.300.000,- : Rp. 2.400.000,- : Rp. 300.000,- atau 7,7 :
42
8 : 1. Nilai perbandingan tersebut merupakan dasar pemberian bobot yang
diberikan untuk masing-masing metode berdasarkan biaya per hari yang harus
dikeluarkan (Tabel 3).
Tabel 2 Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing metode
(i). Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengambilan data di lapangan per hari
a. Metode LIT dan BT
- Sewa perahu
= Rp. 800.000 ,-
- Sewa 2 set peralatan selam @ Rp. 300.000,- = Rp. 600.000 ,-
- Upah 2 penyelam/peneliti @ Rp.450.000,- = Rp. 900.000 ,-
Total = Rp. 2.300.000 ,-
b. Metode UPT
- Sama dengan biaya yang dikeluarkan metode LIT dan BT = Rp. 2.300.000 ,-
- Sewa peralatan kamera bawah air = Rp. 100.000 ,-
Total = Rp. 2.400.000 ,-
(ii). Biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasukan data ke komputer per hari
Metode UPT, LIT dan BT sama, yaitu:
- Penggunaan ruangan kerja/komputer/listrik untuk input data = Rp. 100.000 ,-
- Upah 1 orang/peneliti untuk data entry = Rp. 200.000 ,-
Total = Rp. 300.000 ,-
Tabel 3 Biaya perhari yang dikeluarkan dan nilai bobot untuk pengambilan dan pemasukan data berdasarkan metode penelitian yang digunakan
Metode Biaya perhari yang harus dikeluarkan untuk:
pengambilan data lapangan pemasukan data UPT Rp.2.400.000,- Rp. 300.000,- LIT Rp.2.300.000,- Rp. 300.000,- BT Rp.2.300.000,- Rp. 300.000,-
Metode Bobot (berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per hari) untuk:
pengambilan data lapangan pemasukan data UPT 8 1 LIT 7,7 1 BT 7,7 1
43
4.3.1.2 Waktu
Untuk ketiga metode yang digunakan (BT, LIT dan UPT), dilakukan
analisis waktu yang dihitung berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan untuk:
1. Pengambilan data di lapangan
Rerata lamanya waktu beserta nilai kesalahan baku (Standard Error)
yang diperlukan untuk melakukan pengambilan data di lapangan dengan tiga
macam metode yang berbeda untuk setiap transeknya (n=10) ditampilkan
pada Gambar 17. Lamanya waktu pengambilan data yang tercepat yaitu
dengan metode UPT yaitu sebesar ( 22,30 + 1,59) menit/transek, diikuti oleh
metode LIT (65,90 + 3,93) menit/transek, dan selanjutnya metode BT
(272,40 + 16,44) menit/transek. Pengambilan data di lapangan dengan
metode UPT terlihat tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan pengambilan
data menggunakan metode LIT, bahkan 12 kali lebih cepat dibandingkan
dengan pengambilan data menggunakan metode BT.
Gambar 17 Rerata lamanya waktu pengambilan data di lapangan beserta
nilai simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode
2. Pemasukan data ke dalam komputer (data entry) sehingga siap untuk
dianalisis lebih lanjut.
Berbeda dengan lamanya waktu pengambilan data di lapangan,
lamanya waktu yang diperlukan untuk memasukan data per transeknya dari
data yang diperoleh menggunakan metode UPT memerlukan waktu yang
0
100
200
300
400
BT LIT UPT
Wak
tu p
er tr
anse
k (m
enit)
Metode
Pengambilan data di lapangan
44
lebih lama dibanding kedua metode yang lain, yaitu sekitar delapan kali
lamanya waktu yang dibutuhkan oleh metode LIT atau sekitar dua setengah
kali waktu yang dibutuhkan oleh metode BT (Gambar 18). Hal ini
dikarenakan data yang diperoleh dengan metode LIT dan BT sudah berupa
data yang siap untuk disimpan ke komputer dalam bentuk lembar kerja
(worksheet), sedangkan data yang diperoleh dengan metode UPT masih
berupa foto yang harus dianalisis, baru selanjutnya dimasukkan ke dalam
lembar kerja. Lamanya waktu pemasukan data (rerata + kesalahan baku)
dengan metode BT, LIT dan BT berturut-turut adalah (217,2 + 10,48), (89,6
+ 5,54) dan (734,10 + 16,42), menit per transek. Waktu tersebut termasuk
untuk memasukkan nama jenis karang keras.
Gambar 18 Rerata lamanya waktu pemasukan data per transek beserta nilai
simpangan bakunya per transek untuk masing-masing metode
Lamanya waktu yang diperlukan baik untuk pengambilan data di lapangan
maupun untuk pemasukan data dari masing-masing metode di setiap stasiun
penelitian, ditampilkan pada Lampiran 3.
4.3.1.3 Biaya dan waktu
Koefisien efisiensi biaya dan waktu untuk masing-masing metode dihitung
dengan cara mengalikan nilai bobot berdasarkan biaya yang dikeluarkan baik
saat pengambilan maupun pemasukan data dengan lamanya waktu pengambilan
dan pemasukan data. Selanjutnya dihitung rasio antar nilai-nilai yang diperoleh
0
200
400
600
800
BT LIT UPT
Wak
tu p
er tr
asne
k (m
enit)
Metode
Pemasukan data
45
tersebut, atau disebut sebagai nilai koefisien efisiensi biaya dan waktu (ψ). Nilai
ψ dihitung dengan membagi nilai koefisien biaya dan waktu dari suatu metode
dengan nilai terkecil dari nilai koefisien biaya dan waktu di antara ketiga metode
(BT, LIT dan UPT). Hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Semakin kecil nilai ψ
maka semakin efisien dari segi biaya dan waktu. Dari nilai ψ pada Tabel 4 ini, di
antara ketiga metode yang diperbandingkan, tampak metode LIT lebih efisien
dari segi biaya dan waktu dibandingkan metode UPT dan BT, sedangkan metode
UPT lebih efisien dibanding metode BT. Efisiensi metode LIT 1,53 kali efisiensi
metode UPT.
Tabel 4 Perhitungan koefisien biaya dan waktu untuk masing-masing metode penelitian (UPT, LIT, BT)
Metode Rerata lamanya waktu (menit) per transek untuk:
pengambilan data lapangan pemasukan data
UPT 22,3 734,1 LIT 65,9 89,6 BT 272,4 217,2
Metode Koefisien biaya dan waktu (waktu x bobot biaya) untuk:
pengambilan data lapangan (a)
pemasukan data (b)
Total (a+b)
Rasio= ψ
UPT 22,3 x 8 734,1 x 1 912,50 1,53 LIT 65,9 x 7,7 89,6 x 1 597,03 1,00 BT 272,4 x7,7 217,2 x 1 2314,68 3,88
4.3.2 Persentase tutupan
Kategori biota dan substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok yaitu
kelompok Karang keras (Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia =
DS), Alga (Algae = ALG), Fauna Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic
= ABI). Persentase tutupan untuk kelompok HC dihitung menggunakan metode
BT, LIT dan UPT, sedangkan untuk empat kelompok yang lainnya hanya
menggunakan kelompok LIT dan UPT. Rerata persentase tutupan masing-
masing kelompok beserta nilai kesalahan bakunya (SE = standard error)
berdasarkan metode yang digunakan, ditampilkan pada Lampiran 4 dan Gambar
19.
46
Secara umum terlihat bahwa untuk kelompok HC, nilai rerata yang
diperoleh dengan metode UPT cenderung sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan yang diperoleh metode BT dan LIT. Demikian juga pada DS dan OF
dimana hasil yang diperoleh dengan metode UPT cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan metode LIT. Hal sebaliknya terjadi untuk kelompok ALG
dan ABI dimana hasil yang diperoleh dengan metode UPT cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode LIT. Untuk
melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil yang diperoleh dari
metode yang berbeda maka dilakukan anova (untuk kelompok LC) dan uji t
berpasangan (untuk empat kelompok yang lainnya). Transformasi arcsin akar
pangkat dua dilakukan terhadap data persentase tutupan sebelum dilakukan
anova maupun uji t berpasangan.
Gambar 19 Rerata persentase tutupan beserta nilai kesalahan baku masing-
masing kelompok berdasarkan metode yang digunakan (n=10)
47
4.3.2.1 Karang keras (Hard Coral = HC)
Persentase tutupan HC yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian
dengan tiga macam metode yang berbeda ditampilkan pada Gambar 20.
Berdasarkan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa persentase tutupan HC bervariasi
antar stasiun penelitian. Adanya variasi antar stasiun penelitian juga dibuktikan
dengan nilai p yang rendah (p < 0,01) untuk variasi antar stasiun penelitian
(Tabel 5). Adanya variansi antar stasiun menunjukkan bahwa data persentase
tutupan yang ingin dibandingkan berdasarkan penggunaan metode dilakukan
pada stasiun yang memiliki persentase tutupan karang keras yang beragam. Hasil
anova juga menunjukkan bahwa meskipun metode yang dipergunakan berbeda,
tetapi hasil yang diperoleh oleh ketiga metode tersebut untuk menduga nilai
persentase tutupan karang keras relatif sama (p > 0,01) (Tabel 5).
Gambar 20 Persentase tutupan karang keras di masing-masing stasiun penelitian
yang dihitung dengan tiga metode berbeda (BT, LIT dan UPT)
Tabel 5 Hasil anova untuk persentase tutupan HC (data ditransformasi ke bentuk arcsin akar pangkat dua)
Sumber variasi Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Rerata kuadrat F p
Stasiun 9 1460,65 162,295 5,78 0,000 Metode 2 12,00 6,002 4,65 0,024 Sesatan 18 23,23 1,290 Total 29 1495,88
0
20
40
60
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Tutu
pan
(%)
Stasiun
Karang keras (HC)
BTLITUPT
48
4.3.2.2 Karang mati (Dead Scleractinia = DS)
Persentase tutupan kelompok DS di masing-masing stasiun penelitian yang
dihitung menggunakan metode UPT umumnya lebih rendah dibandingkan
dengan yang dihitung menggunakan metode LIT (Gambar 21). Uji t untuk data
berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok DS menghasilkan nilai
p = 0,032 yang berarti bahwa persentase tutupan DS yang dihasilkan dengan
kedua metode akan memberikan hasil yang relatif sama (p > 0,01).
Gambar 21 Persentase tutupan karang mati di masing-masing stasiun penelitian
yang dihitung dengan dua metode berbeda
4.3.2.3 Alga (Algae = ALG)
Tutupan alga yang dijumpai di masing-masing stasiun penelitian terlihat
bervariasi (Gambar 22). Pada umumnya persentase tutupan alga yang dihitung
dengan metode LIT cenderung lebih tinggi dibanding dengan yang dihitung
menggunakan metode UPT. Meskipun begitu, variasi yang terjadi di dalam
stasiun akibat penggunaan 2 macam metode yang berbeda (LIT dan UPT)
terlihat tidak signifikan (p > 0,01). Hal ini dibuktikan dengan nilai p = 0,085
pada uji t untuk data berpasangan terhadap data persentase tutupan kelompok
ALG.
0
1
2
3
4
5
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Tutu
pan
(%)
Stasiun
Karang mati (DS)
LITUPT
49
Gambar 22 Persentase tutupan alga di masing-masing stasiun penelitian yang
dihitung dengan dua metode berbeda
4.3.2.4 Fauna lain (Other Fauna = OF)
Fauna lain yang dijumpai di sepuluh stasiun penelitian tampak memiliki
variasi yang tinggi antar stasiun penelitian. Variasi yang tinggi di dalam stasiun
karena penggunaan dua metode yang berbeda (LIT dan UPT) sekilas juga
tampak terutama pada ST02, ST04, dan ST05 (Gambar 23), dimana tutupan OF
yang diperoleh menggunakan metode LIT cenderung lebih tinggi dibandingkan
tutupan OF yang diperoleh menggunakan metode UPT. Meskipun secara grafis
terlihat perbedaan yang mencolok, tetapi perbedaan paling tinggi hanya sekitar
5% dan terjadi di ST05. Hasil uji t berpasangan terhadap data persentase tutupan
kelompok OF tidak dapat membuktikan bahwa hasil yang diperoleh dengan
kedua metode (LIT dan UPT) berbeda secara signifikan (p > 0,01). Nilai p yang
diperoleh pada uji t tersebut yaitu p = 0,033.
0
20
40
60
80
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Tutu
pan
(%)
Stasiun
Alga (ALG)
LITUPT
50
Gambar 23 Persentase tutupan fauna lain di masing-masing stasiun penelitian
yang dihitung dengan dua metode berbeda
4.3.2.5 Abiotik (Abiotic = ABI)
Nilai rerata persentase tutupan abiotik beserta kesalahan bakunya yang
diperoleh dengan kedua metode ditunjukkan pada Gambar 24. Uji t berpasangan
terhadap data persentase tutupan kelompok ABI memeperoleh nilai p = 0,104
yang berarti hasil yang diperoleh oleh kedua metode (LIT dan UPT) untuk
menduga persentase tutupan abiotik tidak berbeda secara nyata (p > 0,01).
Gambar 24 Persentase tutupan abiotik di masing-masing stasiun penelitian yang
dihitung dengan dua metode berbeda
0
2
4
6
8
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Tutu
pan
(%)
Stasiun
Fauna lain (OF)
LITUPT
0
20
40
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Tutu
pan
(%)
Stasiun
Abiotik (ABI)
LITUPT
51
4.3.3 Keanekaragaman karang keras
Frekuensi kehadiran dari setiap jenis karang yang dijumpai di masing-
masing stasiun penelitian berdasarkan metode penelitian yang digunakan
ditampilkan pada Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7. Berdasarkan data
frekuensi kehadiran tersebut dihitung nilai keanekaragaman dari karang keras
meliputi nilai S (jumlah jenis), H’ (indeks keanekaragaman jenis) dan J’(indeks
kemerataan jenis), yang hasil perhitungannya ditampilkan pada Lampiran 8.
Histogram untuk ketiga nilai keanekaragamanan tersebut ditampilkan pada
Gambar 25, Gambar 26 dan Gambar 27.
Gambar 25 Jumlah jenis karang keras yang dijumpai selama penelitian dengan
menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT)
Gambar 26 Nilai H’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan
menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT)
0
40
80
120
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Jum
lah
Jeni
s (S)
Stasiun
BTLITUPT
0
2
4
6
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Inde
s Kea
neka
raga
man
(H')
Stasiun
BTLITUPT
52
Gambar 27 Nilai J’ yang diperoleh di masing-masing stasiun penelitian dengan
menggunakan tiga metode yang berbeda (BT, LIT, UPT)
Sebelum dilakukan anova, data ditransformasikan dahulu kedalam bentuk
akar pangkat dua untuk nilai S dan H’, sedangkan untuk nilai J’
ditransformasikan ke dalam bentuk pangkat dua. Hasil anova menunjukkan
bahwa tidak semua metode yang digunakan (BT, LIT dan UPT) akan
memberikan nilai S, H’ dan J’ yang sama (p < 0.01) (Tabel 6).
Tabel 6 Nilai p hasil anova pada data nilai keanekaragaman untuk sumber variasi Metode (BT, LIT dan UPT)
Nilai keanekaragaman Nilai p S’ = √S 0,000
H’’ = √H’ 0,000 J’’ = J’ 0,000 2
Nilai S yang dijumpai dengan menggunakan metode BT merupakan yang
terbanyak, diikuti oleh metode UPT, baru kemudian metode LIT (Gambar 25,
Tabel 7 dan Tabel 8). Sedangkan nilai H yang dihasilkan dengan metode BT juga
merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan metode UPT dan LIT,
sedangkan antara metode UPT dan LIT relatif tidak berbeda (p>0,01) (Gambar
26, Tabel 7 dan Tabel 8). Sebaliknya, nilai tertinggi untuk J’ diperoleh dengan
metode LIT, kemudian BT dan yang terkecil UPT (Gambar 27, Tabel 7 dan
Tabel 8).
0.60
0.80
1.00
ST01 ST02 ST03 ST04 ST05 ST06 ST07 ST08 ST09 ST10
Inde
ks K
emer
ataa
n (J'
)
Stasiun
BTLITUPT
53
Tabel 7 Nilai p hasil uji simultan Tukey pada perbandingan berganda antara metode BT, LIT dan UPT
Uji perbandingan Nilai p
√S √H’ (J’)2 BT terhadap LIT 0,000 0,000 0,001 BT terhadap UPT 0,000 0,000 0,004 LIT terhadap UPT 0,000 0,027 0,000
Tabel 8 Keputusan dari uji simultan Tukey antara metode BT, LIT dan UPT
Nilai Keputusan √S µBT > µUPT > µLIT √H’ µBT > µUPT = µ(J’)
LIT µ2
LIT > µBT > µ UPT
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang mungkin
saja terjadi. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan luasan pengambilan sampel
yang tidak sama antar ketiga metode. Pada metode BT, ukuran pengambilan
sampel adalah (2 x 70) m2 = 140 m2. Pada metode LIT, pengambilan sampel
bukan berupa luasan bidang tetapi merupakan panjang garis dimana panjang
garisnya adalah 70 m. Sedangkan pada metode UPT, luasan bidang yang diamati
adalah = 70 x 2552 cm2 = 178640 cm2 = 17,864 m2 atau sekitar 0,128 kali luas
bidang pengamatan dengan metode BT. Besarnya jumlah jenis yang dijumpai
akan meningkat dengan semakin luasnya pengamatan (luas sampel), hingga pada
suatu luasan tertentu, penambahan luas pengamatan tidak akan lagi merubah
nilai S secara signifikan. Perubahan nilai S yang terjadi tentu saja akan
mempengaruhi nilai H’ dan J’. Tingginya nilai indeks keanekaragaman Shannon
(H’) pada metode BT kemungkinan disebabkan oleh bidang pengamatan yang
lebih luas dibandingkan dengan metode LIT dan UPT. Pada pengamatan yang
lebih luas, jenis-jenis karang keras termasuk jenis-jenis yang tidak dominan
mungkin saja dapat dijumpai. Akibatnya, nilai indeks keanekaragaman Shannon
akan meningkat. Sedangkan tingginya nilai indeks kemerataan Piellou (J’) pada
metode LIT dibandingkan pada metode BT dan UPT kemungkinan disebabkan
54
oleh sedikitnya luas bidang yang diamati. Semakin kecil luas bidang pengamatan,
perbedaan antara jenis karang keras yang dominan dengan yang tidak dominan
kurang begitu terlihat jelas dibandingkan dengan bidang pengamatan yang lebih
luas. Akibatnya, nilai indeks kemerataan Piellou (J’) akan semakin lebih tinggi
pada luas bidang pengamatan yang lebih kecil (metode LIT).
Analisis MDS yang dilakukan terhadap frekuensi kehadiran setiap jenis
karang keras yang dihitung menggunakan nilai kemiripan Bray-Curtis (data
ditransformasi ke akar pangkat dua dan distandarisasi) memperlihatkan bahwa
pengelompokan yang terjadi lebih cenderung dikarenakan stasiun penelitiannya
(Gambar 28), bukan karena metode yang digunakan (Gambar 29). Jadi,
walaupun nilai-nilai keanekaragaman karang keras memperlihatkan hasil yang
berbeda untuk setiap metode yang digunakan, tetapi perbandingan nilai-nilai
keanekaragaman karang keras antar stasiun penelitian masih dimungkinkan bila
metode yang digunakan sama.
Gambar 28 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi
kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana stasiun sebagai faktor
55
Gambar 29 MDS menggunakan kemiripan Bray-Curtis terhadap data frekuensi
kehadiran setiap jenis karang keras di masing-masing stasiun dengan tiga metode yang berbeda (BT, LIT dan UPT) yang ditransformasi ke bentuk akar pangkat dua dan distandarisasi, dimana metode sebagai faktor
4.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, penggunaan metode UPT menduga nilai
persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat yang relatif sama (p >
0,01) dengan yang diperoleh menggunakan metode BT maupun LIT. Tetapi,
perbedaan hasil antara ketiga metode tersebut terjadi pada nilai keanekaragaman
karang keras (S, H’ dan J’). Penggunaan metode BT akan memberikan nilai S
dan H’ yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan metode UPT maupun
LIT. Sebaliknya, untuk nilai J’, penggunaan metode LIT memberikan nilai yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan metode BT dan UPT.
Secara teoritis, banyaknya jenis karang keras (S) yang dijumpai akan
semakin bertambah dengan semakin bertambahnya luas bidang pengamatan,
hingga pada suatu luasan tertentu tidak akan lagi dijumpai jenis baru.
Meningkatnya nilai S yang diperoleh tentunya akan mempengaruhi nilai H’ dan
J’. Bila mengamati jumlah jenis karang keras yang dijumpai dengan
menggunakan metode BT, dan membandingkannya dengan jumlah jenis karang
keras yang dijumpai dengan menggunakan metode LIT maupun UPT, diperoleh
selisih yang tinggi (Gambar 25). Hal ini mungkin disebabkan karena bidang
pengamatan dengan kedua metode (LIT dan UPT) kurang mewakili
(representatif) untuk menggambarkan luas bidang pengamatan seperti halnya
56
pada metode BT, terutama untuk mendeteksi nilai keanekaragaman jenis karang
keras. Jadi, jika tujuan penelitian ingin mengetahui jumlah keanekaragaman jenis
di suatu lokasi, tentunya data jumlah jenis tidak cukup hanya berdasarkan hasil
yang diperoleh dari metode UPT. Penggunaan observasi bebas dengan
mengamati jenis-jenis karang sepanjang garis transek tentunya akan bermanfaat
untuk menambah data keanekaragaman karang keras pada suatu lokasi penelitian.
Tetapi jika tujuannya hanya untuk melakukan kajian perbandingan antara satu
stasiun dengan stasiun yang lainnya (misalnya dalam menyimpulkan bahwa
suatu stasiun memiliki keragaman karang keras yang lebih tinggi dibandingkan
stasiun yang lainnya), maka penggunaan metode UPT tetap dapat dipakai
sebagai kajian perbandingan antar stasiun atau lokasi pengamatan, sepanjang
stasiun yang diperbandingkan tersebut sama-sama menggunakan metode UPT
yang sama.
Beberapa bias pengukuran saat pengambilan data di lapangan dapat terjadi.
Pada metode BT, kelebihan pencatatan (over estimate) mungkin saja terjadi saat
menghitung panjang atau lebar maksimum suatu koloni karang, terutama pada
koloni karang yang berbentuk bundar masif, dimana pengukurannya sedikit
melengkung mengikuti bentuk karang yang bundar (Gambar 30). Padahal
seharusnya pengukuran harus diproyeksikan tegak lurus ke atas/permukaan,
seolah-olah bidang yang diamati merupakan bidang 2 dimensi yang dilihat dari
permukaan.
Gambar 30 Kesalahan dalam pengukuran pada metode BT
57
Kelebihan pencatatan dengan metode BT juga mungkin saja terjadi bila
kontur dasar terumbu karang tidak rata sehingga mungkin saja karang yang
tumbuh pada bagian dasar yang lebih rendah dan berada tersembunyi di bawah
karang yang lain ikut terukur pula. Padahal pengambil data harus menganggap
bahwa bidang pengamatan merupakan bidang 2 dimensi, sehingga bila terdapat
koloni karang yang tumbuh pada bagian yang tertutup oleh koloni karang
diatasnya, pencatatan hanya dilakukan pada koloni karang yang menempati
bagian atas saja. Luasnya bidang pengamatan pada metode BT memungkinkan
juga bias karena tidak tercatatnya koloni-koloni karang yang berukuran kecil.
Hal ini bisa disebabkan oleh rasa letih karena beban pekerjaan yang besar,
ataupun karena pandangan pengamat lebih terkonsentrasi pada karang-karang
yang berukuran besar sehingga karang-karang yang berukuran kecil tidak terlihat.
Penggunaan metode LIT untuk menilai kondisi terumbu karang juga tidak
terlepas dari beberapa kesalahan teknis di lapangan. Pencatatan lebih (over
estimate) bisa terjadi saat garis transek menyinggung hanya bagian pinggir
karang keras, tetapi dicatat seolah-olah karang keras tersebut berada tepat di
bawah garis transek. Apalagi bila pada saat pengamatan kondisi perairan
berombak atau berarus kuat, sehingga posisi garis transek berubah-ubah. Untuk
itu, pengamat harus rajin-rajin mengingat posisi terakhir pencatatan datanya.
Bias karena tidak tercatatnya karang keras pada pelaksanaan metode LIT bisa
terjadi saat dimana dijumpai tutupan abiotik yang sangat luas, sepanjang garis
transek. Mungkin saja pada kondisi seperti ini, karang-karang, terutama yang
berukuran kecil yang kebetulan tepat berada di bawah garis transek luput dari
pencatatan.
Penggunaan metode UPT juga tidak luput dari kesalahan, terutama bila
hasil foto yang dihasilkan kurang begitu jelas. Tidak jelasnya hasil foto bisa
disebabkan karena saat pengambilan gambarnya bergoyang, perairan yang
kurang jernih atau pun karang yang berada dalam bidang pemotretan memiliki
ukuran koloni yang kecil. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya selain pengambilan
foto yang nantinya akan diproses, juga bisa dilakukan pengambilan foto lagi
sebagai ”foto bantu”. Pada foto bantu ini, pemotretan koloni karang tersebut
dilakukan kembali dari jarak yang lebih dekat atau bisa juga menggunakan
58
pembesaran (zoom) sehingga akan sangat membantu sekali saat proses analisis
foto.
Meskipun diantara ketiga metode yang diperbandingkan (BT, LIT dan
UPT) metode LIT merupakan metode dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi
(kecuali pada persentase tutupan kelompok Fauna Lain), namun penggunaan
metode UPT tetap bisa dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk
penilaian kondisi terumbu karang. Hasil yang diperoleh menggunakan metode
UPT tidak berbeda dengan kedua metode yang lain (BT dan LIT) untuk menduga
kelompok biota dan substrat. Pada analisis biaya dan waktu yang merupakan
dasar untuk mengetahui efisiensi suatu metode, hanya mempertimbangan dari
segi materi saja, tanpa mempertimbangkan faktor psikologis pengambil data
yang melakukan penyelaman. Selain itu, faktor keamanan dan kenyamanan saat
pengambilan data di lapangan, terutama pada saat kondisi perairan berombak
juga tidak diperhitungkan.
Berdasarkan-uraian-uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa metode
UPT dapat digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang. Dengan demikian,
langkah selanjutnya adalah menentukan teknik analisis apa yang efisien tapi juga
akurat untuk menganalisis foto yang dihasilkan dengan metode UPT. Tahap
tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya.
4.5 Kesimpulan
Penggunaan metode UPT bisa dijadikan metode alternatif untuk menilai
kondisi terumbu karang. Meskipun nilai keanekaragaman karang keras yang
diperoleh dengan menggunakan metode UPT berbeda dengan nilai
keanekaragaman yang diperoleh menggunakan metode BT, namun hasil yang
diperoleh dapat dipakai untuk membandingkan keanekaragaman karang keras
antara satu lokasi dengan lokasi yang lainnya (bila sama-sama menggunakan
metode UPT).