7-jati-diri-semar

11
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 1 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi Jati Diri Semar (Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa) Nawawi *) *) Nawawi adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah (Informatika) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto. Kini ia sedang menyelesaikan studi S-2 di Jurusan Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Abstract: Semar in wayang show is a mysterious figure. His ambiguous character makes various kinds of interpretation. His history, existence and character in wayang show are always studied by many observers for study purpose. Semar is the assistant of royalty and also a joker. The existence of Semar at the story of Sudamala emphasized and reappeared divinity concept. According to Hazeu, Semar really is a joker or assistant commonly. The jokes are especially a primitive inheritance from ancient era. So, actually Semar is a name of Javanese ancestor and its imagination had been appeared at wayang show from the ancient era. Keyword: Jati diri, kosmologi, semar. Pendahuluan Tokoh semar hampir selalu muncul dalam setiap pentas wayang purwa, tidak saja pada lakon carangan yang dikutip dari babon epik Mahabarata dan Ramayana. Penampilan dan perannya yang ambiguous mengundang penafsiran yang beraneka ragam. Misteri posisi Semar menarik untuk ditelaah dalam kancah modernisasi dan globalisasi yang melanda segala pelosok penjuru dunia. Ini penting agar bangsa Indonesia tidak terlalu jauh terperangkap ke dalam peradaban global dan melupakan akar budayanya. Lantaran tokoh Semar ini tidak tercantum di dalam cerita Mahabarata asli, maka tokoh ini tentunya merupakan sisipan dalam pakeliran wayang, yang direka oleh orang Jawa sendiri. Banyak telaah tentang tokoh Semar ini yang telah dilakukan, baik oleh sarjana asing maupun sarjana Indonesia. Kesan pertama peran Semar adalah sebagai punakawan, yaitu pamong para ksatria, yang dikategorikan sebagai wayang tengen yang merupakan representasi dari sifat-sifat baik dan bijak pada diri manusia. Selain itu, Semar juga berperan sebagai tokoh banyolan penghibur para ksatria dan secara praktis bagi penonton. Telaah yang agak mendalam adalah yang telah dilakukan oleh Sri Mulyono dan Franz Magnis-Suseno. Tulisan ini berupaya mengorganisasi kembali pendapat Sri Mulyono yang saya anggap agak simpang-siur, namun telah menyajikan fakta yang amat mengesankan. Sekaligus di sini saya akan menganalisis interpretasi Magnis-Suseno tentang peran Semar sebagai pamong dalam perjalanan hidup manusia, yang disejajarkan dengan konsepsi pamong dalam teologi monotheisme.

Transcript of 7-jati-diri-semar

Page 1: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 1 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

Jati Diri Semar (Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa)

Nawawi*) *) Nawawi adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah (Informatika) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto. Kini ia sedang menyelesaikan studi S-2 di Jurusan Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Abstract: Semar in wayang show is a mysterious figure. His ambiguous character makes various kinds of interpretation. His history, existence and character in wayang show are always studied by many observers for study purpose. Semar is the assistant of royalty and also a joker. The existence of Semar at the story of Sudamala emphasized and reappeared divinity concept. According to Hazeu, Semar really is a joker or assistant commonly. The jokes are especially a primitive inheritance from ancient era. So, actually Semar is a name of Javanese ancestor and its imagination had been appeared at wayang show from the ancient era. Keyword: Jati diri, kosmologi, semar.

Pendahuluan Tokoh semar hampir selalu muncul dalam setiap pentas wayang purwa, tidak saja pada lakon

carangan yang dikutip dari babon epik Mahabarata dan Ramayana. Penampilan dan perannya yang

ambiguous mengundang penafsiran yang beraneka ragam. Misteri posisi Semar menarik untuk

ditelaah dalam kancah modernisasi dan globalisasi yang melanda segala pelosok penjuru dunia. Ini

penting agar bangsa Indonesia tidak terlalu jauh terperangkap ke dalam peradaban global dan

melupakan akar budayanya. Lantaran tokoh Semar ini tidak tercantum di dalam cerita Mahabarata

asli, maka tokoh ini tentunya merupakan sisipan dalam pakeliran wayang, yang direka oleh orang

Jawa sendiri.

Banyak telaah tentang tokoh Semar ini yang telah dilakukan, baik oleh sarjana asing maupun

sarjana Indonesia. Kesan pertama peran Semar adalah sebagai punakawan, yaitu pamong para

ksatria, yang dikategorikan sebagai wayang tengen yang merupakan representasi dari sifat-sifat

baik dan bijak pada diri manusia. Selain itu, Semar juga berperan sebagai tokoh banyolan

penghibur para ksatria dan secara praktis bagi penonton. Telaah yang agak mendalam adalah yang

telah dilakukan oleh Sri Mulyono dan Franz Magnis-Suseno. Tulisan ini berupaya mengorganisasi

kembali pendapat Sri Mulyono yang saya anggap agak simpang-siur, namun telah menyajikan

fakta yang amat mengesankan. Sekaligus di sini saya akan menganalisis interpretasi Magnis-Suseno

tentang peran Semar sebagai pamong dalam perjalanan hidup manusia, yang disejajarkan dengan

konsepsi pamong dalam teologi monotheisme.

Page 2: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 2 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

Memang, benar tokoh Semar ini adalah ambiguous dan misterius1, namun bukannya tidak

dapat dipahami. Dalam upaya memahami keberadaan Semar, Sri Mulyono mencoba

menginventarisasikan pendapat-pendapat para ahli dan menelusuri kitab-kitab kuno yang

menyebut nama Semar beserta peranannya. Berdasarkan indikasi itu ia menarik kesimpulan

hakekatnya untuk menjawab pertanyaan apa dan siapa Semar itu. Akan tetapi, interpretasi dan

kesimpulan Sri Mulyono sering menyajikan pernyataan-pernyataan yang mengejut-kan dan tidak

relevan dengan fakta yang ada. Lagi pula interpretasinya kurang terorganisasi dan terkesan

menyesatkan.

Misalnya, ketika ia menelaah peran Semar dalam cerita Sudamala, yang pada intinya berisi

cerita Sadewa meruwat Bethari Durga menjadi Dewi Umo kembali2, diinterpretasikan sebagai dewa

yang ditolong oleh manusia. Semar hadir dalam cerita ini sebagai pengantar Sadewa dan

menungguinya ketika Sadewa diikat di bawah pohon randu. Interpretasi Sri Mulyono menyatakan

bahwa “cerita ini mudah dimengerti maksudnya bahwa dewa tidaklah lebih daripada manusia.

Pemunculan Kyai Lurah Semar itu jelas dan mudah dimengerti kalau berselubung dan bermaksud

mengingkari dan tidak mengakui lagi kekuasaan Siwa sebagai Mahadewa dan Mahakuasa” 3.

Padahal Sadewa baru mampu meruwat Bethari Durga setelah Bethara Guru memasuki badan

Sadewa. Dengan kata lain, sebetulnya yang mensucikan Bethari Durga adalah Bethara Guru

sendiri, dengan sarana Sadewa. Interpretasi itu dilanjutkan: “Munculnya Semar dalam cerita

Sudamala merupakan penegasan dan penampilan kembali konsepsi ke-Tuhanan. Mulai saat itu

jagat wayang Bethara Guru sudah tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai Mahadewa dan

Mahakuasa yang kemudian kesaktiannya telah digeser oleh Semar”4. Pernyataan ini kelihatan berat

sebelah yang berpandangan Semar sentris, dan mengabaikan peran Bethara Guru dalam pakeliran

wayang maupun dalam kosmologi Jawa. Sesungguh-nya, menurut cerita Manik Maya dan juga

pada pentas wayang, Bethara Guru, Semar dan Togog itu satu kesatuan, tetapi masing-masing

memiliki aspek dan peran yang berbeda. Kerangka pandangan inilah yang memerlukan penjelasan,

dan analisis ini akan berupaya ke arah penjelasan itu.

Pernyataan Sri Mulyono sering pula bersifat kontradiktif. Kadang-kadang ia berbicara bahwa

Semar adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di jaman kuno di Jawa, dan ini ditarik dari

indikasi-indikasi yang tidak ada relevansinya. Ketika ia menarik kesimpulan dari kutipan tulisan

Hazeu, yang kurang-lebih berisi tentang nama-nama punakawan itu kuno, tidak dapat diterangkan

artinya. Semar itu tidak lebih dari pelawak atau pelayan biasa. Ia pelindung tuannya, disegani dan

dihormati, dan tahu rencana dewa, tempat tuannya minta nasehat. Atas dasar informasi ini, dan

mungkin juga tambah pengetahuannya, ia menarik kesimpulan bahwa: “Dari penjelasan tersebut

di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam banyolan atau lawak yang khusus itu sudah

dapat diketahui bahwa itu merupakan peninggalan dari sebuah pertunjukan bayang-bayang yang

primitif yang berkembang dan berasal dari jaman purba. Dan jelaslah bahwa Semar merupakan

nama dari salah seorang leluhur (nenek moyang) Jawa asli yang bayangannya sudah dipertunjukan

dalam permainan bayangan atau wayang dari jaman purba itu”.5

Page 3: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 3 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

Di bagian lain Sri Mulyono mengatakan bahwa Semar itu adalah samar dan misteri,6 dan ia

menginterpretasikan konsep samar ini dengan cara yang sangat menyesatkan. Ia mengatakan

bahwa “Semar berasal dari kata samar yang berarti samar-samar, tidak jelas, meragukan, penuh

rahasia, penuh teka-teki, pendek kata misterius”. Ia juga menjelaskan bahwa kata “samar” dapat

menjadi kata kerja yaitu nyamar, yakni melakukan sesuatu yang rahasia. Tetapi, ia menarik

kesimpulan yang amat berbeda konteksnya sehingga dalang mengartikan Semar adalah manusia

yang sudah tidak ‘samar’ lagi atau tidak ragu-ragu lagi terhadap segala sesuatu. Penambahan kata

‘tidak’ di depan kata samar, maknanya menjadi kontradiktif. Dari seluruh telaah tentang apa dan

siapa Semar, ternyata Sri Mulyono belum memahami hakekat Semar dalam mitos dan dalam

pakeliran wayang.

Lain lagi interpretasi Franz Magnis-Suseno yang menganggap tugas punakawan itu tidak

sekadar membanyol, melainkan yang sebenarnya bertugas mengantar ksatria utama dalam lakon

pentas wayang 7. Tugas ini ditafsirkannya sebagai pamong ksatria. Siapa yang diantar Semar, tidak

pernah gagal dalam tugasnya dan tidak kalah dalam perang. Para pandawa tidak bisa dikalahkan

itu sebenarnya bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena mereka diantar oleh

Semar. Andaikata Semar meninggalkan Pandawa, mereka pasti hancur.8 Kesimpulan yang ditarik

dari fakta-fakta keseluruhan yang kurang dipahami akan menyebabkan kesesatan. Kekhawatiran

akan kalah adalah tidak sama dengan kekalahannya itu sendiri. Dalam serat Mahabarata asli,

Pandawa tidak pernah kalah perang melawan Kurawa, tanpa kehadiran Semar sekalipun dengan

pengorbanan yang sangat besar.

Selanjutnya pada alinea-alinea kesimpulan agaknya Magnis-Suseno bersiasat meruntuhkan

upaya mistik yang mendasarkan kekuatan diri manusia sendiri yang dicontohkan oleh upaya Bima.

Upaya ini disangsikan keberhasilannya, bahkan memastikannya akan membawa manusia ke arah

bahaya kesombongan dan penilaian diri yang kurang wajar. Melalui tesis Semar sebagai pamong

perjalanan hidup manusia, keruntuhan upaya mistik mengkondisikan pembenaran peran pamong

sebagai alternatif utama perjalanan hidup manusia menuju ke kerajaan Tuhan. Semar memberi

tekanan yang sangat berbeda. Karena para satria yang paling sakti pun, seperti Arjuna, akhirnya

menang, bukan karena kesaktian mereka itu, melainkan karena diantar oleh sang pamong Kyai

Lurah Semar, karena itu penonton menyadari bahwa sebetulnya kita memerlukan seorang pamong

di perjalanan hidup kita. Bukan kekuatan kitalah yang menyelamatkan dan mendekatkan kita

kepada Tuhan, melainkan bimbingan yang akhirnya berasal dari Tuhan sendiri.9

Paradigma teologi dan filosofi yang sangat berbeda, tentu menjadi naif jika untuk melihat

fakta-fakta religius di luar konteksnya.Di sini kuasa mutlak telah dipersonifikasi, yang pada

dasarnya tidak dikenal dalam paham kejawen. Seperti telah disebutkan bahwa dalam Mahabarata

asli Pandawa tetap menang perang melawan Kurawa sekalipun tanpa kehadiran Semar sehingga

tesis di atas itu tidak dapat berlaku pada posisi dan peran Semar dalam konstelasi kosmologi Jawa

maupun dalam pentas wayang. Agaknya tokoh Semar diciptakan oleh orang Jawa sendiri yang

dibebani peran sebagai pamong para ksatria yang diskenario sebagai pemenang dalam perang, dan

Togog mengikuti yang kalah. Itulah sebabnya, Bethara Guru, Semar dan Togog, sebagaimana tokoh

Page 4: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 4 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

wayang lainnya, seharusnya dipahami sebagai wujud simbol yang bisa jadi mempresentasikan

muatan multivokal. Maka pemahamannya seharusnya menempatkan tokoh-tokoh simbolis itu

dalam konteksnya. Sebenarnya, menang atau kalah dalam pentas wayang itu adalah idealisme

simbolis berisi ajaran yang berguna sebagai orientasi perbuatan manusia dalam hidup sehari-hari.

Semar dalam Mitos Serat Sudamala -karya sastra Jawa tertua- menyebutkan bahwa, Semar berperan sebagai

pengantar Sadewa, ketika ia dikorbankan oleh Dewi Kunthi yang dipersembahkan untuk Bethari

Durga dan diikat di bawah pohon randu. Dalam serat ini, peran Semar adalah sekadar pengantar

Sadewa, dan Sadewa baru mampu mensucikan (meruwat) Bethari Durga, setelah Bethara Guru

memasuki badan Sadewa. Oleh karena itu, anggapan Sri Mulyono10 tentang peran Semar dalam

konteks ini adalah berlebihan.

Selain itu, nama Semar juga disebut-sebut sebagai pengantar Bima dalam serat Nawaruci, yang ditulis pada abad XV. 11 Agaknya tokoh Semar dan perannya sudah berkembang dalam cerita

lisan sebelum dan selama abad XV itu. Kemunculan nama Semar dalam mitos memakai beberapa

nama dan sebutan, maka hal itu memerlukan penyelidikan tersendiri.

Karya sastra Jawa lain yang memaparkan mitos kejadian, yang menyebut-nyebut nama Semar,

adalah Serat Manik Maya, Serat Kanda, dan Serat Pustaka Raja.

Serat Manik Maya, menurut R. Tanoyo dalam Wirid Hidayat Jati12 disusun pada jaman

Mataram Kartasura. Proses kejadian Bethara Guru dan Semar dalam Serat Manik Maya adalah

sebagai berikut: Tatkala masih awang-uwung belum ada bumi dan langit, yang ada terlebih dahulu

adalah Sang Hyang Wisesa. Dia diam di tengah semesta, tidak bergerak, di dalam batinnya

memusatkan pujiannya, menyatakan kehendak Mahapati memulai adanya lakon kehidupan.

Kemudian mendengar ada suara, bunyi seperti genta. Seketika Sang Hyang Wisesa terperanjat, lalu

melihat sesuatu tergantung di angkasa, berupa seperti telur. Segera telur itu dipegang dan disangga

di atas telapak tangan, dicipta menjadi tiga unsur. Unsur pertama dijelmakan menjadi bumi, unsur

ke dua menjadi teja dan cahaya, dan unsur ke tiga menjadi Manik dan Maya.

Sang Hyang Wisesa berkata kepada Manik: “Kau ketahuilah, bahwa kau itu keadaanku, Aku

adalah keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini, kau kuasa

menjadikan”. Maya segera berkata kepada Sang Hyang Wisesa, “Bagaimana kehendak paduka itu,

paduka menjadikan saya berlainan bentuknya dengan Manik. Manik adalah sangat bagus,

cahayanya berkeliauan, sebaliknya rupa saya amat jelek, serta cahaya saya sangat hitam”. Sang

Hyang Wisesa menjawab: “Maya kau ketahuilah, itu adalah kehendak Hyang Mahapati, jangan

terlalu bersedih, kau kuberi permata murni disebut Retnodumilah, tak ada yang dapat menyamai,

segala sesuatu yang dikehendaki akan tercapai atau terlaksana, aku tempatkan di kuncungmu. Dan

lagi mengenai cahaya hitam itu kenyataan yang tidak berubah-ubah, berkurang dan bertambah

setiap hari, matahari juga tidak berubah selamanya. Hitam itu sesungguhnya untuk menyamar,

Page 5: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 5 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

yang nampak ada ini sesungguhnya tidak ada, yang sesunguhnya ada dianggap bukan, yang bukan

dianggap benar, yang tajam hatinya dihilangkan ketajamannya sebab takut jika bertindak keliru. Si

Manik aku sebut sebagai Bathara Guru, kau Maya Aku sebut sebagai Bethara Semar, raja di dunia”.

Bethara Semar bersembah dan mohon diri turun ke bumi ke tujuh. Dikatakan Sang Hyang Wisesa

memerintahkan Bethara Guru mendekat untuk diajar segala rahasia, kepandaian mengelola segala

macam tanaman.13

Kutipan di atas secara implisit menyatakan bahwa kejadian Bethara Guru dan Bethara Semar

berawal dari Sang Hyang Wisesa secara emanasi melalui tujuh tataran. Proses emanasi tujuh

tataran itu juga dapat dijumpai dalam Serat Pustaka Raja, Serat Kalimasada dan Serat Babad Tanah Jawa. Kitab yang terakir ini adalah saduran dari Serat Kanda. Serat Kanda ini dinilai oleh Tanoyo 14

sebagai campur-aduk antara cerita-cerita Jawa dengan cerita Arab. Dalam kitab ini posisi Sang

Hyang Wisesa digantikan dengan Nabi Adam.

Hal yang lebih penting bahwa mitos itu menggambarkan terjadi-nya proses emanasi dari

pusat transendental menuju alam mondial melalui tujuh tataran.15 Jika kita amati, mulai dari Nabi

Adam sampai Bethara Guru dapat dihitung ada tujuh tataran. Dalam cerita itu Manik Maya atau

Bethara Guru dan Semar menjadi imanen di alam mondial; dan disebutkan secara jelas bahwa

Manik Maya adalah perwujudan dua sifat, yaitu Manik yang diasosiasikan dengan Bethara Guru,

dan Maya diasosiasikan sebagai Semar. Sekalipun nama Semar tidak secara eksplisit disebutkan

dalam cerita Babad Tanah Jawa, tetapi sebetulnya secara implisit, Semar atau Bethara Ismaya

adalah satu kesatuan dengan Bethara Guru. Dengan kata lain, Semar adalah aspek fisik dari

Bethara Guru.

Atas dasar paparan Serat Manik Maya, Semar memiliki cahaya hitam dan permata murni,

yang bernama Retnodumilah dan ditempatkan di kuncungnya. Cahaya hitam dari Semar itu

sebetulnya berfungsi sebagai penyamar. Disebutkan dalam Serat Manik Maya itu bahwa: “Hitam

itu sesungguhnya untuk menyamar, yang tampak ada itu sesungguhnya tidak ada, yang

sesungguhnya ada dianggap bukan, yang bukan dianggap benar,…”. Dari hal itu, muncul

pertanyaan, apa yang sebenarnya disamarkan itu, tidak lain adalah kenyataan hakekat hidup yang

transendental. Menurut konsepsi orang Jawa disebut sebagai sunya atau sunya ruri, menjadi alam

mondial yang semu, atau hakekat hidup yang bersifat mutlak menjadi dunia yang semu, termasuk

diri manusia ini. Diri manusia direpresentasikan dengan Manikmaya atau Bethara Guru dan Semar

yang imanen dalam diri manusia sendiri, di mana manik menjadi sifat hidup yang kondisinya sama

dengan Sang Hyang Wisesa. “Kau ketahuilah bahwa kau adalah keadaanku, Aku adalah

keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini kau kuasa

menjadikannya”.16

Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, manik itu berkedudukan di dalam kepala manusia, atau dapat

diasosiasikan menjadi daya cipta atau daya pikir manusia. Juga dalam ajaran Triloka, yaitu Guru

Loka, Indra Loka, dan Jana loka17, Bethara Guru berkedudukan di kepala manusia. Dengan

demikian, alam mondial ini, termasuk juga diri manusia, sesungguhnya adalah maya atau samar.

Page 6: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 6 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

Oleh sebab itu, sering diungkapkan sebagai mayapada. Menurut konsepsi Kejawen, alam mayapada

ini sebetulnya tidak ada atau semu, tetapi hanya merupakan bayangan dari hakekat kenyataan

hidup yang transen-dental. Yang sebenarnya ada adalah hakekat hidup yang transenden itu atau

Hyang Ilahi. Kuasa mutak Hyang Ilahi memancar dari titik sentralnya secara sentrifugal, menuju

alam mondial melalui proses penyamaran atau pembalikan (jagad walikan) karena berfungsinya

Semar. Semua itu direpresentasikan dalam pentas wayang.

Semar dalam Seni Pakeliran Semar selalu muncul di setiap pentas wayang dalam babak gara-gara, di mana dunia sedang

tergoncang.18 Gara-gara mulai tengah malam sebagai babak kedua dalam rangkaian episode

perang kembang. Permainan gara-gara dapat saja beraneka ragam bentuk, tergantung sanggit-nya

dalang. Tetapi, selalu berisi banyolan-banyolan Semar bersama-sama anak-anaknya, Gareng,

Petruk dan Bagong. Mereka juga melagukan tembang-tembang Jawa dan masa kini diselingi

dengan tembang keroncong, dangdut dan pesan-pesan sponsor.

Babak gara-gara ini menandai dunia sedang mengalami kegon-cangan, disebabkan ada

seorang ksatria yang sedang sedih dan berkelana di hutan untuk mencari ketenteraman batin, atau

untuk bertapa, atau dalam perjalanan menuju ke pertapaan seorang pendeta untuk berguru. Pada

suasana seperti ini, para punakawan itu saling berulah atau dengan gaya masing-masing berupaya

menghibur atau memberi nasehat agar tuannya, sang Ksatria, menjadi tenang kembali. Sang Ksatria

itu aslinya adalah seorang ksatria muda, seperti Permadi dengan wajah bercat putih. Namun, dalam

perkembangan kini dapat diperankan oleh ksatria-ksatria lainnya. Upaya penghiburan atau

nasehat itu kadang berhasil, kadang tidak, dan kadang tidak jelas hasilnya sebab hiburan atau

nasehat sebenarnya dikonsumsikan kepada penonton. Setelah selesai hiburan itu, mereka

melanjutkan perjalanan, dan secara tiba-tiba mereka diserang oleh bala tentara raksasa yang

dipimpin oleh tiga orang raksasa yaitu: Cakil, seorang raksasa ceking yang berwajah kuning, dan

bertindak sebagai komandan yang diikuti dua raksasa lainnya yang berwajah merah dan hitam.

Bala-tentara raksasa ini selalu diiringi oleh dua orang punakawan yang bernama Togog dan

Sarawita.19

Dialog antara kedua pihak merebutkan jalan yang akan dilewati, di mana bala-tentara raksasa

sebagai penunggu jalan tapal batas, melarang sang Ksatria untuk menerobos masuk wilayah

kekuasaan raksasa. Bala-tentara raksasa sedang menunaikan tugas atas perintah raja agar

mengembalikan siapa saja yang akan memasuki wilayah itu. Namun, sang Ksatria tetap pada

pendiriannya, akan melanjutkan perjalanannya, akibatnya pertengkaran secara terbuka timbul dan

pertempuran pun pecah. Dalam pakeliran, perang ini disebut dengan perang kembang, di mana

semua raksasa mati terbunuh, dan Togog bersama Sarawita melarikan diri kembali ke kerajaan

raksasa, dan nanti muncul kembali untuk mengikuti raksasa berikutnya dalam lakon yang lain.

Page 7: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 7 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

Di medan pertempuran, sang Komandan, Cakil bertempur terlebih dahulu melawan sang

Ksatria. Permainan raksasa bertubuh ceking ini bergerak amat lincah dan gesit, diiringi lengkingan

suara yang kecil, memberi kesan suasana pertempuran amat indah dan enak untuk ditonton. Gerak

lincah dan gesit itu dihadapkan pada perlawanan sang Ksatria yang halus dan lemah-lembut, tetapi

juga tidak meninggalkan kesan kegesitan, yang terbukti pukulan sang Raksasa sekalipun cepat dan

gesit, jarang sekali mengenai sasaran. Walaupun pukulan itu mengena sasaran, tetapi sang Ksatria

tetap tidak tergoyahkan, dan sang Komandan, Cakil, akhirnya terbunuh dengan kerisnya sendiri.

Akibat kematian sang Komandan, maka salah satu dari raksasa itu muncul untuk membela

kematian pimpinannya. Perkelahian berlangsung amat sengit, namun pada akhirnya kedua raksasa

itu pun mati terbunuh, terkena sasaran anak panah sang Ksatria. Dalam adegan perang ini,

kadang-kadang Semar muncul dan bertindak meng-ambilkan busur dan anak panah sang Ksatria.

Dengan berakhirnya pertempuran ini, berarti sang Ksatria mampu menyingkirkan rintangan

pertama untuk mencapai tujuan berikutnya yaitu untuk berguru atau untuk memperoleh petunjuk

dewa atau mencapai ketenangan batin. Semua itu amat berguna sebagai kunci untuk membuka dan

memecahkan persoalan yang dibicarakan dalam babak awal yaitu jejer pertama, dan yang menjadi

inti dari lakon tersebut.20

Analisis Struktural: Semar dalam Kosmologi Jawa Jika kita cermati deskripsi episode di atas, kita dapat meng-identifikasi dua pihak yang saling

berlawanan. Pertama, pihak raksasa yang terdiri dari tiga orang yakni Cakil berwajah kuning,

Rambut Geni berwajah merah, dan Pragalba berwajah hitam. Mereka itu disertai punakawan yaitu

Togog dan adiknya Sarawita. Pihak kedua, adalah pihak ksatria yang terdiri dari seorang ksatria

yang disertai punakawan Semar beserta anak-anaknya. Rassers21 mengkategorikan kedua faksi itu

ke dalam wayang kiwo bagi golongan raksasa melawan wayang tengen bagi golongan ksatria.

Peperangan di antara keduanya merepresentasi-kan pertentangan dalam batin manusia berupa

perebutan antara perbuatan baik, bijak, kasih-sayang melawan dorongan perbuatan-perbuatan

jahat, tiran, kedengkian dan nafsu-nafsu badaniah lainnya. Dalam pentas pakeliran, angkara

murka selalu dikalahkan oleh kebajikan, raksasa dibunuh oleh sang Ksatria, secara implisit

mengidealkan kuasa-kuasa kebajikan mengatasi keangkaramurkaan. Atas dasar ini, maka Rassers

menginterpretasikannya bahwa wayang sebagai pentas seni yang berfungsi sebagai sarana

penyampaian ajaran etika dalam masyarakat Jawa. Sebetulnya lebih dari itu bahwa pentas wayang

juga sarat dengan doktrin-doktrin agama yang amat dalam.

Dalam doktrin kejawen keangkaramurkaan meliputi tiga nafsu dasar manusia yaitu nafsu

Sukarda, Angkara, dan Lodra22. Secara berturut-turut sama dengan terminologi Islam yaitu Sufiah,

Amarah dan Aluamah, dan ketiganya masing-masing berasosiasi dengan unsur-unsur kosmis,

angin, yang beridentifikasi warna kuning, api yang beridentifikasi dengan warna merah, dan tanah

yang beridentifikasi dengan warna hitam. Semua itu disandikan dalam bentuk raksasa dalam seni

Page 8: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 8 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

pakeliran yaitu Cakil, Rambut Geni, dan Pragalba, yang diiringi Togog. Sebaliknya, kebajikan hanya

terdiri dari satu dasar manusia, yaitu nafsu Nuraga atau Mutmainnah, yang disandikan sebagai

ksatria yang berwajah putih, dan yang diiringi oleh punakawan Semar. Maka kita akan lebih

mudah memahami posisi struktural dalam babak perang kembang ini jika diasosiasikan dengan

struktur kosmologi manusia menurut konsepsi orang Jawa, yaitu sedulur papat lima pancer.23

Dalam konteks ini nafsu manusia itu merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan badaniah berhadapan dengan satu nafsu lainnya yang

merepresentasikan dorongan manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan serta kecintaan

pendekatan diri kepada Tuhan. Posisi pancer dalam konstelasi struktur kosmologi itu diduduki oleh

Bethara Guru sendiri, dan merupakan pancaran dari kuasa Ilahi yang imanen dalam diri manusia.

Kemudian yang menjadi persoalan di sini adalah peran Semar dan Togog dalam konstelasi struktur

itu. Agaknya Semar dan Togog ini, menurut mitos Manik Maya adalah imanen di alam mondial,

merepresentasikan sebagai pengendali dorongan-dorongan nafsu manusia, di mana Semar

merepre-sentasikan pengendali kebaikan dan kebajikan, maka berkolaborasi dengan pihak ksatria,

sebaliknya Togog merepresentasikan pengendali nafsu keangkaramurkaan, maka berkolaborasi

dengan raksasa. Atas dasar ini maka Semar dan Togog itu sebetulnya juga aspek dari Bethara Guru,

yang berfungsi mengendalikan bekerjanya nafsu-nafsu manusia, di mana Semar pengendali pada

pihak nafsu bersih, baik dan bijak, sebaliknya Togog pada pihak nafsu yang jahat, angkara murka,

dan nafsu duniawi. Pada konteks ini, Semar adalah representasi kuasa Bethara Guru dalam peran

memberi arah nafsu bersih dan suci terhadap dorongan nafsu Nuraga atau Mutmainnah.

Sebaliknya, Togog berperan memberi arah pemenuhan nafsu-nafsu duniawi yang berujud

dorongan nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra atau Sufiah, Amarah dan Aluamah.

Sesudah sang Ksatria utama berhasil mengatasi ketiga nafsu badaniah itu, maka dalam cerita

selanjutnya, ia juga dapat menguasai rintangan-rintangan, dan biasanya menjadi kunci untuk

membuka jalan penyelesaian persoalan yang menjadi tema lakon pentas wayang itu. Secara ideal

sang Ksatria mencapai keselamatan atau menjadi penyelamat masalah persoalan hidup manusia.

Dalam lakon Makutha Rama, pada adegan perang kembang menceritakan bahwa nafsu-nafsu

Nuraga, Sukarda, Angkara dan Lodra menjumpai Arjuna agar menyem-purnakan keberadaan

mereka. Atas petunjuk Semar, nafsu-nafsu itu hanya akan dapat disempurnakan dengan cara

pembakaran melalui api ciptaan dari keheningan hati sanubari. Nafsu-nafsu itu terserap ke dalam

api ciptaan itu, dan api ini pun padam terserap kembali ke dalam hati sanubari Arjuna. Dengan

demikian, adegan perang kembang dalam lakon Makutha Rama itu memberi pelajaran kepada kita

bahwa sifat-sifat dan nafsu-nafsu manusia itu akan menjadi sempurna dan terkendali apabila

berada di bawah kekuasan manusia seperti Arjuna yang telah mampu menguasai nafsu

badaniahnya, dan mampu menerapkannya dengan cara mencurahkan sebagian besar hidupnya

untuk meme-lihara ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya, maka banyak

sekali orang Jawa memakai Arjuna sebagai model tingkah-laku dalam kehidupannya. Banyak orang

Jawa yang nglakoni yaitu menjalani puasa dalam waktu tertentu dalam rangka untuk melatih diri

menguasai nafsu-nafsu jahat. Dengan menjalani puasa ini dimaksudkan agar jiwa menjadi bersih,

Page 9: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 9 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

terhindar dari bisikan-bisikan setan sehingga akan lebih mudah mencapai pendekatan kepada yang

Mahakuasa. Selain menjalankan puasa, juga mengurangi tidur dalam rangka untuk berusaha eling

atau mengingat (dzikir) kepada Tuhan. Ada istilah dalam orang Jawa yaitu mangan longan turu longan, artinya mengurangi makan yakni dengan berpuasa, dan mengurangi tidur yakni lebih

banyak berjaga di malam hari dalam rangka untuk berusaha mendekat kepada yang Mahakuasa.

Biasanya puasa yang dilakukan sampai dengan empat puluh hari. Dengan nglakoni ini diharapkan

nantinya akan memperoleh mukjizat yang berupa kasekten atau kesaktian yang bisa untuk

memberantas keangkaramurkaan, dan selalu berusaha menegakan kebenaran dan keadilan.24

Gambaran di atas jelas sekali memiliki prinsip yang sama dengan pola umum perang kembang

dalam pakeliran wayang purwa. Itu menginspirasikan bahwa peran Semar dan Togog bertindak

sebagai pengendali dan pengarah bekerjanya nafsu-nafsu manusia, yang dikenal dalam terminologi

Islam sebagai Mutmainnah, Sufiah, Amarah dan Aluamah. Peraga Semar dan Togog yang

merepresentasikan pengendali nafsu-nafsu manusia itu, memang amat tersamar dengan

identifikasi yang ambiguous. Itulah sebabnya, maka Semar itu diidentifikasi sebagai duda manang-

munung, suatu ungkapan yang menggambarkan keadaan yang misterius dan ambiguous. Postur

tubuh Semar kelihatan seperti laki-laki tetapi berpayudara seperti wanita. Sebaliknya, bukan juga

perempuan sebab Semar memiliki kuncung. Semar dalam pakeliran wayang sering diidentifikasi

sebagi dewa yang mengejawantah berbadan manusia, tetapi juga manusia yang memiliki sifat dan

kuasa dewa.

Dengan demikian, jika analisis di atas dikaitkan dengan mitos Manik Maya, maka dapat

dipahami bahwa Semar dan Togog itu sebetulnya adalah aspek dari Bethara Guru yang berperan

sebagai pengendali nafsu-nafsu badaniah manusia. Dalam pentas pakeliran, seringkali Bethara

Guru ini dikalahkan oleh Semar, dan tidak pernah ada sebaliknya, Semar dikalahkan oleh Bethara

Guru. Namun harus dipahami, manakala Bethara Guru kalah berkelahi melawan Semar itu selalu

terjadi pada waktu Bethara Guru menyimpang dari peran yang seharusnya dimainkannya, yaitu

hendak memenuhi keinginan-keinginan lain yang berbeda dengan ketentuan yang telah digariskan

sehingga menempatkan diri Bethara Guru dalam posisi yang lemah. Dalam posisi yang normal,

mereka memiliki kuasa yang sama, hanya berbeda wilayah kekuasaannya. Prinsip ini juga berlaku

pada manusia secara umum.

Kesimpulan Peraga wayang, Bethara Guru, Semar, dan Togog seharusnya dicermati sebagai wujud simbol,

dan harus dipahami dalam konteksnya, yaitu struktur kosmologi Kejawen. Pentas wayang itu

merepresentasikan pertentangan batin manusia, antara dorongan-dorongan nafsu untuk berbuat

jujur, baik, bijak, dan kasih-sayang melawan dorongan nafsu badaniah yang angkaramurka, jahat

dan tidak jujur. Struktur ini tampak jelas dalam episode perang kembang, di mana tokoh Semar dan

Togog hadir. Semar mengiringi pihak ksatria dan sebagai pengendali dan pemberi arah dorongan

Page 10: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 10 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

nafsu kebaikan dan kejujuran. Togog pada posisi lawannya, mengiringi pihak raksasa, yang

merupakan representasi dari dorongan nafsu badaniah dan angkaramurka. Oleh karena itu dalam

pakeliran, Semar adalah orang miskin, dan Togog adalah orang yang kaya raya.

Struktur episode perang kembang dalam pentas wayang itu agaknya merupakan transformasi

dari struktur kosmologi Kejawen, di mana tokoh protagonisnya merupakan representasi dari nafsu-

nafsu manusia: Mutmainnah, Sufiah, Amarah, dan Aluamah. Nafsu ini dikelompokkan menjadi dua

faksi, yakni nafsu badaniah berhadapan dengan nafsu rohaniah, nafsu badan kasar berlawanan

dengan nafsu badan halus. Posisi Togog berhadapan dengan posisi Semar, pengen-dalian nafsu

angkaramurka berlawanan dengan pengendalian kebajikan.

Protagonis Bethara Guru, Semar, dan Togog adalah imanen di alam mondial, di dalam diri

manusia. Semar berfungsi sebagai penyamar dari hakekat hidup transendental menjadi alam

semesta yang dipersepsikan sebagai maya atau semu. Konsepsi ini adalah pembalikan dari hakikat

kenyataan hidup transendental, yang dipersepsikan sebagai kebenaran hakiki menjadi alam semesta

yang semu. Ibaratnya seperti orang yang sedang bercermin, melihat bayangan sendiri yang semu,

atau pemutaran film, juga pentas wayang adalah lambang dari prinsip ini.

Endnotes 1 Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 29-32. 2 Sri Mulyono, Wayang Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung Agung, 1977), hal. 35.

3 Ibid., 1982, hal. 13-14. 4 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 98. 5 Harun Hadiwijono, Kebatinan Jawa Dalam Abad XIX (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), hal. 26. 6 Sri Mulyono, Simbolisme, hal. 112. 7 Franz Magnis-Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 21. 8 Ibid., hal. 37. 9 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung

Agung, 1988), hal. 43. 10 Sri Mulyono, 1982, hal. 13. 11 Prijohutomo, Kesusastraan Jawa, Empat Serangkai (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952), hal. 20. 12 R. Tanoyo, Wirid Hidayat Jati (Rangga Warsita, 1892), (Surabaya: Trimurti, 1966), hal. 132. 13 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil

(Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 78. 14 R. Tanoyo, 1966, hal. 147. 15 Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), hal. 110. 16 Seno Sastroamidjojo, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit (Jakarta: PT. Kinta, 1964), hal. 96. 17 Niels Mulder, 1985, hal. 185. 18 Sri Mulyono, 1982, hal. 59-64. 19 Soediro, Wayang kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatikanya, Proyek Penelitian dan Pengkajian

Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal. 86.

Page 11: 7-jati-diri-semar

Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 11 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi

20 Kyai Demang Reditanoyo, Pakem Pangruwatan Murwa Kala, Keluarga R. Tanoyo (Solo: 1964), hal. 116.

21 W.H. Rassers, Panji The Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java (The Hague, Martinus Nijhoff, 1959), hal. 45.

22 Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud: 1985), hal. 74.

23 Soehardi, Makna Pertunjukan Wayang Purwa, Suatu Kajian Antropologi Simbol (Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM, 1995), hal. 110.

24 Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1985), hal. 107.

Daftar Pustaka Geertz, Clifford, The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1976.

Hadiwijono, Harun. Kebatinan Jawa dalam Abad XIX. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985.

Mulder, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil.

Jakarta: Gramedia, 1985.

Prijohutomo. Kesastraan Jawa, Empat Serangkai. Jakarta: Jajasan Pemba-ngunan, 1952.

Magnis-Suseno, Franz, SJ. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:

Gramedia, 1988.

____________. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia, 1985.

Mulyono, Sri. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung, 1977.

_____________. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung, 1982.

_____________. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung, Jakarta, 1983.

Rassers, W.H. Panji the Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java. The Hague, Martinus

Nijhoff, 1969.

Reditanoyo, Kyai Demang. Pakem Pangruwatan Murwa Kala. disadur oleh R.Tanoyo, Solo: Keluarga

Tanoyo, 1964.

Sastroamidjojo, Seno. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: PT. Kinta, 1964.

Soediro, S. Wayang Kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatikanya. Jakarta: Proyek Penelitian dan

Pengkajian Javanologi, Depdikbud, 1983.

Soehardi. Tarikat, Suatu Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi, Jakarta: Depdikbud,

1985. Soehardi. Makna Pertunjukan Wayang Purwa, Suatu Kajian Antropologi Simbol. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM, 1995.