Pengukuhan Budi & Jati Diri 2016 - Universiti Teknologi MARA
7-jati-diri-semar
-
Upload
muhammad-abduh -
Category
Documents
-
view
41 -
download
3
Transcript of 7-jati-diri-semar
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 1 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
Jati Diri Semar (Konteks Pakeliran dan Kosmologi Jawa)
Nawawi*) *) Nawawi adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah (Informatika) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto. Kini ia sedang menyelesaikan studi S-2 di Jurusan Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Abstract: Semar in wayang show is a mysterious figure. His ambiguous character makes various kinds of interpretation. His history, existence and character in wayang show are always studied by many observers for study purpose. Semar is the assistant of royalty and also a joker. The existence of Semar at the story of Sudamala emphasized and reappeared divinity concept. According to Hazeu, Semar really is a joker or assistant commonly. The jokes are especially a primitive inheritance from ancient era. So, actually Semar is a name of Javanese ancestor and its imagination had been appeared at wayang show from the ancient era. Keyword: Jati diri, kosmologi, semar.
Pendahuluan Tokoh semar hampir selalu muncul dalam setiap pentas wayang purwa, tidak saja pada lakon
carangan yang dikutip dari babon epik Mahabarata dan Ramayana. Penampilan dan perannya yang
ambiguous mengundang penafsiran yang beraneka ragam. Misteri posisi Semar menarik untuk
ditelaah dalam kancah modernisasi dan globalisasi yang melanda segala pelosok penjuru dunia. Ini
penting agar bangsa Indonesia tidak terlalu jauh terperangkap ke dalam peradaban global dan
melupakan akar budayanya. Lantaran tokoh Semar ini tidak tercantum di dalam cerita Mahabarata
asli, maka tokoh ini tentunya merupakan sisipan dalam pakeliran wayang, yang direka oleh orang
Jawa sendiri.
Banyak telaah tentang tokoh Semar ini yang telah dilakukan, baik oleh sarjana asing maupun
sarjana Indonesia. Kesan pertama peran Semar adalah sebagai punakawan, yaitu pamong para
ksatria, yang dikategorikan sebagai wayang tengen yang merupakan representasi dari sifat-sifat
baik dan bijak pada diri manusia. Selain itu, Semar juga berperan sebagai tokoh banyolan
penghibur para ksatria dan secara praktis bagi penonton. Telaah yang agak mendalam adalah yang
telah dilakukan oleh Sri Mulyono dan Franz Magnis-Suseno. Tulisan ini berupaya mengorganisasi
kembali pendapat Sri Mulyono yang saya anggap agak simpang-siur, namun telah menyajikan
fakta yang amat mengesankan. Sekaligus di sini saya akan menganalisis interpretasi Magnis-Suseno
tentang peran Semar sebagai pamong dalam perjalanan hidup manusia, yang disejajarkan dengan
konsepsi pamong dalam teologi monotheisme.
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 2 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
Memang, benar tokoh Semar ini adalah ambiguous dan misterius1, namun bukannya tidak
dapat dipahami. Dalam upaya memahami keberadaan Semar, Sri Mulyono mencoba
menginventarisasikan pendapat-pendapat para ahli dan menelusuri kitab-kitab kuno yang
menyebut nama Semar beserta peranannya. Berdasarkan indikasi itu ia menarik kesimpulan
hakekatnya untuk menjawab pertanyaan apa dan siapa Semar itu. Akan tetapi, interpretasi dan
kesimpulan Sri Mulyono sering menyajikan pernyataan-pernyataan yang mengejut-kan dan tidak
relevan dengan fakta yang ada. Lagi pula interpretasinya kurang terorganisasi dan terkesan
menyesatkan.
Misalnya, ketika ia menelaah peran Semar dalam cerita Sudamala, yang pada intinya berisi
cerita Sadewa meruwat Bethari Durga menjadi Dewi Umo kembali2, diinterpretasikan sebagai dewa
yang ditolong oleh manusia. Semar hadir dalam cerita ini sebagai pengantar Sadewa dan
menungguinya ketika Sadewa diikat di bawah pohon randu. Interpretasi Sri Mulyono menyatakan
bahwa “cerita ini mudah dimengerti maksudnya bahwa dewa tidaklah lebih daripada manusia.
Pemunculan Kyai Lurah Semar itu jelas dan mudah dimengerti kalau berselubung dan bermaksud
mengingkari dan tidak mengakui lagi kekuasaan Siwa sebagai Mahadewa dan Mahakuasa” 3.
Padahal Sadewa baru mampu meruwat Bethari Durga setelah Bethara Guru memasuki badan
Sadewa. Dengan kata lain, sebetulnya yang mensucikan Bethari Durga adalah Bethara Guru
sendiri, dengan sarana Sadewa. Interpretasi itu dilanjutkan: “Munculnya Semar dalam cerita
Sudamala merupakan penegasan dan penampilan kembali konsepsi ke-Tuhanan. Mulai saat itu
jagat wayang Bethara Guru sudah tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai Mahadewa dan
Mahakuasa yang kemudian kesaktiannya telah digeser oleh Semar”4. Pernyataan ini kelihatan berat
sebelah yang berpandangan Semar sentris, dan mengabaikan peran Bethara Guru dalam pakeliran
wayang maupun dalam kosmologi Jawa. Sesungguh-nya, menurut cerita Manik Maya dan juga
pada pentas wayang, Bethara Guru, Semar dan Togog itu satu kesatuan, tetapi masing-masing
memiliki aspek dan peran yang berbeda. Kerangka pandangan inilah yang memerlukan penjelasan,
dan analisis ini akan berupaya ke arah penjelasan itu.
Pernyataan Sri Mulyono sering pula bersifat kontradiktif. Kadang-kadang ia berbicara bahwa
Semar adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di jaman kuno di Jawa, dan ini ditarik dari
indikasi-indikasi yang tidak ada relevansinya. Ketika ia menarik kesimpulan dari kutipan tulisan
Hazeu, yang kurang-lebih berisi tentang nama-nama punakawan itu kuno, tidak dapat diterangkan
artinya. Semar itu tidak lebih dari pelawak atau pelayan biasa. Ia pelindung tuannya, disegani dan
dihormati, dan tahu rencana dewa, tempat tuannya minta nasehat. Atas dasar informasi ini, dan
mungkin juga tambah pengetahuannya, ia menarik kesimpulan bahwa: “Dari penjelasan tersebut
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam banyolan atau lawak yang khusus itu sudah
dapat diketahui bahwa itu merupakan peninggalan dari sebuah pertunjukan bayang-bayang yang
primitif yang berkembang dan berasal dari jaman purba. Dan jelaslah bahwa Semar merupakan
nama dari salah seorang leluhur (nenek moyang) Jawa asli yang bayangannya sudah dipertunjukan
dalam permainan bayangan atau wayang dari jaman purba itu”.5
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 3 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
Di bagian lain Sri Mulyono mengatakan bahwa Semar itu adalah samar dan misteri,6 dan ia
menginterpretasikan konsep samar ini dengan cara yang sangat menyesatkan. Ia mengatakan
bahwa “Semar berasal dari kata samar yang berarti samar-samar, tidak jelas, meragukan, penuh
rahasia, penuh teka-teki, pendek kata misterius”. Ia juga menjelaskan bahwa kata “samar” dapat
menjadi kata kerja yaitu nyamar, yakni melakukan sesuatu yang rahasia. Tetapi, ia menarik
kesimpulan yang amat berbeda konteksnya sehingga dalang mengartikan Semar adalah manusia
yang sudah tidak ‘samar’ lagi atau tidak ragu-ragu lagi terhadap segala sesuatu. Penambahan kata
‘tidak’ di depan kata samar, maknanya menjadi kontradiktif. Dari seluruh telaah tentang apa dan
siapa Semar, ternyata Sri Mulyono belum memahami hakekat Semar dalam mitos dan dalam
pakeliran wayang.
Lain lagi interpretasi Franz Magnis-Suseno yang menganggap tugas punakawan itu tidak
sekadar membanyol, melainkan yang sebenarnya bertugas mengantar ksatria utama dalam lakon
pentas wayang 7. Tugas ini ditafsirkannya sebagai pamong ksatria. Siapa yang diantar Semar, tidak
pernah gagal dalam tugasnya dan tidak kalah dalam perang. Para pandawa tidak bisa dikalahkan
itu sebenarnya bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena mereka diantar oleh
Semar. Andaikata Semar meninggalkan Pandawa, mereka pasti hancur.8 Kesimpulan yang ditarik
dari fakta-fakta keseluruhan yang kurang dipahami akan menyebabkan kesesatan. Kekhawatiran
akan kalah adalah tidak sama dengan kekalahannya itu sendiri. Dalam serat Mahabarata asli,
Pandawa tidak pernah kalah perang melawan Kurawa, tanpa kehadiran Semar sekalipun dengan
pengorbanan yang sangat besar.
Selanjutnya pada alinea-alinea kesimpulan agaknya Magnis-Suseno bersiasat meruntuhkan
upaya mistik yang mendasarkan kekuatan diri manusia sendiri yang dicontohkan oleh upaya Bima.
Upaya ini disangsikan keberhasilannya, bahkan memastikannya akan membawa manusia ke arah
bahaya kesombongan dan penilaian diri yang kurang wajar. Melalui tesis Semar sebagai pamong
perjalanan hidup manusia, keruntuhan upaya mistik mengkondisikan pembenaran peran pamong
sebagai alternatif utama perjalanan hidup manusia menuju ke kerajaan Tuhan. Semar memberi
tekanan yang sangat berbeda. Karena para satria yang paling sakti pun, seperti Arjuna, akhirnya
menang, bukan karena kesaktian mereka itu, melainkan karena diantar oleh sang pamong Kyai
Lurah Semar, karena itu penonton menyadari bahwa sebetulnya kita memerlukan seorang pamong
di perjalanan hidup kita. Bukan kekuatan kitalah yang menyelamatkan dan mendekatkan kita
kepada Tuhan, melainkan bimbingan yang akhirnya berasal dari Tuhan sendiri.9
Paradigma teologi dan filosofi yang sangat berbeda, tentu menjadi naif jika untuk melihat
fakta-fakta religius di luar konteksnya.Di sini kuasa mutlak telah dipersonifikasi, yang pada
dasarnya tidak dikenal dalam paham kejawen. Seperti telah disebutkan bahwa dalam Mahabarata
asli Pandawa tetap menang perang melawan Kurawa sekalipun tanpa kehadiran Semar sehingga
tesis di atas itu tidak dapat berlaku pada posisi dan peran Semar dalam konstelasi kosmologi Jawa
maupun dalam pentas wayang. Agaknya tokoh Semar diciptakan oleh orang Jawa sendiri yang
dibebani peran sebagai pamong para ksatria yang diskenario sebagai pemenang dalam perang, dan
Togog mengikuti yang kalah. Itulah sebabnya, Bethara Guru, Semar dan Togog, sebagaimana tokoh
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 4 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
wayang lainnya, seharusnya dipahami sebagai wujud simbol yang bisa jadi mempresentasikan
muatan multivokal. Maka pemahamannya seharusnya menempatkan tokoh-tokoh simbolis itu
dalam konteksnya. Sebenarnya, menang atau kalah dalam pentas wayang itu adalah idealisme
simbolis berisi ajaran yang berguna sebagai orientasi perbuatan manusia dalam hidup sehari-hari.
Semar dalam Mitos Serat Sudamala -karya sastra Jawa tertua- menyebutkan bahwa, Semar berperan sebagai
pengantar Sadewa, ketika ia dikorbankan oleh Dewi Kunthi yang dipersembahkan untuk Bethari
Durga dan diikat di bawah pohon randu. Dalam serat ini, peran Semar adalah sekadar pengantar
Sadewa, dan Sadewa baru mampu mensucikan (meruwat) Bethari Durga, setelah Bethara Guru
memasuki badan Sadewa. Oleh karena itu, anggapan Sri Mulyono10 tentang peran Semar dalam
konteks ini adalah berlebihan.
Selain itu, nama Semar juga disebut-sebut sebagai pengantar Bima dalam serat Nawaruci, yang ditulis pada abad XV. 11 Agaknya tokoh Semar dan perannya sudah berkembang dalam cerita
lisan sebelum dan selama abad XV itu. Kemunculan nama Semar dalam mitos memakai beberapa
nama dan sebutan, maka hal itu memerlukan penyelidikan tersendiri.
Karya sastra Jawa lain yang memaparkan mitos kejadian, yang menyebut-nyebut nama Semar,
adalah Serat Manik Maya, Serat Kanda, dan Serat Pustaka Raja.
Serat Manik Maya, menurut R. Tanoyo dalam Wirid Hidayat Jati12 disusun pada jaman
Mataram Kartasura. Proses kejadian Bethara Guru dan Semar dalam Serat Manik Maya adalah
sebagai berikut: Tatkala masih awang-uwung belum ada bumi dan langit, yang ada terlebih dahulu
adalah Sang Hyang Wisesa. Dia diam di tengah semesta, tidak bergerak, di dalam batinnya
memusatkan pujiannya, menyatakan kehendak Mahapati memulai adanya lakon kehidupan.
Kemudian mendengar ada suara, bunyi seperti genta. Seketika Sang Hyang Wisesa terperanjat, lalu
melihat sesuatu tergantung di angkasa, berupa seperti telur. Segera telur itu dipegang dan disangga
di atas telapak tangan, dicipta menjadi tiga unsur. Unsur pertama dijelmakan menjadi bumi, unsur
ke dua menjadi teja dan cahaya, dan unsur ke tiga menjadi Manik dan Maya.
Sang Hyang Wisesa berkata kepada Manik: “Kau ketahuilah, bahwa kau itu keadaanku, Aku
adalah keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini, kau kuasa
menjadikan”. Maya segera berkata kepada Sang Hyang Wisesa, “Bagaimana kehendak paduka itu,
paduka menjadikan saya berlainan bentuknya dengan Manik. Manik adalah sangat bagus,
cahayanya berkeliauan, sebaliknya rupa saya amat jelek, serta cahaya saya sangat hitam”. Sang
Hyang Wisesa menjawab: “Maya kau ketahuilah, itu adalah kehendak Hyang Mahapati, jangan
terlalu bersedih, kau kuberi permata murni disebut Retnodumilah, tak ada yang dapat menyamai,
segala sesuatu yang dikehendaki akan tercapai atau terlaksana, aku tempatkan di kuncungmu. Dan
lagi mengenai cahaya hitam itu kenyataan yang tidak berubah-ubah, berkurang dan bertambah
setiap hari, matahari juga tidak berubah selamanya. Hitam itu sesungguhnya untuk menyamar,
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 5 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
yang nampak ada ini sesungguhnya tidak ada, yang sesunguhnya ada dianggap bukan, yang bukan
dianggap benar, yang tajam hatinya dihilangkan ketajamannya sebab takut jika bertindak keliru. Si
Manik aku sebut sebagai Bathara Guru, kau Maya Aku sebut sebagai Bethara Semar, raja di dunia”.
Bethara Semar bersembah dan mohon diri turun ke bumi ke tujuh. Dikatakan Sang Hyang Wisesa
memerintahkan Bethara Guru mendekat untuk diajar segala rahasia, kepandaian mengelola segala
macam tanaman.13
Kutipan di atas secara implisit menyatakan bahwa kejadian Bethara Guru dan Bethara Semar
berawal dari Sang Hyang Wisesa secara emanasi melalui tujuh tataran. Proses emanasi tujuh
tataran itu juga dapat dijumpai dalam Serat Pustaka Raja, Serat Kalimasada dan Serat Babad Tanah Jawa. Kitab yang terakir ini adalah saduran dari Serat Kanda. Serat Kanda ini dinilai oleh Tanoyo 14
sebagai campur-aduk antara cerita-cerita Jawa dengan cerita Arab. Dalam kitab ini posisi Sang
Hyang Wisesa digantikan dengan Nabi Adam.
Hal yang lebih penting bahwa mitos itu menggambarkan terjadi-nya proses emanasi dari
pusat transendental menuju alam mondial melalui tujuh tataran.15 Jika kita amati, mulai dari Nabi
Adam sampai Bethara Guru dapat dihitung ada tujuh tataran. Dalam cerita itu Manik Maya atau
Bethara Guru dan Semar menjadi imanen di alam mondial; dan disebutkan secara jelas bahwa
Manik Maya adalah perwujudan dua sifat, yaitu Manik yang diasosiasikan dengan Bethara Guru,
dan Maya diasosiasikan sebagai Semar. Sekalipun nama Semar tidak secara eksplisit disebutkan
dalam cerita Babad Tanah Jawa, tetapi sebetulnya secara implisit, Semar atau Bethara Ismaya
adalah satu kesatuan dengan Bethara Guru. Dengan kata lain, Semar adalah aspek fisik dari
Bethara Guru.
Atas dasar paparan Serat Manik Maya, Semar memiliki cahaya hitam dan permata murni,
yang bernama Retnodumilah dan ditempatkan di kuncungnya. Cahaya hitam dari Semar itu
sebetulnya berfungsi sebagai penyamar. Disebutkan dalam Serat Manik Maya itu bahwa: “Hitam
itu sesungguhnya untuk menyamar, yang tampak ada itu sesungguhnya tidak ada, yang
sesungguhnya ada dianggap bukan, yang bukan dianggap benar,…”. Dari hal itu, muncul
pertanyaan, apa yang sebenarnya disamarkan itu, tidak lain adalah kenyataan hakekat hidup yang
transendental. Menurut konsepsi orang Jawa disebut sebagai sunya atau sunya ruri, menjadi alam
mondial yang semu, atau hakekat hidup yang bersifat mutlak menjadi dunia yang semu, termasuk
diri manusia ini. Diri manusia direpresentasikan dengan Manikmaya atau Bethara Guru dan Semar
yang imanen dalam diri manusia sendiri, di mana manik menjadi sifat hidup yang kondisinya sama
dengan Sang Hyang Wisesa. “Kau ketahuilah bahwa kau adalah keadaanku, Aku adalah
keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini kau kuasa
menjadikannya”.16
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, manik itu berkedudukan di dalam kepala manusia, atau dapat
diasosiasikan menjadi daya cipta atau daya pikir manusia. Juga dalam ajaran Triloka, yaitu Guru
Loka, Indra Loka, dan Jana loka17, Bethara Guru berkedudukan di kepala manusia. Dengan
demikian, alam mondial ini, termasuk juga diri manusia, sesungguhnya adalah maya atau samar.
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 6 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
Oleh sebab itu, sering diungkapkan sebagai mayapada. Menurut konsepsi Kejawen, alam mayapada
ini sebetulnya tidak ada atau semu, tetapi hanya merupakan bayangan dari hakekat kenyataan
hidup yang transen-dental. Yang sebenarnya ada adalah hakekat hidup yang transenden itu atau
Hyang Ilahi. Kuasa mutak Hyang Ilahi memancar dari titik sentralnya secara sentrifugal, menuju
alam mondial melalui proses penyamaran atau pembalikan (jagad walikan) karena berfungsinya
Semar. Semua itu direpresentasikan dalam pentas wayang.
Semar dalam Seni Pakeliran Semar selalu muncul di setiap pentas wayang dalam babak gara-gara, di mana dunia sedang
tergoncang.18 Gara-gara mulai tengah malam sebagai babak kedua dalam rangkaian episode
perang kembang. Permainan gara-gara dapat saja beraneka ragam bentuk, tergantung sanggit-nya
dalang. Tetapi, selalu berisi banyolan-banyolan Semar bersama-sama anak-anaknya, Gareng,
Petruk dan Bagong. Mereka juga melagukan tembang-tembang Jawa dan masa kini diselingi
dengan tembang keroncong, dangdut dan pesan-pesan sponsor.
Babak gara-gara ini menandai dunia sedang mengalami kegon-cangan, disebabkan ada
seorang ksatria yang sedang sedih dan berkelana di hutan untuk mencari ketenteraman batin, atau
untuk bertapa, atau dalam perjalanan menuju ke pertapaan seorang pendeta untuk berguru. Pada
suasana seperti ini, para punakawan itu saling berulah atau dengan gaya masing-masing berupaya
menghibur atau memberi nasehat agar tuannya, sang Ksatria, menjadi tenang kembali. Sang Ksatria
itu aslinya adalah seorang ksatria muda, seperti Permadi dengan wajah bercat putih. Namun, dalam
perkembangan kini dapat diperankan oleh ksatria-ksatria lainnya. Upaya penghiburan atau
nasehat itu kadang berhasil, kadang tidak, dan kadang tidak jelas hasilnya sebab hiburan atau
nasehat sebenarnya dikonsumsikan kepada penonton. Setelah selesai hiburan itu, mereka
melanjutkan perjalanan, dan secara tiba-tiba mereka diserang oleh bala tentara raksasa yang
dipimpin oleh tiga orang raksasa yaitu: Cakil, seorang raksasa ceking yang berwajah kuning, dan
bertindak sebagai komandan yang diikuti dua raksasa lainnya yang berwajah merah dan hitam.
Bala-tentara raksasa ini selalu diiringi oleh dua orang punakawan yang bernama Togog dan
Sarawita.19
Dialog antara kedua pihak merebutkan jalan yang akan dilewati, di mana bala-tentara raksasa
sebagai penunggu jalan tapal batas, melarang sang Ksatria untuk menerobos masuk wilayah
kekuasaan raksasa. Bala-tentara raksasa sedang menunaikan tugas atas perintah raja agar
mengembalikan siapa saja yang akan memasuki wilayah itu. Namun, sang Ksatria tetap pada
pendiriannya, akan melanjutkan perjalanannya, akibatnya pertengkaran secara terbuka timbul dan
pertempuran pun pecah. Dalam pakeliran, perang ini disebut dengan perang kembang, di mana
semua raksasa mati terbunuh, dan Togog bersama Sarawita melarikan diri kembali ke kerajaan
raksasa, dan nanti muncul kembali untuk mengikuti raksasa berikutnya dalam lakon yang lain.
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 7 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
Di medan pertempuran, sang Komandan, Cakil bertempur terlebih dahulu melawan sang
Ksatria. Permainan raksasa bertubuh ceking ini bergerak amat lincah dan gesit, diiringi lengkingan
suara yang kecil, memberi kesan suasana pertempuran amat indah dan enak untuk ditonton. Gerak
lincah dan gesit itu dihadapkan pada perlawanan sang Ksatria yang halus dan lemah-lembut, tetapi
juga tidak meninggalkan kesan kegesitan, yang terbukti pukulan sang Raksasa sekalipun cepat dan
gesit, jarang sekali mengenai sasaran. Walaupun pukulan itu mengena sasaran, tetapi sang Ksatria
tetap tidak tergoyahkan, dan sang Komandan, Cakil, akhirnya terbunuh dengan kerisnya sendiri.
Akibat kematian sang Komandan, maka salah satu dari raksasa itu muncul untuk membela
kematian pimpinannya. Perkelahian berlangsung amat sengit, namun pada akhirnya kedua raksasa
itu pun mati terbunuh, terkena sasaran anak panah sang Ksatria. Dalam adegan perang ini,
kadang-kadang Semar muncul dan bertindak meng-ambilkan busur dan anak panah sang Ksatria.
Dengan berakhirnya pertempuran ini, berarti sang Ksatria mampu menyingkirkan rintangan
pertama untuk mencapai tujuan berikutnya yaitu untuk berguru atau untuk memperoleh petunjuk
dewa atau mencapai ketenangan batin. Semua itu amat berguna sebagai kunci untuk membuka dan
memecahkan persoalan yang dibicarakan dalam babak awal yaitu jejer pertama, dan yang menjadi
inti dari lakon tersebut.20
Analisis Struktural: Semar dalam Kosmologi Jawa Jika kita cermati deskripsi episode di atas, kita dapat meng-identifikasi dua pihak yang saling
berlawanan. Pertama, pihak raksasa yang terdiri dari tiga orang yakni Cakil berwajah kuning,
Rambut Geni berwajah merah, dan Pragalba berwajah hitam. Mereka itu disertai punakawan yaitu
Togog dan adiknya Sarawita. Pihak kedua, adalah pihak ksatria yang terdiri dari seorang ksatria
yang disertai punakawan Semar beserta anak-anaknya. Rassers21 mengkategorikan kedua faksi itu
ke dalam wayang kiwo bagi golongan raksasa melawan wayang tengen bagi golongan ksatria.
Peperangan di antara keduanya merepresentasi-kan pertentangan dalam batin manusia berupa
perebutan antara perbuatan baik, bijak, kasih-sayang melawan dorongan perbuatan-perbuatan
jahat, tiran, kedengkian dan nafsu-nafsu badaniah lainnya. Dalam pentas pakeliran, angkara
murka selalu dikalahkan oleh kebajikan, raksasa dibunuh oleh sang Ksatria, secara implisit
mengidealkan kuasa-kuasa kebajikan mengatasi keangkaramurkaan. Atas dasar ini, maka Rassers
menginterpretasikannya bahwa wayang sebagai pentas seni yang berfungsi sebagai sarana
penyampaian ajaran etika dalam masyarakat Jawa. Sebetulnya lebih dari itu bahwa pentas wayang
juga sarat dengan doktrin-doktrin agama yang amat dalam.
Dalam doktrin kejawen keangkaramurkaan meliputi tiga nafsu dasar manusia yaitu nafsu
Sukarda, Angkara, dan Lodra22. Secara berturut-turut sama dengan terminologi Islam yaitu Sufiah,
Amarah dan Aluamah, dan ketiganya masing-masing berasosiasi dengan unsur-unsur kosmis,
angin, yang beridentifikasi warna kuning, api yang beridentifikasi dengan warna merah, dan tanah
yang beridentifikasi dengan warna hitam. Semua itu disandikan dalam bentuk raksasa dalam seni
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 8 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
pakeliran yaitu Cakil, Rambut Geni, dan Pragalba, yang diiringi Togog. Sebaliknya, kebajikan hanya
terdiri dari satu dasar manusia, yaitu nafsu Nuraga atau Mutmainnah, yang disandikan sebagai
ksatria yang berwajah putih, dan yang diiringi oleh punakawan Semar. Maka kita akan lebih
mudah memahami posisi struktural dalam babak perang kembang ini jika diasosiasikan dengan
struktur kosmologi manusia menurut konsepsi orang Jawa, yaitu sedulur papat lima pancer.23
Dalam konteks ini nafsu manusia itu merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan badaniah berhadapan dengan satu nafsu lainnya yang
merepresentasikan dorongan manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan serta kecintaan
pendekatan diri kepada Tuhan. Posisi pancer dalam konstelasi struktur kosmologi itu diduduki oleh
Bethara Guru sendiri, dan merupakan pancaran dari kuasa Ilahi yang imanen dalam diri manusia.
Kemudian yang menjadi persoalan di sini adalah peran Semar dan Togog dalam konstelasi struktur
itu. Agaknya Semar dan Togog ini, menurut mitos Manik Maya adalah imanen di alam mondial,
merepresentasikan sebagai pengendali dorongan-dorongan nafsu manusia, di mana Semar
merepre-sentasikan pengendali kebaikan dan kebajikan, maka berkolaborasi dengan pihak ksatria,
sebaliknya Togog merepresentasikan pengendali nafsu keangkaramurkaan, maka berkolaborasi
dengan raksasa. Atas dasar ini maka Semar dan Togog itu sebetulnya juga aspek dari Bethara Guru,
yang berfungsi mengendalikan bekerjanya nafsu-nafsu manusia, di mana Semar pengendali pada
pihak nafsu bersih, baik dan bijak, sebaliknya Togog pada pihak nafsu yang jahat, angkara murka,
dan nafsu duniawi. Pada konteks ini, Semar adalah representasi kuasa Bethara Guru dalam peran
memberi arah nafsu bersih dan suci terhadap dorongan nafsu Nuraga atau Mutmainnah.
Sebaliknya, Togog berperan memberi arah pemenuhan nafsu-nafsu duniawi yang berujud
dorongan nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra atau Sufiah, Amarah dan Aluamah.
Sesudah sang Ksatria utama berhasil mengatasi ketiga nafsu badaniah itu, maka dalam cerita
selanjutnya, ia juga dapat menguasai rintangan-rintangan, dan biasanya menjadi kunci untuk
membuka jalan penyelesaian persoalan yang menjadi tema lakon pentas wayang itu. Secara ideal
sang Ksatria mencapai keselamatan atau menjadi penyelamat masalah persoalan hidup manusia.
Dalam lakon Makutha Rama, pada adegan perang kembang menceritakan bahwa nafsu-nafsu
Nuraga, Sukarda, Angkara dan Lodra menjumpai Arjuna agar menyem-purnakan keberadaan
mereka. Atas petunjuk Semar, nafsu-nafsu itu hanya akan dapat disempurnakan dengan cara
pembakaran melalui api ciptaan dari keheningan hati sanubari. Nafsu-nafsu itu terserap ke dalam
api ciptaan itu, dan api ini pun padam terserap kembali ke dalam hati sanubari Arjuna. Dengan
demikian, adegan perang kembang dalam lakon Makutha Rama itu memberi pelajaran kepada kita
bahwa sifat-sifat dan nafsu-nafsu manusia itu akan menjadi sempurna dan terkendali apabila
berada di bawah kekuasan manusia seperti Arjuna yang telah mampu menguasai nafsu
badaniahnya, dan mampu menerapkannya dengan cara mencurahkan sebagian besar hidupnya
untuk meme-lihara ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya, maka banyak
sekali orang Jawa memakai Arjuna sebagai model tingkah-laku dalam kehidupannya. Banyak orang
Jawa yang nglakoni yaitu menjalani puasa dalam waktu tertentu dalam rangka untuk melatih diri
menguasai nafsu-nafsu jahat. Dengan menjalani puasa ini dimaksudkan agar jiwa menjadi bersih,
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 9 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
terhindar dari bisikan-bisikan setan sehingga akan lebih mudah mencapai pendekatan kepada yang
Mahakuasa. Selain menjalankan puasa, juga mengurangi tidur dalam rangka untuk berusaha eling
atau mengingat (dzikir) kepada Tuhan. Ada istilah dalam orang Jawa yaitu mangan longan turu longan, artinya mengurangi makan yakni dengan berpuasa, dan mengurangi tidur yakni lebih
banyak berjaga di malam hari dalam rangka untuk berusaha mendekat kepada yang Mahakuasa.
Biasanya puasa yang dilakukan sampai dengan empat puluh hari. Dengan nglakoni ini diharapkan
nantinya akan memperoleh mukjizat yang berupa kasekten atau kesaktian yang bisa untuk
memberantas keangkaramurkaan, dan selalu berusaha menegakan kebenaran dan keadilan.24
Gambaran di atas jelas sekali memiliki prinsip yang sama dengan pola umum perang kembang
dalam pakeliran wayang purwa. Itu menginspirasikan bahwa peran Semar dan Togog bertindak
sebagai pengendali dan pengarah bekerjanya nafsu-nafsu manusia, yang dikenal dalam terminologi
Islam sebagai Mutmainnah, Sufiah, Amarah dan Aluamah. Peraga Semar dan Togog yang
merepresentasikan pengendali nafsu-nafsu manusia itu, memang amat tersamar dengan
identifikasi yang ambiguous. Itulah sebabnya, maka Semar itu diidentifikasi sebagai duda manang-
munung, suatu ungkapan yang menggambarkan keadaan yang misterius dan ambiguous. Postur
tubuh Semar kelihatan seperti laki-laki tetapi berpayudara seperti wanita. Sebaliknya, bukan juga
perempuan sebab Semar memiliki kuncung. Semar dalam pakeliran wayang sering diidentifikasi
sebagi dewa yang mengejawantah berbadan manusia, tetapi juga manusia yang memiliki sifat dan
kuasa dewa.
Dengan demikian, jika analisis di atas dikaitkan dengan mitos Manik Maya, maka dapat
dipahami bahwa Semar dan Togog itu sebetulnya adalah aspek dari Bethara Guru yang berperan
sebagai pengendali nafsu-nafsu badaniah manusia. Dalam pentas pakeliran, seringkali Bethara
Guru ini dikalahkan oleh Semar, dan tidak pernah ada sebaliknya, Semar dikalahkan oleh Bethara
Guru. Namun harus dipahami, manakala Bethara Guru kalah berkelahi melawan Semar itu selalu
terjadi pada waktu Bethara Guru menyimpang dari peran yang seharusnya dimainkannya, yaitu
hendak memenuhi keinginan-keinginan lain yang berbeda dengan ketentuan yang telah digariskan
sehingga menempatkan diri Bethara Guru dalam posisi yang lemah. Dalam posisi yang normal,
mereka memiliki kuasa yang sama, hanya berbeda wilayah kekuasaannya. Prinsip ini juga berlaku
pada manusia secara umum.
Kesimpulan Peraga wayang, Bethara Guru, Semar, dan Togog seharusnya dicermati sebagai wujud simbol,
dan harus dipahami dalam konteksnya, yaitu struktur kosmologi Kejawen. Pentas wayang itu
merepresentasikan pertentangan batin manusia, antara dorongan-dorongan nafsu untuk berbuat
jujur, baik, bijak, dan kasih-sayang melawan dorongan nafsu badaniah yang angkaramurka, jahat
dan tidak jujur. Struktur ini tampak jelas dalam episode perang kembang, di mana tokoh Semar dan
Togog hadir. Semar mengiringi pihak ksatria dan sebagai pengendali dan pemberi arah dorongan
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 10 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
nafsu kebaikan dan kejujuran. Togog pada posisi lawannya, mengiringi pihak raksasa, yang
merupakan representasi dari dorongan nafsu badaniah dan angkaramurka. Oleh karena itu dalam
pakeliran, Semar adalah orang miskin, dan Togog adalah orang yang kaya raya.
Struktur episode perang kembang dalam pentas wayang itu agaknya merupakan transformasi
dari struktur kosmologi Kejawen, di mana tokoh protagonisnya merupakan representasi dari nafsu-
nafsu manusia: Mutmainnah, Sufiah, Amarah, dan Aluamah. Nafsu ini dikelompokkan menjadi dua
faksi, yakni nafsu badaniah berhadapan dengan nafsu rohaniah, nafsu badan kasar berlawanan
dengan nafsu badan halus. Posisi Togog berhadapan dengan posisi Semar, pengen-dalian nafsu
angkaramurka berlawanan dengan pengendalian kebajikan.
Protagonis Bethara Guru, Semar, dan Togog adalah imanen di alam mondial, di dalam diri
manusia. Semar berfungsi sebagai penyamar dari hakekat hidup transendental menjadi alam
semesta yang dipersepsikan sebagai maya atau semu. Konsepsi ini adalah pembalikan dari hakikat
kenyataan hidup transendental, yang dipersepsikan sebagai kebenaran hakiki menjadi alam semesta
yang semu. Ibaratnya seperti orang yang sedang bercermin, melihat bayangan sendiri yang semu,
atau pemutaran film, juga pentas wayang adalah lambang dari prinsip ini.
Endnotes 1 Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 29-32. 2 Sri Mulyono, Wayang Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung Agung, 1977), hal. 35.
3 Ibid., 1982, hal. 13-14. 4 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 98. 5 Harun Hadiwijono, Kebatinan Jawa Dalam Abad XIX (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), hal. 26. 6 Sri Mulyono, Simbolisme, hal. 112. 7 Franz Magnis-Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 21. 8 Ibid., hal. 37. 9 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung
Agung, 1988), hal. 43. 10 Sri Mulyono, 1982, hal. 13. 11 Prijohutomo, Kesusastraan Jawa, Empat Serangkai (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952), hal. 20. 12 R. Tanoyo, Wirid Hidayat Jati (Rangga Warsita, 1892), (Surabaya: Trimurti, 1966), hal. 132. 13 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil
(Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 78. 14 R. Tanoyo, 1966, hal. 147. 15 Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), hal. 110. 16 Seno Sastroamidjojo, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit (Jakarta: PT. Kinta, 1964), hal. 96. 17 Niels Mulder, 1985, hal. 185. 18 Sri Mulyono, 1982, hal. 59-64. 19 Soediro, Wayang kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatikanya, Proyek Penelitian dan Pengkajian
Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal. 86.
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 99-115 11 P3M STAIN Purwokerto | Nawawi
20 Kyai Demang Reditanoyo, Pakem Pangruwatan Murwa Kala, Keluarga R. Tanoyo (Solo: 1964), hal. 116.
21 W.H. Rassers, Panji The Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java (The Hague, Martinus Nijhoff, 1959), hal. 45.
22 Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud: 1985), hal. 74.
23 Soehardi, Makna Pertunjukan Wayang Purwa, Suatu Kajian Antropologi Simbol (Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM, 1995), hal. 110.
24 Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1985), hal. 107.
Daftar Pustaka Geertz, Clifford, The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1976.
Hadiwijono, Harun. Kebatinan Jawa dalam Abad XIX. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985.
Mulder, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil.
Jakarta: Gramedia, 1985.
Prijohutomo. Kesastraan Jawa, Empat Serangkai. Jakarta: Jajasan Pemba-ngunan, 1952.
Magnis-Suseno, Franz, SJ. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia, 1988.
____________. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia, 1985.
Mulyono, Sri. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung, 1977.
_____________. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
_____________. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung, Jakarta, 1983.
Rassers, W.H. Panji the Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java. The Hague, Martinus
Nijhoff, 1969.
Reditanoyo, Kyai Demang. Pakem Pangruwatan Murwa Kala. disadur oleh R.Tanoyo, Solo: Keluarga
Tanoyo, 1964.
Sastroamidjojo, Seno. Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: PT. Kinta, 1964.
Soediro, S. Wayang Kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatikanya. Jakarta: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Javanologi, Depdikbud, 1983.
Soehardi. Tarikat, Suatu Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi, Jakarta: Depdikbud,
1985. Soehardi. Makna Pertunjukan Wayang Purwa, Suatu Kajian Antropologi Simbol. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM, 1995.