73991624 pengendalian-hayati-gulma
Transcript of 73991624 pengendalian-hayati-gulma
PENGENDALIAN HAYATI PENGENDALIAN HAYATI GULMAGULMA
M. Taufik Fauzi
PS Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Mataram
awalnya dianggap sebagai ‘malaikat’ yang mampu menyelamatkan tanaman
pertanian dari gangguan hama, penyebab penyakit dan gulma pemakaiannya sangat intensif
pestisida dapat menyebabkan efek samping yang t idak diinginkan (Levesque and Rahe, 1992; Turk et al. , 1972;
Untung, 2001):
1) hama/penyebab penyakit/gulma dapat menjadi resisten terhadap pestisida; misalnya adanya kecendrungan resistensinya penyakit becak ungu pada bawang putih terhadap beberapa fungisida, yang diduga merupakan salah satu penyebab gagalnya panen bawang putih di Sembalun Lombok Timur NTB,
2) ikut terbunuhnya musuh-musuh alami hama/penyebab penyakit tanaman dan gulma,
PESTISIDA
3. terbunuhnya organisme bukan sasaran sepert i belut, katak,
ayam, lebah dan lain lain,
4. dapat meninggalkan residu pada tanaman sehingga
berbahaya j ika dikonsumsi; hal ini telah menyebabkan
beberapa produk pertanian Indonesia ditolak di pasaran
dunia,
5. dapat menyebabkan meningkatnya kepekaan tanaman
terhadap gangguan penyebab penyakit tumbuhan, misalnya
terjadinya peningkatan intensitas penyakit hawar ( fusarium blight) pada tanaman gandum akibat pemakaian senyawa
sejenis herbisida (Fauzi and Paulitz, 1994), dan
6. dapat mencemari air, tanah, udara dan komponen l ingkungan
lainnya yang dapat menyebabkan keracunan/kematian bagi
manusia
Penggunaan herbisida
Sama dengan pestisida yang lain, paling efektif dengan hasil pengendalian yang paling cepat dapat
dilihat, tetapi
1) efek merusak dari residu herbisida terhadap lingkungan
2) bahan kimia ini dapat meningkatkan penyakit tumbuhan
3) berkembangnya ketahanan berbagai gulma terhadap herbisida
4) tidak ekonomis misalnya di padang gembalaan atau areal-areal lain yang mempunyai produktivitas yang rendah
Alternatif pengendalian gulma
Pengendalian Hayati (Biokontrol)
pendekatan dalam mengendalikan gulma yang dapat mengurangi populasi gulma dengan
menggunakan organisme hidup selain manusia
aman bagi lingkungan, dapat merupakan alternatif pengendalian yang penting diterapkan bilamana cara
pengendalian yang lain tidak pas
Pengendalian Hayati Gulma setiap usaha untuk menekan populasi gulma dengan memanfaatkan mahluk hidup sepert i serangga, patogen (termasuk jamur, bakteri, virus, dan nematoda), hewan t ingkat t inggi (herbivora) dan bahkan tanaman lain
Tujuan pengendalian hayati gulma pada dasarnya bukan untuk mengeradikasi gulma tetapi mengurangi/menjaga stabilisasi jangka panjang kepadatan populasi gulma pada taraf yang tidak merugikan
Dasar Ekologi Pengendalian Hayati Gulma
Faktor utama penghambat dalam penyebaran dan banyaknya suatu tumbuhan di suatu daerah adalah karena di daerah tersebut terdapat banyak musuh alami, dan telah dibuktikan bahwa faktor biotik secara signifikan mempengaruhi distribusi dan melimpahnya spesies tumbuhan.
Sebagian besar gulma penting yang ada di suatu negara atau wilayah merupakan tumbuhan yang berasal dari negara/wilayah lain yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja
di tempat baru musuh alami dari gulma tersebut sangat jarang bahkan tidak ada, sementara i tu di negara asal gulma sasaran musuh alami sudah sangat berasosiasi dengan gulma tersebut sehingga gulma itu menjadi t idak begitu penting dengan kepadatan populasi yang rendah (White, 1997).
Berdasarkan pemahaman dan bukti tersebut maka pada awalnya sebagaian besar program pengendalian hayati gulma
dilakukan dengan mendatangkan musuh alami (terutama serangga) dari
negara/wilayah darimana gulma tersebut berasal.
Faktor biotik lain yang berperan dalam meregulasi (mengatur) populasi gulma selain musuh alami
adalah adanya kompetisi baik antara spesies gulma yang sama maupun dengan spesies lain termasuk
dengan tanaman budidaya.
Oleh karena itu, pengelolaan habitat pada ekosistem pertanian dilakukan sedemikian sehingga dapat
mengurangi kemampuan gulma untuk berkompetisi sebagai akibat dari melemahnya ‘kebugaran’ ( f i tness) gulma karena gangguan musuh alami (serangga dan patogen), atau karena kehadiran tanaman lain yang
mempunyai daya kompetisi yang lebih kuat; atau keberadaan kedua faktor tersebut
Misalnya, penekanan gulma skeleton (Chondril la juncea L.) karena introduksi jamur Puccinia
chondril l ina adalah sebesar 50%, dan karena kompetisi dengan clover (Trifol ium subterraneum L.) adalah sebesar 70%. Kedua faktor tersebut secara bersama-sama dapat menekan pertumbuhan gulma
skeleton sampai 94% (Burdon et al ., 1980).
Juga, hasil peneli t ian Paul dan Ayers (1987) menunjukkan bahwa jamur karat yang digunakan
untuk mengendalikan gulma Senecio vulgaris t idak menunjukkan peningkatan kematian gulma tersebut
tetapi penurunan pengaruh gulma pada pertumbuhan dan hasil lettuce terl ihat dengan jelas.
Keberhasilan suatu agen pengendali hayati gulma sering diperoleh bilamana jumlah variasi genetik di
dalam suatu populasi gulma sangat terbatas (Burdon et al., 1980; Barret, 1982).
Untungnya, populasi dari gulma yang di introduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja pada umumnya
mempunyai variasi genetik yang sangat terbatas dibandingkan dengan gulma sejenis yang ada di wilayah
asalnya.
Hal ini disebabkan oleh introduksi gulma biasanya berasal dari satu atau sedikit individu gulma
(Barrett, 1982; Watson, 1991).
Ekosistem pertanian (agroekosistem), baik yang menerapkan teknologi sederhana maupun teknologi
canggih, merupakan ekosistem "terganggu" yang mempunyai perbedaan yang lebar dalam sifat-sifat ikl im,
biotik, dan budidaya.
Variasi yang demikian itu dapat mempengaruhi tanaman, gulma, dan keberadaan populasi mikrobia dan serangga. Tambahan lagi, dengan adanya aktivitas manusia yang bertujuan untuk memaksimalisasi kembalian ekonomi,
agroekosistem selalu mengalami perubahan sementara dalam dinamika gulma dan tanaman.
Perubahan ini akan mempengaruhi pil ihan agen pengendali hayati yang akan digunakan untuk
mengendalikan gulma (Charudattan and DeLoach, 1988).
Perubahan-perubahan ini juga dapat merupakan faktor penghambat dalam build up dan efikasi agen pengendali hayati, misalnya penggunaan fungisida dan insektisida dalam perlindungan tanaman akan
mempengaruhi siklus hidup jamur dan serangga yang digunakan sebagai agen pengendali hayati.
Sehingga pemahaman tentang ekologi agen pengendali hayati, gulma, maupun tanaman merupakan hal yang sangat penting dalam
menunjang keberhasilan pengendalian hayati gulma.
Agensia Pengendali Hayati GulmaAgensia Pengendali Hayati Gulma
serangga, patogen (jamur, bakteri, virus dan nematoda), tumbuhan tingkat tinggi dan
herbivora
pada umumnya yang dianggap sebagai pengendalian hayati gulma adalah
penggunaan musuh alami (serangga dan patogen tumbuhan).
1. Serangga
Paling banyak digunakan untuk pengendalian hayati gulma, karena:
1. daya reproduksi serangga yang t inggi, 2. mempunyai inang (host) yang sangat spesif ik, 3. pengetahuan yang baik tentang sistematika,
tentang sejarah hidup dan asosiasinya dengan tumbuhan,
4. kerusakan nyata yang dit imbulkannya pada tumbuhan, dan
5. penanganannya yang mudah
Contoh keberhasilan: 1. Terkendalinya eceng gondok (Eichhornia
crassipes (Mart.) Solms.) di Lousinia, Amerika Serikat dengan introduksi Neochetina eichhorniae Warner yang didatangkan dari Argentina
2. bersihnya infestasi salvina (Salvina molesta Mitchell) di Australia dan Papua New Guinea dengan introduksi kumbang Cytrobagous salvinae Calder and Sands dari Brazil
Keberhasilan penggunaan serangga ini disebabkan oleh:
1. kemampuan reproduksinya yang tinggi,
2. mobilitasnya yang tinggi, 3. ketertarikan serangga dewasa dan larva
untuk memakan batang dan daun, dan
4. tidak adanya parasit yang beradaptasi di daerah pelepasan serangga
Mikrobia (Patogen tumbuhan) diketahui mempunyai kemampuan untuk menekan dan
bahkan membunuh tumbuhan (termasuk gulma)
Jamur merupakan agen biokontrol gulma yang paling banyak diteliti dan dikembangkan
umum ditemukan pada tumbuhan, bersifat merusak, dapat diproduksi secara massal dan dapat
diformulasikan, serta dapat secara aktif mempenetrasi tumbuhan
2. Patogen Tumbuhan2. Patogen Tumbuhan
Gulma Northern Joinvetch (kiri) dapat dikendalikan (kanan) dg. Jamur Colletotrichum sp.
Clidemia sebelum aplikasi jamur
Setelah aplikasi jamur Colletotrichum
Sebagaimana dengan gulma tanaman budidaya juga mampu mengurangi pertumbuhan dan perkembangan gulma
melalui kompetisi terhadap cahaya, air dan nutrisi, atau dalam beberapa hal melalui pelepasan substansi alelopati
(Minotti, 1991).
3. Tumbuhan
Beberapa tanaman diketahui mempunyai kemampuan untuk melepaskan senyawa kimia ke dalam tanah yang mampu
menghambat pertumbuhan gulma (Rice, 1995). Minotti dan Sweet (1981) telah melakukan skrining terhadap lebih dari 500 aksesi
mentimun dari 41 negara dan menemukan bahwa beberapa aksesi mentimun tersebut mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan beberapa gulma indikator dengan memproduksi
senyawa alelopati
1. Faktor yang berhubungan dengan waktu, dimana tanaman yang mempunyai kemampuan untuk berkecambah dan establish (mapan/tumbuh) lebih cepat akan mempunyai kemampuan berkompetisi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang berkecambah dan tumbuh/berkembang dengan lamban.
2. Faktor varietas tanaman, dimana satu varietas dengan varietas lainnya dari suatu tanaman mempunyai kemampuan kompetisi yang berbeda,
3. Faktor populasi tanaman, dimana semakin padat populasi tanaman maka pertumbuhan gulma akan tertekan; sehingga beberapa sistem budidaya seperti pengurangan jarak tanam dan tumpang sari (multiple cropping) diharapkan akan dapat mengurangi populasi gulma
Faktor yang dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk berkompetisi dengan gulma
Kesukaan makan suatu hewan tingkat tinggi jika diberikan kebebasan untuk memilih, dapat digunakan secara selektif
untuk mengendalikan gulma.
4. Herbivora
Namun, karena sifatnya pergerakannya yang dapat merusak pertanaman maka pengendalian gulma menggunakan hewan tingkat tinggi hanya dapat digunakan di daerah padang gembalaan (Gillen and Scifres, 1991).
Misalnya Domba (Capra hircus L.) dapat digunakan untuk mengendalikan gulma blackberry (Rubus fruticosus agg.) pada padang gembalaan yang terabaikan. Wood (1987) melaporkan bahwa domba dapat membersihkan gulma tersebut dari padang gembalaan, dan menyebabkan tumbuhnya rumput pakan ternak
dengan baik .
Pendekatan dan Teknik Pengendalian Gulma dengan Mikrobia
1. Pendekatan Klasik2. Pendekatan Non-klasik
Pendekatan klasik merupakan introduksi secara inokulatif musuh alami yang
didatangkan dari luar darimana gulma sasaran berasal
1. Pendekatan Klasik
Pendekatan klasik menggunakan organisme yang dapat bereproduksi dan menyebar sendiri, shg biaya implementasinya tidak tergantung pada luas areal yang terinfestasi dan waktu yang
dibutuhkan untuk mengendalikan gulma sasaran
Gulma introduksi
sasaran yang baik bagi penggunaan musuh alami dengan pendekatan klasik (inokulatif)
1. Musuh alami harus disasarkan pada gulma eksotik yang tidak ada musuh alaminya
2. Tidak ada alternatif pengendalian yang pas 3. Kembalian ekonomi yang memadai yang
diperoleh 4. Kondisi lingkungan yang sesuai bagi musuh
alami5. Tidak ada pertentangan tentang status
gulma sasaran 6. Musuh alami mempunyai inang yang spesifik
Perlu diperhatikan sebelum introduksi musuh alami
Bridal Creeper ( Asparagus asparagoides)
Jamur karat Puccinia myrsiphylli , Afrika Utara
Lantana camara Septoria sp.
1. Pendekatan Non-Klasik
a. Teknik Augmentatif
Perkembangan agen pengendali hayati perlu dibantu karena adanya hambatan biologi atau ekologi
Mikrobia yang digunakan ditemukan di daerah/wilayah dimana gulma menjadi masalah, tetapi tanpa bantuan manusia maka agen pengendali hayati ini tidak dapat berkembang dengan baik
Teknik augmentatif yang menggunakan mikrobia (biasanya jamur) dilakukan dengan memproduksi inokulum jamur dalam jumlah banyak, dan selanjutnya dilepas pada saat (waktu dan keadaan lingkungan) yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan penyakit
Inokulum yang digunakan pada teknik ini biasanya tidak dapat diperbanyak pada media biakan (pada umumnya bersifat obligat) sehingga tidak dapat diterapkan dengan teknik inundatif atau bioherbisida
Misal: Penggunaan jamur karat Puccinia canaliculata untuk mengendalikan teki kuning (Cyperus esculentus) di Amerika Serikat DR. BIOSEDGE
Pengembangan jamur karat (Puccinia sp.) lokal Lombok untuk mengendalikan gulma teki (Cyperus rotundus)
Jamur karat lokal Lombok
Jamur Karat Menimbulkan kerusakan yang parah pada gulma teki
Secara alami, kerusakan ringan dan penyebaran terbatas
PERLU BANTUAN MANUSIA
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
5 10 15 20 25 30
Spore concentration (x 1000 spore/ml)
No
of p
ustu
les
a.m
p.m
Y = -0.87 + 2.84 x 10-3X
Y = -1.03 + 0.43 x 10-3X
Aplikasi jamur pada sore (pm) hari menunjukkan hasil yang lebih baik dg yang diaplikasikan pagi hari (am)
teki sehat
teki terinfeksi
Kenampakan daun dg pengecatan di bawah mikroskop (pada teki sehat t idak ada spora, sdg pada daun terinfeksi terl ihat spora yang berlimpah)
Padi
Kedelai
Kenampakan daun beberapa tanaman budidaya dg pengecatan di bawah mikroskop (Tidak tampak adanya hifa atau spora jamur)
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Jagung
Perlakuan Campuran
Koefisien Agresivitas (KA)
Teki Padi
T1P -0,0398 0,0398
T2P -0,0445 0,0045
T3P -0,2756 0,2756
T0P 0,1790 -0,1790
Tanaman dengan nilai KA posit if lebih dominan dari KA negatif
b. Teknik Inundatif (Bioherbisida)
Menerapkan mikrobia atau bagian atau kandungannya yang diformulasikan sebagaimana herbisida dan diterapkan ke gulma sasaran dengan cara yang sama dengan herbisida
Aplikasi mikrobia dilakukan secara langsung ke gulma sasaran dengan volume dan dosis yang dapat mengendalikan gulma dalam waktu tertentu dan sebelum kehilangan ekonomi yang ditimbulkan oleh gulma terjadi
Alternaria eichhorniae
Bioherbisida seperti CollegoTM (spora kering jamur Colletotrichum gloesporioides f.sp. aeschynomena) mengendalikan Aeschynomene virginica) pada tanaman padi
DeVine® (fermentasi cair dari klamidospora dari Phytophthora palmivora) mengendalikan gulma Morrenia odorata pada perkebunan jeruk
LuBoa (spora dari jamur Colletotrichum gloesporioides f.sp. cuscutae) yang diproduksi pada skala rumah tangga di Cina Cina sangat efektif untuk mengendalikan gulma Cuscuta (Cuscuta indecora)
BIOMALTM (suspensi spora jamur Colletotrichum gloesporioides f.sp. malvae) mengendalikan gulma Malva pusilla pada tanaman gandum
Prosedur dalam Pengendalian Hayati Gulma dengan Pendekatan Non-klasik Prosedur dalam Pengendalian Hayati Gulma dengan Pendekatan Non-klasik
1. Penemuan2. Pengembanga
n3. Pemanfaatan
1. memberikan batasan pada gulma sasaran: nilai tanaman budidaya yang terinfestasi oleh gulma sasaran, ketersedian cara pengendalian termasuk biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian, dan keadaan tertentu yang mendukung diterapkannya pengendalian hayati terhadap gulama sasaran
2. mengurangi daftar spesies gulma yang akan dikendalikan
3. melakukan survey mikrobia pada gulma
Sebelum eksplorasi mikrobia:
1. PENEMUAN
1. Mikrobia dikoleksi dari bagian gulma yang sakit dan diisolasi pada media biakan yang sesuai, dan diidentifikasi
2. Postulat ‘Koch’3. Identifikasi4. Media biakan yang dapat digunakan 5. Penyimpanan biakan untuk waktu singkat
dan lama 6. Studi pustaka terhadap patogen yang
potensial terutama mengenai kisaran inang dari patogen dan media yang sesuai bagi perkembangan patogen tersebut
Selanjutnya:
1. Dapat diproduksi secara in vitro2. produksi/agen tersebut dapat tetap
dalam kondisi stabil di dalam biakan maupun di penyimpanan
3. tidak mempunyai faktor dormansi yang dapat mempengaruhi infektifitas
4. dapat menginfeksi gulma pada kisaran kondisi lingkungan yang luas
Mikrobia potensial:
2. Pengembangan
1. Penentuan kondisi optimum bagi produksi spora
2. penentuan kondisi optimum bagi perkembangan penyakit dan kerusakan gulma
3. pengujian proses infeksi 4. penentuan cara kerja patogen dalam
mengendalikan gulma dan atau toksin 5. penentuan kisaran inang 6. kuantifikasi keefektifan agen sebagai agen
pengendali hayati gulma
3. Pemanfaatan
Kolaborasi antara peneliti, petani (pengguna), dan industri dalam produksi, kemungkinan komersialiasi, dan penggunaan bioherbisida
1. Formulasi2. Fermentasi 3. Aspek regulasi 4. Pemasaran 5. Implementasi
Efektivitas Ae5 yang diformulasikan dalam emulsi minyak biji kapas