ABU THALIB ok3 - shalawat.weebly.com file7 PENGANTAR PENYUNTING Abû Thâlib adalah paman Nabi...

190
1

Transcript of ABU THALIB ok3 - shalawat.weebly.com file7 PENGANTAR PENYUNTING Abû Thâlib adalah paman Nabi...

1

2

3

Benarkah AbûThâlib Seorang

Mukmin?

Allâmah Sayyid Ahmadbin Zainî Dahlân

4

Benarkah Abû Thâlib Seorang Mukmin?Diterjemahkan dari Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî

ThâlibKarya Allâmah Sayyid Ahmad bin Zainî Dahlân

(Mufti Mazhab Syâfi’î)Terbitan Maktabah Al-Bayyinah, Surabaya

Penerjemah: Tholib AnisPenyunting: Irwan Kurniawan

Hak cipta dilindungi undang-undangdilarang mereproduksi maupunmemperbanyak sebagian atau

seluruh buku ini dalam bentuk apa puntanpa izin tertulis dari penerbit.

All rights reserved

Cetakan Pertama: Februari 2006

Diterbitkan oleh Hasyimi Press

Tata Letak: Khoiril AnwarDesain Cover: Ozie

5

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENYUNTING 7PRAKATA 11KEIMANAN ABÛ THÛLIB 15

Makna Iman 15Apakah Ucapan Syahadat Bagian dariKeimanan? 22

BUKTI-BUKTI KEIMANAN ABÛ THÛLIB 33

Wasiat Abû Thâlib kepada Kaum Quraisy 33Pemboikotan terhadap Bani Hâsyim dan Bani ‘Abdul Muththalib 59Dalil-dalil tentang Kekafiran Abû Thâlib 87

6

Ayat-ayat Al-Quran yang Sebab Turun- nya Dinisbatkan kepada Abû Thâlib 125Agama ‘Abdul Muththalib 154Hadis-hadis tentang Syafaat 176

Penutup 185

7

PENGANTAR PENYUNTING

Abû Thâlib adalah paman Nabi Muham-mad Saw. Sepeninggal ayahnya, ‘AbdulMuththalib, ia mengasuh dan memeliharaNabi Saw. yang masih sangat belia. Cin-tanya kepada Nabi Saw. tidak kurang dari—bahkan melebihi—cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Bahkan, ia merasa tidaktega bila harus meninggalkannya di rumahdalam waktu yang lama. Oleh karena itu,setiap kali bepergian jauh, ia selalu meng-ajak anak saudaranya itu.

Ketika Nabi Saw. menerima wahyu dariAllah Swt. dan mulai mendakwahkan aga-ma Islam, tentangan hebat pun datang darikaum Quraisy. Sebab, agama yang dibawa

8

Nabi Saw. bertentangan dan bertolak bela-kang dengan keyakinan yang dianut olehbangsa Arab ketika itu, yang diwarisi darileluhur mereka. Akibatnya, setiap kali ke-luar rumah, Nabi Saw. selalu mendapatkancemoohan dan tindakan-tindakan kasardari mereka. Ketika itu, tidak ada orangyang dapat melindungi beliau dari ganggu-an kaum musyrik Quraisy selain pamannya,Abû Thâlib. Sang paman pun berusaha se-kuat tenaga untuk menolong dan membelakeponakannya sekalipun harus pasang ba-dan dalam menghadapi sikap keterlaluanorang-orang kafir Quraisy. Ia juga meng-ajak putra-putranya, seperti ‘Alî dan Ja‘far,agar ikut membela dan melindungi anaksaudaranya.

Kita sepakat tentang kiprah Abû Thâlibdalam mengasuh, memelihara, melin-dungi, dan membela Nabi Saw., serta sum-bangsihnya, baik secara langsung maupuntidak langsung, dalam memuluskan dak-wah beliau. Semua itu tidak kita ragukan.Namun, kita belum sepakat tentang apa

9

yang menjadi motif dan alasan Abû Thâlibmelakukan semua ini; apakah karena fana-tisme kesukuan (baca: keluarga) yang meru-pakan salah satu karakter bangsa Arab,atau karena keimanan yang terpendam didalam hatinya, walaupun ia tidak meng-ikrarkannya secara terang-terangan karenaberbagai alasan?

Masalah ini masih menjadi bahan per-debatan, baik di kalangan ulama maupundi kalangan masyarakat pada umumnya.Para ulama, dari berbagai mazhab fiqih danpemikiran, telah menjelaskan apa yang me-reka yakini tentang hal ini dengan berbagaidalil dan argumentasinya. Di antara me-reka adalah Sayyid Muhammad bin RasûlAl-Barzanjî. Ia telah menulis sebuah risalahyang mengupas tuntas persoalan keimananAbû Thâlib dengan berbagai argumenta-sinya dan dengan menggunakan metodeyang tidak pernah digunakan oleh ulamamana pun sebelumnya. Kemudian, risalahitu diringkas oleh Sayyid Ahmad bin ZainîDahlân, seorang mufti dalam mazhab Syâ-

10

fi‘î. Dan kini, dengan taufik dan rahmatAllah Swt., kami mempersembahkan risa-lah itu kepada pembaca yang mulia dalamedisi bahasa Indonesia dengan judul Be-narkah Abû Thâlib Seorang Mukmin? Se-lamat membaca!

PenyuntingIrwan Kurniawan, M.Ag.

11

PRAKATABismillâhirrahmânirrahîm

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.Shalawat dan salam semoga senantiasa di-curahkan kepada Sayyidina Muhammadserta keluarga dan para sahabatnya.

Saya telah membaca dan menelaah tu-lisan karangan Sayyid Muhammad bin Ra-sûl Al-Barzanjî (w. 1103 H) tentang kesela-matan kedua orangtua Nabi Saw. dari apineraka. Pada bagian akhir buku itu, ia me-lampirkan sebuah apendiks tentang ke-imanan Abû Thâlib, paman Nabi Saw. Iamenegaskan keimanan Abû Thâlib berda-sarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sun-nah serta pendapat para ulama. Barang-siapa menelaah tulisan tersebut dengan

12

saksama, maka ia pasti meyakini keimananAbû Thâlib.

Dalam buku tersebut, Al-Barzanjî jugamenyebutkan beberapa dalil yang menafi-kan keimanan Abû Thâlib. Namun, ia ke-mudian menjelaskan makna dari dalil-daliltersebut sehingga diperoleh pemahamanbahwa semua dalil itu secara tegas menun-jukkan keimanan Abû Thâlib. Dalam halini, ia menempuh metode yang tidak per-nah digunakan oleh siapa pun sebelumnya,sehingga semua orang yang semula meng-ingkari keimanan Abû Thâlib akhirnya da-pat menerima dalil-dalil yang dikemuka-kannya. Ia membalikkan setiap dalil yangdijadikan sandaran oleh orang-orang yangmengingkari keimanan Abû Thâlib danmenjadikannya dalil yang justru menun-jukkan keimanan Abû Thâlib.

Selain itu, Al-Barzanjî mengkaji ber-bagai hal yang samar dalam dalil-dalil yangdijadikan pegangan oleh orang-orang yangmenafikan keimanan Abû Thâlib. Lalu, iamenghilangkan segala kesamaran itu de-

13

ngan dalil-dalil yang kuat. Dalam pemba-hasan tersebut, ada beberapa topik yangsangat sulit yang hanya dapat dipahamioleh para ulama yang mumpuni, sedang-kan pemula sulit memahaminya. Semen-tara itu, sebagian pembahasan dinilai su-dah memadai dalam menjelaskan apa yangdimaksud.

Dalam tulisan ini, saya ingin meringkasapa yang telah dijelaskan oleh Al-Barzanjîberkenaan dengan keimanan Abû Thâlib.Dengan demikian, masalah ini dapat dike-tahui oleh banyak orang. Saya berusaha se-dapat mungkin menyederhanakan ung-kapan-ungkapan yang sulit dalam pemba-hasan-pembahasan itu dan membuang hal-hal yang dianggap tidak perlu. Di sampingitu, saya menambahkan beberapa hal yangberkenaan dengan topik ini dengan apayang saya temukan dalam Al-Mawâhib Al-Laduniyyah dan As-Sîrah Al-Hilbiyyah. Sebab,dalam kedua buku ini terdapat penjelasanyang mendukung tema ini dan dapat me-muaskan siapa saja yang membacanya.

14

Saya menjuduli buku ini dengan AsnâAl-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (dalam edisiIndonesia: Benarkah Abû Thâlib SeorangMukmin. Saya memohon kepada AllahSwt. pertolongan, taufik, keikhlasan, pene-rimaan, dan khusnul khâtimah denganperantaraan Sayyidina Muhammad—se-moga Allah melimpahkan sebaik-baik sha-lawat dan salam kepadanya serta keluargadan para sahabatnya.[]

15

KEIMANAN ABÛ THÛLIB

Makna Iman

Terlebih dahulu, Allâmah Al-Barzanjî men-jelaskan keimanan Abû Thâlib dengan da-lil-dalil dan bukti-bukti yang kuat. Kemu-dian, ia menjelaskan keimanan Abû Thâlibberdasarkan pendapat-pendapat yang pa-ling kuat dari para muhaqqiq. Pembuktiankeimanan bergantung pada pengetahuan-nya tentang makna iman. Makna iman me-nurut syariat adalah pengakuan dalam hatiatas keesaan Allah Swt. dan risalah NabiSaw., serta pengakuan atas kebenaran se-gala yang dibawa oleh Nabi Saw. dari Tu-hannya.

16

Sementara itu, makna Islam menurutsyariat adalah kepatuhan dengan melaku-kan perbuatan-perbuatan lahiriah yang te-lah disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sab-da Rasulullah Saw., “Islam adalah terang-te-rangan (‘alâniyyah), sedangkan iman beradadi dalam hati.” Kadang-kadang, Islam daniman menyatu, yaitu dengan pengakuan didalam hati dan pernyataan atau ikrar de-ngan mengucapkan dua kalimat syahadat.Namun, kadang-kadang Islam terpisah da-ri iman, yaitu dalam diri seorang munafikyang secara lahiriah mengucapkan dua ka-limat syahadat dan mengikuti hukum-hu-kum Islam, sementara di dalam hatinya iamengingkarinya.

Iman juga kadang-kadang terpisah da-ri Islam, yaitu dalam diri seseorang yangdalam hatinya mengakui kebenaran itu, te-tapi ia tidak mau mengucapkan dua kali-mat syahadat karena pembangkangan dantidak mengikuti hukum-hukum Islam. Halini terjadi pada kebanyakan ulama Yahudiyang mengetahui bahwa Muhammad Saw.

17

adalah seorang rasul, tetapi mereka tidakmau mengucapkan dua kalimat syahadat,tidak mau mengikuti beliau, dan tidak maumengakui apa yang dibawa oleh beliau.Tentang hal ini,

Allah Swt. berfirman,

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yangtelah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil)mengenal Muhammad seperti mereka me-ngenal anak-anak mereka sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 146 dan Al-An‘âm [6]: 20).

Mereka tidak mau mengakui risalahNabi Saw. karena pembangkangan. Pada-hal dalam hati, mereka meyakini kebenar-an risalah yang dibawa Muhammad Saw.Dengan demikian, sebenarnya mereka ber-iman kepada Muhammad Saw., tetapi me-reka menampakkan sikap yang mendusta-kannya karena pembangkangan. Oleh ka-rena itu, keimanan dalam hati mereka tidak

18

memberikan manfaat apa pun bagi merekadisebabkan pengingkaran mereka secaralahiriah.

Sebaliknya, jika seseorang yang secaralahiriah tidak menyatakan keimanan dantidak mengucapkan dua kalimat syahadatkarena suatu uzur, bukan karena pembang-kangan, maka dalam hal ini, keimanan da-lam hati dapat memberikan manfaat bagiorang tersebut di sisi Allah Swt. di akhirat.Meskipun demikian, di dunia ini, orangtersebut mungkin diperlakukan sepertiorang kafir. Ia disebut “kafir” menurut hu-kum-hukum dunia.

Uzur yang mencegah seseorang untukmenyatakan keimanan kepada Nabi Saw.bisa disebabkan oleh beberapa hal. Di anta-ranya adalah ketakutan terhadap orang za-lim. Misalnya, jika ia menampakkan ke-islamannya dan melaksanakan hukum-hu-kum Islam, maka orang zalim itu akanmembunuh atau menyiksanya, atau me-nyiksa salah seorang dari anak-anak ataukerabatnya. Dalam hal ini, ia boleh me-

19

nyembunyikan keislamannya. Bahkan, jikaorang zalim itu memaksanya untuk meng-ucapkan ungkapan-ungkapan kekafiran,maka ia boleh mengucapkannya. Berkaitandengan hal ini, Allah Swt. Berfirman.

Barangsiapa yang kafir kepada Allah se-sudah dia beriman (dia mendapat kemur-kaan Allah), kecuali orang yang dipaksakafir, padahal hatinya tetap tenang dalamberiman (dia tidak berdosa). Akan tetapi,orang yang melapangkan dadanya untukkekafiran, maka kemurkaan Allah menim-panya dan baginya azab yang besar (QSAn-Nahl [16]: 106).

Termasuk dalam kategori ini adalahhalangan Abû Thâlib untuk menyatakankeislamannya secara terang-terangan ka-

20

rena kekhawatirannya terhadap keselamat-an anak saudaranya, Muhammad Saw. Se-bab, Abû Thâlib ingin melindungi, meno-long, dan membelanya dari setiap gang-guan yang ditujukan kepadanya sehinggabeliau dapat menyampaikan risalah Tuhan-nya. Dengan demikian, kaum kafir Quraisytidak dapat mengganggu Nabi Saw. berkatpenjagaan dan perlindungan dari AbûThâlib.

Ketika itu, kepemimpinan kaum Qu-raisy, sepeninggal ‘Abdul Muththalib, ber-ada di tangan Abû Thâlib. Perintah AbûThâlib dipatuhi oleh kaum Quraisy. Jamin-an perlindungannya pun diterima oleh me-reka, karena mereka menganggap bahwaAbû Thâlib masih menganut agama mere-ka. Padahal, seandainya mereka mengeta-hui bahwa Abû Thâlib telah memeluk aga-ma Islam dan mengikuti Nabi Saw., niscayamereka tidak akan menerima jaminan per-lindungan dan pertolongannya kepada be-liau. Mereka pasti memerangi dan menya-kiti Abû Thâlib serta melakukan tindakan

21

yang jauh lebih buruk terhadapnya daripa-da apa yang mereka lakukan terhadap NabiSaw.

Tidak diragukan, hal ini merupakanalasan yang sangat kuat bagi Abû Thâlibuntuk tidak menampakkan keimanannyakepada Nabi Saw. dan mengikuti beliau se-cara terang-terangan. Oleh karena itu, AbûThâlib memperlihatkan seakan-akan diri-nya masih berpegang pada agama mereka,dan ia membela Nabi Saw. semata-mata ka-rena alasan hubungan kekerabatan. De-ngan demikian, kaum kafir Quraisy meya-kini bahwa Abû Thâlib melindungi dan me-nolong Nabi Saw. semata-mata karena si-kap fanatisme, bukan karena ia telah meng-ikuti agama Muhammad Saw., karenabangsa Arab dikenal dengan kefanatikan-nya. Padahal, hati Abû Thâlib telah dipe-nuhi keyakinan kepada Muhammad Saw.karena ia telah menyaksikan mukjizat-muk-jizat yang muncul dalam diri beliau.

Abû Thâlib kadang-kadang melantun-kan bait-bait syair yang secara lahiriah me-

22

nunjukkan keimanannya kepada Nabi Saw.Namun, pada kesempatan lain, ia juga me-lantunkan bait-bait syair di hadapan kaumkafir yang menunjukkan seakan-akan iamasih mengikuti agama mereka dan tidakmengikuti Nabi Saw. Hal itu ia lakukan un-tuk menjaga keselamatan jiwanya dan me-lindungi dirinya dari tuduhan bahwa iaadalah pengikut Nabi Saw.

Apakah Ucapan Syahadat Bagian dari Ke-imanan?

Kemudian, Al-Barzanjî menyebutkan per-bedaan pendapat para ulama tentangucapan dua kalimat syahadat; apakah me-rupakan bagian dari keimanan atau hanyamerupakan syarat berlakunya hukum du-niawi? Jika mengucapkan dua kalimat sya-hadat merupakan bagian dari keimanan,maka konsekuensinya adalah bahwa orangyang meninggalkannya, sementara iamampu melakukannya, dinilai kafir dan ke-kal di neraka. Namun, jika hal itu hanya

23

merupakan syarat berlakunya hukum du-niawi, maka ia tidak kekal di neraka.

As-Safâqasî—dalam Syarh At-Tamhîd—berkata, “Esensi iman adalah pembenaran(tashdîq). Ini adalah riwayat yang sahih dariImam Abû Hanîfah r.a.”

Allâmah Al-‘Ainî—dalam Syarh Al-Bu-khârî—berkata, “Pernyataan dengan lisanmerupakan syarat berlakunya hukum-hu-kum. Oleh karena itu, barangsiapa meng-akui kebenaran sesuatu yang dibawa olehRasululullah Saw., maka ia adalah seorangMukmin di hadapan Allah Swt., meskipunia tidak mengikrarkannya dengan lisan-nya.” Hâfizhuddîn An-Nasafî berkata, “Halitu diriwayatkan dari Abû Hanîfah. Pen-dapat inilah yang dianut oleh Imam AbûAl-Hasan Al-Asy‘arî dalam riwayat yang pa-ling sahih darinya, dan ini juga pendapatyang dianut oleh Abû Manshûr Al-Mâtû-rîdî.”

Imam ‘Adhduddîn—dalam Al-Mawâ-qif—berkata, “Iman, menurut mazhab ka-mi, adalah pembenaran terhadap Rasulul-

24

lah Saw. karena diketahui bahwa apa yangdibawanya merupakan keniscayaan.” Penu-lis syarah buku tersebut, Sayyid Asy-Syarîf,mengatakan bahwa yang dimaksud dengan“menurut mazhab kami” adalah para peng-ikut mazhab Abû Al-Hasan Al-‘Asy‘arî. Al-Ghazâlî r.a. juga telah menegaskan mazhabini dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, dan ia telahmenjelaskan masalah ini secara lebih terpe-rinci.

Pendapat di atas juga dianut oleh ImamAl-Haramain, para pengikut mazhab Al-Asy‘arî, Al-Qâdhî Al-Bâqilânî dan Al-Us-tâdz Abû Ishâq Al-Asfarâyinî. Bahkan, At-Taftâzânî menisbatkan pendapat ini kepadamayoritas muhaqqiq dan berdalil dengan ha-dis-hadis Nabi Saw., di antaranya “Barang-siapa mengakui dengan tulus bahwa Allah ada-lah Tuhannya dan bahwa aku adalah Nabinya,niscaya Allah mengharamkan dagingnya dariapi neraka.” (HR Ath-Thabrânî dalam Al-Kabîr dari ‘Imrân bin Hushain)

‘Utsmân bin ‘Affân meriwayatkan bah-wa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa

25

meninggal, sementara dia mengakui bahwa ti-dak ada tuhan selain Allah, niscaya dia masuksurga.” (HR Al-Bukhârî dan Muslim)

Salamah bin Na‘îm Al-Asyja‘î r.a. meri-wayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,“Barangsiapa berjumpa dengan Allah, semen-tara dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesua-tu apa pun, niscaya dia masuk surga.” Salamahbertanya, “Ya Rasulullah, meskipun dia ber-zina dan mencuri?’ Beliau menjawab, “Ya,meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR Ath-Thabrânî)

Dalam penjelasan tentang syafaat, dise-butkan hadis-hadis Nabi Saw. mengenai haltersebut, sehingga pada hari kiamat, dika-takan kepada Rasulullah Saw., “Keluarkan-lah dari neraka siapa saja (dari umatmu) yangdi dalam hatinya terdapat keimanan, walaupunlebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil daripadabiji sawi!”

Al-Barzanjî telah menuliskan satu babtersendiri yang di dalamnya ia mengutipbanyak hadis Nabi Saw. yang berhubungandengan hal itu. Semuanya menunjukkan

26

bahwa orang yang di dalam hatinya terda-pat keimanan, walaupun lebih kecil, lebihkecil, dan lebih kecil daripada biji sawi, nis-caya ia tidak kekal di neraka.

At-Taftâzânî dalam Syarh Al-Maqâshid,Al-Kamâl bin Al-Hammâm dalam Al-Musâ-yarah, dan Ibn Hajar dalam Syarh Al-Arba‘înmengatakan bahwa keselamatan di akhirattidak menuntut syarat pengucapan dua ka-limat syahadat. Jika keselamatan di akhiratmenuntut syarat pengucapan dua kalimatsyahadat, tetapi ia menolaknya karenapembangkangan dan kebencian terhadapIslam, maka ia tidak akan selamat dari ne-raka.

Dari syarat tersebut, dipahami bahwajika ia tidak mengucapkan dua kalimat sya-hadat setelah dituntut mengucapkannya,bukan karena kebencian terhadap Islamdan bukan pula karena pembangkangan,tetapi karena ada uzur yang dapat diterima,sedangkan hatinya tetap mantap dalam ke-imanan, maka ia tidak menjadi kafir di ha-dapan Allah Swt. Bahkan, sekalipun ia

27

mengucapkan ungkapan kekafiran—ka-rena dipaksa untuk mengucapkannya. Ke-adaan seperti itu tidak berpengaruh terha-dap keimanannya. Allah Swt. Berfirman.

Barangsiapa yang kafir pada Allah sesudahdia beriman ( dia mendapat kemurkaanAllah), kecuali orang yang dipaksa kafir,padahal hatinya tetap mantap dalam ke-imanan (QS An-Nahl [16]: 106).

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bah-wa iman adalah pembenaran (tashdîq). Na-mun, pendapat lain mengatakan bahwapembenaran saja tidak cukup. Seseorangharus mengikrarkan keislaman dengan li-san disertai pembenaran dalam hati. Olehkarena itu, menurut pendapat terakhir ini,orang yang tidak mengucapkan dua kali-mat syahadat, padahal ia mampu meng-ucapkannya, kekal di neraka. Pendapat ini

28

dianut oleh banyak ulama. An-Nawawî—dalam Syarh Muslim—mengutip kesepakat-an Ahlus Sunnah dari kalangan ahli hadis,fukaha, dan ahli ilmu kalam terhadap pen-dapat itu, tetapi mereka menyanggah ada-nya kesepakatan tersebut

Ibn Hajar—Syarh Al-Arba‘în—menga-takan bahwa para imam empat (Hanafî,Mâlikî, Syafi‘î, dan Hanbali) memiliki pen-dapat yang sama, yaitu bahwa ia (orangyang tidak mengucapkan dua kalimat sya-hadat) adalah orang Mukmin tetapi ia ber-buat durhaka karena tidak mengucapkandua kalimat syahadat. Namun, mayoritaspengikut mazhab Al-Asy‘arî dan sebagianmuhaqqiq dari kalangan mazhab Hanafî,sebagaimana dikatakan oleh Al-Kamâl binAl-Hammâm dan lain-lain, mengatakanbahwa mengikrarkan syahadat dengan li-san merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja.

Kemudian, Ibn Hajar menyebutkanperbedaan pendapat ulama tentang apa-kah mengucapkan dua kalimat syahadat

29

harus dengan kalimat yang sudah kita ke-nal atau boleh dengan kalimat lain tetapimenunjukkan keimanan. Berkenaan de-ngan hal ini, ia menyebutkan dua pendapatdi kalangan para ulama. Pertama, dua kali-mat syahadat harus diucapkan dengan kali-mat yang sudah dikenal dan tidak bolehdengan kalimat lain. Kedua, dan ini penda-pat yang lebih kuat, dua kalimat syahadattidak harus dengan kalimat yang sudah di-kenal, dan menyatakan keimanan dapat di-lakukan dengan kalimat lain.

Kemudian, hendaklah diketahui bahwayang dimaksud dengan mengucapkan duakalimat syahadat bukan dengan mengucap-kan dua kalimat yang khusus (yang sudahdikenal). Hal itu bertentangan dengan pen-dapat Al-Ghazâlî, sebagaimana yang dise-butkan oleh An-Nawawî dalam Ar-Raudhah,dan ia menisbatkan pendapat itu kepadaseluruh ulama.

Al-Halîmî—dalam Al-Minhâj—menga-takan bahwa tidak ada perdebatan menge-nai pendapat yang menyebutkan bahwa

30

pernyataan keimanan sudah dinilai sah biladilakukan dengan kalimat lain, selain lâ ilâ-ha illallâh (tiada tuhan selain Allah). De-ngan demikian, seseorang boleh meng-ucapkan lâ ilâha ghairullâh, lâ ilâha mâ ‘adal-lâh, lâ ilâha siwallâh, mâ min ilâhin illallâh—semuanya berarti “tiada tuhan selain Allah”.Ia juga boleh mengucapkan lâ ilâha illa ar-rahmân (tidak ada tuhan kecuali TuhanYang Maha Pemurah), lâ rahmân illallâh (ti-dak ada tuhan yang pemurah selain Allah),atau lâ ilâha illâ al-bârî (tidak ada tuhan Tu-han Yang Maha Pencipta). Semua kalimatitu memiliki makna yang sama dengan kali-mat lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selain Al-lah).

Demikian pula, dalam syahadat Rasul,seseorang boleh mengucapkan muhammadnabiyullâh (Muhammad adalah Nabi Allah),muhammad mab‘ûtsuhu (Muhammad adalahutusan-Nya), atau muhammad al-mâhî (Mu-hammad adalah penghapus syariat sebe-lumnya), atau kalimat dalam bahasa lainyang menunjukkan hal itu. Dengan meng-

31

ucapkan kalimat mana pun dari kalimat-kalimat di atas, keislaman seseorang sudahdinilai sah, dan ia dinyatakan sebagai se-orang Muslim.[]

32

33

BUKTI-BUKTIKEIMANAN ABÛ THÛLIB

Wasiat Abû Thâlib kepada Kaum Quraisy

Jika Anda telah memahami hal ini, niscayaAnda akan mengatakan bahwa—berdasar-kan riwayat-riwayat yang mutawatir—AbûThâlib adalah orang yang mencintai NabiSaw., membelanya, menolongnya, danmembantunya dalam menyampaikan aga-manya. Abû Thâlib membenarkan segalaperkataan Muhammad Saw. dan menyuruhanak-anaknya, seperti Ja‘far dan ‘Alî, agarmengikuti dan menolong beliau. Abû Thâ-lib sudah biasa memuji Muhammad Saw.dalam syair-syairnya yang menunjukkanbahwa ia membenarkan Nabi Saw. Ia juga

34

mengatakan bahwa agama MuhammadSaw. adalah agama yang benar. Di antarasyair-syairnya yang terkenal adalah sebagaiberikut.

Sungguh, telah kuketahui bahwa agamaMuhammadadalah sebaik-baik agama bagi seluruhmanusia.

Dalam syair yang lain, Abû Thâlib ber-kata:

Tidakkah kalian tahu bahwa kami dapatiMuhammadseorang Rasul, seperti Mûsâ, dan disebutdalam kitab-kitab (suci)?

35

Abû Thâlib juga pernah berwasiat ke-pada kaum Quraisy agar mereka mengikutiNabi Saw. Ia berkata, “Demi Allah, seakan-akan aku telah benar-benar merasakanbahwa tak lama lagi dia akan mendapatkankemenangan, dan orang-orang Arab danbukan Arab beriman kepadanya. Oleh ka-rena itu, janganlah orang-orang Arab yanglain mendahului kalian dalam beriman ke-padanya, sehingga mereka lebih berba-hagia bersamanya daripada kalian.”

Wasiat Abû Thâlib ini disampaikan ber-ulang-ulang. Dalam satu kesempatan, iamenyampaikan wasiat itu kepada Bani Hâ-syim, dan pada kesempatan lain, ia me-nyampaikannya kepada semua kaum Qu-raisy. Menjelang wafat, Abû Thâlib mem-berikan wasiat yang panjang kepada kaumQuraisy, yang isinya sebagai berikut:

“Wahai segenap kaum Quraisy, kalianadalah pilihan Allah di antara makh-luk-makhluk-Nya dan jantung bangsaArab. Di tengah-tengah kalian ada se-

36

orang pemimpin yang dipatuhi, pem-berani, dan berwawasan luas. Ketahui-lah, setiap pusaka yang kalian berikankepada bangsa Arab, kalian pun akanmendapatkan bagiannya, dan setiapkemuliaan yang kalian persembahkan,kalian pun akan memperoleh bagian-nya. Dengan demikian, kalian memilikikeutamaan atas seluruh manusia. Me-reka tidak akan meraih kemuliaan itukecuali melalui perantaraan kalian.Untuk itu, mereka mengikuti pepe-rangan yang kalian hadapi, dan meng-ikuti strategi perang kalian.”

“Aku berwasiat kepada kalian. Hen-daklah kalian mengagungkan bangun-an ini—yakni Ka‘bah—karena di da-lamnya terdapat keridhaan Tuhan, pi-lar-pilar kehidupan, dan kekuatan pi-jakan. Sambunglah silaturahim kaliandan janganlah kalian memutuskannya,karena menyambung silaturahim dapatmemanjangkan umur dan menambahbilangan (kekuatan). Tinggalkanlah ke-

37

zaliman dan kedurhakaan, karena de-ngan keduanya, umat-umat sebelumkalian binasa.”

“Sambutlah seruan orang yang me-nyeru kalian ke jalan Allah dan berilahpeminta-minta, karena pada keduanyaterdapat kemuliaan dalam kehidupandan kematian. Hendaklah kalian ber-kata benar dan menyampaikan ama-nat, karena pada keduanya terdapatcinta pada kalangan khusus dan kemu-liaan pada kalangan umum.”

“Aku wasiatkan kepada kalian agarberlaku baik kepada Muhammad, kare-na dia adalah orang tepercaya di te-ngah-tengah kaum Quraisy dan orangjujur di tengah-tengah bangsa Arab.Dialah yang menghimpun semua yangkuwasiatkan kepada kalian. Ia telah da-tang kepada kita dengan membawasuatu perkara yang diterima dalam ha-ti, tetapi diingkari dalam lisan, karenakhawatir terhadap orang-orang yangmembenci, memusuhi, dan berperilaku

38

buruk.”“Demi Allah, seakan-akan aku me-

mandang orang-orang fakir Arab, orang-orang pinggiran, dan orang-orang le-mah telah menyambut seruan dakwah-nya, membenarkan ucapannya, danmengagungkan urusannya hingga me-reka menghadapi kematian. Sebalik-nya, para pemimpin dan pemberaniQuraisy berubah menjadi orang-orangrendahan, rumah-rumah mereka han-cur, dan orang-orang lemah di antaramereka menjadi pemimpin. Merekayang paling sombong kepadanya men-jadi orang yang paling membutuhkan-nya, dan mereka yang paling jauh dari-nya menjadi orang yang paling dekatkepadanya. Bangsa Arab telah menum-pahkan cinta mereka kepadanya de-ngan semurni-murninya, menerima-nya dengan lapang dada, dan menye-rahkan kepemimpinan mereka kepada-nya.”

“Wahai segenap kaum Quraisy, ja-

39

dilah pembela baginya dan pelindungbagi kelompoknya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Ditengah-tengah kalian ada anak ayahkalian. Jadilah pembela baginya danpelindung bagi kelompoknya.”

“Demi Allah, setiap orang yangmengikuti jalannya pasti mendapat pe-tunjuk, dan setiap orang yang meng-ikuti petunjuknya pasti mendapatkankebahagiaan. Sekiranya aku masih pu-nya umur dan ajalku ditangguhkan,niscaya aku akan melindunginya daripeperangan dan bencana—yang akanmenimpanya—dan membelanya darisegala malapetaka.”

Siapa pun yang membaca wasiat ini,hendaklah memerhatikan dengan saksamadan mengambil pelajaran darinya. Semuaini dikatakan oleh Abû Thâlib melalui fira-satnya dan menunjukkan keyakinannya ke-pada Nabi Saw. Bagaimana hal ini bisa be-nar-benar terbukti?

40

Pada suatu kesempatan, Abû Thâlibmengatakan kepada kaum Quraisy, “Kalianakan senantiasa berada dalam kebaikan se-lama kalian mematuhi Muhammad dan se-lama kalian mengikuti perintahnya. Olehkarena itu, hendaklah kalian menaatinya,niscaya kalian mendapatkan petunjuk.”

Abû Thâlib telah meramalkan kena-bian Muhammad Saw. sebelum beliau di-utus menjadi nabi. Hal itu tampak dalamkhutbahnya yang disampaikan dalam per-nikahan Muhammad Saw. dengan Kha-dîjah. Dalam khutbah pernikahan tersebut,Abû Thâlib berkata:

“Segala puji bagi Allah yang menjadi-kan kita termasuk keturunan Ibrâhîma.s. dan anak cucu Ismâ‘îl a.s., ras Mu-dhar. Dia telah menjadikan kita peme-lihara Rumah-Nya dan pengelola Ha-ram-Nya; menjadikan untuk kita se-buah Rumah yang terjaga dan Haramyang terpelihara; dan menjadikan kitapemimpin manusia. Kemudian, anak

41

saudaraku ini, Muhammad bin ‘Abdul-lâh, tidak dapat dibandingkan denganlaki-laki mana pun, karena dia pastimengunggulinya, baik dalam kemulia-an, keutamaan, keistimewaan maupunkecerdasan. Demi Allah, setelah ini, diaakan menerima berita besar dan mem-peroleh kedudukan yang mulia.”

Khutbah tersebut disampaikan olehAbû Thâlib lima belas tahun sebelum Mu-hammad Saw. diutus menjadi nabi. Olehkarena itu, perhatikanlah dengan saksama,bagaimana Abû Thâlib telah mendapatkanfirasat tentang segala kebaikan sebelumMuhammad Saw. diutus menjadi nabi. Ke-mudian, semua yang dikatakannya benar-benar terbukti, sesuai dengan apa yang te-lah diramalkannya. Hal itu merupakan da-lil dan bukti yang paling kuat tentang ke-imanan dan keyakinannya kepada Muham-mad Saw. ketika Allah Swt. mengutus be-liau.

Al-Bukhârî meriwayatkan dalam Tâ-

42

rîkh-nya dari ‘Aqîl bin Abî Thâlib bahwakaum Quraisy berkata kepada Abû Thâlib,“Anak saudaramu ini (Muhammad Saw.) te-lah menyakiti kami.” Kemudian, Abû Thâ-lib berkata kepada Nabi Saw., “Anak-anakpamanmu telah menuduhmu, bahwa kamumenyakiti mereka.” Mendengar hal itu,Nabi Saw. menjawab, “Seandainya kalian(wahai kaum Quraisy) meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan di tangan kirikuagar aku meninggalkan urusan ini (menye-barkan dakwah Islam), niscaya aku tidak akanmeninggalkannya sehingga Allah memenang-kan agama ini atau aku binasa karenanya.” Ke-mudian Nabi Saw. mulai menangis hinggaberlinang air mata.

Melihat hal itu, Abû Thâlib berkata,“Wahai anak saudaraku, katakanlah apa sa-ja sesukamu karena, demi Allah, aku tidakakan menyerahkanmu kepada mereka sela-manya.” Setelah itu, Abû Thâlib berkata ke-pada orang-orang Quraisy, “Demi Allah,anak saudaraku ini tidak pernah berdustaselamanya.”

43

Perhatikanlah, Abû Thâlib telah mena-fikan dusta dari Muhammad Saw. denganbersumpah di tengah-tengah kehadiranmusuh-musuh beliau, yaitu kaum Quraisy.Padahal, mereka datang untuk mengadu-kan Muhammad Saw. kepadanya. Perhati-kan pula ucapan Abû Thâlib, “Mereka telahmenuduhmu, bahwa kamu menyakiti me-reka.” Kita mendapati Abû Thâlib tidakmengatakan bahwa Muhammad Saw. me-nyakiti mereka, tetapi dia mengatakan bah-wa beliau menyakiti mereka menurut tu-duhan mereka, dan mereka menuduh bah-wa seruan beliau berasal dari dirinya sen-diri, bukan dari Allah Swt.

Kemudian, Abû Thâlib mengatakan ke-pada Muhammad Saw. bahwa jika beliaumemang telah menyakiti mereka, sebagai-mana yang mereka tuduhkan, maka ber-hentilah menyakiti mereka. Akan tetapi, ke-tika Muhammad Saw. mengatakan kepadaAbû Thâlib bahwa seruan itu benar-benardatang dari Allah Swt., seperti melihat ma-tahari, maka Abû Thâlib membenarkan be-

44

liau dan menafikan kedustaan dari beliau.Ketika itu, Abû Thâlib berkata, “Demi Allah,anak saudaraku ini tidak pernah berdustaselamanya.”

Abû Thâlib meriwayatkan hadis-hadisdari Rasulullah Saw. dan ungkapan-ung-kapan yang menunjukkan keimanan dantauhid yang memenuhi hatinya. Di antara-nya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Khathîb Al-Baghdâdî dengan sanadnyayang bersambung kepada Ja‘far Ash-Shâdiqdari ayahnya, Muhammad Al-Bâqir, dariayahnya, ‘Alî Zainal ‘Âbidîn, dari ayahnya,Al-Husain, dari ayahnya, ‘Alî bin Abî Thâlibberkata, “Saya pernah mendengar Abû Thâ-lib berkata, ‘Muhammad anak saudarakubercerita kepadaku dan dia, demi Allah,adalah orang yang sangat dipercaya.’ Ke-mudian, Abû Thâlib berkata, ‘Aku bertanyakepadanya, ‘Dengan cara apa kamu diutusmenjadi nabi, wahai Muhammad?’ Ia men-jawab, ‘Aku diutus menjadi nabi denganmenyambung silaturahim, mendirikan sha-lat, dan menunaikan zakat.’”

45

Shalat yang dimaksud di sini adalahshalat dua rakaat sebelum matahari terbitdan dua rakaat sebelum matahari terbe-nam. Keduanya telah dilaksanakan padamasa awal Islam. Atau, yang dimaksud ada-lah shalat tahajud, karena Nabi Saw. telahmengerjakannya sejak beliau diutus men-jadi nabi. Oleh karena itu, tidak dapat dibe-narkan jika ada yang menafsirkan bahwaperintah shalat tersebut adalah shalat fardulima waktu. Sebab, shalat fardu lima waktudiwajibkan pada malam isra’ mikraj, danhal itu terjadi kira-kira setahun setengahsetelah Abû Thâlib wafat. Abû Thâlib wafatpada pertengahan bulan Syawwal tahun ke-sepuluh setelah Muhammad Saw. diutusmenjadi nabi. Ketika itu, umur Abû Thâlibkira-kira delapan puluh tahun.

Adapun zakat yang dimaksudkan di si-ni adalah sedekah yang bersifat umum, me-muliakan tamu, membantu orang yang se-dang dalam kesusahan, dan sedekah-sede-kah lain dengan harta. Jadi, yang dimaksudbukanlah zakat yang kita kenal sekarang,

46

dan bukan pula zakat fitrah. Sebab, kewa-jiban zakat disyariatkan setelah Nabi Saw.berhijrah ke Madinah, dan peristiwa itu ter-jadi setelah Abû Thâlib meninggal dunia.

Al-Khathîb juga meriwayatkan dengansanadnya yang bersambung kepada AbûRâfi‘ Maulâ Ummu Hâni’ binti Abî Thâlib,bahwa ia mendengar Abû Thâlib berkata,“Muhammad, anak saudaraku, telah berce-rita kepadaku bahwa Allah Swt. telah me-merintahkannya untuk menyambung sila-turahim dan agar dia menyembah Allah,tidak menyembah siapa pun bersama-Nya.” Kemudian, Abû Thâlib berkata, “DanMuhammad, menurutku, adalah seorangyang sangat dipercaya dan jujur.”

Abû Thâlib juga berkata, “Aku men-dengar anak saudaraku bersabda, ‘Bersyu-kurlah (kepada Allah), niscaya kamu diberirezeki, dan janganlah kufur (kepada-Nya)—karena jika kufur—kamu akan disik-sa.’”

Ibn Sa‘ad, Al-Khathîb, dan Ibn ‘Asâkirmeriwayatkan dari ‘Amr bin Sa‘îd bahwa

47

Abû Thâlib berkata, “Aku pernah beradadi Dzul Majaz bersama anak saudaraku—Muhammad Saw. Ketika itu, aku merasahaus, lalu aku mengadukan hal itu kepada-nya. Aku tidak melihat sedikit pun air pada-nya. Lalu, ia memukulkan tumitnya ke ta-nah. Tiba-tiba, air memancar dari tanahitu. Ia pun berkata kepadaku, ‘Minumlah,wahai paman!’ Aku minum dari air itu.”

Seandainya Abû Thâlib bukan orangyang mengesakan Allah, niscaya Allah tidakakan memberinya minum yang muncul da-ri mukjizat Nabi Saw. Air tersebut lebih uta-ma daripada air dari telaga Kautsar danair Zamzam. Orang yang melihat mukjizatseperti itu, bagaimana mungkin tidak tim-bul keyakinan dalam hatinya?

Ibn ‘Adî meriwayatkan bahwa Anas binMâlik r.a. berkata, “Abû Thâlib pernahmenderita sakit, lalu Nabi Saw. menjenguk-nya. Abû Thâlib berkata kepada Nabi Saw.,‘Wahai anak saudaraku, berdoalah kepadaAllah agar Dia menyembuhkanku.’ NabiSaw. berdoa, ‘Ya Allah, sembuhkanlah pa-

48

manku.’ Seketika itu juga, Abû Thâlib sem-buh dari sakitnya.”

Abû Na‘îm meriwayatkan bahwa AbûBakar bin ‘Abdullâh bin Al-Jahm dari ayah-nya dari kakeknya berkata, “Saya mende-ngar Abû Thâlib mengutip ucapan ‘AbdulMuththalib, bahwa ia bermimpi melihat se-buah pohon tumbuh dari punggungnya.Puncak pohon itu menjulang sampai ke la-ngit, sementara ranting-rantingnya meli-puti timur dan barat. ‘Abdul Muththalibberkata, ‘Aku belum pernah melihat cahayayang lebih berkilau daripada pohon itu.Cahayanya lebih terang tujuh puluh kalidaripada cahaya matahari, dan aku jugamelihat orang-orang Arab dan bukan Arabbersujud kepadanya.’”

“Setiap saat, pohon itu terus bertambahbesar, cahayanya semakin terang, dan ba-tangnya semakin tinggi. Kadang-kadang iatersembunyi dan kadang-kadang tampak.Saya melihat sekelompok orang dari ka-langan Quraisy bergantungan pada ran-ting-rantingnya, dan ada pula sekelompok

49

orang Quraisy yang hendak memotong po-hon itu. Akan tetapi, ketika mereka men-coba mendekati pohon itu, seorang pemu-da tiba-tiba datang dan menyerang mere-ka. Aku belum pernah sekali pun melihatorang yang berwajah lebih tampan danbaunya lebih harum daripada pemuda itu.Kemudian, pemuda itu mematahkan pung-gung mereka dan mencungkil mata mere-ka.”

“‘Abdul Muththalib berkata, ‘Akumengangkat tanganku hendak mengambilbagian dari pohon itu, tetapi aku tidak da-pat meraihnya. Aku bertanya, ‘Untuk siapa-kah bagian ini?’ Pemuda itu menjawab, ‘Ba-gian ini untuk mereka yang bergantung pa-da pohon itu.’ Aku pun terbangun sambilketakutan.”

“Kemudian, aku mendatangi seorangperempuan tukang ramal lalu mencerita-kan mimpiku kepadanya. Aku melihat wa-jah perempuan itu berubah. Ia berkata, ‘Se-andainya mimpimu benar, niscaya dari tu-lang sulbimu akan lahir seorang laki-laki

50

yang akan menguasai timur dan barat, danorang-orang akan memeluk agamanya.’‘Abdul Muththalib berkata kepada AbûThâlib, ‘Barangkali, kamu adalah anakyang dilahirkan itu.’”

Abû Thâlib menceritakan hadis terse-but setelah Nabi Saw. diutus menjadi nabi.Ia berkata, “Demi Allah, pohon itu adalahAbû Al-Qâsim Al-Amîn (MuhammadSaw.).” Seseorang bertanya, “Mengapa ka-mu tidak beriman kepadanya?” Abû Thâlibmenjawab, “Itu merupakan cacat dan cela.”Sebenarnya, Abû Thâlib mengatakan demi-kian semata-mata untuk menyembunyikankeimanannya dan menampakkan kepadakaum Quraisy seakan-akan ia menganutagama mereka. Dengan demikian, ia dapatmenolong dan melindungi MuhammadSaw. Sebab, dengan mengira bahwa AbûThâlib masih menganut agama kaum Qu-raisy itu, mereka pun dapat menerima ja-minan perlindungannya—terhadap Mu-hammad Saw. Keadaannya akan lain jikaAbû Thâlib menampakkan penentangan-

51

nya kepada mereka—dengan menampak-kan keimanannya—dan mengikuti Mu-hammad Saw. Itulah alasannya, mengapaAbû Thâlib bekrata, “Itu merupakan cacatdan cela.” Sementara itu, ia menampakkandiri seakan-akan mengikuti agama mereka.

Ibn Sa‘îd meriwayatkan dari ‘Abdullâhbin Tsa‘lab bin Shaghîr Al-‘Adzrî bahwa ke-tika menjelang wafat, Abû Thâlib memang-gil anak-cucu ‘Abdul Muththalib. Ia berkatakepada mereka, “Kalian akan senantiasaberada dalam kebaikan selama kalian men-dengarkan kata-kata dan mengikuti perin-tah Muhammad Saw. Oleh karena itu, ikutidan bantulah dia, niscaya kalian mendapat-kan petunjuk.”

Sangatlah mustahil bila Abû Thâlib me-ngetahui bahwa petunjuk itu akan diper-oleh dengan mengikuti Muhammad Saw.dan ia juga menyuruh orang lain agar me-ngikutinya, tetapi ia sendiri tidak mau me-ngikutinya.

Ibn Hajar—dalam Al-Ishâbah—meriwa-yatkan dari ‘Alî r.a. bahwa ketika ia meme-

52

luk Islam, Abû Thâlib—ayahnya—berkata,“Ikutilah anak pamanmu (MuhammadSaw.). Jangan sekali-kali meninggalkan-nya!”

Ibn Hajar juga meriwayatkan dari ‘Im-rân Hushain r.a. bahwa Abû Thâlib berkatakepada anaknya, Ja‘far, “Shalatlah di sam-ping anak pamanmu (Muhammad Saw.)!”Ja‘far pun shalat bersama Nabi Muham-mad Saw., sebagaimana yang dilakukan ‘Alir.a.

Seandainya Abû Thâlib tidak meyakiniagama Muhammad Saw., niscaya ia tidakakan membiarkan kedua anaknya bergauldan mengerjakan shalat bersama beliau.Bahkan, tidak mungkin ia menyuruh keduaanaknya untuk shalat bersama MuhammadSaw., karena permusuhan dalam agamamerupakan permusuhan yang paling besar,seperti kata penyair:

53

Semua permusuhan kadang dapatdihilangkankecuali permusuhan seseorang dalamagama.

Riwayat-riwayat di atas secara tegas me-nyebutkan bahwa hati Abû Thâlib telah di-penuhi keimanan kepada Muhammad Saw.Selain itu, diriwayatkan juga bahwa AbûThâlib pergi ke Syam. Ia mengajak Mu-hammad Saw. dalam perjalanan itu, danketika itu, Muhammad Saw. berumur sem-bilan tahun. Di tengah perjalanan, merekabertemu dengan seorang rahib yang ber-nama Buhaira. Rahib itu melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad Saw.Lalu, ia memberitahukan hal itu kepadaAbû Thâlib dan menyuruhnya agar segeramembawanya pulang ke Makkah karenakhawatir terhadap orang-orang Yahudi.Abû Thâlib pun segera membawa Nabi Saw.pulang ke Makkah.

Di antara tanda-tanda kenabian ituadalah apa yang disaksikan oleh Abû Thâ-

54

lib ketika ‘Abdul Muththalib masih hidup.‘Abdul Muththalib memohon kepada Allahagar diturunkan hujan dengan perantara-an Muhammad Saw. Al-Khithâbî meriwa-yatkan bahwa pada waktu itu, kaum Qu-raisy mengalami masa paceklik. Kemudian,‘Abdul Muththalib dan orang-orang Qu-raisy yang hadir bersamanya menaiki pun-cak bukit Abû Qubais setelah mencium su-dut Baitullah (rukn) terlebih dahulu. ‘AbdulMuththalib berdiri sambil meminta perto-longan dengan perantaraan MuhammadSaw. ‘Abdul Muththalib mengangkat Mu-hammad Saw. di atas pundaknya, dan keti-ka itu, beliau masih kanak-kanak. ‘AbdulMuththalib berdoa kepada Allah Swt. agarmenurunkan hujan. Pada saat itu juga, hu-jan turun.

Selain itu, Abû Thâlib pernah memo-hon kepada Allah Swt. agar diturunkan hu-jan dengan perantaraan Muhammad Saw.setelah ‘Abdul Muththalib wafat. Ketika itu,penduduk Makkah ditimpa paceklik hebat.Mereka mendatangi Abû Thâlib seraya ber-

55

kata, “Lembah-lembah telah mengeringkarena hujan tidak turun dan tanah keluar-ga kami menjadi gersang. Oleh karena itu,keluarlah bersama kami dan mintalah ke-pada Allah Swt. agar Dia menurunkan hu-jan untuk kita!”

Abû Thâlib keluar dan MuhammadSaw. ikut bersamanya, dan ketika itu, beliaumasih kanak-kanak. Abû Thâlib melekat-kan tubuh Muhammad Saw. ke dindingKa‘bah. Lalu, anak itu menunjukkan jari-jemarinya ke langit seperti orang yang me-minta perlindungan. Tiba-tiba, gumpalan-gumpalan awan berkumpul, lalu menyi-rami lembah-lembah dengan curahan hu-jan yang lebat sehingga permukaan tanahmenjadi gembur dan subur.

Berkenaan dengan hal itu, Abû Thâlibberkata—setelah Muhammad Saw. diutusmenjadi nabi:

56

Dengan wajahnya yang putih, awanmenurunkan hujanpelindung anak-anak yatim dan penyantunpara janda.Dengannya, keluarga Hâsyim meraih keba-hagiaanDi sisinya, mereka mendapatkan kenikmat-an dan keutamaan.

Riwayat-riwayat tersebut menegaskanbahwa Abû Thâlib telah melihat tanda-tan-da kekuasaan Allah, mukjizat, dan perkara-perkara luar biasa yang muncul pada diriMuhammad Saw. Semua itu mengharus-kannya untuk membenarkan dan meng-imani Muhammad Saw. dengan keimananyang tidak ada keraguan lagi.

Demikian pula, Abû Thâlib telah me-lihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan per-

57

kara-perkara luar biasa lainnya pada diriMuhammad yang terjadi pada masa kanak-kanak beliau. Di antaranya, Abû Thâlibadalah seorang yang memiliki sedikit harta,tetapi ia memiliki banyak anggota keluarga.Jika keluarganya makan, baik sendiri-sen-diri maupun bersama-sama, mereka tidakpernah kenyang. Akan tetapi, jika Muham-mad Saw. makan bersama mereka, merekasemua dapat merasa kenyang. Oleh karenaitu, apabila waktu makan tiba, sementaraAbû Thâlib tidak melihat Muhammad Saw.,ia berkata kepada keluarganya, “Bersabar-lah hingga anakku (Muhammad Saw.) da-tang.” Ketika Setelah Muhammad Saw. da-tang, barulah mereka makan bersama be-liau dan mereka pun merasakan kenyang.

Jika makanan mereka berupa susu, Ra-sulullah Saw. adalah orang pertama di an-tara mereka yang meminum susu itu ter-lebih dahulu. Kemudian, barulah anggotakeluarga yang lain minum dari gelas yangsama, dan mereka semua merasa kenyang.Oleh karena itu, Abû Thâlib sering berkata

58

kepada Muhammad Saw., “Engkau benar-benar telah diberkahi.”

Abû Na‘îm dan lain-lain meriwayatkanbahwa Ibn ‘Abbâs r.a. berkata, “Abû Thâlibadalah orang yang sangat mencintai Mu-hammad Saw. Bahkan cintanya kepada Mu-hammad Saw. melebihi cintanya kepadaanak-anaknya sendiri. Oleh karena itu, AbûThâlib selalu tidur di samping MuhammadSaw., dan ia senantiasa mengajaknya ke ma-na pun ia pergi. Demikian pula, Muham-mad Saw. selalu berlindung kepadanya, danhati beliau merasa tenang bila ada bersa-manya.”

Ketika Abû Thâlib wafat, MuhammadSaw. bersabda, “Kini, orang-orang Quraisy da-pat menyakitiku dengan leluasa, sesuatu yangtidak dapat mereka lakukan ketika Abû Thâlibmasih hidup.”

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Kaum(kafir) Quraisy tidak dapat menimpakan kepa-daku sesuatu apa pun yang tidak kusukai ke-cuali setelah Abû Thâlib meninggal.”

Ketika Nabi Saw. merasakan bahwa se-

59

rangan dan gangguan kaum Quraisy ter-hadap dirinya sudah sangat keterlaluan, be-liau berkata, “Wahai pamanku, alangkah cepatapa yang mereka (kaum kafir Quraisy) dapatkan(dalam menyakitiku) sepeninggalmu!”

Abû Thâlib dan Khadîjah meninggalpada tahun yang sama. Oleh karena itu,Rasulullah Saw. menyebut tahun itu de-ngan “Tahun Kesedihan”.

Pemboikotan terhadap Bani Hâsyim danBani ‘Abdul Muththalib

Ketika Nabi Saw. mulai melakukan dakwahIslam secara terang-terangan, dan hal itudiikuti dengan banyaknya orang yang me-meluk agama Islam, kaum kafir Quraisy se-pakat untuk membunuh beliau. Merekaberkata, “Ia telah merusak anak-anak kitadan kaum wanita kita.” Kemudian, merekaberkata kepada Bani Hâsyim, “Ambillahuang darah (diat) yang berlipat ganda ini,dan biarlah seseorang dari kalangan Qu-raisy membunuhnya (Muhammad Saw.).

60

Dengan cara itu, kalian dapat menenang-kan hati kami dan kalian sendiri menjaditenang.”

Namun, Bani Hâsyim menolak men-tah-mentah usulan kaum kafir Quraisy itu.Akibatnya, kaum Quraisy sepakat untukmemboikot Bani Hâsyim dan Bani ‘AbdulMuththalib, serta menggiring mereka keSyi‘b (kampung) Abî Thâlib. Mereka mela-kukan berbagai tekanan yang sangat kerasdan kekejaman yang melampaui batas ter-hadap Bani Hâsyim dan Bani ‘Abdul Muth-thalib. Kedua keluarga itu, Bani Hâsyimdan Bani ‘Abdul Muththalib, dilarang me-masuki pasar-pasar, siapa pun dilarang me-nikah dengan anggota keluarga mereka, ta-waran perdamaian dari mereka tidak akanditerima selamanya, mereka tidak boleh di-kasihani, kaum Quraisy dilarang menga-dakan kesepakatan apa pun dengan mere-ka sebelum mereka menyerahkan Muham-mad Saw. untuk dibunuh.

Kaum kafir Quraisy menuliskan kese-pakatan itu pada sebuah lembaran (shahî-

61

fah) dan mereka menggantungkannya diKa‘bah.

Diriwayatkan bahwa ketika Abû Thâlibmengetahui adanya kesepakatan kaumQuraisy untuk membunuh MuhammadSaw., ia mengumpulkan seluruh anggotakeluarga Bani Hâsyim dan Bani ‘AbdulMuththalib, baik mereka yang sudah ber-iman maupun yang kafir. Ia menyuruh me-reka agar memasuki Syi‘b bersama Muham-mad Saw. dan melindungi beliau. Merekapun menjalankan perintah itu dan tidakseorang pun yang membangkang, kecualiAbû Lahab.

Bani Hâsyim tinggal di Syi‘b itu selamatiga tahun—dan menurut riwayat lain, duatahun. Di sana, mereka mengalami kesulit-an dan kesempitan luar biasa sehingga me-reka makan dedaunan, karena itulah satu-satunya yang bisa mereka makan. Ketikaitu, Abû Thâlib benar-benar menjaga Mu-hammad Saw. dengan penjagaan yang sa-ngat hati-hati. Pada malam hari, ketika Mu-hammad Saw. hendak tidur, Abû Thâlib

62

menghamparkan tikar yang digunakan be-liau untuk tidur. Lalu, Muhammad Saw. ti-dur di atas tikar itu. Pada tengah malam,Abû Thâlib membangunkan beliau danmenyuruhnya pindah ke tempat lain, laluia menyuruh salah seorang anaknya agartidur di atas tikar beliau. Lalu ia mengham-parkan tikar untuk beliau di tempat lainyang tidak biasa digunakan oleh beliau. Se-telah itu, ia meninggalkan MuhammadSaw. tidur di tempat tersebut. Semua itudilakukannya demi melindungi dan men-jaga Muhammad Saw. dari marabahayayang dapat mengancam keselamatan jiwabeliau. Sementara itu, tangan orang yangmenuliskan kesepakatan untuk kaum Qu-raisy itu menjadi lumpuh.

Kemudian, Allah Swt. mewahyukan ke-pada Muhammad Saw. bahwa Dia telah me-nyuruh rayap agar menghampiri lembaranyang berisi kesepakatan kaum Quraisy yangdigantungkan di Ka‘bah. Rayap itu me-makan semua tulisan yang ada pada lem-baran tersebut, yaitu berupa perjanjian dan

63

kesepakatan serta pemutusan silaturahim.Tulisan yang tersisa hanyalah nama AllahAzza wa Jalla, karena mereka menuliskanperjanjian itu diawali dengan kalimat Bismi-kallâhumma (dengan nama-Mu, ya Allah).

Muhammad Saw. segera memberita-hukan hal itu kepada pamannya, Abû Thâ-lib. Kemudian Abû Thâlib keluar dari Syi‘bmenuju Ka‘bah. Melihat kedatangan AbûThâlib, orang-orang Quraisy menghampiridan mengelilinginya. Mereka menyangkabahwa Abû Thâlib ingin menyerahkan Mu-hammad Saw. kepada mereka untuk dibu-nuh. Dengan nada kecaman, mereka berka-ta kepada Abû Thâlib dan kepada orang-orang yang ikut bersamanya, “Telah tibasaatnya bagi kalian untuk kembali dari apayang telah kalian lakukan terhadap kamidan terhadap diri kalian sendiri.”

Namun, Abû Thâlib berkata, “Sayamendatangi kalian karena suatu perkarakeadilan antara kami dan kalian. Anak sau-daraku telah memberitahukan kepadaku,dan ia tidak pernah berdusta kepadaku,

64

bahwa Allah Swt. telah menyuruh rayapagar mendatangi lembaran milik kalian.Rayap itu memakan semua tulisan yang adapadanya, yang berisi ungkapan-ungkapankezaliman dan pemutusan silaturahim, danmenyisakan tulisan nama Allah Swt. Jikahal itu benar adanya, seperti yang ia kata-kan, hendaklah kalian menghentikan apayang telah kalian lakukan ini. Jika kaliantidak mau mencabut kesepakatan itu, nis-caya kami sekali-kali tidak akan menye-rahkan Muhammad Saw. hingga kami se-mua mati. Akan tetapi, jika apa yang ia ka-takan tidak benar, kami akan menye-rahkannya kepada kalian. Terserah kalian,apakah kalian akan membunuhnya ataumembiarkannya hidup.”

Kaum Quraisy menjawab, “Kami me-nerima apa yang kamu katakan.” Dalamriwayat lain disebutkan bahwa mereka ber-kata, “Kamu—wahai Abû Thâlib—telahbersikap adil terhadap kami.”

Mereka mengeluarkan lembaran itu.Ternyata, mereka mendapati keadaan lem-

65

baran itu persis seperti apa yang dikatakanMuhammad Saw. Ketika beberapa orangQuraisy menyaksikan kebenaran ucapanAbû Thâlib, mereka berkata, “Ini adalahtindakan sihir dari anak saudaramu itu.”Kejadian itu hanya menambah kezalimandan permusuhan mereka. Namun, sebagi-an dari mereka menyesali tindakan merekadan berkata, “Ini adalah akibat dari kedur-hakaan dan kezaliman yang telah kami la-kukan terhadap saudara-saudara kami.”

Setelah Abû Thâlib menyaksikan bah-wa perkara itu benar-benar seperti yang te-lah dikatakan Muhammad Saw. kepadanya,ia pun berkata, “Wahai segenap kaum Qu-raisy, atas dasar apa kami dikepung dan di-tahan? Kini, telah menjadi jelas dan terang,bahwa kalian lebih mengutamakan keza-liman, kejahatan, dan pemutusan silatura-him.”

Kemudian, Abû Thâlib dan orang-orangyang ikut bersamanya masuk ke dalam tiraiKa‘bah. Mereka berdoa, “Ya Allah, tolong-lah kami atas orang-orang yang telah ber-

66

laku aniaya terhadap kami, memutuskansilaturahim dengan kami, dan meng-halalkan apa yang diharamkan atas merekaterhadap kami.” Setelah itu, Abû Thâlibdan orang-orang yang ikut bersamanyakembali ke Syi‘b. Pada saat itulah, sekelom-pok Quraisy membatalkan perjanjian yangtertulis pada lembaran itu, lalu pengepung-an pun diakhiri.

Pembicaraan mengenai hal itu tidak cu-kup tempat dalam tulisan ini. Namun,penggalan peristiwa itu dikutip di sini un-tuk menjelaskan bahwa Allah Swt. telahmemperlihatkan kepada Abû Thâlib ba-nyak hal yang dikhususkan bagi Muham-mad Saw., yaitu tanda-tanda kekuasaan-Nya, mukjizat-mukjizat, dan perkara-per-kara yang luar biasa. Hal itu dimulai sejakmasa kanak-kanak Muhammad Saw. hing-ga masa dewasanya.

Dengan ditunjukkannya tanda-tandakekuasaan Allah Swt. dan mukjizat-mujizatitu, hati Abû Thâlib pun dipenuhi keiman-an dan keyakinan kepada Muhammad Saw.

67

Tentu saja, keimanan itu pasti, tidak adakeraguan lagi. Namun, keimanan itu tidakditampakkan oleh Abû Thâlib agar ia dapatmenjaga dan melindungi Muhammad Saw.dari gangguan kaum kafir Quraisy denganperlindungan dan penjagaan yang sebaik-baiknya. Karena secara lahiriah, Abû Thâ-lib menampakkan seakan-akan dirinya te-tap mengikuti agama mereka, maka mere-ka pun tidak menentangnya.

Barangsiapa mengetahui dan mema-hami hal itu secara hakiki, niscaya ia tidakakan ragu tentang keimanan Abû Thâlib.Dalam menolong dan membela Nabi Mu-hammad Saw., Abû Thâlib melakukan poli-tik kamuflase terhadap kaum kafir Quraisy,sebagaimana yang biasa dilakukan di arenapeperangan. Dengan demikian, urusanNabi Muhammad Saw. dapat diselesaikandengan sempurna dan dakwah beliau puntersebar luas. Banyak syair Abû Thâlib yangmenegaskan keimanannya terhadap kena-bian Muhammad Saw. Namun, karena kan-dungan sebagian syairnya, kaum kafir Qu-

68

raisy menyangka bahwa Abû Thâlib masihberada di pihak mereka dan masih meng-anut agama mereka. Padahal, semua itu ha-nyalah kamuflase terhadap mereka agar iadapat menjaga dan melindungi Nabi Mu-hammad Saw. dengan sebaik-baiknya.

Di antara syair-syair Abû Thâlib yangmenunjukkan keimanannya terhadap ke-nabian Muhammad Saw. adalah apa yangtelah disebutkan sebelum ini:

Tidakkah kalian tahu bahwa kami dapatiMuhammadseorang Rasul, seperti Mûsâ, dan disebutdalam kitab-kitab (suci)?

Bait syair di atas adalah kutipan dariqashîdah (kumpulan syair pujian) panjangyang disampaikan oleh Abû Thâlib padamasa pengepungan kaum Quraisy terha-

69

dap Bani Hâsyim dan Bani ‘Abdul Muth-thalib di Syi‘b. Ini merupakan salah satuqashîdah yang sangat indah yang menun-jukkan puncak kecintaan, keimanan, danperlindungan kepada Muhammad Saw. Qa-shîdah tersebut diawali dengan bait-bait be-rikut:

Sampaikan berita dariku pada para pe-muka merekaterutama para pemuka dari Bani Ka‘ab.Tidakkah kalian tahu bahwa kami dapatiMuhammadseorang Rasul, seperti Mûsâ, dan disebutdalam kitab-kitab (suci)?

70

Dalam riwayat disebutkan bahwa baitterakhir berbunyi:

Seorang nabi seperti Mûsâ, dan tertulisdalam kitab-kitab (suci).

Di antara syair-syair Abû Thâlib yanglain sebagai berikut:

Dia cintai para hamba semuanyaTanpa sikap lalim pada orang yang meraihcinta khusus dari Allah.

Kami, demi Rumah Allah, tak akan menye-rahkan Ahmad (Muhammad)

71

agar dia selamat dari bencana dan malape-taka

Namanya dari nama-Nya untuk memulia-kannyaPemilik ‘Arsy itu Mahmûd dan ini Mu-hammad.

Demikianlah Ibn Hajar—dalam Al-Ishâbah—menisbatkan bait syair tersebutkepada Abû Thâlib. Dalam riwayat lain di-sebutkan bahwa bait syair diucapkan olehHassân bin Tsâbit Al-Anshârî. Namun, Al-Barzanjî berpendapat bahwa mungkin sajabait syair itu dibuat oleh Abû Thâlib, laluHassân mengutipnya dan menggabung-kannya ke dalam kumpulan syair-syairnya.

Pada suatu hari, orang-orang Quraisyberkumpul. Lalu mereka menemui AbûThâlib sambil membawa ‘Ammârah bin Al-

72

Walîd bin Al-Mughîrah, seorang pemudaQuraisy yang paling tampan. Mereka ber-kata kepada Abû Thâlib, “Ambillah anakini untuk ditukar dengan Muhammad. Iabisa kamu angkat menjadi anak, tetapi be-rikan Muhammad kepada kami untuk di-bunuh.”

Apa jawaban Abû Thâlib? Ia menjawab,“Wahai segenap kaum Quraisy, sungguhkalian tidak berlaku adil terhadap kami.Kalian menawarkan anak kalian kepada ka-mi untuk dipelihara, sementara kami mem-berikan anak kami kepada kalian untuk di-bunuh.” Kemudian, Abû Thâlib membacasyair berikut:

73

Demi Allah, mereka tak akan bisa menyen-tuhmuhingga aku terkubur berkalang tanah.Sampaikan olehmu apa pun yang diperin-tahkan padamuSecara terang-terangan, engkau tak tercela,bergembiralah dengan itu dan sejukkanlahmatamu.Kau seru aku, dan aku tahu bahwa kaubenar.Sungguh, kau selalu berkata benar dan se-orang tepercaya.Sungguh, kutahu bahwa agama Muham-mad

74

Sebaik-baik agama bagi umat manusia.

Sebagian perawi menambahkan syairberikut:

Sekiranya bukan karena khawatir akan ca-cian atau cemoohanniscaya kau dapati aku memiliki toleransiyang tinggi.

Ada yang mengatakan bahwa bait inipalsu, bukan dari Abû Thâlib, yang merekamasukkan ke dalam untaian syair Abû Thâ-lib. Bait syair tersebut bukan darinya. Akantetapi, ada pula yang mengatakan bahwabait tersebut memang berasal darinya, dania sengaja mengucapkan bait syair itu un-tuk mengelabui kaum Quraisy. Dengan de-mikian, mereka mengira bahwa Abû Thâlibmasih ada di pihak mereka dan memiliki

75

keyakinan yang sama dengan keyakinanmereka, tidak mengikuti Muhammad Saw.Hal itu dilakukan oleh Abû Thâlib agar me-reka menerima jaminan perlindungannyaterhadap Muhammad Saw. dan menaatiperintahnya.

Di antara syair-syair Abû Thâlib ten-tang pujian kepada Nabi Saw. adalah seba-gai berikut:

Dengan wajahnya yang putih, awanmenurunkan hujanpelindung anak-anak yatim dan penyantunpara janda.Dengannya, keluarga Hâsyim meraihbahagia

76

Di sisinya, mereka dapatkan nikmat dankeutamaan.

Bait-bait syair di atas merupakan kutip-an dari sebuah qashîdah panjang yang di-sampaikan oleh Abû Thâlib. Dalam sebuahriwayat, disebutkan bahwa qashîdah tersebutterdiri dari delapan puluh bait. Sebagianulama membahas syair tersebut secara khu-sus dalam pembahasan tersendiri. Menurutriwayat lain, disebutkan bahwa qashîdah ter-sebut terdiri dari seratus bait.

Abû Thâlib mengucapkan syair terse-but ketika kaum kafir Quraisy mengepungBani Hâsyim dan Bani ‘Abdul Muththalibdi Syi‘b. Dengan tegas, ia mengatakan ke-pada kaum Quraisy bahwa ia tidak akanmenyerahkan Muhammad Saw. kepada sia-pa pun selamanya sekalipun ia harus terbu-nuh dalam membelanya. Dalam syair terse-but, Abû Thâlib memuji Muhammad Saw.Dalam syair itu pun tampak dengan sangatjelas, bahwa ia benar-benar beriman danmempercayai kenabian Muhammad Saw.

77

Di antara syair-syair tersebut adalah seba-gai berikut:

78

Demi Allah, aku ditugasi menyayangi Ah-maddan aku mencintainya seperti cinta kekasihabadi.Mereka tahu, anak kami ini tak didustakandi tengah kamidan tak pernah terdengar ucapan batildarinya.Adakah di tengah manusia orang yangsetara dengannyabila para bijak membandingkan segalakeutamaan dengannya?Dia sangat penyantun, cerdas, bijaksana,dan tidak sesat.Taat kepada Tuhan, tidak lalai kepada-Nya.Kudapati diriku di samping Ahmad, lalukulindungi diaSehingga surat yang panjang terasa pendekkarenanyadan kubela dia dengan segala pembelaandan perlindungan.Jiwaku terasa murung dikala Muhammadtak bersamaku.

79

Dalam qashîdah Abû Thâlib, banyak baitseperti itu, baik dalam kedalaman maknamaupun keindahan susunannya. Ibn Katsîrberkata, “Qashîdah ini sangat indah. Tidakada yang dapat menggubahnya, kecualiorang yang kepadanya qashîdah ini dinisbat-kan—yakni Abû Thâlib. Qashîdah ini lebihterkenal daripada mu‘allaqât sab‘ah (tujuhsyair dari tujuh penyair paling terkenal ma-sa jahiliah dan digantungkan di dindingKa‘bah), dan lebih kuat dalam penyampai-an pesannya.”

Al-Baihaqî meriwayatkan bahwa Anasbin Mâlik r.a. berkata, “Seorang Arab baduipernah menemui Nabi Saw. Ia mengadu-kan kepada beliau tentang kelaparan danpaceklik yang menimpa mereka. Lalu diamembaca beberapa bait syair. Mendengarhal itu, Nabi Saw. berdiri dan menaiki mim-bar sambil mengangkat kedua tangan kelangit untuk berdoa kepada Allah. Belumselesai beliau berdoa, tiba-tiba terdengarkilatan petir di langit—pertanda bahwa hu-jan lebat akan segera turun. Setelah itu,

80

orang-orang datang lagi kepada beliau un-tuk mengadukan derasnya hujan danmengkhawatirkan akan terjadinya banjiryang akan menenggelamkan mereka. Ke-mudian, Rasulullah Saw. berdoa, “Ya Allah,curahkanlah kepada kami hujan yangmembawa kebaikan bagi kami, bukan yangmembinasakan kami.”

Rasulullah Saw. senang sekali menyak-sikan hal itu. Beliau tersenyum lebar se-hingga gigi gerahamnya terlihat. Kemu-dian, beliau bersabda, “Oh, Abû Thâlib. Se-kiranya ia masih hidup, ia pasti merasa ba-hagia.” Kemudian, beliau bertanya, “Sia-pakah di antara kalian yang bisa memba-cakan salah satu syairnya?” ‘Alî r.a. berkata,“Sepertinya engkau menginginkan syairberikut.”

Dengan wajahnya yang putih, awanmenurunkan hujan

81

pelindung anak-anak yatim dan penyantunpara janda.

Rasulullah Saw. menjawab, “Benar.”Ucapan Nabi Saw., “Oh, Abû Thâlib”

menunjukkan bahwa sekiranya ia melihatbeliau berdoa kepada Allah agar turun hu-jan, sementara beliau berada di atas mim-bar, niscaya hal itu akan membuatnya se-nang dan berbahagia. Hal tersebut meru-pakan kesaksian Nabi Saw. terhadap AbûThâlib sepeninggal pamannya itu. Sung-guh, Nabi Saw. merasa senang dengan syairAbû Thâlib itu. Syair itu menunjukkan bah-wa hati Abû Thâlib telah dipenuhi keiman-an terhadap kenabian Muhammad Saw.dan pengetahuannya tentang kesempur-naan beliau.

Renungkanlah ungkapan-ungkapanyang sarat makna ini. Janganlah termasukorang-orang memandangnya rendah ka-rena memandang rendah orang yangmengucapkannya. Di atas setiap orangyang pintar masih ada Tuhan Yang Maha-

82

pintar.Di antara pujian-pujian Abû Thâlib

yang mengagumkan terhadap MuhammadSaw. dan sekaligus menunjukkan keiman-annya adalah syairnya berikut:

Jika suatu hari, Quraisy berkumpul untukberbangga-bangga,maka Bani ‘Abd Manâf adalah yang pa-ling utama.Jika ‘Abd Manâf meraih kemuliaannya,maka kemuliaan dan keabadiannya adapada Bani Hâsyim.

83

Jika suatu hari, Bani Hâsyim berbangga-banggaMuhammad-lah pilihan dari kemurniandan kemuliannya.

Makna yang terkandung dalam syairitu sesuai dengan sabda Nabi Saw., “… danAllah memilihku dari Bani Hâsyim.”

Orang ini—yakni Abû Thâlib—meng-ucapkannya melalui wahyu sebelum di-ucapkan oleh Nabi Saw., karena beliaumengucapkan kalimat itu beberapa tahunsetelah Abû Thâlib mengucapkannya. Se-bab, hadis adalah wahyu sebagaimana Al-Quran. Dengan demikian, riwayat dansyair-syair tersebut membuktikan bahwaAbû Thâlib adalah orang yang mengimanikenabian Muhammad Saw., dan hal itu su-dah cukup untuk membuktikan keselamat-annya dari neraka.”

Berkenaan dengan syaiar Abû Thâlibberikut:

84

Mereka tahu, anak kami ini tak didustakandi tengah kamidan tak pernah terdengar ucapan batildarinya

Al-Qarafî—dalam Syarh At-Tanqîh—berkata, “Ini adalah pernyataan dengan li-san dan keyakinan dalam hati. Sesungguh-nya Abû Thâlib adalah orang yang berimandalam lahir dan batinnya. Namun, ia me-nampakkan kekafiran dalam lahiriahnyadan tidak mengikuti Nabi Saw. dalam hal-hal yang bukan prinsip (furû‘). Selain itu,Abû Thâlib pernah berkata, ‘Saya benar-benar mengetahui bahwa apa yang dikata-kan oleh anak saudaraku (Nabi Saw.) ada-lah benar. Sekiranya saya tidak khawatirbahwa kaum wanita Quraisy akan mence-moohkanku, niscaya saya akan meng-ikutinya.’”

Namun, seperti telah dijelaskan sebe-

85

lumnya, Abû Thâlib tidak mengikuti ajar-an-ajaran Nabi Saw. pada lahiriahnya se-mata-mata karena ia khawatir jaminanperlindungannya kepada Nabi Saw. tidakbisa diterima oleh kaum Quraisy.

Tentang ucapan Abû Thâlib, “Sekira-nya saya tidak khawatir bahwa kaum wanitaQuraisy akan mencemoohkanku…”, hal itusemata-mata dimaksudkan untuk menge-labui kaum Quraisy, sehingga mereka me-ngira bahwa ia masih mengikuti agama me-reka, dan alasan seperti ini dapat diterima.Dengan demikian, Nabi Saw. dapat melan-jutkan aktivitas dakwahnya.

Diriwayatkan bahwa pada hari kiamat,dikatakan kepada Nabi Saw., “Keluarkanlah(dari neraka) siapa saja (di antara umatmu)yang dalam hatinya terdapat keimanan walau-pun hanya sebesar biji sawi!” (HR Muslim).Hadis ini dan hadis-hadis lain yang serupamenunjukkan bahwa mengucapkan duakalimat syahadat bukan merupakan syaratbagi keselamatan seseorang di akhirat.Bahkan, tidak ada kaitannya sama sekali.

86

Sebab, mungkin saja ada orang yang meng-ucapkannya atas dasar kemunafikan, se-mentara ia ditempatkan didasar neraka.

Itulah pendapat yang kami pilih berke-naan dengan keimanan dan keselamatanAbû Thâlib di akhirat. Sebab, Abû Thâlibadalah orang yang memiliki keimanan ter-hadap kenabian Muhammad Saw. Hal itusudah cukup untuk membuktikan bahwaia selamat di akhirat. Pendapat ini diikutijuga oleh para ahli ilmu kalam dari kalang-an Al-Asy‘ariyyah. Ini pula yang ditunjuk-kan dalam hadis-hadis tentang syafaat. Ha-dis tentang syafaat sangatlah banyak jum-lahnya, dan semuanya menegaskan bahwasyafaat tidak akan diraih oleh orang musy-rik. Sementara itu, dalam beberapa hadisdisebutkan bahwa Abû Thâlib akan men-dapatkan syafaat dari Nabi Saw., sebagai-mana yang akan dijelaskan nanti. Dari sini,dapat disimpulkan bahwa Abû Thâlib bu-kanlah seorang musyrik.

87

Dalil-dalil tentang Kekafiran Abû Thâlib

Dalil-dalil yang dijadikan pijakan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa Abû Thâlibtidak akan selamat di akhirat—yang diku-pas lagi oleh Al-Barzanjî sehingga berbalikmenjadi dalil-dalil menegaskan keimananAbû Thâlib—di antaranya adalah hadisyang diriwayatkan dari Al-‘Abbâs bin ‘AbdulMuththalib r.a., paman Nabi Saw., bahwaia pernah berkata kepada Rasulullah Saw.,“Abû Thâlib adalah orang yang telah men-jaga dan membelamu, dan ia juga marahdemi melindungimu. Apakah semua ituberguna baginya?” Rasulullah Saw. men-jawab, “Ya. Aku mendapatinya di neraka, laluaku mengeluarkannya menuju tepi neraka. Se-kiranya bukan karena aku, niscaya dia beradadi dasar neraka.” (HR Al-Bukhârî dan Mus-lim)

Dalam riwayat lain dari Abû Sa‘îd Al-Khudrî r.a. disebutkan bahwa nama pamanNabi Saw., Abû Thâlib, disebut-sebut di ma-jelis Nabi Saw. Kemudian, beliau bersabda,“Barangkali, syafaatku akan dia dapatkan pada

88

hari kiamat. Oleh karena itu, dia ditempatkandi tepi neraka dan api hanya mencapai keduamata kakinya, sementara otaknya mendidih.”(HR Al-Bukhârî dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Nabi Saw. bersab-da, “Penghuni neraka yang paling ringan sik-saannya adalah Abû Thâlib.” (HR Muslim)

Orang-orang yang berpendapat bahwaAbû Thâlib tidak selamat di akhirat menga-takan bahwa hadis-hadis sahih tersebut me-nunjukkan bahwa Abû Thâlib adalah se-orang kafir dan ia berada di neraka. De-ngan demikian, tidaklah dapat diterimapendapat yang mengatakan bahwa bahwaAbû Thâlib selamat di akhirat. Sebab, NabiSaw. sendiri telah memberitahukan keada-annya di hadapan Allah di akhirat. Selainitu, menurut mereka, hal tersebut juga me-nunjukkan bahwa Abû Thâlib tidak me-nyimpan keimanan terhadap Nabi Saw. da-lam hatinya. Adapun, apa yang telah yangdilakukannya, yaitu membela Nabi Saw., se-mata-mata karena fanatisme Arab dan har-ga diri, sehingga ia tidak ingin membiarkan

89

anak saudaranya itu terbunuh di hadapan-nya, sementara ‘Abdul Muththalib telahberpesan kepadanya agar memeliharanya.

Namun, saya katakan bahwa hadis-ha-dis di atas justru menunjukkan keimanandan keselamatan Abû Thâlib di akhirat. Se-bab, Allah Swt. telah memberitahukan ten-tang orang-orang kafir, bahwa siksaan me-reka tidak akan diringankan, mereka tidakakan dikeluarkan dari neraka, dan syafaatdari orang-orang yang berhak memberikansyafaat tidak berguna bagi mereka. Danmasih banyak keterangan lain tentang me-reka.

Dalam sebuah riwayat yang sahih dise-butkan bahwa Neraka Jahim adalah suatutingkatan di neraka, tempat penyiksaan ba-gi orang-orang durhaka dari kalangankaum Mukmin. Kemudian, mereka dike-luarkannya dari sana. Neraka Jahim adalahtingkatan neraka yang paling tinggi (siksa-annya paling ringan). Sementara itu, orang-orang durhaka dari kalangan kaum Muk-min mendapatkan siksaan yang lebih ri-

90

ngan daripada siksaan terhadap orang-orang kafir. Dengan demikian, sebagaima-na telah disebutkan dalam hadis sahih, AbûThâlib adalah penghuni neraka yang pa-ling ringan siksaannya. Artinya, ia adalahorang yang mendapatkan siksaan yang pa-ling ringan, bahkan lebih ringan daripadasiksaan terhadap orang-orang durhaka darikalangan kaum Mukmin. Seandainya kitatidak berpendapat seperti itu pun, tidakterbukti bahwa Nabi Saw. bersabda bahwaAbû Thâlib adalah penghuni neraka yangmendapatkan siksaan yang paling ringan.

Seandainya Abû Thâlib dianggap kafirdan kekal di neraka, sementara ia adalahpenghuni neraka yang mendapatkan siksa-an yang paling ringan, berarti siksaan ter-hadap orang kafir lebih ringan daripadasiksaan terhadap sebagian orang Mukminyang durhaka. Padahal, tidak seorang punberpendapat demikian.

Dengan demikian, terbukti bahwa sik-saan terhadap Abû Thâlib lebih ringan da-ripada siksaan terhadap orang-orang dur-

91

haka dari kalangan kaum Mukmin, dan ter-bukti pula bahwa syafaat Nabi Saw. bergunabaginya sehingga ia mendapatkan pengu-rangan siksaan, dijadikan sebagai peng-huni neraka yang mendapatkan siksaanyang paling ringan, dan dikeluarkan daridalam neraka menuju tepinya. Seandainyabukan karena Nabi Saw., niscaya ia beradadi neraka. Ia diberi sepasang sandal dariapi, sehingga api neraka tidak menyentuhpunggung kakinya. Ini adalah tingkatanneraka yang paling tinggi (yang siksaannyapaling ringan), dan tidak ada lagi nerakayang lebih tinggi dari ini.

Api neraka hanya menyentuh telapakkaki Abû Thâlib. Hal ini hanya terjadi padatingkatan Al-Ghauqâniyyah, yang merupa-kan tempat bagi orang-orang durhaka darikalangan umat ini. Dalam hadis-hadis sa-hih disebutkan bahwa mereka dikeluarkandari neraka tersebut, dan tidak tersisa se-orang pun yang di dalam hatinya terdapatkeimanan walaupun lebih kecil, lebih kecil,dan lebih kecil lagi daripada biji sawi.

92

Dalam hadis sahih juga diriwayatkanbahwa tingkatan neraka tersebut adalah se-sudah orang-orang durhaka dari umat inidikeluarkan darinya, sehingga api nerakaitu padam dan angin berembus menutuppintu neraka tersebut. Kemudian, di nera-ka itu, tumbuh tanaman seledri air. Pada-hal, tidak mungkin tanaman seledri airakan tumbuh jika di sana masih terdapatapi walaupun hanya mengenai telapak ka-ki. Dengan demikian, menurut dalil-dalilini dan juga dalil-dalil sahih yang lain, AbûThâlib pasti dikeluarkan dari neraka terse-but.

Selanjutnya, dalam hadis sahih diriwa-yatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Syafa-atku adalah untuk orang-orang yang mela-kukan dosa-dosa besar (dari umatku).” Dalamriwayat lain disebutkan, “… untuk orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengansuatu apa pun.” Artinya, syafaat untuk peng-ampunan dosa dikhususkan bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, ka-rena dosa-dosa kecil bisa ditebus dengan

93

menjauhi dosa-dosa besar. Oleh karena itu,syafaat orang-orang yang berhak memberisyafaat tidak berlaku bagi orang-orang ka-fir, karena Allah tidak akan mengampunidosa orang yang menyekutukannya. Jikaseseorang tidak diampuni dosanya, makaia tidak akan mendapatkan syafaat. Sebab,adanya siksaan karena adanya dosa. Sese-orang yang tidak diampuni dosanya, tidakakan dihilangkan siksaannya. Jika dosa syi-rik tidak diampuni, maka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat tidak bergunabaginya, termasuk syafaat Nabi Saw. Syafaatbeliau tidak berguna bagi orang-orang ka-fir, sebagaimana juga syafaat dari oranglain.

Namun, Abû Thâlib telah mendapatsyafaat Nabi Saw. sehingga siksaannya di-ringankan dan ia dikeluarkan dari tengahneraka menuju ke tepinya dengan syafaattersebut. Dengan demikian, ia dapat dika-tegorikan ke dalam kelompok orang-orangyang melakukan dosa besar, bukan terma-suk orang-orang kafir. Selain itu, ia juga

94

pasti dikeluarkan dari neraka karena ia ter-masuk orang-orang durhaka dari umat ini,yang berada di tingkatan neraka yang pa-ling tinggi. Setiap orang yang keadaannyaseperti ini, ia pasti dikeluarkan dari nerakadan dimasukkan ke dalam surga. Inilahmakna sabda Nabi Saw., “Aku berharap iamendapatkan segala kebaikan dari Tuhanku.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Sa‘addan Ibn ‘Asâkir dari Ibn ‘Abbâs r.a., bahwaia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,“Apa yang engkau harapkan bagi AbûThâlib?” Beliau menjawab, “Aku berharap iamendapatkan segala kebaikan dari Tuhanku.”Tentu, segala kebaikan hanya diharapkanuntuk seorang Mukmin, dan tidaklahmungkin maksudnya hanya peringanansiksaan. Sebab, peringanan siksaan tidakdisebut kebaikan, apalagi disebut segala ke-baikan. Akan tetapi, segala kebaikan bukanberarti diringankan keburukan, dan seba-gian keburukan itu lebih ringan daripadasebagian yang lain. Segala kebaikan itu ada-lah masuk surga.

95

Tammâm Az-Zârî—dalam Al-Fawâ’id—meriwayatkan hadis dengan sanadnya yangdimuat dalam Al-Manâqib dari Ibn ‘Umarr.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Padahari kiamat, aku akan memberikan syafaat ke-pada ayahku, ibuku, pamanku (Abû Thâlib),dan saudaraku—yang meninggal—pada masajahiliah.” Al-Muhibb Ath-Thabarî juga meri-wayatkan hadis tersebut dalam Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ dalam bab “Dzawil Qurbâ. Demikianpula Abû Na‘îm, dan ia mengatakan bahwasaudara Nabi Saw. tersebut adalah saudarasepersusuan.

Sebutan neraka meliputi seluruh ting-katannya. Rasulullah Saw. telah membe-ritahukan bahwa Abû Thâlib adalah peng-huni neraka yang siksaannya paling ringan.Beliau pun menjelaskan alasannya, yaituapi hanya menyentuh kedua telapak kakiAbû Thâlib. Oleh karena itu, tidak mung-kin dikatakan bahwa Abû Thâlib adalah se-orang kafir. Sebab, di antara orang-orangMukmin, sebagaimana yang disebutkan da-lam beberapa hadis sahih, ada orang yang

96

disiksa karena satu dosa, seperti berkhianat(mengambil harta rampasan perang secaratidak sah), durhaka kepada kedua orang-tua, menyiksa seekor kucing, dan berjalandengan sombong. Orang itu mendapatkansiksaan yang lebih besar daripada yang di-alami oleh Abû Thâlib.

Tentang orang yang mencuri hartarampasan perang (ghanîmah), yaitu berupasebuah mantel kecil, diriwayatkan bahwaapi neraka membakarnya. Demikian pula,orang yang mengambil sebuah selimutyang terbuat dari bulu domba, akan dipa-kaikan padanya sebuah baju besi yangmembara. Sebaliknya, orang yang datangpada hari kiamat, dan tidak pernah men-curi harta rampasan perang, ia akan masuksurga. Sementara itu, orang yang durhakakepada kedua orangtua, sebagaimana dise-butkan dalam hadis sahih, termasuk di an-tara orang-orang yang melakukan dosa-do-sa besar. Bahkan, dalam beberapa hadis di-sebutkan, bahwa durhaka kepada keduaorangtua merupakan dosa yang paling be-

97

sar, berada setingkat di bawah dosa akibatmenyekutukan Allah. Allah Swt. Berfirman.

Sembahlah Allah dan janganlah kamumempersekutukan-Nya dengan sesuatu pundan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QSAn-Nisâ’ [4]: 36).

Dalam sebuah hadis sahih, juga diriwa-yatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,“Ada tiga hal yang menyebabkan amal kebaikantidak berguna, yaitu menyekutukan Allah, dur-haka kepada kedua orangtua, dan kabur darimedan perang.”

Dalam hadis sahih yang lain, disebut-kan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Padahari kiamat, Allah tidak akan memandang kepa-da orang yang durhaka kepada kedua orangtua-nya.”

Masih banyak hadis sahih yang menje-laskan tentang besarnya siksaan terhadaporang yang durhaka kepada kedua orang-

98

tua, dan ia adalah orang yang paling durha-ka daripada para pendurhaka dari kalang-an orang-orang Mukmin yang dikeluarkandari neraka.

Tentang siksaan terhadap orang yangmenyiksa seekor kucing, dalam sebuah ha-dis sahih disebutkan bahwa seorang perem-puan masuk neraka gara-gara seekor ku-cing. Ia mengurung kucing itu—tanpamemberinya makan dan minum hinggamati kelaparan. Sementara itu, tentang la-rangan berjalan dengan sombong, banyaksekali hadis yang menyebutkan laranganatas perbuatan tersebut dan besarnya sik-saan bagi pelakunya.

Dengan demikian, seandainya AbûThâlib adalah seorang kafir, maka siksaanterhadapnya menunjukkan bahwa siksaanterhadap orang kafir lebih ringan daripadasiksaan terhadap orang yang melakukandosa-dosa besar. Padahal, sudah pasti bah-wa siksaan yang disebabkan oleh kekafiranjauh lebih besar daripada siksaan yang dise-babkan oleh dosa-dosa besar. Hal ini sudah

99

jelas dan tidak diragukan lagi sama sekali.Sebab, kekafiran lebih besar daripada dosa-dosa besar dan merupakan dosa yang tidakterampuni. Keadaannya berbeda dengandosa-dosa besar yang lain. Seandainya adaorang Mukmin pendurhaka yang menda-patkan siksaan lebih ringan daripada sik-saan terhadap Abû Thâlib, niscaya hal itupun bertentangan dengan sabda Rasulul-lah Saw. yang menyebutkan bahwa orangyang siksaannya paling ringan adalah AbûThâlib.

Ringkasnya, siksaan terhadap Abû Thâ-lib adalah seperti siksaan terhadap orang-orang durhaka yang lain dari kalangankaum Mukmin. Bahkan, di antara orang-orang Mukmin yang durhaka, siksaannyaadalah yang paling ringan. Jika siksaan itukita kaitkan dengan dosa besar, maka halitu semata-mata karena Abû Thâlib tidakmengucapkan kalimat syahadat. Ini pun ji-ka kita asumsikan bahwa ia tidak meng-ucapkan kalimat syahadat. Seandainya ti-dak mengucapkan kalimat syahadat meru-

100

pakan perbuatan maksiat dan termasuk do-sa-dosa besar, maka uzur Abû Thâlib de-ngan tidak mengucapkannya tidak mem-batalkan keabsahan keimanannya. Akan te-tapi, tidak dinafikan juga bahwa tidakmengucapkan kalimat syahadat termasukperbuatan-perbuatan maksiat.

Atau, mungkin saja Abû Thâlib telahmengucapkan kalimat syahadat, tetapi Na-bi Saw. tidak mendengarnya. Oleh karenaitu, Nabi Saw. mengira bahwa ia tidak per-nah mengucapkannya. Hal itu karena NabiSaw. menemui Abû Thâlib ketika ia men-jelang ajal, sementara di sampingnya adaAbû Jahal dan ‘Abdullâh bin Umayyah Al-Makhzûmî. Nabi Saw. berkata kepada AbûThâlib, “Wahai pamanku, ucapkanlah lâ ilâhaillallâh (tiada tuhan selain Allah), satu kalimatyang dengannya aku akan bersaksi untukmu dihadapan Allah.”

Melihat hal itu, Abû Jahal dan ‘Abdul-lâh bin Umayyah berkata, “Wahai Abû Thâ-lib, apakah kamu telah membenci agama‘Abdul Muththalib?” Kedua orang itu terus-

101

menerus mengulangi ucapan mereka hing-ga akhirnya Abû Thâlib mengatakan kepa-da mereka bahwa ia tetap mengikuti agamayang dianut ‘Abdul Muththalib dan tidakmengucapkan lâ ilâha illallâh.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwaketika Abû Thâlib melihat keinginan kuatRasulullah Saw. agar ia beriman, ia berkata,“Wahai anak saudaraku, sekiranya bukankarena khawatir orang-orang Quraisy akanmencemoohkanku, aku akan mengucap-kannya, karena aku takut terhadap ke-matian.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwaketika Abû Thâlib menjelang ajalnya, Al-‘Abbâs memandanginya. Ia melihat keduabibir Abû Thâlib bergerak. Ia pun segeramendekat dan memasang pendengaran-nya, sehingga ia mendengar Abû Thâlibmengucapkan kalimat syahadat. Kemu-dian, Al-‘Abbâs berkata kepada Nabi Saw.,“Wahai anak saudaraku, demi Allah, se-sungguhnya saudaraku ini (Abû Thâlib) be-nar-benar telah mengucapkan kalimat

102

yang telah engkau perintahkan kepadanyaagar diucapkan.” Al-‘Abbâs tidak secara te-gas menyebutkan kalimat lâ ilâha illallâh,karena ketika itu ia sendiri belum memelukIslam. Akan tetapi, Rasulullah Saw. berkatakepadanya, “Aku tidak mendengarnya.”Inilah yang dijadikan alasan oleh sebagianorang, bahwa Nabi Saw. tidak menganggapAbû Thâlib telah mengucapkan syahadat,sehingga seakan-akan ia tidak pernahmengucapkannya.

Orang-orang yang berpendapat bahwaAbû Thâlib tidak selamat di akhirat, tidakberpegang pada hadis ini. Alasannya, ke-tika Al-‘Abbâs menyaksikan peristiwa itu,ia masih kafir, belum memeluk Islam. Se-mentara itu, sebagian lain menilai bahwahadis ini lemah. Seandainya kita menerimabahwa Nabi Saw. tidak menganggap AbûThâlib telah mengucapkan syahadat, se-perti disampaikan oleh Al-‘Abbâs, dan ha-dis tersebut lemah (dha‘îf), maka kami kata-kan bahwa Abû Thâlib adalah kafir menu-rut penilaian hukum-hukum duniawi. Na-

103

mun, di sisi Allah, ia adalah seorang Muk-min yang selamat di akhirat. Hatinya telahdipenuhi keimanan sebagaimana ditegas-kan dalam dalil-dalil yang telah kami se-butkan.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkanhal itu, barangkali ia sengaja tidak meng-ucapkan kalimat tauhid (lâ ilâha illallâh) ka-rena kehadiran Abû Jahal dan ‘Abdullâhbin Umayyah. Sebab, Abû Thâlib sangatingin menjaga dan melindungi Muham-mad Saw. dari gangguan mereka sepening-galnya. Menurutnya, jika ia menampakkandiri seakan-akan tetap mengikuti agamamereka, niscaya jaminan perlindungan danpenghormatannya kepada Nabi Saw. dapatditerima oleh kaum Quraisy pasca kemati-annya, sehingga mereka tidak menggang-gu beliau. Seandainya maksud Abû Thâlibmemang demikian, maka alasannya dapatditerima. Dengan demikian, jawaban AbûThâlib yang disampaikan kepada Abû Jahaldan ‘Abdullâh bin Umayyah, bahwa ia tetapmengikuti agama mereka sekadar untuk

104

menyenangkan hati mereka. Hal itu agarmereka tidak mengganggu Nabi Saw. sepe-ninggalnya.

Selain itu, kita dapat menggabungkanpendapat yang mengatakan bahwa AbûThâlib tidak mengucapkan kalimat sya-hadat dan pendapat yang mengatakan bah-wa ia mengucapkannya. Dalam hal ini, AbûThâlib tidak mengucapkan kalimat syaha-dat karena kehadiran Abû Jahal dan ‘Abdul-lâh bin Umayyah demi menyenangkan hatimereka. Namun, ketika kedua orang itu te-lah pergi, Abû Thâlib mengucapkan kali-mat syahadat dan hal itu didengar oleh Al-‘Abbâs. Oleh karena itu, dalam hadis terse-but disebutkan, “… akhirnya Abû Thâlibberkata kepada mereka…” Ini maksudnyaadalah akhir perkataan Abû Thâlib kepadaAbû Jahal dan ‘Abdullâh bin Umayyah, bu-kan ucapan terakhir Abû Thâlib—menje-lang kematiannya.

Ucapan Abû Thâlib bahwa ia tetapmengikuti agama yang dianut oleh ‘AbdulMuththalib, hal itu merupakan bukti bahwa

105

ia mengikuti agama tauhid. Sebab, ‘AbdulMuththalib juga menganut agama tauhid,seperti kakek-kakek Rasulullah Saw. yanglain, sebagaimana yang ditegaskan oleh As-Suyûthî dan lain-lain dalam buku mereka.Oleh karena itu, Abû Thâlib sengaja mem-berikan jawaban yang sama kepada merekauntuk memuaskan mereka secara lahiriah.Padahal, ia mengetahui bahwa ‘AbdulMuththalib menganut agama tauhid.

Ibn ‘Asâkir meriwayatkan bahwa ‘Amrbin Al-‘Âsh berkata, “Saya mendengar Ra-sulullah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya AbûThâlib memiliki hak kekerabatan terhadapku.Aku akan menyambung hak kekerabatan itu de-ngannya.’”

Orang-orang yang berpendapat bahwaAbû Thâlib tidak selamat di akhirat menga-takan, “Hadis yang diriwayatkan dalamShahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim yangmenyebutkan bahwa Abû Thâlib berada dineraka menafikan keimanannya. Hal se-perti itu berlaku bagi orang yang mati da-lam kekafiran.”

106

Berkaitan dengan hal ini, kami tegas-kan bahwa orang yang mati dalam keka-firan tidak akan berada di tepi neraka, teta-pi ia akan berada di tingkatan neraka yangpaling bawah. Oleh karena itu, syafaat NabiSaw. yang didapatkan oleh Abû Thâlib se-hingga ia berada di tepi neraka merupakanbukti bahwa ia bukan seorang kafir. Sebab,orang kafir tidak akan mendapatkan sya-faat dari orang-orang yang memberikansyafaat.

Adapun, sabda Nabi Saw., “Kalau bukankarena aku, niscaya dia berada di dasar neraka.”Hadis ini maksudnya, kalau bukan karenaAllah telah memberikan hidayah kepada-nya agar beriman, niscaya ia akan mati da-lam kekafiran dan ia akan berada di dasarneraka.

Dalil serupa adalah sabda Nabi Saw.berkenaan dengan seorang anak Yahudiyang dijenguk oleh beliau ketika ia sedangsakit. Ketika itu, beliau mengajaknya agarmemeluk Islam. Anak Yahudi pun meme-luk Islam, lalu ia meninggal. Pada kesem-

107

patan itu, beliau bersabda, “Segala puji bagiAllah yang telah menyelamatkannya denganperantaraanku dari neraka.”

Pada saat itu, tampaklah kepada kitamakna yang sangat dalam dari hadis itu,yang menyebut bahwa Abû Thâlib beradadi neraka, lalu beliau memberinya syafaat,sehingga ia ditarik ke tepinya. Artinya, AbûThâlib hampir masuk ke dasar neraka ka-rena enggan mengucapkan kalimat syaha-dat, lalu Nabi Saw. memberikannya syafaat,sehingga Allah memberinya hidayah agarberiman. Hal ini tidak bertentangan de-ngan sabda Nabi Saw., “Aku tidak mendengar-nya.” Sebab, mungkin saja setelah itu, Allahmemberitahukannya kepada Nabi Saw.

Mengenai firman Allah Swt..

Sesungguhnya kamu tidak akan dapatmemberi petunjuk kepada orang yang kamu ka-sihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada or-ang yang dikehendaki-Nya (QS Al-Qashash

108

[28]: 56), mungkin benar bahwa ayat ituturun berkenaan dengan Abû Thâlib. Na-mun, ayat ini menegaskan bahwa hanyaAllah yang memberikan petunjuk kepadaAbû Thâlib setelah Nabi Saw. berputus asadalam membujuknya agar ia beriman.

Ibn Sa‘ad dan ‘Asâkir meriwayatkanbahwa ‘Alî r.a. berkata, “Saya menyampai-kan berita kematian Abû Thâlib kepada Na-bi Saw. Mendengar berita itu, beliau mena-ngis. Lalu beliau bersabda, ‘Pergilah, lalumandikan, kafani, dan kuburkanlah dia!Semoga Allah mengampuni dan merah-matinya.’ Saya melaksanakan apa yang be-liau perintahkan.” Nabi Saw. tidak ikutmengantarkan jenazah Abû Thâlib. Hal itusemata-mata untuk menghindari kejahatanorang-orang yang lemah akal dari kalang-an kaum Quraisy. Adapun, mengapa NabiSaw. tidak menshalatkan jenazah Abû Thâ-lib, karena ketika itu, shalat jenazah belumdisyariatkan.

Para ahli sejarah menyebutkan bahwasetelah Abû Thâlib meninggal dunia, kaum

109

Quraisy sering mengganggu Nabi Saw., se-suatu yang tidak pernah mereka lakukansebelumnya, ketika Abû Thâlib masih hi-dup. Di antaranya, seseorang dari kalanganQuraisy menghadang Nabi Saw. di jalan,lalu menaburkan tanah di kepala beliau.Setiba di rumah, rambut Rasulullah Saw.masih berlumuran tanah. Maka, salah se-orang putri beliau menghampirinya lalumenghilangkan tanah itu sambil menangis.Rasulullah Saw. berkata kepada putrinya,“Wahai putriku, janganlah menangis, ka-rena Allah senantiasa melindungi ayahmu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada se-suatu yang ditimpakan orang-orang Quraisy ke-pada diriku yang lebih tidak kusukai daripadaapa yang mereka timpakan setelah Abû Thâlibmeninggal.”

Gangguan kaum kafir Quraisy yang le-bih gencar terhadap Rasulullah Saw. ter-bukti kemudian, yaitu manakala mereka ke-luar dari rumah Abû Thâlib dalam keadaanmarah dan dendam kepada beliau. Pasal-nya, mereka melihat Rasulullah Saw. terus-

110

menerus meminta Abû Thâlib agar meng-ucapkan kalimat syahadat. Ketika Rasulul-lah Saw. melihat kaum kafir Quraisy mulaiberani melakukan penyerangan dan gang-guan terhadap dirinya, beliau berkata, “Wa-hai pamanku, alangkah cepat kedatangansesuatu yang aku dapatkan sepeninggal-mu!”

‘Alî r.a. berkata, “Ketika Abû Thâlibmeninggal, saya berkata kepada RasulullahSaw., ‘Wahai Rasulullah, pamanmu, se-orang tua yang sesat, telah meninggal du-nia. Beliau bersabda, ‘Pergilah dan kubur-kanlah dia!’ Saya berkata, ‘Ia meninggal da-lam keadaan musyrik.’ Beliau bersabda,‘Pergilah dan kuburkanlah dia!’ Setelah selesaimenguburkannya, saya kembali kepada Na-bi Saw., lalu beliau bersabda, ‘Mandilah ka-mu!’” (HR Al-Baihaqî)

Ucapan ‘Alî r.a., “…pamanmu, seorangtua yang sesat, telah meninggal dunia,”bertentangan dengan hadis sebelumnya.

Hal itu dilihat dari keadaan lahiriahnyadi dunia. Barangkali, ‘Alî r.a. mengatakan

111

demikian di hadapan orang-orang yang le-mah akal dari kalangan kaum musyrik un-tuk mengambil hati mereka. Oleh karenaitu, hadis tersebut tidak bertentangan de-ngan hadis sebelumnya bila dilihat dari ha-kikatnya dalam perkara ini, yaitu keimanandan pembenaran Abû Thâlib terhadap Na-bi Saw.

Boleh saja mengabarkan tentang AbûThâlib, bahwa ia seorang kafir bila dilihatdari keadaan lahiriahnya dan dari aspekhukum dunia. Namun, hal ini tidak berten-tangan penjelasan bahwa Abû Thâlib ada-lah seorang Mukmin bila dilihat dari aspekhakikat dan apa yang ada di sisi Allah. Se-mua itu sesuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang telah kami kemukakan sebelumini yang menunjukkan keimanan danpengkuannya atas kenabian MuhammadSaw.

Dalil-dalil yang kami kemukakan ten-tang keselamatan Abû Thâlib di akhirat su-dah cukup jelas, dan tidak memerlukanpenjelasan lagi. Akan tetapi, kami akan

112

memberikan penjelasan tambahan untukmenguatkannya. Berkenaan dengan halini, Allah Swt. Berfirman.

Maka, orang-orang yang beriman kepada-nya, memuliakannya, menolongnya, danmengikuti cahaya yang terang yang ditu-runkan kepadanya (Al-Quran), mereka itu-lah orang-orang yang beruntung (QS Al-A‘râf [7]: 157).

Abû Thâlib telah membenarkan danmenolong Nabi Saw. sebagaimana telah sa-ma-sama kita ketahui. Untuk itu, ia harusberhadapan dengan kaum Quraisy. Tak se-orang pun yang mengingkari kenyataanini. Dengan demikian, Abû Thâlib terma-suk orang-orang yang beruntung.

Adapun, orang-orang yang berpen-dapat bahwa Abû Thâlib tidak beriman,mengatakan bahwa Abû Thâlib telah me-

113

nolong Nabi Saw., tetapi ia tidak mengikuticahaya terang yang diturunkan kepadanya,yaitu Al-Quran, yang mengajak ke dalamtauhid. Oleh karena itu, menurut mereka,Abû Thâlib tidak mendapatkan keberun-tungan, kecuali bila ia memenuhi seruanAl-Quran.

Saya katakan bahwa jika yang dimak-sud dengan keberuntungan adalah kesela-matan dari neraka, maka hal itu hanya di-raih dengan keimanan, yang pembenaran(tashdîq), seperti dikatakan oleh muhaqqiq.Dan hal itu ada pada Abû Thâlib. Namun,jika yang dimaksud adalah keberuntunganyang sempurna, maka ketiadaannya tidakmenyebabkan kekafiran. Selain itu, saya ka-takan bahwa Abû Thâlib adalah orang yangmengikuti Nabi Saw., bahkan ia juga me-nyuruh orang lain untuk mengikuti beliau.

Jika keimanan diartikan dengan pem-benaran (tashdîq), maka hal itu ada padadiri Abû Thâlib. Ketika itu, pengikutan (ke-pada Nabi Saw.) dalam hal yang disya-riatkan hanyalah pada masalah tauhid, sila-

114

turahim, dan meninggalkan penyembahanberhala. Hal itu sebagaimana yang telahkita sebutkan sebelumnya bahwa Abû Thâ-lib pernah bertanya kepada Nabi Saw., “De-ngan cara apa kamu diutus menjadi nabi?”Nabi Saw. memberitahukan bahwa beliaudiutus menjadi nabi dengan menjalin sila-turahim, menyembah Allah, dan tidak me-nyembah sesuatu selain Dia. Pada saat itu,shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad belumdiwajibkan. Yang disyariatkan hanyalahucapan lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selainAllah).

Seandainya mengucapkan lâ ilâha illal-lâh dianggap sebagai syarat tauhid, maka—seperti telah disebutkan sebelum ini—AbûThâlib telah mengucapkan kalimat tauhid,hakikat kerasulan, dan pembenaran terha-dap kenabian Muhammad Saw. dalamsyair-syairnya. Adapun, Nabi Saw. memintaAbû Thâlib agar mengucapkan lâ ilâhaillallâh menjelang kematiannya, hal itusemata-mata untuk menyempurnakan ke-imanan menjelang kematiannya.

115

Di samping itu, jika ia tidak dianggaptelah mengucapkan kalimat tauhid men-jelang kematiannya, maka dalil-dalil sebe-lum ini telah menunjukkan secara jelasbahwa membenarkan kenabian Muham-mad Saw. dalam hatinya. Adapun, ia eng-gan mengucapkan kalimat tauhid ketikamenjelang kematiannya, hal itu karena iakhawatir bila ucapan itu semata-mata ka-rena ia takut menghadapi kematian, se-dangkan takut menghadapi kematian me-rupakan aib bagi mereka. Di samping itu,mereka berasal dari keturunan yang muliadan memiliki kepemimpinan yang kuat.Oleh karena itu, mereka tidak rela bila di-nisbatkan pada sesuatu yang bertentangandengan sifat-sifat kemuliaan, sehingga halitu merupakan uzur bagi mereka.

Semua ini bila kita memandang per-kara tersebut dari aspek lahiriahnya. Ada-pun, bila kita memandangnya dari aspekbatiniahnya, penyebab utama mengapaAbû Thâlib tidak mau mengucapkan kali-mat tauhid di hadapan beberapa tokoh

116

musyrik Quraisy adalah demi membela,melindungi, dan menolong Nabi Saw. Se-bab, Abû Thâlib benar-benar menyadaribahwa jika ia mengucapkan kalimat tauhiditu di hadapan para pemuka musyrik Qu-raisy, dan mereka mengetahui bahwa ia te-lah mengikuti Muhammad Saw., niscayamereka tidak akan mengindahkan lagi ja-minan perlindungannya terhadap NabiSaw., dan mereka tidak akan memandanglagi kedudukannya di tengah mereka. Se-lain itu, mereka akan membatalkan jamin-an perlindungannya dan mencemarkan ke-hormatannya, serta menyakiti Nabi Saw.dengan cara yang melampaui batas. Pada-hal, Abû Thâlib sangat menginginkan agardakwah Nabi Saw. kepada umat manusiaini terus berjalan sepeninggalnya.

Untuk tujuan itu, Abû Thâlib benar-benar menjaga diri agar kehormatannya te-rus terpelihara di hati kaum Quraisy. Sean-dainya ia mengucapkan dua kalimat syaha-dat dan kaum Quraisy mengetahui hal itu,niscaya akan hilang penghormatan mereka

117

kepadanya. Akibatnya, akan hilang pula ke-sempatan untuk membela dan melindungiNabi Saw. dengan sebaik-baiknya.

Barangkali, siksaan terhadap Abû Thâ-lib bersama orang-orang Mukmin yangdurhaka bukanlah lantaran ia tidak meng-ucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi,hal itu mungkin karena ia tidak menger-jakan shalat yang diperintahkan pada per-mulaan Islam, yaitu dua rakaat pada pagihari dan dua rakaat pada malam hari. Se-bab, Abû Thâlib pernah diminta untukmengerjakan shalat itu, tetapi ia meno-laknya. Demikian pula, shalat tahajud yangdilakukan oleh Rasulullah Saw. pada per-mulaan Islam.

Barangkali, Abû Thâlib enggan me-ngerjakan shalat karena ia tidak ingin ka-um Quraisy mengetahui bahwa ia telahmengikuti Nabi Saw., sehingga mereka ti-dak akan menerima lagi jaminan perlin-dungannya kepada Nabi Saw. Oleh karenaitu, penolakan Abû Thâlib untuk mengerja-kan shalat adalah juga dalam rangka me-

118

ngaburkan kesan kaum Quraisy dan pem-belaan kepada Nabi Saw. Dengan demiki-an, penolakan Abû Thâlib untuk menger-jakan shalat dipandang sebagai uzur. Mes-kipun demikian, tidak mustahil pula bahwapenolakan tersebut termasuk kemaksiatanyang menyebabkan ia mendapat siksaan,tetapi secara lahiriah, ia memberikan alas-an yang lain dalam penolakan itu. Ketikaia diminta untuk mengerjakan shalat, iamenjawab, “Janganlah kalian menganggapdiri kalian lebih tinggi daripadaku!” Ba-rangkali, penolakan tersebut adalah karenakedurhakaan dan kesombongan sehinggakarenanya ia mendapat siksaan, meskipunhal itu ia lakukan untuk mengaburkan ke-san kaum Quraisy sehingga mereka mengi-ra bahwa ia masih ada di pihak mereka danmengikuti agama mereka. Selain itu, AbûThâlib masuk ke neraka mungkin saja dise-babkan oleh sebagian hak manusia yang ialanggar setelah Nabi Saw. diutus menjadinabi

Pada awal pembahasannya, Al-Barzanjî

119

menyinggung masalah keselamatan keduaorang tua dan kakek-kakek Nabi Saw. diakhirat karena mereka menganut agamatauhid. Kemudian, dalam pembahasan ten-tang keselamatan Abû Thâlib di akhirat, iamengatakan bahwa tidak ada seorang punyang meriwayatkan bahwa ada seorang pa-man Nabi Saw. yang mengatakan kepadabeliau, “Mengapa kamu mencaci orang-orang tua kita dan menghina tuhan-tuhankita serta menganggap bodoh orang-orangbijak di antara kita?” seperti yang dika-takan oleh orang-orang Quraisy yang lain.Seandainya mereka mengetahui bahwaorang-orang tua mereka seperti itu, niscayamereka akan berkata, “Berhentilah menye-but-nyebut keburukan orang-orang tua-mu!”

Mengenai permusuhan Abû Lahab ke-pada Nabi Saw., penyebabnya adalah hu-bungan ipar antara Abû Lahab dan AbûSufyân. Seperti diketahui, Abû Lahab me-nikahi saudara perempuan Abû Sufyân,Ummu Jamîl, yang setelah Islam datang,

120

ia diberi julukan Ummu Qabîh (ibu keburuk-an), dan dalam Al-Quran disebut hammâlahal-hathab (arti harfiahnya “pembawa kayubakar” dan maksudnya adalah penyebar fit-nah). Oleh karena itu, Abû Lahab ber-tindak sesuai keinginan mereka.

Abû Thâlib mengikuti agama para lelu-hurnya. Seandainya Abû Thâlib menyem-bah berhala, hal itu menjadikannya orangpertama yang menyekutukan Allah dalamkeluarga ‘Abdul Muththalib. Namun, tidakada bukti yang meyakinkan bahwa AbûThâlib adalah orang pertama yang menye-barkan kemusyrikan dan penyembahanberhala dari keluarga yang diberkahi ini.Sebaliknya, Abû Thâlib mengikuti agama‘Abdul Muththalib dalam segala ihwalnya;dalam budi pekerti yang mulia, kehor-matan, dan kepemimpinan. Bahkan, ketikameninggalkan dunia, ia tetap mengikutiagama ‘Abdul Muththalib. Itulah yang di-isyaratkan oleh Abû Thâlib ketika ia me-ngatakan kepada kaum kafir Quraisy bah-wa ia berpegang pada agama ‘Abdul Muth-

121

thalib. Ia menyampaikan kepada merekakalimat-kalimat yang seluruhnya menafi-kan kemusyrikan dan menunjukkan bahwaia termasuk orang-orang yang mengesakanAllah. Sebab, seperti telah diketahui, ‘AbdulMuththalib adalah orang yang mengesakanAllah Swt.

Kesimpulannya, hadis-hadis yang me-nyebutkan bahwa Abû Thâlib seorang kafirdan ia masuk neraka, semua itu menuruthukum-hukum duniawi dan dari sudutpandang lahiriah syariat. Ia masuk nerakakarena ia tidak mengucapkan dua kalimatsyahadat atau karena ia meninggalkan sa-lah satu kewajiban yang disyariatkan dalamIslam. Atau, karena ia telah melanggar hakhamba Allah. Selain itu, dikatakan bahwaia masuk neraka tidak menunjukkan bahwaia kekal di dalamnya. Sebab, hadis-hadistersebut tidak menyebutkan bahwa AbûThâlib kekal di neraka. Bahkan, Nabi Saw.telah memberikan syafaat kepadanya de-ngan menjadikannya berada di tepi neraka.Padahal, seandainya Abû Thâlib seorang

122

kafir, syafaat Nabi Saw. kepadanya tidakberguna sedikit pun. Demikian pula, dalamhadis sahih disebutkan bahwa penghunineraka yang siksaannya paling ringan ada-lah orang-orang durhaka dari kalangankaum Mukmin, sementara Abû Thâlib ada-lah penghuni neraka yang siksaannya pa-ling ringan. Jadi, ia adalah orang yang sik-saannya paling ringan, bahkan dari orang-orang durhaka dari kalangan kaum Muk-min.

Diriwayatkan juga dalam hadis sahihbahwa orang-orang durhaka dari kalangankaum Mukmin akan dikeluarkan dari Nera-ka Jahim, dan bahwa angin akan menutuppintu-pintu neraka itu dan tanaman seledriair akan tumbuh di sana. Dengan demi-kian, Abû Thâlib termasuk orang-orangyang dikeluarkan dari neraka itu. Bahkan,ia adalah orang pertama yang dikeluarkandari sana karena ia adalah orang yang sik-saannya paling ringan di antara mereka,sedangkan orang-orang kafir tidak akan di-keluarkan dari sana.

123

Dari dalil-dalil tersebut, tampaklahbahwa Abû Thâlib, meskipun disiksa di ne-raka, pasti dikeluarkan dari sana dan dima-sukkan ke surga, karena tidak ada peng-halang antara surga dan neraka baginya.

Jika Anda berpendapat bahwa paraulama telah menetapkan ada syafaat NabiSaw. untuk orang-orang kafir, dan merekamemandang bahwa hal tersebut merupa-kan kekhususan bagi beliau. Kemudian,mereka memberikan contoh, yaitu dengansyafaat Nabi Saw. kepada Abû Thâlib de-ngan meringankan siksaannya.

Saya katakan bahwa pendapat ini dida-sarkan pada asumsi bahwa Abû Thâlib ada-lah seorang kafir. Padahal. telah saya jelas-kan tentang keimanannya. Selain itu, sayajuga telah menjelaskan bahwa syafaat NabiSaw. diberikan kepada Abû Thâlib karenaia telah melakukan suatu kemaksiatan, yai-tu salah satu dosa besar. Dengan demikian,Abû Thâlib termasuk orang-orang yang di-sebutkan dalam sabda Nabi Saw., “Syafaatkuadalah untuk para pelaku dosa-dosa besar (di

124

antara umatku).” Ini bukan pengecualiandan bukan pula pengkhususan terhadapkeumuman makna firman Allah Swt..

Maka, tidak berguna lagi bagi mereka sya-faat dari orang-orang yang memberikansyafaat (QS Al-Muddatstsir [74]: 48).

Mereka tidak memiliki contoh lain ten-tang syafaat Nabi Saw. kepada orang kafir,selain Abû Thâlib. Jika mereka memilikidalil lain, maka hendaklah mereka menye-butkannya agar kami dapat menelitinya.Benar, jika mereka mengartikan orang-orang kafir itu adalah dalam lahiriah sya-riat, maka akan muncul perbedaan penda-pat tentang maknanya menurut bahasa.Kalaupun kita tidak mengartikan kata ter-sebut berdasarkan penelitian yang saksama(tahqîq), niscaya mereka juga harus menga-takan bahwa firman Allah Swt..

125

Sesungguhnya Allah tidak akan mengam-puni dosa syirik (QS An-Nisâ’ [4]: 48,116) dikhususkan bagi selain Abû Thâ-lib. Namun, tidak ada orang yang ber-pendapat demikian.

Ayat-ayat Al-Quran yang Sebab TurunnyaDinisbatkan kepada Abû Thâlib

Ada beberapa ayat Al-Quran yang dikata-kan bahwa sebab turunnya berkenaan de-ngan Abû Thâlib, seperti firman Allah Swt..

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,walaupun orang-orang musyrik itu adalahkaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi me-reka bahwa orang-orang musyrik itu adalah

126

penghuni neraka Jahannam (QS At-Tau-bah [9]: 113).

Tentang ayat ini, saya telah meneliti de-ngan saksama hadis-hadis tentang sebabturunnya ayat tersebut. Saya menemukanbahwa ada tiga kasus berkenaan dengan tu-runnya ayat ini. Pertama, ayat ini diturun-kan berkenaan dengan Abû Thâlib. Kedua,ayat ini diturunkan berkenaan denganibunda Nabi Saw. Ketiga, ayat ini diturun-kan berkenaan dengan beberapa orangyang meninggal dalam kekafiran, semen-tara anak-anak mereka memohonkan am-punan bagi mereka.

Mengenai kasus kedua, yaitu bahwaayat ini diturunkan berkenaan denganibunda Nabi Saw., hadis-hadisnya lemah se-kali. Sementara itu, kasus pertama, yaitubahwa ayat ini diturunkan berkenaan de-ngan Abû Thâlib, sesungguhnya merupa-kan kesimpulan dari perawi sendiri. Jadi,yang benar adalah ayat tersebut turun ber-kenaan dengan kasus ketiga, yaitu banyak

127

orang yang meninggal dalam kekafiran, se-mentara anak-anak mereka memohonkanampunan bagi mereka. Salah satu buktiyang menegaskan hal ini adalah bahwa ayattersebut diturunkan di Madinah dan surahtersebut termasuk kelompok surah-surahMadaniyyah, dan diturunkan setelah PerangTabuk. Sementara itu, Abû Thâlib wafat diMakkah kira-kira dua belas tahun sebelumayat tersebut turun.

Selain itu, kita melihat bahwa ‘Alî r.a.meriwayatkan tentang hal itu melalui jalur-jalur yang sahih, yang diriwayatkan olehImam Ahmad, At-Tirmidzî, Ath-Thayâlisî,Ibn Abî Syaibah, An-Nasâ’î, Abû Ya‘lâ, IbnJarîr, Ibn Al-Mundzir, Ibn Abî Hâtim, AbûAsy-Syaikh, Al-Hâkim dan ia menilainya sa-hih, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqî. Riwa-yat ini menegaskan bahwa sebab turun ayattersebut adalah permohonan ampunanyang dilakukan beberapa orang Muslim ba-gi orangtua mereka yang meninggal dalamkemusyrikan. ‘Alî r.a. berkata, “Saya men-dengar seseorang—Muslim—memohon

128

ampunan bagi kedua orangtuanya, padahalkedua orangtuanya meninggal dalam ke-musyrikan. Oleh karena itu, saya bertanyakepadanya, ‘Apakah kamu memohon am-punan bagi kedua orangtuamu, padahalmereka meninggal dalam kemusyrikan?’Orang itu menjawab, ‘Bukankah Nabi Ibrâ-hîm a.s. juga memohonkan ampunan bagiayahnya—seorang musyrik?’ Saya me-nyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. Lalu,turunlah ayat.

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,walaupun orang-orang musyrik itu adalahkaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi me-reka bahwa orang-orang musyrik itu adalahpenghuni Neraka Jahanam (QS At-Tau-

129

bah [9]: 113).” Riwayat ini sahih.

Saya juga menemukan dalil lain yangmenguatkan riwayat tersebut, yaitu sebuahhadis sahih dari Ibn ‘Abbâs r.a. Ibn Jarîrdan Ibn Abî Hâtim meriwayatkan bahwaIbn ‘Abbâs r.a. berkata, “Dahulu, orang-orang memohon ampunan bagi orangtuamereka sehingga turun ayat ini.”

Setelah ayat tersebut turun, mereka ti-dak lagi memohon ampunan bagi orangtuadan para kerabat mereka yang telah me-ninggal dalam kemusyrikan. Akan tetapi,mereka tidak dilarang untuk memohonampunan bagi orang-orang yang masih hi-dup. Kemudian, Allah menurunkan ayat.

Dan permohonan ampunan Ibrâhîm untukayahnya … (QS At-Taubah [9]: 114). Mak-sudnya, Ibrâhîm a.s. memohon ampunanbagi ayahnya selama ayahnya masih hidup.Namun, setelah ayahnya meninggal, Ibrâ-

130

hîm a.s. tidak lagi memohon ampunan ba-ginya.

Dalil ini sahih. Bahkan, karena riwayatini lebih sahih, maka riwayat inilah yangharus dijadikan pegangan. Jadi, menurutpendapat yang paling kuat, ayat tersebutturun berkenaan dengan permohonan am-punan beberapa orang Muslim bagi orang-tua mereka yang meninggal dalam kemusy-rikan, bukan tentang Abû Thâlib.

Bisa saja riwayat tersebut dikompromi-kan dengan riwayat yang menyebutkanbahwa ayat itu turun berkenaan denganAbû Thâlib. Dalam hal ini, ada upaya untukmeringkas riwayat tersebut—dengan mem-buang sebagian teksnya. Sebab, riwayat ituhanya sampai pada sabda Nabi Saw., “Akuakan selalu memohon ampunan bagimu selamaaku tidak dilarang untuk itu.” Kemudian, tu-runlah ayat.

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-

131

orang yang beriman memohon ampunan (ke-pada Allah) bagi orang-orang musyrik…(danseterusnya) (QS At-Taubah [9]: 113). Pera-winya tidak menyebutkan teks terakhiryang berbunyi, “Maka, orang-orang Islamberkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw.memohon ampunan bagi pamannya. Olehkarena itu, kami pun akan memohon am-punan bagi orangtua kami.’ Lalu merekabenar-benar memohon ampunan bagiorangtua mereka, sehingga Allah menu-runkan ayat tersebut berkenaan denganmereka.”

Tampaklah bahwa teks terakhir dalamhadis itu terhapus atau terpotong, sehinggapara perawi berikutnya mengira bahwa ayattersebut turun berkenaan dengan Abû Thâ-lib. Seandainya teks terakhir itu disebut-kan, niscaya mereka akan menyimpulkanbahwa ayat tersebut turun berkenaan de-ngan permohonan ampunan beberapaorang Islam bagi orangtua mereka yangmeninggal dalam kemusyrikan, bukan ber-kenaan dengan Abû Thâlib.

132

Penjelasannya yang lebih lengkap seba-gai berikut.

Ketika Nabi Saw. meminta Abû Thâlibagar mengucapkan lâ ilâha illallâh (tiada tu-han selain Allah) di hadapan Abû Jahal dan‘Abdullâh bin Umayyah Al-Makhzûmî, AbûThâlib tidak mengucapkannya. Lalu, NabiSaw. berkata, “Aku akan selalu memohonampunan bagimu selama aku tidak dila-rang untuk melakukan hal itu.” Oleh kare-na itu, beberapa orang Islam berkata, “Se-sungguhnya Rasulullah Saw. memohon am-punan bagi pamannya. Oleh karena itu, ka-mi pun akan memohon ampunan bagiorangtua kami.” Lalu mereka benar-benarmemohon ampunan bagi orangtua me-reka, sehingga Allah menurunkan ayat ter-sebut berkenaan dengan mereka.

Perawi hadis ini meringkas riwayat ter-sebut dengan menghilangkan sebagianteksnya yang terakhir. Saya telah menemu-kan beberapa bukti yang menguatkan ke-simpulan ini. Di antaranya adalah, pertama,hadis yang diriwayatkan oleh Abû Hâtim

133

dan Abû Asy-Syaikh bahwa Muhammad binKa‘ab Al-Qurazhî berkata, “Ketika AbûThâlib sakit, Nabi Saw. menemuinya. Be-liau memintanya agar mengucapkan lâilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah). Na-mun, Abû Thâlib tidak mengucapkannya.Kemudian, beliau berkata, ‘Aku akan selalumemohon ampunan bagimu selama aku tidakdilarang melakukan hal itu.’”

Hal ini dijadikan dalil oleh sebagianorang Islam. Mereka berkata, “RasulullahSaw. memohon ampunan bagi pamannyadan Ibrâhîm a.s. juga memohon ampunanbagi ayahnya.” Lalu, mereka pun memo-hon ampunan bagi kerabat mereka yangmeninggal dalam kemusyrikan. Oleh kare-na itu, Allah Swt. menurunkan ayat.

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik… (QS At-Taubah [9]: 113). Setelah itu,

134

Allah Swt. menurunkan ayat.

Dan permohonan ampunan Ibrâhîm (kepa-da Allah) untuk ayahnya … (QS At-Tau-bah [9]: 114).Kedua, Ibn Jarîr meriwayatkan melalui

jalur Syabl dari ‘Amr bin Dînâr bahwa NabiSaw. bersabda, “Ibrâhîm a.s. telah memohonampunan bagi ayahnya, padahal ia seorangmusyrik. Oleh karena itu, aku akan selalu memo-hon ampunan bagi Abû Thâlib hingga Tuhankumelarangku melakukan hal itu.” Para sahabatpun berkata, “Kami akan memohon am-punan bagi orangtua kami, sebagaimanaNabi Saw. memohon ampunan bagi pa-mannya (Abû Thâlib).” Kemudian, Allahmenurunkan ayat.

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan

135

(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik… (QS At-Taubah [9]: 113).

Jadi, dari riwayat-riwayat ini tampak je-las bahwa ayat tersebut turun berkenaandengan permohonan ampunan yang dila-kukan oleh sebagian orang Islam bagi kera-bat mereka yang meninggal dalam kemusy-rikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa ri-wayat yang menyebutkan bahwa ayat terse-but turun berkenaan dengan Abû Thâlibtelah mengalami reduksi, yaitu penghilang-an sebagian teksnya. Akibatnya, terjadilahambiguitas sehingga para perawi berikut-nya mengira bahwa ayat tersebut turun ber-kenaan dengan Abû Thâlib, padahal yangsebenarnya bukan demikian.

Ketiga, surah tersebut (At-Taubah) selu-ruhnya adalah Madaniyyah (diturunkan diMadinah) dan turun setelah Perang Tabuk.Jadi, antara penurunan ayat ini dan kema-tian Abû Thâlib ada rentang waktu sekitardua belas tahun.

Bagaimana mengompromikan fakta-

136

fakta ini dan hadis yang diriwayatkan dari‘Alî r.a. Dalam hal ini, perlu diambil satusikap, yaitu tidak sepatutnya mengabaikanfakta-fakta tersebut dengan memaksakankesimpulan bahwa ayat tersebut turun ber-kenaan dengan Abû Thâlib, meskipun halitu disebutkan dalam hadis-hadis yang di-muat dalam Shahîh Al-Bukhârî dan ShahîhMuslim. Sebab, kadang-kadang ada hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadislain yang harus lebih diutamakan daripadahadis-hadis yang terdapat dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim karena beberapaalasan yang menuntut demikian. Langkahini telah ditegaskan dalam ushûl al-hadîts(kaidah-kaidah ilmu hadis). Sementara itu,pendapat mereka yang mengatakan bahwahadis-hadis yang terdapat dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, atau salah satu-nya, harus didahulukan, bukanlah kaidahyang mutlak.

Keempat, yang dimaksud dengan ayahNabi Ibrâhîm a.s.—dalam surah At-Taubah:114—adalah pamannya, sebagaimana te-

137

lah saya jelaskan dalam pembahasan ten-tang keselamatan kedua orangtua Rasulul-lah Saw. di akhirat. Hal itu telah disepakatioleh Ahlul Kitab, baik dari kalangan Yahudimaupun Nasrani. Paman Nabi Ibrâhîm a.s.itu adalah Âzâr. Orang ini berprofesi seba-gai pembuat patung yang disembah seba-gai tuhan, sebagaimana disebutkan dalamAl-Quran. Âzâr pernah berkata kepada Ib-râhîm,

Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, haiIbrâhîm? (QS Maryam [19]: 46).

Sebaliknya, tidak ada hadis sahih yangmenyebutkan bahwa Abû Thâlib menuhan-kan berhala, menyembah batu, atau me-larang Nabi Saw. menyembah Allah Swt.Memang, ia tidak mengucapkan dua kali-mat syahadat secara terang-terangan atautidak melaksanakan kewajiban yang dite-tapkan Islam. Namun, hatinya dipenuhi ke-

138

imanan kepada Nabi Saw. Orang sepertiini tetap akan selamat di akhirat, menurutkeyakinan agama kita. Sungguh, tidaklahbijaksana, tidak sesuai dengan syariat yangmulia, dan tidak pula sesuai dengan kai-dah-kaidah yang telah ditetapkan para pe-muka ahli kalam bila Abû Thâlib diseja-jarkan dengan Âzâr, paman Nabi Ibrâhîma.s. Hassân r.a. berkata:

Apakah orang yang mencaci Rasulullah diantara kaliansama dengan orang yang memuji danmenolongnya?

Abû Thâlib adalah orang yang telahmemelihara dan mengasuh Nabi Saw. se-waktu kecil, memberikan tempat tinggal se-telah beliau dewasa, menolong, memu-liakan, melindungi, dan selalu memuji be-

139

liau dengan beberapa qashîdah-nya yang in-dah. Selain itu, ia juga menyenangi parapengikut beliau. Adapun, hadis yang diri-wayatkan dari ‘Amr bin Dînâr, yang telahdisebutkan di atas, tidak menunjukkan ke-musyrikannya. Dalam hadis itu disebutkanbahwa Nabi Saw. bersabda, “Ibrâhîm a.s. te-lah memohon ampunan bagi ayahnya, padahalia seorang musyrik. Oleh karena itu, aku akanselalu memohon ampunan bagi Abû Thâlibhingga Tuhanku melarangku melakukan halitu.”

Mungkin, hadis yang diriwayatkan ‘Amrbin Dînâr itu artinya, “Ibrâhîm a.s. telahmemohon ampunan bagi ayahnya, padahalia seorang musyrik. Lalu, mengapa aku ti-dak memohon ampunan bagi Abû Thâlib,padahal dosanya lebih kecil daripada dosakemusyrikan? Oleh karena itu, aku akanselalu memohon ampunan bagi Abû Thâlibsehingga Tuhanku melarangku melakukanhal itu.” Kenyataannya, Nabi Saw. tidak di-larang untuk memohon ampunan bagi AbûThâlib, tetapi beliau dilarang untuk memo-

140

hon ampun bagi orang-orang musyrik. La-rangan itu tidak dikhususkan bagi pamanbeliau, Abû Thâlib.

Kelima, sebuah riwayat yang dikutip da-lam Ad-Durr Al-Mantsûr melalui Ibn Jarîrdari Qatâdah, bahwa sekelompok sahabatNabi Saw. bertanya kepada beliau tentangmemohon ampunan kepada Allah bagiorangtua mereka. Ketika itu, RasulullahSaw. menjawab. “Demi Allah, sesungguhnyaaku benar-benar memohon ampunan bagi ayah-ku, sebagaimana Ibrâhîm telah memohon am-punan bagi ayahnya.” Kemudian, Allah Swt.menurunkan firman-Nya.

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan (kepa-da Allah) bagi orang-orang musyrik … (QS At-Taubah [9]: 113). Selanjutnya, Nabi Saw.bersabda, “Sesungguhnya telah diwahyu-kan kepadaku beberapa kalimat yang telahmasuk ke dalam kedua telingaku dan me-

141

netap di dalam hatiku, yaitu bahwa aku ti-dak boleh memohon ampunan bagi orangyang meninggal dalam kemusyrikan.”

Sabda Nabi Saw., “Demi Allah, sesung-guhnya aku benar-benar memohon ampunanbagi ayahku …” maksudnya adalah permo-honan ampunan bagi pamanku. Beliau ti-dak berkata, “Aku diperintahkan agar tidakmemohon ampunan baginya.” Akan tetapi,beliau berkata, “… bahwa aku tidak bolehmemohon ampunan bagi orang yang me-ninggal dalam kemusyrikan.” Sabda NabiSaw. tersebut merupakan jawaban bagi per-tanyaan para sahabat, di samping merupa-kan isyarat tersembunyi (implisit) bahwapamannya (Abû Thâlib) bukan seorangmusyrik.

Keenam, hadis-hadis tentang syafaatNabi Saw., bahwa beliau memberikan sya-faat kepada orang yang dalam hatinya ter-dapat keimanan walaupun lebih kecil, lebihkecil, dan lebih kecil lagi daripada biji sawi.

Ketujuh, hadis yang diriwayatkan IbnMâjah bahwa Ibn ‘Umar r.a. berkata, “Se-

142

orang Arab badui menemui Nabi Saw. laluberkata, ‘Dulu, ayahku adalah orang yangselalu menyambung silaturahim, … (ia me-nyebutkan kebaikan-kebaikannya yanglain). Di manakah tempatnya di akhirat?’Nabi Saw. menjawab, ‘Ia di neraka.’ Tam-paknya, jawaban itu membuatnya sedih.Lalu, ia bertanya, ‘Di manakah ayahmu?’Beliau menjawab, “Di mana saja kamu me-lewati kuburan seorang kafir, kabarkanlahbahwa ia adalah penghuni neraka.’ OrangArab badui itu pun memeluk Islam. Kemu-dian, ia berkata, ‘Rasulullah Saw. telah me-nyuruhku agar setiap kali aku melewati ku-buran seorang kafir, aku mengabarkan bah-wa ia adalah penghuni neraka.’”

Rasulullah Saw. memberikan jawabanyang umum kepada orang Arab badui itudengan sabdanya, “Di mana saja kamu me-lewati kuburan seorang kafir, kabarkanlahbahwa ia adalah penghuni neraka.” Beliaubiasa melakukan hal itu dalam memberikanjawaban bila ada orang Arab badui yangbertanya kepadanya. Sebab, beliau khawatir

143

bila memberikan jawaban yang jelas danterperinci atas pertanyaan orang Arab ba-dui, maka hatinya akan terguncang. Olehkarena itu, beliau sengaja memberikan ja-waban yang umum dan samar tetapi me-ngandung kebenaran.

Berkenaan dengan pertanyaan orangArab badui itu, Nabi Saw. tidak menyebut-kan secara jelas keadaan yang sebenarnya.Beliau menempatkan posisi ayahnya padaposisi ayah orang Arab badui itu. Sebab,jika beliau memberikan jawaban yang jelas,dikhawatirkan orang itu akan membantahkarena orang Arab badui dikenal memilikitabiat yang kasar dan hati yang keras. Jadi,beliau sengaja memberikan jawaban yangsamar untuk menyenangkan hatinya.

Hal yang sama juga disebutkan dalamriwayat Muslim, bahwa seseorang bertanyakepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, dimanakah ayahku?” Beliau menjawab, “Dineraka.” Ketika orang itu beranjak pergi,beliau memanggilnya, lalu beliau berkatakepadanya, “Ayahku dan ayahmu berada

144

di neraka.” Namun, hadis tersebut dinilaimunkar (diriwayatkan oleh perawi yang le-mah dan menyalahi hadis dari para perawiyang tepercaya) dan para ulama telah mem-bahasnya secara terperinci. Az-Zarqânî me-ringkas pembahasan itu dalam Syarh Al-Ma-wâhib. Di antaranya, ia berkata, “Dalam halini, sebaiknya dikatakan bahwa para perawitelah mengambil sikap yang berlebihan ter-hadap riwayat tersebut dan mereka ber-beda pendapat dalam hal itu. Padahal,yang benar adalah apa yang disebutkan da-lam riwayat pertama, ‘Di mana saja kamumelewati kuburan seorang kafir… (dan sete-rusnya).’ Dalam hal ini sangat diperlukanketelitian. Yang kami pahami, teks hadisini umum, yaitu ‘Di mana saja kamu melewatikuburan seorang kafir, kabarkanlah bahwa iaadalah penghuni neraka.’ Inilah yang ber-sumber dari Rasulullah Saw., tetapi seba-gian perawi memahami bahwa sabda beliauini meliputi juga ayah beliau. Mereka me-nyimpulkan bahwa ayah beliau adalah se-orang kafir. Lalu, mereka mengubah redak-

145

si hadis tersebut dan meriwayatkannya de-ngan makna sesuai dengan apa yang mere-ka pahami. Mereka menyebutkan bahwaNabi Saw. bersabda, ‘Ayahku dan ayahmuberada di neraka.’ Sementara itu, Âzâr ada-lah paman Nabi Ibrâhîm a.s., bukan ayah-nya. Iniah pendapat yang benar.”

Ibn Hajar Al-Haitamî mengatakan bah-wa Ahlul Kitab, baik dari kalangan Yahudimaupun Nasrani, sepakat bahwa Âzar bu-kan ayah Nabi Ibrâhîm a.s., tetapi paman-nya. Allah menyebut Âzar dalam Al-Quransebagai “ayah” karena orang-orang Arabbiasa memanggil paman dengan panggilan“ayah”. Al-Fakhr Ar-Râzî juga menegaskanhal ini. Ia berkata, “Dalam Al-Quran, ‘pa-man’ dipanggil ‘ayah’. Allah Swt. Berfir-man.

Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tu-han ayah-ayahmu (âbâ’ika), Ibrâhîm, Ismâ‘îl…(QS Al-Baqarah [2]: 133). Padahal, firman

146

Allah ini berkenaan dengan anak-anak Ya‘-qûb a.s., sedangkan Ismâ‘îl a.s. adalah pa-man Ya‘qûb a.s.”

Berkaitan dengan hal ini, sekelompokulama salaf dari generasi sebelum Ar-Râzîsebenarnya telah mengemukakan penda-pat seperti itu. Di antara mereka adalahIbn ‘Abbâs, Mujâhid, Ibn Jarîr, dan As-Sadî.Mereka mengatakan bahwa Âzâr bukanayah Nabi Ibrâhîm a.s., tetapi pamannya,karena ayah Ibrâhîm bernama Târikh.

Di antara ulama lain yang sepakat de-ngan pendapat Ar-Râzî adalah Al-Mâwardî.Ia adalah seorang pemuka dalam mazhabSyâfi‘î. Tentang firman Allah Swt..

Dan perpindahanmu di antara orang-orangyang sujud (QS Asy-Syu‘arâ’ [26]: 219), Al-Mâwardî mengemukakan pendapat yangsama dengan pendapat Ar-Râzî, bahwayang dimaksud dalam ayat tersebut adalahperpindahannya dari tulang sulbi-tulang

147

sulbi yang suci ke dalam rahim-rahim yangsuci. Ini adalah salah satu penafsiran terha-dap ayat tersebut, dan inilah penafsiranyang bisa diterima dan lebih masuk akal.

Ibn Sa‘ad, Al-Bazzâr, Ath-Thabrânî,dan Abû Na‘îm meriwayatkan bahwa ten-tang firman Allah Swt..

Dan perpindahanmu di antara orang-orangyang sujud (QS Asy-Syu‘arâ’ [26]: 219), Ibn‘Abbâs r.a. berkata, “Yaitu dari seorang nabike nabi yang lain sehingga Aku mengeluar-kanmu sebagai seorang nabi.” Ibn ‘Abbâsmenafsirkan ayat ini dengan “memindah-kannya dalam tulang sulbi-tulang sulbi pa-ra nabi” meskipun ada perantara-peran-tara di antara mereka. Ia juga menafsirkanayat ini secara lebih umum, tidak memba-tasi pada “tulang sulbi-tulang sulbi para na-bi”, tetapi dengan “orang-orang yang me-ngerjakan shalat yang selalu ada pada ketu-runan Ibrâhîm a.s.” Penafsiran terakhir ini

148

lebih jelas, karena meliputi orang-oranglain selain para nabi.

Ibn Al-Mundzir meriwayatkan bahwatentang firman Allah Swt..

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cu-cuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat(QS Ibrâhîm [14]: 40), Ibn Juraij berkata,“Senantiasa ada pada keturunan Ibrâhîmorang-orang yang berada dalam fitrah (ke-sucian). Mereka menyembah Allah Swt.”

Tentang firman Allah Swt..

Dan (Ibrâhîm) menjadikan kalimat tauhiditu kalimat yang kekal pada keturunannya (QSAz-Zukhruf [43]: 28), Ibn ‘Abbâs r.a. danMujâhid mengatakan bahwa yang dimak-sud dengan kalimat tauhid itu adalah lâ ilâ-ha illallâh (tiada tuhan selain Allah). Kali-mat ini kekal pada keturunan Ibrâhîm a.s.

149

Tentang ayat di atas, Qatâdah berkata,“Ayat ini adalah kesaksian bahwa tiada tu-han selain Allah (lâ ilâha illallâh), dan se-nantiasa ada dalam keturunan Ibrâhîm a.s.orang yang mengucapkan kalimat tauhidsepeninggalnya.”

Dalam beberapa hadis sahih, melaluibeberapa jalur yang sahih pula, diriwayat-kan bahwa bumi ini tidak pernah kosongdari tujuh orang Islam. Di antaranya ada-lah hadis yang diriwayatkan oleh ‘AbdurRazzâq dan Ibn Al-Mundzir dengan sanadyang sahih sesuai kriteria-kriteria yang di-tetapkan oleh Al-Bukhârî dan Muslim, bah-wa dari ‘Alî r.a. berkata, “Di muka bumi iniakan senantiasa ada tujuh orang Islam…(dan seterusnya). Sekiranya bukan karenamereka, niscaya bumi ini dan siapa sajayang ada di atasnya akan binasa.”

Imam Ahmad—Az-Zuhud—meriwa-yatkan hadis dengan sanad yang sahih se-suai dengan kriteria-kriteria yang ditetap-kan oleh Al-Bukhârî dan Muslim, bahwaIbn ‘Abbâs r.a. berkata, “Sepeninggal Nûh

150

a.s., bumi ini tidak pernah kosong dari tu-juh orang yang dengan perantaraan me-reka, Allah menjaga penduduk bumi.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Aku diutusdalam sebaik-baik generasi anak Âdam. Genera-si demi generasi berlalu, dan aku diutus dalamgenerasi yang aku berada di dalamnya.” (HRAl-Bukhârî)

Jika kita mengkaji hadis-hadis di atas—”Di muka bumi ini akan senantiasa ada tu-juh orang Islam… (dan seterusnya). Sekira-nya bukan karena mereka, niscaya bumi inidan siapa saja yang ada di atasnya akanbinasa”, “Sepeninggal Nûh a.s., bumi initidak pernah kosong dari tujuh orang yangdengan perantaraan mereka, Allah menja-ga penduduk bumi”, dan “Aku diutus da-lam sebaik-baik generasi anak Âdam. Ge-nerasi demi generasi berlalu, dan aku di-utus dalam generasi yang aku berada di da-lamnya”—niscaya hal itu sesuai dengan apayang dikatakan oleh Ar-Râzî, bahwa ayahdan kakek-kakek Rasulullah Saw. adalahorang-orang yang mengesakan Allah. Se-

151

bab, jika setiap orang dari kakek-kakek Ra-sulullah Saw. termasuk di antara tujuhorang yang disebutkan dalam hadis itu,maka dalam hal ini bisa diterima, walaupunmungkin saja ketujuh orang bukan mereka.Jika dikatakan bahwa mereka mengikutiagama yang hanif, yakni agama Ibrâhîma.s., maka hal ini pun bisa diterima. Seba-liknya, jika dikatakan bahwa mereka musy-rik, maka hal itu tidak akan luput dari duahal. Pertama, orang lain lebih baik daripadamereka. Namun, hal ini adalah tidak bisaditerima karena bertentangan dengan ha-dis sahih yang menyebutkan bahwa merekaadalah sebaik-baik generasi anak Âdam.Kedua, mereka lebih baik, tetapi merekamusyrik, maka hal ini pun tidak bisa diteri-ma karena bertentangan dengan ijma. AllahSwt. Berfirman.

Sesungguhnya budak yang Mukmin lebihbaik daripada orang musyrik (QS Al-Baqarah

152

[2]: 221). Dengan demikian, terbukti bahwamereka adalah para penganut agama tau-hid. Mereka adalah penghuni bumi terbaikpada zaman mereka.

As-Suyûthî dan lain-lain, yang telahmenulis tentang keselamatan para leluhurRasulullah Saw. di akhirat, menyebutkanbanyak dalil dan bukti yang kuat tentanghal itu. Mereka menyebutkan biografi ma-sing-masing dari para leluhur RasulullahSaw. Dalam banyak hadis sahih disebutkanbahwa Nabi Saw. bersabda, “Aku senantiasaberpindah dari tulang sulbi-tulang sulbi yangsuci ke dalam rahim-rahim yang suci.” Dalamriwayat lain disebutkan, “Allah senantisa me-mindahkanku dari tulang sulbi-tulang sulbi ke-turunan yang mulia ke dalam rahim-rahim yangsuci.”

Berdasarkan hal ini, sebagian ulamamenafsirkan firman Allah Swt..

Dan perpindahanmu di antara orang-orangyang sujud (QS Asy-Syu‘arâ’ [26]: 219) dan

153

sabda Nabi Saw., “Aku senantiasa berpindahdari tulang sulbi-tulang sulbi yang suci ke dalamrahim-rahim yang suci” bahwa tak satu pundari ayah, ibu, kakek, dan nenek Nabi Saw.hingga Âdam a.s. dan Hawâ’ yang kafir, ka-rena orang kafir tidak bisa disebut suci.Berkaitan dengan hal ini, pengarang Al-Hamziyyah berkata:

Dalam batin alam ini senantiasa terkan-dungKakek dan nenek pilihan bagimu.

Rasulullah Saw. bersabda, “Aku sama se-kali tidak pernah dilahirkan dari seorang pezinasejak aku dikeluarkan dari sulbi Âdam. Aku se-nantiasa diperebutkan oleh bebagai umat yangmulia hingga aku dikeluarkan dari yang pa-ling utama di antara dua kabilah Arab, yaituBani Hâsyim dan Bani Zuhrah.”

154

Agama ‘Abdul Muththalib

Karena Abû Thâlib pernah mengatakanbahwa ia mengikuti agama ‘Abdul Muth-thalib, maka kita akan menyebutkan seba-gian pendapat mereka tentang ‘AbdulMuththalib. Hal itu agar kita mengetahuidengan yakin bahwa ‘Abdul Muththalibadalah pengikut agama tauhid. Salah satupendapat mereka tentang ‘Abdul Muth-thalib adalah bahwa Abû Thâlib tumbuhdengan sifat-sifat yang sempurna dan men-duduki kedudukan yang paling tinggi da-lam kepemimpinan Quraisy sepeninggal‘Abdul Muththalib. Kepada anak-anaknya,‘Abdul Muththalib berpesan agar mening-galkan kezaliman dan perbuatan keji. Iamendorong mereka agar memiliki akhlakyang mulia dan melarang mereka menger-jakan tindakan-tindakan yang tercela. Iapernah berkata, “Seorang yang zalim tidakakan meninggalkan dunia ini sebelum Allahmenghukumnya dan menimpakan benca-na kepadanya.”

Suatu ketika, seorang penduduk Syam

155

yang zalim meninggal dunia, dan ia tidakditimpa bencana apa pun. Hal itu disam-paikan kepada ‘Abdul Muththalib. Ia punberpikir sesaat, lalu berkata, “Demi Allah,setelah kehidupan ini ada kehidupan yanglain. Di sana, orang yang berbuat kebaikanakan dibalas dengan kebaikan, dan orangyang berbuat keburukan akan dibalas de-ngan keburukan.” Artinya, orang zalimakan mendapatkan siksaan. Oleh karenaitu, jika orang zalim meninggal dunia, se-mentara ia tidak ditimpa bencana, makasiksaan akan diperolehnya di akhirat kelak.Hal ini menunjukkan keimanan ‘AbdulMuththalib akan adanya hari kiamat. Iamendapatkan keimanan ini melalui firasatyang benar, yaitu cahaya Tuhan yang di-pancarkan ke dalam hatinya.

‘Abdul Muththalib adalah orang yangmenolak peribadatan kepada berhala danmengakui keesaan Allah Swt. Pada zaman-nya, syariat belum ditetapkan. Oleh karenaitu, ibadah yang dilakukan oleh ‘AbdulMuththalib adalah tafakur atas nikmat-nik-

156

mat Allah dan ciptaan-Nya, menyambung-kan silaturahim, berbuat kebajikan, danberbudi pekerti yang luhur. Ia sering ber-khalwat di Gua Hira untuk mengonsen-trasikan pikiran dan hatinya. Ia tekunmerenungkan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah yang menunjukkan keber-adaan-Nya. Diriwayatkan bahwa dialahyang menetapkan beberapa ketentuan(sunnah) dan memerintahkan orang-oranguntuk mengerjakannya. Di antara keten-tuan-ketentuan ditetapkan oleh ‘AbdulMuththalib adalah menepati nazar, mela-rang pernikahan dengan sesama muhrim,memotong tangan pencuri, melarangpenguburan anak perempuan hidup-hi-dup, mengharamkan khamar dan perzina-an, dan melarang thawaf di Baitullah (Ka‘-bah) dalam keadaan telanjang. Ia jugaorang pertama yang menetapkan diat be-rupa seratus ekor unta—bagi orang yangmembunuh orang yang tak bersalah. Sete-lah itu, datanglah syariat Islam yang me-nguatkan dan menetapkan ketentuan-ke-

157

tentuan tersebut. Dialah orang yang ba-dannya selalu harum, dan keharumannyamenyebarkan wangi kesturi. Cahaya NabiSaw. pun bersinar di wajahnya. Berkenaandengan hal itu, seorang penyair berkata:

Adalah keluhuran Syaibah Al-Hamd(‘Abdul Muththalib)wajahnya menerangi malam laksana bulanpurnama.

Jika masa paceklik yang hebat tiba,kaum Quraisy mendatangi ‘Abdul Muth-thalib. Mereka memintanya agar memohonkepada Allah supaya diturunkan hujan ke-pada mereka. Allah pun mengabulkan doa-nya dan menurunkan hujan kepada mere-ka. Ketika tentara bergajah datang hendakmerobohkan Ka‘bah, mereka binasa berkatdoa ‘Abdul Muththalib di Baitullah. Ia ber-

158

munajat kepada Allah Swt. sambil berkata:

Ya Tuhanku, tak kuharap selain Engkauatas mereka.Ya Tuhanku, cegahlah lindungan-Mu padamereka.Musuh Rumah ini (Ka‘bah) telah menan-tang-Mu.Cegahlah mereka dari merobohkan pela-taran-Mu.

Tentara bergajah itu merampas seka-wanan milik ‘Abdul Muththalib. Lalu ‘AbdulMuththalib menemui Abrahah, pemimpinmereka untuk menuntut pembebasan unta-untanya. Abrahah memuliakannya dan

159

mempersilakannya duduk di atas sofa ber-samanya. Ketika ‘Abdul Muththalib menun-tut kepada Abrahah pengembalian unta-unta miliknya, Abrahah berkata, “Wibawa-mu telah jatuh di mataku. Aku datang kesini untuk merobohkan Rumah ini yangmenjadi simbol agamamu dan agama ne-nek moyangmu. Tetapi mengapa sekawan-an unta yang diambil darimu telah melalai-kanmu dari Rumah itu?” ‘Abdul Muththalibmenjawab, “Aku adalah pemilik unta-untaini, sedangkan Rumah itu ada Pemilik-Nyayang akan melindungi-Nya.” Kemudian,‘Abdul Muththalib berkata kepada kaumQuraisy, “Wahai sekalian kaum Quraisy, ke-tahuilah bahwa ia tidak akan sanggupmenghancurkan Rumah ini, karena Ru-mah ini ada Pemilik-Nya yang akan melin-dungi-Nya.” Tiba-tiba, datanglah sekawan-an burung Ababil yang membinasakan Ab-rahah dan pasukannya.

‘Abdul Muththalib memiliki unta yangsangat banyak. Pada musim haji, ia me-ngumpulkan unta-untanya. Lalu ia me-

160

nampung air susunya dalam sebuah wadahyang besar dan mencampurnya denganmadu, dan meletakkannya di dekat sumurZamzam. Ia juga membeli kismis dan mem-bersihkannya dengan air zamzam. Lalu iamemberi minum para jamaah haji.

Setelah ‘Abdul Muththalib wafat, tugasmemberi minum para jamaah haji diambilalih oleh Abû Thâlib. Setelah Abû Thâlibwafat, tugas itu diteruskan oleh Al-‘Abbâs.

Di antara syair-syair ‘Abdul Muththalibadalah sebagai berikut:

Ya Tuhanku, Engkau Maharaja dan MahaTerpuji.Engkau Tuhanku Yang Maharaja dan pa-tut disembah.

161

Dari sisi-Mu kedatangan harta dan anak.

‘Abdul Muththalib sangat memuliakandan mengagungkan Nabi Saw. ketika beliaumasih kanak-kanak. Ia berkata, “Sesung-guhnya anakku ini akan memiliki keduduk-an yang agung.” Ia telah mendengar daripara tukang ramal dan pendeta banyak haltentang Nabi Saw. sebelum dan sesudah be-liau dilahirkan.

‘Abdul Muththalib adalah seorang pe-mimpin kaum Quraisy yang kedudukannyasangat dimuliakan. Mereka menghampar-kan permadani di sisi Ka‘bah untuk ‘AbdulMuththalib. Lalu ia duduk di atas perma-dani itu, sementara para pemuka Quraisyberkumpul di sekelilingnya, dan tidak adaseorang pun berani duduk di atas perma-dani itu, apalagi menginjakkan kaki di atas-nya. Ketika masih kanak-kanak, Nabi Saw.biasa menerobos kerumunan orang ba-nyak, lalu beliau masuk dan duduk di sam-ping kakeknya, ‘Abdul Muththalib. Ka-dang-kadang, beliau datang lebih dalu se-

162

belum kakeknya, lalu beliau duduk di ataspermadani untuk ‘Abdul Muththalib. Jikasalah seorang di antara paman-pamannyahendak mencegah beliau duduk di ataspermadani untuk kakeknya itu, ‘AbdulMuththalib menghardiknya seraya berkata,“Biarkanlah dia, karena kelak dia akan me-miliki kedudukan yang tinggi.” Kemudian,‘Abdul Muththalib mendudukkan beliau disampingnya dan menepuk-nepuk pung-gungnya. Kebahagiaan ‘Abdul Muththalibkepada cucunya yang satu ini tampak dariapa yang ia lakukan terhadapnya.

Ketika ‘Abdul Muththalib wafat, NabiSaw. masih berusia delapan tahun. Sebe-lumnya, ‘Abdul Muththalib telah berwasiatkepada paman Nabi Saw., Abû Thâlib, agarmemelihara beliau. Abû Thâlib adalah sau-dara kandung ayah beliau, ‘Abdullâh, se-dangkan ibu mereka adalah Fâthimah binti‘Amr bin ‘Â’idz bin ‘Amr bin Makhzûm.

Diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbâs r.a. ber-kata, “Saya pernah mendengar ayahku, Al-‘Abbâs, berkata, ‘‘Abdul Muththalib me-

163

miliki sebuah permadani di Hijir Isma‘îl(di samping Ka‘bah) untuk tempat duduk-nya. Tidak ada seorang pun yang beraniduduk di atas permadani itu. Sementaraitu, Harb bin Umayyah dan lain-lain di an-tara para pembesar Quraisy duduk di se-kitarnya. Pada suatu hari, Muhammad Saw.yang masih kanak-kanak datang, lalu du-duk di atas permadani itu. Tiba-tiba sese-orang menariknya, sehingga beliau mena-ngis. Kemudian, ‘Abdul Muththalib datangdan bertanya, ‘Mengapa cucuku mena-ngis?’ Orang-orang menjawab, ‘Ia hendakduduk di atas permadani ini, dan merekamelarangnya.’ ‘Abdul Muththalib berkata,‘Biarkanlah cucuku ini duduk di atas per-madani ini, karena ia merasakan kemuliaanpada dirinya. Aku berharap ia akan menda-patkan kemuliaan yang belum pernah di-raih oleh seorang Arab pun, baik sebelummaupun sesudahnya.’ Setelah peristiwa itu,mereka tidak pernah melarang Muham-mad Saw. duduk di atas permadani itu, baik‘Abdul Muththalib ada maupun tidak ada.”

164

Dalam riwayat lain disebutkan, “Biar-kanlah ia duduk di atas permadani ini, ka-rena sesungguhnya ia menyenangi kera-jaan.”

Dalam riwayat lain lagi disebutkan,“Karena sesungguhnya dirinya berbicarakepadanya tentang kerajaan yang besar,dan ia akan memiliki kedudukan yang mu-lia.”

‘Abdul Muththalib adalah seorang ber-ilmu di kalangan Quraisy dan orang yangpaling bijaksana. Doanya selalu dikabul-kan. Ia juga mengharamkan khamar atasdirinya. Ia adalah orang pertama yang ber-tahannuts di Gua Hirâ’, yakni beribadah se-lama beberapa malam di sana. Pada bulanRamadhan, ia pergi ke gunung dan mem-beri makan orang-orang miskin. Ia pergike gunung untuk mengasingkan diri dariorang banyak untuk merenungkan ke-agungan dan kebesaran Allah.

‘Abdul Muththalib biasa membawa ma-kanan ke puncak gunung untuk memberimakan burung-burung dan binatang-bina-

165

tang liar. Oleh karena itu, a dijuluki Muth‘imAth-Thair (pemberi makan burung) dan Al-Fayyâdh (sang dermawan). Ketika ‘AbdulMuththalib dilahirkan, di kepalanya terda-pat uban. Oleh karena itu, ia dipanggil Syai-bah Al-Hamd (uban pujian) dengan harapanakan berumur panjang dan mendapatkanpujian dari orang banyak. Allah Swt. mewu-judkan hal itu, sehingga ‘Abdul Muththalibbanyak mendapatkan pujian dari orang ba-nyak. Sebab, ia menjadi tempat berlindungkaum Quraisy ketika terjadi bencana dantempat mereka merujuk dalam segala urus-an. Ia adalah pemuka dan pemimpin kaumQuraisy yang sempurna, dan ia hidup sela-ma seratus empat puluh tahun serta memi-liki banyak keutamaan.

Di antara keutamaan-keutamaan ‘Ab-dul Muththalib adalah penggalian kembalisumur Zamzam, yang sepeninggal Ismâ‘îla.s., bekasnya telah hilang. Melalui sebuahmimpi, ia diperintahkan agar menggalikembali sumur Zamzam, dan ditunjukkanpula di mana tempatnya. Kisah mengenai

166

hal itu sangat panjang dan disebutkan da-lam buku-buku sejarah. Dalam As-Sîrah Al-Hilbiyyah, diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbâsr.a. berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Ka-kekku, ‘Abdul Muththalib, akan dibangkitkanpada hari kiamat dengan memakai pakaian pa-ra raja dan kebesaran para bangsawan.’”

Diriwayatkan bahwa ‘Abdul Muththalibdikaruniai cahaya para nabi dan keindahanpara raja, dan dia akan dibangkitkan seba-gai umat yang satu. Sebab, ia mengikutiagama tauhid. Hal ini dikabarkan oleh Na-bi Saw. dari orang-orang seperti Zaid bin‘Amr bin Nufail dan Waraqah bin Naufal,bahwa ia akan dibangkitkan sebagai satuumat. Orang yang dibangkitkan sebagai sa-tu umat, sudah tentu ia diberi cahaya paranabi, karena ia seorang yang mandiri, tidakmengikuti siapa pun.

Tentang keindahan para raja yang di-berikan kepada ‘Abdul Muththalib, hal itukarena ia adalah pemimpin kaum Quraisypada zamannya. Ia disejajarkan dengan pa-ra raja yang menegakkan keadilan dan ti-

167

dak berlaku sewenang-wenang. Dalil yangmenegaskan hal ini adalah hadis yang diri-wayatkan oleh Al-Baihaqî dan Abû Na‘îmbahwa Ka‘ab Al-Ahbâr berkata, “DalamTaurat, tertulis sifat-sifat umat MuhammadSaw., yaitu pada hari kiamat, mereka akandikaruniai cahaya para nabi.”

Ringkasnya, siapa saja yang menelaahpenjelasan yang dikemukakan oleh paraulama berkenaan dengan biografi ‘AbdulMuththalib, ia akan mengetahui dengan se-yakin-yakinnya bahwa ‘Abdul Muththalibadalah pengikut agama tauhid, dan begitupula semua leluhurnya hingga Âdam a.s.Oleh karena itu, dimaklumi bahwa ucapanAbû Thâlib bahwa ia mengikuti agama ‘Ab-dul Muththalib merupakan isyarat bahwaia mengikuti agama tauhid dan budi peker-ti yang luhur. Seandainya tidak ada isyarat-isyarat Abû Thâlib yang menunjukkan ke-imanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa,kecuali ucapannya bahwa ia mengikuti aga-ma ‘Abdul Muththalib, hal itu sudah cukupuntuk membuktikan keimanannya.

168

Alangkah tepat metode yang diguna-kan oleh Allâmah Sayyid Muhammad binRasûl Al-Barzanjî dalam mengupas per-soalan keimanan Abû Thâlib ini, yang tidakpernah dilakukan oleh siapa pun sebelum-nya. Metode ini pasti disenangi oleh setiapMukmin yang memiliki penilaian yang adil.Sebab, dengan metode ini, tidak ada satudalil pun yang diingkari atau dinilai lemah.Ia hanya memberikan penafsiran yang logisdengan menghilangkan hal-hal yang sa-mar, menggali makna-makna lain yang ter-sembunyi di dalamnya, dan meng-hilangkan celah-celah perdebatan. Dengandemikian, diperoleh kesenangan hati Ra-sulullah Saw. karena tidak muncul celaandan kemarahan kepada Abû Thâlib, karenahal itu akan menyakiti hati beliau. AllahSwt. Berfirman.

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti

169

Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinyadi dunia dan di akhirat, dan menyediakan ba-ginya siksa yang menghinakan (QS Al-Ahzâb[33]: 57).Allah Swt. juga telah berfirman.

Dan orang-orang yang menyakiti Ra-sulullah itu, bagi mereka azab yang pedih(QS At-Taubah [9]: 61).

Ahmad bin Al-Husain Al-Mûshilî Al-Hanafî, yang dikenal dengan Ibn Wahsyî,menyebutkan—dalam anotasinya terhadapbuku Syihâb Al-Akhbâr karya Allâmah Mu-hammad bin Salâmah Al-Qadhâ‘î (w. 454H)—berkata, “Membenci Abû Thâlib me-rupakan kekafiran.” Hal ini juga ditegas-kan oleh ulama pemuka mazhab Mâlikî, se-perti Allâmah ‘Alî Al-Ajhûrî (dalam Al-Fatâ-wâ) dan At-Tilmisânî dalam anotasinya ter-hadap buku Asy-Syifâ’. Ketika disebutkannama Abû Thâlib, ia berkata, “Tidak pantasmenyebut namanya, tetapi sebutlah ‘pelin-

170

dung Nabi Saw.’, karena ia telah melin-dungi Nabi Saw. dengan ucapan dan per-buatannya. Sementara itu, menyebutnyadengan kejelekan berarti menyakiti NabiSaw., menyakiti Nabi Saw. merupakan keka-firan, dan orang kafir harus dibunuh.” De-mikian pula, Abû Ath-Thâhir berkata, “Ba-rangsiapa membenci Abû Thâlib, ia adalahkafir.”

Ringkasnya, menyakiti Nabi Saw. me-rupakan kekafiran, dan pelakunya harus di-bunuh jika ia tidak bertobat. Bahkan menu-rut mazhab Mâlikî, pelakunya harus dibu-nuh meskipun ia sudah bertobat.

Ath-Thabrânî dan Al-Baihaqî meri-wayatkan bahwa seorang putri Abû Lahabyang bernama Sabî‘ah—menurut riwayatlain, bernama Durrah—datang ke Madinahsetelah memeluk Islam dan berhijrah. Ke-mudian, seseorang berkata kepadanya,“Hijrahmu tidak berguna bagimu, karenakamu adalah putri seorang perempuanpembawa kayu bakar api neraka.” PutriAbû Lahab merasa sakit hati dengan ucap-

171

an orang itu. Lalu ia mengadukan hal itukepada Nabi Saw. Mendengar pengaduanitu, beliau sangat marah, lalu naik mimbardan bersabda, “Mengapa ada sekelompok orangyang menyakitiku melalui nasab dan kerabatku?Barangsiapa menyakiti nasab dan kerabatku,sesungguhnya ia telah menyakitiku. Barang-siapa telah menyakitiku, sesungguhnya ia telahmenyakiti Allah Swt.”

Dengan demikian, membenci AbûThâlib dan berbicara buruk tentangnyaberarti menyakiti Rasulullah Saw. dan anakketurunannya yang ada pada setiap masa.Padahal, Rasulullah Saw. bersabda, “Ja-nganlah menyakiti orang-orang yang masih hi-dup dengan mencaci para kerabat mereka yangtelah meninggal dunia.”

Selain itu, banyak ulama dari kalanganmuhaqqiq, para arif billâh (mereka yang telahmencapai tingkat makrifat yang tinggi),dan mereka yang telah memperoleh pe-nyingkapan batin (arbâb al-kasyf) menegas-kan bahwa Abû Thâlib selamat di akhirat.Termasuk di antara mereka adalah Al-Qur-

172

thubî, As-Subkî, dan Asy-Sya‘rânî. Merekaberkata, “Itulah yang kami yakini, dan kamiberagama kepada Allah atas dasar keyakin-an ini.”

Meskipun penjelasan mereka tentangkeimanan Abû Thâlib berbeda dengan pen-jelasan yang diberikan oleh Al-Barzanjî, te-tapi ulama yang disebut terakhir ini sepakatdengan mereka bahwa Abû Thâlib selamatdi akhirat. Dengan demikian, meyakinipendapat mereka tentang keimanan AbûThâlib merupakan tindakan yang lebihaman bagi seorang hamba di sisi Allah Swt.,terutama setelah ada dalil-dalil dan bukti-bukti kuat yang dikemukakan oleh AllâmahAl-Barzanjî.

Sementara itu, mengenai dalil-dalilyang dikemukakan oleh orang-orang yangberpendapat bahwa Abû Thâlib tidak sela-mat di akhirat, yaitu bahwa Nabi Saw. tidakmemberikan harta warisan Abû Thâlib ke-pada Ja‘far dan ‘Alî karena perbedaan aga-ma, Al-Barzanjî menjawabnya dengan be-berapa alasan. Di antaranya, ia mengata-

173

kan bahwa ketika Abû Thâlib meninggal,hukum waris belum disyariatkan. Hukumyang berlaku pada masa itu, yang berkaitandengan harta warisan, adalah harta ter-sebut dibagi menurut wasiat dari pemilik-nya. Dengan demikian, Abû Thâlib mung-kin telah mewasiatkan hartanya kepada‘Aqîl, karena ia sangat mencintai putrabungsunya ini. Atau, mungkin juga ‘Aqîlmengambilnya sebagai harta warisan. NabiSaw. membiarkan tindakan Abû Thâlib,dan beliau juga membiarkan ‘Aqil karenapenilaian lahiriah sebagai kafir menuruthukum-hukum duniawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa adaayat lain yang diturunkan berkenaan de-ngan Abû Thâlib, yaitu ayat:

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu(Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pem-

174

bawa berita gembira dan pemberi peringatan,dan kamu tidak akan diminta (pertanggungja-waban) tentang penghuni-penghuni neraka(QS Al-Baqarah [2]: 119). Namun, penda-pat ini dinilai sangat lemah, sebagaimanajuga pendapat yang mengatakan bahwaayat ini turun berkenaan dengan keduaorangtua Nabi Saw. Bahkan, hal itu tidakbisa diterima dan tidak berdasar sama se-kali, karena ayat tersebut turun berkenaandengan orang-orang Yahudi. Abû Hay-yân—dalam Al-Bahr—mengatakan bahwaayat-ayat sebelum ayat ini semuanya me-nunjukkan hal itu, yakni turun berkenaandengan orang-orang Yahudi.

Adapun, mengenai pendapat yang ber-tentangan dengan pendapat di atas, yaitubahwa ayat ini terpisah dari rangkaian ayat-ayat sebelumnya, seperti yang ditunjukkanoleh Abû Mas‘ûd dalam kitab tafsirnya, Al-Barzanjî menyebutkan banyak hadis yangmenunjukkan keimanan Abû Thâlib. Ke-mudian, ia mengatakan bahwa meskipunsebagian hadis tersebut dinilai lemah, teta-

175

pi karena banyak, sebagiannya menguat-kan sebagian yang lain. Terlebih lagi, keba-nyakan hadis tersebut berkualitas sahih. Sa-lah satu hadis sahih tentang hal itu adalahapa yang diriwayatkan oleh Ibn Sa‘ad danIbn ‘Asâkir bahwa ‘Alî r.a. berkata, “Sayamenyampaikan berita kematian Abû Thâlibkepada Nabi Saw. Mendengar berita itu, be-liau menangis. Lalu beliau bersabda, ‘Pergi-lah, lalu mandikan, kafani, dan kuburkan-lah dia! Semoga Allah mengampuni danmerahmatinya.’ Saya melaksanakan apayang beliau perintahkan.”

Dalam As-Sîrah Al-Hilbiyyah disebutkanhadis serupa yang diriwayatkan oleh AbûDâwûd, An-Nasâ’î, Ibn Al-Jârûd, dan IbnKhuzaimah bahwa ‘Alî r.a. berkata, “KetikaAbû Thâlib meninggal, saya menyampai-kan berita kematiannya kepada Nabi Saw.Mendengar berita itu, beliau menangis. La-lu beliau berkata, ‘Pergilah, lalu mandikan,kafani, dan kuburkanlah dia! Semoga Al-lah mengampuni dan merahmatinya.’”

176

Hadis-hadis tentang Syafaat

Meskipun penjelasan tentang Abû Thâlibyang telah dikemukakan di atas dirasakantelah memadai, tetapi tidak ada salahnyabila dikemukakan penjelasan tambahanuntuk menguatkannya, yaitu dengan mem-bahas hadis-hadis tentang syafaat. Mu‘âdzbin Jabal r.a. dan Abû Mûsâ r.a. meriwayat-kan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Se-sungguhnya Tuhanku telah menawarkan duapilihan kepadaku, yaitu memasukkan separoumatku ke surga atau hak pemberian syafaat.Aku memilih hak pemberian syafaat bagi mereka.Aku tahu bahwa dengan syafaat itu, akan lebihbanyak di antara mereka yang masuk surga.Syafaatku diberikan kepada orang yang mening-gal dalam keadaan tidak menyekutukan Allahdengan sesuatu apa pun.” (HR Imam Ahmad,Ath-Thabrânî, dan Al-Bazzâr)

Abû Mûsâ r.a. meriwayatkan bahwa Ra-sulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya akumenangguhkan syafaatku (hingga di akhirat)dan memberikannya kepada siapa saja dari

177

umatku yang meninggal tanpa menyekutukanAllah dengan sesuatu apa pun.” (HR ImamAhmad, Ibn Abî Syaibah, dan Ath-Thab-rânî)

Abû Dzar r.a. meriwayatkan bahwa Ra-sulullah Saw. bersabda, “Syafaatku akan dibe-rikan kepada mereka, insya Allah, yang tidakmenyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.’(HR Abû Ya‘lâ dan Abû Na‘îm)

‘Auf bin Mâlik meriwayatkan bahwa Ra-sulullah Saw. bersabda, ‘Aku telah memohonkepada Allah bagi setiap hamba dari umatkuyang mengesakan-Nya, ketika ia berjumpa de-ngan-Nya, agar dimasukkan ke dalam surga.”

‘Abdullâh bin ‘Umar r.a. meriwayatkanbahwa Rasulullah Saw. mengutip ucapanIbrâhîm a.s.,

“Barangsiapa mengikutiku, ia termasuk go-longanku, dan barangsiapa mendurhakan-ku, maka Engkau Maha Pengampun danMaha Penyayang” (QS Ibrâhîm [14]: 36).

178

Dan ucapan ‘Âsâ a.s..

“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguh-nya mereka adalah hamba-hamba-Mu, danjika Engkau mengampuni mereka, maka se-sungguhnya Engkau Mahaperkasa danMahabijaksana” (QS Al-Mâ’idah [5]:118).

Kemudian, Rasulullah Saw. mengang-kat kedua tangannya sambil berkata,“Umatku, umatku.” Beliau pun menangis.Oleh karena itu, Allah berfirman, “WahaiJibril, pergilah kepada Muhammad, lalukatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Kamiakan menjadikanmu senang terhadapumatmu, dan Kami tidak akan menyusah-kanmu.’” (HR Muslim)

‘Alî r.a. meriwayatkan bahwa RasulullahSaw. bersabda, “Aku akan terus memberikansyafaat kepada umatku hingga Tuhanku berta-

179

nya kepadaku, ‘Apakah kamu telah puas, wahaiMuhammad?’ Aku jawab, ‘Benar, wahai Tuhan-ku, aku telah puas.’” (HR Al-Bazzâr dan Ath-Thabrânî)

Abû Sa‘îd Al-Khudrî r.a. meriwayatkanbahwa ‘Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sesung-guhnya aku telah menangguhkan syafaatku bagiumatku, dan syafaatku akan diraih oleh mereka,insya Allah, yang meninggal dalam keadaantanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.’” (HR Ath-Thabrânî dalam Al-Ausathdengan sanad hasan)

Perhatikanlah hadis-hadis ini. Semua-nya menunjukkan bahwa syafaat Nabi Saw.tidak akan didapatkan oleh orang musyrik.Sementara itu, Abû Thâlib mendapatkansyafaat tersebut, seperti dijelaskan dalamhadis-hadis yang sahih. Atas dasar ini, kitatahu dengan seyakin-yakinnya bahwa AbûThâlib adalah orang yang mengimani ke-nabian, kejujuran, dan kebenaran agamaNabi Muhammad Saw. Hal ini sudah cukupmenjadi bukti atas keimanannya.

Berdasarkan semua penjelasan ini, kita

180

harus mengatakan bahwa Abû Thâlib ada-lah seorang Mukmin dan selamat di akhi-rat. Hal ini tidak bertentangan dengan ha-dis-hadis yang lahiriahnya menyebutkantentang kekafiran Abû Thâlib dan penem-patannya di neraka. Sebab, telah kita keta-hui bahwa kekafirannya hanya dilihat darisudut pandang hukum-hukum duniawi,yakni dari sudut pandang lahiriah syariat.

Sementara itu, penempatan Abû Thâ-lib di neraka, hal itu mungkin disebabkanadanya satu kewajiban yang ia tinggalkan.Namun, hal itu tidak menyebabkannyamendapatkan siksaan yang kekal di sana.Selain itu, tidak ada satu dalil pun yangmenyebutkan bahwa Abû Thâlib kekal dineraka, di samping penjelasan yang telahsaya kemukakan tentang sebab turun ayatyang berisi larangan untuk memohon am-punan bagi orang musyrik. Firman AllahSwt..

181

Sesungguhnya kamu tidak akan dapatmemberi petunjuk kepada orang yang kamukasihi, tetapi Allah memberi petunjuk ke-pada orang yang dikehendaki-Nya (QS Al-Qashash [28]: 56)

Tidak menafikan keimanan Abû Thâ-lib. Sebab, ayat ini menunjukkan bahwaNabi Muhammad Saw. tidak dapat membe-rinya petunjuk, tetapi hanya Allah yang da-pat memberikan petunjuk kepada siapa sa-ja yang Dia kehendaki.

Dengan demikian, saya tegaskan bah-wa Allah telah memberikan petunjuk kepa-da Abû Thâlib. Hal ini, seperti telah dike-mukakan sebelumnya, dikuatkan dengankesaksian Al-‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalibr.a. yang memberitahukan kepada NabiSaw. bahwa Abû Thâlib telah mengucapkankalimat syahadat. Ketika itu, Nabi Saw. ber-kata, “Aku tidak mendengarnya.” Beliaumengatakan demikian berdasarkan keada-an lahiriahnya, dan tidak tertutup kemung-kinan bahwa kemudian Allah memberita-

182

hukan keimanan Abû Thâlib kepada NabiSaw. Oleh karena itu, beliau bersabda, “Se-luruh kebaikan aku harapkan baginya (yaknibagi Abû Thâlib) dari Tuhanku.”

Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahihbahwa Al-‘Abbâs r.a. pernah bertanya ke-pada Rasulullah Saw., dia berkata, “WahaiRasulullah, apakah engkau mengharapkankebaikan bagi Abû Thâlib?” Rasulullah Saw.menjawab, “Aku mengharapkan seluruh ke-baikan dari Tuhanku baginya.” Hadis ini diri-wayatkan oleh Ibn Sa‘ad dalam Ath-Tha-baqât dengan sanad yang sahih. Apa yangdiharapkan oleh Rasulullah Saw. bagi AbûThâlib itu pasti terwujud, dan beliau tidakpernah mengharapkan “seluruh kebaikan”kecuali bagi seorang Mukmin. Demikianpula, “seluruh kebaikan” itu tidak dapat ha-nya diartikan sebagai keringanan siksaanyang diperoleh Abû Thâlib. Sebab, keri-nganan siksaan tidak bisa dikatakan suatukebaikan, apalagi seluruh kebaikan. Keri-nganan siksaan merupakan keringanan ke-burukan, dan sebagian keburukan lebih ri-

183

ngan daripada sebagian yang lain. Jadi,perolehan “seluruh kebaikan” itu hanya bi-sa diartikan dengan masuk surga. Selainitu, sebagian orang bijak mengatakan bah-wa ahli kasyf telah menetapkan keimananAbû Thâlib, sebagai suatu ketetapan yangtidak diragukan lagi.

Barangkali, hikmah yang terkandungdi balik ini adalah Allah ingin menyamar-kan persoalan Abû Thâlib sesuai denganlahiriah syariat semata-mata untuk menye-nangkan hati para sahabat Nabi Saw. di ma-na orangtua mereka meninggal dalam ke-kafiran. Hal ini membuat hati mereka perihdan dada mereka sesak. Mereka berkata,“Apa bedanya antara ia (Abû Thâlib) danorangtua kami? Mengapa ia selamat, se-dangkan orangtua kami disiksa di akhirat?”Kemunculan perasaan seperti ini merupa-kan hal yang wajar. Karena menurut ta-biatnya, manusia tidak merasa senang jikaada orang lain lebih diistimewakan dari-pada dirinya. Hal ini sama dengan perta-nyaan seorang Arab badui kepada Nabi

184

Saw., “Di mana ayahku?”Seandainya Abû Thâlib menampakkan

keimanannya, niscaya keinginannya untukmembela dan melindungi Nabi Saw. men-jadi sia-sia. Selain itu, Allah Swt. memilikikebijaksanaan yang tidak kita ketahui. Olehkarena itu, kita harus menerima kehendakAllah Swt., tunduk pada ketentuan-Nya, ri-dha pada ketetapan-Nya, menjaga etika da-lam bersikap kepada Rasulullah Saw., AhliBait, dan para sahabatnya, dan berbaiksangka terhadap mereka sehingga tidak se-orang pun dari mereka yang kelak menun-tut kita karena haknya yang telah kita lang-gar.

185

Penutup

Akhirnya, kami memohon taufik kepadaAllah Swt. Inilah ringkasan dari penutupyang dilampirkan oleh Allâmah Sayyid Mu-hammad bin Rasûl Al-Barzanjî dalam risa-lahnya. Risalah tersebut ditulis berkenaandengan keimanan kedua orangtua Ra-sulullah Saw. Di samping itu, saya menam-bahkan beberapa kutipan yang saya dapat-kan dalam Al-Mawâhib Al-Laduniyyah danAs-Sîrah Al-Hilbiyyah serta buku-buku lainyang dapat dijadikan rujukan.

Pada bagian akhir risalahnya, AllâmahAl-Barzanjî mengatakan:

Setelah saya menyelesaikan risalah inipada awal bulan Dzul Qa‘dah 1088 H diMadinah Al-Munawwarah, di rumahnya, di

186

sebuah gang yang disebut Zuqâq Al-Budûryang terletak di dalam sebuah benteng, sa-ya mengirimkannya kepada seorang pela-yan Al-Haram Asy-Syarîf. Ia adalah seorangpenempuh jalan Allah Swt. dan memilikizikir-zikir dan wirid-wirid. Ia juga seorangyang berperangai mulia dan saleh. Sayamemintanya agar menyimpan risalah inidi kamar Nabi Saw. di bawah kain penutupkuburan beliau. Saya mempersembahkanrisalah ini untuk beliau. Jika persembahanini diterima oleh beliau, maka saya akanmembuat salinannya. Sebaliknya, jika be-liau tidak berkenan menerimanya, maka sa-ya akan memusnahkannya sebelum risalahitu tersebar.

Pelayan Al-Haram Asy-Syarîf menyim-pan risalah ini di bawah kain penutup ku-buran Nabi Saw. selama dua malam. Kemu-dian, ia mengembalikannya kepadaku sam-bil memberitahukan bahwa risalah ini telahditerima oleh Rasulullah Saw. Saya pun me-muji Allah atas semua itu. Lalu saya menya-linnya atas pertolongan Allah Swt.

187

Saya ucapkan segala puji bagi Allahatas segala nikmat dan ilham yang telahDia anugerahkan kepadaku. Bagi-Nya se-gala puji, sebagaimana saya harus menyem-purnakan pujian itu dengan pujian yangbanyak, yang baik, dan penuh berkah. Itu-lah pujian yang dengannya Dia menyem-purnakan nikmat-nikmat-Nya dan mem-berikan tambahannya; pujian yang layakbagi keagungan dan kebesaran kerajaan-Nya; dan pujian yang berhak mendapatkantambahan nikmat yang telah dijanjikan-Nya sesuai dengan firman-Nya.

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pastiKami akan menambah (nikmat) kepa-damu… (QS Ibrâhîm [14]: 7).

Saya menyempurnakan shalawat dansalam kepada Nabi yang diutus (Muham-mad Saw.) dengan membawa Al-Quran,yang memiliki sifat seperti yang dijelaskan

188

dalam Al-Quran:

Dan sesungguhnya kamu benar-benarberbudi pekerti yang agung (QS Al-Qalam[68]: 4).

Sesungguhnya telah datang kepadamu se-orang Rasul dari kaummu sendiri, berat serasaolehnya penderitaanmu, sangat menginginkan(keimanan dan keselamatan ) bagimu, amat be-las kasihan lagi penyayang terhadap orang-orangyang beriman (QS At-Taubah [9]: 128), sertakepada keluarga, para sahabat, ayah-kakek,ibu-nenek, istri, keturunan, dan para pe-warisnya dalam ilmu dan ibadah. SemogaAllah mengampuni kita, orangtua kita, danseluruh kaum Muslim, baik laki-laki mau-pun perempuan.

189

Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih da-hulu dari kami, dan janganlah Engkaumembiarkan kedengkian dalam hati kamiterhadap orang-orang yang beriman. Ya Tu-han kami, sesungguhnya Engkau Maha Pe-nyantun dan Maha Penyayang (QS Al-Hasyr [59]: 10).

Doa mereka di dalamnya ialah “Subhâna-kallâhumma” (Mahasuci Engkau, wahai Tu-han kami), dan salam penghormatan merekaialah “Salâm” (sejahtera dari segala bencana).Dan penutup doa mereka ialah “Alhamdu lil-lâhi rabbil ‘âlamîn” (segala puji bagi Allah,Tuhan semesta alam) (QS Yûnus [10]: 10).

Inilah penutup risalah karya Sayyid

190

Muhammad bin Rasûl Al-Barzanjî tentangkeimanan kedua orangtua Nabi Saw. yangdilampiri sebuah apendiks tentang ke-imanan Abû Thâlib, paman Nabi Saw.

Risalah itu selesai ditulis pada hari Sab-tu, 18 Sya‘bân 1303 H.[]