Apa pengertian hukum Wadh’i

download Apa pengertian hukum Wadh’i

of 21

Transcript of Apa pengertian hukum Wadh’i

  • MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK

    MATA KULIAH USHUL FIQIH

    Dosen pengampu: Ust Nurhamid S.Pd.I

    Nama:

    Sugiarti

    Yuli

    Yeni

    Arofah

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL - FATAH

    CILEUNGSI - BOGOR

    2012

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

    melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga

    tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan

    sahabatnya serta orang yang terus itsiba di jalannya.

    Pada makalah ini kami akan membahas hukum Syara yang

    berhubungan dengan hukum Wadhi semoga makalah ini dapat

    membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu

    Ushul Fiqih.

    Dalam peyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan

    bantuan dorongan dari berbagai pihak, dan karena itu, perkenankanlah

    penulis mengucapkan terima kasih kepada :

    1. Ust. Hurhamid selaku dosen pembimbing mata kuliah Usul Fiqih.

    2. Teman-teman yang telah memberi semangat.

    Penulis sadar makalah ini masih banyak kekurangan untuk itu

    penulis sangat mengharapkan saran demi perbaikan di masa mendatang

    semoga makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua.

    Cileungsi, 20 Maret 2012

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Kata Pengantar............................................................................. 1

    Daftar Isi........................................................................................ 2

    BAB I PENDAHULUAN................................................................. 3

    BAB II PEMBAHASAN.................................................................. 4

    A. Pengertian Wahdi.............................................................. 4

    B. Pengertian Syarat............................................................... 7

    C. Pengertian Mani................................................................ 11

    D. Pengertian Azimah dan Rukhsah...................................... 14

    E. Sah dan Batal.................................................................... 17

    BAB III PENUTUP........................................................................ 19

    Kesimpulan dan Saran................................................................. 19

    Referensi..................................................................................... 20

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Umat muslimin khususnya dari zaman Rasulullah hingga sekarang, telah

    diberikan tuntunan oleh Allah SWT melalui Al-Quran dan As-Sunnah.

    Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat

    lepas dari ketentuan hukum syariat, baik hukum syariat yang tercantum

    didalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada

    keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui Syariat.

    Ushul Fiqih menjadi hukum Syara dari segi metodologi dan sumber-

    sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian

    hukun Syara, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan

    orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan

    larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa Wadhi (sebab akibat). Seperti

    hukum haram, makruh, wajib, sunah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,

    halangan (mani) dan ungkapan lainnya, kesemuanya itu merupakan objek

    pembahasan ilmu ushul fiqh.

    Rumusan masalah

    1. Apa pengertian hukum Wadhi?

    2. Apa macam-macam hukum Wadhi?

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    A. HUKUM WADHI

    Hukum Wadhi ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu

    adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang

    terhadap sesuatu.

    Contoh

    1. Dalam bentuk sebab sesuatu

    Artinya

    Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk

    mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai

    kepala silu. (QS. Al-Maidah:6)

    Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi

    sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu sebab

    terhadap sesuatu.

    2. Dalam bentuk syarat:

    Artinya:

    Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang

    adil (HR Ahmad)

    Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah

    yang dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi syarat sahnya

    sesuatu.

    Hukum wahdi terbagi menjadi lima macam ialah sebab, syarat,

    mani, rukhsah, dan azimah, sah dan battal. Dalam uraian di bawah ini

    akan dibicarakan satu demi satu:

  • a. Sebab

    Hukum Syara kadang-kadang diketahui melalui tanda yang

    menunjukan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukalaf.

    Umpamanya tiba waktu shalat menunjukan tanda lahirnya atau

    terhapusnya hak milik, pembunuhan sebagai tanda lahirnya hukum

    qisas.

    Pada contoh-contoh di atas jelaslah kewajiban itu mukallaf

    mendirikan shalat karena waktu shalat telah tiba, dengan adanya

    perjanjian jual beli pihak penjual terhapus haknya terhadap barang

    yang dijual dan dari pihak pembeli terhapus haknya terhadap

    harga, sekaligus melahirkan hak milikbagi pembeli terhadap barang

    yang dibelinya, penjual terhadap harga barang yang dijual.

    Demikianlah juga karena terjadi pembunuhan berencana yang

    melahirkan hukum qisas.

    Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan

    antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang

    cocok dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan Illat.

    Seperti adanya perjanjian jual beli yang menunjukan adanya

    persetujuan kedua belah pihak untuk memindahkan hak milik.

    Tetapi apabila hubungan yang seperti ini dinamakan sebab.

    Karena itu para ahli ushul memberi batasan tentang sebab:

    Artinya

    sebab itu ialah apa yang dijadikan syata sebagai tanda atas

    musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya

    musabab dan tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab

  • Karena itu kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada, dan

    kalau sebab tidak ada musababpun tidak ada.

    Sebab seperti yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua

    macam; sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang

    berasal dari perbuatan mukallaf.

    Sebab yang berasal daribukan perbuatan mukallaf seperti tibanya

    waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang

    menimbulkan wajib mengeluarkan zakat, tibul bulan awal ramadan

    yang menyebabkan wajib puasa, syirik yang menyebabkan haram

    kawin, sakit yang menyebabkan berbuka puasa pada bulan

    Ramadan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris,

    perkawinan yang menjadikan sebab kebolehan talak dan balig yang

    menjadi sebab sahnya tindakan.

    Sebab dari tindakan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang

    menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.

    Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu

    tidak diterima akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan

    musabab. Setiap ketentuan hukum Syara bertujuan untuk

    mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan

    manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya

    berbagai ketentuan hukum. Umpamanya Syara menetapkan kawin

    sebagai sebab lahirnya hak perwarisan yang artinya hak pewarisan

    hanya lahir dari perkawinan yang sah bukan dari perzinaan. Kalau

    alasan di atas dapat diterima maka tujuan menetepkan sebab untuk

    membentuk musabab dengan demikian dapat dikatakan sebab

    itulah yang membentuk musabab dan musabab dilahirkan oleh

    sebab, kalau tidak demikian tidaklah dinamakan sebab, kalau

    sebab ditetapkan oleh Syara.

    Kalau seorang mukallaf mengerjakan sebab maka berarti ia telah

    melakukan musabab, baik disadarinya atau tidak. Umpamanya

    seorang yang melakukan pembunuhan berencana maka perbuatan

  • ini menjadi sebab lahirnya hukum qisas sebagai akibat dari

    perbuatannya. Jadi berarti sebab menjadi bagiandari musabab dan

    sebaliknya. Setiap yang diperintahadalah untuk mencapai

    kabahagian kan kesejahteraan manusia, karena itu lahirlah

    kewajiban untuk melakukannya dan apa yang dilarang pasti akan

    merusak karenanya dilarang memperbuatnya. Kalau mukallaf

    melakukannya berarti ia telah melakukan sebab yang akan

    membawa kebahagiaan dan kerusakan. Dengan demikian tidak

    ada alasan bahwa ia tidak tahu tentang kebahagiaan dan

    kerusakan, karena dalam perintah atau larangan sudah terkandung

    akibatnya, kalau akibatnya buruk berarti dilarang memperbuatnya.

    Kalau mukallaf telah melakukan sebab dengan sempurna dan

    tidak ditemui adanya penghalang terjadinya muabab, maka ia tidak

    dapat mengelak dari musabab. Contohnya seorang yang

    melakukan akad nikah dengan seorang yang halal nikah maka

    dengan adanya akad nikah perempuan itu halal baginyadan kalau

    ia ingin menolaknya jatuhlah talaknya. Karena itu kalau ia

    bersumpak untuk tidak mendekati isterinya atau hilang haknya

    untuk menceraikan istrinya, maka sumpak itu tidak berlaku.

    Demikian juga kalau ia menceraikan istrinya dengan talak raji lalu

    ia bersumpak untuk tidak merujuk isterinya maka sumpah itu tidak

    berlaku ia tetap mempunyai hak rujuk karena hak itu ditetapkan

    Allah.

    B. SYARAT

    Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya

    hukum dengan adanya syarat dengan tidak adanya syarat maka

    hukum tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatu maka apabila

    ia tidak ada maka masyrutpun tidak akan ada tetapi tidak mesti dengan

    adanya ada juga masyrut. Perkawinan oleh Syara disyaratkan jatuh

    talak maka kalau perkawinan belum dilaksanakan maka jelasnya talak

    tidak akan jatuh. Wudhu sebagai syarat sah shalat apabila ada wudhu

  • shalat sah namun tidak mesti adanya wudhu adanya shalat. Akad

    nikah menurut Syara menjadi sah apabila dihadiri oleh dua orang

    saksi pada saat diucapkan ijab dan qabul, adanya barang yang

    diperjualbelikan dan jumlah harga menjadi syarat sah jual beli.

    Syarat yang ditetapkan Syara mungkin sebagai pelengkap sebab

    hukum seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad

    nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun agar akad

    nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikian

    dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat

    kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.

    Kendatipun syarat dan rukun yang menentukan sahnya sesuatu

    perbuatan, namun rukun menjadi satu dengan perbuatan atau dengan

    kata lin menjadi bagian dari perbuatan sedang syarat berada di luar

    perbuatan dan bukan menjadi bagiannya. Wudhu sebagai syarat sah

    shalat yang letaknya di luar shalat. Ijab dan qabul adanya dua orang

    yang mengikat perjanjian dan prestasi perjanjian dijadikan rukun

    perjanjian karena menjadi bagian dari perjanjian, kehadiran dua orang

    saksi dalam akad nikah, penentuan barang yang diperjual belikan,

    penyerahan barang yang dihibahkan menjadi syarat sahnya perjanjian

    karena tidak termasuk bagian dari perjanjian. Karena itu kalau rukun

    perjanian tidak dilengkapi maka perjanjian itu cacat dan kalau

    syaratnya yang tidak lengkap maka cacatnya hanya pada sifat

    perjanjian.

    Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan

    Syara yang seperti ini dinamakan syarat syari dan kadang-kadang

    syarat syari seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang

    dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh syarat jali seperti jatunya

    talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.

    Syarat syari dapat dibagi menjadi dua macam:

    1. Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-kadang

    dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu

  • dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk

    tidak memperbuat seperti akad nikah tahlil ialah nikah yang

    dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami

    pertama menikahi kembali bekas isterinya yang ditalak tiga.

    2. Syarat yang terkandung dalam kitab wadi contohnya haul bagi

    yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat

    wajib mengeluarkan zakat.

    Khusus mengenai macam yang kedua ini tidak diperintahkan untuk

    memenuhinya dan juga tidak dilarang memenuhinya. Kalau harta

    kekayaan sudah cukup nisabnya tidak dilarng pemilik mempergunakan

    harta itu sekalipun akibat dari penggunaan itu dapat mengurangi

    jumlah hartanya dan juga tidak diperintahkan agar hartayang cukup

    nisab itu tidak dipergunakan dan disimpan terus sampai akhir nisab

    sehingga wajib mengeluarkan zakat. Namun dalam mempergunakan

    harta tadi tidak boleh dengan niat untuk mengurangi agar terlepas dari

    kewajiban zakat atau mengelak dari kewajiban mengeluarkan zakat

    kepada yang berhak menerima ialah diantaranya fakir dan miskin.

    Kalau terlintas niat seperti yang diterangkan tadi maka perbuatan itu

    termasuk dosa dan kewajiban mengeluarkan zakat tetap menjadi

    beban baginya karena adanya kesengajaan melepaskan diri dari

    tuntutan agama.

    Syarat jali dapat menjadi tiga macam:

    1. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu

    perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah

    perbuatan hukum itu. Umpamanya dalam perjanjian jual beli

    boleh sidyaratkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus

    diantar ke rumah pembeli.

    2. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan

    hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah

    perbuatan hukum itu. syarat yang seperti ini tidak berlaku

    seperti dalam perjanjian kawin yang disyaratkan bahwasuami

  • tidak berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya atau suami

    tidak boleh mencampuri istrinya.

    3. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan

    hikmah perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi

    dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang

    juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun

    kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

    Para ulama di kalangan mazhab maliki membagi syarat dalam

    perjanjian jual beli menjadi empat macam:

    1. Syarat yang mendatangkan kemaslahatan dalam penjualan

    syarat yang seperti ini tidak sah dan jual beli juga sah seperti

    dalam jual beli itu ditetapkan syarat bahwa penjual mendiami

    rumah yang dijual selama sebulan.

    2. Syarat yang bertentangan dengan perjanjian jual beli syarat

    yang seperti ini tidak sah dan jual beli juga tidak sah seperti

    syarat yang menetapkan bahwa pembeli tidak boleh memiliki

    barang yang dibelinya.

    3. Syarat yang tidak mendatangkan kemaslahatan dan tidak

    menambah atau mengurangi kemaslahatan. Syarat yang seperti

    menetapkan syarat untuk itu tidak mau menarik syaratnya maka

    jual beli itu menjadi batal.

    4. Syarat yang ditetapkan dalam memberikan hak walaa

    (kekuasaan terhadap budak yang dijual) apabila dimerdekakan

    oleh pembeli walau kembali kepada penjual maka syarat itu

    batal dan pembelinya sah.

    Jadi kesimpulannya bahwa orang yang berjanji boleh menetapkan

    syarat namun syarat itu tidak boleh bertentangan dengan hakikat

    perjanjian dianggap batal.

    Semua perjanjian berlaku semenjak adanya ijab dan qabul maka

    kalau ditetapkan dalam perjanjian itu bahwa perjanjian itu akan berlaku

    kemudian, maka syarat yang seperti itu dianggap batal demikian juga

  • perjanjiannya. Dan syarat jali apabila sesuai dengan syarat syari

    maka berubah menjadi syarat syari.

    C. MANI

    Yang dimaksud dengan mani menurut para ahli ialah:

    Artinya:

    Mani ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau

    batal sebab hukum sekalipun menurut Syara telah terpenuhi syarat

    dan rukunnya tetapi karena adanya mani (yang mencegah)

    berlakunya hukum atasnya.

    Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau

    sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.

    Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang

    membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani sehingga kepadanya

    tidak dapat dilaksanakan hukum qisas sekalipun sebab lahirnya

    ketentuan hukum seperti pembunuhan telah tercapai. Demikian juga

    seorang ahli waris tertuduh pembunuhan yang diwarisinya atau

    seorang ahli waris tidak akan mendapat pewarisan kalau terjadi

    perbedaan agama antara yang mewarisidan yang diwarisi sekalipun

    dalam kedua masalah ini sebab hukum ialah keluarga sedarah

    tercapai, namun terdapat mani ialah pembunuhan dan perbedaan

    agama sehingga ahli waris tidak dapat mewarisi.

    Mani kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum Syara

    seperti adanya hutang menjadi mani wajib mengeluarkan zakat,

  • karena harta yang ada pada tangan pemilik bukan milik baginya tetapi

    milik orang lain, sedangkan memenuhi hak orang lain lebih utama dari

    membantu fakir dan miskin agar orang yang berutang bebas dari

    tanggung jawabnya. Hutang inilah yang menghapuskan syarat yang

    menjadi pelengkap sebab hukum Syara sehingga dianggap tidak

    memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adanya mani.

    Para ulama dalam mazab hanafi membagi mani menjadi lima

    macam:

    1. Mani yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual

    orang yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang

    yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan termasuk

    barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi

    sebab berpindahnya hak milik dan membeli menjadi sebab

    kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang

    dibeli.

    2. Mani yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya

    hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian

    dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat

    perjanjian. Seperti menjal barang bukan miliknya, penjual yang

    seperti ini tidak sah karena terdapat mani ialah barang yang

    dijual adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang

    yang dijual menyetujui perjanjian itu maka perjanjian itu menjadi

    sah.

    3. Mani yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar

    syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembeli

    mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya

    selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak

    boleh dan B bawa barang yang dijualnyakepada si B tidak boleh

    dipergunakan selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi

    pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendirinya berubah

  • dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum syarat belum

    berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.

    4. Mani yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar

    ruyah. Khiyar ruyah tidak menghalangi lahirnya hak milik

    namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli

    melihat barang yang dibelinya sekalipun barang itu sudah

    berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang

    yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama barang

    yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan

    tetapi dalam hal barang yang dijualbelikan tidak cocok dengan

    persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa

    menunggu persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.

    5. Mani yang menghalangi berlakunya hukum seperti aib. Si A

    sebagai pembeli sesuatu yang memang belum tahu keadaan

    barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli berhak

    memilih antarameneruskan perjanjian atau mengembalikan

    barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang

    itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau melalui

    peradilan dan lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga

    hari.

    Mani seperti ini diterangkan di atas bukan dimaksud agar mukallaf

    berusaha untuk mencapainya atau berusaha menolak orang yang

    telah memiliki harta kekayaan yang cukup nisabnya, tidak

    diperintahkan agar mempergunakan harta ituagar tidak berkurang dari

    jumlah nisab dan tentunya apabila kurang dari jumlah nisab ia tak

    wajib mengeluarkan zakatnya. Dan tidak pula disuruh mempergunakan

    harta itu agar jumlah nisabnya berkurang sehingga tidak mengeluarkan

    zakat, tetapi mani ini ditetapkan Syara kalau secara kebetulan

    terdapat mani maka terhapuslah hukum atau sebab yang melahirkan

    hukum.

  • D. AZIMAH DAN RUKHSAH

    Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:

    Artinya:

    Hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum

    yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan

    pula berlaku hanya mukhalaf tertentu.

    Jadi berarti azimah itu hukum yang ditetapkan semenjak semula

    tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan

    bukan pula untuktempat dan waktu trtentu. Umpamanya shalat lima

    waktu diwajibkan kepada setiap orang, diwajibkan pada

    semuakeadaan aal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.

    Contoh hukum azimah ini seperti puasa dan haji ditetapkan

    semenjak semula tentang wajibnya yang artinya tidak didahului oleh

    ketentuan yang mencabutnya dan kalau ada yang mencabutnya maka

    hukum yang terdahulu dinamakan mansukh (dicabut) dan hukum yang

    baru yang mencabutnya dinamakan nasikh. Dan hukum azimah bukan

    pula hukum yang dahulunya bersifat umum kemudian dibelakangnya

    dikecualikan (istisna) atau dibelakangnya hukum yang memberikan

    kekhususan.

    Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:

    Artinya:

  • Hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi

    mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan

    Rukhsah seperti yang telah diutarakan di atas mempunyai empat

    macam:

    1. Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan

    terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan hukum

    umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang

    piutang perjanjian silm, diat yang diberikan kepada seluruh

    anggota keluarga yang membunuh.

    2. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang

    diisyaratkan Allah dalam firman-Nya

    Artinya:

    Ya tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami

    beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada

    orang yang sebelum kami.

    3. Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam

    ibadah sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat

    melaksanaka ibadah lebih banyak.

    4. Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul

    karena ada uzur yang dapat dijadikan alasan pengecualian dari

    hukum namun ketentuannya hanya berlaku menurut keperluan.

    Dan kalau tidak ada yang uzur namun adanya hajat dalam

    kehidupan ini untuk mencapai yan lebih mudah tidaklah

    termasuk rukhsah seperti kebolehan perjanjian jual beli tempat

    (silm) tetapi yang seperti ini merupakan pengecualian dari

    ketentuan umum. Jadi yang dimaksud dengan azimah menurut

    ahli ushul ialah ketentuan hukum umum yang ditetapkan

  • semenjak semula sedangkan rukhsah adalah hukum

    pengecualian dari ketentuan hukum umum.

    Rukhsah merupakan hukum tambahan bukan hukum asli, maka

    hendaknya setiap mukallaf memilih mana yang meringankannya yang

    dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Sedangkan

    kesukaran itu sendiri dari segi berat ringannya antara seorang dengan

    orang lain selalu berbeda sesuai dengan perbedaan tekad dan cita-

    citanya, setiap manusia tidak sama menilai sesuatu perbuatan apakah

    berat atau ringan, karena itu batasan yang lebih konkrit tentang

    keringanan itu tidak akan ditemukan. Syara hanya meletakan

    dasarnya dalam rangka dugaan seperti dalam perjanjian dianggap

    Syara sebagai kesukaran karena biasanya memang terdapat

    kesukaran dan selain itu diserahkan kepada ijtihad para mukallaf.

    Memang dalam melaksanakan ajaran agama akan menimbulkan

    kesukaran bagi manusia, namun kesukaran ini ada dua macam:

    1. Kesukaran yang sangat berat dilaksanakan akan

    membahayakan baik pada jiwa maupun pada fisik yang

    melaksanakan. Umpamanya berpuasa pada saat sedang

    diserang sakit yang amat menyusahkan. Maka dalam hal ini

    tidak ada perbedaan pendapat wajib melaksanakan rukhsah.

    2. Kesukaran yang tidak begitu berat seperti merasa berat

    berpuasa sedang ia dalam keadaan segar. Dalam hal ini juga

    tidak ada alasan yang membolehkan ia melaksanakan rukhsah

    tetapi wajib melaksanakan azimah.

    Kalau diperhatikan ajaran islam yang bertujuan menghindarkan

    manusia dari kesukaran dan menghindarkan manusia dari kesusahan

    karena itu agama memberi kemudahan bagi orang yang dalam

    perjalanan untuk tidak berpuasa pada bulan ramadan, dan

    menetapkan taklif tidak pernah bertentangan dengan natur manusia,

    yang berarti kalau memang ditemukan kesukaran maka wajib

    melaksanakan azimah.

  • E. SAH DAN BATAL

    Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur

    kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.

    Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang

    diperintahkan Syara dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala di

    akhirat. Sebaliknya lafal batal yang diartikan tidak melepaskan

    tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat

    tidak memperoleh pahala.

    Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf sudah

    ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan

    dengan yang di perintahkan Allah atau sekurangnya tidak dilarang.

    Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta

    dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan Syara dinamakan

    sah dan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan

    ketentuan Syara dinamakan bata.

    Kalau perbuatan yang dituntut Syara dikatakan sah maka orang

    yang melaksanakan dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah

    dari tangung jawab, tidak dituntut hukum baik di dunia maupun di

    akhirat. Bahkan ia mendapat pahala di akhirat kelak. Sebaliknya

    perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta

    bertentangan dengan ketentuan Syara tidak dapat menghapuskan

    kewajiban, yang melakukannya masih dituntut baik di dunia maupun di

    akhirat.

    Menurut ulama, bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun

    muamalah adalah tujuannya untuk mencapai kemaslahatan hidup

    manusia di dunia dan di akhirat dalam hal ini termasuk semua macam

    perjanjian mengandung dua tujuan pokok ialah:

    1. Memenuhi tuntutan Syara

    2. Untuk mencapai dan mewujudkan kemaslahatan hidup.

    Menurut para ulama di kalangan mazhab syafiI kedua tujuan ini

    terdapat baik dalam ibadah maupun dalam muamalah yang di

  • antarnya perjanjian, namun tujuan pertma lebih menonjol. Karena itu

    setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan Syara dianggap batal

    dan lawannya sah. Jadi menurut para ulama di kalangan mazhab

    syafiI tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah keduanya

    hanya sah atau batan.

    Namun sebagai ulama kalangan mazhab hanafi mengatakan dalam

    tujuan perjanjian tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka

    membedakan antara ibadah dan muamalah. Dalam ibadah mereka

    sependapat dengan para ulama di kalangan mazhab syafiI hanya

    berlaku dua hal ialah sah dan batal. Ibadah yang batal tidak dapat

    menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib mengqadha

    namun dalam perjanjian terdapat tiga macam; perjanjian yang tidak

    sah dibagi menjadi dua macam batal dan fasid. Perjanjian batal ialah

    perjanjian yang kurang rukun dan syaratnya sedangkan perjanjian

    yang fasid ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya. Perjanjian

    jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau oleh anak yang belum

    mencapai usia mumayiz atau memperjual belikan sesuatu yang tidak

    ada. Maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang batal. Tetapi jual

    beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu

    dinamakan perjanjian fasid. Akad nikah dari orang yang belum

    mencapai usia mumayiz atau nikah dengan wanita haram

    mengawininya sedang ia sudah tahu maka perjanjian itu dinamakan

    perjanjian yang batal sama sekali tidak mempunyai pengaruh

    sedangkan perjanjian yang fasid masih mempunyai pengaruh karea

    itu dalam perjanjian kawin yang fasid suami wajib membayar mahar.

    Istri tetap menjalankan masa idahnya dan keturunan anak masih

    dapat dihubungkan dengan suaminya.

  • BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan dan Saran

    Hukum Wadhi yang telah ditetapkan oleh Syara sebagai faktor

    keeksitensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah

    sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklif macam dan

    bagian dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan hanyalah sekedar

    sebagai pengantar studi saja. Hukum Wadhi adalah implementasi dari

    hukum taklif, jadi hukum Wadhi ini lebih kepada masalah-masalah khusus

    dibanding dengan hukum taklif. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat

    dengan hukum-hukum yang berbeda dalam hukum Wadhi ini.

  • Referensi:

    1. Drs. H. A. Syafii Karim Fiqih Ushul Fiqih

    2. Http://opickel-fadl.blogspot.com/2011/05/makalah-hukum-

    wadhi.html?m=1, 19/03/2012 17:47