BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 3 merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan UUPA, merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia atau dapat disebut sebagai Hukum Agraria yang tertulis. Hukum Agraria ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis, kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. 1 Salah satu tujuan UUPA dalam penjelasan umumnya yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah tersebut dapat diwujudkan dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA. Penjabaran dari Pasal 19 UUPA ini, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut dengan PP No. 24 Tahun 1997. 1 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 5.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 3 merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang

selanjutnya disebut dengan UUPA, merupakan peraturan perundang-undangan

yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia atau dapat disebut sebagai

Hukum Agraria yang tertulis. Hukum Agraria ada yang tertulis dan ada yang tidak

tertulis, kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk

Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang

pertumbuhan, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat

adat yang bersangkutan.1

Salah satu tujuan UUPA dalam penjelasan umumnya yaitu meletakkan

dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah

tersebut dapat diwujudkan dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA. Penjabaran dari Pasal 19

UUPA ini, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang

disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut dengan PP No. 24 Tahun 1997.

1Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 5.

2

Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 24

Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara

terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya. Definisi pendaftaran tanah dalam PP No.

24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan

pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) PP No. 10 Tahun 1961 yang

hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan

peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian

yang kuat.2

Salah satu tujuan pendaftaran tanah yang dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4

PP No. 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan

hukum, oleh karena itu kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan

diberikan sertipikat hak milik atas tanah. Sertipikat merupakan surat tanda bukti

hak yang kuat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.3 Hal tersebut berarti bahwa

setiap orang dapat mempermasalahkan tentang kebenaran sertipikat. Pendaftaran

tanah di Indonesia menganut sistem negatif bertendensi positif, maksudnya adalah

negara tidak menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat,

namun selama tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang

2Ibid, h. 287.

3A. P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 127.

3

merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat adalah tanda bukti hak yang

kuat.4

Timbulnya sengketa atas tanah bermula dari adanya pengaduan pihak

(orang/Badan Hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas

tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya.5 Sengketa

yang terjadi tidak hanya atas tanah yang belum terdaftar tetapi juga atas tanah

yang terdaftar. Pihak-pihak yang merasa berhak dan berkepentingan atas suatu

bidang tanah mengajukan gugatan ke pengadilan, yang mengakibatkan terjadinya

pemblokiran hak atas tanah.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal

Balik Dalam Masalah Pidana disebutkan bahwa pemblokiran adalah pembekuan

sementara harta kekayaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau

pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tujuan untuk mencegah dialihkan atau

dipindahtangankan agar orang tertentu atau semua orang tidak berurusan dengan

harta kekayaan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh dari

dilakukannya tindak pidana tersebut. Pemblokiran dapat terjadi karena adanya

hubungan kepentingan antara pemblokir dan pemilik tanah ataupun kepentingan

pemilik tanah itu sendiri. Misalnya adanya hubungan hutang-piutang yang

bermasalah, wanprestasi, sertipikat hilang, pembagian waris yang tidak adil,

pemalsuan atau sengketa tanah lainnya. Apabila ditemukan permohonan

pemblokiran tidak melampirkan/memperlihatkan hubungan kepentingan atas

tanah/pemilik tanah tersebut, maka hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah

4

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi,

Mandar Maju, Bandung, h. 174.

5Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, h. 22.

4

baru. Untuk itu Kantor Pertanahan dituntut untuk lebih memperhatikan dan

mencermati setiap permohonan blokir yang masuk.

Salah satu contoh kasus yang menyebabkan adanya pengajuan permohonan

pemblokiran hak atas tanah, yaitu permohonan pemblokiran sertipikat atas nama

Dewa Putu Suarjana yang diajukan oleh I Dewa Made Rai Suta, alasan

dilakukannya pemblokiran adalah karena terjadi penerbitan sertipikat atas nama

Dewa Putu Suarjana dengan nomor HM 2237, padahal Dewa Putu Suarjana ini

bukan sebagai ahli waris dan tanah yang disertipikatkan tersebut merupakan tanah

PKD yang telah ditempati turun-temurun oleh keluarga I Dewa Made Rai Suta.

Selain itu, terdapat permohonan pemblokiran sertipikat Hak Milik Nomor 158 dan

159 Desa Bunutin atas nama I Made Pujana yang diajukan oleh I Made Pujana

karena pada awalnya sertipikat tersebut hanya sebatas sebagai jaminan hutang dan

dibuatkan akta pengakuan hutang yang berisi mengenai hak dan kewajiban dari

para pihak yang termuat dalam akta pengakuan hutang. Namun pada saat akta

pengakuan hutang masih berlaku, I Made Pujana berniat untuk melunasi

hutangnya tersebut, tetapi tidak diterima oleh pihak berpiutang, yang dalam hal ini

justru sudah ada/dibuatkan perjanjian baru berupa surat perikatan jual beli dan

surat kuasa mutlak oleh pihak berpiutang. Oleh karena itu untuk menghindari

adanya proses balik nama sertipikat, maka diajukan permohonan pemblokiran.

Pemblokiran dilakukan sebagai langkah pengamanan berupa

pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan. Hal

serupa juga disebutkan dalam Pasal 45 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa Kepala Kantor

5

Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau

pembebanan hak jika tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di

pengadilan.

Terjadinya pemblokiran hak atas tanah yang dicatatkan pada buku tanah

dilaksanakan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan data yuridis yang terjadi dan harus dicatatkan pada

buku tanah. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi

perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah

didaftar.6 Dengan adanya pemeliharaan data pendaftaran tanah maka data yang

tersedia di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir. Selain

itu juga harus diikuti dengan kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-

perubahan yang dimaksud pada kantor pertanahan.

Pemblokiran sertipikat hak atas tanah dapat dilakukan atas dasar tanah

tersebut disengketakan. Kemudian dilanjutkan dengan sita jaminan yang

dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan kepada Kantor Pertanahan untuk

diblokir sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 126 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang

selanjutnya disebut dengan PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997.

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa pihak yang berkepentingan, dalam hal

ini yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pemegang hak dan

6

Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 143.

6

pihak atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan mengenai bidang tanah

(Pasal 1 angka 11 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997) dapat minta dicatat dalam

buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat

gugatan yang bersangkutan. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam

waktu 30 hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta

pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.

Apabila hakim yang memeriksa perkara tersebut memerintahkan status quo atas

hak atas tanah tersebut, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah. Catatan

mengenai perintah ini hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 hari, kecuali

apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara

eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa terjadinya pemblokiran sertipikat

hak milik atas tanah dikarenakan suatu hak atas tanah tersebut akan dijadikan

obyek gugatan di pengadilan. Terjadinya pemblokiran pada Kantor Pertanahan

memberikan akibat hukum terhadap hak atas tanah tersebut, yaitu tidak dapat

dilakukan peralihan maupun pembebanan hak atas tanah. Segala bentuk

perubahan dihentikan sementara untuk kelancaran penyelesaian sengketa. Apabila

pemblokiran telah hapus dengan sendirinya atau telah dicabut, maka segala

bentuk perubahan atau peralihan hak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dicegah.

Untuk mencegah terjadinya masalah baru, pemblokiran sertipikat hak milik

atas tanah ini juga harus dilaksanakan sesegera mungkin agar dicatat pada buku

tanah yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan pihak ketiga, misalnya

7

mengajukan permohonan pengecekan, peralihan hak maupun pembebanan

terhadap sertipikat tersebut. Apabila telah dilakukan pencatatan pada buku tanah,

maka segala bentuk perubahan tersebut tidak bisa dilakukan karena nomor hak

atas tanah bersangkutan sudah diblokir.

Permohonan pencatatan pemblokiran ini diatur dalam Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan

Pengaturan Pertanahan yang selanjutnya disebut dengan Perkaban No. 1 Tahun

2010. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli, lokasi ini

dipilih karena dalam satu tahun terakhir banyak pengajuan permohonan

pemblokiran yang terjadi pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli. Berdasarkan

uraian sebelumnya maka penelitian ini diberi judul “PELAKSANAAN

PEMBLOKIRAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DI KANTOR

PERTANAHAN KABUPATEN BANGLI PROVINSI BALI”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah pada

Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli ?

2. Apakah kendala-kendala dalam pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak milik

atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli, dan bagaimana upaya

untuk menanggulanginya ?

8

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari terjadinya penyimpangan pada bagian pembahasan

masalah dalam skripsi ini maka perlu ditentukan ruang lingkup permasalahannya

sehingga dapat dianalisa pokok masalah yang ingin dipaparkan. Penelitian ini

dibatasi pada rumusan masalah mengenai bagaimana pelaksanaan pemblokiran

hak milik atas tanah yang sudah bersertipikat. Penelitian ini tidak meneliti

pemblokiran terhadap tanah yang sedang dimohon haknya di Kantor Pertanahan

(pemberian hak untuk pertama kali) atau masih dalam proses pensertipikatan.

Data yang diteliti adalah permohonan pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah

yang diterima oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli mulai dari bulan Maret

2015 sampai dengan bulan April 2016.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Pelaksanaan Pemblokiran

Sertipikat Hak Milik Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli Provinsi

Bali sepenuhnya dikerjakan dengan menggunakan perbandingan 2 (dua) buah

skripsi sebagai bahan referensi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Adapun

beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa berkaitan dengan penelitian

ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Andi Mardani, Skripsi yang berjudul Pelaksanaan Pencatatan Dalam Buku

Tanah Menurut Ketentuan Pasal 126 Ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri

Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

9

(Studi Pada Kantor Pertanahan Kota Pontianak), Fakultas Hukum,

Universitas Diponegoro 2008.

2. Masnita Dewi, Skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap

Pemblokiran Sertipikat Di Kantor Pertanahan Deli Serdang, Fakultas

Hukum, Universitas Sumatera Utara 2010.

Berikut akan dipaparkan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di

bawah ini :

No Penulis Judul Rumusan Masalah

1

Andi

Mardani

Pelaksanaan

Pencatatan

Dalam Buku

Tanah Menurut

Ketentuan Pasal

126 Ayat (1)

dan (2)

Peraturan

Menteri Negara

Agraria/ Kepala

Badan

Pertanahan

Nasional Nomor

3 Tahun 1997

1. Bagaimana akibat hukumnya

terhadap peralihan hak atas

tanah dalam hal pencatatan

dalam buku tanah pada Kantor

pertanahan Kota Pontianak

tidak memenuhi ketentuan

Pasal 126 ayat (1) dan (2)

Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 ?

2. Mengapa Kantor pertanahan

Kota Pontianak melaksanakan

10

(Studi Pada

Kantor

Pertanahan Kota

Pontianak)

pencatatan dalam buku tanah

tidak memenuhi ketentuan

Pasal 126 ayat (1) dan (2)

Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 ?

2

Masnita

Dewi

Tinjauan

Yuridis

Terhadap

Pemblokiran

Sertipikat Di

Kantor

Pertanahan Deli

serdang.

1. Apakah faktor-faktor penyebab

pemblokiran sertipikat hak atas

tanah di Kantor pertanahan

Deli Serdang ?

2. Bagaimana akibat hukum

terhadap pemilik sertipikat atas

pemblokiran sertipikat hak atas

tanah di Kantor pertanahan

Deli Serdang ?

3. Apakah hambatan yang

ditemui Kantor pertanahan

dalam pemblokiran sertipikat

atas tanah di Kantor

pertanahan Deli Serdang ?

11

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang pokok dalam suatu karya ilmiah

karena tujuan itu pada hakikatnya adalah merupakan syarat untuk memperoleh

suatu tujuan penulisan yang menggambarkan arah pemikiran yang bersifat ilmiah.

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua tujuan yaitu :

a. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah :

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada penyelesaian

Tugas Akhir dalam bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Untuk mengembangkan wawasan mahasiswa dalam menganalisa suatu

permasalahan khususnya mengenai hukum agraria.

3. Untuk memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam melakukan

penelitian pada Instansi Pemerintahan.

4. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai

pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak milik atas

tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapai oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Bangli dalam pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas tanah

dan bagaimana upaya mengatasinya.

12

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai

berikut :

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang

dasar dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan terutama dalam hal

pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan/pertimbangan bagi Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli dalam

melaksanaan pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah.

1.7 Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini akan digunakan konsep-konsep dan teori-teori yang

berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Konsep-konsep dan teori-

teori tersebut adalah konsep negara hukum, teori kepastian hukum, teori

kewenangan dan teori keadilan.

1. Konsep Negara Hukum

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara Kesatuan RI

adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan

atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti

bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan

13

atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang

Tubuh UUD Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C.

Wheare dinyatakan bahwa, dalam arti luas sistem pemerintahan dari suatu negara

adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur

pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti

sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan

ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa

dokumen terkait satu sama lain.7

Negara hukum adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk

menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan. Negara Hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum

yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat

bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Demikian pula

peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.8

Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M

Friedman, sistem hukum terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal

substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).9

Konsep negara hukum juga menjungjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat,

7K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, London, h. 1.

8Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,

Jakarta, h. 153.

9Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage

Foundation, New York, h. 4.

14

termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya

masyarakat adil dan makmur.

Menurut Friedrich Julius Stahl, ciri-ciri dari Negara Hukum adalah sebagai

berikut :

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia ;

2. Adanya pembagian kekuasaan ;

3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan ; dan

4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.10

Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia

sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya

pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik

tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang

adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Yang paling

penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari

sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.11

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,

selalu berlaku tiga prinsip dasar, yaitu supermasi hukum (supremacy of law),

kesamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum

dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Perbedaan

perlakuan hukum hanya boleh dilakukan jika ada alasan yang khusus. Contohnya,

anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan

anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi

10Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI, Jakarta,

h. 24.

11Ibid, h. 154.

15

perbedaan perlakuan tidak boleh dilakukan jika tanpa alasan yang logis.

Contohnya, perbedaan perlakuan karena perbedaan warna kulit, gender, agama

dan kepercayaan, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani

miskin. Namun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti hal

tersebut di atas, sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk

di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.12

Menurut A.V. Dicey, berlakunya prinsip kesamaan dihadapan hukum

(equality before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan

tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).13

Sedangkan istilah due

process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara

adil. Prinsip due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak

fundamental dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib.14

Prinsip due

process of law ada 2 macam, yaitu prinsip due process of law yang prosedural dan

prinsip due process of law yang substansif. Prinsip due process of law yang

prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang keadilan yang

fundamental, merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan

layak yang harus dijalankan oleh yang pihak-pihak yang berwenang. Contohnya,

dalam perkara pengadilan, penegak hukum memberikan kesempatan yang layak

kepada yang bersalah untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti

pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan

ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas.

12Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,

h. 207.

13Ibid, h. 3.

14

Ibid, h. 46.

16

Keadilan yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat

mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk

hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan

benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan

mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak atas privasi, hak atas perlakuan

yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya.15

Sedangkan

yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu

persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum

tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara

tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.16

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia disamakan dengan dua

istilah dalam bahasa asing, yaitu :17

a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang

diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental

atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon

atau negara-negara yang menganut common law system.

Persamaan tersebut karena bangsa indonesia mengenal istilah negara

hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah diberlakukan Belanda pada saat

menjajah di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan

15Ibid, h. 47.

16

Ibid.

17

I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah

Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157.

17

menumbangkan orde lama, negara hukum diganti dengan the rule of law.18

Indonesia tidak begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep

rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada

dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep

Negara Hukum Pancasila, dimana Negara Hukum Indonesia adalah berdasarkan

Pancasila.

Unsur-unsur Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila

menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut :19

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu

berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka.

Berdasarkan ciri-ciri Negara Hukum yang diuraikan di atas, maka dalam

hubungannya dengan penelitian ini terdapat dua unsur yang bertalian erat, yaitu :

a. Unsur semua tindakan stakeholders, terutama pemerintah, harus berdasarkan

hukum (unsur kepastian hukum).

Setiap tindakan penyelenggaraan negara serta warga negara harus dilakukan

berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekwensinya hukum harus

18Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, h. 66-67.

19

Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, h. 11.

18

dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

dengan kata lain setiap orang harus patuh dan tunduk pada norma hukum yang

berlaku.

b. Unsur adanya pengakuan terhadap jaminan atas pelaksanaan hak-hak dasar

(asasi) manusia dan masyarakat termasuk ke dalamnya masyarakat hukum

adat, untuk memperoleh akses yang adil atas sumber daya agraria, terutama

yang ada di sekitar wilayahnya.

2. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu

pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala

akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Tugas kaidah-kaidah

hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya

pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh

menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian

dalam hubungan antara sesama manusia.20

Pasal 19 UUPA menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak

atas tanah oleh pemerintah dilakukan pendaftaran tanah. Peraturan yang mengatur

pendaftaran tanah yaitu PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

dengan peraturan pelaksana yaitu PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997, serta

petunjuk teknis dalam pendaftaran tanah dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran

atau Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

20Sudarson, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 49-50.

19

Pelaksanaan pendaftaran tanah terdiri dari kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Dalam hal pendaftaran tanah dikenal beberapa sistem pendaftaran yang

dianut banyak negara yang telah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Sudah

menjadi politik hukum agraria bahwa masalah pendaftaran tanah itu disesuaikan

dengan sistem-sistem dan stelsel-stelsel hukum agraria dari negara-negara

modern. Maka dalam melaksanakan pendaftaran hak-hak atas tanah dikenal

sistem stelsel-stelsel pendaftaran sebagai berikut :21

1. Sistem Positif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku

Tanah, haknya mempunyai kekuasaan yang positif dan tidak dapat dibantah

lagi.

2. Sistem Negatif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku

Tanah, haknya masih memungkinkan dibantah sepanjang bantahan-bantahan

itu dapat dibuktikan dengan memberikan alat-alat bukti yang cukup kuat.

Sistem yang dianut dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem

publikasi negatif yang bertendensi positif, yang dinyatakan dalam Penjelasan PP

No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu :

Dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan

sistem yang digunakan, yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam

Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu bahwa pendaftaran tanah

diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di

bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif,

tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-

surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.22

Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka

mesti ada registrasi atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian

21Bachsan Mustafa, 1998, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran) cetakan I,

Bumi Aksara, Jakarta, h. 136.

22

A.P. Parlindungan, op.cit. h. 17.

20

data yuridis dan sertifikat hak sebagai surat bukti hak, sedangkan sistem publikasi

negatif bukan pendaftaran, tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan

menentukan berpindahnya hak kepada pembeli.

Asas pendaftaran tanah yang dianut UUPA adalah berdasarkan asas

sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Dan yang menjadi obyek

pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah sebagai berikut :

1. Objek Pendaftaran Tanah meliputi :

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan dan hak pakai

b. Tanah hak pengelolaan

c. Tanah wakaf

d. Hak milik atas satuan rumah susun

e. Hak tanggungan

f. Tanah negara

2. Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara

membukukan sebidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar

tanah.

Pada suatu hak atas tanah bisa saja terjadi perubahan baik data fisik maupun

data yuridis dikemudian hari. Adanya perubahan baik data fisik maupun data

yuridis yang terjadi pada suatu hak atas tanah yang sudah terdaftar harus

disesuaikan dengan data yang ada di Kantor Pertanahan. Artinya data di Kantor

Pertanahan harus selalu sama dengan data di lapangan. Hal ini dilakukan agar data

pada kantor pertanahan selalu update/mutakhir serta memberi kepastian hukum.

Informasi yang tercantum dalam sertipikat terdiri dari subyek, obyek dan hak

tertentu. Informasi mengenai data subyek, obyek dan hak tersebut juga terdapat

pada Kantor Pertanahan.

21

Sertipikat Hak Milik atas tanah menginformasikan bahwa di Kantor

Pertanahan tercatat atas subyek, obyek dan hak tertentu. Akan tetapi di lapangan

juga terdapat subyek, obyek dan hak tertentu akibat “adanya kepentingan orang

lain” (sengketa). Data di lapangan harus selalu sama dengan data yang ada di

Kantor Pertanahan. Dengan kata lain, apabila ada perubahan di lapangan baik

subyek, obyek atau hak, maka harus dicatat pada data yang ada di Kantor

Pertanahan agar selalu menjadi data yang terbaru.

Salah satu bentuk adanya kepentingan orang lain tersebut adalah blokir,

yang harus dicatat pada Kantor Pertanahan. Blokir merupakan pencegahan mutasi.

Artinya pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah dilakukan sebagai langkah

pengamanan untuk mencegah adanya perubahan, dikarenakan sertipikat hak milik

atas tanah sedang dalam sengketa. Adanya pemblokiran sertipikat sertipikat hak

atas tanah harus dicatat pada buku tanah, sehingga permohonan pemblokiran ini

harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan.

Proses permohonan pemblokiran ini diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI

Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

Peraturan ini menyebutkan bahwa permohonan pemblokiran diajukan melalui

loket pelayanan yang ada pada Kantor Pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten

Bangli termasuk Kantor Pertanahan yang melayani permohonan pemblokiran.

Namun dalam pelaksanaannya di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli,

permohonan pemblokiran dapat dilakukan melalui loket pelayanan dan Subbagian

Sengketa dan Konflik Pertanahan. Oleh sebab itu perlu diteliti bagaimana proses

administrasi permohonan pemblokiran di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli

22

yang meliputi kewenangan, tahapan, syarat dan teknis pencatatan pemblokiran

sertipikat hak atas tanah. Selain itu penting juga untuk mengetahui kendala yang

dihadapi Kantor pertanahan dalam pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas

tanah dan upaya mengatasinya.

3. Teori Kewenangan

Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan

menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan

Kabupaten Bangli untuk melaksanakan pemblokiran sertipikat hak atas tanah.

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan

istilah Belanda bevoegdheid yang berarti wewenang atau berkuasa. Wewenang

merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara,

karena pemerintahan dapat menjalankan fungsinya berdasarkan atas wewenang

yang dimilikinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh

undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.23

Dalam Hukum Administrasi Negara dikenal adanya asas legalitas, asas ini

adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah. Asas legalitas

merupakan salah satu asas yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap

penyelenggaraan pemerintahan pada negara hukum. Setiap penyelenggaraan

pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh

undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang,

yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum

tertentu.

23SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, h. 154.

23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kewenangan diartikan

sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau

kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan

orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.24

Lebih lanjut

Hassan Shadhily memperjelas terjemahan wewenang dengan memberikan suatu

pengertian tentang pemberian wewenang (delegation of authority). Pemberian

wewenang (delegation of authority) adalah proses penyerahan wewenang dari

seorang pimpinan kepada bawahannya yang disertai timbulnya tanggung jawab

untuk melakukan tugas tertentu.25

Proses pemberian wewenang dilakukan melalui

langkah-langkah yaitu, pertama menentukan tugas bawahan tersebut, kedua

penyerahan wewenang itu sendiri, dan ketiga timbulnya kewajiban melakukan

tugas yang sudah ditentukan.

Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didapatkan dengan

melihat dari sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan

pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan

mandat.26

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,

delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan

24Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170.

25

Ibid, h. 172.

26

I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi

Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam

Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, h. 2.

24

perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang

pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu

wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah

memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada

Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului

oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi

suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari

Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.27

Pendapat dari Indroharto tersebut sesuai dengan pendapat beberapa ahli

hukum lain yang mengemukakan atribusi sebagai penciptaan kewenangan baru

yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang

dibentuk baru untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah

wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis,

pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.28

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa :

Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas

kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,

yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya

digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan

yang berasal dari pelimpahan.29

Kewenangan pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli

untuk melaksanakan pemblokiran sertipikat hak atas tanah yang secara normatif

diatur di dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar

Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

27Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Pustaka Harapan, Jakarta, h. 90.

28

Ibid, h. 68.

29

Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 7.

25

Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh,

dasar hukum, dan konformitas hukum.30

Komponen pengaruh maksudnya adalah

bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek

hukum, komponen dasar hukum maksudnya adalah bahwa wewenang itu harus

ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung

adanya standar wewenang yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang serta

standar khusus untuk jenis wewenang tertentu.

Berkaitan dengan konteks penelitian ini, standar wewenang yang dimaksud

adalah kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, khususnya dalam

melaksanakan pemblokiran sertipikat hak atas tanah.

4. Teori Keadilan

Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi

kebutuhan pembahasan mengenai pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas

tanah. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat

maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki

oleh UUD 1945.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang hendak dicapai, guna

memperoleh keseimbangan di dalam masyarakat, di samping itu juga untuk

memperoleh kepastian hukum. Permasalahan tentang keadilan merupakan

masalah yang rumit, permasalahan yang sering dijumpai hampir pada setiap

masyarakat, termasuk Indonesia.31

Berbicara tentang hukum tidak dapat

30Philipus M. Hadjon, 1998, Penataan Hukum Administrasi : Tentang Wewenang, Fakultas

Hukum Unair, Surabaya, h. 2.

31

Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, h. 169.

26

dipisahkan dari pembicaraan tentang hubungan antar manusia, dan berbicara

tentang hubungan antar manusia adalah sama dengan berbicara tentang keadilan.

Oleh karena itu, dengan adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum,

yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran

dan makmur dalam keadilan.

Menurut Aristoteles, kata adil mengandung banyak arti. Adil dapat diartikan

sebagai menurut hukum, dapat diartikan sebagai apa yang sebanding, dan dapat

juga diartikan sebagai apa yang semestinya. Seseorang dikatakan berlaku tidak

adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang

tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan tidak adil, karena semua hal

yang didasarkan pada hukum dianggap sebagai sesuatu yang adil.32

Ditinjau dari

isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan

distributif dan keadilan komutatif.

Berkaitan dengan teori keadilan, Jeremy Bentham memunculkan teori

kebahagiaan yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan

bagi individu, dan harus sesuai untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya

hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori

keadilan dan teori kebahagiaan merupakan perwujudan hukum yang harus

diterapkan.33

Thomas Aquinas, membedakan keadilan menjadi dua kelompok yaitu :34

32Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006 , Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.

33

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban,

Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 43.

34

Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, op. cit. h. 167.

27

1. Keadilan Umum

merupakan keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus

diterapkan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan

keadilan legal.

2. Keadilan Khusus

merupakan keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan

khusus ini dapat dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu :

a. Keadilan distributif

adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan

hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak

atau jatahnya secara proporsional.

b. Keadilan komutatif

adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan

kontraprestasi.

c. Keadilan vindikatif

adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam

tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau

denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak

pidana yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian teori keadilan di atas, nampaknya keadilan ditinjau dari

hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah

pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas tanah memberikan keadilan yang

28

merata serta manfaat bagi masyarakat khususnya bagi pihak-pihak yang terkait

langsung dengan sertipikat hak milik yang diblokir.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam karya tulis ini adalah yuridis

empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan suatu ilmu kenyataan hukum yang

terdiri dari penelitian terhadap efektivitas hukum serta penegakan hukum dalam

masyarakat. Penelitian empiris ini meneliti faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat dengan memperhatikan

sinkronisasi antara kaidah hukum/peraturan itu sendiri, petugas/aparat penegak

hukum, sarana/fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum serta kesadaran

masyarakat. Dalam laporan ini menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu

meliputi segala permasalahan hukum maupun sengketa yang terjadi di masyarakat

dan ditinjau pula berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pendekatan

yuridis empiris dipergunakan, berdasarkan pada permasalahan yang diteliti berupa

faktor yuridis dan data yang diteliti dalam penelitian hukum yuridis empiris ada

dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.35

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis Pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah

pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan fakta

35

H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 30.

29

dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa pelaksanaan pemblokiran sertipikat

hak milik atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli. Sedangkan

pendekatan perundang-undangan berupa pendekatan pada peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah.

Pendekatan dilakukan dengan menganalisa kesesuaian antara pelaksanaan

pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten

Bangli dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

pemblokiran sertipikat hak milik atas tanah.

1.8.3 Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini bersifat

deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan yang bertujuan untuk

memperoleh gambaran yang lengkap mengenai suatu keadaan tertentu dan pada

saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum

tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini tipe penelitian deskriptif

bertujuan untuk menggambarkan secara jelas, terperinci, dan sistematis mengenai

aspek hukum terkait dengan penelitian terhadap pelaksanaan pemblokiran

sertipikat hak milik atas tanah, maka sifat penelitian yang dipergunakan adalah

bersifat deduktif dengan menjelaskan kaitan antara peraturan perundang-undangan

tersebut dengan fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada ketentuan hukum

yang berlaku saat ini. 36

36Ibid, h. 11.

30

1.8.4 Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum yurisis empiris ada dua jenis

yaitu :

1. Data Primer

Data Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data.37

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang

diperoleh dari lapangan berupa hasil wawancara dengan informan dan

observasi yang kemudian diolah oleh peneliti. Wawancara dilakukan kepada

informan yang telah ditetapkan yaitu kepada para pejabat yang relevan dan

berwenang, serta petugas loket. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik

purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu.38

Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan

responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman dan

guru dalam penelitian.39

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.40

Data sekunder terdiri dari data yang diperoleh dari peraturan perundang-

undangan.

Peraturan Perundang-Undangan yang dipergunakan dalam penelitian ini,

antara lain :

37Sugiyono, 2014, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,

Alfabeta, Bandung, h. 193.

38

Ibid, h. 300.

39

Ibid, h. 298.

40

Ibid.

31

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

e. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010

Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

Selain itu, data sekunder juga dapat diperoleh dari dokumen resmi, buku-

buku yang berkaitan dengan obyek penelitian, serta hasil penelitian ilmiah.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah :

1. Wawancara

Wawancara yaitu suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan

informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau

tanya jawab.41

Melalui wawancara dapat digali keterangan yang lebih dalam

dari sebuah kajian dan sumber yang relevan berupa pendapat, kesan,

pengalaman dan pikiran. Peneliti menggunakan panduan wawancara agar

tidak keluar dari fokus yang dirumuskan dalam perumusan masalah.

41Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2011, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta,

Bandung, h. 130.

32

Wawancara yang digunakan yaitu wawancara semiterstruktur, dimana

wawacara ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,

dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.42

Artinya panduan wawancara yang telah dibuat oleh peneliti pada saat

melakukan wawancara akan ada perkembangan pertanyaan di lapangan.

2. Studi Dokumen

Studi dokumen yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan

dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat

mendukung dan menambah kepercayaan serta pembuktian suatu kejadian.43

Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan dokumen atau arsip-arsip

permohonan pemblokiran yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli

baik yang melalui loket pelayanan maupun surat masuk melalui Subbagian

Tata Usaha. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan

tinjauan terhadap dokumen kelengkapan berkas, jalannya berkas permohonan

blokir, serta pencatatan dalam buku tanah. Mengenai teknik studi dokumen

untuk penelitian kepustakaan (Library research) dikumpulkan dengan cara

membaca serta mengutip buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan permasalahan yang disajikan.

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri

42Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Managemen, Alfabeta, Bandung, h. 387.

43

Djam’an Satori dan Aan Komariah, op.cit. h. 149.

33

oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan

pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifatnya atau

karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy

J. Moleong,44

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan

menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Langkah awal analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan

mempersiapkan data hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara dan

studi dokumen. Kemudian menyusunnya sesuai dengan rumusan masalah yang

telah ditetapkan, yaitu data mengenai proses pelaksanaan pemblokiran sertipikat,

kendala yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bangli dalam

pelaksanaan pemblokiran. Langkah selanjutnya yaitu menginterpretasikan atau

memaknai data dan menyajikannya secara deskripsi. Artinya setelah analisis data

selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan

menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Peneliti

akan mendeskripsikan proses pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas tanah,

kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemblokiran di Kantor Pertanahan

44Lexy L. Moleong, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja

Rosdakarya Offset, Bandung, h. 248.

34

Kabupaten Bangli serta upaya mengatasinya. Setelah hasil penelitian tersebut

dirampungkan maka selanjutnya ditarik kesimpulan sebagai akhir penulisan

skripsi.