SIRI PERANG SALIB: FAKTOR, KESAN DAN KERELEVENAN PERANG SALIB
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · ... penulis mengemukakan dua rumusan masalah...
Click here to load reader
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · ... penulis mengemukakan dua rumusan masalah...
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa
bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan.1
Sengketa bersenjata yang berkecamuk hingga saat ini antara Israel dan
Palestina dipandang sebagai permasalahan klasik dalam hubungan
internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah
pihak. Dalam sengketa bersenjata tersebut. Dalam perkembangannya, sejumlah
pihak lebih menganggap Israel sebagai pihak yang paling nyata melakukan
pelanggaran Hukum Humaniter.
Salah satu masalah yang mengemuka adalah aneksasi de facto yang
terjadi di Tepi Barat Palestina dimana Israel terus melakukan pembangunan
pemukiman Yahudi sejak tahun 1967,2 yang dipandang sebagai pelanggaran
atas Pasal 43 Konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907. Hal ini juga telah
dinyatakan oleh Mahkamah Internasional dalam Advisory Opinion mengenai
1 Lihat Rabbi Shabsi Bulman, 2010, Perjanjian Rahasia Yahudi Palestina, Pustaka
Solomon, Yogyakarta, h.7
2 Islam Times, 2013, “Menteri Israel Desak Aneksasi Tepi Barat”,
http://www.islamtimes.org/vdcezv8xzjh8wfi.rabj.txt, diakses terakhir tanggal 11 Maret 2014
1
2
2
Palestinian Wall bahwa pembangunan dinding pemisah Palestina bertentangan
dengan ketentuan yang relevan dari Konvensi Den Haag tahun 1907 dan
Konvensi Jenewa Keempat, bahwa mereka menghalangi kebebasan pergerakan
penduduk wilayah sebagaimana dijamin oleh Kovenan Internasional hak-hak
Sipil dan Politik, dan pembangunan dinding pemisah tersebut menghambat hak
untuk bekerja, kesehatan, pendidikan dan standar hidup yang layak
sebagaimana dicanangkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan konvensi Hak Anak .3
Masalah serius dalam sengketa bersenjata tersebut adalah terjadinya
sejumlah serangan yang justru mengakibatkan jatuhnya korban di kalangan
penduduk sipil khususnya anak-anak dan perempuan serta hancurnya sejumlah
obyek sipil. Hukum Humaniter sendiri sesungguhnya telah mengatur bahwa
orang sipil (civilian) dan objek sipil (civil object) tidak boleh diserang.
Banyak yang terjadi seusai Perang Enam Hari yang mengubah nasib
bangsa Palestina. Berbagai konflik bersenjata terus mewarnai hubungan
Palestina dan Israel. Namun, perlu juga dicatat bahwa berbagai upaya untuk
mendamaikan kedua bangsa ini juga terus diupayakan meski kerap berakhir
dengan kegagalan. Salah satunya adalah Perjanjian Oslo ini yang mendasari
3 International Court of Justice, “Legal Consequences of the Construction of a Wall in the
Occupied Palestinian Territory”, http://www.icj-
cij.org/docket/index.php?pr=71&code=mwp&p1=3&p2=4&p3=6, diakses terakhir tanggal 26
Februari 2014
3
3
terbentuknya pemerintahan Otoritas Palestina yang membawahi Jalur Gaza dan
Tepi Barat. Di bawah perjanjian ini Palestina mulai mendapat wewenang
memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Palestina bahkan sudah bisa
membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi
pemerintahan lain.
Sepanjang tahun 2012 militer Israel juga melakukan serangan pada
malam hari saat penduduk Gaza Palestina tidak memiliki lampu, pada siang
hari saat penduduk sedang ramai berjalan kaki, serta pada saat mereka sedang
sibuk berbelanja di pasar tradisional untuk kehidupan makan mereka sehari-
hari.4 Hal ini jelas melanggar Konvensi Den Haag 1907 yang melarang
penyerangan terhadap pemukiman atau bangunan-bangunan yang tidak
dipertahankan.5
Israel juga menggunakan bom fosfor putih yang ketika meledak akan
menimbulkan korban dalam jumlah besar.6 Hal ini belum termasuk ancaman
penggunaan senjata nuklir. Padahal, penggunaan senjata-senjata yang
4 Republika Online, 2012, “Israel Kembali Rutin Menyerang Jalur Gaza”,
http://m.republika.co.id/berita/komunitas/alamsemesta/12/03/15/m0wyas-israel-kembali-rutin-
menyerang-jalur-gaza, diakses terakhir tanggal 20 Januari 2014
5 Pasal 25 Konvensi Den Haag 1907 menyebutkan penyerangan atau pemboman dengan
alat apapun tehadap kota-kota, kampung-kampung, atau bangunan-bangunan yang tidak
dipertahankan adalah dilarang.
6SuaraMerdeka.com, 2012, “Nestapa Kemanusiaan Gaza”,
http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2012/11/21/206159/Nestapa-
Kemanusiaan-Gaza, diakses terakhir tanggal 20 Januari 2014
4
4
berbahaya telah dilarang berdasarkan Pasal 23 Konvensi Den Haag dengan
maksud untuk mengurangi dampak penderitaan yang tidak perlu.
Fakta yang lebih mencengangkan adalah Israel menggunakan tawanan
Palestina sebagai subyek percobaan kesehatan ilmiah, termasuk memaksa
mereka meminum minuman yang menggandung uranium dalam rangka
tindakan percobaan.7 Dalam keadaan putus asa, rakyat Palestina terpaksa
menggunakan apa yang disebut sebagai aksi teror.8
Keadaan sengketa bersenjata ini ternyata terus memakan korban jiwa
baik dari pihak sipil maupun kombatan. Sejumlah prinsip hukum humaniter
tampak telah dilanggar tanpa adanya sanksi. Salah satu prinsip yang paling
sering tidak diperhatikan oleh para kombatan adalah prinsip proporsionalitas.
Prinsip ini menentukan pelarangan terhadap penyerangan yang bisa
diperkirakan bakal menimbukan kerugian ikutan berupa korban tewas sipil,
korban luka sipil, atau kerusakan obyek sipil, atau gabungan ketiga hal tersebut,
7 Suara Media, 2012, “Ribuan Tahanan Palestina Jadi Kelinci Percobaan Obat Israel”,
http://www.suaramedia.com/berita-dunia/timur-tengah/44004-ribuan-tahanan-palestina-jadi-
kelinci-percobaan-obat-israel-html, diakses terakhir tanggal 20 Januari 2014
8 Republika Online, 2012, “Israel Kembali Rutin Menyerang Jalur Gaza”,
http://m.republika.co.id/berita/komunitas/alamsemesta/12/03/15/m0wyas-israel-kembali-rutin-
menyerang-jalur-gaza, diakses terakhir tanggal 20 Januari 2014
5
5
yang merupakan hal yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer
yang konkrit dan langsung yang ingin dicapai.9
Hal ini sangatlah menarik untuk dikaji dari perspektif hukum humaniter
internasional. Oleh karena itu, penulis berkeinginan menulis skripsi yang
berjudul Pelanggaran Asas-Asas Hukum Humaniter Dalam Sengketa
Bersenjata di Palestina.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis mengemukakan dua rumusan
masalah berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penduduk sipil di Gaza terkait
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter
khususnya prinsip proporsionalitas?
2. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran prinsip proporsionalitas dalam
sengketa bersenjata yang terjadi di Gaza ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapatkan tujuan yang objektif maka pembahasan dan analisa
dalam penelitian ini akan membatasi ruang lingkup masalah pada kedudukan
9 Aturan 14 Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan
6
6
Hukum Humaniter dan terkait mengenai permasalahan mengenai pelanggaran-
pelanggaran dalam sengketa bersenjata yang terjadi di Jalur Gaza.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang diharapkan penulis adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dilakukannya penulisan ini adalah untuk
menuangkan pikiran secara ilmiah dalam bentuk skripsi mengenai
Pelanggaran Prinsip Proporsionalitas dalam Sengketa Bersenjata di
Palestina.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalis perlindungan hukum terhadap penduduk sipil
di Gaza terkait pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam
Hukum Humaniter khususnya prinsip proposionalitas.
2. Untuk menganalisis bentuk sanksi terhadap pelanggaran prinsip
proporsionalitas dalam sengketa bersenjata yang terjadi di Gaza.
7
7
1.5. Manfaat Penulisan
Suatu tulisan idealnya memiliki manfaat yang ingin dicapai. Oleh
karena itu, ada sejumlah manfaat yang kiranya dapat diperoleh dari penulisan
skripsi ini baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis, yaitu :
a. Manfaat teoritis
1. Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan hukum
baik secara umum maupun terkhusus pada Hukum Internasional.
2. Memperdalam pengetahuan tentang Hukum Humaniter terkait
pada bentuk perlindungan hukum yang diterapkan dalam
sengketa sengketa bersenjata.
b. Manfaat praktis
1. Bagi para akademisi Hukum Internasional, khususnya Hukum
Humaniter Internasional, skripsi ini dapat memberikan informasi
mengenai perlindungan hukum terhadap penduduk sipil di Gaza
terkait pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Humaniter
Internasional.
2. Bagi ICRC skripsi ini dapat memberikan informasi terkait
pemantauan para pihak yang bersengketa dalam kepatuhan
tehadap Konvensi Jenewa dan mengorganisir perlindungan bagi
korban terutama penduduk sipil.
8
8
1.6 Landasan Teoritis
Hukum Internasional dalam masyarakat internasional merupakan tertib
hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing
berdaulat.10
Perkembangan masyarakat intenasional dan Hukum Internasional
ditandai dengan kemajuan teknik dalam alat-alat perhubungan menambah
mudahnya perhubungan yang melintasi batas-batas negara. Kemajuan di dalam
teknologi persenjataan menimbulkan masalah-masalah baru dan keharusan
meninjau kembali ketentuan-ketentuan mengenai hukum perang.11
Pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan perang atau sengketa-
agresi dan ketidakberdayaan Hukum Internasional untuk menanggulangi
persoalan endemik seperti perlucutan senjata, terorisme intenasional dan
perdagangan senjata-senjata konvensional cenderung mendapat perhatian yang
tidak memuaskan.12
Dari hal inilah masyarakat umum mengambil kesimpulan
yang keliru.13
Pelanggaran-pelanggaran perang yang terjadi antara Israel dan Palestina
cukup mendapat perhatian yang serius di dunia internasional. Banyaknya
10 T. May Rudy, 2002, Hukum Internasional 1, PT Refika Aditama, Bandung, h.42
11 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Binacipta,
Bandung, h.21
12
Lihat J.G. Starke, 2006, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 18
13 Ibid
9
9
korban sipil yang berjatuhan membuat masyarakat dunia mulai mengecam
tindakan Israel yang dinilai lebih banyak melakukan pelangaran perang.
Terutama karena seringnya Israel tidak mengindahkan perjanjian-perjanjian
yang telah diadakan oleh kedua belah pihak. Dalam skripsi ini, penulis
menggunakan Teori Mengikat Hukum Internasional sebagai landasan teori.
1.6.1 Ius in bello
Hukum Perang merupakan bagian dari Hukum Internasional dan
dewasa ini sebagian besar merupakan hukum tertulis. Prof. Mochtar
Kusumaatmadja tidak memberikan definisi. Ia hanya memberikan pembagian
hukum perang yaitu sebagai berikut :14
a. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yaitu hukum yang
mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan
kekerasan senjata.
b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Hukum ini dibagi
dua lagi, yaitu :
1. Hukum yang mengatur cara diberlakukannya perang (conduct of
war) yang biasanya disebut Hague Laws.
2. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang, yang lazimnya disebut Geneva Laws.
14 Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 7
10
10
Seperti telah dikemukakan di atas, hukum perang sebagian terbesar
dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional. Mengingat
banyaknya Conventions, maka akan disebutkan beberapa yang penting saja,
yaitu:15
1. Declaration of Paris, 1856, yang mengatur perang di laut;
2. Red Cross Convention, 1864 yang memperbaiki kondisi prajurit
yang luka-luka di medan pertempuran.
Selanjutnya perlu disebutkan beberapa konvensi yang dihasilkan dalam
Konferensi Perdamaian di the Hague tahun 1907, yaitu sebagai berikut:16
1. Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional dengan
cara damai (Konvensi I).
2. Konvensi mengenai cara mengawali permusuhan (Konvensi III).
3. Konvensi mengenai hukum dan kebiasaan peperangan di darat
(Konvensi IV). Konvensi ini sangat penting karena mengatur segala
segi dari peperangan di darat. Konvensi ini sangat penting karena
mengatur segala segi dari peperangan di darat. Konvensi ini
mempunyai suatu annex, yang dikenal dengan nama Hague
Regulations.
15 ibid
16 ibid
11
11
4. Konvensi mengenai hak dan kewajiban negara dan orang netral
dalam perang di darat (Konvensi V).
Sebagai hasil perkembangan hukum perang sesudah Perang Dunia Kedua
harus dicatat Konvensi Jenewa tahun 1949, yang berjumlah empat, yaitu:17
1. Konvensi untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam
Angkatan Perang di medan pertempuran darat;
2. Konvensi perbaikan keadaan anggota Angkatan Perang di Laut
yang luka, sakit, dan korban karam;
3. Konvensi tentang perlakuan terhadap tawanan perang;
4. Konvensi tentang perlindungan orang sipil di waktu perang.
Dalam tahun 1977 telah disepakati dua protokol, yaitu: Protocols
additional to the Geneva Convention 1949. Kedua protokol tersebut berjudul: 18
1. Protocol I: Protocol relating to the protection of victims of
International Armed Conflicts.
2. Protocol II: Protocol relating to the protection of victims of Non-
International Armed Conflicts
Dalam perkembangannya, pada tahun 2005 disepakati Protokol
Tambahan III mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan.
17 ibid, h. 9
18 ibid
12
12
1.6.2 Teori Mengikat Hukum Internasional
T. May Rudy dalam buku Hukum Internasional 1 menjelaskan ada 5 teori
mengenai kekuatan mengikat Hukum Internasional. Adapun teori-teori tersebut
sebagai berikut:19
1. Teori Hukum Alam (National Law)
Menurut para penganut ajaran hukum ini, Hukum Internasional itu
mengikat karena yaitu tidak lain daripada Hukum Alam yang
diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata
lain negara terikat pada hukum internasional dalam hubungan antara
mereka satu sama lain, karena hukum intenasional itu merupakan
bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Tokohnya
antara lain : Hugo Grotius dan Emmerich Vattel.
2. Teori yang mengatakan bahwa hukum internasional tidak lain daripada
hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum
internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai
kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Tokohnya yaitu Hegel,
George Jellineck, dan Zorn.
3. Teori yang menyandarkan kekuatan mengikat hukum internasional
pada kemauan bersama. Hukum Internasional itu mengikat bagi
19 T. May Rudy, op.cit, h. 41
13
13
negara, bukan karena kehendak mereka satu-persatu untuk terikat,
melainkan karena adanya suatu kehendak bersama yang lebihh tinggi
dari kehendak masing-masing negaa untuk tunduk pada hukum
internasional. Teori ini disebut juga sebagai “VereinBarung Theory”.
Tokohnya yang terkenal yaitu Triepel.
4. Teori yang mendasarkan asas Pacta Sunt Servanda sebagai kaidah
dasar hukum internasional. Teori ini bertolak dari ajaran Mazhab Wina
yang mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaidah dasar,
memang dapat menerangkan secara logis darimana kaidah hukum
internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya, tetapi ajaran ini
tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat.
Tokohnya yaitu Kelsen.
5. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada
faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan
Fakta-fakta kemasyarakatan. Menurut teori ini dasar kekuatan
mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa
mengikatnya hukum ini mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya
kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat. Teori ini mendasarkan
diri pada Mazhab Prancis dengan tokoh-tokohnya yaitu, Fauchile,
Scelle, dan Duguit.
14
14
Faktor pengikat non-mateiil lainnya adalah adanya kesamaan asas-asas
hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini, betapapun berlainan wujudnya
hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat
hukum bangsa-bangsa. Asas-asas pokok hukum yang bersamaan ini yang
dalam ajaran mengenai sumber hukum formil dikenal dengan asas-asas hukum
umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab merupakan penjelmaan
dari hukum alami (naturrecht).20
Dalam penulisan skripsi ini, teori daya mengikat hukum internasional
yang digunakan adalah teori yang mendasarkan asas Pacta Sunt Servanda
sebagai kaidah dasar hukum internasional. Asas ini tertuang dalam Pasal 26
Konvensi Wina Tahun 1969 yang menyatakan bahwa setiap perjanjian
mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Kaidah ini
digunakan karena segala perundingan baik yang dilakukan antara Palestina-
Israel maupun yang digagas oleh pihak ketiga lainnya merupakan hasil
perundingan yang mengikat kedua belah pihak. Serta hukum kebiasaan
internasional yang secara langsung mengikat tanpa perlu adanya ratifikasi
terlebih dahulu.
20 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, h. 14
15
15
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan penelitian yuridis normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau penelitian hukum
kepustakaan.21
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum,
penelitian terhadap sejarah hukum.22
1.7.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Penulisan
skripsi ini menggunakan beberapa pendekatan yakni :
1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.23 Khususnya
mengenai penerapan Konvensi Jenewa 1949 dalam sengketa bersenjata
di Gaza.
21
Soerjono Soekanto dkk, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
Rajawali Press, Jakarta, h. 38
22Ibid.
23 Amgasussari A.S., “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”,
http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/,
diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014
16
16
2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
Pendekatan ini digunakan menelaah semua peraturan perundang-
undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang
sedang dihadapi24
dan untuk meneliti sejumlah instrumen internasional
yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menganalisis sengketa
bersenjata yang terjadi di Gaza.
3. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.25
Dalam tulisan ini
pendekatan sejarah digunakan untuk meninjau sejarah awal terjadinya
sengketa bersenjata di Palestina.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan dasar penelitian hukum normatif mencakup bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau penunjang.26
Adapun
24 Amgasussari A.S., “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”,
http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/,
diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014
25 Amgasussari A.S., “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”,
http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/,
diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014
26 Soerjono Soekanto dkk, op.cit, h. 38
17
17
penggunaan bahan-bahan hukum tersebut masing-masing diuraikan sebagai
berikut:
a. Bahan Hukum Primer yang terdiri atas:
1. Piagam PBB
2. Konvensi Den Haag 1907
3. Konvensi-Konvensi Jenewa (1949) beserta Protokol Tambahan I
(1977)
4. Statuta Roma 1998
b. Bahan Hukum Sekunder yang terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-
jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang
temuat dalam media massa, dan internet dengan menyebutkan nama
situsnya yang berkiatan dengan topik skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier yang terdiri dari kamus yang digunakan
untuk memperjelas makna dalam topik skripsi ini.