BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/31330/2/BAB I .pdf · Peraturan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/31330/2/BAB I .pdf · Peraturan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai tubuh bumi merupakan tempat tinggal serta tempat
beraktifitas bagi manusia dan juga merupakan kekayaan nasional yang
dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun pemerintah
dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Jadi dengan demikian tanah
mempunyai arti penting dan peranan penting dalam hidup dan kehidupan
manusia karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung dengan tanah1.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional tanah mempunyai peran yang
sangat penting, tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai
sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena kesediaan
tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat, maka
diperlukan pengaturan yang baik, tegas, dan cermat mengenai penguasaan
pemilikan maupun pemanfaatan tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita
penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Permasalahan pembangunan di Indonesia erat kaitannya terhadap permasalahan
tanah diantara pihak pembangunan dengan pemilik tanah baik secara fisik
maupun non fisik.
Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Manusia memiliki cipta dan
1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1977, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga
Jaminan Khususnya Fiducia Di dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Yogyakarta :
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulak Sumur, hlm 6
2
rasa dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan
kemakmuran baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan
datang. Pemanfaatan sumber daya alam bagi kebutuhan generasi sekarang juga
mempertimbangkan dan memperhatikan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan oleh pemerintah, khususnya pembangunan fisik mutlak
memerlukan tanah. Tanah tersebut dapat berupa tanah negara maupun tanah hak.
Pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana yang paling penting
sedangkan warga masyarakat memerlukan tanah untuk tempat tinggal serta
mencari nafkah, hal inilah yang merupakan suatu polemik didalam keperluan
pembangunan, namun hal ini harus dilakukan agar terciptanya pembangunan
infrastruktur yang dapat dirasakan masyarakat.
Istilah pengadaan tanah secara substansial lebih luas daripada hanya yang
dimaksud pengadaan tanah2.
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah. Wujud pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan merupakan suatu cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam
rangka mengambil tanah-tanah warga masyarakat demi suatu pembangunan3.
Dalam pembukaan UUD RI 1945 dengan kata-kata : “memajukan
kesejahteraan umum” dalam Pasal 33 ayat (3) menggariskan kebijakan dasar
mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada,
dengan kata- kata“ Bumi, air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
2 Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam
Konsolidasi Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta., hlm 2. 3 Ibid, hlm 3
3
dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Dalam batang tubuh UUD RI 1945 sendiri tidak terdapat penjelasan
mengenai sifat dan lingkup Hak Menguasai dari Negara tersebut. Dalam
penjelasan ayat (3) pasal tersebut hanya dinyatakan, bahwa: “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Baru dengan kelahiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan
Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA), yang pada tanggal 24 September 1960,
diberikan penjelasan resmi (otentik) mengenai sifat dan lingkup Hak Menguasai
dari Negara tersebut, Pegaturan hak atas tanah telah diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104).
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah, atas hak menguasai negara diatur di
dalam Pasal 2 UUPA : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA
mengandung beberapa prinsip keutamaan dimana di dalam UUPA menjamin hak
milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan
4
kepentingan masyarakat sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan,
kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah.
Pasal 18 UUPA dalam kaitannya terhadap pengadaan tanah juga berperan
penting untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang. Pengaturan pengadaan tanah juga diatur oleh Undang-Undang Nomor
12 Tahun 12 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, serta Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 perubahan ke tiga atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanah dibagi menjadi dua
yaitu, tanah hak dan tanah Negara. Tanah hak adalah tanah-tanah yang sudah ada
hak di atasnya, contohnya hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, hak sewa seperti hak-hak yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.,
sedangkan tanah negara merupakan tanah-tanah yang belum dihaki dengan hak-
hak perorangan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) contohnya tanah
bengkok desa.
Apabila tanah yang diperlukan untuk pembangunan itu berupa tanah negara,
maka pengadaan tanahnya tidaklah sulit, yaitu dengan cara pengajuan
permohonan hak atas tanah secara langsung kepada negara, untuk selanjutnya
digunakan untuk pembangunan. Akan tetapi, tanah negara saat ini jarang
ditemukan, oleh karena itu tanah yang diperlukan untuk pembangunan umumnya
adalah tanah hak yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna
5
bangunan, dan hak pakai.
Negara selaku badan penguasa yang memiliki hak menguasai yang
menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti
“dimiliki”, melainkan hak yang member wewenang kepada Negara untuk
menguasai seperti hal tersebut4. Negara akan dapat senantiasa mengendalikan
atau mengarahkan pembangunan sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang
ada, yaitu dalam lingkup penguasaan secara yuridis yang beraspek publik5.
Penguasaan tanah untuk kepentingan publik salah satunya diperlukan untuk
pembentukan pembangunan perkantoran kabupaten Kerinci
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling
dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh
karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna
kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan
mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk
tanah atau fasilitas lain.
Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan
pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa
tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas, oleh karena itu satu-satunya cara
yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik
yang telah dikuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak- hak
lainnya menurut UUPA
4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum, Djambatan, Jakarta, hlm 234 5 Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru
Untuk Reformas Agraria), Yogyakarta: Citra Media, 2007 hlm. 5
6
Proses pembebasan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah
ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala
keterangan dan data- data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian
ganti rugi. Apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian
dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.
Apabila pembebasan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan
keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah
tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan
cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana di atur dalam Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 1961.
Pembangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum dewasa ini
menuntut adanya pemenuhan kebutuhan akan pengadaan tanah secara cepat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Undang – Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Bagi Kepentingan Umum menjadi salah satu payung hukum bagi pemerintah
dalam hal mempermudah penyediaan tanah untuk pembangunan tersebut. Melalui
kebijakan tersebut, melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah, pemerintah
mempunyai kewenangan untuk mengambil tanah milik masyarakat yang secara
kebetulan diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
Mekanisme musyawarah yang seharusnya menjadi sarana untuk mencari
jalan tengah dalam menentukan besarnya ganti kerugian seringkali tidak
mencapai kata sepakat dan karenanya dengan alasan kepentingan umum, maka
pemerintah melalui panitia pengadaan tanah dapat menentukan secara sepihak
7
besarnya ganti rugi dan kemudian menitipkannya ke pengadilan negeri setempat
melalui prosedur konsinyasi.
Hal itulah yang kemudian menjadi permasalahan, bahwa konsinyasi
yang diterapkan dalam Undang – undang ini berbeda dengan konsinyasi yang di
atur dalam KUHPerdata, di mana dalam KUHPerdata konsinyasi dapat dilakukan
jika sebelumnya terdapat hubungan hukum antara para pihak. Sedangkan dalam
Perpres justru sebaliknya, konsinyasi diterapkan disaat kesepakatan antara para
pihak tidak tercapai, tidak ada hubungan hukum sama sekali diantara para pihak
tersebut.
Perbedaan dalam hal konsep penerapan konsinyasi inilah yang
mengindikasikan bahwa Perpres No. 65 Tahun 2006 lebih memihak investor
daripada nasib masyarakat yang tanahnya harus diambil untuk pembangunan yang
seringkali mengatasnamakan kepentingan umum. Penerapan konsinyasi dalam
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum ini sebagai alternatif
penyelesaian konflik pengadaan tanah bisa jadi membawa dampak pada
kesewenang - wenangan pemerintah dalam hal penggusuran atau pengusiran
secara paksa. Padahal alternatif terakhir yang dapat ditempuh adalah dengan
pengajuan permohonan pencabutan hak atas tanah berdasarkan UU No. 20 Tahun
1961, dan bukannya dengan mengkonsinyasikan uang ganti rugi ke pengadilan
negeri dan menganggap kewajibannya dalam pembebasan lahan sudah selesai,
dan dengan serta merta melakukan pembangunan di lahan tersebut.
Secara geografis Kabupaten Kerinci berada di ujung paling barat Propinsi
Jambi. Daerah ini berupa dataran tinggi yang berada di antara 500 s/d 1.500 meter
8
dari permukaan laut. Luas Wilayah Kabupaten Kerinci adalah 380.000 Ha dan
merupakan Kabupaten terkecil ketiga di antara Kabupaten/Kota yang ada di
Propinsi Jambi (seluas 7,20% dari total luas Propinsi Jambi). Sementara sejumlah
191.822 Ha (50,37%) merupakan wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat. Hanya
sekitar 189.27 Ha (49,63%) yang menjadi kawasan hunian, hutan konservasi dan
lahan pertanian serta perkebunan. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS)
dikenal sebagai surga bagi keanekaragaman hayati sekaligus berfungsi sebagai
paru-paru dunia6.
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Kerinci tercatat sebanyak
241.067 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 119.020 jiwa dan
perempuan sebanyak 21.605 jiwa, sedangkan laju pertumbuhan penduduk sebesar
0,83 persen per tahun. Penduduk Kabupaten Kerinci tersebar di 16 kecamatan,
yaitu: Kecamatan Batang Merangin, Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan Bukit
Kerman, Kecamatan Danau Kerinci, Kecamatan Keliling Danau, Kecamatan
Sitinjau Laut, Kecamatan Air Hangat, Kecamatan Air Hangat Timur, Kecamatan
Air Hangat Barat, Kecamatan Depati Tujuh, Kecamatan Siulak, Kecamatan Siulak
Mukai, Kecamatan Gunung Kerinci, Kecamatan Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro
Barat, dan Kecamatan Gunung Tujuh. Serta 286 desa dan 2 kelurahan tersebar di
sana.
Secara administratif di sebelah utara Kabupaten Kerinci berbatasan dengan
Kabupaten Solok Selatan, Propinsi Sumatera Barat. Di sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Merangin, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo
dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Muko-muko, Propinsi Bengkulu.
6 www.pemkab-kerinci.go.id/ Sekilas Tentang Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci
,diakses pada tanggal 1 Maret 2017
9
Sementara di tengah-tengah Kabupaten Kerinci terdapat wilayah administratif
Kota Sungai Penuh yang merupakan hasil pemekaran sebagaimana di atur dalam
Undang – Undang No 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kotamadya Sungai
Penuh.7
Atas dasar itulah Pemerintah Kabupaten Kerinci mengadakan pengadaan
tanah untuk pembangunan fasilitas umum untuk kelancaran pemerintahan guna
kelancaran aktivitas pemerintahan, dimana tanahnya berasal dari hibah dengan
cara pelepasan / pembebasan tanah hak atas milik adat yang menjadi tanah
negara. Bahwa selama ini masih banyak terdapat tanah – tanah instansi
pemerintah Kerinci baik itu yang didapat dalam pengadaan tanah yang belum
bersertifikat, untuk itu perlu didaftarkan segera. Berdasarkan informasi dan
laporan dari bagian aset Pemerintah Kabupaten Kerinci dilaporkan aset tanah
Pemerintah Kabupaten Kerinci dilaporkan aset tanah milik Pemkab Kerinci belum
bersertifikat sangat banyak hal ini sesuai dengan yang diterbitkan oleh Sekretaris
Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 030/655/VI/DPPKA/2016 tanggal 27 Februari
2016 terdapatnya 37 ( tiga puluh tujuh ) porsil tanah yang belum bersetifika ,
untuk itu pemerintah Kerinci menargetkan akan menyelesaikan secara bertahap,
diantaranya berupa tanah sekolah, puskesmas, gedung kantor, maupun tanah
kosong
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka perlu adanya
perumusan masalah guna mempermudah pembahasan selanjutnya. Adapun
permasalahan yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut :
7 Ibid.
10
1. Bagaimana pengurusan hak atas tanah pasca pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Kerinci?
2. Hambatan – hambatan yang timbul dalam pengurusan atas tanah pasca
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum di
Kabupaten Kerinci ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
diatas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengurusan hak atas tanah pasca pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Kerinci.
2. Untuk mengetahui hambatan – hambatan yang timbul dalam pengurusan
atas tanah pasca pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum di Kabupaten Kerinci.
D. Manfaat Penelitian
Berangkat dari perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, ada
beberapa manfaat yang ingin penulis peroleh. Adapun manfaat tersebut
penulis kelompokan menjadi 2 ( dua ) kelompok, yaitu :
1. Manfaat Teoritis.
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan di Bidang Hukum Agraria
khususnya Hukum Pertanahan terutama bagi praktisi pengadaan
tanah yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan yaitu tim
pelaksana pengadaan tanah dan masyarakat.
11
b. Diharapkan dapat membandingkan kebenaran pengetahuan yang
diperoleh pada saat perkulihan dengan pelaksanaan dan kenyataan
yang terjadi di lapangan sehingga dapat dicari persamaan dan
perbedaan yang jelas antar teori dan praktek
2. Manfaat Praktis
a. Melalui penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pihak – pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pengurusan
hak – hak atas tanah serta pendaftaran dalam hal tanah yang di jual
untuk pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi
kepentingan umum agar dapat menghindari permasalahan -
permasalahan di kemudian hari serta memberikan informasi kepada
masyarakat bagaimana proses pelaksanaan pengurusan hak – hak
atas tanah serta pendaftaran tanah oleh pemerintah daerah Kabupaten
Kerinci dilaksanakan dengan benar sehingga pada akhirnya tercapai
jaminan kepastian hukum.
b. Diharapkan bermanfaat bagi masyarakat dan kaum akademisi dalam
pengetahuan pemahaman hukum Agraria.
E. Keaslian Penelitian
Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah bagaimana pelaksanaan
Pengurusan Hak Atas Tanah Pasca Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Di Kabupaten Kerinci Sehingga penelitian ini
merupakan satu – satunya dan karya asli dan pemikiran yang objektif dan jujur.
Keseluruhan proses penulisan sampai pada hasilnya merupakan upaya mengkaji
kebenaran ilmiah yang dapat dipertangung jawabkan.
12
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, diketahui ada
beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan Pendaftaran
Tanah, antara lain :
1. Tesis atas nama Sri Lilmardany, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Andalas, tahun 2013 yang berjudul :
“Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kalinya Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 di Kota Padang”. Permasalahan
yang diteliti adalah bagaimana pelayanan kantor pertanahan kota
Padang terhadap pendaftaran tanah untuk pertama kalinya terhadap
tanah adat, pendaftaran tanah untuk pertama kali terhadap tanah negara
dan apakah kendala – kendala yang dihadapi kantor pertanahan kota
Padang dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya.
2. Tesis atas nama Dwi Fratmawati, Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2006
yang berjudul : “ Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembagunan
Untuk Kepentingan Umum di Semarang ( Studi Kasus Pelebaran Jalan
Raya Ngaliyan – Mijen ) “ . Permasalahan yang diteliti adalah
bagaimana proses / pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan
pelebaran jalan Ngaliyen – Mijen Semarang.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum
atau teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-
norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
13
permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-
pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal baik yang erat antara teori
dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta kontruksi,
dan data – data.
a. Teori Kepastian Hukum
Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang
mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori
“kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus
yang serupa yang telah diputuskan.
Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu
menjamin kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan
kemasyarakatan. Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”.
Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin
keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang
14
yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam
pengertian “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan
kepastian dalam atau dari hukum.
Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-
banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu
tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat
berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-
undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-
lainan
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.8
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
8 Hans Kelsen dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana,
Jakarta, 2008, hlm.158
15
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility.9
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada
kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum
ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya,
dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-
satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. 10
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara
terhadap individu.11
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik
9 Gustav Radbruch dalam Dwika,“Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”,
http://hukum.kompasiana.com. (02/04/2011), diak ses pada 24 Januari 2016 10
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm 59 11
Utrecht dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra
Aditya Bakti,Bandung, 1999, hlm.23.
16
yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan.
Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh
hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa
hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian.12
b. Teori Perlindungan Hukum
Teori yang digunakan dalam kasus ini adalah teori perlindungan
hukum oleh Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum berbahasa
Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers.”
Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan
dari Bahasa Belanda yakni “rechtbescherming.” 13
Philipus M Hadjon
membedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam 2 (dua) macam yaitu:
1. Perlindungan hukum reprensif artinya ketentuan hukum dapat
dihadirkan sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan pelanggaran
hukum. Upaya ini diimplementasikan dengan membentuk aturan
hukum yang bersifat normatif.
2. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap
12
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit
Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.82-83 13
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1
17
hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi.
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.
Menurut Soerjono Soekanto fungsi hukum adalah untuk mengatur
hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya, dan hubungan
antara sesama warga masyarakat tersebut, agar kehidupan dalam masyarakat
berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas
hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan
keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya
peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku umum. Agar tercipta
suasana aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud harus
ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. 14
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat
dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah
kebaikan, kebahagian yang sebesar-besarnya dan berkurangnya
penderitaan.15
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan
keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian
hukum (rechtszekerheid).16
Menurut Satjipto Raharjo, ”Hukum melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
14
Soerjono Soekanto, 1999, Penegakkan Hukum, Binacipta, Bandung hlm 15 15
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem Remaja
Rosdakarya, Bandung, hlm. 79 16
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, hlm. 85
18
Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti,
ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah
yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa
disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi
alasan melekatnya hak itu pada seseorang.17
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh
penguasa tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban
dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia. Ada pula menurut Muchsin, perlindungan
hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan
menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma
dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antar sesama manusia.
Pada dasarnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek
yang dilindungi oleh hukum yang dapat menimbulkan adanya hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak. Hak dan kewajiban di dalam
hubungan hukum tersebut harus mendapatkan perlindungan oleh hukum,
sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakannya. Hal ini
menunjukkan bahwa arti dari perlindungan hukum itu sendiri adalah
pemberian kepastian atau jaminan bahwa seseorang yang melakukan hak
dan kewajiban telah dilindungi oleh hukum.
Adanya hubungan hukum yang terjadi antara pembeli lelang, debitur
17
Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53
19
dan kreditur menciptakan adanya perlindungan hukum, dalam hal ini
perlindungan hukum dapat diartikan bahwa hubungan antara kreditur dan
debitur tidaklah mengurangi perlindungan hukum yang seharusnya diterima
oleh pembeli lelang tersebut.
2. Kerangka Konseptual
Selain didukung dengan kerangka teoritis, penulisan ini juga di dukung
oleh kerangka konseptual yang merumuskan defenisi – defenisi tertentu yang
berhubungan dengan judul yang diangkat, yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus – menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang – bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang – bidang
tanah yang sudah haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak –
hak tertentu yang membebaninya.18
2. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah
yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah
ini.19
3. Pendaftaran Tanah Secara Sistematik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi
18
Pasal 1 butir 1 , Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah 19
Ibid , Pasal 1 butir 9
20
semua objek pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa / kelurahan.20
4. Pendafataran Tanah Secara Sporadik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ atau
kelurahan secara individual atau massal.21
5. Pejabat Pembuat Akta Tanah , selanjutnya disebut PPAT , adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta – akta
autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.22
6. Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak. 23
G. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan Masalah
Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah Hukum yuridis
empiris (sociolegal research). Pendekatan Yuridis digunakan untuk
menganalisis berbagai Peraturan Perundang–undangan berkaitan dengan
permasalahan diatas, Sedangkan Pendekatan Empiris digunakan untuk
20
Ibid, Pasal 1 butir 10. 21
Ibid, Pasal 1 burir 11 22
Pasal 1 butir 1, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah 23
Pasal 1 ayat 2 UU No, 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Kepentingan Umum ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280 )
21
menganalisis hukum dengan melihat ke sesuatu kenyataan hukum di dalam
masyarakat. 24
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
melukiskan tentang keadaan sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat
tertentu. Penelitian ini berdasarkan sifatnya merupakan penelitian bersifat
deskriptif analitis yang bertujuan memaparkan hasil penelitian yang sedetil
mungkin tentang permasalahan diatas, serta kendala yang dihadapi dan
upaya hukum apa yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Data Primer / Data Lapangan
Data Primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari hasil
penelitian di lapangan yang diperoleh langsung dari dan kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Kerinci yang dilakukan dengan
wawancara / interview, teknik wawancara yang dilakukan adalah
wawancara semi terstruktur maksudnya pertanyaan telah disusun dan
disiapkan sebelumnya, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk
menanyakan suatu hal yang ada kaitannya dengan pertanyaan yang
sedang ditanyakan dengan pertanyaan selanjutnya, wawancara ini
dilakukan dengan pihak – pihak yang terkait dalam masalah.
24
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 105
22
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini utamanya adalah bahan
hukum yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat yang mencakup perundang –
undangan yang berlaku yang ada kaitannya dengan permasalahan
di atas. Adapun peraturan yang dipergunakan adalah :
1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok – Pokok Hukum Agraria.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
5. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.
6. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1961 ( LN tahun 1961
No. 288 ) tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda –
Benda Yang Ada diatasnya.
7. Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
b. Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum memberikan penjelasan
mengenai hal bahan hukum Primer yang terkait dengan penelitian
yang dilakukan, diantaranya :
23
1. Buku – buku yang berkaitan.
2. Makalah – makalah dan hasil penelitian lainnya.
3. Teori – teori hukum dan pendapat sarjana melalui literatur
yang dipakai.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti berasal dari Kamus Hukum dan
Eksiklopedia yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Studi Dokumen
Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan – bahan
hukum yang terdiri dari bahan – bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier. Langkah – langkah yang
ditempuh untuk melakukan studi dokumen dimaksud dimulai dari
studi dokumen terhadap bahan hukum primer, kemudian baru bahan
hukum sekunder dan tertier. 25
Setiap bahan itu harus diperiksa ulang validasi dan reabilitasnya,
sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.
2. Wawancara Mendalam ( Indepth Interview ) yaitu melakukan
pertanyaan tanya jawab / wawancara yang dilakukan berulang kali
dengan responden di lokasi penelitian. Responden terdiri dari para
25
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 13 - 14
24
pejabat pada Kantor Badan Pertanahan Negara ( BPN ) kabupaten
Kerinci.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis data
Dari bahan atau data – data yang diperoleh melalui data primer dan data
sekunder tidak semua dimasukkan ke dalam hasil penelitian, akan tetapi
terlebih dahulu dipilih data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti kemudian dituangkan dalam bentuk logis dan sistematis sehingga
diperoleh data – data yang terstruktur. Untuk menganalisa data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu analisa terhadap data –
data untuk menghasilkan data yang tersusun secara sistematis berdasarkan
peraturan perundang – undangan, pendapat para ahli dan hasil penelitian
penulis.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan tesis ini lebih terarah dan teratur, maka akan dibagi dalam 4
bab yakni :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan berisikan uraian – uraian tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian,
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini membahas tentang teori – teori dan konsep – konsep
mempunyai yang mempunyai relevansi dengan masalah yang
diteliti yaitu membahas tentang Pengadaan Tanah bagi
25
pembangunan untuk kepentingan umum yang berdasarkan dalam
peraturan perundang – undangan.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan membahas tentang uraian permasalahan yang
akan diteliti mengenai Pengadaan Tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum dan hambatan – hambatan dalam
mengatasi masalahnya yang terdapat di Kabupaten Kerinci
BAB IV PENUTUP
Merupakan bab penutup dari tesis yang mana berisikan tentang
kesimpulan yang ditarik mulai dari bab I sampai dengan bab III.
Pada bab ini juga berisikan tentang saran sebagai sumbangan
pemikiran guna melengkapi tujuan penulisan tesis ini.