BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id · PDF filePENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... Menurut...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id · PDF filePENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... Menurut...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini hampir 65 juta orang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Setengah dari penderitanya akan meninggal dalam waktu 10 tahun
kedepan. Menurut laporan World Health Organization (WHO), PPOK menempati
urutan ketiga penyebab kematian, dan hampir setengahnya diakibatkan oleh rokok
(World Health Organization, 2014a). Di Asia Tenggara, diperkirakan prevalensi
PPOK sebesar 6,3%. Rokok juga memperburuk perjalanan penyakit PPOK karena
menurunkan respon terhadap terapi steroid. Dibutuhkan sekitar $18 miliar biaya
langsung dan biaya tidak langsung sekitar $14,1 miliar dalam penanggulangan
PPOK di Eropa (Oemiati, 2013).
Terdapat 365.000 penderita kanker paru di Amerika, dengan insidens 63,1
dalam 100.000 populasi. Kematian karena kanker paru dilaporkan memiliki
insidens sebesar 51,5 dalam 100.000 populasi Amerika (American Lung
Association, 2010). WHO menyatakan kanker paru termasuk dalam lima besar
penyakit kanker di dunia dengan jumlah kematian 1,59 juta per tahunnya (World
Health Organization, 2014b). Kecenderungan meningkatnya kasus kanker paru
masih berlanjut di Indonesia (Syahruddin&Jusuf, 2011).
Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan jumlah perokok
terbanyak di dunia. WHO memprediksi bahwa tahun 2020, penyakit yang
disebabkan oleh rokok akan mengakibatkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa di dunia
2
dan setengah dari kematian tersebut berasal dari wilayah Asia (World Health
Organization, 2008). Sebanyak 10% atau sekitar 200,000 jiwa dari total kematian
di Indonesia disebabkan oleh rokok. Empat dari enam penyebab kematian tersebut
berhubungan dengan masalah paru, yaitu penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
kanker paru, tuberkulosis, dan infeksi saluran pernapasan (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011a).
Sepertiga hingga setengah perokok menjadi ketergantungan nikotin pada 2
hingga 3 tahun pertama (Royal College of Physicians, 2007). Aktivasi reseptor
kolinergik oleh nikotin dapat melepaskan dopamin (efek perasaan nyaman,
penekanan napsu makan), norepinefrin (efek eksitatori, penekanan napsu makan),
asetilkolin (efek eksitatori, peningkatan kognitif), glutamat (efek peningkatan
belajar dan memori), serotonin (efek peningkatan suasana hati, penekanan napsu
makan), beta endorfin (efek pengurangan ansietas dan ketegangan), dan Gamma
Amino Butiric Acid / GABA (efek pengurangan ansietas dan ketegangan)
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011a).
Populasi pasien dengan penyakit respirasi merupakan kelompok yang
tergolong sulit untuk berhenti merokok. Seyogyanya, kelompok tersebut memiliki
motivasi berhenti merokok yang lebih tinggi mengingat adanya keluhan respirasi
yang mereka alami. Namun data dari penelitian Tonnesen et al menunjukkan
sebagian besar dari mereka gagal berhenti merokok. Seiring bertambah parahnya
keluhan respirasi, kelompok tersebut akan mengulangi usaha berhenti merokok
namun akan gagal lagi dan kemungkinan mengalami toleransi terhadap nasihat
yang diberikan oleh dokter. Semakin parah kelainan respirasi yang diderita, akan
3
lebih sulit untuk berhenti merokok, misal pada pasien PPOK yang sudah mengalami
penurunan kualitas hidup, maka rokok dianggap sebagai salah satu peningkat
kualitas hidup pada kelompok tersebut (Tonnesen et al, 2007). Keterkaitan erat
antara masalah rokok dengan penyakit paru diperkuat dengan adanya teori yang
menyatakan bahwa pasien dengan PPOK dan/atau kanker paru diduga memiliki
Single Nucleotide Polymorphism (SNP) pada gen Cholinergic Receptor,Neural
nicotinic Alpha 5 (CHRNA5), Cholinergic Receptor,Neural nicotinic Alpha 3
(CHRNA3), Cholinergic Receptor,Neural nicotinic Beta 4 (CHRNB4) yang
berkaitan dengan tingginya ketergantungan nikotin pada pasien dengan penyakit
tersebut (Eggert et al., 2013; Picciotto&Kenny, 2014).
Berhenti merokok membawa dampak besar bagi kesehatan. Terdapat
korelasi yang jelas antara usia saat berhenti merokok dengan kematian prematur.
Mantan perokok mempunyai waktu 20-30 tahun untuk berkembang jadi kanker
paru, risiko tersebut adalah lebih rendah 80% daripada risiko kanker paru pada
perokok. Setelah berhenti merokok selama 15 tahun, risiko terjadinya kanker paru
dapat menurun hingga setengahnya. Risiko terjadinya penyakit jantung koroner
dapat dihindari setelah berhenti merokok 2 tahun, dan risiko tersebut hilang setelah
berhenti merokok 10 tahun. Risiko terjadinya stroke hilang setelah berhenti
merokok 2 hingga 4 tahun. Berhenti merokok juga memberi keuntungan bagi yang
telah memiliki penyakit, misal perokok dengan penyakit jantung koroner dapat
mengurangi 36% risiko kematian prematur jika berhenti merokok (Royal College
of Physicians, 2007). Berhenti merokok terbukti menurunkan perlambatan Volume
Ekspirasi Paksa dalam 1 detik pertama (VEP1) dibandingkan dengan yang tetap
4
merokok. Manfaat henti rokok sudah mulai ada sejak 20 menit pertama, sehingga
berapa lamapun seseorang berhasil berhenti merokok akan tetap bermanfaat
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011a). Henti rokok telah terbukti sebagai
pencegahan maupun penatalaksanaan non farmakologis pasien PPOK dan kanker
paru (Royal College of Physicians, 2007).
Menghentikan kebiasaan merokok tidaklah mudah, dibutuhkan komitmen
yang kuat dari dalam diri perokok dan bantuan dukungan dari sekitarnya. Peranan
dokter sangat penting untuk kesuksesan program berhenti merokok. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 70% perokok berkeinginan untuk berhenti merokok,
namun hanya 3-5% yang berhasil (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011a).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poli Paru dan Unit Rawat Inap Penyakit
Dalam RSUP Sanglah tahun 2014 didapatkan bahwa 75,45 % pasien dengan
kelainan respirasi yang merokok pernah melakukan usaha henti rokok namun hanya
46,1% yang berhasil berhenti merokok, dan keseluruhan perokok tersebut tidak
mencari bantuan medis untuk masalah merokok (Cindy et al., 2014).
Penatalaksanaan terbagi atas metode non farmakologi dan farmakologi.
Terapi farmakologi yang banyak direkomendasikan pada beberapa pedoman adalah
Nicotine Replacement Therapy (NRT), bupropion SR, dan varenicline tartrate.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa metode ini efektif dalam menunjang
program berhenti merokok (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011a).
Sedangkan pada metode non farmakologi, konseling individual terbukti membantu
keberhasilan berhenti merokok dibandingkan dengan brief advice (OR 1,55;IK95%
1,27-1,90) (Lancaster&Stead, 2008). Penelitian menunjukkan hanya 3-5% perokok
5
yang berhasil berhenti merokok dengan metode self-help (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011a).
Penelitian ini mencoba mengidentifikasi keberhasilan berhenti merokok
setelah konseling individual pada perokok populasi khusus yaitu perokok dengan
penyakit respirasi. Keberhasilan berhenti merokok dinilai dari 2 parameter,
Continuous Abstinence Rate (CAR) dan/atau peningkatan skala motivasi berhenti
merokok. Efektivitas metode konseling individual dianalisis dalam penelitian ini
untuk diterapkan sebagai upaya awal dari intervensi terhadap masalah merokok di
Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
Apakah efektivitas konseling individual terhadap keberhasilan berhenti
merokok pada perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru
lebih rendah dibandingkan dengan perokok penderita penyakit respirasi lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
6
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas konseling individual terhadap keberhasilan berhenti
merokok pada perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru
dibandingkan dengan perokok penderita penyakit respirasi lainnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui Continuous Abstinence Rate (CAR) setelah konseling
individual pada perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan
kanker paru dibandingkan dengan perokok penyakit respirasi lainnya.
2. Mengetahui peningkatan skala motivasi berhenti merokok setelah konseling
individual pada perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan
kanker paru dibandingkan dengan perokok penyakit respirasi lainnya.
3. Mengetahui Continuous Abstinence Rate (CAR) setelah self-help pada
perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru
dibandingkan dengan perokok penyakit respirasi lainnya.
4. Mengetahui peningkatan skala motivasi berhenti merokok setelah self-help
pada perokok penderita penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru
dibandingkan dengan perokok penyakit respirasi lainnya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Menerapkan metode henti rokok nonfarmakologik yaitu konseling
individual untuk melihat efektivitasnya terhadap perokok penderita PPOK dan
kanker paru yang diduga lebih sulit berhenti merokok dibandingkan dengan
7
perokok penderita penyakit respirasi lainnya. Hal tersebut terkait dengan teori
adanya Single Nucleotide Polimorphism (SNP) pada gen CHRNA3, CHRNA5,
CHRNB4 yang menyebabkan ketergantungan nikotin yang lebih tinggi pada pasien
PPOK dan kanker paru (Eggert et al., 2013; Picciotto&Kenny, 2014). Belum ada
penelitian yang mengkaji hal tersebut secara khusus.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memperoleh gambaran keberhasilan berhenti merokok dan efektivitas
konseling individual pada pasien dengan penyakit respirasi pada umumnya, dengan
fokus pada pasien PPOK dan kanker paru. Konseling individual tersebut akan
diterapkan pada unit rawat jalan untuk semua pasien perokok sebagai upaya
intervensi terhadap masalah merokok di Bali.