BAB II

download BAB II

of 19

description

bab 2

Transcript of BAB II

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Rinitis Alergi2.1.1. DefinisiRinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.4

2.1.2. Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.4Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.4

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 4Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.4

2.1.3 Mekanisme terjadinya nasal allergy syndrome pada rinitis alergiNasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.4,5

2. 1. 4. Gambaran histologikSecara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.4Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.4Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : 41. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Gambar : Alergen inhalanSatu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.4Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : 41. Respons primer :Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.2. Respons sekunder :Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.3. Respons tertier :Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.4

2. 1. 5. Klasifikasi rinitis alergiDahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 41. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:4 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:41. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2. 1. 6. Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1.AnamnesisAnamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja5. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.4

2.Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5

3.Pemeriksaan Penunjang In vitro :Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 4

In Vivo :Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.4Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.4

2. 1. 7. Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.62. MedikamentosaAntihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.6Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.6Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.53. OperatifTindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.44. ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.4 2. 1. 8. KomplikasiKomplikasi rinitis alergi yang sering ialah4 :

1. Polip hidungBeberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.3. Sinusitis paranasal.2.2 Sinusitis2.2.1 Definisi dan klasifikasi 5,6,7Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis. Secara klinis sinusitis dibagi atas :1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.3. Sinusitis kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas: 1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yangmenyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.2.Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhati.

2.2. 2 Anatomi sinus 7,8Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinussinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.

Gambar: Anatomi sinusSinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.

2.2.3. EtiologiBerbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus.4,6,7

2.2.4 PatofisiologiDalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalamiISPA akan memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edem pada dinding hidung dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus ostia. Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).4,5,8Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinanterjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen. Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalahjenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan gambaranradiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi.2.2.4. Manifestasi klinis 4,5,6Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling seringditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis. Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberiananalgetik biasa seperti aspirin. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Selama berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya pus dalam hidung. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada. Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Biakan bakteri yang muncul biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob, Branghamella catarrhalis. Jika tidak mendapatkan penanganan yang adekuat Sinusitis maksilaris akut dapat berubah menjadi sinusitis maksilaris kronis yang berlangsung selama beberapa bulan atau tahun.

Gambar: Sinus maksilaris2.2.5. DiagnosaKriteria Diagnosis sinusitisGejala mayorGejala minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajahSekret nasal purulenDemamKongesti nasalObstruksi nasalHiposmia atau anosmiaSakit kepalaBatukRasa lelahHalitosisNyeri gigi

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

2.2.6 Pemeriksaan penunjang 6,7Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:1. Pemeriksaan transluminasi.Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.

2. PencitraanDengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan adalahpemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.3. KulturKarena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.4. Rontgen gigiDilakukan untuk mengetahui apakah sudah timbul abses atau belum.

2.2.7 PenatalaksanaanTujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:1. Mempercepat penyembuhan2. Mencegah komplikasi3. Mencegah perubahan menjadi kronik.Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:1. Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sinusitis akut telah hilang.2. Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar drainase hidung.3. Analgetik untuk menghilangkan rasa sakit.4. Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium sinus sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum maksilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa incisivus ke dalam antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui ostium normal.5. Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh gigi6. Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus. Pembedahan (operasi) pada pasien sinusitis akut jarang dilakukan kecuali telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial. Selain itu nyeri yang hebat akibat sekret yang tertahan oleh sumbatan dapat menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan.

2.2.8 Diagnosa bandingDiagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.7,820