BAB II KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN ... · PDF fileBAB II KAJIAN LITERATUR...
Transcript of BAB II KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN ... · PDF fileBAB II KAJIAN LITERATUR...
BAB II
KAJIAN LITERATUR PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INFRASTRUKTUR
2.1 Pengembangan Wilayah dan Ketimpangan
Pembangunan wilayah didefinisikan sebagai perubahan dari produktivitas wilayah yang
diukur dari nilai tambah kependudukan, ketenagakerjaan, pendapatan, dan manufaktur.
(Nelson, 2001). Jika pengertian pengembangan wilayah tersebut dipakai untuk
mengamati pertumbuhan di Jawa Barat, dikaitkan dengan Jakarta sebagai pusat
pertumbuhan, diperkirakan akan terlihat suatu pola tertentu, yang menarik untuk dikaji.
Pola itu antara lain tingginya laju pertumbuhan penduduk, output perekonomian seperti
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau nilai investasi yang cenderung semakin
kecil jika jaraknya dengan Jakarta semakin besar. Jarak dengan Jakarta yang
dimaksud disini tidak harus jarak geografis, tetapi bisa juga jarak yang merupakan
gabungan dari beberapa variabel.
Jarak dipahami sebagai salah satu faktor penentu dalam perekonomian karena jarak dari
pusat pertumbuhan ekonomi seringkali dikaitkan dengan akses pasar yang terbatas.
Masuknya barang dan teknologi menjadi lebih mahal, serta berkurangnya keuntungan
pada tahap penjualan produk, karena beban bertambahnya biaya transport sejalan dengan
bertambahnya jarak (Venables & Limao, 1999). Daya tarik geografis suatu wilayah,
diukur dari akses pasar, yang diukur dengan kekuatan akses pasarnya, dalam hal ini
ditentukan oleh jangkauan relatifnya ke pusat pertumbuhan ekonomi.
Model gravitasi yang dikembangkan Bergstrand (1985), Deardorff (1995), dan
Guillaumont, Brun dan De Melo (1998), menjelaskan bahwa semakin besar massa
ekonomi 2 wilayah, dan semakin dekat jaraknya, akan semakin besar juga volume
perdagangannya. Seringkali PDRB dipakai sebagai ukuran massa ekonomi , dan berperan
sebagai faktor penarik dalam model gravitasi. Sementara itu, faktor impedansi diperankan
oleh jarak, meski tidak harus jarak geografis, karena jarak geografis bukanlah satu-
satunya. Luo (2001) menunjukkan bahwa jarak yang dikaitkan dengan tingkat
pembangunan infrastruktur bisa menjadi alat pendekatan (proxy) yang lebih baik bagi
faktor impedansi dalam model gravity.
Fenomena ketimpangan wilayah setidaknya juga dapat dijelaskan oleh teori cumulative
causation-nya Myrdal (1957), yang menyodorkan pendekatan leading-lagging untuk
9
menjelaskannya. Inti dari pendekatan ini bahwa wilayah yang leading memiliki
keunggulan komparatif (lokasi, infrastruktur, atau faktor lainnya) dibanding wilayah
lainnya. Investasi ke arah wilayah lagging relatif kecil, sementara pada saat yang sama
terjadi arus tenaga kerja terlatih dari wilayah lagging ke wilayah leading. Selain itu juga
terjadi arus tabungan dari wilayah lagging ke wilayah leading untuk keperluan konsumsi.
Arus balik sumberdaya dari wilayah lagging ke wilayah leading disebut sebagai back-
wash. Apabila secara netto backwash lebih besar dari spread, maka ketimpangan wilayah
akan semakin bertambah.
Sementara Peroux (1955) dan Hirschman (1958) mengembangkan konsep growth pole
atau kutub pertumbuhan, di mana pengembangan wilayah penopang (hinterland) digeser
oleh pusat metropolitan yang berkembang / meluas.
Richardson (1985) menggabungkan cumulative causation dengan growth pole menjadi
model autonomous growth center (AGC). Salah satu keterbatasan teori growth-pole
adalah teori ini biasanya diterapkan untuk menjelaskan pola pengembangan wilayah
tunggal, umumnya sub-state. Richardson memperbaikinya dengan memperkenalkan
sistem nasional untuk AGC, yang berbeda laju pertumbuhan diantara AGC-nya.
Richardson juga mengemukakan bahwa dalam pengembangan suatu wilayah, kegiatan
penanaman modal atau investasi sangat dibutuhkan (Richardson, 1979).
Literatur-literatur pengembangan wilayah membedakan antara core (centers) dengan
periphery, growth center (atau pole) dengan hinterland, serta wilayah maju (leading)
dan tertinggal (lagging). Ada 2 aliran pemikiran (school of taught) dalam teori
pengembangan wilayah : pengembangan dari atas (development from above), dan
pengembangan dari bawah (development from below). Pengembangan dari atas
memandang pengembangan wilayah seolah-olah memancar (spread) dari core atau
growth center dan menetes (trickle down) ke wilayah periphery dan hinterland.
Sementara pengembangan dari bawah (development from below) bukan berarti
mempertentangkan jalurnya dari pengembangan dari atas, tetapi menekankan agar
wilayah mengendalikan lembaga-lembaganya untuk mengciptakan gaya hidup yang
diinginkan. (Nelson, 2001).
Tiga jenis hubungan eksternal yang kritis dalam pengembangan wilayah adalah : (i)
perdagangan, yang ditentukan oleh impor dan ekspor barang/jasa, (ii) migrasi penduduk,
baik dalam kapasitas konsumen maupun pekerja, dan (iii) migrasi faktor produksi lain,
terutama modal (untuk investasi).
10
Kemampuan suatu wilayah untuk menjaga pengembangan ekonomi jangka panjangnya
tergantung pada kemampuannya melanjutkan ekspor barang dan jasa, dan hal ini
membutuhkan kapital dan tenaga kerja terlatih yang memadai. (North, 1956)
Pengembangan dari atas mengasumsikan bahwa pengembangan wilayah terjadi jika
dirangsang oleh kekuatan eksogen, seperti pasar ekspor, investasi dari luar daerah, dan
migrasi. Pengembangan wilayah dipandang sebagai hasil dari keseimbangan dan
ketakseimbangan harga. Heckscher (1919), Ohlin (1933), dan Balassa (1961)
mengembangkan model penyamaan harga (price equalization) dimana faktor-faktor
produksi yang mobile akan mencari lokasi yang menghasilkan pengembalian tertinggi
(highest return).
Di Indonesia, pertumbuhan investasi domestik mempunyai keterkaitan dengan GDP
(Sinha, 1996). Sementara itu, beberapa studi tentang investasi, menunjukkan bahwa
investasi asing per kapita mempunyai korelasi positif dengan GNP per kapita. .
Akan tetapi ketimpangan yang disebabkannya tidak selalu harus semakin lebar antara dua
wilayah. Menurut sekolah pemikiran (school of taught) pengembangan dari atas, dikenal
adanya dynamic disequilibrium atau ketidakseimbangan dinamis.
Lokasi usaha adalah kompromi dari ketegangan antara perbedaan-perbedaan karakteristik
tempat (places), skala ekonomi unit usaha, dan biaya perpindahan dari tempat tertentu ke
lokasi-lokasi tersebut. Ada trade-off dasar antara friksi jarak dengan skala ekonomi
(Rostolaulajainen, Stafford, 1995).
2.2 Pengembangan Wilayah dan Ketersediaan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur terbukti sebagai faktor dominan dalam strategi menarik arus
investasi asing (FDI), khususnya untuk jenis penanaman modal yang berorientasi ekspor
(Kumar, 2001).
Salah satu penjelasan peranan investasi infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi
diberikan oleh General Regional Model (Fox,1990), yang melihat hubungan antara output
(Q) sebagai fungsi tenaga kerja (L), Private Capital (P) dan Public Capital (G). Hubungan
tersebut bisa dipresentasikan dalam 3 persamaan berikut :
1) Q = f(L,P,G)
2) Demand = C + I + Ig + X
3) G = Gn-1 + Ig
11
Dengan demikian ada beberapa cara infrastruktur mempengaruhi output regional, yaitu
melalui produksi agregat, dan mempengaruhi demand melalui Public Capital Stock (G)
dan Investasi Tahunan (Ig).
Yang pertama, infrastruktur bisa menjadi input langsung kedalam fungsi produksi
perusahaan. Contoh untuk ini adalah layanan infrastruktur-tersedia seperti listrik dan air
bersih. Dalam banyak hal, infrastruktur bersifat tidak-berbayar dalam produksi seperti
layanan infrastruktur jalan raya.
Berikutnya, sebagai input langsung infrastruktur bisa juga membuat faktor produksi lain
seperti tenaga kerja, serta modal swasta lebih produktif.
Yang ketiga, infrastruktur bisa berpengaruh terhadap output dengan cara menarik input
dari wilayah lain dan memperbesar fungsi produksi. Dalam hal ini infrastruktur
mempengaruhi output melalui peningkatan tenaga kerja dan investasi swasta (Gillen,
1996).
Penjelasan pentingnya infrastruktur, khususnya transportasi (jalan raya) diberikan oleh
Xubei Luo (2004). Dengan memakai indikator derajat-kepinggiran peripheral degree
(daya tarik geografis sebagai fungsi jarak dan ketersediaan infrastruktur). Mengkaji
propinsi-propinsi di bagian barat China, Luo menyimpulkan ada kaitan antara
kemakmuran masyarakat di propinsi tersebut dengan peripheral degree-nya. Usulan yang
dikemukakannya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi propinsi bagian barat tersebut
adalah dengan membangun infrastruktur, khususnya prasarana dan sarana transportasi
dengan tujuan menekan biaya transportasi. Pembangunan infrastruktur ini akan
memperpendek jarak, sehingga peranan posisi geografis menjadi semakin kecil dalam
menarik investasi.
Perlu digarisbawahi, bahwa yang digunakan adalah peripheral degree, dan bukannya
jarak geografis. Hal ini pernah dijelaskan dengan konteks faktor resistansi dalam model
gravity pada sistem transportasi. Dalam hal itu, bahwa bukan jarak per se yang
berpengaruh kuat pada perdagangan bilateral, melainkan biaya transportasi. Seperti
dikembangkan Limao dan Venables (2000) biaya transport ditentukan tidak hanya jarak
geografis absolut antara dua pihak yang berdagang, tetapi juga tingkat pembangunan
infrastruktur dan hal-hal terkait