BAB II NUR...
Transcript of BAB II NUR...
15
BAB II
KONSEP DASAR GADAI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Gadai
Istilah yang digunakan fikih untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah
sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (agunan).sesuatu
yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan
jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut
murtahin.1
Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan Ar-Rahnu.2
Ar-Rahnu dalam etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Misalnya ucapkan:
kenikmatan yang kekal) ” نعمة راهنة “ dan (air yang tenang) " ماء راهن "
dan tetap). Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnu berarti;
penahanan.3 Sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT:
)38: املدثر (كل نفس بما كسبت رهينة
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. 74: 38)4
Yakni tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat.
1Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 175-176 2H. Chairuman Pasribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, Cet. 2, 1996, hlm. 139. 3Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, al-Qubra:
Maktabah al-Tijariyah, tt, hlm. 286 4DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm.
995.
16
Dikecualikan dari barang yang ada harganya, menurut syara’, barang
najis dan yang kena najis yang tak dapat dibersihkan; maka tidak patut
dijadikan sebagai barang jaminan kepercayaan hutang. Termasuk yang tidak
ada nilainya menurut syara’, barang suci tetapi tidak dinilai harta menurut
qiyas sebagaimana keterangan bab bai’ dalam Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab
al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah 5
Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:6
شيئ متمول يؤخذ من مالكه ثوثقابه ىف دين الزم
Artinya: Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja
harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu.
Harta yang dijadikan barang jaminan jaminan (agunan) tidak hams diserahkan
secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti
menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah
surat jaminannya (sertifikat sawah).7
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:
5 Abd al-Rahman al-Jaziry, loc cit. 6 Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir: Dar al-Fkr, tt, jilid III,
hlm. 303 7 Ibid, hlm. 325
17
جعل عني هلا قيمة مالية ىف نظر الشرع وثيقة بدين حبيث ميكن ين كلها أوبعضهامن تلك العني أخذ الد
Artinya: Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.8
Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn
dengan; 9
ر وفائهجعل عني وثيقة بدين يستوىف منها عند تعذ Artinya: Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakan Syafi'iyah dan Hanabilah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu
hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana
yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu,
menurut mereka (Syafi'iyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.
Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan:
Menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) rahn adalah: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-Habsu, artinya; penahanan. Seperti dikatakan: ni’matun rahinah, artinya: karunia yang tetap dan lestari. Adapun dalam pengertian syara’, gadai berarti : menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian menurut yang didefinisikan para ulama. Apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya
8 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar 'ala ad-Darr al-Muktar, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1978,
hlm. 339 9 Asy-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Kilid Beirut: Dar al-Fikr, 1978, hlm. 121
18
baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaanya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya. Demikian yang dimaksudkan gadai menurut syara.10 Berkaitan dengan rahn, menurut Muhammad Syafi'i Antonio, ar-rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya.11 Menurut Masjfuk Zuhdi, gadai ialah perjanjian
(akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
utang.12 Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini merumuskan, menurut
syara’ kalimat rahn itu artinya menjadikan harta sebagai pengukuh/penguat
sebab adanya hutang.13 Sementara Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi
berpandangan, gadai adalah menjadikan barang yang sebangsa uang sebagai
kepercayaan hutang dimana akan terbayar dari padanya jika terpaksa tidak
dapat melunasi (hutang tersebut).14 Sedangkan al-Ustad H. Idris Ahmad
dengan singkat menyatakan gadai adalah menjadikan harta benda sebagai
jaminan atas utang.15 TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan Rahn ialah akad
yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh
bayaran dengan sempurna darinya.16
Bertitik tolak pada rumusan-rumusan di atas dapat penulis simpulkan
10 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 195. 11 Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia
Institute, 1999, hlm. 182 12 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, Cet. 10, 1997,
hlm.123. 13 Taqi al-Din abu Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi hall Ghayah al-
Khtishar, Semarang: Maktabah Alawiyyah, tt, hlm. 263. 14.Syehk Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-
Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tt, hlm. 32. 15 Al-Ustad H. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya, 1969, hlm.
37. 16 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
hlm. 86-87.
19
bahwa gadai adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
B. Dasar Hukum Gadai
Adapun dasar hukum gadai sebagai berikut:
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman:
)283: البقرة ...(وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: al-Baqarah: 283)17
Sabda Rasulullah SAW :18
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه :عـن أىب هريرة رضي اهللا تعايل عنه قال وسـلم الظهـر يركب بنفقته اذاكان مرهوناولنب الدريشرب بنفقته
)رواه البخارى(ة اذاكان مرهونا وعلى الذي يركب ويشرب النفق Artinya: Dari Abu hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW
bersabda: punggung binatang yang ditunggangi itu dengan nafakah (pembayaran kepada pemiliknya, jika binatang itu di gadai, susu yang diminum itu dengan nafkah (pembayaran bagi pemiliknya). Jika susu itu menjadi jaminan gadai dan wajib atas orang yang menungganginya dan yang meminum susunya pembayaran biayanya. (HR. al-Bukhary)
17 DEPAG RI, Op. Cit. hlm. 71. 18Abi Abdillah Muhmmad Ibn Ismail al-Bukhary, al-Jamiu Shahih al-Bukhary, Juz 2,
Beirut: Dar al-Fiqr, 1410H/1990M, hlm. 78. Cf. al-San’ani, Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960 hlm. 51. Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Bairut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tt, hlm. 175.
20
Sabda Rasulullah SAW :19
واله وسلم درعاعند رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم رهن : عن أنس قال رواه أمحد والبخاري والنسائ (لمدينة وأخذمنه شعريا ألهله يهودي باا )وابن ماجه
Artinya: Dari Annas, ia berkata, Nabi SAW pernah menggadaikan
sebuah baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan nabi mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya (HR. Ahmad, Bukhary, Nasai an Ibn Majjah)
Sabda Rasulullah SAW :20
اشترى طعاما من واله وسلمصلى اهللا عليه وسلم عائشة أن النىب وعنيهودي اىل أجل ورهنه درعامن حديد وىف لفظ توفى ودرعه مرهونة
عند يهودي بثالثني صاعا من شعري Artinya: Dan dari Aisah ra, bahwa sesunguhnya Nabi SAW pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi SAW wafat sedang baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum. (HR. Bukhary dan Muslim)
Dengan merujuk pada hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa
hukumnya gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan TM. Hasbi Ash Shiddieqy,
19 Al-Imam Abu abdirrahman Ahmad Ibn syuaib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr an-Nasa’i,
as-Sunanu as-Sughra Wa Hiya al-Musammatu Bil Mujtaba, Beirut: Tijariah Kubra, tt, hlm. 83. lihat juga al-Imam Alamah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad as-Syaukani, Nail al-Autar Min Asy’ari Muntaqa al-Akhbar, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm. 618.
20 Al-Imam abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaz al-kusairi an-Naisaburi, al-Jami’u al-Sahihu Muslim, Dar Ihya, al-Kutub al-Arabiyah, tt, hlm. 87. lihat juga, al-Imam Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Loc. Cit.
21
bahwa menggadai barang boleh hukumnya, baik di dalam hadlar (kampung)
maupun di dalam safar (perjalanan), hukum ini disepakati oleh umum
mujtahidin.21
Adapun landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayid Sabiq yang
mengatakan: para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak
pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya.
Jumhur berpendapat: disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan bepergian,
berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di
Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat
sebagaiman tersebut dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, dengan melihat
kebiasaannya, dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.22
C. Syarat dan Rukun Gadai
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan,"23 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan,
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."24
Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn],
jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dan
sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan
21 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Yogyakarta: PT. Rosda Karya,
Cet. 2, 1990, hlm. 419. 22 Sayid Sabiq, Op.Cit. hlm. 155. 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, hlm. 966. 24 Ibid., hlm. 1114.
22
syarat (Arab, syarth jamaknya syara'ith) secara literal berarti pertanda,
indikasi dan memastikan. Dalam istilah para ahli hukum Islam, rukun
diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari
keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu
sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku)
berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan
yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun
syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad
Al-Khudlari Bek, ialah: "sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan
(mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari ketiadaan
syarat itu berakibat pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum.25
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu."26 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."27 Perbedaan antara rukun
dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu
sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung
25 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 95 26 Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: Ichtiar Barn van
Hoeve, 1996, hlm. 1510 27 Ibid., hlm. 1691.
23
keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.28
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu:
1) Aqid (orang yang melakukan akad). Ini meliputi dua arah yakni: a) Rahin,
adalah orang yang mengadaikan barang (debitur). b) murtahin adalah
orang yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang
yang dipinjamkan (kreditur).
2) Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal: a) marhun
(barang yang digadaikan/barang gadai). b) dain marhunbiih (hutang yang
karenanya diadakan gadai).
3) Shighat (akad gadai).
Ibnu Rusyd dalam kitab mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga
bagian29:
1) Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang
menggadaikan adalah ia tidak berstatus dalam pengampuan (mahjur
alaih) dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang
dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk
kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan
tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini
dikemukakan oleh Malik.
Berkata Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada
kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang
28 Ibid., hlm. 1692. 29 Al-faqih Abulwalid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Bairut: Dar al-Jiil, 1990, hlm. 204.
24
berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang
yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak
boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang
sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang muflis
(bangkrut/pailit) tidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah
membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas
dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena
hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah
perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang
terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi
bangkrut (muflis).
Perbedaan pendapat dalam masalah ini besumber pada, apakah
orang muflis itu berstatus di bawah pengampuan atau tidak? Ketentuan
dasarnya adalah tiap-tiap orang yang boleh menggadaikan boleh juga
menerima gadai.30
2) Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa
sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang,
karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang
digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik memboleh
30 Ibid.
25
penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya.
Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang
yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh
tempo.
Menurut Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual,
itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak
dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual
untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian
buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid,
pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik
menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan
dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang
yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya
membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha
sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa
barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian
mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang
tersebut dengan cara ghashab (merampas), kemudian orang yang
dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang
gadaian yang ada di tangannya. Dalam ha ini Malik membolehkan
26
pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab
menjadai tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu
menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan
perampas, sebelum ia menerima barang itu. Berbeda dengan Malik,
maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada
dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas
menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun
berselish pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik
bersama (al-Musya). Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut
Malik dan Syafi’i boleh. Silang pendapat tersebut berpangkal apakah
bagian barang tertentu dan milik bersama itu dapat dikuasai atau
tidak?31
3) Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat
dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual
belikan kecuali jual beli mata uang (sharf) itu harus tunai. Karena itu,
sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam,
meskipun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf. Sekelompok
fuqaha dzahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada
barang pesanan (musallam fih). Demikian itu karena ayat yang
berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang
dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan (salam). Seolah-
31 Ibid, hlm. 205.
27
olah mereka menjadikan yang demikian itu sebagai salah satu syarat
sahnya gadai, karena pada awal ayat tersebut Allah berfirman:
وهبى فاكتمسل من إلى أجيم بدنتايدوا إذا تنآم ا الذينها أيي...
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة }282{
)283-282: البقرة...(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan maka hendaklah kamu menuliskannya…. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)… (Q.S: al-Baqarah / 2 : 282-283)32
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada
salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak
kriminal, pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara
sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah (pelukan
yang mengenai otak) dan al-Jaifah (pelukan yang mengenai perut).
Dalam hubungan ini mengenai pembunuhan secara sengaja dan
penganiayaan yang terkena qishash ada dua pendapat tentang
kebolehan mengambil gadai pada diatnya, jika wali korban
memaafkan. Pertama, gadai yang demikian itu boleh berdasarkan
pendapat bahwa wali korban boleh memilih antara mengambil diat
atau mengambil qishash pada penganiayaan yang disengaja. Kedua,
32 DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm.
70.
28
bahwa gadai yang demikian itu tidak boleh berdasarkan pendapat yang
mengatakan bahwa wali korban hanya boleh mengambil qishash saja
jika pelaku tindak kriminal (jinayah) itu enggan membayar diat.
Pembunuhan yang tidak disengaja boleh mengambil gadai dari orang
tertentu dari keluarga pelaku pidana dalam masa satu tahun.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh
tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di
bawah tanggungan. Gadai juga dibolehkan pada sewa menyewa (al-
Ijarat). Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan
sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin
tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak
(kitabah). Dengan kata lain, gadai tidak bisa berlaku pada semua
perbuatan yang tidak dapat diadakan tanggungan terhadapnya. Dalam
hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang, karena
barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap,
karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang
menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya.
Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan
tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib
atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan
madzab Maliki.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid dalam
29
bukunya yang sangat sederhana mengatakan rukun rungguhan ada empat
yaitu:
1) Lafadz (kalimat akad) seperti “saya rungguhkan ini kepada engkau
untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab dari yang
berpiutang: “saya terima runguhan ini”.
2) Yang merungguhkan dan yang menerima rungguhan (yang berhutang
dan yang berpiutang); disyaratkan keadaan keduanya ahli tasarruf
(berhak membelanjakan hartanya).
3) Barang yang dirungguhkan; tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh
dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum
sampai janji utang harus dibayar.
4) Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.33
Apabila barang yang dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang,
tetaplah rungguhan; dan apabila telah tetap rungguhan, yang punya barang
tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalan
dijual atau diberikan, dan sebagainya, kecuali dengan ijin yang berpiutang.
Apabila rusak atau hilang barang yang dirungguhkan ditangan yang
memegangnya, ia tidak mengganti karena barang rungguhan itu adalah
barang amanat (percaya mempercayai), kecuali jika rusak atau hilangnya
disebabkan lalainya.
Adapun
Menurut al-Ustadz H. Idris Ahmad, syarat gadai menggadai yaitu:
33 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, Cet 22, 1989, hlm. 291.
30
a) Ijab kabul yaitu: “aku gadaikan barangku ini dengan harga Rp. 100”
umpamanya. Dijawabnya: aku terima gadai engkau seharga Rp. 100.
Untuk itu cukuplah dilakukan dengan cara surat-menyurat saja.
b) Jangan menyusahkan dan merugikan kepada orang yang menerima
gadai itu umpamanya oleh orang yang menggadai, tidak dibolehkan
menjual barang yang digadaikan itu setelah datang waktunya, sedang
uang bagi yang menerima gadai sangat perlu.
c) Jangan pula merugikan kepada orang yang menggadai itu,
umpamanya dengan mensyaratkan bahwa barang yang digadaikan itu
boleh dipakai, dan diambil keuntungannya oleh orang yang menerima
gadai.
d) Ada rahin (yang menggadai) dan murtahin (orang yang menerima
gadai itu) ahli, maka tidaklah boleh wali menggadaikan harta anak
kecil (umpamanya anak yatim) dan harta orang gila dan lain-lain, atau
harta orang lain yang ada di tangannya.
e) Barang yang digadaikan itu berupa benda, maka tidak boleh
menggadaikan utang, umpamanya kata si rahin: “berilah saya uang
dahulu sebanyak Rp. 100. Dan saya gadaikan piutang saya kepada
tuan sebanyak Rp. 1.500 yang sekarang ada di tangan si Badu”.
Sebab piutang itu belum tentu dapat diserahkannya pada waktu yang
tertentu.34
34 al-Ustadz H. Idris Ahmad, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya, 1996, hlm.
38.
31
Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya yang merupakan komparasi
empat madzhab mengetengahkan, agar akad gadai itu sah ditetapkan beberapa
syarat, antara lain:
a. Kedua belah pihak; rahin dan murtahin benar-benar sudah patut (ahli)
melakukan akad bai. Karenanya tidak sah akad rahnun dari orang gila,
anak kecil yang belum tamyiz.
b. Dan lain-lain sebagaimana yang telah dirinci dalam berbagai
madzhab.35
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi,
penggadaian adalah sah dengan adanya ijab dan qabul. Sementara syarat
masing-masing dari orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai
adalah orang yang statusnya sah (berhak) melaksanakan.36
Bagi orang yang menggadaikan barang dan orang yang menerima
gadai masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau
berhak memerintahkannya, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat.
Penggadaian sah jika dilakukan orang si wali baik itu ayah atau kakek atau
pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil
atau orang gila, sebagaimana tidak boleh menerima gadai atas nama mereka
berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya darurat (terpaksa) atau ada
keuntungan yang jelas.
35 Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah
al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 287. 36 Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Daar Ihya
al-Qutub al-Arabiyah, tt, hlm. 32.
32
Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi menjadi
dua yaitu:37
a. Syarat tetapnya gadai; yaitu diterimanya barang gadai. Apabila seseorang
menggadaikan sebuah rumah, tetapi belum diterima oleh penerima gadai,
maka belum tetap (mengikat) akad gadai tadi. karenanya orang yang
menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali. Apabila barang yang
digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima gadai, baik
karena barang itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya, maka
barang itu dinyatakan telah diterima murtahin sesudah akad, bila sudah
lewat waktu yang memungkinkan barang diterima. Untuk sahnya serah
terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.
b. Syarat sahnya gadai sebagai berikut:
1) Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan
dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh
tempo. Karena yang demikian ini dapat membatalkan gadai. Adapun
bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad seperti
syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur
dalam menerima barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.
2) Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang
menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian
(kecakapan) kedua belah pihak yang berakad. Misalnya masing-
masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur
37 Abd al-Rahman al-Jaziry, Op.Cit. hlm. 294-295.
33
‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang
bodoh secara mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas
pertimbangan, wali boleh membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan
digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam keadaan darurat yang sangat
menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjur alaih dalam keadaan
sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain
sebagainya. Tetapi dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya
untuk itu selain menggadaikan harta mahjur ‘alaih. b) gadai itu
mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali
mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat
keuntungan bagi mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk
membelinya, maka wali boleh menggadaikan barang milik mahjur
‘alaih untuk dibelikan barang tersebut karena sangat mengharap
adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah
3) Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada
beberapa perkara yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang
yang digadaikan. b) marhun berupa barang. c) barang gadai (marhun)
bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu
yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh
tempo. d) barang gadai itu barang yang suci. e) barang gadai dapat
diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan
datang.
Syarat yang berkaitan dengan marhun bih/ penyebab penggadaian
34
(hutang yang karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara:
a) penyebab penggadaian adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c)
hutang itu tetap seketika atau yang akan datang d) hutang itu telah
diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah
menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda,
jumlah, dan sifatnya.38
D. Batalnya Akad Gadai
Menurut Sayyid Sabiq, jika barang gadai kembali ketangan rahin atau
dengan kata lain jika barang gadai berada kembali dalam kekuasaan rahin
maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian dalam perspektif
Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal barang gadai harus dalam
penguasaan murtahin.39
Ulama lain berpendapat : gadai dipandang batal dengan beberapa
keadaan seperti membebaskan utang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain
yang akan dijelaskan di bawah ini.
1. Borg Diserahkan Kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi’iyah manganggap gadai menjadi batal jika
murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg merupakan
jaminan utang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu,
dipandang batal pula akad gadai jika murtahin meminjamkan borg kepada
rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.
38 Ibid. 39 Sayid Sabiq, Figh Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 153
35
2. Dipaksa Menjual Borg
Gadai batal, jika hakim memaksa rahin untuk menjual borg, atau
hakim menjualnya jika rahin menolak.
3. Rahin Melunasi Semua Hutang
4. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang, dalam bentuk apa saja, menandakan berakhirnya
akad gadai meskipun hutang tersebut dipindahkan kepada orang lain.40
5. Pembatalan akad gadai dari pihak Murtahin
Akad gadai dipandang batal atau berakhir jika murtahin membatalkan
rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal jika rahin
membatalkannya.
Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan
pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi, kecuali
dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak
memegang.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn dipandang batal jika
murtahin membiarkan borg pada rahin sampai dijual.
6. Rahin Meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn batal atau berakhir jika rahin
meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal
jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada rahin.
7. Borg Rusak
40 Al-Faqih Abulwalid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, Bidayah al-
Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Jiil, 1990, hlm. 204
36
8. Tasharruf dan Borg
Rahn dipandang habis apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan
hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.41
E. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan Barang Gadai
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan barang barang jaminan itu menjadi
tanggungjawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang.
Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang
dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa
menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan menyia-
nyiakan harta. Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan
memanfaatkan barang jaminan itu; sekalipun mendapat izin dari pemilik
barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para ulama.
Jumhur ulama fiqh,42 selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,
karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang
jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai janminan piutang yang ia
berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya,
barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi
piutangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah SAW. yang
berbunyi:
41 Abd al-Rahman al-Jaziry, op.cit, hlm 289 42Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid
Wa Nihayat al Muqtasid, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, Jilid II, hlm. 272
37
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قال رضي اهللا عن أيب هريرة رواه احلاكم (رمه غاليغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه
)ابن حبان والبيهقىو Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. berkata
barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya karena hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggungjawabnya. (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang
jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama
Hanafiyah membolehkannya,43 karena dengan adanya izin, maka tidak ada
halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu.
Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya,44 ulama Malikiyah,45 dan
ulama Syafi'iyah46 berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya,
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.
Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu
merupakan riba yang dilarang syara'; sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik
barang. Bahkan, menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung
dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang
akan dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba, izin dan rida tidak
43 Ibnu Abidin, Radd al-muhtar' ala ad-Durr al-mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, tth,
Jilid V, hlm. 478 44 Imam al-Kasani, al-Bada'i'u asy-Shana'i, hlm. 145 45 Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, as-Syarh al-Kabir 'ala Matn Sayyidi Khalil, Mesir: al-
Amiriyah, tt, hlm. Jilid III, hlm. 248 46 Imam Asy-Syafi'ī, al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Jilid III, hlm. 147
38
berlaku. Hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan al-
Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban.
Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah
binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin boleh
memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.47
Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan sebagian ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka
al-murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak,
karena, membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk ke dalam larangan
Rasulullah.48
Ulama Hanabilah49 berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang
jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk
mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قالرضي اهللا أيب هريرة عن الظهر يركب بنفقته إذاكان مرهونا ولنب الدريشرب بنفقنه إذا كان
مذى رواه البخارى والتر(مرهونا وعلى الذي يركب ويشرب النفقة )وأبوداود
47 Wahbah az-Zuhaili, al-Fqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 1984,
hlm. 256 48 Fathi ad-Duraini, al-Fath al-Islami al-Muqarran Ma'a al Mazahib, Damaskus:
Mathba'ah ath-Tharriyyin, 1979, 1979, hlm. 555 49 Ibnu Qudamah, al-Mughni., jilid IV, hlm. 432-433
39
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud).
Dalam hadis lain Rasulullah saw. mengatakan:
قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قالرضي اهللا أيب هريرة عن لفها فإن استفضل من اللنب إذارن شاة شرب املرن لبنها بثدر ع
)رواه أمحد بن حنبل (شيئ بعد مثن العلىن فهو ربا
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: jika agunan itu seekor kambing, orang yang memegang barang jaminan Boleh meminum susunya, sesuai dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkun untuk kambing itu. Apabila susu yang diambil melebihi biaya pemeliharaan, maka kelebihannya itu menjadi riba (HR Ahmad ibn Hanbal).
Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu
bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti
tanah, maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya.50
Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan
ternak, maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh
memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan
memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi
50 Ibid
40
piutang, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh
pemiliknya.51
Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga berbeda
pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin (pemilik
barang/pemberi barangh gadai). Ulama Hanafiyah52 dan Hanabilah53
menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi
barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin (penerima gadai). Mereka
berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi
tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari
Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin
memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila
barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya
bertanggungjawab membayar ganti ruginya.
Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari
pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila pemilik
barang itu ingin memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), tidak perlu ada
izin dari pemegang al-marhun (barang jaminan). Alasannya, barang itu adalah
miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk
memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun (barang
jaminan) tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan
51 Wahbah az-Zuhaili, loc.cit. 52 Imam al-Kasani, op.cit., hlm. 146 53 Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 390.
41
pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan
Abu Daud dari Abu Hurairah di atas.54
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah
berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun
(barang jaminan), baik diizinkan oleh al-murtahin (pemegang gadai) maupun
tidak. Karena, barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak
pemilik secara penuh.55
Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam
menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun (barang jaminan), baik oleh rahin
(pemilik barang/pemberi gadai) maupun oleh al-murtahin (penerima gadai)
bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba.
Karena, hakikat ar-rahn (gadai) dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan
tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong. Oleh sebab
itu, para ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad
kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh
memanfaatkan al-marhun (barang gadai), maka akad ar-rahn (gadai) itu
dianggap tidak sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad
ar-rahn (gadai) itu sendiri.56
54 Asy-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Jilid II, hlm. 131. 55 Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, as-Syarh al-Kabir 'ala Matn Sayyidi Khalil, Mesir: al-
Amiriyah, tth, hlm. Jilid III, hlm. 241 56 Fathi ad-Duraini, al-Fiqh al-Islami al-Muwaran Ma'a al-Mazahib, Damaskus:
Mathba'ah ath-Thariyyin, 1979, hlm. 571
42
Ar-rahn (gadai) yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya
bersifat pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang
memerlukan dengan seseorang yang memiliki kelebihan harta.
Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
ekonomi, ar-rahn (gadai) tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga
antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk
mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang
jaminan yang boleh dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu. barang
jaminan ini, dalam istilah bank disebut dengan personal guarantee.
Personal guarantee ini sejalan dengan al-marhun (barang jaminan)
yang berlaku dalam akad ar-rahn (gadai) yang dibicarakan para ulama klasik.
Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan oleh
bank. Kredit di bank, biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang
yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu, jumlah uang yang harus dibayar
orang yang berutang akan lebih besar dari uang yang dipinjam dari bank.
Dengan demikian, menurut Mustafa az-Zarqa',57 persoalan utang
(bunga bank) yang berlaku di bank yang mewajibkan adanya personal
guarantee, terkait dengan penambahan utang. Persoalan ini, oleh para ulama
fiqh, dibahas dalam persoalan riba.
57 Mustafa Ahmad az-Zarqa', al-'Uqud al-Musamah, Damaskus: Dar al-Kitab, 1974, hlm.
65