BAB II Revisi

download BAB II Revisi

of 29

Transcript of BAB II Revisi

33

BAB IITinjauan Pustaka2.1 Anatomi Nervus Kranialis III, IV, dan VIMenurut Brazis (2009), terdapat tiga inti batang otak yang memuat lower motor neurons pengatur otot-otot ekstraokular: (1) nervus kranialis III (okulomotorius) di midbrain; (2) nervus kranialis IV (troklearis) di tingkat midbrain-pointe junction; dan (3) inti nervus kranialis VI (abdusens) di lower pons. Gambar 1. Penampang ventral batang otak (Voron,2007)

2.1.1 Nervus Kranialis III (Okulomotorius)Nervus okulomotorius adalah saraf motoris dan mempersarafi otot-otot ekstrinsik bola mata yang terdapat di dalam orbita: m. levator palpebrae superior, m. rektus superior, m. rektus medius, m. rektus inferior, dan m. oblikus inferior. Saraf ini juga mempersarafi m. sphincter pupillae dan m. siliaris bersama dengan serabut parasimpatis (Snell, 2006 dan 2010).Nervus okulomotorius memiliki dua inti motorik: (1)nukleus okulomotorius dan (2)nukleus Edinger-Westphal. Nukleus okulomotorius terletak di bagian anterior substansi kelabu yang mengelilingi akuaduktus serebral otak tengah dan berada pada tingkat kolikulus superior. Serabut sarafnya keluar secara anterior melalui red nucleus dan muncul ke permukan anterior otak tengah di fosa interpendukularis. Nukleus okulomotorius menerima serabut saraf kortikonuklear dari kedua sisi hemisfer otak dan serabut saraf tektobulbar dari kolikulus superior, serta melalui jalur ini, nukleus menerima informasi dari korteks visual. Nukleus okulomotorius juga menerima serabut saraf dari fasikulus longitudinal medial yang terhubung dengan nukleus dari nervus kranialis IV, VI, dan VIII (Snell, 2010).Nukleus okulomotorius terdiri atas beberapa anak inti yang mewakili masing-masing otot ekstraokular. Anak inti disusun oleh sekelompok badan sel saraf dari neuron GSE (general somatic efferent) yang menginervasi otot-otot ekstraokular dan levator palpebra superior. Kelompok sel yang menginervasi m. levator palpebra superioris berlokasi di garis tengah, mengirim serabut motorik ke otot ini secara bilateral (kelopak mata atas kiri dan kanan). Kelompok sel yang menginervasi rektus superior mengirim proyeksi ke sisi berlawanan, sedangkan kelompok sel yang menginervasi rektus medialis, oblikus inferior, dan rektus inferior, mengirim proyeksi ke sisi yang sama (Patestas dan Gartner, 2006).

A

Gambar 2. A: Nukleus nervus okulomotorius dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus okulomotorius (Snell, 2010)

Nukleus Edinger-Westphal terletak posterior terhadap nukleus okulomotorius. Nukleus Edinger-Westphal menerima serabut kortikonuklear untuk refleks akomodasi dan serabut nukelus pretektal untuk refleks cahaya langsung dan konsensual (Snell, 2010). Nukleus ini mengandung badan sel dari neuron parasimpatis preganglionik GVE (general visceral efferent) yang aksonnya bergabung dengan serabut okulomotorius, lalu bersama-sama melewati otak tengah dan muncul dari aspek ventral batang otak di fossa interpendukularis sebagai nervus okulomotor (Patestas dan Gartner, 2006). Nervus okulomotorius keluar dari aspek anterior mesensefalon; medial terhadap pendukulus serebi. Saraf ini berjalan dekat di antara a. serebri posterior dan a. serebeli superior, kemudian berjalan ke depan di dalam dinding lateral sinus karvenosus dan bercabang dua menjadi ramus superior dan ramus inferior, yang akan menuju orbita melalui fisura orbitalis superior (Snell, 2006 dan 2010).Ramus superior nervus okulomotorius meninggalkan dinding lateral sinus karveonsus dan masuk ke orbita melalui bagian bawah fisura orbitalis superior di dalam annulus tendineus. Cabang ini mempersarafi m. rektus superior, kemudian menembus otot ini dan mempersarafi m. levator palpebrae superior yang ada di atasnya (Snell, 2006).Ramus inferior nervus okulomotorius masuk orbita dengan cara yang sama dan memberikan cabang-cabang ke m. rektus inferior, m.rektus medialis, dan m. oblikus superior. Saraf yang menuju m. oblikkus inferior memberikan sebuah cabang yang berjalan dari ganglion siliaris dan membawa serabut-serabut parasimpatis ke m. sphincter pupillae dan m. siliaris (Snell, 2006).2.1.2 Anatomi Nervus Kranialis IV (Troklearis)Nervus troklearis adalah saraf motoris dan merupakan saraf kranial yang paling halus. Saraf ini menginervasi m. oblikus superior di dalam orbita. Saraf ini muncul dari permukaan posterior mesensefalon, tepat di bawah kolikulus inferior, kemudian membelok ke depan di sekeliling sisi lateral pendukulus serebri. Saraf ini berjalan ke depan di dalam dinding lateral sinus karvenosus, terletak sedikit di bawah nervus okulomotorius (Snell 2006 dan 2010).Nukleus troklearis terletak di bagian anterior substansia kelabu yang mengelilingi akuaduktus serebral otak tengah. Nukleus ini berada di bagian bawah nukleus okulomotorius pada tingkatan kolikulus inferior. Setelah meninggalkan nukleus, serabut saraf melewati bagian pusat substansia kelabu untuk mencapai permukaan posterior dari otak tengah (Snell, 2010).Nukleus troklearis menerima serabut saraf kortikonuklear dari kedua sisi hemisfer otak. Ada pula serabut tektobulbar yang menghubungkan dirinya dengan korteks visual melalui kolikulus superior. Inti saraf ini juga menerima serabut saraf dari fasikulus longitudinal medial yang menghubungkannya dengan nervus kranialis III, IV, dan XIII (Snell, 2010).2.1.3 Nervus Kranialis VI (Abdusens)Nervus abdusens adalah saraf motoris kecil dan mempersarafi m. rektus lateralis bola mata. Saraf ini muncul dari permukaan anterior otak, di antara pinggir bawah pons dan medula oblongata. Mula-mula saraf ini terletak di dalam fosa kranii posterior, kemudian ia membelok dengan tajam ke depan, melintasi pinggir superior pars petrosa os. temporalis. Setelah masuk sinus karvenosus, saraf ini berjalan ke depan bersama a. karoti sinterna, masuk ke rongga orbita melalui fisura orbitalis superior (Snell, 2006 dan 2010).Nukleus motrik kecil terletak di bawah lantai dari upper part ventrikel keempat; di dekat garis tengah dan di bawah kolikulus fasialis. Nukleus menerima serabut kortikonuklear afferent dari kedua sisi hemisfer serebral dan menerima traktus tektobulbar dari kolikulus superior yang menghubungkannya dengan korteks visual. Inti saraf ini juga menerima serabut dari fasikulus longitudinal medial yang menuhubungkan dengan nukleus dari nervus kranialis III, IV, dan VIII (Snell, 2010).

Gambar 3. A: Nukleus nervus troklearis dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus troklearis (Snell, 2010).

Gambar 4. A: Nukleus abdusens dan koneksi sentralnya, B: Distribusi nervus abdusens (Snell, 2010).

2.2 Fisiologi Sistem OkulomotorSistem okulomotor adalah bagian dari sistem saraf pusat yang berkaitan dengan pergerakan mata. Sistem ini terdiri atas jalur yang menghubungkan berbagai area, seperti serebrum, batang otak, dan nukleus okular, menggunakan artikulasi multisinaptik (Stedman, 2006).Tujuan adanya sistem kontrol ini ialah menjaga agar gambar yang jatuh pada retina tetap statis atau tidak bergerak. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka mata harus terlebih dahulu memfiksasi objek yang sedang diamati, baru selanjutnya bergerak secara konjugat seiring dengan perpindahan objek atau kepala pengamat (Fite dan Walker, 1990).Menurut Straube dan Buttner (2007), motorneuron yang menginervasi otot mata terdapat di nuklei nervus okulomotorius, troklearis, dan abdusens, dan secara keseluruhan, mereka dihubungkan oleh jaringan premotor bebas. Perpaduan ini menghasilkan beberapa tipe pergerakan mata, seperti sakadik, refleks vestibule-okular, respon optokinetik, dan konvergensi pursuit halus atau gaze holding. 2.2.1 Pengaturan Otot-Otot untuk Pergerakan MataPergerakan mata diatur oleh tiga pasang otot: (1) rektus medialis dan lateralis, (2) rektus superior dan inferior, (3) oblikus superior dan inferior. Otot rektus medialis dan lateralis berkontraksi untuk menggerakkan mata dari satu sisi ke sisi lainnya. Otot rektus superior dan inferior juga berkontraksi untuk menggerakkan mata ke atas dan ke bawah. Otot oblikus terutama berfungsi untuk memutar bola mata agar lapang pandangan tetap pada posisi tegak (Guyton dan Hall, 2006).

Gambar 5. Aksi otot-otot mata dan posisi memandang (Fite dan Walker, 1990)a. Otot-otot Sinergistik dan Antagonistik (Hukum Sherington)Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama, dengan demikian untuk pandangan arah vertikal, otot rektus superior dan oblikus inferior bersinergi menggerakkan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi mungkin antagonistik untuk fungsi yang lain. Misalnya, otot rektus superior dan oblikus inferior bekerja sebagai antagonis pada gerak torsi, rektus superior menyebabkan intorsi dan oblikus superior menyebabkan inferior ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka, memperlihatkan persarafan otot-otot antagonistik yang timbale balik (hukum Sherington), dengan demikian pada dekstroversi (menatap ke kanan), otot rektus lateralis medialis kanan dan lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot rektus lateralis kanan dan medialis kiri terstimulais (Vaughan dan Asbury, 2007).

b. Otot-otot Pasangan Searah (Hukum Hering)Agar gerakan kedua mata berada dalam arah yang sama, otot-otot agonis yang berkaitan harus menerima persarafan yang setara (hukum Hering). Pasangan otot agonis dengan kerja primer yang sama disebut pasangan searah (yoke pair). Otot rektus lateralis kanan dan rektus lateralis kiri adalah pasangan searah untuk menatap ke kanan. Otot rektus inferior kanan dan oblikus superior kiri adalah pasangan searah untuk memandang ke kanan bawah (Vaughan dan Asbury, 2007).Gambar 6. Enam posisi cardinal pandangan mata dan yoke muscle. IO, Oblikus inferior; IR, rektus inferior; LR, rektus lateral; MR, rektus medial; SO, oblikus superior; SR, rektus superior (Remington, 2012)

2.2.2 Jaras Saraf untuk Pengaturan Gerakan MataTampak adanya hubungan antara nukleus nervus kranialis III, IV, dan VI yang melewati jaras persarafan fasikulus longitudinalis medial. Masing- masing dari ketiga susunan otot untuk tiap mata diinervasi secara timbal balik sehingga satu otot dari setiap pasang otot itu akan berelaksasi sementara otot yang lainnya berkontraksi (Guyton dan Hall, 2006).Jaras saraf untuk pengaturan gerakan konjugat mata memperlihatkan pengaturan kortikal terhadap apparatus okulomotor, menunjukkan penyebaran sinyal yang berasal dari area penglihatan di korteks oksipitalis melewati traktus oksipitotektal dan traktus oksipitokolikular menuju area pretektal dan kolikulus superior pada batang otak. Dari area pretektal dan area kolikulus superior, sinyal pengaturan okulomotor selanjutnya akan menuju ke nukleus saraf okulomotor di batang otak. Juga ada sinyal kuat yang menjalar dari pusat pengatur keseimbangan tubuh di batang otak ke sistem okulomotor yang berasa dari nukleus vestibular melewati fasikulus longitudinalis medial (Guyton dan Hall, 2006).Gambar 7. Otot-otot ekstraokular mata dan persarafannya (Guyton dan Hall, 2006)Gambar 8. Jaras persarafan gerakan konjugat mata (Guyton dan Hall, 2006)

2.2.3 Gerakan Fiksasi MataGerakan mata yang paling penting mungkin adalah gerakan yang menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang luas dari lapang pandangan. Gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama adalah pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata secara voluntar untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian akan difiksasinya; gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi voluntar. Yang kedua adalah mekanisme yang dapat menahan mata secara tetap pada objek seketika objek itu ditemukan oleh mata; keadaan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi involuntar (Guyton dan Hall, 2006).Gerakan fiksasi voluntar diatur oleh bagian kortikal yang terletak bilateral di regio premotor kortikal lobus frontalis. Disfungsi bilateral atau kerusakan pada area ini menyebabkan orang itu sukar atau hampir tidak mungkin memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya menggerakkan mata ke titik yang lain. Biasanya orang tersebut perlu mengedipkan mata atau menutup mata dengan tangan untuk waktu yang singkat, setelah itu baru dapat menggerakkan mata (Guyton dan Hall, 2006).Sebaliknya, mekanisme fiksasi yang mennyebabkan mata dapat terpaku pada suatu objek yang menjadi perhatiannya ketika objek itu ditemkan, diatur oleh area penglihatan sekunder di korteks oksipitalis, yang terutama terletak di sebelah anterior korteks penglihatan primer. Bila area fiksasi ini mengalami kerusakan bilateral pada binatang, binatang akan mengalami kesulitan untuk memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat menjadi benar-benar tak mampu melakukan gerakan tersebut (Guyton dan Hall, 2006).Secara ringkas, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah posterior dengan otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada lapangan pandang yang diinginkan sehingga, dapat mencegah terjadinya gerakan bayangan menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi penglihatan ini, sinyal voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar kortikal yang terletak di korteks frontal (Guyton dan Hall, 2006).2.2.4 Gerakan Sakadik pada MataSakadik atau saccades adalah pergerakan mata tercepat. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis, saquer, yang berarti mengibaskan kendali kuda atau serupa dengan kibasan layar dalam hembusan angin (Fitte dan Walker, 1990) Bila bayangan penglihatan bergerak secara terus menerus di depan mata, misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan terfiksasi pada satu sorotan cahaya ke sorotan cahaya lain dalam lapangan pandang, melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan dua sampai tiga lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade dan gerakannya disebut gerakan optokinetik (Guyton dan Hall, 2006).Gerakan sakadik ini begitu cepatnya sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan mata tersebut tidak lebih dari sepuluh persen waktu total, sedangkan 90% dipakai untuk memfiksasi. Juga, selama timbul gerakan sakadik ini, otak akan menekan bayangan penglihatan sehingga orang itu tidak akan merasakan adanya gerakan perpindahan dari satu titik ke titik lain (Guyton dan Hall, 2006).Fungsi gerakan sakadik ini adalah membawa gambar dari suatu objek agar segera terpusat pada fovea. Gerakan sakadik dapat terjadi secara voluntar dan involuntary. Gerakan sakadik involuntar dibangkitkan oleh stimulus perifer, visual, atau auditorik (Khurana, 2007).2.2.5 Gerakan VergensiGerakan vergensi menjaga penglihatan binokular (Fite an Walker, 1990). Untuk memberikan persepsi penglihatan yang lebih berarti, bayangan penglihatan dalam kedua mata normal berfusi satu sama lain titik korespondensi di kedua retina. Korteks penglihatan berperan penting dalam fusi (Guyton dan Hall, 2006). Titik korespondensi kedua retina menjalarkan sinyal penglihatan ke berbagai lapisan sel saraf di korpus genikulatum laterlis, dan sinyal ini kemudian dihantarkan ke sel saraf yang sejajar dalam korteks penglihatan. Terjadi interaksi di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi gangguan dalam sel saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan tidak tercatat, yakni tidak terjadi fusi dengan tepat. Rangsangan ini mungkin memberikan sinyal yang dijalarkan ke apparatus okulomotor yang menyebabkan gerakan mata konvergen, divergen, atau rotasi supaya fusi dapat dibentuk kembali. Sekali titik korespondensi kedua retina dicatat, eksitasi gangguan dalam sel spesifik di korteks penglihatan akan menghilang (Guyton dan Hall, 2006)2.2.6 Sistem VestibularSistem vestibular mengandung labirin dan nuklei vestibular, menghasilkan gerakan kompensasi yang menjaga fovea tetap terfiksasi pada target, meskipun kepala sedang bergerak. Labirin memiliki dua komponen fungsional. Yang pertama adalah tiga saluran setengah lingkaran yang berperan mempengaruhi setiap pasang otot mata dan yang kedua adalah urtikula; reseptor yang merespon percepatan linear (Fite dan Walker, 1990).2.3 Pengaturan Akomodasi dan Diameter PupilMata dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut preganglion prasimpatis muncul dari nukleus Edinger-Westphal (bagian nukleus viseral saraf ketiga) dan kemudian berjalan dalam saraf ketiga ganglion siliaris, yang terletak di belakang mata. Di sini serabut preganglion bersinaps dengan sel saraf parasimpatis postganglionic yang kembali mengirimkan serabut-serabut melalui nervus siliaris ke dalam bola mata. Nervus ini merangsang (a) otot siliaris yang mengatur lensa mata untuk berfokus dan (b) sfingter iris yang menyebabkan konstriksi pupil (Guyton dan Hall, 2006).Persarafan simpatis mata berasal dari dalam sel kornu intermediolateral segmen torakal pertama medulla spinalis. Dari sini, serabut simpatis memasuki rantai simpatis dan berjalan ke atas ke ganglion servikalis superior, tempat serabut simpatis tersebut bersinaps dengan sel saraf postganglionik. Serabut simpatis postganglionik kemudian menyebar sepanjang permukaan arteri karotis dan berturut-turut dari arteri yang lebih kecil sampai serabut saraf tersebut mencapai mata. Serabut simpatis ini mempersarafi serabut radialis iris (yang membuka pupil) dan beberapa otot ekstraokular mata (Guyton dan Hall, 2006).2.3.1 Pengaturan AkomodasiMekanisme akomodasi, yaitu mekanisme yang memfokuskan sistem lensa mata, penting untuk tajam penglihatan tingkat tinggi. Akomodasi terjadi akibat kontraksi atau relaksasi muskulus siliaris mata. Kontraksi menyebabkan peningkatan kekuatan bias lensa dan relaksasi menyebabkan penurunan kekuatan (Guyton dan Hall, 2006).Area korteks otak yang mengatur akomodasi terletak paralel dengan area yang mengatur pergerakan fiksasi mata, dengan integrasi akhir berupa sinyal penglihatan dalam area 18 dan 19 korteks Brodmann dan menjalarkan sinyal motorik ke muskulus siliaris melalui area pretektal dalam batang otak dan kemudan masuk ke dalam nukleus Edinger-Westphal dan akhirnya serabut saraf parasimpatis menuju mata (Guyton dan Hall, 2006).2.3.2 Pengaturan Diameter PupilRangangan saraf parasimpatis juga merangsang otot sfingter pupil, sehingga memperkecil celah pupil; ini disebut miosis. Sebaliknya, rangsangan saraf simpatis merangsang serabut radial iris dan menimbulkan dilatasi pupil, yang disebut midriasis (Guyton dan Hall, 2006).Jika disinari oleh cahaya, pupil akan mengecil, reaksi ini disebut refleks cahaya pupil. Bila cahaya mengenai retina, terjadi beberapa impuls yang mula-mula berjalan melalui nervus optikus menuju nukleus pretektalis. Dari sini, impuls sekunder berjalan ke nukleus Edinger-Westphal dan akhirnya kembali melalui saraf parasimpatis untuk mengkonstriksikan sfingter iris. Sebaliknya, dalam keadaan gelap, refleks ini dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil (Guyton dan Hall, 2006).

2.4 Paralisis Nervus Kranialis III, IV, dan VI2.4.1 DefinisiParalisis adalah gangguan atau kehilangan fungsi volunter otot atau sensai pada bagian atau area tubuh, biasanya disebabkan oleh sebuah lesi atau kelainan dari otot atau sel saraf yang mempersarafi area tersebut (Collins, 2005). Paralisis nervus kranialis III, IV, dan VI akan mengakibatkan pada kelumpuhan otot- otot ekstraokular.2.4.2 EtiologiEtiologi dan lokasi gangguan pada kelumpuhan saraf motorik mata sangat bervariasi (Vaughan dan Asbury, 2007).Tabel 1. Penyebab Paralisis Nervus Kranialis IIICauseNo. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi67 (23.1)

Trauma kepala47 (16.2)

Neoplasma34 (11.7)

Vaskular*60 (20.7)

Aneurisma^40 (13.8)

Lain-lain42 (14.5)

Jumlah290 (100)

*25 Pasien menderita diabetes melitus, 22 menderita hipertensi, 10 menderita atherosklerosis, dan 3 lainnya menderita lebih dari salah satu kondisi tersebut. ^Termasuk 8 kasus perdarahan subarakhnoidSumber: Rush dan Young, 1981

Sebagian besar kasus paralisis nervus kranialis III, etiologinya tidak teridentifikasi. Dari 60 pasien paralisis nervus kranialis III yang disebabkan oleh penyakit vaskular, 25 diantaranya mengalami diabetes mellitus, 22 hipertensi, dan sepuluh atherosklerosis. Hanya tiga dari kelompok tersebut yang memiliki faktor kombinasi.Empat puluh dua kasus lainnya (other) disebabkan oleh: komplikasi operasi intrakranial, multipel sklerosis, migrain, dan penyakit neurologis lain.

Tabel 2. Penyebab Paralisis Nervus Kranialis IVCauseNo. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi62 (36.0)

Trauma kepala55 (32.0)

Neoplasma 7 ( 4.1)

Vaskular*32 (18.6)

Aneurisma^ 3 ( 1.7)

Lain-lain13 ( 7.6)

Jumlah172 (100)

*11 Pasien menderita diabetes melitus, 10 menderita hipertensi, 10 menderita aterosklerosis, dan 1 menderita lebih dari salah satu gejala tersebut.^Termasuk 1 kasus perdarahan subarakhnoidSumber: Rush dan Younge, 1981

Trauma kepala merupakan penyebab tersering yang diketahui dari paralisis nervus kranialis IV. Tiga belas kasus lain (other) terdiri atas penyakit vaskular kolagen, komplikasi operasi intrakranial, hidrosefalus, herpes zooster optalmikus, komplikasi dari angiografi koroner, dan infeksi saluran pernafasan atas.Tabel 3. Penyebab Paralissi Nervus Kranialis VICauseNo. of Cases (%)

Tidak teridentifikasi124 (29.6)

Trauma kepala 70 (16.7)

Neoplasma 61 (14.6)

Vaskular* 74 (17.7)

Aneurisma^ 15 ( 3.6)

Lain-lain 75 (17.9)

Jumlah 419 (100)

*24 Pasien menderita diabetes melitus, 22 menderita hipertensi, 9 menderita atherosklerosi, and 19 menderita lebih dari salah satu dari gejala tersebut.^Termasuk 1 kasus perdarahan subarakhnoid. Sumber: Rush dan Younge, 1981

Sama halnya seperti paralisis nervus kranialis III dan IV, pada paralisis nervus kranialis VI penyebab tersering masih belum teridentifikasi. Penyebab tersering yang dapat ditemukan adalah penyakit vaskular.

Tabel 4. Distribusi dan Penyebab Paralisis Nervus Kranial Multipel

CauseCranial Nerves Affected

Total

III and IVIII and VIIII,IV,and VIIV and VI

Undetermined23510

Head trauma661325

Neoplasm414102341

Vascular*05+1++6

Aneurysm^624113

Other511824

Total2341541119

*termasuk 20 kasus asimetrik, distribusi lesi secara bilateral.+2 Pasien mendertia diabetes melitus, 1 menderita hipertensi, 2 menderita lebih dari salah satu gejala tersebut.+Atherosklerosis tanpa diabetes melitus atau hipertensi++Termasuk 3 kasus perdarahan subarakhnoidSumber: Rush dan Younge, 1981

Neoplasma infratentorial merupakan penyebab tersering paralisis nervus kranialis multipel. Sebagian besar kasus mengenai nervus kranialis III, IV, dan VI pada sisi yang sama. 2.4.3 Manifestasi KlinisGangguan total nervus okulomotorius ditandai oleh:1. Muskulus levator palpebra lumpuh, mengakibatkan ptosis.2. Paralisis otot m. rektus superior, m. rektus internus, m. rektus inferior, dan m. oblikus inferior.3. Kelumpuhan saraf parasimpatis, yang mengakibatkan pupil lebar (midriasis) yang tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi.Dua otot mata lainnya tidak ikut lumpuh, yaitu m. rektus lateralis (diinervasi oleh nervus kranialis IV) dan oblikus superior (diinervasi oleh nervus kranialis VI). Hal ini mengakibatkan sikap bola mata ialah terlirik ke luar dan bawah (Lumbantobing, 2011).Gambar 9. Lesi pada nervus okulomotorius kiri: (i) strabismus lateral, (ii) ptosis, (iii) dilatasi pupil, (iv) kehilangan akomodasi lensa, (v) deviasi mata ke luar dan bawah (Sumber: Patestas dan Gartner, 2006).

Gambar 10. (A) Normal: Saat kepala dimiringkan, mata berputar ke arah berlawanan. (B) Paralisis oblikus superior kiri: mata yang terkena mengalami eksorsi dengan konsekuensi penglihatan ganda. Untuk meminimalisir penglihatan ganda, individu memiringkan kepala ke arah sisi yang sehat yang mengintrosi mata normal (Sumber: Patestas dan Gartner, 2006).

Kelumpuhan nervus troklearis tersendiri jarang dijumpai. Kelumpuhan nervus kranialis IV menyebabkan terjadinya diplopia (penglihatan ganda, melihat kembar) bila mata dilirikkan ke arah ini. Penderitanya juga mengalami kesukaran bila naik atau turun tangga dan membaca buku karena harus melirik ke arah bawah (Lumbantobing, 2011).Lesi nervus kranialis VI melumpuhkan otot rektus lateralis, jadi melirik ke arah luar terganggu pada mata yang terlibat, yang mengakibatkan diplopia horizontal. Bila pasien melihat lurus ke depan, posisi mata yang terlibat sedikit mengalami adduksi, disebabkan oleh aksi yang berlebihan dari otot rektus medialis yang tidak terganggu (Lumbantobing, 2011).Gambar 11. (A) Medial strabismus mata kanan disebabkan oleh paralisis muskulus rektus lateralis, sehingga terdapat penglihatan ganda (B) Untuk meminimalisir diplopia, individu memutar kepalanya ke arah sisi yang mengalami lesi, sehingga mata normal terabduksi. (Sumber: Patestas dan Gartner, 2006).

2.4.4 Penegakan DiagnosisFungsi nervus kranialis III, IV,dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-sama. Saraf-saraf tersebut bertugas menggerakkan otot-otot mata ekstraokular dan mengangkat kelopak mata. Serabut otonom nervus kranialis III mengatur otot pupil (Lumbantobing, 2011).Saat melakukan wawancara, perhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus, enoftalmus, dan strabismus. Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan disebabkan oleh diplopia. Setelah itu, lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata, dan nistagmus (Lumbantobing, 2011).Gambar 12. Eksoftalmometri (Sumber: Goodwin)Berikut ini merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi nervus kranialis III, IV, dan VI menurut Lumbantobing (2011): a. PtosisKelumpuhan nervus kranialis III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu kelopak mata terjatuh, mata terutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. levator palpebrae. Kelumpuhan m. levator palpebrae yang total mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak dapat diangkat; mata tertutup. Pada kelumpuhan m. levator palpebrae ringan kita bandingkan celah mata; pada sisi yang lumpuh celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita lihat dahi dikerutkan (m. frontalis) untuk mengkompensasi menurunnya kelopak mata.Untuk menilai tenaga m. levator palpebrae pasien disuruh memejamkan matanya, kemudian ia disuruh membukanya. Waktu ia membuka mata, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang (menekan enteng) ada kelopak mata. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan mengangkat kelopak mata (m. levator palpebrae). Pada pemeriksaan ini perlu diberi tekanan pada alis mata dengan tangan satu lagi.

b. PupilPerhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan, apakah sama (isokor) atau tidak sama (anisokor). Juga perhatikan bentuk pupil, apakah bundar dan rata tepinya atau tidak. Bila pupil mengecil, hal ini disebut miosis dan bila membesar, disebut midriasis. Otot polos yang mengecilkan pupil (pupilokonstriktor) dipersarafi oleh serabut parasimaptis nervus kranialis III, sedangkan otot yang melebarkan pupil (pupilodilator) dipersarafi oleh serabut simpatis (torakolumbal).Reaksi cahaya pupil terdiri atas reaksi cahaya langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini, pasien diminta melihat jauh (memfiksasi pada benda yang jauh letaknya), setelah itu mata kita senter (beri cahaya) dan dilihat apakah ada reaksi pada pupil. Pada keadaan normal, pupil mengecil dan disebut reaksi cahaya langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata satu lagi, apabila pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang lainnya, maka disebut reaksi cahaya tidak langsung positif. Pada kelumpuhan nervs III, reaksi cahaya langsung dan tidak langsung ialah negatif.Gambar 13. Defek pupil aferen yang terdeteksi pada swinging flashlight test (sumber: Guluma, 2007)

Selama pemeriksaan harus dicegah agar pasien tidak memfiksasi matanya pada lampu senter, sebab hal tersebut akan menimbulkan refleks akomodasi yang juga menyebabkan mengecilnya pupil. Oleh karena itu, pasien harus selalu melihat jauh selama pemeriksaan ini.c. Refleks AkomodasiPenderita diminta melihat jauh, kemudian ia diminta melihat dekat, misalnya jari kita (benda) yang ditempatkan dekat dengan matanya. Refleks akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil. Pada kelumpuhan nervus III, hal ini negatif.d. Kedudukan atau Posisi Bola MataPerhatikan apakah kedudukan bola mata menonjol (eksoftalmus) atau seolah-olah masuk ke dalam (enoftalmus). Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih bear, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.Kelumpuhan salah satu otot mata dapat mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot antagonisnya, dan menyebakan strabismus (juling, jereng). Lumpuhnya m. rektus eksternus didapatkan strabismus konvergen (mata yang lumpuh melirik lebih medial). Pada kelumpuhan m. rektus internus didapatkan strabismus divergen (mata yang lumpuh melirik lebih ke lateral). Strabismus divergen dijumpi juga pada penderita koma.Strabismus dapat juga disebabkan oleh kelainan otot, misalnya oto rektus eksternus lebih panjang dalam hal ini diperoleh strabismus konvergen, dan tidak didapatkan kelumpuhan gerakan bola mata. Miastenia gravis dapat mengakibatkan kelumpuhan gerakan bola mata dan strabismus. Pada kejadian ini, lesi berada di hubungan saraf-otot (myoneural junction). Pada kelainan serebelum kadang dijumpai skew deviation, yaitu mata di sisi lesi melihat ke bawah dan ke dalam, sedangkan mata yang satu lagi melihat ke atas dan ke luar.Dua metode objektif yang digunakan untuk menentukan sudut strabismus (sudut deviasi), yaitu :i) Metode HirschbergPasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya berjarak sekitar 33 cm. Pada mata yang berdeviasi akan terlihat desentrasi pantulan cahaya. Dengan mempertimbangkan 18 PD untuk setiap milimeter desentrasi, dapat dibuat perkiraan sudut deviasinya.Gambar 14. Tes Hirschberg (Noorden, 1983)ii) Metode refleks prisma (metode Krimsky reverse)Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma ditempatkan di depan mata yang dipilih, dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk membuat refleks cahaya terletak di tengah kornea mata yang strabismus menentukan ukuran sudut deviasinya.

Gambar 15. Sudut kappa, A. Saat pemeriksa menempatkan matanya sejajar dengan cahaya yang diarahkan pada garis penglihatan pasien, refleksi dari cahaya tersebut berpindah kearah nasal pada kornea. B. Ketika pemeriksa mengarahkan mata dan cahaya ke garis aksis pupil pasien, refleksi dari cahaya tersebut muncul di tengah (Sumber: Noorden, 1983)

Gambar 16.. Sudut kappa, Sudut dikatakan positif apabila refleks cahaya berpindah kea rah nasal, dan negative ketika berpindah kearah temporal. (Sumber: Noorden, 1983)

Gambar 17. Tes Krimsky (Sumber: Noorden, 1983)

e. Gerakan Bola MataUntuk memeriksa gerakan bola mata, penderita diminta mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, medial bawah, dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-medial dan bawah-lateral. Perhatikan apakah mata pasien dapat mengikutinya, dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar dan mulus atau kaku.f. DiplopiaPenglihatan ganda (diplopia) dijumpai pada kelumpuhan otot penggerak bola mata. Tentukan pada posisi mana (dari mata) timbul diplopia. Bila satu mata ditutup, bayangan mana yang hilang. Pasien diminta menunjukkan posisi dari bayangan. Arah posisi bayangan yang salah menunjukkan arah gerakan otot yang lumpuh; jarak bayangan menjadi bertambah besar.g. NistagmusNistagmus adalah gerakan bolak-balik bola mata yang involunter dan ritmuk. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah (misalnya ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah) selama jangka waktu lima atau enam detik. Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka waktu tersebut. Akan tetapi, mata jangan jauh dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada orang yang normal.Pada nistagmus, yang harus diperiksa:1. Jenis gerakannya: penduler (gerakan bolak balik yang sama cepatnya), ada komponen cepat dan lambat, jerk nystagmus.2. Bidang gerakannya: horisontal, vertikal, rotatoar, atau campuran.3. Frekuensinya: cepat atau lambat4. Arah gerakannya, yaitu arah dari komponen cepatnya. Bila dikatakan nistagmus horisontal kanan, ini berarti komponen cepatnya ialah ke horisontal kanan. Sebetulnya lesi berada di arah komponen lambatny, karena komponen lambat inilah yang esensial pada nistagmus: timbulnya nistagmus ialah karena lemahnya mata untuk mengadakan deviation conjugee yang volunter.5. Amplitudonya (besar atau kecil, kasar atau halus).6. Derajatnya: derajat I nistagmus timbul bila melirik ke arah komponen cepat; derajat II juga ada bila melihat ke depan; derajat III juga ada bila melirik ke arah komponen lambat.7. Lamanya: apakah menetap (permanen), atau berlalu (menghilang setelah beberapa waktu, hari, dan minggu).Di samping itu perlu pula diselidiki hal berikut:1. Apakah nistagmusnya fisiologis atau patologis.2. Apakah kongenital atau didapat3. Apakah vestibular (perifer, yaitu kelainannya pada= labirin, nervus VIII), atau sentral.4. Apakah ada nistagms sikap. Nistamus sikap (nistagmus posisional) adalah nistagmus yang terjadi atau bertambah hebat pada posisi tertetu dari kepala.2.4.5 Penatalaksanaan Paralisis Nervus Kranialis III, IV, dan VIPada umumnya, pasien dengan gangguan nervus kranialis III ini merasa nyeri pada bagian mata yang mengalami gangguan nervus. Oleh karena itu, pengobatan yang diberikan bertujuan untukmengurangkan rasa nyeri. Pengobatan dengan NSAIDs (Nonsteroidal anti-inflammatory drugs) merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi rasa nyeri pada matapasien ini. Untuk pasien yang mempunyai gejala diplopia yang hebat, disarankan menutupi mata tersebut untuk sementara waktu, sedangkan bagi pasien yang mempunyai gejala diplopia yang ringan,disarankan menggunakan prisma vertikal atau horizontal untuk mengembalikan posisi mata (Goodwin, 2012). Pembedahan juga dapat dilakukan ,yaitu pembedahan pengangkatan palpebrajika adanya ptosis yang persisten sehingga mengganggu penglihatan pasien. Dianjurkan kepada pasien yang mempunyai ptosis dan mempunyai penglihatan diplopia untuk tidak naikke tempat-tempat yang tinggi misalnya gunung, memandu kendaraan ,atau mengoperasikan mesin-mesin yang berat demi keselamatan dan kesejahteraan pasien (Goodwin, 2012).Pasien yang mengalami deviasi dan diplopia sudut kecil pada paralisis nervus kranialis IV disarankan menggunakanprisma. Botulinum toksin juga dapat digunakan sebagai terapi pada pasien yang mengalami gangguan nervus kranialis IV ini (Garnham dkk, 1997). Botulinum toksin merupakan agen neuromuscular yang akanbereaksi pada presinaptik untuk memblokir pelepasan neurotransmiter dan menyebabkan kelemahan otot. Meskipun terapi pertama menggunakan botulinum toksin ini kurang memberikan kesan, penggunaannya adalah terbaik untuk memperbaiki deviasi yang masih ada setelah pembedahan strabismus (Sheikh, 2012).Pada tahun 1970-an, Knapa memperkenalkan metode pembedahan untuk gangguanpada otot oblikus superior. Untuk deviasi yang kurang daripada 15 diopter prisma,pembedahan pada satu otot dapat dilakukan dengan cara jika tidak terdapatoveraction /tari kan otot oblikus inferior yang berlebihan, maka otot oblikus inferiordilemahkan dengan cara miektomi (myectomy). Jika deviasi adalah lebih daripada 15 diopter prisma, pembedahan yang melibatkan 2-3 otot akan dilakukan. Dua otot yangperlu dibedah termasuk melemahkan otot oblikus inferior ipsilateral, begitu juga dengan ototrektus superior ipsilateral, otot oblikus superior, atau otot rektusinferior kontralateral (Sheikh, 2012).Penggunaan prisma Fresnel dapat mengurangi penglihatan diplopia pada setengahpasien paralisis nervus kranialis VI. Prisma ini dilekatkan pada kacamata yang dipakai pasien dengan harapan terjadinya kompensasi mata yang mengalami gangguan tersebut. Selain itu, mata yang satu dapat ditutup untuk sementara waktu untuk mengurangi penglihatan diplopia tersebut (Ehrenhaus, 2012). Penutupan mata yang satu tidak disarankan untuk bayi dan anakkarena dapat memberikan resiko merangsang stimulus terjadinya ambliopia. Pada tahap awal, pasien dapat diberikan injeksi Botulinum toksin pada sisi ipsilateral otot rektus medialis. Botulinum toksin ini bertujuan mencegah kontraksi otot rektus medialis. Penggunaan prisma dan botulinum toksin ini adalah penatalaksanaan awal sementara dilakukan observasi terhadap pasien selama 9 sampai 12 bulan. Setelah 9 sampai 12 bulan observasi, makaditentukanpula terapiselanjutnya, baikkonservatif maupun operatif.Jika kondisi pasien tidak sesuai untuk dilakukan pembedahan, maka disarankan pasien untuk tetap memakai prisma. Penutupan(oklusi) mata secara permanent jugadisarankan (Ehrenhaus, 2012).2.4.6 PrognosisDari penelitian Rush dan Younge (1981) pada 1000 kasus paralisis nervus kranialis III, IV, dan VI tercatat ada 483 kasus yang mengalami pemulihan atau recovery. Penderita paralisis nervus kranialis IV (53,5%) lebih banyak yang mengalami pemulihan dibandingkan dengan penderita paralisis nervus kranialis VI (49,6%) dan III (48,3%). Pada umumnya, pasien dengan paralisis yang disebabkan oleh penyakit vaskular (diabetes melitus, hipertensi, atau aterosklerosis) mengalami pemulihan ,tanpa memperhatikan saraf kranial yang terkena. Pasien paralisis dengan etiologi trauma kepala memiliki persentase pemulihan yang lebih rendah daripada pasien dengan paralisis yang disebabkan oleh penyakit vaskular tersebut (Rush dan Younge, 1981).

5