BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 ...repository.poltekkes-tjk.ac.id/795/4/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 ...repository.poltekkes-tjk.ac.id/795/4/BAB...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Pembedahan
2.1.1.1. Pengertian Pembedahan
Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana
pada tubuh dan terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intra operatif,
dan pasca operatif. Tiga fase ini secara bersamaan disebut fase
perioperative (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011)
Tiga fase dalam proses pembedahan:
1. Fase praoperatif dimulai saat keputusan untuk melakukan
pembedahan dibuat dan berakhir ketika klien dipindahkan ke
meja operasi. Aktifitas keperawatan yang termasuk dalam fase
ini antara lain mengkaji klien, mengidentifikasi masalah
keperawatan yang potensial atau actual, merencanakan asuhan
keperawatan berdasarkan kebutuhan individu, dan memberikan
penyuluhan praoperatif untuk klien dan orang terdekat klien.
2. Fase intra operatif dimulai saat klien dipindahkan ke meja
operasi dan berakhir ketika klien masuk ke unit perawatan pasca
operatif (PACU), yang juga disebut ruang pasca anastesi atau
ruang pemulihan. Aktivitas keperawatan yang termasuk kedalam
fase ini antara lain berbagai prosedur khusus yang dirancang
untuk menciptakan dan mempertahankan lingkungan terapeutik
yang aman untuk klien dan tenaga kesehatan.
3. Fase pasca operatif dimulai saat klien masuk ke ruang pasca
anastesi dan berakhir ketika luka telah bener-benar sembuh.
Selama fase pasca perioperative, tindakan keperawatan antara
lain mengkaji respon klien (fisiologik dan psikologik) terhadap
pembedahan, melakukan intervensi untuk memfasilitasi proses
penyembuhan dan mencegah komplikasi, memberi penyuluhan
dan memberikan dukungan kepada klien dan orang terdekat, dan
9
merencanakan perawatan dirumah. Tujuannya adalah membantu
klien mencapai status kesehatan yang paling optimal (Kozier, Erb,
Berman, & Snyder, 2011). Peran perawat selama fase pasca operatif
sangat penting terutama untuk pemulihan klien. Anastesi
menghambat kemampuan klien untuk berespon terhadap stimulus
lingkungan dan untuk membantu mereka sendiri. Selain itu,
pembedahan itu sendiri dapat menyebapkan trauma pada tubuh
dengan mengganggu mekanisme protektif dan homeostatis.
2.1.1.2. Komplikasi Pasca Operasi
Setelah melakukan tindakan pembedahan ternyata terdapat
beberapa komplikasi yang terjadi. Beberapa komplikasi yang terjadi
pasca operasi menurut Potter & Parry, 2007:
1. Sistem Pernapasan
1) Atelektasis merupakan kolepsnya alveolus dengan
ditahannya sekresi mucus. Tanda dan gejalanya antara lain
peningkatan frekuensi pernapasan, dipsnea, demam, dan
adanya batuk yang produktif. Atelectasis disebabpkan oleh
ekspansi paru yang tidak adekuat. Anestesi, analgesik dan
posisi yang tidak dimobilisasi menyebabkan ekspansi paru
tidak maksimal
2) Peneumonia merupakan peradangan pada alveoli yang
disebabkan oleh proses infeksi, karena buruknya ekspansi
paru yang disertai oleh penumpukan sekresi
3) Hipoksia merupakan konsentrasi oksigen dalam darah arteri
yang tidak adekuat. Tanda gejalanya antara lain dispnea,
tekanan darah tinggi, takikardi dan sianosis. Desebabkan oleh
agens anestesi dan analgesic. Peningkatan retensi mukus
10
2. Sistem Sirkulasi
1) Embolus merupakan potongan thrombus yang terlepas dan
bersirkulasi di dalam pembuluh darah sehingga menempel
pada pada pembuluh darah lain.
2) Thrombus merupakan terbentuknya bekuan darah yang
menempel pada dinding bagian dalam vena atau arteri yang
dapat menyumbat lumen pembuluh darah
3. Sistem Gastrointestinal
1) Distensi abdomen merupakan retensi udara didalam usus.
Tanda dan gejalanya antara lain meningkatnya lingkar perut
dan terdengar bunyi timpani, klien mengeluh perut terasa
penuh, distensi abdomen disebabkan oleh peristaltic usus
yang melebar akibat anestesi, manipulasi usus atau
imobilisasi.
2) Mual dan muntah merupakan gejala pengosongan lambung
yang tidak tepat atau adanya stimulasi kimia dari pusat
muntah. Mual muntah disebabkan oleh distensi abdomen,
obat-obatan, makan atau minum sebelum peristaltic kembali
4. Sistem Ginetourinaria
1) Retensi urin merupakan akumulasi urine didalam kandung
kemih yang terjadi secara involunter akibat hilangnya tonus
otot, tanda dan gejalanya antara lain klien tidak mampu
berkemih, dan distensi kandung kemih. Ini terjadi dalam 3
sampai 6 hari setelah pembedahan. Retensi urin disebabkan
oleh pengaruh anestesi dan analgesik dan narkotik
5. Sistem Integumen
1) Dehisensi luka merupakan terpisahnya tepi luka dari garis
jahitan. Tanda dan gejala dehisensi luka antara lain
11
meningkatnya drainase dan menampakkan jaringan yang ada
dibawahnya, biasanya terjadi 6-8 hari setelah pembedahan
2.1.2. Konsep Anastesi
2.1.2.1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu prosedur atau tindakan wajib yang
dilakukan sebelum tindakan operasi. Anestesi adalah suatu keadaan
narkosi, analgesia, relaksasi, dan hilangnya reflek (Smeltzer & Bare,
2011).
Menurut Koezier at al (2011) anestesi dibagi menjdi dua yaitu:
1. Anestesi umum atau general anahstesi
2. Anastesi regional (lokal. epidural, spinal)
2.1.2.2. Jenis Anestesi
Anestesi digolongkan menjadi anestesi umum dan regional. Agens
anestesi biasanya diberikan oleh ahli anestesi atau perawat anestesi.
1. Anestesi umum adalah menghilangkan semua sensasi dan
kesadaran. Dibawah pengaruh anestesi umum, reflex protektif
seperti batuk. Anestesi umum bekerja dengan memblok pusat
kesadaran diotak sehingga terjadi amnesia (kehilangan memori),
analgesia (insesibilitas terhadap nyeri), hypnosis (tidur palsu), dan
relaksasi (mengurangi ketegangan pada beberapa bagian tubuh).
Anestesi umum biasanya diberikan melalui infus intravena atau
inhalasi gas memalui masker atau memalui selang endotrakea
yang dimasukkan kedalam trakea (Koezier, 2011). Anestetik
umum menghasilkan anestesi karena dihantarkan ke otak pada
tekanan parsial yang tinggi. Jumlah anestetik yang relative besar
harus diberikan selama induksi dan pada awal fase rumatan karena
anestetik itu diresirkulasi dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Saat
tempat tersebut menjadi jenuh, dibutuhkan jumlah agens anestetik
12
yang lebih kecil untuk mempertahankan anestesi karena
equilibrium atau mendekati equilibrium telah tercapai antara otak,
darah,dan jaringan lain (Smeltzer & Bare, 2011).
2. Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan agens
anastetik disekitar saraf sehingga area yang dipersarafi oleh saraf
ini teranastesi. Efeknya bergantung pada jenis saraf yang terlibat.
Serabut motorik adalah serabut yang besar dan mempunyai selaput
mealin yang tertebal. Serabut simpatis adalah serabut terkecil dan
mempunyai selaput yang minimal. Serabut sensorik termasuk
menengah. Dengan demikian, anastetik lokal memblok saraf
motorik yang paling lambat dan saraf simpatis yang paling cepat.
Suatu anastetik tidak dapat dikatakan sudah hilang sampai ketiga
sistem (motoric, sensorik, dan otonom) tidak lagi dipengaruhi oleh
anestetik (Smeltzer & Bare, 2011). Ada beberapa teknik anastesi
regional yang digunakan diantaranya:
1) Anestesi topikal diberikan langsung kekulit atau membrane
mukosa, permukaan kulit yang terbuka, luka, dan luka bakar.
Agens topical yang paling sering digunakan adalah lidokain
dan bezokain.
2) Anestesi lokal diinjeksikan ke area tertentu dan digunakan
untuk prosedur pembedahan minor seperti penjahitan luka kecil
atau prosedur biopsy.
3) Blok saraf adalah teknik menginjeksikan agen anestetik ke
dalam dan sekitar saraf atau kelompok kecil saraf yang
memberikan sensasi ke area kecil pada tubuh. Blok mayor
melibatkan berbagai saraf atau pleksus (blok pleksus brakialis
menimbulkan anestesi lengan), blok minor melibatkan saraf
tunggal ( saraf fasial).
13
4) Blok intravena paling sering digunakan untuk prosudur-
prosedur yang melibatkan lengan, pergelangan tangan, dan
tangan. Torniket oklusif dipasang pada ekstermitas untuk
mencegah infiltrasi dan absorbs agens intravena yang
diinjeksikan di luar ekstermitas yang terlibat.
5) Anestesi spinal atau disebut juga blok subaraknoid, prosedur
ini memerlukan tindakan pungsi lumbal 2 (L2) dan sekrum
(S1). Agens anestetik diinjeksikan kedalam ruang subaraknoid
disekitar korda spinalis. Anestesi spinal dibagi menjadi tiga
golongan yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. Anestesi spinal
rendah biasanya digunakan pada pembedahan area rectum
perineum, anestesi spinal sedang digunakan pada pembedahan
perbaikan hernia dan apendiktomi, dan anestesi spinal tinggi
digunakan pada pembedahan seksio sesaria.
6) Anestesi epidural adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
epidural, area didalam kolumna spinalis, tetapi di luar dura
mater (Kozier, Erb, Berman Audrey, & Snyder, 2011)
2.1.3 Konsep Post Operatif Nausea Vomitus (PONV)
2.1.3.1 Post Operatif Nausea Vomitus (PONV)
Post Operatif Nausea Vomitus (PONV) merupakan salah satu
masalah yang sering terjadi pada pasien yang telah menjalankan
tindakan pembedahan, terutama pada pasien dengan anestesi umum.
Nausea atau rasa mual merupakan perasaan ingin muntah. Keluhan
ini dapat terjadi tanpa diikuti oleh muntah atau dapat mendahului dan
disertai gejala muntah. Lintasan saraf yang spesifik untuk rasa mual
belum diketahui, tetapi peningkatan salivasi, penurunan aktivitas
fungsional lambung, dan perubahan motilitas usus halus berkaitan
dengan mual. Rasa mual juga dapat distimulasikan oleh pusat yang
14
lebih tinggi di dalam otak (Kowalak, 2017). Mual dapat disebabkan
oleh impuls iritasi yang datang dari traktus gastrointestinalis, impuls
yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion
sickness, atau impuls dari korteks serebri untuk memulai muntah.
Bagaimanapun juga, muntah kadang kadang terjadi tanpa sensasi
prodromal dari mual, yang mengidentifikasi bahwa hanya bagian-
bagian tertentu dari pusat muntah yang berhubungan dengan sensasi
mual (Guyton, 1994).
Vomitus atau muntah merupakan ekspulsi isi lambung yang
disemburkan keluar. Otot lambung memberikan kekuatan untuk
menyemburkan isi lambung. Bagian fundus lambung serta sfingter
gastroesofageal mengadakan relaksasi dan kontaksi diafragma serta
otot dinding perut yang kuat meningkatkan tekanan intra abdomen.
Keadaan ini yang dikombinasikan dengan kontraksi annulus pilorik
lambung akan memaksa isi lambung masuk ke dalam esofagus.
Kemudian peningkatan tekanan intratorakal menggerakan isi lambung
dari esofagus ke mulut (Kowalak, 2017).
2.1.3.2. Patofisiologi (PONV)
Muntah dikontrol oleh dua buah pusat di dalam medulla oblongata
pusat, muntah dan zona pemicu kemoreseptor (chemoreceptore trigger
zone, CTZ). Pusat muntah memulai muntah yang sebenarnya. Pusat ini
di stimulasi oleh traktus GI dan pusat yang lebih tinggi di dalam
batang otak serta korteks serebri dan CTZ. CTZ itu sendiri tidak dapat
menginduksi muntah. Berbagai stimulus dan obat, seperti apomorfin,
levodopa, digitalis, toksin bakteri, radiasi, dan kelainan metabolisme
dapat mengaktifkan zona tersebut. Zona yang sudah diaktifkan itu akan
mengirim impuls saraf ke pusat muntah dalam medulla oblongata
(Kowalak, 2017).
15
Patofisiologi dari muntah bersifat kompleks dan melibatkan
beberapa organ. Pusat muntah bilateral terletak di medulla oblongata,
dekat dengan traktus solitarius setinggi nukleus motoris dorsalis dari
vagus. Serabut afferent dari saluran gastrointestinal (terutama
serotoninergik), faring, medisatinum, pusat visual, bagian vestibular
nervus cranial ke-8 (terutama histaminergik) dan dari “trigger zone”
kemoreseptor (dopaminergik) dapat merangsang pusat muntah. Impuls
motorik dihantarkan dari pusat muntah melalui nervus cranialis ke
saluran pencernaan bagian atas, dan melalui syaraf spinal ke diafragma
dan otot-otot abdominal. “Trigger zone” kemoreseptor pada ventrikel
ke 4 memiliki peran khusus untuk mengawali muntah. Diafragma dan
otot-otot abdominal. “Trigger zone” kemoreseptor pada ventrikel ke 4
memiliki peran khusus untuk mengawali muntah. Mekanisme pasti
yang menyebabkan mual dan muntah tidak diketahui. Muntah selama
kemoterapi diinduksi dengan meningkatnya pelepasan serotonim
intestinal (merangsang reseptor 5HT3), kemudian merangsang pusat
muntah melalui afferat vagal. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan
keefektifan antagonis reseptor 5HT3 untuk terapi pada periode awal,
tetapi tidak efektif pada periode lanjut. Muntah setelah pemberian
morfin atau apomorfin dimediasi oleh “trigger zone” kemoreseptor
pada ventrikel ke 4.(Apfel CC, Truner MR, 2006 dalam Eddy
Harijanto, 2010)
16
Gambar 2.1
Alur Proses Terjadinya Mual Muntah sumber : (Kowalak, Welsh, Mayer, 2007)
Secara patofisiologi, mual dan muntah disebabkan oleh stimulus
pusat muntah ( berada di medulla oblongata yang tersusun oleh
formasi retukularis nukleus traktus solitaries) baik secara langsung
atau tidak langsung melalu salak satu atau lebih dilokasi berikut:
1. Traktus gastrointestinal
Renggangan mekanis (misalnya stasis atau obstruksi
gastrointestinal dan lesi mukosa gastrointestinal (misalnya paparan
radiasi, kemoterapi, erosi) serta obat obatan dan toksin dapat
menstimulasi neuro-reseptor di traktus abdominal. Selanjutnya
melalui nervus vagus dan splanknikus nervus glosofaringeal,
impuls ini dikirim ke pusat muntah.
Otot otot abdomen dan diafragma berkontraksi
Gerakan peristaltik terbalik mulai terjadi dan menyebab kan isi usus mengalir balik kedalam lambung serta
menimbulkan distensi lambung
Lambung mendorong diafragma kearah kavum toraks sehingga terjadi kenaikan tekanan intratorakal
Tekanan ini memaksa sfingter esofagus bagian atas untuk terbuka, glottis menutup, dan palatum mole menyekat
nasofaring
Tekanan tersebut juga memaksa isi lambung melewati sfingter untuk disemburkan keluar melalui mulut
17
2. Sistem vestibuler
Pergerakan atau gangguan di labirin akan memicu neuro-reseptor
di sistem vestibuler, selanjutnya sinyal dikirim ke pusat muntah
sehingga menimbulkan respon mual muntah.
3. Zona pencetus kemoreseptor (CTZ)
Obat-obatan, produk metabolit dan toksin bakteri dapat
menstimulasi neuro-reseptor dizona pencetus kemoreseptor, yang
selanjutnya memicu pusat muntah
4. Pusat muntah yang lebih tinggi ialah di korteks dan thalamus
kecemasan, iritasi meningeal dan tekanan intrakranial akan
merangsang pusat muntah (Cahyono S. B., 2014).
Pada saat reseptor diaktivasi, maka pusat muntah mengirimkan
signyal melalui lintasan eferen melalui saraf kranialis V,VII,IX,X dan,
XII ( nervus vagus dan saraf simpatis) menyebabkan timbulnya respon
mual atau muntah akibat kontraksi otot perut dan diafragma.
18
Gambar 2.2
Patofisiologi mual dan muntah sumber : (Daniel Eb, 2010 dalam JB Suharjo, 2014)
2.1.3.3. Etiologi PONV
Ada berbagai penyebab yang dapat memicu rasa mual muntah:
1. Gangguan saraf pusat
2. Viseral (usus dan peritoneal)
3. Infeksi
4. Endokrin dan metabolic
5. Mual muntah pasca operasi
6. Mual muntah pada pasien kanker stadium lanjut
7. Muntah pasca kemoterapi
Mual muntah pasca operasi atau yang sering disebut PONV juga
disebabkan oleh beberapa factor diataranya (Black & Hawks, 2014):
Korteks dan Thalamus (Kecemasan, Nyeri)
Vestibuler Reseptor H1 Reseptor M1
Traktus Gastrointestinal Reseptor 5-HT3
Pusat Muntah Reseptor hisitamine (H1) Reseptor asetilkolin (M1) NK 1 (neurokinin) substance
p Reseptor serotonin (5-HT3)
Zona Pencetus Kemoresepto Reseptor mu/Kappa
Opioid Reseptor NK1 Reseptor dopamine
19
1. Faktor klien
1) Usia
Usia juga mempengaruhi terjadinya ponv pada penelitian
Sholihah A dkk menyebutkan bahwa pada rentan usia 18-24
tahun angka kejadian PONV sebanyak 6,25%, pada rentan usia
25-39 tahun angka kejadian PONV sebanyak 4,17%, pada rentan
usia 40-54 tahun angka kejadian PONV sebanyak 11,46%,
kemudian pada rentang usia 55-65 tahun angka kejadian PONV
sebanyak 5,21%.
2) Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sholihah A dkk
menyebutkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi terjadinya
kejadian PONV. Jenis kelamin wanita yang mengalami PONV
sebanyak 18,75% sedangkan pada jenis kelamin laki-laki yang
mengalami PONV sebanyak 8,33%.
3) Obesitas
BMI [Body Mass Index; BMI = BB (kg) : TB2 (m)] > 30 lebih
mudah terjadi PONV karena terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal. Selain itu membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menghilangkan agen anestesi larut lemak. Pasien obesitas
juga memiliki volume residual gaster yang lebih besar dan lebih
sering terjadi refluks esofagus.
4) Jenis anestesi
Jenis anestesi juga mempengaruhi kejadian PONV berdasarkan
data yang didapat dari Sholihah A dkk, 2010 bahwa pasien bedah
dengan anestesi umum yang mengalami PONV sebanyak
18,75% sedangkan pasien bedah dengan anestesi regional
sebanayak 8,33%
5) Nyeri yang tidak terkontrol
20
Pusat muntah yang lebih tinggi yaitu dikorteks dan thalamus
dimana korteks dan thalamus pusat pengatur rasa cemas dan
nyeri (Cahyono S. B., 2014)
6) Riwayat mabuk saat berkendara
pasien dengan pengalaman motion sickness dan PONV
sebelumnya, memiliki reflek yang baik untuk menghasilkan
mual dan muntah. PONV 2x lebih sering terutama 24 jam
pertama (Wibowo, 2009)
2. Tipe pembedahan
Bedah mulut, bedah THT, bedah abdominal (usus), bedah
ginekologi major berisiko menyebabkan PONV sebesar 58%, bedah
tiroidektomi menyebabkan PONV sebesar 63-84% dan bedah
ortopedi, tidak hanya tipe pembedahan yang dapat mempengaruhi
PONV, lama pembedahan juga dapat mengakibatkan PONV.
Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan
maka peluang kenjadian PONV juga semakin besar (Wibowo,
2009)
3. Medikasi
1) Antikolinesterase
2) Etomidat
3) Isofluran
4) Nitrit oksida
5) Pentotal
6) Propofol
7) Anestesi regional diatas level spinal T5
2.1.3.4. Dampak PONV
Kejadian nausea vomitus dapat menimbulkan hal-hal negatif, baik
bagi pihak Rumah Sakit maupun pihak pasien. Pihak Rumah Sakit
21
akan mengalami pemborosan sumber daya, peningkatan biaya
operasional, dan bahkan kehilangan kepercayaan dari pasien.
Sementara dampak negatif dari pihak pasien antara lain ( Silbernagl,
2006 dalam Andry Wibowo, 2009) :
1. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat berdampak
lebih lanjut ke dehidrasi, hiponatremi, ruptur esofagus,
kerenggangan jahitan, dan dehiscence, perdarahan, hipertensi.
2. Isi lambung yang dimuntahkan dapat menyumbat jalan napas dan
mengakibatkan asfiksia, hipoksia, dan hiperkapnia. Apabila terjadi
aspirasi paru, maka asam lambung yang masuk akan menyebabkan
pneumonia aspirasi (sindroma Mendelson) dengan gejala: sesak
napas, syok, sianosis, suara ronkhi basah pada kedua paru, edema
paru. Sebagian besar pasien meninggal karena gagal jantung dan
paru.
3. Asam lambung yang sampai ke mulut dapat menyebabkan
terkikisnya email gigi dan inflamasi mukosa mulut. Selain itu dapat
pula terjadi Mallory Weiss Syndrome di mana terjadi laserasi linier
pada mukosa perbatasan esofagus.
2.1.3.5. Penatalaksanaan PONV
Menurut Qudsi, A.S., & Dwi Jatmiko, 2015 Pemberian antiemetik
tidak ada yang efektif sepenuhnya untuk mencegah PONV. Cara kerja
antiemetik yaitu menghambat reseptor yang berkaitan dengan emesis.
Oleh karena itu dilakukan pendekatan multimodal dengan cara
pemberian anestesi regional dan menghindari pemberian obat
emetogenik. Biaya dan efek samping obat harus diperhatikan dalam
pemberian terapi farmakologis pencegahan mual dan muntah (Qudsi &
Jatmiko, 2016).
22
Berbagai obat antiemetik yang dapat digunakan untuk mengatasi
mual muntah pasca operasi antara lain :
1. Antagonis Reseptor 5-HT3
Ondansetron merupakan salah satu jenis antagonis reseptor 5-HT3.
Sejak diperkenalkan pada awal 1990an, obat ini dan antagonis
reseptor 5-HT3 lainnya telah menjadi beberapa dari obat yang
paling banyak digunakan untuk mengatasi emesis yang diinduksi
oleh kemoterapi. Senyawa lain dari golongan ini antara lain
granisetron (kytril), dolasetron (anzemet), dan tropisetron. Reseptor
5-HT3 terdapat di beberapa daerah kritis yang terlibat dalam proses
muntah, meliputi aferen vagus, NTS ( yang menerima sinyal dari
aferen vagus), dan daerah postrema itu sendiri. Serotonin
dilepaskan oleh sel eterokromafin diusus halus sebagai respons
terhadap senyawa kemoteraupetik dan dapat menstimulasi aferen
vagus (melalui reseptor 5 HT3) untuk menginisiasi reflex muntah.
Senyawa- senyawa ini paling efektif dalam mengobati mual akibat
kemoterapi dan dalam mengobati mual muntah akibat penyinaran
abdomen bagian atas. Ondansetron, dolasetron, dan granisetron
memiliki efikasi yang sama dalam kondisi tersebut. Obat-obat ini
juga efektif untuk mengatasi hiperemesis kehamilan juga untuk
mual muntah pasca operasi, walaupun tidak terlalu sering
digunakan, tetapi tidak efektif untuk mabuk perjalanan. Namun obat
obatan jenis ini memiliki efek samping bagi yang menggunakan
seperti konstipasi atau diare, sakit kepala, serta pusing. Golongan,
obat- obat ini terbukti menyebebkan sedikit perubahan
elektrokardiografi, tetapi efek ini dianggap tidak bermakna secara
klinis dalam kebanyakan kasus.
23
2. Antagonis Reseptor Dopamin
Domperidon merupakan antagonis reseptor D2 lainnya dengan efek
antimual dan prokineik. Keuntungan utamanya dibandingkan
metoklopramid adalah efek samping terhadap SSP yang lebih kecil
karena penetrasinya yang buruk kedalam otak. Efeknya dalam hal
ini kompleks, tetapi mekanisme kerja utamanya adalah antagonisme
reseptor dopamine D2 di CTZ. Dibandingkan metoklopramid atau
ondansetron, obat-obat ini memiliki efektivitas yang berbeda beda
pada muntah akibat kemoterapi kanker. Disisi lain, obat-obat ini
juga memiliki aktivitas antihistamin dan antikolinergik, yang
bermanfaat untuk bentuk mual muntah lain seperti mabuk
perjalanan.
3. Antihistamin
Antagonis reseptor H1 histamin terutama bermanfaat untuk mabuk
perjalanan dan muntah pasca operasi. Senyawa ini bekerja pada
eferen vestibula dan batang otak. Siklizin, hidroksizin,
prometasizin, ranitidine merupakan contoh golongan ini.
4. Senyawa Antikolinergik
Antagonis reseptor muskarinik yang paling umum digunakan adalah
skopolamin (hoisin). Kegunaan utama senyawa ini adalah untuk
pencegahan dan pengobatan mabuk perjalanan, walaupun obat ini
telah terbukti juga memiliki sejumlah aktivitas dalam muntah dan
mual pascaoprasi (Gilman, 2017)
2.1.3.6. Penilaian PONV
PONV dapat berlangsung dalam beberapa menit, jam dan hari. Hal
ini tergantung dari kondisi pasien. Adapun tahapannya sebagai
berikut :
Tahap awal = 2 sampai 6 jam pasca operasi
24
Tahap lanjut = 24 atau 48 jam pasca operasi
Kejadian PONV dinilai pada skala 5 nilai menurut (Pang dkk dalam
Qudsi, A.S., & Dwi Jatmiko, 2015 sebagai berikut :
0 = tidak mual dan tidak rnuntah.
1 = mual kurang dari l0 menit dan atau muntah hanya sekali, tidak
membutuhkan pengobatan.
2 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah 2 kali dan
tidak membutuhkan pengobatan.
3 = mual menetap lebih dari 10 menit dan atau muntah lebih dari
2 kali dan membutuhkan pengobatan.
4 = mual muntah membandel yang tidak berespon dengan
pengobatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kim, Choi, Chin, Lee,
Kim, dan Noh (2017) menyatakan bahwa alat ukur yang digunakan
untuk mengukur mual muntah pasca operasi ialah RINVR. RINVR
terdiri dari delapan buah pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan yang
subjektif dan objektif. Instrument ini memiliki nilai reliabilitas dan
validitas dengan Cronbach’ alpha sebesar 0,912- 0,968, Spearman’s
coefifcients: 0,692-1,000, P < 0,0001, dan Weighted kappa: 0,932-
1,000. Dalam pengukuran menggunakan instrument RINVR total skor
terkecil 0 dan total skor tertinggi 32. Katagorinya ialah skor 0=
normal, skor 1-8= mual muntah ringan, skor 9-16= mual muntah
sedang, skor 17-24= mual mintah berat, dan skor 25-32= mual muntah
sangat berat. Perhitangan menggunakan instrument ini dilakukan pada
6 jam setelah pasien menjalankan operasi (Kim, Choi, Chin, Lee, Kim,
& Noh, 2007)
\
25
2.1.4. Konsep Terapi Komplementer
2.1.4.1 Terapi Komplementer
Terapi komplementer merupakan sebuah terapi secara tradisonal
non-farmakologi. Terapi komplementer merupakan sebuah bentuk
terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah
keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, beban, dan
jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al, 2004 dalam widyatuti,2008).
Terapi komplementer sebagai pengembangan terapi tradisional dan ada
yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi
keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual.
Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan yang memandang
manusia sebagai makhluk yang holistik yaitu bio, psiko, social, dan
spiritual. Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini
beragam sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi
kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara menyeluruh dan
mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan
pengembangan spiritual (Widyatuti, 2008).
2.1.4.2. Macam-Macam Terapi Komplementer
Pada dasarnya terapi komplementer dibagi maenjadi dua yaitu
invasif dan non- invasif, terapi invasive diantaranya (Widyatuti, 2008):
1. Akupunture yang prosedur pengobatannya menggunakan jarum
2. Cupping (Bekam Basah)
Terapi non-invasif diantaranya:
1. Terapi energi
1) Reiki
2) Chikung
3) Tai chi
4) Prana
26
5) Terapi suara
2. Terapi biologis
1) Herbal
2) Terapi nutrisi
3) Food combining
4) Terapi jus
5) Terapi urin
6) Hidroterapi colon
3. Terapi sentuhan modalitas
1) Akupresur
2) Pijat
3) Pijat bayi
4) Refleksi
5) Reiki
6) Rolfing
Klasifikasi lain menurut Smith et al ,2004 dalam widyatuti, 2008
bahwa terapi komplementer dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Gaya hidup
1) Pengobatan holistic
2) Nutrisi
2. Botanical
1) Homeopati
2) Herbal
3) Aromaterapi
3. Manipulatif
1) Kiropraktik
2) Akupresure
3) Akupuntur
4) Refleksi
27
5) Massage
6) Mind-Body (Meditasi, guided imagery, biofeedback, color
healing, hipnoterapi)
2.1.4.3. Peranan Perawat dalam Pemberian Terapi Komplementer
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung
misalnya dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi
terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002 dalam widyatuti,
2008). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran
koordinator dalam terapi komplementer juga sangat penting. Perawat
dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang
merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat
berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan
komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan alternatif
(Smith et al.,2004 dalam widyatuti, 2008).
2.1.5. Konsep Body Massage
2.1.5.1. Body Massage
Body massage merupakan salah satu jenis terapi komplementer
yang sering digunakan untuk menangani masalah kesehatan. Body
massage ialah suatu tindakan manipulasi otot-otot dan jaringan dari
tubuh dengan cara menekan, menggosok, getaran atau vibrasi dan
menggunakan tangan, jari tangan atau alat alat manual atau elektrik
untuk memperbaiki kondisi kesehatan (Nurgiwiati,2015 dalam
Sholekah A, 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Evitasari W dkk bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
pemberian terapi back massage pada pasien kemoterapi yang
mengalami mual muntah, Selisih rata-rata kelompok intervensi lebih
28
besar dengan hasil 3.0909 dibandingkan sesilih rata-rata kelompok
kontrol dengan hasil 1.2727.
2.1.5.2. Mekanisme Body Massage Tubuh Secara Fisiologi
Pemijatan dapat menstimulasi pengeluaran zat kimiawi dalam
tubuh seperti serotonin atau endorphin. Selama pemijatan tubuh akan
mengeluarkan zat kimiawi, dan meningkatkan serotonin dan
dopamine, dan pada saat yang sama tubuh akan mengurangi hormone
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sehingga dapat mengurangi
gejala depresi. Selain itu juga pijat dapat menstabilisasikan kadar gula
darah, memperbaiki fungsi pernafasan dan memperbaiki fungsi imun
(Nurgiwiati, 2015).
2.1.5.2. Manfaat Body Massage
Manfaat pemijatan menurut Wayuni et all,2013 dalam Sholekah A,
2016:
1. Meredakan stress
Studi telah menemukan body massage dapat meningkatkan sistem
kekebalan tubuh. Hal ini juga akan meredakan stress. Body
massage juga bias meningkatkan energi, mengurangi rasa sakit
serta meningkatkan kualitas fisik dan mental
2. Relaksasi
Body massage bisa membantu tubuh untuk rileks, mental menjadi
tenang dan mendorong lahirnya ide kreatif. Manfaat rileks ialah
memperbaiki kondisi mental, lebih bias mengatasi takanan,
menumbuhkan sikap positif, dan mendorong kreativitas.
3. Memperlancar fungsi sirkulasi
Dampak jangka panjang dari body massage ialah dapat
memperlancar aliran darah. Tekanan pada saat melakukan body
massage dapat menggerakan dara memalui area yang tersumbat.
29
Pelepasan ini membuat darah baru mengalir kedalam. Tekanan
dan tarikan pada saat melakukan body massage juga bias
melepaskan asam laktat dari otot dan meningkatkan aliran cairan
limfe yang membawa sampah sisi metabolisme dari otot-otot dan
organ dalam. Hasilnya, tekanan darah akan turun dan fungsi tubuh
semakin membaik.
4. Menurunkan tekanan darah
Sejumlah studi menunjukkan bahwa body massage yang
dilakukan teratur dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik, menurunkan kadar hormone stress kortisol, menurunkan
sumber-sumber depresi dan kecemasan.
5. Mengurangi rasa sakit
Body massage dapat memperbaiki persendian, meningkatkan
aliran darah dan nutrisi ke otot-otot serta jaringan lain.
2.1.5.3. Gerakan Pokok Body Massage
Gerakan-gerakan pokok body massage menurut Satiyem et all,2015
dalam Sholekhah A, 2016:
1. Effleurage (mengusap)
Effleurage (mengusap) adalah gerakan urut mengusap yang
dilakukan secara berirama dan berturut-turut ke atas. Gerakan
mengusap yaitu gerakan ringan dan terus menerus yang dilakukan
dengan ujung jari bagian bawah pada bagian wajah yang sempit,
seperti hidung dan dagu, dan telapak tangan pada bagian wajah
yang lebar seperti dahi dan pipi. Effleurage sering dipakai untuk
muka, leher, kulit kepala, punggung, dada, lengan, dan kaki.
Effleurage memiliki efek sadatif yaitu menenangkan sehingga
selalu digunakan diawal dan diakhir pengurutan. Khasiat gerakan
urut:
a. Menghilangkan secara mekanis sel-sel epitel yang telah mati
30
b. Akibat pengusapan terhadap peredaran darah dan getah
bening sehingga:
1) Mempercepat pengangkutan zat zat sampah dan darah
yang mengandung karbondioksida, memperlancar aliran
limfe baru dan darah yang mengandung sari makanan
dan oksigen
2) Pertukaran zat metabolisme disemua jaringan
meningkatkan dan pemberian makanan kepada kulit
dari tubuh yang terjamin.
2. Friction (menggosok)
Gerakan ini memberikan tekanan pada kulit untuk memperlancar
sirkulasi darah, mengaktifkan kelenjar kulit, menghilangkan kerut
dan memperkuat otot kulit. Lakukan pijatan melingkar ringan
pada bagian yang dipijat. Manfaat gerakan Friction yaitu:
a. Berpengaruh terhadap penyembuhan bagian bagian jaringan
yang sakit
b. Merangsang produksi kelenjar lemak yang bermanfaat untuk
kulit kering
c. Friction mempengaruhi peredaran darah dan aktivitas
kelenjar kelenjar dalam kulit
3. Petrisage (memijat atau meremas)
Gerakan ini menggunakan ujung jari dan telapak tangan untuk
menjepit beberapa bagian kulit. Pijitan jenis ini perlu sedikit
tekanan (pressure) yang dilakukan secara ringan dan berirama.
Fulling merupakan suatu bentuk petrisage yang banyak dipakai
untuk memijat lengan. Dengan jari kedua tangan, lengan dipegang
dan satu gerakan memijit dilakukan pada otot. Manfaat gerakan
petrisage ialah:
31
a. Memperlancar aliran zat-zat dalam jaringan ke dalam
pembuluh darah dan getah bening
b. Darah dan getah bening mengantarkan sari makanan ke
jaringan dan membawa sisa pertukaran zat dari jaringan ke
alat pembuangan. Jika aliran darah dan getah bening tidak
lancer, maka terjadilah penyumbatan yang dapat dihindari
dengan cara peremasan.
4. Pressure (menekan)
Gerakan ini dilakukan dengan kedua ibu jari yang disatukan atau
menggunakan jari-jari tangan yang lain. Caranya adalah
melakukan penekanan pada titik saraf tertentu yang tegang
menggunakan kekuatan jari tangan. Tekanan dilakukan dengan
kekuatan sedang sampai kuat. Gerakan ini berfungsi untuk
melepaskan titik saraf sehingga klien merasa lebih tenang dan
nyaman.
5. Tapotament (mengetuk)
Gerakan ini merupakan gerakan ketukan berturut-turut dengan
cepat, yang dilakukan dengan seluruh tangan atau ujung jari.
Ketukan dilakukan untuk mengembalikan tonus otot-otot yang
kendur. Gerakan mencincang adalah gerakan menepuk yang
dilakukan dengan menggunakan bagian samping luar kedua
tangan, yang ditepukkan pada kulit secara berturut-turut dan
bergantian untun pengurutan punggung, bahu dan lengan. Manfaat
gerakan ini adalah menyegarkan otot-otot, melancarkan peredaran
darah dan getah bening pada tempat yang diurut.
6. Vibration (menggetar)
Vibrasi adalah gerakan menggetar untuk merangsang atau
menenangkan urat saraf dan menghilangkan kerut wajah. Pada
pijatan ini gunakan ujung jari dan telapak tangan untuk
32
menggetarkan kulit secara bergantian. Manfaat dari gerakan ini
ialah untuk melemaskan jaringan- jaringan dan menghilangkan
ketegangan.
2.1.6. Konsep Akupresure
2.1.6.1. Akupresure
Akupresure merupakan suatu metode penekanan yang didasarkan
pada pengetahuan bahwa semua organ tubuh manusia dihubungkan
satu sama lain oleh saluran (meridian) yang menjelejahi seluruh
permukaan tubuh untuk menghantarkan energi keseluruh tubuh
(Sunetra,2004 dalam (Juwita, 2015)). Perbedaan akupresure dengan
akupuntur, akupresure dilakukan dengan menggunakan jari tangan
sedangkan akupuntur dengan menggunakan jarum, namun
menggunakan titik tekan yang sama pada meridian organnya (wong,
2011 dalam (Juwita, 2015) ).
2.1.6.2. Cara Penekanan Titik Akupresure
Penekanan atau pemijatan pada titik akupresur dilakukan dengan
mempertimbangkan reaksi “yang“ yaitu reaksi yang menguatkan
energi (qi) sedang yang melemahkan energi (qi) disebut reaksi “yin”.
Reaksi “yang dan “yin” dipengaruhi oleh lamanya penekanan atau arah
penekanan. Penekanan yang bereaksi menguatkan “yang”, dilakukan
sebanyak 30 kali tekanan dengan putaran mengikuti arah jarum jam
atau searah dengan jalannya meridian. Sedangkan penekanan untuk
melemahkan atau menguatkan “yin” dilakukan sebanyak 50 kali,
putaran yang berlawanan dengan jarum jam, berlawanan arah dengan
meridiannya (Sunetra, 2004 dalam (Juwita, 2015) ).
33
2.1.6.3 Manfaat Akupresure
Akupresure dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit,
penyembuhan, rehabilitasi, menghilangkan rasa nyeri, serta dapat
digunakan untuk mencegah kekambuhan penyakit. Di dalam tubuh
manusia terdapat 12 meridian umum dan dua meridian istimewa yang
memiliki organ-organ dalam tubuh, yang dapat di manipilasi untuk
melancarkan energi (qi), sehingga tubuh menjadi seimbang dan sehat
(Wong,2011 dalam (Juwita, 2015)). Manfaat lain dari akupresure ialah
untuk masalah pencernaan seperti dyspepsia, radang lambung, diare
dan mula muntah. Apabila terdapat keluhan mual maka titik yang
diperhatikan ialah titik BL2O (Pi shu), PC6 (Nei guan), CV12 (Zhong
wan), dan ST36 (Zu san li). Pada titik BL20 terletak dua jari kiri dan
kanan meridian GV, setinggi batas bawah torakal dua belas, pada titik
PC6 terletak dua cun dari pergelangan tangan, pada titik CV12 terletak
4 cun di atas pusar, dan pada titik ST36 terletak tiga cun dari patella
(Hartono, 2012).
2.1.6.4 Mekanisme Tiktik Akupresure BL20
Sejalan dengan waktu dan bertambahnya pengalaman, terapi
pijat kemudian berkembang dalam dua arah. Pijat atau massase yang
termasuk dalam disiplin ilmu fisioterapi dan akupresure yang termasuk
kedalam pengobatan alternative atau komplementer. Akupresure
merupakan perkembangan terapi pijat. BL20 merupakan titik
akupresure yang terletak didaerah punggung yang sejajar dengan
torakal ke 12. Serabut saraf perifer berhubungan dengan otak dan
korda spinalis. Serabut saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf kranial
dan 31 pasang saraf spinal. Saraf spinal terdiri dari 8 pasang saraf
servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal,5 pasaf saraf
sacral, dan satu saraf pasang saraf koksingeal. Pada bagian abdomen
saraf simpatis melewati trunkus simpatikus, saraf simpatikus
34
membentuk saraf perifer tersendiri. Saraf simpatis berasal dari torakal
ke V sampai IX membentuk nervus splaknikus mayor yang berasal
dari torakal X, XI,XII membentuk nervus splanikus minor. Saraf
simpatis yang berasal dari torakal V sampai XII mengurus persarafan
semua alat-alat yang berada didalam rongga abdomen termasuk salah
satunya masalah mual muntah (Syaifudin,2013)
Gambar 2.3
Letak Akupresure BL20
Sumber: Hartono, (2012)
2.2. Penelitian Terkait
Penelitian Winda Evitasari dkk, 2017 dengan judul Pengaruh terapi musik
relaksasi meditasi dan back massage terhadap penurunan intensitas mual
muntah pada pasien kanker payudara yang sedang menjalani kemoterapi di
SMC RS Telogorejo. Hasil penelitian didapatkan uji statistic menggunakan
dependent t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa p velue 0,00 (p value <
35
0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi musik relaksasi
meditasi dan back massage terhadap penurunan intensitas mual muntah pada
pasien kaker payudara yang sedang menjalani kemoterapi di SMC RS
Telogorejo. Pada penelitian ini peneliti memberikan intervensi selama 5-10
menit. Desain dalam penelitian ini menggunakan quasi experiment dengan
bentuk rancangan non equivalent control group atau non random control group
pre-post test. Penelitian ini menggunakan 22 responden yang dibagi menjadi 11
kelompok group intervensi dan 11 kelompok kontrol, dengan menggunakan
teknik total sampling.
36
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.4
Kerangka Teori Sumber: Black&Hawks (2014); Goodman&Gilman (2017); Smith et al ,2004 dalam widyatuti, (2008)
Faktor Klien
PONV Post Operativ
Nausea Vomitus
Tipe Pembedahan Meditasi (anestesi)
Farmakologi Non- farmakologi
Antagonis
Reseptor
Dopamin
Antagonis
Reseptor
5-HT3
Antihistamin Senyawa
Antikolinergik
Massage Akupresure BL20
Akupresure BL20 terletak sejajar dengan torakal ke 12. Saraf simpatis yang berasal dari torakal ke 5 sampai torakal ke 12 mengurus persarafan semua alat-alat yang berada didalam rongga abdomen, termasuk organ yang berpengaruh dalam mual muntah
Menstimulasi pengeluaran zat kimia dalam tubuh seperti serotonin dan endorphin
Nilai PONV menurun
37
2.4 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara kensep satu terhadap konsep yang lainnya, atau
antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin
diteliti (Notoatmodjo, 2018).
Kerangka konsep pada penelitian yang berjudul ” Pengaruh pemberian
terapi back massage pada titik akupresure BL20 terhadap post operatif nausea
vomitus (PONV) pasca anestesi umum Di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek
Provinsi Lampung” dapat dilihat pada gambar 2.4 dibawah ini.
Gamabr 2.5
Kerangka konsep
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara dari pertanyaan peneliti.
Biasanya hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel
yaitu variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmadjo, 2018). Adapun hipotesis
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Nilai PONV sebelum diberikan terapi back massage pada titik
akupresure BL20 pada pasien pasca anestesi umum pada kelompok
eksperimen
Pemberian terapi back massage
pada titik akupresure BL20
Nilai PONV sesudah diberikan terapi back massage pada titik
akupresure BL20 pada pasien pasca anestesi
umum pada kelompok eksperimen
Nilai PONV sebelum diberikan terapi kompres hangat pada pasien pasca
anestesi umum pada kelompok kontrol
Pemberian terapi kompres hangat
Nilai PONV sesudah diberikan terapi
kompres hangat pada pasien pascanestesi
umum pada kelompok kontrol