BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Ujian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1093/2/BAB...
-
Upload
nguyenkhanh -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Ujian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1093/2/BAB...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional
1. Pengertian
Kecemasan menurut Greenberger dan Padesky (2004) merupakan salah
satu emosi yang paling menimbulkan stres yang dirasakan oleh banyak orang
dan kecemasan menggambarkan periode singkat perasaan gugup atau takut
yang dialami ketika dihadapkan pada pengalaman sulit di dalam kehidupan.
Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa sedang dalam kondisi yang
bahaya atau terancam dan rentan dalam hal tertentu.
Dinyatakan oleh Nevid, dkk (2005) bahwa kecemasan adalah sesuatu
keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan
fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan khawatir
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadidi masa depan.
Definisi kecemasan menurut Durand dan Barlow (2006) sebagai
keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala
ketegangan jasmaniah yang dialami seseorang ketika mengantisipasi
kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan dimasa yang akan datang
dengan perasaan khawatir, perasaan bahwa dirinya tidak mampu memprediksi
dan mengontrol suatu kejadian yang akan datang, melibatkan perasaan,
perilaku, dan respons-respons fisiologis pada seseorang.
Menurut Hawari (2006) kecemasan adalah gangguan alam perasaan
(affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan dan kekhawatiran
16
berkelanjutan yang dialami seseorang tetapi tidak mengalami gangguan
dalam menilai realitas, kepribadian utuh, perilaku dapat terganggu namun
masih dalam batas normal. Ditambahkan oleh Prasetyono (2007) bahwa
kecemasan dapat menjadi gangguan apabila seseorang merasa cemas dan
khawatir akan hal yang tidak menyenangkan yang dirasakan secara terus
menerus dan pada mulanya dirasakan hal yang biasa akan berubah menjadi
ancaman.
Lubis (2009) mengartikan kecemasan sebagai tanggapan dari sebuah
ancaman nyata maupun tidak nyata yang dialami oleh seseorang karena
adanya ketidakpastian di masa mendatang. Townsend (2009) menambahkan
bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan gelisah yang tidak jelas, akan
ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respons otonom, sumbernya
sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu, perasaan takut
terhadap sesuatu karena mengantisipasi bahaya. Kecemasan merupakan
perubahan tanda peringatan mengenai bahaya yang akan datang dan membuat
individu melakukan tindakan dalam menghadapi ancaman.
Ghufron & Rini (2014) mendefinisikan istilah kecemasan sebagai
sesuatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan
tekanan yang menyertai konflik atau ancaman. Kecemasan atau perasaan
cemas adalah suatu keadaan yang dialami ketika berpikir yang tidak
menyenangkan terjadi, perasaan takut baik realistis maupun tidak realistis
yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.
17
Kaplan dan Sacosezzo (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa
kecemasan merupakan keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang
ditandai dengan rasa cemas dan ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi
dan tekanan yang disebabkan oleh adanya stressor yang berasal dari
lingkungan. Sejalan dengan pendapat Nevid (2005) bahwa kondisi
lingkungan merupakan sumber kekhawatiran, dan banyak hal yang dapat
menimbulkan kecemasan misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, dan karier.
Ditambahkan oleh (Halgin dan Withbourne dalam Martati 2007) salah satu
bentuk kecemasan adalah yang terkait dengan karier serta masa depan dan
menghadapi ujian.
Terkait hal tersebut Tresna (2011) menjelaskan bahwa kecemasan dapat
menjadi salah satu sumber kecemasan siswa. Kecemasan yang terjadi pada
siswa saat menghadapi Ujian Nasional karena adanya tekanan internal dan
eksternal. Tekanan internal berasal dari diri siswa bahwa adanya rasa malu
dan takut diremehkan oleh masyarakat atau lingkungan apabila tidak lulus
ujian, hal tersebut menjadi tekanan pada diri siswa, sedangkan tekanan
eksternal berasal dari orang tua, sekolah ataupun lingkungan yang menuntut
siswa untuk mendapatkan kelulusan. Tuntutan dan tekanan inilah yang
menimbulkan kecemasan pada diri siswa yang akan menghadapi Ujian
Nasional. Ditambahkan oleh Thoomasze & Murtini (2014) Ujian Nasional
menjadikan kecemasan sebagai sumber utama karena para siswa memiliki
penilaian tentang situasi Ujian Nasional yang mengancam keberhasilan dan
hasil belajar.
18
Kecemasan menghadapi Ujian Nasional dapat dialami oleh siswa
Sekolah Menengah Pertama yang termasuk dalam kategori masa remaja awal.
Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi yang meliputi
berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan
emosional. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain
penyalahgunaan obat-obatan, kenakalan remaja, masalah seksual dan masalah
yang berhubungan dengan sekolah Masalah yang berhubungan dengan
sekolah misalnya penyesuaian diri, beban pelajaran dan prestasi belajar.
Banyaknya permasalahan yang dihadapi membuat cemas dan stres (Santrock,
2007). Ditambahkan oleh Thomasze & Murtini (2014) bahwa pada tahap
remaja awal, anak banyak menghadapi tuntutan dan perubahan yang cepat
sehingga rentan mengalami masa yang penuh kecemasan. Ujian Nasional
merupakan salah satu sumber kecemasan murid berkaitan dengan aktivitas
sekolah.
Hall & Tyish (2005) menyatakan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hill & Sarason mengenai kecemasan anak yang diukur menggunakan TASC
(Test Anxiety Scale Children) bahwa empat sampai lima juta anak Sekolah
Dasar dan siswa Sekolah Menengah Pertama memiliki pengalaman yang kuat
akan kecemasan dalam ujian, sedangkan tingkat kecemasan menghadapi ujian
pada siswa Sekolah Menengah Atas cenderung konstan. Terkait hal tersebut
Santrock (2007) menjelaskan bahwa para siswa memiliki tingkat kecemasan
yang tinggi karena harapan dari orang tua yang tidak realistis terhadap
kemampuan yang dimiliki oleh anak. Kecemasan siswa meningkat sejalan
19
pada saat menghadapi evaluasi atau ujian, perbandingansosial dan beberapa
pengalaman kegagalan. Ketika sekolah memberikan pengalaman kegagalan
dalam evaluasi ujian,kecemasan siswa menjadi semakin meningkat.
Adapun salah satu kecemasan yang dialami oleh siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama (masa remaja awal) adalah kecemasan menghadapi Ujian
Nasional, karena Ujian Nasional merupakan hal yang utama dan
kedudukannya sebagai hal yang penting untuk dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (Yuliasari, 2003). Bersumber pada pemaparan di
atas maka kajian penelitian ini difokuskan pada kecemasan menghadapi Ujian
Nasional.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi
Ujian Nasional adalah kekhawatiran, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan, dan mengeluhkan sesuatu hal buruk terkait Ujian Nasional di
masa yang akan datang ditandai dengan gejala-gejala fisik, perilaku, serta
pemikiran yang muncul ketika subjek dihadapkan pada situasi yang
membuatnya cemas, dalam hal ini ialah situasi yang berkaitan dengan Ujian
Nasional.
2. Ciri-ciri Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional
Nevid dkk (2005) mengemukakan ciri-ciri dari kecemasan yaitu sebagai
berikut:
a. Ciri fisik
Ciri fisik pada seseorang yang mengalami kecemasan ditandai dengan
kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh gemetar, telapak
20
tangan yang berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit
berbicara, sulit bernafas, jantung yang berdetak kencang, jari-jari atau
anggota tubuh menjadi dingin, pusing, merasa lemas, sakit perut dan mual,
panas dingin, sering buang air kecil, merasa sensitif dan mudah marah,
leher atau punggung terasa kaku. Dalam hal ini terjadi pada saat subjek
memikirkan tentang problema terkait Ujian Nasional dan ketika subjek
berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Contoh:
subjek merasa tubuhnya terasa lemas ketika memikirkan Ujian Nasional
yang akan dihadapi tidak lama lagi.
b. Ciri perilaku (behavioral)
Ciri perilaku (behavioral) pada orang yang cemas ditandai dengan
menghindar, perilaku ketergantungan atau melekat, dan terguncang.
Perilaku ini terjadi dikarenakan subjek merasa dirinya terganggu dan
merasa tidak nyaman apabila dihadapkan pada kondisi yang menyangkut
Ujian Nasional yang akan dilakukan di masa mendatang. Perilaku dapat
dicontohkan seperti: subjek menghindar dari teman-teman yang sedang
membahas soal-soal latihan Ujian Nasional yang dianggap penting dan
sulit.
c. Ciri kognitif
Ciri kognitif orang yang cemas biasanya khawatir tentang sesuatu,
perasaan terganggu akan ketakutan tentang sesuatu di masa depan,
keyakinan mengenai sesuatu yang mengerikan terjadi, ketakutan
ketidakmampuan mengatasi masalah, berpikir tentang hal yang
21
mengganggu secara berulang, pikiran terasa bercampur aduk, tidak mampu
menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, sulit berkonsentrasi. Seperti
contoh: pada hari-hari mendekati ujian, subjek sulit memfokuskan pikiran
karena dibayangi oleh pelaksanaan Ujian Nasional di masa mendatang
Menurut Greenberger dan Padesky (2004), ciri-ciri dari kecemasan
yaitu :
a. Reaksi fisik
Reaksi fisik yang terjadi pada seseorang yang mengalami kecemasan
meliputi: telapak tangan berkeringat, otot tegang, jantung berdebar-debar
(berdegup kencang), pipi merona, pusing-pusing, dan sulit bernafas.
Contoh: ketika subjek memikirkan tentang standar nilai kelulusan yang
tinggi, maka subjek mengalami detak jatung yang kencang disertai dengan
kepala pusing.
b. Pemikiran
Orang yang cemas biasanya memikirkan bahaya dan ancaman secara
berlebihan, menganggap dirinya tidak mampu dalam mengatasi masalah-
masalah, tidak menganggap penting bantuan yang ada, serta berfikir
tentang hal-hal yang buruk yang akan terjadi. Seperti contoh: subjek
berfikir bahwa dirinya tidak mampu untuk menjalani Ujian Nasional,
merasa tidak memiliki kemampuan dalam Ujian Nasional.
c. Perilaku
Orang yang cemasakan berperilaku menghindari situasi yang bisa
menimbulkan kecemasan, seperti menghindar. Perilaku ini terjadi
22
dikarenakan merasa dirinya terganggu dan merasa tidak nyaman apabila
dihadapkan pada kondisi yang akan dilakukan di masa mendatang.
Perilaku dapat dicontohkan seperti: subjek menghindari mengikuti les
tambahan yang membahas latihan-latihan soal yang diselenggarakan oleh
sekolah.
d. Suasana hati
Suasana hati orang yang mengalami kecemasan meliputi: perasaan gugup,
jengkel, was-was, dan panik. Suasana hati subjek dapat berubah secara
tiba-tiba ketika dihadapkan pada kondisi yang memunculkan kecemasan.
Sebagai contohnya: subjek mengalami suasana hati yang berubah apabila
ada keluarga, guru, ataupun teman menanyakan terkait Ujian Nasional.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecemasan
menurut Nevid (2005) bahwa kecemasan ditandai dengan ciri fisik, ciri
perilaku, dan ciri kognitif, sedangkan menurut Greenberger dan Padesky
(2004) kecemasan ditandai dengan ciri-ciri yang ditunjukkan dalam reaksi
fisik, pemikiran, perilaku, dan suasana hati.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan ciri-ciri kecemasan dari
Nevid (2005) untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat kecemasan
menghadapi Ujian Nasional pada siswa kelas IX Sekolah Menengah
Pertama. Alasan peneliti menggunakan ciri-ciri kecemasan dari teori Nevid
karena konsep kecemasan yang dikemukakan lebih menekankan pada
pemikiran terkait ketakutan di masa depan yang khawatir dan gelisah
terhadap ketidakmampuan menghadapi masalah. Adapun peristiwa di masa
23
depan yang menimbulkan kecemasan pada siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama adalah Ujian Nasional.
Berbagai peristiwa dan pengalaman yang sulit dan dirasa dapat
menimbulkan kecemasan pada siswa misalnya menghadapi Ujian Nasional
maka siswa merasa pusing, keringat dingin, tubuh menjadi dingin dan lemas
serta sering buang air kecil, ketakutan tentang sesuatu di masa depan bahwa
takut tidak lulus dan nilai tidak sesuai harapan, ketakutan menghadapi
masalah yaitu misal tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian.
Hal tersebut sesuai dengan keadaan kondisi yang dialami oleh subjek
dalam penelitian ini, sehingga konsep kecemasan Nevid (2005) lebih
mengindikasikan konsep kecemasan pada siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Ujian
Nasional
Durand & Barlow (2006) menyebutkan bahwa reaksi kecemasan tidak
memiliki penyebab berdimensi tunggal, akan tetapi berasal dari 3 faktor
yakni:
a. Kontribusi biologis
Kontribusi dari banyak gen di wilayah kromosom yang berbeda
secara kolektif membuat individu rentang mengalami kecemasan,
kecemasan juga berhubungan dengan sirkuit otak dan sistem
neotransmiter tertentu, seperti contoh daerah yang paling sering
berhubungan dengan kecemasaan adalah sistem limbik, yang bertindak
24
sebagai mediator antara batang otak dan korteks. Batang otak yang
yang lebih primitif memonitor dan merasakan perubahan dalam fungsi-
fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal-sinyal bahaya potensial
ini ke proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem limbik yang
menyebabkan reaksi kecemasan.
b. Kontribusi psikologis
Kontribusi psikologis terhadap kecemasan terkait dengan beberapa
teori seperti psikoanalisa yang mengatakan bahwa di masa kanak-
kanak seseorang mungkin memperoleh kesadaran bahwa tidak semua
kejadian dapat dikontrol sehingga berdampak pada kecemasan. Pakar
teori perilaku melihat kecemasan sebagai produk pengkondisian klasik
awal, modelling atau peniruan, dan bentuk-bentuk belajar lainnya,
persepsi terhadap lingkungan dan ketidakmampuan mengontrol aspek
kehidupan serta ketidakpastian yang mendalam tentang diri, dan
ketidakmampuan individu dalam mengatasi berbagai kejadian yang
akan datang, serta adanya keyakinan akan adanya kejadian yang akan
mengancam menyebabkan secara psikologis individu mengalami
kecemasan. Kecemasan tersebut dimungkinkan terjadi apabila berpikir
mengenai masalah prestasi di sekolah, seperti: bayang-bayang
ketidakberhasilan dalam ujian mendatang, serta perasaan tidak mampu
mengontrol bentuk-bentuk keyakinan diri.
c. Kontribusi sosial
25
Peristiwa yang menimbulkaan stressor memicu kerentanan
seseorang mengalami kecemasan. Sebagian besar stressor
bersifatpribadi seperti perkawinan, perceraian, masalah karir, pekerjaan,
prestasi, kehilangan orang yang dicintai, dan tekanan sosial seperti
tekanan untuk berprestasi maupun harapaan-harapan masyarakat
lainnya yang harus dipenuhi akan berdampak pada kecemasan pada
seseorang yang tidak dapat melakukan penyesuaian diri terhadap
tekanan sosial dan lingkungan.
Menurut Hawari (2006) terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi
kecemasan yaitu:
a. Stressor Psikososial
Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga
seseorang harus melakukan penyesuaian diri. Tidak semua orang
mampu melakukan penyesuaian diri untuk mengatasi stresor
psikososial, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
stresor psikososial dapat menimbulkan gangguan kecemasan. Adapun
stresor psikososial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari
antara lain: perkawinan, problem orang tua, hubungan antar pribadi,
pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan,
penyakit fisik, dan trauma.
b. Psikoterapi Psikiatrik
26
Psikoterapi psikiatrik adalah bentuk terapi yang menganut asas
psikiatri dengan tujuan mengembalikan kepercayaan diri (self
confidence) dan memperkuat fungsi ego seseorang, biasanya berupa
wawancara atau konsultasi.Pasien dapat mengemukakan secara bebas
permasalahan yang dialami, dengan jaminan kerahasiaan segala
permasalahan, konflik, dan problem yang berhubungan langsung atau
tidak langsung terhadap kecemasan, maka dengan mencurahkan dan
menceritakan semua permasalahan yang dialami oleh pasien berfungsi
melepas katarsis yang akan meredakan kecemasan yang dialami oleh
pasien.
c. Psikoreligius
Psikoreligius adalah penyembuhan gangguan kejiwaan
menggunakan pendekatan keagamaan. Penanganan kecemasan dengan
psikoreligius dapat dilakukan menggunakan doa. Doa adalah
mengosongkan batin dan memohon kepada Tuhan untuk mengisinya
dengan segala hal yang manusia butuhkan. Di dalam doa seseorang
mencari kekuatan yang dapat melipatgandakan energi yang terbatas di
dalam diri seseorang dan melalui doa tercipta hubungan mendalam
antara manusia dan Tuhan.
d. Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah terapi dengan obat anti depresan yang
diberikan dalam dosis yang tepat untuk meredakan kecemasan.
Pemberian obat anti depresan harus sesuai dengan ukuran dosis
27
tertentu, hal ini dikarenakan penggunaan obat anti depresan secara
berlebihan dapat menyebabkan overdosis. Pemberian obat anti
depresen harus disesuaikan dengan tingkat kecemasan, penggunaan
obat sebaiknya apabila individu mengalami gejala-gejala kecemasan
akut.
e. Relaksasi
Relaksasi merupakan cara untuk mengurangi ketegangan dan
menjadikan seseorang merasa rileks, serta meredakan gangguan
kecemasan. Metode relaksasi lazimnya dilakukan oleh terapis dengan
menggunakaan hypnosis untuk mensugesti seseorang untuk mengalami
kondisi rileks. Relaksasi ini berawal dari pengarahan dari instruktur
kemudian sampai penderita kecemasan merasa mampu melakukannya
sendiri dan merasa nyaman. Relaksasi yang dapat dilakukan yaitu
dengan cara seseorang dihadapkan pada suatu bayangan dari suatu
daftar yang telah ditentukan lebih dahulu dari situasi, objek, dan kondisi
yang membuat seseorang mengalami kecemasan. Relaksasi merupakan
faktor yang penting dalam menurunkan kecemasan.
Ditambahkan oleh pendapat Maimunah & Retnowati (2011)
relaksasi merupakan faktor penting yang dapat menurunkan kecemasan
pada berbagai subjek serta telah terbukti efektif untuk mengurangi
kecemasan. Miltenberger (dalam Listyarini & Faidah, 2016)
menyatakan bahwa metode relaksasi terdiri dari lima macam yaitu : (1)
relaksasi otot (progressive muscle relaxation), (2) pernafasan
28
diafragma, (3) imagery training/guided imagery, (4) biofeedbeck, (5)
hypnosis. Black & Matassari (dalam Deswita dkk, 2014) menandaskan
bahwa salah satu bentuk relaksasi yang dapat dilakukan yaitu dengan
guided imagery. Hal ini karena guided imagery bermanfaat untuk
menurunkan kecemasan, kontraksi otot danmemfasilitasi tidur.
f. Terapi Perilaku
Terapi perilaku digunakan untuk menghilangkan berbagai bentuk
dan gejala kecemasan dengan jalan melatih diri menghadapinya, baik
sedikit demi sedikit, maupun secara langsung dan frontal dalam
menghadapi kecemasan. Terapi ini dimaksudkan untuk memulihkan
gangguan perilaku akibat stressor psikosial yang di deritanya, dan dari
terapi ini diharapkan pasien yang bersangkutan dapat beradaptasi
dengan kondisi yang baru sehingga tidak lagi merasakan kecemasan
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti di rumah, di sekolah
atau di kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.
Berlandaskan pada uraian di atas disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan yakni: yakni kontribusi biologis (seperti genetik
bawaan yang rentan terhadap kecemasan), kontribusi psikologis (seperti
masalah prestasi di sekolah mengenai bayang-bayang ketidakberhasilan dalam
ujian mendatang, serta perasaan yang tidak mampu mengontrol bentuk-bentuk
keyakinan diri), dan kontribusi sosial (seperti masalah perkawinan, perceraian,
masalah ditempat kerja, kehilangan orang yang dicintai, serta tekanan sosial).
29
Faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan yakni: psikoterapi psikiatrik,
psikoreligius, psikofarma, relaksasi dan terapi perilaku.
B. Pelatihan Guided Imagery
1. Pengertian
Pelatihan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pelajaran untuk membiasakan atau memperoleh suatu keterampilan.
Menurut Fauzi (2011) pelatihan diartikan sebagai upaya perolehan
pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan melalui upaya sengaja,
terorganisir, sistematik, dalam waktu yang relatif singkat, dan dalam
penyampaiannya menekankan praktik daripada teori.
Menurut Fauzi (2011) paradigma dalam pelatihan lebih berorientasi
pada peserta (learner’s oriented), paradigma ini ditandai dengan
keterlibatan penuh dari pesertanya, memberikan kebebasan kepada peserta
untuk berfikir kritis dan bekerjasama, variasi dan keragamaan dalam metode
belajar, motivasi internal (bukan semata-mata eksternal), adanya
kegembiraan dan kesenangan dalam belajar, integrasi belajar yang lebih
menyeluruh ke dalam segenap kehidupan sehari-hari, serta tidak hanya
memberikan pengetahuan dan keterampilan, namun yang lebih penting
adalah memberi kesempatan untuk pengembangan diri bagi peserta.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa pelatihan merupakan
kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan dalam waktu yang relatif
singkat, dengan cara yang terencana secara sistematis dan terorganisir untuk
30
mencapai penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kualitas watak
tertentu, sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bersumber pada paradigma yang dikemukakan oleh Fauzi (2011)
pelatihan dipilih sebagai metode untuk memanipulasi variabel sebab pada
penelitian ini. Dikatakan oleh Martono & Joewana (2008) bahwa metode
pelatihan sebagai cara untuk melatih ketrampilan psikososial bagi anak dan
remaja dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari. Ditambahkan
oleh Ancok (2007) bahwa dalam pelatihan terdapat unsur belajar dari
pengalaman/merupakan suatu proses yang dalam kehidupan sehari-hari
terjadi terus menerus, sehingga pengalaman itu menjadi bermanfaat bagi
kehidupan selanjutnya. Memperhatikan kondisi dan keadaan subjek maka
pelatihan sesuai digunakan pada subjek penelitian ini yakni siswa kelas IX
Sekolah Menengah Pertama yang memasuki fase remaja awal yakni berusia
11-15 tahun. Adapun pelatihan yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini
adalah pelatihan guided imagery.
Istilah guided imagery diperoleh dari penggabungan dua kata dari
bahasa Inggris yaitu guided dan imagery. Merujuk pada definisi kamus yang
ada guided berarti terarah. Imagery memiliki arti yaitu pengalaman
perseptual seolah-olah nyata dialami individu tanpa kehadiran stimulus
eksternal yang diimajinasikan. Imagery dilakukan dalam situasi relaksasi
dengan mengimajinasikan tujuan yang ingin dicapai dalam cara tertentu.
Imagery yang menyenangkan diilustrasikan sebagai sebuah metode dalam
menginduksi sebuah rasa ketenangan yang dalam, kesempatan untuk
31
menyusun kembali emosi dan merubah keseimbangan simpatetik
parasimpatetik (Kuiken, 2004).
Imagery merupakan pembentukan representasi mental dari suatu
objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indera (Snyder,
2010). Pada saat berimajinasi, individu dapat membayangkan melihat
sesuatu, mendengar, merasakan, mencium dan atau menyentuh sesuatu
(Snyder, 2010). Ditambahkan oleh Komarudin (2013) bahwa imagery
merupakan sebuah bentuk simulasi yang aktual, dalam imagery berbagai
pengalaman itu nyata melalui panca indera (melihat, merasakan, dan
mendengarkan), tetapi secara keseluruhan pengalaman itu terjadi di dalam
otak.
Kaplan & Sadock (2010) guided imagery merupakan metode relaksasi
untuk mengkhayalkan tempat dan kejadian yang berhubungan dengan rasa
relaksasi yang menyenangkan, khayalan tersebut memungkinkan klien
memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi. Snyder & Lindquits (dalam
Hudaya 2015) bahwa guided imagery didefinisikan sebagai intervensi
pikiran dan tubuh manusia menggunakan kekuatan imajinasi untuk
mendapatkan affect fisik, emosional maupun spiritual.
Guided imagery memiliki elemen yang secara umum seperti dengan
relaksasi, yaitu membawa klien pada keadaan yang rileks. Guided imagery
menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal yang nyaman dan
menyenangkan. Penggunaan guided imagery tidak dapat memusatkan
32
perhatian pada banyak hal dalam satu waktu, sehingga klien membayangkan
satu imajinasi yang kuat dan menyenangkan (Brannon & Feist, 2000).
Prasetyo (2010) guided imagery adalah upaya untuk menciptakan
kesan dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan yang
menyenangkan sehingga secara bertahap dapat menurunkan tingkat
kecemasan klien. Pembentukan imajinasi yang menyenangkan akan
diterima oleh berbagai alat indera kemudian rangsangan tersebut dijalankan
ke batang otak menuju sensor thalamus. Di korteks cerebri rangsangan akan
dianalisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak
mengenali objek dan arti kehadiran rangsangan tersebut.
Bayangan/imajinasi yang disukai dan menyenangkan dianggap sebagai
sinyal penting dan disimpan di memori. Rangsangan yang disukai memori
akan dimunculkan kembali dianggap sebagai suatu persepsi dari
pengalaman sensori yang sebenarnya. Pengalaman sensori tersebut dapat
merilekskan pikiran dan meregangkan otot-otot sehingga cemas yang
dirasakan menjadi berkurang.
Dalam sudut lain, guided imagery dapat didefinisikan sebagai sebuah
program dalam instruksi yang digunakan untuk membantu mencapai sebuah
kondisi psikologi dan fisiologis yang menyenangkan melalui relaksasi otot
dan bayangan mental yang positif, mengurangi ketidaknyamanan yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala menyerupai gangguan mood. Bayangan
mental yang positif dapat memberikan efek merilekskan dan berdampak
pada keadaan psikofisiologi dan kognitif seseorang (Singer dalam Apostolo,
33
2009). Ditambahkan oleh (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2002) guided
imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi seseorang untuk
mencapai efek positif tertentu.
Guided imagery adalah sebuah teknik yang memanfaatkan cerita atau
narasi untuk mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar
belakang musik (Hart, 2008). Guided imagery dilakukan dengan konselor
yang bertindak sebagai fasilitator atau pemandu dan melibatkan klien dalam
imagery yang diberikan. Proses penyampaian dapat dilakukan dengan
peserta dalam bentuk kelompok maupun pribadi. Hal ini disesuaikan dengan
situasi, tujuan dan masalah yang dialami oleh klien (Hall, 2006).
Guided imagery sesuai digunakan untuk anak-anak dengan usia 5-15
tahun, karena pada usia tersebut kemampuan yang dimiliki dalam imajinasi
tinggi dan senang untuk melakukan fantasi. Pada usia tersebut, dapat
memahami pengalaman terbaik ketika mengimajinasikan, memimpikan
dalam sadar dan berpura-pura. Teknik kogntif seperti imagery adalah
intervensi yang menyenangkan dan mudah dipahami untuk anak usia
sekolah (Huth, Kuikuen & Broome, 2006). Waktu yang digunakan untuk
pelaksanaan guided imagery pada orang dewasa dan remaja biasanya 10-30
menit, sementara kebanyakan anak-anak mentoleransi waktunya 10-15
menit (Snyder, 2006). Di sisi lain, Sutherland (2008) menyatakan bahwa
guided imagery dapat menenangkan jiwa, mengurangi rasa takut dan
mengurangi kecemasan pada ujian, untuk meningkatkan memori dan
kemampuan mental karena guided imagery memiliki latar belakang
34
gelombang yang menenangkan. Guided imagery dapat dilakukan untuk
remaja dan dewasa, untuk remaja usianya setidaknya lebih dari 12 tahun,
serta durasi pelaksanaannya 20-40 menit.
Dari berbagai pendapat yang dipaparkan diatas, disimpulkan bahwa
guided imagery adalah aktifitas relaksasi yang dilaksanakan seseorang
dalam rangka menciptakan kesan dalam pikiran untuk berimajinasi
membayangkan sesuatu hal yang menyenangkan dalam mencapai
ketenangan. Adapun pelatihan guided imagery adalah kegiatan
pembelajaran yang diselenggarakan dalam waktu yang singkat, dengan cara
terencana dan sistematik serta terorganisir untuk mencapai penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan dalam guided imagery, yakni menciptakan
kesan dalam pikiran untuk berimajinasi membayangkan sesuatu hal yang
nyaman dan menyenangkan dalam mencapai ketenangan yaitu dengan
imagery yang menyenangkan, imagery keadaan fisiologis, latihan mental,
dan peninjauan diri.
2. Bentuk-bentuk Guided Imagery
Kuikuen (2004) menyebutkan bentuk-bentuk isi dari guided imagery terdiri
dari 4 (empat) macam yakni:
a. Physiologically focused imagery (imagery yang berfokus pada keadaan
fisiologis)
Mengarahkan individu untuk membayangkan fungsi fisiologi yang
dibutuhkan untuk penyembuhan. Pada saat melakukan physiologically
35
focused imagery ini dibutuhkan pengetahuan proses biologis yang terlibat
sebelum menginisiasikan instruksi imagery.
b. Pleasant imagery (imagery yang menyenangkan)
Mengarahkan individu untuk membayangkan ketenangan dan tempat
yang nyaman. Termasuk membayangkan pegunungan, lautan, keadaan
masa lampau yang membawa kebahagiaan atau bayangan akan
kehidupan yang sejahtera dan sehat.
c. Reframing imagery (Latihan mental)
Proses membayangkan hasil dari suatu tugas dalam situasi rileks sebelum
benar-benar melakukan tugas itu. Metode ini meliputi membayangkan
dan menginterpretasikan kembali sebuah kejadian dan emosi-emosi yang
berhubungan dengan kejadian tersebut.
d. Receptive imagery (peninjauan diri)
Metode receptive imagery melibatkan peninjauan diri karena merupakan
diagnosis atau refleksi sifat-sifat diri dan melakukan evaluasi diri serta
mampu menerima ide-ide baru, saran positif.
Hall (2006), menyatakan terdapat 3 (tiga) metode dalam pelaksanaan guided
imagery di antaranya:
a. Scripted Guided Imagery
Dalam pendekatan penggunaan metode ini, konselor atau fasilitator
memberikan sebuah narasi dalam imagery. Klien atau kelompok
mendengarkan dan mengikuti instruksi fasilitator dalam suasana hening.
Teknik ini digunakan dalam situasi seperti latihan pengembangan atau terapi
36
kelompok. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk kelompok siswa di
sekolah, pendidikan sosial dan kesehatan dan juga siswa taman kanak-kanak.
Guided imagery dapat menggunakan narasi umumnya digunakan dalam setting
kelompok, namun juga dapat diberikan pada klien yang mengalami kecemasan
untuk mengatakan imagery yang dirasakan.
b. Imagery dan Menggambar
Menggambar dapat dijadikan metode intervensi yang dapat dikaitkan dengan
imagery untuk menjadi sumber kekuatan utama dalam belajar. Hasil
menggambar memberikan teori visual yang dapat digunakan klien sebagai
referensi dalam memantau kemajuan terapi yang dilakukan.
c. Spontaneously Generated Imagery
Metode ini berupa imagery yang dilakukan dengan percakapan antara
fasilitator dengan peserta selama guided imagery berlangsung. Melalui
percakapan yang mengalir, klien akan secara tidak sadar memproduksi
berbagai perumpamaan dan gambaran, yang menangkap esensi dari
pengalaman.
Dari penjabaran di atas, peneliti memilih menggunakan sricpted guided
imagery sebagai metode pelaksanaannya karena lebih efektif digunakan pada
situasi seperti pelatihan pengembangan kelompok siswa di sekolah. Selain itu,
pada sricpted guided imagery menggunakan narasi sebagai metode dalam
lingkup atau setting kelompok, dan juga scripted guided imagery dapat
diberikan pada klien yang mengalami kecemasan untuk mengatakan imagery
yang dirasakan.
37
3. Tahap-tahap Pelatihan Guided Imagery
Menurut Fauzi (2011) secara umum pelatihan memiliki 5 (lima) tahapan yaitu:
a. Bina suasana
Kegiatan ini dilakukan saat awal pelatihan dengan tujuan untuk
mengkondisikan suasana kaku antar peserta maupun peserta dengan
fasilitator agar saling mengenal, serta mampu mencairkan suasana pelatihan
agar lebih santai, terbuka, dan transparan, agar semua pihak dapat terlibat
secara aktif.
b. Identifikasi harapan dan hambatan
Pada tahap ini fasilitator mengumpulkan pendapat peserta tentang harapan
peserta terhadap kegiatan pelatihan dan hambatan yang mungkin muncul
dalam proses pelatihan.
c. Kontrak belajar
Merupakan kesepakatan antara peserta dengan fasilitator tentang jalannya
proses pelatihan dari awal hingga akhir pelatihan. Kesepakatan meliputi tata
tertib selama kegiataan pelatihan, jadwal pelatihan, pembagian tugas, dan
lain-lain. Diharapkan dengan adanya keterlibatan peserta sejak awal, peserta
akan merasa bertanggung jawab atas kelancaran proses pelatihan.
d. Pelaksanaan pelatihan
Dalam kegiatan ini peserta dibantu fasilitator sehingga peserta lebih banyak
terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini penggunaan metode
sangat dipengaruhi oleh tujuan maupun sasaran pelatihan yang ingin
dicapai.
38
e. Evaluasi proses dan hasil
Evaluasi merupakan upaya untuk mengumpulkan, mengelola, dan
menyajikan data atau informasi mengenai pelaksanakan kegiatan sebagai
masukan untuk pengambilan keputusan, serta evaluasi proses bertujuan
untuk mengetahui tingkat kesesuaian kegiatan pelatihan dengan rencana
yang telah disusun sebelumnya.
Bersumber pada pendapat Fauzi (2011) tersebut peneliti kemudian membagi
tahap-tahap pelatihan guided imagery menjadi 4 tahap/sesi, yaitu sebagai berikut:
1. Sesi Bina Suasana
Kegiatan yang dilakukan pada kegiatan ini sebelumya diawali dengan
berdoa bersama agar segala kegiatan yang dilaksanakan berjalan dengan lancar
dan sesuai dengan harapan. Kegiatan selanjutnya pada saat pelatihan yaitu
perkenalan antar peserta dan perkenalan fasilitator, hal ini dilakukan agar
saling mengenal, serta mampu mencairkan suasana pelatihan agar lebih santai,
terbuka, dan transparan, agar semua pihak dapat terlibat secara aktif.
Selain itu, pada kegiatan ini adanya pemberian ice breaking. Ice breaking
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi awal yang mendukung jalannya
pelatihan, perkenalan antar peserta maupun fasilitator, menumbuhkan motivasi,
rasa ingin tahu mengenai pelatihan guided imagery, menjadikan peserta
memiliki mental set untuk mengikuti pelatihan, mengakrabkan antar peserta,
dan menciptakan suasana yang kondusif agar peserta bisa mengikuti jalannya
pelatihan dengan antusias. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauzi (2011) bahwa
ice breaking merupakan satu cara yang bermanfaat untuk mencairkan suasana
39
dalam rangka memulai pelatihan, dengan alasan karena pada umumnya hanya
sedikit peserta yang mengikuti pelatihan dengan siap mental dan fikiran (siap
belajar), sementara sebagian besar lainnya masih memikirkan berbagai tugas,
pekerjaan, dan hal-hal lainnya yang mengalihkan perhatian peserta dari
pelaksanaan pelatihan. Pada kegiatan selanjutnya adalah pembagian snack
kepada peserta.
2. Sesi identifikasi harapan serta hambatan diri dan kontrak belajar
Pada tahap ini fasilitator mengumpulkan pendapat peserta tentang harapan
dan hambatan yang mungkin muncul dalam proses pelatihan guided imagery.
Disamping itu, tetap adanya penjelasan dari fasilitator mengenai pelatihan
guided imagery yang akan diberikan kepada siswa, selanjutnya siswa diminta
untuk mengisikan lembar inform consent sebagai kontrak belajar dan
kesanggupan dalam mengikuti pelatihan guided imagery dari awal hingga akhir
pelatihan.
3. Sesi pelaksanaan pelatihan Guided Imagery
Tujuan dari tahap ini adalah membimbing peserta untuk berkonsenrtasi
dan menciptakan suasana rileks untuk dirinya sendiri.
a. Physiologically focused imagery (imagery yang berfokus pada keadaan
fisiologis)
Pada sesi ini, peserta dalam keadaan rileks dan berkonsentrasi, serta mulai
menyiapkan pikirannya untuk fokus pada instruksi dari fasilitator.
Fasilitator akan terus mengarahkan peserta untuk merasakan setiap tarikan
nafas melalui seluruh tubuh pada peserta masing-masing, menghembuskan
40
nafas, melepaskan ketegangan serta melepaskan segala keluhan-keluhan,
segala beban berat yang dirasakan. Sehingga segala perilaku yang negatif
dan segala emosi negatif dapat diubah menjadi hal-hal yang positif.
b. Pleasant imagery (imagery yang menyenangkan)
Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan untuk mengarahkan peserta
membayangkan ketenangan dan tempat yang nyaman. Fasilitator akan
memberikan instruksi keadaan rileks agar seluruh peserta benar-benar
dalam keadaan rileks. Fasilitator akan mengajak untuk para peserta
menyadari dan merasakan irama nafas masing-masing, hal ini akan
menjadikan diri menjadi lebih rilekas lebih dalam, kenyamanan diri mulai
dirasakan lebih baik. Peserta dapat mulai membayangkan hal-hal yang
dapat membuat lebih senang, nyaman seperti membayangkan pegunungan,
lautan, keadaan yang sejahtera dan sehat. Kemudian peserta dapat
melanjutkan dengan lebih nikmat kondisi-kondisi yang masing-masing
mereka bayangkan, resapi dan hayati, dan nikmati lebih mendalam.
Kondisi rileks dan nyaman ini dapat dirasakan dan didapatkan kapanpun
para peserta menginginkan hal tersebut.
c. Reframing imagery (latihan mental)
Peserta membayangkan hasil dari suatu tugas dalam situasi rileks sebelum
benar-benar melakukan sesuatu tugas. Pada kegiatan ini, fasilitator akan
meminta peserta tetap dalam keadaan rileks dan berkonsentrasi serta
membayangkan Ujian Nasional yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai
dengan harapan, soal-soal yang yang dikerjakan dapat dikerjakan dengan
41
baik dan sesuai dengan yang dipelajari. Disamping itu, tidak adanya
ketakutan-ketakutan serta kekhawatiran dalam menghadapi Ujian Nasional
yang akan segera dilaksanakan. Selain itu, pada saat pengumuman nilai
yang tertulis adalah nilai yang diharapkan masing-masing peserta. Pada
kegiatan ini merupakan proses membayangkan hasil dari suatu tugas
dalam situasi rileks sebelum benar-benar melakukan tugas tersebut. Sistem
neural dan imagery terjadi tepat pada area otak dan dapat menguatkan pola
neural. Pada kegiatan ini pula membayangkan dan menginterpretasikan
kembali sebuah kejadian dan emosi-emsoi yang berhubungan dengan
kejadian tersebut.
d. Receptive imagery (peninjauan diri)
Pada kegiatan ini peserta diminta untuk meninjau atau merefleksi sifat-
sifat diri. Pada tahap peserta diminta oleh fasilitator untuk dapat menerima
dirinya serta mampu meninjau segala kekurangan-kekurangan dalam
dirinya dan mau menerima ide, saran dari fasilitator dalam kehidupan yang
lebih baik, lebih positif , serta lebih optimis dalam menghadapi tantangan
di Ujian Nasional mendatang.
4. Sesi Penutup, Evaluasi Proses dan Hasil
Pada sesi ini dilaksanakan evaluasi sebagai upaya untuk mengumpulkan,
mengelola, dan menyajikan data atau informasi mengenai pelaksanakan
kegiatan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan, serta evaluasi proses
bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian kegiatan pelatihan guided
imagery dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Setelah itu peserta
42
diminta untuk mengisikan kembali Skala Kecemasan Menghadapi Ujian
Nasional, hal ini dijadikan sebagai posttest. Kegiatan selanjutnya adalah
ucapan terimakasih atas partisipasi peserta karena telah mengikuti segala
kegiatan pelatihan guided imagery yang dilaksanakan dan setelah itu
melakukan doa bersama sebagai penutupan acara.
4. Manfaat Guided Imagery
Berbagai manfaat guided imagery di dalam kehidupan yaitu:
a. Susana & Sri (2014) manfaat guided imagery adalah membantu untuk
mencapai berbagai tujuan masalah kesehatan, antara lain: menurunkan depresi
dan kecemasan, menghilangkan fobia, mengurangi trauma, mengurangi
merokok dan makan, penyembuhan penyakit fisik dan gejalanya (sakit kepala,
tekanan darah, insomnia, dan nyeri kronis).
b. Synder (2010) guided imagery digunakan untuk mengurangi kecemasan dan
memberikan relaksasi pada orang dewasa dan anak-anak, mengurangi nyeri
kronis, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan darah.
c. Olness & Kohen (dalam Genders,2006) menyatakan manfaat penggunaan
imagery sebagai pereda nyeri, mengurangi kecemasan, meningkatkan
penguasaan dan harapan. Ditambahkan oleh Dossey (dalam Potter & Perry,
2009) menjelaskan bahwa aplikasi guided imagery untuk mengurangi rasa
nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan ketentraman. Indikasi dari guided
imagery adalah pasien yang memiliki pikiran negatif atau pikiran menyimpang
dan mengganggu perilaku, seperti over generalization, filter mental, stress,
cemas, depresi, nyeri, dan hipokondria.
43
d. Jacobson (2006) Guided imagery dapat berfungsi sebagai pengalih perhatian
dari stimulus yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi respon
nyeri dan kecemasan. Ditambahkan oleh (Hart, 2008) , guided imagery akan
sangat efektif untuk anak-anak dibanding orang dewasa dan lebih membuka
kreativitas dan imajinasi anak.
e. Reliani (2015) menyatakan bahwa guided imagery merupakan suatu teknik
atau cara yang dapat untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadarmaupun tidak
sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan
keheningan, sehingga dapat mengurangi kecemasan yang terjadi. Ditambahkan
oleh Rahmayanti (2010) teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada
umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya
dan fokus pada nafas masing-masing, klien didorong untuk relaksasi
mengosongkan pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang.
C. Pengaruh Guided Imagery terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa SMP
Guided imagery merupakan salah satu jenis teknik relaksasi sehingga
manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi
yang lain. Guided imagery digunakan untuk mengurangi kecemasan dan
memberikan relaksasi. Pada guided imagery mengandung pembentukan
representasi mental dari suatu objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan
melalui indera (Snyder, 2010). Guided imagery merupakan bagian dalam
kemampuan sosial personal dan pengembangan pendidikan mengenai kesehatan.
44
Hal ini dilakukan untuk membangkitkan kemampuan imajinasi dan kreativitas
pada anak (Hall, 2006).
Masulili (dalam Deswita dkk, 2014) menyebutkan bahwa guided imagery
memberikan manfaat kepada anak untuk belajar rileks, menghilangkan atau
merubah perilaku yang tidak diinginkan, meningkatkan manajemen nyeri secara
efektif, perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru, untuk meningkatkan
kualitas tidur, serta menjadikan lebih termotivasi dalam menghadapi suatu
masalah, mengatasi atau menghilangkan marah, mengolah situasi stres dan
kecemasan, dalam hal ini kecemasan menghadapi Ujian Nasional. Reliani (2015)
menyatakan bahwa guided imagery merupakan suatu teknik atau cara yang dapat
mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan
bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan sehingga dapat
mengurangi kecemasan yang terjadi.
Menurut Dradjat (dalam, Atmaja 2013) bahwa rasa takut, rasa bersalah,
tidak tenang, was-was, merasa tidak berdaya, dan terancam merupakan
manifestasi dari kecemasan yang dialami oleh seseorang. Bersumber pada
pendapat Atmaja (2013) kecemasan digambarkan sebagai state anxiety yakni
reaksi emosi yang timbul pada situasi tertentu dan dirasakan sebagai suatu
ancaman. Lebih lanjut menurut Atmaja (2013) bahwa bentuk state anxiety
sangatlah beragam dalam hal intensitas dan waktu, salah satunya ketika
meghadapi Ujian Nasional. Lebih lanjut Nevid (2005) mengatakan bahwa
kecemasan yang terjadi salah satunya ialah ketika menghadapi ujian.
45
Dinyatakan oleh Nevid (2005) bahwa reaksi kecemasan dalam menghadapi
Ujian Nasional ditandai dengan gejala-gejala seperti kegelisahan, kegugupan,
tangan atau anggota tubuh gemetar, telapak tangan yang berkeringat, mulut atau
kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung yang berdetak
kencang, jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin, pusing, merasa lemas, sakit
perut dan mual, panas dingin, sering buang air kecil, merasa sensitif dan mudah
marah, leher atau punggung terasa kaku, menghindar, perilaku ketergantungan
atau melekat, dan terguncang, khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan
ketakutan tentang sesuatu di masa depan, keyakinan mengenai sesuatu yang
mengerikan terjadi, ketakutan ketidakmampuan mengatasi masalah, berpikir
tentang hal yang mengganggu secara berulang, pikiran terasa bercampur aduk,
tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, sulit berkonsentrasi.
Terkait hal tersebut (Singer dalam Apostolo, 2009) menyatakan bahwa salah
satu fungsi guided imagery adalah menciptakan mental yang positif yang dapat
memberikan efek merilekskan serta berdampak pada keadaan psikofisiologi dan
kognitif seseorang. Lebih lanjut dijelaskan oleh Rout & Rout (dalam Maimunah &
Retnowati, 2011) bahwa relaksasi dengan guided imagery mengurangi tingkat
gejolak fisiologis individu dan membawa individu ke keadaan yang lebih tenang
baik secara fisik maupun psikologis.
Ditegaskan bahwa guided imagery adalah instruksi terarah yang menuntun
individu untuk melakukan imagery seperti : physiologically focused imagery
(imagery yang berfokus pada keadaan fisiologis), pleasant imagery (imagery
yang menyenangkan), reframing imagery (latihan mental) dan receptive imagery
46
(melibatkan peninjauan diri). Adapun dinamika hubungan empat materi guided
imagery tersebut dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional dapat dilihat
pada bagan berikut:
Ihwal pengaruh 4 (empat) materi guided imagery yang diberikan dalam
pelatihan guided imagery pada penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, physiologically focused imagery yaitu penyampaian imagery
yang berfokus pada keadaan fisiologis. Hart (2008) mengatakan guided imagery
dapat membangkitkan perubahan neurohormonal dalam tubuh yang menyerupai
perubahan yang terjadi ketika sebuah peristiwa yang sebenarnya terjadi Hal ini
bertujuan untuk membangkitkan keadaan relaksasi psikologis dan fisiologis untuk
meningkatkan perubahan yang menyembuhkan ke seluruh tubuh. Guided imagery
dapat berfungsi sebagai pengalih perhatian dari stimulus yang menyakitkan
dengan demikian dapat mengurangi respon nyeri dan kecemasan (Jacobson,2006).
Kedua, pleasant imagery yaitu penyampaian mengenai imagery yang
menyenangkan. Asmadi (2008) menjelaskan bahwa dalam meminta klien untuk
GUIDED IMAGERY
Physiologically
focused imagery
Pleasant
imagery
Reframing
imagery
Receptive
imagery
Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional
47
memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau pengalaman yang membantu
penggunaan semua indera, klien diminta untuk tetap berfokus pada bayangan
yang menyenangkan sambil merelaksasikan tubuhnya. Lebih lanjut (Synder,
2010) pada pleasant imagery klien membayangkan hal-hal yang menyenangkan
bagi dirinya terkait dengan tempat yang menyenangkan misalnya: pantai, aktifitas
yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Dalam melakukan hal ini dapat dibantu
melalui rekaman audio agar klien merelaksasi tubuhnya dengan menarik nafas
dalam dan pelan (Snyder, 2006). Relaksasi membuat pikiran lebih terbuka untuk
menerima informasi baru yang diberikan, untuk selanjutnya klien dipandu untuk
membayangkan hal yang paling menyenangkan dan membayangkan tiap detail hal
yang bisa dirasakan oleh semua indera (Benson dalam Snyder, 2010). Terkait hal
itu, Reliani (2015) menyatakan bahwa guided imagery merupakan cara untuk
mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan
bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan sehingga dapat
mengurangi kecemasan yang terjadi.
Ketiga, reframing imagery yaitu penyampaian untuk latihan mental.
Guided imagery menggunakan imajinasi seseorang yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer & Bare, 2002). Pada penyampaian
imagery yang melatih untuk restrukturisasi mental ini, mekanisme atau cara kerja
secara teori menyatakan bahwa imajinasi positif melemahkan
sikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon kecemasan dan merasakan
relaksasi. Latihan dapat melatih respon mental ketika terjadi situasi atau peristiwa
(nyata atau tidak) yang mengancam fisik atau kesejahteraan emosional atau
48
tuntutan dari sebuah situasi melebihi kemampuan seseorang, sehingga dengan
imajinasi diharapkan dapat merubah situasi dari respon negatif yaitu ketakutan
dan kecemasan menjadi gambaran positif yaitu penyembuhan dan kesejahteraan
(Dossey dalam Snyder, 2010).
Keempat, receptive imagery yaitu penyampaian untuk melibatkan dalam
peninjauan diri. Dalam peninjauan diri mengenai pikiran-pikiran negatif yang
dirasakan oleh klien, sehingga dapat menerima ide-ide serta imajinasi positif.
Menurut Hart (2008), jika seseorang membayangkan suatu hal negatif atau
menakutkan dapat meningkatkan rasa sakit atau kecemasan maka hal tersebut
dapat dinetralkan dengan pikiran positif atau menenangkan. Pikiran dapat dilatih
untuk berfokus pada imajinasi penyembuhan.
Pelatihan guided imagery yang akan diberikan kepada siswa untuk
menurunkan kecemasan menghadapi Ujian Nasional tersebut dikuatkan dengan
hasil penelitian dari Kumari, dkk (2015) mengenai efektifitas guided imagery
untuk menurunkan kecemasan menghadapi ujian pada siswa. Hasil penelitian
yang diperoleh dari Kumari, dkk (2015) bahwa terdapat 65% siswa yang
mengalami kecemasan tinggi dalam menghadapi ujian dan 35% siswa yang
mengalami kecemasan sedang dalam menghadapi ujian. Namun setelah dilakukan
perlakuan berupa guided imagery, tidak ada siswa yang mengalami kecemasan
tinggi, 25% berada pada kecemasan yang sedang dalam menghadapi ujian dan
75% tidak mengalami kecemasan dalam menghadapi ujian. Disimpulkan oleh
Kumari, dkk (2015) bahwa teknik guided imagery dapat membantu siswa
memodifikasi pemikiran negatif menjadi positif, dan berpengaruh kepada perilaku
49
yang dilakukan menjadi lebih positif. Siswa diajarkan untuk bereaksi terhadap
situasi secara positif, dan para siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan dari
masing-masing individu, sehingga masalah dan konflik yang terjadi pada
pengalaman yang ada pada diri dapat teratasi. Guided imagery berperan penting
dalam menenangkan ketakutan dan kekhawatiran, selain itu membantu mengatasi
kegelisahan yang terjadi serta mengatasi kecemasan dengan lebih baik. Selain itu,
guided imagery dapat membantu mengurangi kecemasan siswa di semua tingkat
dan guided imagery dianggap sebagai ketrampilan yang bermanfaat bagi banyak
hal.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guided imagery dapat
membantu dan bermanfaat bagi banyak hal khususnya untuk mengurangi serta
menurunkan tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi ujian terutama Ujian
Nasional.
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama yang dikenai perlakuan pelatihan guided imagery (kelompok
eksperimen) memiliki tingkat kecemasan menghadapi Ujian Nasional yang lebih
rendah dibandingkan dengan siswa kelas kelas IX Sekolah Menengah Pertama
yang tidak dikenai perlakuan pelatihan guided imagery (kelompok kontrol).