BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Ujian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1093/2/BAB...

35
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional 1. Pengertian Kecemasan menurut Greenberger dan Padesky (2004) merupakan salah satu emosi yang paling menimbulkan stres yang dirasakan oleh banyak orang dan kecemasan menggambarkan periode singkat perasaan gugup atau takut yang dialami ketika dihadapkan pada pengalaman sulit di dalam kehidupan. Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa sedang dalam kondisi yang bahaya atau terancam dan rentan dalam hal tertentu. Dinyatakan oleh Nevid, dkk (2005) bahwa kecemasan adalah sesuatu keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan khawatir mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadidi masa depan. Definisi kecemasan menurut Durand dan Barlow (2006) sebagai keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah yang dialami seseorang ketika mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan dimasa yang akan datang dengan perasaan khawatir, perasaan bahwa dirinya tidak mampu memprediksi dan mengontrol suatu kejadian yang akan datang, melibatkan perasaan, perilaku, dan respons-respons fisiologis pada seseorang. Menurut Hawari (2006) kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan dan kekhawatiran

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Ujian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1093/2/BAB...

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional

1. Pengertian

Kecemasan menurut Greenberger dan Padesky (2004) merupakan salah

satu emosi yang paling menimbulkan stres yang dirasakan oleh banyak orang

dan kecemasan menggambarkan periode singkat perasaan gugup atau takut

yang dialami ketika dihadapkan pada pengalaman sulit di dalam kehidupan.

Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa sedang dalam kondisi yang

bahaya atau terancam dan rentan dalam hal tertentu.

Dinyatakan oleh Nevid, dkk (2005) bahwa kecemasan adalah sesuatu

keadaan emosional yang mempunyai ciri-ciri seperti keterangsangan

fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan khawatir

mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadidi masa depan.

Definisi kecemasan menurut Durand dan Barlow (2006) sebagai

keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala

ketegangan jasmaniah yang dialami seseorang ketika mengantisipasi

kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan dimasa yang akan datang

dengan perasaan khawatir, perasaan bahwa dirinya tidak mampu memprediksi

dan mengontrol suatu kejadian yang akan datang, melibatkan perasaan,

perilaku, dan respons-respons fisiologis pada seseorang.

Menurut Hawari (2006) kecemasan adalah gangguan alam perasaan

(affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan dan kekhawatiran

16

berkelanjutan yang dialami seseorang tetapi tidak mengalami gangguan

dalam menilai realitas, kepribadian utuh, perilaku dapat terganggu namun

masih dalam batas normal. Ditambahkan oleh Prasetyono (2007) bahwa

kecemasan dapat menjadi gangguan apabila seseorang merasa cemas dan

khawatir akan hal yang tidak menyenangkan yang dirasakan secara terus

menerus dan pada mulanya dirasakan hal yang biasa akan berubah menjadi

ancaman.

Lubis (2009) mengartikan kecemasan sebagai tanggapan dari sebuah

ancaman nyata maupun tidak nyata yang dialami oleh seseorang karena

adanya ketidakpastian di masa mendatang. Townsend (2009) menambahkan

bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan gelisah yang tidak jelas, akan

ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respons otonom, sumbernya

sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu, perasaan takut

terhadap sesuatu karena mengantisipasi bahaya. Kecemasan merupakan

perubahan tanda peringatan mengenai bahaya yang akan datang dan membuat

individu melakukan tindakan dalam menghadapi ancaman.

Ghufron & Rini (2014) mendefinisikan istilah kecemasan sebagai

sesuatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan

tekanan yang menyertai konflik atau ancaman. Kecemasan atau perasaan

cemas adalah suatu keadaan yang dialami ketika berpikir yang tidak

menyenangkan terjadi, perasaan takut baik realistis maupun tidak realistis

yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.

17

Kaplan dan Sacosezzo (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa

kecemasan merupakan keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang

ditandai dengan rasa cemas dan ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi

dan tekanan yang disebabkan oleh adanya stressor yang berasal dari

lingkungan. Sejalan dengan pendapat Nevid (2005) bahwa kondisi

lingkungan merupakan sumber kekhawatiran, dan banyak hal yang dapat

menimbulkan kecemasan misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, dan karier.

Ditambahkan oleh (Halgin dan Withbourne dalam Martati 2007) salah satu

bentuk kecemasan adalah yang terkait dengan karier serta masa depan dan

menghadapi ujian.

Terkait hal tersebut Tresna (2011) menjelaskan bahwa kecemasan dapat

menjadi salah satu sumber kecemasan siswa. Kecemasan yang terjadi pada

siswa saat menghadapi Ujian Nasional karena adanya tekanan internal dan

eksternal. Tekanan internal berasal dari diri siswa bahwa adanya rasa malu

dan takut diremehkan oleh masyarakat atau lingkungan apabila tidak lulus

ujian, hal tersebut menjadi tekanan pada diri siswa, sedangkan tekanan

eksternal berasal dari orang tua, sekolah ataupun lingkungan yang menuntut

siswa untuk mendapatkan kelulusan. Tuntutan dan tekanan inilah yang

menimbulkan kecemasan pada diri siswa yang akan menghadapi Ujian

Nasional. Ditambahkan oleh Thoomasze & Murtini (2014) Ujian Nasional

menjadikan kecemasan sebagai sumber utama karena para siswa memiliki

penilaian tentang situasi Ujian Nasional yang mengancam keberhasilan dan

hasil belajar.

18

Kecemasan menghadapi Ujian Nasional dapat dialami oleh siswa

Sekolah Menengah Pertama yang termasuk dalam kategori masa remaja awal.

Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi yang meliputi

berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan

emosional. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

penyalahgunaan obat-obatan, kenakalan remaja, masalah seksual dan masalah

yang berhubungan dengan sekolah Masalah yang berhubungan dengan

sekolah misalnya penyesuaian diri, beban pelajaran dan prestasi belajar.

Banyaknya permasalahan yang dihadapi membuat cemas dan stres (Santrock,

2007). Ditambahkan oleh Thomasze & Murtini (2014) bahwa pada tahap

remaja awal, anak banyak menghadapi tuntutan dan perubahan yang cepat

sehingga rentan mengalami masa yang penuh kecemasan. Ujian Nasional

merupakan salah satu sumber kecemasan murid berkaitan dengan aktivitas

sekolah.

Hall & Tyish (2005) menyatakan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Hill & Sarason mengenai kecemasan anak yang diukur menggunakan TASC

(Test Anxiety Scale Children) bahwa empat sampai lima juta anak Sekolah

Dasar dan siswa Sekolah Menengah Pertama memiliki pengalaman yang kuat

akan kecemasan dalam ujian, sedangkan tingkat kecemasan menghadapi ujian

pada siswa Sekolah Menengah Atas cenderung konstan. Terkait hal tersebut

Santrock (2007) menjelaskan bahwa para siswa memiliki tingkat kecemasan

yang tinggi karena harapan dari orang tua yang tidak realistis terhadap

kemampuan yang dimiliki oleh anak. Kecemasan siswa meningkat sejalan

19

pada saat menghadapi evaluasi atau ujian, perbandingansosial dan beberapa

pengalaman kegagalan. Ketika sekolah memberikan pengalaman kegagalan

dalam evaluasi ujian,kecemasan siswa menjadi semakin meningkat.

Adapun salah satu kecemasan yang dialami oleh siswa kelas IX Sekolah

Menengah Pertama (masa remaja awal) adalah kecemasan menghadapi Ujian

Nasional, karena Ujian Nasional merupakan hal yang utama dan

kedudukannya sebagai hal yang penting untuk dapat melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi (Yuliasari, 2003). Bersumber pada pemaparan di

atas maka kajian penelitian ini difokuskan pada kecemasan menghadapi Ujian

Nasional.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi

Ujian Nasional adalah kekhawatiran, perasaan tegang yang tidak

menyenangkan, dan mengeluhkan sesuatu hal buruk terkait Ujian Nasional di

masa yang akan datang ditandai dengan gejala-gejala fisik, perilaku, serta

pemikiran yang muncul ketika subjek dihadapkan pada situasi yang

membuatnya cemas, dalam hal ini ialah situasi yang berkaitan dengan Ujian

Nasional.

2. Ciri-ciri Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional

Nevid dkk (2005) mengemukakan ciri-ciri dari kecemasan yaitu sebagai

berikut:

a. Ciri fisik

Ciri fisik pada seseorang yang mengalami kecemasan ditandai dengan

kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh gemetar, telapak

20

tangan yang berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit

berbicara, sulit bernafas, jantung yang berdetak kencang, jari-jari atau

anggota tubuh menjadi dingin, pusing, merasa lemas, sakit perut dan mual,

panas dingin, sering buang air kecil, merasa sensitif dan mudah marah,

leher atau punggung terasa kaku. Dalam hal ini terjadi pada saat subjek

memikirkan tentang problema terkait Ujian Nasional dan ketika subjek

berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Contoh:

subjek merasa tubuhnya terasa lemas ketika memikirkan Ujian Nasional

yang akan dihadapi tidak lama lagi.

b. Ciri perilaku (behavioral)

Ciri perilaku (behavioral) pada orang yang cemas ditandai dengan

menghindar, perilaku ketergantungan atau melekat, dan terguncang.

Perilaku ini terjadi dikarenakan subjek merasa dirinya terganggu dan

merasa tidak nyaman apabila dihadapkan pada kondisi yang menyangkut

Ujian Nasional yang akan dilakukan di masa mendatang. Perilaku dapat

dicontohkan seperti: subjek menghindar dari teman-teman yang sedang

membahas soal-soal latihan Ujian Nasional yang dianggap penting dan

sulit.

c. Ciri kognitif

Ciri kognitif orang yang cemas biasanya khawatir tentang sesuatu,

perasaan terganggu akan ketakutan tentang sesuatu di masa depan,

keyakinan mengenai sesuatu yang mengerikan terjadi, ketakutan

ketidakmampuan mengatasi masalah, berpikir tentang hal yang

21

mengganggu secara berulang, pikiran terasa bercampur aduk, tidak mampu

menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, sulit berkonsentrasi. Seperti

contoh: pada hari-hari mendekati ujian, subjek sulit memfokuskan pikiran

karena dibayangi oleh pelaksanaan Ujian Nasional di masa mendatang

Menurut Greenberger dan Padesky (2004), ciri-ciri dari kecemasan

yaitu :

a. Reaksi fisik

Reaksi fisik yang terjadi pada seseorang yang mengalami kecemasan

meliputi: telapak tangan berkeringat, otot tegang, jantung berdebar-debar

(berdegup kencang), pipi merona, pusing-pusing, dan sulit bernafas.

Contoh: ketika subjek memikirkan tentang standar nilai kelulusan yang

tinggi, maka subjek mengalami detak jatung yang kencang disertai dengan

kepala pusing.

b. Pemikiran

Orang yang cemas biasanya memikirkan bahaya dan ancaman secara

berlebihan, menganggap dirinya tidak mampu dalam mengatasi masalah-

masalah, tidak menganggap penting bantuan yang ada, serta berfikir

tentang hal-hal yang buruk yang akan terjadi. Seperti contoh: subjek

berfikir bahwa dirinya tidak mampu untuk menjalani Ujian Nasional,

merasa tidak memiliki kemampuan dalam Ujian Nasional.

c. Perilaku

Orang yang cemasakan berperilaku menghindari situasi yang bisa

menimbulkan kecemasan, seperti menghindar. Perilaku ini terjadi

22

dikarenakan merasa dirinya terganggu dan merasa tidak nyaman apabila

dihadapkan pada kondisi yang akan dilakukan di masa mendatang.

Perilaku dapat dicontohkan seperti: subjek menghindari mengikuti les

tambahan yang membahas latihan-latihan soal yang diselenggarakan oleh

sekolah.

d. Suasana hati

Suasana hati orang yang mengalami kecemasan meliputi: perasaan gugup,

jengkel, was-was, dan panik. Suasana hati subjek dapat berubah secara

tiba-tiba ketika dihadapkan pada kondisi yang memunculkan kecemasan.

Sebagai contohnya: subjek mengalami suasana hati yang berubah apabila

ada keluarga, guru, ataupun teman menanyakan terkait Ujian Nasional.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecemasan

menurut Nevid (2005) bahwa kecemasan ditandai dengan ciri fisik, ciri

perilaku, dan ciri kognitif, sedangkan menurut Greenberger dan Padesky

(2004) kecemasan ditandai dengan ciri-ciri yang ditunjukkan dalam reaksi

fisik, pemikiran, perilaku, dan suasana hati.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan ciri-ciri kecemasan dari

Nevid (2005) untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat kecemasan

menghadapi Ujian Nasional pada siswa kelas IX Sekolah Menengah

Pertama. Alasan peneliti menggunakan ciri-ciri kecemasan dari teori Nevid

karena konsep kecemasan yang dikemukakan lebih menekankan pada

pemikiran terkait ketakutan di masa depan yang khawatir dan gelisah

terhadap ketidakmampuan menghadapi masalah. Adapun peristiwa di masa

23

depan yang menimbulkan kecemasan pada siswa kelas IX Sekolah

Menengah Pertama adalah Ujian Nasional.

Berbagai peristiwa dan pengalaman yang sulit dan dirasa dapat

menimbulkan kecemasan pada siswa misalnya menghadapi Ujian Nasional

maka siswa merasa pusing, keringat dingin, tubuh menjadi dingin dan lemas

serta sering buang air kecil, ketakutan tentang sesuatu di masa depan bahwa

takut tidak lulus dan nilai tidak sesuai harapan, ketakutan menghadapi

masalah yaitu misal tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian.

Hal tersebut sesuai dengan keadaan kondisi yang dialami oleh subjek

dalam penelitian ini, sehingga konsep kecemasan Nevid (2005) lebih

mengindikasikan konsep kecemasan pada siswa kelas IX Sekolah

Menengah Pertama.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Ujian

Nasional

Durand & Barlow (2006) menyebutkan bahwa reaksi kecemasan tidak

memiliki penyebab berdimensi tunggal, akan tetapi berasal dari 3 faktor

yakni:

a. Kontribusi biologis

Kontribusi dari banyak gen di wilayah kromosom yang berbeda

secara kolektif membuat individu rentang mengalami kecemasan,

kecemasan juga berhubungan dengan sirkuit otak dan sistem

neotransmiter tertentu, seperti contoh daerah yang paling sering

berhubungan dengan kecemasaan adalah sistem limbik, yang bertindak

24

sebagai mediator antara batang otak dan korteks. Batang otak yang

yang lebih primitif memonitor dan merasakan perubahan dalam fungsi-

fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal-sinyal bahaya potensial

ini ke proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem limbik yang

menyebabkan reaksi kecemasan.

b. Kontribusi psikologis

Kontribusi psikologis terhadap kecemasan terkait dengan beberapa

teori seperti psikoanalisa yang mengatakan bahwa di masa kanak-

kanak seseorang mungkin memperoleh kesadaran bahwa tidak semua

kejadian dapat dikontrol sehingga berdampak pada kecemasan. Pakar

teori perilaku melihat kecemasan sebagai produk pengkondisian klasik

awal, modelling atau peniruan, dan bentuk-bentuk belajar lainnya,

persepsi terhadap lingkungan dan ketidakmampuan mengontrol aspek

kehidupan serta ketidakpastian yang mendalam tentang diri, dan

ketidakmampuan individu dalam mengatasi berbagai kejadian yang

akan datang, serta adanya keyakinan akan adanya kejadian yang akan

mengancam menyebabkan secara psikologis individu mengalami

kecemasan. Kecemasan tersebut dimungkinkan terjadi apabila berpikir

mengenai masalah prestasi di sekolah, seperti: bayang-bayang

ketidakberhasilan dalam ujian mendatang, serta perasaan tidak mampu

mengontrol bentuk-bentuk keyakinan diri.

c. Kontribusi sosial

25

Peristiwa yang menimbulkaan stressor memicu kerentanan

seseorang mengalami kecemasan. Sebagian besar stressor

bersifatpribadi seperti perkawinan, perceraian, masalah karir, pekerjaan,

prestasi, kehilangan orang yang dicintai, dan tekanan sosial seperti

tekanan untuk berprestasi maupun harapaan-harapan masyarakat

lainnya yang harus dipenuhi akan berdampak pada kecemasan pada

seseorang yang tidak dapat melakukan penyesuaian diri terhadap

tekanan sosial dan lingkungan.

Menurut Hawari (2006) terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi

kecemasan yaitu:

a. Stressor Psikososial

Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga

seseorang harus melakukan penyesuaian diri. Tidak semua orang

mampu melakukan penyesuaian diri untuk mengatasi stresor

psikososial, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri terhadap

stresor psikososial dapat menimbulkan gangguan kecemasan. Adapun

stresor psikososial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari

antara lain: perkawinan, problem orang tua, hubungan antar pribadi,

pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan,

penyakit fisik, dan trauma.

b. Psikoterapi Psikiatrik

26

Psikoterapi psikiatrik adalah bentuk terapi yang menganut asas

psikiatri dengan tujuan mengembalikan kepercayaan diri (self

confidence) dan memperkuat fungsi ego seseorang, biasanya berupa

wawancara atau konsultasi.Pasien dapat mengemukakan secara bebas

permasalahan yang dialami, dengan jaminan kerahasiaan segala

permasalahan, konflik, dan problem yang berhubungan langsung atau

tidak langsung terhadap kecemasan, maka dengan mencurahkan dan

menceritakan semua permasalahan yang dialami oleh pasien berfungsi

melepas katarsis yang akan meredakan kecemasan yang dialami oleh

pasien.

c. Psikoreligius

Psikoreligius adalah penyembuhan gangguan kejiwaan

menggunakan pendekatan keagamaan. Penanganan kecemasan dengan

psikoreligius dapat dilakukan menggunakan doa. Doa adalah

mengosongkan batin dan memohon kepada Tuhan untuk mengisinya

dengan segala hal yang manusia butuhkan. Di dalam doa seseorang

mencari kekuatan yang dapat melipatgandakan energi yang terbatas di

dalam diri seseorang dan melalui doa tercipta hubungan mendalam

antara manusia dan Tuhan.

d. Psikofarmaka

Psikofarmaka adalah terapi dengan obat anti depresan yang

diberikan dalam dosis yang tepat untuk meredakan kecemasan.

Pemberian obat anti depresan harus sesuai dengan ukuran dosis

27

tertentu, hal ini dikarenakan penggunaan obat anti depresan secara

berlebihan dapat menyebabkan overdosis. Pemberian obat anti

depresen harus disesuaikan dengan tingkat kecemasan, penggunaan

obat sebaiknya apabila individu mengalami gejala-gejala kecemasan

akut.

e. Relaksasi

Relaksasi merupakan cara untuk mengurangi ketegangan dan

menjadikan seseorang merasa rileks, serta meredakan gangguan

kecemasan. Metode relaksasi lazimnya dilakukan oleh terapis dengan

menggunakaan hypnosis untuk mensugesti seseorang untuk mengalami

kondisi rileks. Relaksasi ini berawal dari pengarahan dari instruktur

kemudian sampai penderita kecemasan merasa mampu melakukannya

sendiri dan merasa nyaman. Relaksasi yang dapat dilakukan yaitu

dengan cara seseorang dihadapkan pada suatu bayangan dari suatu

daftar yang telah ditentukan lebih dahulu dari situasi, objek, dan kondisi

yang membuat seseorang mengalami kecemasan. Relaksasi merupakan

faktor yang penting dalam menurunkan kecemasan.

Ditambahkan oleh pendapat Maimunah & Retnowati (2011)

relaksasi merupakan faktor penting yang dapat menurunkan kecemasan

pada berbagai subjek serta telah terbukti efektif untuk mengurangi

kecemasan. Miltenberger (dalam Listyarini & Faidah, 2016)

menyatakan bahwa metode relaksasi terdiri dari lima macam yaitu : (1)

relaksasi otot (progressive muscle relaxation), (2) pernafasan

28

diafragma, (3) imagery training/guided imagery, (4) biofeedbeck, (5)

hypnosis. Black & Matassari (dalam Deswita dkk, 2014) menandaskan

bahwa salah satu bentuk relaksasi yang dapat dilakukan yaitu dengan

guided imagery. Hal ini karena guided imagery bermanfaat untuk

menurunkan kecemasan, kontraksi otot danmemfasilitasi tidur.

f. Terapi Perilaku

Terapi perilaku digunakan untuk menghilangkan berbagai bentuk

dan gejala kecemasan dengan jalan melatih diri menghadapinya, baik

sedikit demi sedikit, maupun secara langsung dan frontal dalam

menghadapi kecemasan. Terapi ini dimaksudkan untuk memulihkan

gangguan perilaku akibat stressor psikosial yang di deritanya, dan dari

terapi ini diharapkan pasien yang bersangkutan dapat beradaptasi

dengan kondisi yang baru sehingga tidak lagi merasakan kecemasan

dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti di rumah, di sekolah

atau di kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.

Berlandaskan pada uraian di atas disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan yakni: yakni kontribusi biologis (seperti genetik

bawaan yang rentan terhadap kecemasan), kontribusi psikologis (seperti

masalah prestasi di sekolah mengenai bayang-bayang ketidakberhasilan dalam

ujian mendatang, serta perasaan yang tidak mampu mengontrol bentuk-bentuk

keyakinan diri), dan kontribusi sosial (seperti masalah perkawinan, perceraian,

masalah ditempat kerja, kehilangan orang yang dicintai, serta tekanan sosial).

29

Faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan yakni: psikoterapi psikiatrik,

psikoreligius, psikofarma, relaksasi dan terapi perilaku.

B. Pelatihan Guided Imagery

1. Pengertian

Pelatihan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

pelajaran untuk membiasakan atau memperoleh suatu keterampilan.

Menurut Fauzi (2011) pelatihan diartikan sebagai upaya perolehan

pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan melalui upaya sengaja,

terorganisir, sistematik, dalam waktu yang relatif singkat, dan dalam

penyampaiannya menekankan praktik daripada teori.

Menurut Fauzi (2011) paradigma dalam pelatihan lebih berorientasi

pada peserta (learner’s oriented), paradigma ini ditandai dengan

keterlibatan penuh dari pesertanya, memberikan kebebasan kepada peserta

untuk berfikir kritis dan bekerjasama, variasi dan keragamaan dalam metode

belajar, motivasi internal (bukan semata-mata eksternal), adanya

kegembiraan dan kesenangan dalam belajar, integrasi belajar yang lebih

menyeluruh ke dalam segenap kehidupan sehari-hari, serta tidak hanya

memberikan pengetahuan dan keterampilan, namun yang lebih penting

adalah memberi kesempatan untuk pengembangan diri bagi peserta.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa pelatihan merupakan

kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan dalam waktu yang relatif

singkat, dengan cara yang terencana secara sistematis dan terorganisir untuk

30

mencapai penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kualitas watak

tertentu, sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Bersumber pada paradigma yang dikemukakan oleh Fauzi (2011)

pelatihan dipilih sebagai metode untuk memanipulasi variabel sebab pada

penelitian ini. Dikatakan oleh Martono & Joewana (2008) bahwa metode

pelatihan sebagai cara untuk melatih ketrampilan psikososial bagi anak dan

remaja dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari. Ditambahkan

oleh Ancok (2007) bahwa dalam pelatihan terdapat unsur belajar dari

pengalaman/merupakan suatu proses yang dalam kehidupan sehari-hari

terjadi terus menerus, sehingga pengalaman itu menjadi bermanfaat bagi

kehidupan selanjutnya. Memperhatikan kondisi dan keadaan subjek maka

pelatihan sesuai digunakan pada subjek penelitian ini yakni siswa kelas IX

Sekolah Menengah Pertama yang memasuki fase remaja awal yakni berusia

11-15 tahun. Adapun pelatihan yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini

adalah pelatihan guided imagery.

Istilah guided imagery diperoleh dari penggabungan dua kata dari

bahasa Inggris yaitu guided dan imagery. Merujuk pada definisi kamus yang

ada guided berarti terarah. Imagery memiliki arti yaitu pengalaman

perseptual seolah-olah nyata dialami individu tanpa kehadiran stimulus

eksternal yang diimajinasikan. Imagery dilakukan dalam situasi relaksasi

dengan mengimajinasikan tujuan yang ingin dicapai dalam cara tertentu.

Imagery yang menyenangkan diilustrasikan sebagai sebuah metode dalam

menginduksi sebuah rasa ketenangan yang dalam, kesempatan untuk

31

menyusun kembali emosi dan merubah keseimbangan simpatetik

parasimpatetik (Kuiken, 2004).

Imagery merupakan pembentukan representasi mental dari suatu

objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indera (Snyder,

2010). Pada saat berimajinasi, individu dapat membayangkan melihat

sesuatu, mendengar, merasakan, mencium dan atau menyentuh sesuatu

(Snyder, 2010). Ditambahkan oleh Komarudin (2013) bahwa imagery

merupakan sebuah bentuk simulasi yang aktual, dalam imagery berbagai

pengalaman itu nyata melalui panca indera (melihat, merasakan, dan

mendengarkan), tetapi secara keseluruhan pengalaman itu terjadi di dalam

otak.

Kaplan & Sadock (2010) guided imagery merupakan metode relaksasi

untuk mengkhayalkan tempat dan kejadian yang berhubungan dengan rasa

relaksasi yang menyenangkan, khayalan tersebut memungkinkan klien

memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi. Snyder & Lindquits (dalam

Hudaya 2015) bahwa guided imagery didefinisikan sebagai intervensi

pikiran dan tubuh manusia menggunakan kekuatan imajinasi untuk

mendapatkan affect fisik, emosional maupun spiritual.

Guided imagery memiliki elemen yang secara umum seperti dengan

relaksasi, yaitu membawa klien pada keadaan yang rileks. Guided imagery

menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal yang nyaman dan

menyenangkan. Penggunaan guided imagery tidak dapat memusatkan

32

perhatian pada banyak hal dalam satu waktu, sehingga klien membayangkan

satu imajinasi yang kuat dan menyenangkan (Brannon & Feist, 2000).

Prasetyo (2010) guided imagery adalah upaya untuk menciptakan

kesan dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan yang

menyenangkan sehingga secara bertahap dapat menurunkan tingkat

kecemasan klien. Pembentukan imajinasi yang menyenangkan akan

diterima oleh berbagai alat indera kemudian rangsangan tersebut dijalankan

ke batang otak menuju sensor thalamus. Di korteks cerebri rangsangan akan

dianalisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak

mengenali objek dan arti kehadiran rangsangan tersebut.

Bayangan/imajinasi yang disukai dan menyenangkan dianggap sebagai

sinyal penting dan disimpan di memori. Rangsangan yang disukai memori

akan dimunculkan kembali dianggap sebagai suatu persepsi dari

pengalaman sensori yang sebenarnya. Pengalaman sensori tersebut dapat

merilekskan pikiran dan meregangkan otot-otot sehingga cemas yang

dirasakan menjadi berkurang.

Dalam sudut lain, guided imagery dapat didefinisikan sebagai sebuah

program dalam instruksi yang digunakan untuk membantu mencapai sebuah

kondisi psikologi dan fisiologis yang menyenangkan melalui relaksasi otot

dan bayangan mental yang positif, mengurangi ketidaknyamanan yang

ditunjukkan dengan gejala-gejala menyerupai gangguan mood. Bayangan

mental yang positif dapat memberikan efek merilekskan dan berdampak

pada keadaan psikofisiologi dan kognitif seseorang (Singer dalam Apostolo,

33

2009). Ditambahkan oleh (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2002) guided

imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi seseorang untuk

mencapai efek positif tertentu.

Guided imagery adalah sebuah teknik yang memanfaatkan cerita atau

narasi untuk mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar

belakang musik (Hart, 2008). Guided imagery dilakukan dengan konselor

yang bertindak sebagai fasilitator atau pemandu dan melibatkan klien dalam

imagery yang diberikan. Proses penyampaian dapat dilakukan dengan

peserta dalam bentuk kelompok maupun pribadi. Hal ini disesuaikan dengan

situasi, tujuan dan masalah yang dialami oleh klien (Hall, 2006).

Guided imagery sesuai digunakan untuk anak-anak dengan usia 5-15

tahun, karena pada usia tersebut kemampuan yang dimiliki dalam imajinasi

tinggi dan senang untuk melakukan fantasi. Pada usia tersebut, dapat

memahami pengalaman terbaik ketika mengimajinasikan, memimpikan

dalam sadar dan berpura-pura. Teknik kogntif seperti imagery adalah

intervensi yang menyenangkan dan mudah dipahami untuk anak usia

sekolah (Huth, Kuikuen & Broome, 2006). Waktu yang digunakan untuk

pelaksanaan guided imagery pada orang dewasa dan remaja biasanya 10-30

menit, sementara kebanyakan anak-anak mentoleransi waktunya 10-15

menit (Snyder, 2006). Di sisi lain, Sutherland (2008) menyatakan bahwa

guided imagery dapat menenangkan jiwa, mengurangi rasa takut dan

mengurangi kecemasan pada ujian, untuk meningkatkan memori dan

kemampuan mental karena guided imagery memiliki latar belakang

34

gelombang yang menenangkan. Guided imagery dapat dilakukan untuk

remaja dan dewasa, untuk remaja usianya setidaknya lebih dari 12 tahun,

serta durasi pelaksanaannya 20-40 menit.

Dari berbagai pendapat yang dipaparkan diatas, disimpulkan bahwa

guided imagery adalah aktifitas relaksasi yang dilaksanakan seseorang

dalam rangka menciptakan kesan dalam pikiran untuk berimajinasi

membayangkan sesuatu hal yang menyenangkan dalam mencapai

ketenangan. Adapun pelatihan guided imagery adalah kegiatan

pembelajaran yang diselenggarakan dalam waktu yang singkat, dengan cara

terencana dan sistematik serta terorganisir untuk mencapai penguasaan

pengetahuan dan ketrampilan dalam guided imagery, yakni menciptakan

kesan dalam pikiran untuk berimajinasi membayangkan sesuatu hal yang

nyaman dan menyenangkan dalam mencapai ketenangan yaitu dengan

imagery yang menyenangkan, imagery keadaan fisiologis, latihan mental,

dan peninjauan diri.

2. Bentuk-bentuk Guided Imagery

Kuikuen (2004) menyebutkan bentuk-bentuk isi dari guided imagery terdiri

dari 4 (empat) macam yakni:

a. Physiologically focused imagery (imagery yang berfokus pada keadaan

fisiologis)

Mengarahkan individu untuk membayangkan fungsi fisiologi yang

dibutuhkan untuk penyembuhan. Pada saat melakukan physiologically

35

focused imagery ini dibutuhkan pengetahuan proses biologis yang terlibat

sebelum menginisiasikan instruksi imagery.

b. Pleasant imagery (imagery yang menyenangkan)

Mengarahkan individu untuk membayangkan ketenangan dan tempat

yang nyaman. Termasuk membayangkan pegunungan, lautan, keadaan

masa lampau yang membawa kebahagiaan atau bayangan akan

kehidupan yang sejahtera dan sehat.

c. Reframing imagery (Latihan mental)

Proses membayangkan hasil dari suatu tugas dalam situasi rileks sebelum

benar-benar melakukan tugas itu. Metode ini meliputi membayangkan

dan menginterpretasikan kembali sebuah kejadian dan emosi-emosi yang

berhubungan dengan kejadian tersebut.

d. Receptive imagery (peninjauan diri)

Metode receptive imagery melibatkan peninjauan diri karena merupakan

diagnosis atau refleksi sifat-sifat diri dan melakukan evaluasi diri serta

mampu menerima ide-ide baru, saran positif.

Hall (2006), menyatakan terdapat 3 (tiga) metode dalam pelaksanaan guided

imagery di antaranya:

a. Scripted Guided Imagery

Dalam pendekatan penggunaan metode ini, konselor atau fasilitator

memberikan sebuah narasi dalam imagery. Klien atau kelompok

mendengarkan dan mengikuti instruksi fasilitator dalam suasana hening.

Teknik ini digunakan dalam situasi seperti latihan pengembangan atau terapi

36

kelompok. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk kelompok siswa di

sekolah, pendidikan sosial dan kesehatan dan juga siswa taman kanak-kanak.

Guided imagery dapat menggunakan narasi umumnya digunakan dalam setting

kelompok, namun juga dapat diberikan pada klien yang mengalami kecemasan

untuk mengatakan imagery yang dirasakan.

b. Imagery dan Menggambar

Menggambar dapat dijadikan metode intervensi yang dapat dikaitkan dengan

imagery untuk menjadi sumber kekuatan utama dalam belajar. Hasil

menggambar memberikan teori visual yang dapat digunakan klien sebagai

referensi dalam memantau kemajuan terapi yang dilakukan.

c. Spontaneously Generated Imagery

Metode ini berupa imagery yang dilakukan dengan percakapan antara

fasilitator dengan peserta selama guided imagery berlangsung. Melalui

percakapan yang mengalir, klien akan secara tidak sadar memproduksi

berbagai perumpamaan dan gambaran, yang menangkap esensi dari

pengalaman.

Dari penjabaran di atas, peneliti memilih menggunakan sricpted guided

imagery sebagai metode pelaksanaannya karena lebih efektif digunakan pada

situasi seperti pelatihan pengembangan kelompok siswa di sekolah. Selain itu,

pada sricpted guided imagery menggunakan narasi sebagai metode dalam

lingkup atau setting kelompok, dan juga scripted guided imagery dapat

diberikan pada klien yang mengalami kecemasan untuk mengatakan imagery

yang dirasakan.

37

3. Tahap-tahap Pelatihan Guided Imagery

Menurut Fauzi (2011) secara umum pelatihan memiliki 5 (lima) tahapan yaitu:

a. Bina suasana

Kegiatan ini dilakukan saat awal pelatihan dengan tujuan untuk

mengkondisikan suasana kaku antar peserta maupun peserta dengan

fasilitator agar saling mengenal, serta mampu mencairkan suasana pelatihan

agar lebih santai, terbuka, dan transparan, agar semua pihak dapat terlibat

secara aktif.

b. Identifikasi harapan dan hambatan

Pada tahap ini fasilitator mengumpulkan pendapat peserta tentang harapan

peserta terhadap kegiatan pelatihan dan hambatan yang mungkin muncul

dalam proses pelatihan.

c. Kontrak belajar

Merupakan kesepakatan antara peserta dengan fasilitator tentang jalannya

proses pelatihan dari awal hingga akhir pelatihan. Kesepakatan meliputi tata

tertib selama kegiataan pelatihan, jadwal pelatihan, pembagian tugas, dan

lain-lain. Diharapkan dengan adanya keterlibatan peserta sejak awal, peserta

akan merasa bertanggung jawab atas kelancaran proses pelatihan.

d. Pelaksanaan pelatihan

Dalam kegiatan ini peserta dibantu fasilitator sehingga peserta lebih banyak

terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini penggunaan metode

sangat dipengaruhi oleh tujuan maupun sasaran pelatihan yang ingin

dicapai.

38

e. Evaluasi proses dan hasil

Evaluasi merupakan upaya untuk mengumpulkan, mengelola, dan

menyajikan data atau informasi mengenai pelaksanakan kegiatan sebagai

masukan untuk pengambilan keputusan, serta evaluasi proses bertujuan

untuk mengetahui tingkat kesesuaian kegiatan pelatihan dengan rencana

yang telah disusun sebelumnya.

Bersumber pada pendapat Fauzi (2011) tersebut peneliti kemudian membagi

tahap-tahap pelatihan guided imagery menjadi 4 tahap/sesi, yaitu sebagai berikut:

1. Sesi Bina Suasana

Kegiatan yang dilakukan pada kegiatan ini sebelumya diawali dengan

berdoa bersama agar segala kegiatan yang dilaksanakan berjalan dengan lancar

dan sesuai dengan harapan. Kegiatan selanjutnya pada saat pelatihan yaitu

perkenalan antar peserta dan perkenalan fasilitator, hal ini dilakukan agar

saling mengenal, serta mampu mencairkan suasana pelatihan agar lebih santai,

terbuka, dan transparan, agar semua pihak dapat terlibat secara aktif.

Selain itu, pada kegiatan ini adanya pemberian ice breaking. Ice breaking

dimaksudkan untuk menciptakan kondisi awal yang mendukung jalannya

pelatihan, perkenalan antar peserta maupun fasilitator, menumbuhkan motivasi,

rasa ingin tahu mengenai pelatihan guided imagery, menjadikan peserta

memiliki mental set untuk mengikuti pelatihan, mengakrabkan antar peserta,

dan menciptakan suasana yang kondusif agar peserta bisa mengikuti jalannya

pelatihan dengan antusias. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauzi (2011) bahwa

ice breaking merupakan satu cara yang bermanfaat untuk mencairkan suasana

39

dalam rangka memulai pelatihan, dengan alasan karena pada umumnya hanya

sedikit peserta yang mengikuti pelatihan dengan siap mental dan fikiran (siap

belajar), sementara sebagian besar lainnya masih memikirkan berbagai tugas,

pekerjaan, dan hal-hal lainnya yang mengalihkan perhatian peserta dari

pelaksanaan pelatihan. Pada kegiatan selanjutnya adalah pembagian snack

kepada peserta.

2. Sesi identifikasi harapan serta hambatan diri dan kontrak belajar

Pada tahap ini fasilitator mengumpulkan pendapat peserta tentang harapan

dan hambatan yang mungkin muncul dalam proses pelatihan guided imagery.

Disamping itu, tetap adanya penjelasan dari fasilitator mengenai pelatihan

guided imagery yang akan diberikan kepada siswa, selanjutnya siswa diminta

untuk mengisikan lembar inform consent sebagai kontrak belajar dan

kesanggupan dalam mengikuti pelatihan guided imagery dari awal hingga akhir

pelatihan.

3. Sesi pelaksanaan pelatihan Guided Imagery

Tujuan dari tahap ini adalah membimbing peserta untuk berkonsenrtasi

dan menciptakan suasana rileks untuk dirinya sendiri.

a. Physiologically focused imagery (imagery yang berfokus pada keadaan

fisiologis)

Pada sesi ini, peserta dalam keadaan rileks dan berkonsentrasi, serta mulai

menyiapkan pikirannya untuk fokus pada instruksi dari fasilitator.

Fasilitator akan terus mengarahkan peserta untuk merasakan setiap tarikan

nafas melalui seluruh tubuh pada peserta masing-masing, menghembuskan

40

nafas, melepaskan ketegangan serta melepaskan segala keluhan-keluhan,

segala beban berat yang dirasakan. Sehingga segala perilaku yang negatif

dan segala emosi negatif dapat diubah menjadi hal-hal yang positif.

b. Pleasant imagery (imagery yang menyenangkan)

Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan untuk mengarahkan peserta

membayangkan ketenangan dan tempat yang nyaman. Fasilitator akan

memberikan instruksi keadaan rileks agar seluruh peserta benar-benar

dalam keadaan rileks. Fasilitator akan mengajak untuk para peserta

menyadari dan merasakan irama nafas masing-masing, hal ini akan

menjadikan diri menjadi lebih rilekas lebih dalam, kenyamanan diri mulai

dirasakan lebih baik. Peserta dapat mulai membayangkan hal-hal yang

dapat membuat lebih senang, nyaman seperti membayangkan pegunungan,

lautan, keadaan yang sejahtera dan sehat. Kemudian peserta dapat

melanjutkan dengan lebih nikmat kondisi-kondisi yang masing-masing

mereka bayangkan, resapi dan hayati, dan nikmati lebih mendalam.

Kondisi rileks dan nyaman ini dapat dirasakan dan didapatkan kapanpun

para peserta menginginkan hal tersebut.

c. Reframing imagery (latihan mental)

Peserta membayangkan hasil dari suatu tugas dalam situasi rileks sebelum

benar-benar melakukan sesuatu tugas. Pada kegiatan ini, fasilitator akan

meminta peserta tetap dalam keadaan rileks dan berkonsentrasi serta

membayangkan Ujian Nasional yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai

dengan harapan, soal-soal yang yang dikerjakan dapat dikerjakan dengan

41

baik dan sesuai dengan yang dipelajari. Disamping itu, tidak adanya

ketakutan-ketakutan serta kekhawatiran dalam menghadapi Ujian Nasional

yang akan segera dilaksanakan. Selain itu, pada saat pengumuman nilai

yang tertulis adalah nilai yang diharapkan masing-masing peserta. Pada

kegiatan ini merupakan proses membayangkan hasil dari suatu tugas

dalam situasi rileks sebelum benar-benar melakukan tugas tersebut. Sistem

neural dan imagery terjadi tepat pada area otak dan dapat menguatkan pola

neural. Pada kegiatan ini pula membayangkan dan menginterpretasikan

kembali sebuah kejadian dan emosi-emsoi yang berhubungan dengan

kejadian tersebut.

d. Receptive imagery (peninjauan diri)

Pada kegiatan ini peserta diminta untuk meninjau atau merefleksi sifat-

sifat diri. Pada tahap peserta diminta oleh fasilitator untuk dapat menerima

dirinya serta mampu meninjau segala kekurangan-kekurangan dalam

dirinya dan mau menerima ide, saran dari fasilitator dalam kehidupan yang

lebih baik, lebih positif , serta lebih optimis dalam menghadapi tantangan

di Ujian Nasional mendatang.

4. Sesi Penutup, Evaluasi Proses dan Hasil

Pada sesi ini dilaksanakan evaluasi sebagai upaya untuk mengumpulkan,

mengelola, dan menyajikan data atau informasi mengenai pelaksanakan

kegiatan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan, serta evaluasi proses

bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian kegiatan pelatihan guided

imagery dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Setelah itu peserta

42

diminta untuk mengisikan kembali Skala Kecemasan Menghadapi Ujian

Nasional, hal ini dijadikan sebagai posttest. Kegiatan selanjutnya adalah

ucapan terimakasih atas partisipasi peserta karena telah mengikuti segala

kegiatan pelatihan guided imagery yang dilaksanakan dan setelah itu

melakukan doa bersama sebagai penutupan acara.

4. Manfaat Guided Imagery

Berbagai manfaat guided imagery di dalam kehidupan yaitu:

a. Susana & Sri (2014) manfaat guided imagery adalah membantu untuk

mencapai berbagai tujuan masalah kesehatan, antara lain: menurunkan depresi

dan kecemasan, menghilangkan fobia, mengurangi trauma, mengurangi

merokok dan makan, penyembuhan penyakit fisik dan gejalanya (sakit kepala,

tekanan darah, insomnia, dan nyeri kronis).

b. Synder (2010) guided imagery digunakan untuk mengurangi kecemasan dan

memberikan relaksasi pada orang dewasa dan anak-anak, mengurangi nyeri

kronis, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan darah.

c. Olness & Kohen (dalam Genders,2006) menyatakan manfaat penggunaan

imagery sebagai pereda nyeri, mengurangi kecemasan, meningkatkan

penguasaan dan harapan. Ditambahkan oleh Dossey (dalam Potter & Perry,

2009) menjelaskan bahwa aplikasi guided imagery untuk mengurangi rasa

nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan ketentraman. Indikasi dari guided

imagery adalah pasien yang memiliki pikiran negatif atau pikiran menyimpang

dan mengganggu perilaku, seperti over generalization, filter mental, stress,

cemas, depresi, nyeri, dan hipokondria.

43

d. Jacobson (2006) Guided imagery dapat berfungsi sebagai pengalih perhatian

dari stimulus yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi respon

nyeri dan kecemasan. Ditambahkan oleh (Hart, 2008) , guided imagery akan

sangat efektif untuk anak-anak dibanding orang dewasa dan lebih membuka

kreativitas dan imajinasi anak.

e. Reliani (2015) menyatakan bahwa guided imagery merupakan suatu teknik

atau cara yang dapat untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadarmaupun tidak

sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan

keheningan, sehingga dapat mengurangi kecemasan yang terjadi. Ditambahkan

oleh Rahmayanti (2010) teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada

umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya

dan fokus pada nafas masing-masing, klien didorong untuk relaksasi

mengosongkan pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang.

C. Pengaruh Guided Imagery terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan

Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa SMP

Guided imagery merupakan salah satu jenis teknik relaksasi sehingga

manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi

yang lain. Guided imagery digunakan untuk mengurangi kecemasan dan

memberikan relaksasi. Pada guided imagery mengandung pembentukan

representasi mental dari suatu objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan

melalui indera (Snyder, 2010). Guided imagery merupakan bagian dalam

kemampuan sosial personal dan pengembangan pendidikan mengenai kesehatan.

44

Hal ini dilakukan untuk membangkitkan kemampuan imajinasi dan kreativitas

pada anak (Hall, 2006).

Masulili (dalam Deswita dkk, 2014) menyebutkan bahwa guided imagery

memberikan manfaat kepada anak untuk belajar rileks, menghilangkan atau

merubah perilaku yang tidak diinginkan, meningkatkan manajemen nyeri secara

efektif, perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru, untuk meningkatkan

kualitas tidur, serta menjadikan lebih termotivasi dalam menghadapi suatu

masalah, mengatasi atau menghilangkan marah, mengolah situasi stres dan

kecemasan, dalam hal ini kecemasan menghadapi Ujian Nasional. Reliani (2015)

menyatakan bahwa guided imagery merupakan suatu teknik atau cara yang dapat

mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan

bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan sehingga dapat

mengurangi kecemasan yang terjadi.

Menurut Dradjat (dalam, Atmaja 2013) bahwa rasa takut, rasa bersalah,

tidak tenang, was-was, merasa tidak berdaya, dan terancam merupakan

manifestasi dari kecemasan yang dialami oleh seseorang. Bersumber pada

pendapat Atmaja (2013) kecemasan digambarkan sebagai state anxiety yakni

reaksi emosi yang timbul pada situasi tertentu dan dirasakan sebagai suatu

ancaman. Lebih lanjut menurut Atmaja (2013) bahwa bentuk state anxiety

sangatlah beragam dalam hal intensitas dan waktu, salah satunya ketika

meghadapi Ujian Nasional. Lebih lanjut Nevid (2005) mengatakan bahwa

kecemasan yang terjadi salah satunya ialah ketika menghadapi ujian.

45

Dinyatakan oleh Nevid (2005) bahwa reaksi kecemasan dalam menghadapi

Ujian Nasional ditandai dengan gejala-gejala seperti kegelisahan, kegugupan,

tangan atau anggota tubuh gemetar, telapak tangan yang berkeringat, mulut atau

kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung yang berdetak

kencang, jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin, pusing, merasa lemas, sakit

perut dan mual, panas dingin, sering buang air kecil, merasa sensitif dan mudah

marah, leher atau punggung terasa kaku, menghindar, perilaku ketergantungan

atau melekat, dan terguncang, khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan

ketakutan tentang sesuatu di masa depan, keyakinan mengenai sesuatu yang

mengerikan terjadi, ketakutan ketidakmampuan mengatasi masalah, berpikir

tentang hal yang mengganggu secara berulang, pikiran terasa bercampur aduk,

tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, sulit berkonsentrasi.

Terkait hal tersebut (Singer dalam Apostolo, 2009) menyatakan bahwa salah

satu fungsi guided imagery adalah menciptakan mental yang positif yang dapat

memberikan efek merilekskan serta berdampak pada keadaan psikofisiologi dan

kognitif seseorang. Lebih lanjut dijelaskan oleh Rout & Rout (dalam Maimunah &

Retnowati, 2011) bahwa relaksasi dengan guided imagery mengurangi tingkat

gejolak fisiologis individu dan membawa individu ke keadaan yang lebih tenang

baik secara fisik maupun psikologis.

Ditegaskan bahwa guided imagery adalah instruksi terarah yang menuntun

individu untuk melakukan imagery seperti : physiologically focused imagery

(imagery yang berfokus pada keadaan fisiologis), pleasant imagery (imagery

yang menyenangkan), reframing imagery (latihan mental) dan receptive imagery

46

(melibatkan peninjauan diri). Adapun dinamika hubungan empat materi guided

imagery tersebut dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional dapat dilihat

pada bagan berikut:

Ihwal pengaruh 4 (empat) materi guided imagery yang diberikan dalam

pelatihan guided imagery pada penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, physiologically focused imagery yaitu penyampaian imagery

yang berfokus pada keadaan fisiologis. Hart (2008) mengatakan guided imagery

dapat membangkitkan perubahan neurohormonal dalam tubuh yang menyerupai

perubahan yang terjadi ketika sebuah peristiwa yang sebenarnya terjadi Hal ini

bertujuan untuk membangkitkan keadaan relaksasi psikologis dan fisiologis untuk

meningkatkan perubahan yang menyembuhkan ke seluruh tubuh. Guided imagery

dapat berfungsi sebagai pengalih perhatian dari stimulus yang menyakitkan

dengan demikian dapat mengurangi respon nyeri dan kecemasan (Jacobson,2006).

Kedua, pleasant imagery yaitu penyampaian mengenai imagery yang

menyenangkan. Asmadi (2008) menjelaskan bahwa dalam meminta klien untuk

GUIDED IMAGERY

Physiologically

focused imagery

Pleasant

imagery

Reframing

imagery

Receptive

imagery

Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional

47

memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau pengalaman yang membantu

penggunaan semua indera, klien diminta untuk tetap berfokus pada bayangan

yang menyenangkan sambil merelaksasikan tubuhnya. Lebih lanjut (Synder,

2010) pada pleasant imagery klien membayangkan hal-hal yang menyenangkan

bagi dirinya terkait dengan tempat yang menyenangkan misalnya: pantai, aktifitas

yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Dalam melakukan hal ini dapat dibantu

melalui rekaman audio agar klien merelaksasi tubuhnya dengan menarik nafas

dalam dan pelan (Snyder, 2006). Relaksasi membuat pikiran lebih terbuka untuk

menerima informasi baru yang diberikan, untuk selanjutnya klien dipandu untuk

membayangkan hal yang paling menyenangkan dan membayangkan tiap detail hal

yang bisa dirasakan oleh semua indera (Benson dalam Snyder, 2010). Terkait hal

itu, Reliani (2015) menyatakan bahwa guided imagery merupakan cara untuk

mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan

bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan sehingga dapat

mengurangi kecemasan yang terjadi.

Ketiga, reframing imagery yaitu penyampaian untuk latihan mental.

Guided imagery menggunakan imajinasi seseorang yang dirancang secara khusus

untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer & Bare, 2002). Pada penyampaian

imagery yang melatih untuk restrukturisasi mental ini, mekanisme atau cara kerja

secara teori menyatakan bahwa imajinasi positif melemahkan

sikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon kecemasan dan merasakan

relaksasi. Latihan dapat melatih respon mental ketika terjadi situasi atau peristiwa

(nyata atau tidak) yang mengancam fisik atau kesejahteraan emosional atau

48

tuntutan dari sebuah situasi melebihi kemampuan seseorang, sehingga dengan

imajinasi diharapkan dapat merubah situasi dari respon negatif yaitu ketakutan

dan kecemasan menjadi gambaran positif yaitu penyembuhan dan kesejahteraan

(Dossey dalam Snyder, 2010).

Keempat, receptive imagery yaitu penyampaian untuk melibatkan dalam

peninjauan diri. Dalam peninjauan diri mengenai pikiran-pikiran negatif yang

dirasakan oleh klien, sehingga dapat menerima ide-ide serta imajinasi positif.

Menurut Hart (2008), jika seseorang membayangkan suatu hal negatif atau

menakutkan dapat meningkatkan rasa sakit atau kecemasan maka hal tersebut

dapat dinetralkan dengan pikiran positif atau menenangkan. Pikiran dapat dilatih

untuk berfokus pada imajinasi penyembuhan.

Pelatihan guided imagery yang akan diberikan kepada siswa untuk

menurunkan kecemasan menghadapi Ujian Nasional tersebut dikuatkan dengan

hasil penelitian dari Kumari, dkk (2015) mengenai efektifitas guided imagery

untuk menurunkan kecemasan menghadapi ujian pada siswa. Hasil penelitian

yang diperoleh dari Kumari, dkk (2015) bahwa terdapat 65% siswa yang

mengalami kecemasan tinggi dalam menghadapi ujian dan 35% siswa yang

mengalami kecemasan sedang dalam menghadapi ujian. Namun setelah dilakukan

perlakuan berupa guided imagery, tidak ada siswa yang mengalami kecemasan

tinggi, 25% berada pada kecemasan yang sedang dalam menghadapi ujian dan

75% tidak mengalami kecemasan dalam menghadapi ujian. Disimpulkan oleh

Kumari, dkk (2015) bahwa teknik guided imagery dapat membantu siswa

memodifikasi pemikiran negatif menjadi positif, dan berpengaruh kepada perilaku

49

yang dilakukan menjadi lebih positif. Siswa diajarkan untuk bereaksi terhadap

situasi secara positif, dan para siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan dari

masing-masing individu, sehingga masalah dan konflik yang terjadi pada

pengalaman yang ada pada diri dapat teratasi. Guided imagery berperan penting

dalam menenangkan ketakutan dan kekhawatiran, selain itu membantu mengatasi

kegelisahan yang terjadi serta mengatasi kecemasan dengan lebih baik. Selain itu,

guided imagery dapat membantu mengurangi kecemasan siswa di semua tingkat

dan guided imagery dianggap sebagai ketrampilan yang bermanfaat bagi banyak

hal.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guided imagery dapat

membantu dan bermanfaat bagi banyak hal khususnya untuk mengurangi serta

menurunkan tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi ujian terutama Ujian

Nasional.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX Sekolah

Menengah Pertama yang dikenai perlakuan pelatihan guided imagery (kelompok

eksperimen) memiliki tingkat kecemasan menghadapi Ujian Nasional yang lebih

rendah dibandingkan dengan siswa kelas kelas IX Sekolah Menengah Pertama

yang tidak dikenai perlakuan pelatihan guided imagery (kelompok kontrol).