BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Teori ...eprints.umm.ac.id/47004/3/BAB II.pdf ·...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Teori Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum terdiri dari dua kata yakni kesadaran dan hukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kesadaran adalah
keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh
seseorang. Sementara itu dalam bukunya Soerjono Soekanto memberikan
penjelasan kesadaran dalam beberapa pengertian14, beberapa diantaranya
diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyadari secara total dan
merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari proses ketidaksadaran. Jadi pada
dasarnya kesadaran merujuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi
mental yang berorientasi pada “aku”nya manusia ada pada “kami”nya.15
Sementara pengertian hukum menurut KBBI adalah peraturan atau
adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa
atau pemerintah; undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah/ketentuan) mengenai
peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; keputusan (pertimbangan)
yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis. Namun ahli hukum
berbeda pendapat mengenai definisi dari hukum. Van Apeldoorn dalam
bukunya yang berjudul Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht
menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi terhadap hukum
14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali,
1982) Hal. 150. 15 Ibid., Hal. 151.
13
yang dapat memadai kenyataan. Dalam hal ini Soerjono Soekanto mencoba
menjelaskan pemahaman dan pengertian hukum dari masyarakat yakni
huku sebagai kaidah, ilmu penegtahun, tata hukum, petugas hukum,
ketentuan dari penguasa, proses dari pemerintahan, jalinan nilai-nilai dan
pola perilaku.
Jadi kesadaran hukum pada dasarnya adalah kesadaran atau nilai
yang ada pada manusia terkait hukum yang sudah ada ataupun yang
diharapkan ada. Hal yang perlu ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi
hukum dan bukan suatu penilaian hukum pada kejadian-kejadian yang
konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.16
Kesadaran ini juga bisa dipahami sebagai konsepsi-konsepsi abstrak
di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Jadi manusia
menjadi pihak yang penting dalam menjalankan hukum yang ada. Semakin
baik kesadaran hukum yang dimiliki manusia akan semakin baik pula
pelaksanaan hukum yang ada.
Pada dasarnya kesadaran hukum warga masyarakat ditentukan oleh
beberapa hal yakni pengetahuan, pemahaman dan penghargaan terhadap
peraturan hukum terkait. Jika suatu masyarakat hanya sebatas tahu akan
hukum saja, maka kesadaran hukumnya lebih rendah ketimbang mereka
yang sudah berada dalam level memahami. Begitupun juga jika masyarakat
16 Ibid., Hal. 152.
14
hanya tahu dan memahami, maka tingkat kesadaran hukum mereka masih
dibawah mereka yang mengharagai ketentuan hukum.
Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum akan dijelaskan di
bawah ini17:
1. Pengetahuan Hukum
Jika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan
dsiahkan sesuai dengan prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis
peraturan perundang-undangan itu berlaku. Setiap warga masyarakat
yang ada dianggap mengetahui hukum tersebut terlepas mereka orang
yang berkecimpung dalam dunia hukum atau bukan. Asumsi inilah yang
biasa disebut sebagai teori fiksi hukum (rechfictie).
Pengetahuan hukum suatu masyarakat bisa diukur dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan hukum
tertentu. Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut mampu dijawab dengan
benar oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa mereka mengetahui
hukum tersebut dengan benar. Begitupun sebaliknya, apabila warga
masyarakat tidak dapat dijawab dengan benar maka dapat dipahami
bahwa mereka belum atau kurang memiliki pengetahuan hukum.
2. Pemahaman Hukum
Belumlah memadai jika masyarakat hanya memiliki pengetahuan
hukum saja. Masih diperlukan hal lain yang mendukung yakni
pemahaman atas hukum yang berlaku. Masyarakat diharapkan mampu
17 Zainuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 66.
15
memahami tujuan peraturan perundang-undangan melalui pemahaman
hukum. Selain itu juga agar dapat memahami manfaat bagi mereka yang
kehidupannya diatur oleh peraturan terkait.
Sama halanya dengan pengetahuan hukum, pemahaman hukum
suatu masyarakat dapat diukur dengan mengajukan seperangkat
pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentu. Ketika masyarakat
mampu menjawab seperangkat pertanyaan tersebut maka kita dapat
mengatakan bahwa masyarakat tersebut sudah memiliki pemahaman
hukum yang benar dan baik. Tetapi jika mereka tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud dengan benar, maka mereka dapat
dikategorikan sebagai masyarakat yang kurang atau belum memahami
hukum seutuhnya.
3. Penaatan terhadap Hukum
Warga masyarakat akan menaati hukum karena berbagai hal,
beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjaga hubungan dengan penguasa;
b. Agar hubungan baik dengan rekan-rekan tetap ada;
c. Takut akan sanksi jika melanggarnya;
d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang percaya; dan
e. Menjaga terjaminnya kepentingan yang dimiliki;
Secara teoritis, dari sebab-sebab di atas faktor keempat adalah faktor
yang paling baik. Hal tersebut dikarenakan faktor lainnya baik faktor
kesatu, kedua dan ketiga dalam penerapan hukumnya masih harus
16
diawasi oleh petugas hukum terkait. Dengan begitu hukum dalam
kehidupan akan benar-benar ditaati.
4. Pengharapan terhadap Hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat jika ia
telah mengetahui, memahami dan menaatinya. Maksudnya dia benar-
benar sudah merasakan bahawa hukum tersebut menciptakan ketertiban
dan ketentraman dalam dirinya. Pada hakikatnya hukum tidak hanya
mengenai lahiriah saja namun juga dari segi batiniah.
5. Peningkatan Kesadaran Hukum
Peningkatan kesadaran hukum seharusnya dilakukan melalui
penjelasan dan penyuluhan hukum yang teratur dengan perncanaan yang
baik. Penyuluhan hukum bertujuan agar warha masyarakat mengetahui
bahkan memahamai hukum-hukum tertentu. Misalnya saja peraturan
mengenai lalu lintas, wakaf, zakat, dan lain sebagainya. Penjelasan dan
sosialisasi hukum harus disesuaikan dengan problem hukum yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran
penyuluhan hukum.
Secara umum penjelasan dan sosialisasi hukum merupakan tugas
dari kalangan hukum, khususnya mereka yang kemungkinan besar
berhubungan langsung dengan masyarakat. Salah satu yang bertanggung
jawab yaknipetugas hukum. Mereka diberi Pendidikan agar mampu
menjelaskan dengan baik kepada masyarakat. Jangan sampai sebaliknya,
petugas-petugas tersebut malah memanfaatkan hukum untuk
17
kepentingan pribadi dengan cara menakut-nakuti warga amsyarakat yang
awam dan kurang paham mengenai hukum.18
Sementara itu Soerjono Soekanto19 mengemukakan bahwa
kepatuhan terhadap hukum merupakan unsur lain dari persoalan yang lebih
luas yaitu kesadaran hukum. Ada 4 (empat) indikator dari kesadaran hokum
menurut B.Kutschincky dalam bukunya Soerjono Soekanto yakni20:
1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness);
2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance);
3. Sikap terhadap peraturan peraturan hukum (legal attitude); dan
4. Pola-pola perilaku hukum (legal behaviour).
Jika keempat indikator tersebut sudah terpenuhi maka dapat
dikatakan kesadaran suatu masyarakat akan hukum cukup tinggi. Begitupun
sebaliknya, jika hanya satu atau dua indikator saja yang terpenuhi maka
kesadaran hukum suatu masyarakat belum baik dan maksimal.
B. Tinjauan Umum Makanan Halal dan Haram
Pengertian makanan yaitu semua hal yang bersumber dari hayati
serta air, baik itu yang diolah maupun tidak dan memiliki fungsi sebagai
konsumsi manusia untuk mempertahankan hidupnya.21 Sementara itu
dama Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah nomor 69 Tahun 1999 tentang
18 Ibid., Hal. 69-70 19 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1987) Hal. 217-
219 20 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum, Hal. 159. 21 Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada, 2013), Hal. 109.
18
Label dan Iklan tepatnya pada pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa
makanan halal ialah pangan yang tidak mengandung hal yang haram dan
dilarang dikonsumsu oleh umat muslim yang digunakan sebagai bahan
apapun baik bahan baku, bahan penolong maupun bahan tambahan
pangan. Selain itu pengelolaannya juga harus sesuai dengan ketentuan
syariat Islam.
Disebutkan di dalam Al-Quran, tepatnya pada surat Al-Baqarah
ayat 168 bahwa umat Islam diharuskan untuk memakan dan mengonsumsi
makanan yang halal serta thoyyib. Adapunayat tersebut berbunyi:
Berdasarkan ayar diatas dapat diambil hikmah bahwa tidak semua
makanan yang halal adalah thayyib bagi konsumennya. Pada dasarnya
konsep halal tidak bisa dipisahkan dari thoyyib22 karena kedua hal itu
berkaitan satu sama lain. Salah satu contohnya ialah konsumsi gula yang
dilakukan oleh penderita diabetes. Meskipun gula merupakan makanan
halal dan dapat dikonsumsi namun bukanlah makanan yang thoyyib bagi
penderita diabetes. Maka dari itu thayyib dapat diartikan dengan makanan
yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya yang tidak tercampur benda
najis dengan pengertian baik.23
22 Fifik Wiryani dkk., “Juridical Analysis on Consumer Protection in Safe and Halal Food
Distribution,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 18 No. 1 (Januari 2018) Hal. 21. 23 Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 110.
19
Lebih lanjut, mengonsumsi makanan hal dan thayyib merupakan
hak asasi manusia yang perlu dilindungi.24 Indonesia sebagai negara
hukum juga akhirnya melindungi hal tersebut. Terbukti dengan adanya
pasal 28E dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945. Maka dari itu halal
dan thayyib perlu dilindungi.
1. Konsep Halal dan Haram
Status hukum pangan terdiri dari beberapa hal yakni yang jelas
kehalalannya dan adapula yang sudah jelas keharamannya serta
adacukup banyak yang masih samar-samar (syubhat) status
hukumnya.25 Untuk jenis yang terakhir para ulama melakukan ijtihad
untuk mendapatkan dan mengetahui status hukumnya. Namun hasil
ijtihad yang dihasilkan tentu tidak selalu sama, ada yang menganggap
halal dan adapula yang menganggap haram. Maka dari itu, status
hukum pangan tersebut ada yang disepakati kehalalannya, ada yang
disepakati kehalalannya dan adapula yang masih diperselisihkan.
Sebenarnya pangan halal merupakan pangan yang telah memenuhi
syarat dari syariat Islam baik bahan baku maupun tambahan yang
digunakan dalam proses produksinya.26 Pangan tersebut juga membuat
konsumen tidak berdosa ketika mengkonsumsinya. Penentuan halal dan
haram juga hanyalah dilakukan oleh Allah SWT. Selain itu Allah
24 Fifik Wiryani dkk., “Juridical Analysis on Consumer Protection in Safe and Halal Food
Distribution,” Hal 21. 25 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Halal (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, 2010), Hal. x. 26 Sheilla Chairunnisyah, “Peran Majelis Ulama Indonesia dalam menerbitkan Sertifikat
Halal Pada Produk Makanan dan Kosmetika,” Jurnal Edutech, Vol. 3 No. 2 (September 2017).
20
menghalalkan dan mengharamkan suatu hal pasti diikuti dengan alasan
yang jeals, kuat serta masuk akal demi kebiakan manusia.27
Jenis pangan manusia terdiri dari hewani dan non-hewani. Menurut
syariat Islam seluruh pangan non-hewani halal dikonsumsi kecuali yang
najis (atau yang terkena najis), berbahaya dan yang memabukkan.
Begitupun dengan jenis maknan lain, pada dasarnya hukumnya halal
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini berdasar pada
sejumlah kaidah fiqh dan juga dalil.
Adapun muskir (yang memabukkan) dapat dibedakan menjadi dua
yakni khamr dan nabidz. Terkait dengan khamr seluruh ulama sepakat
bahwa meminumnya adalah haram baik sedikit maupun banyak. Baik
yang kadarnya dapat memabukkan atau tidak. namun ulama berbeda
pendapat terkait dengan nabidz. Ada yang membolehkannya selama
tidak memabukkan, adapula yang melarangnya secara jelas. Terlepas
dari perdebatan hukum nabidz, MUI seacara tegas mendukung dan
mengambil pendapat mayoritas ulama yang mengharamkan semua
jenis minuman keras yang mengandung alkohol, sekalipun hanya 1%.28
Hal tersebut tercermin dari keputusan yang ditetapkan Komisi Fatwa
pada 11 Agustus 2001 dan keputusan Muzakarah Nasional MUI.
Sementara itu jenis pangan hewani juga dibedakan menjadi 2 (dua)
yakni hewan laut atau air dan hewan darat. Mengenai jenis pertama
27 Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam (Laweyan: Era Intermedia, 2001), Hal.
50 28 Ibid., Hal. xii.
21
ulama sepakat bahwa hukumnya halal. Hal tersebut didasarkan pada
hadits yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Namun terdapat
pengecualian pada hewan laut/air yang mengandung racun. Rasulullah
SAW bersabda29:
حمن قال حدثنا مالك ن ع أخبرنا إسحق بن منصور قال حدثنا عبد الر
صفوان بن سليم عن سعيد بن سلمة عن المغيرة بن أبي بردة عن أبي
صلى الله عليه وسلم في ماء البحر هو الطهور ماؤه هريرة عن النبي
الحلل ميتته
Mengenai hewan darat, ada hewan yang sudah ditegaskan
kehalalannya dalam kitab suci al-Quran dan hadits serta yang sudah
disebutkan keharamannya dalam nash al-Quran dan hadits. Adapula
yang disebut dengan al-mashkut anhu. Mengenai hal ini ulama berbeda
pednapat. Ada yang membolehkan, adapula yang tidak membolehkan
dan juga mereka yang bersikap diam, tawaqquf. Di antara ketiganya
yang paling kuat adalah yang pertama yakni membolehkan.30
Pada dasarnya hewan yang haram dimakan jumlahnya sangat
terbatas yaitu bangkai, daging babi, (hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk
dan diterkam oleh binatang buas (kecuali sempat disembelih).31 Di
samping itu juga ada hewan yang keharaman memakannya dijelaskan
dalam al-Quran maupun hadist hukumnya adalah halal.
29 Imam An-Nasa’i, Sunan Nasa’i (Riyadh: Baitul Afkar Ad-Dauliyah), hlm. 4275. 30 Yusuf Qardawi. Halal dan Haram dalam Islam, Hal. xiii 31 Ibid., Hal. xv
22
2. Kategori Produk Makanan Halal
Pada dasarnya ada 3 (tiga) sumber makanan yang dikonsumsi oleh
manusia. ketiganya yakni makanan yang berasal dari nabati, hewani
serta produk olahan. Adapun uraiannya adalahs sebagai berikut:32
1. Makanan yang bersumber pada nabati pada dasarnya halal sehingga
dapat dikonumsi oleh manusia. namun ada beberapa yang tidak
dapat dikonsumsi yakni yang najis, memabukkan dan/atau
mengandung racun;
2. Sementara makanan dari bahan hewani dibagi menjadi 2 (dua).
Pertama, makanan hewani laut yang mana smeuanya boleh
dikonsumsi. Kedua, yakni hewan darat yang hanya sebagian kecil
tidak boleh dikonsumsi oleh manusia; dan
3. Makanan yang berasal dari produk olahan status kehalalannya
tergantung dari bahan yang digunakan baik bahan baku, peno,ong
maupun tambahan. Selain itu pula dilihatd ari segi proses dan
pengolahannya.
Adapula kriteria produk makanan halal yang sesuai dengan Islam,
yaitu:33
a. Tidak ada kandungan babi atau bahan dari babi;
b. Tidak kandungan bahan haram seperti yang berasal dari organ
manusia maupun darah;
32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 111. 33 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 112.
23
c. Seluruh bahan yang ebrsumber dari hewan yang disembelih sesuai
dengan syariat Islam;
d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,
dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang
tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi dan/atau
barang tidak halal lainnya maka harus dibersihkan dengan tata cara
syariat Islam terlebih dahulu; dan
e. Seluruh makanan dan minuman yang tidak memiliki kandungan
khamr.
3. Kategori Produk Makanan Haram
Makanan dan minuman haram memiliki beberapa kategori dan
aspek yakni yang terdiri dari binatang dan juga tumbuhan, urannya
adalah sebagai berikut:34
1. Jenis-jenis bintanag yakni sebagai beirkut:
a. Disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 173
bahwasanya darah, babi, bangkai, dan hewan yang disembelih
dengan nama selain Allah adalah haram;
b. Selain itu juga disebutkan dalam surah Al-Maidah (5) ayat 3
bahwa hewan yang halal bisa berubah menjadi haram jika mati
karena tercekik, jatuh tertunduk, terbentur, diterkam hewan lain,
disembelih untuk berhala, terkecuali ikan dan belalang boleh
dikonsumsi tanpa disembelih;
34 Ibid.,
24
c. Dalam surah lainnya yakni pada Al-A’raf (7) ayat 157 dijelaskan
bahwa binatang yang dianggap menjijikkan atau kotor menurut
naluri manusia;
d. Burung dan binatang buas yang memiliki taring dan cakar. Selain
itu juga binatang yang oleh Islam diperintahkan untuk
membunuhnya yakni ular, tikus, gagak anjing galak, burung
elang, dan sejenisnya;
e. Binatang-binatang yang dilarang dibunuh seperti semut, lebah,
burung hud-hud; dan
f. Binatang yang hidup di 2 (dua) jenis alam seperti kodok, penyu
dan buaya.
2. Seluruh tumbh-tumbuhan yakni sayru dan buah boleh dimakan
kecuali yang menyebabkan bahaya dan memabukkan baik secara
langsung maupun proses. Jadi semua tumbuhan yang emmabukkand
an mengadnung racun adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.
3. Semua jenis minuman merupakan halal kecuali yang memabukkan
dan mendatangkan bahaya, contohnya seperti arak. Selain itu juga
yang dicampur dengan benda-benda najis.
C. Tinjauan tentang Sertifikasi Halal
1. Definisi Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal ialah pengakuan kehalalan suatu produk
25
yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI).35
Adapula pengertian lain mengenai sertifikasi halal yakni proses
pemberian fatwa secara tertulis oleh MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai syariat Islam melalui pemeriksaan yang terperinci
oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk
mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari
instansi pemerintah yang berwenang (Badan POM).36
Maka dari itu setiap orang dan badan hukum yang memproduksi
atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia harus menjamin
kehalalan produknya dengan cara mencantumkan label halal
sebagaimana tercantum dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan bahwa setiap pelaku usaha wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan label halal pada label.
2. Landasan Kebijakan Sertifikasi Halal MUI
Kebijakan sertifikasi Halal MUI bersuber dari 2 (dua) sumber yakni
ketentuan syariat agama Islam dan juga hukum yang berlaku di
Indonesia (hukum positif). Adapun dasar hukum dari ketentuan syariat
agama Islam yakni:
35 Lihat Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal. 36 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 112.
26
a. QS. Al-Baqarah ayat 168
b. QS. Al-Baqarah ayat 172
c. QS. Al-Maidah ayat 88
d. QS. An-Nahl ayat 114
e. QS. An-Nahl ayat 116
Sedangkan dasar hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai
berikut:37
a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
37 KN. Sofyan Hasan, “Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan,”
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 (Mei, 2014), Hal 168-170.
27
b. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Iklan
dan Iklan Pangan;
c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada
Label Makanan; dan
d. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes
No.82/Menkes/SK/I/1996.
3. Prosedur Sertifikasi Halal Bagi Pelaku Usaha Rumah Makan Kota
Malang
Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa sertifikasi
halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan
fatwa halal tertulis yang dikelaurkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Dapat dipahami bahwa yang berperan dalam memberikan
sertifikat halal ialah BPJPH. Namun sebelum BPJPH mengeluarkan
sertifikat halal, mereka harus mendapatkan rekomendasi dari fatwa MUI
mengenai kehalalan suatu produk.
Adapun prosedur sertifikasi halal juga sudah dijelaskan di dalam
Bab V Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal. Prosedur sertifikasi halal dibagi menjadi beberapa langkah yaitu
pengajuan permohonan, penetapan Lembaga Pemeriksa Halal,
28
pemeriksaaan dan pengujian, penetapan kehalalan produk, penerbitan
sertifikat halal, pelabelan halal, pembaruan sertifikat halal serta
pembiayaan.
Sayangnya, pelaksanaan undang-undang ini belum begitu maksimal
khususnya lembaga-lembaga yang memiliki peran vital seperti BPJPH,
LPH dan lainnya. Sampai saat ini pengururusan sertifikasi halal masih
terpusat di LPPOM MUI dikarenakan BPJPH belum terbentuk. Maka
dari itu prosedur yang akan dijabarkan pada kali ini adalah prosedur
yang tercantum di literatur dan website LPPOM MUI.
Saat ini pengurusan sertifkasi halal dapat juga dilakukan melalui
online yakni dengan masuk ke website LPPOM MUI yakni www.e-
lppommui.org. Pengurusan ini juga dibedakan menjadi beberapa jenis
yakni pendaftaran dari industri manufaktur dan restoran.
Secara umum prosedur sertifikasi halal online dimulai dari
pendaftaran akun dan login di website resmi milik LPPOM MUI.
Kemudian pelaku usaha mendaftarkan produk yang dimiliki.
Pendaftaran ini dilakukan berbasis kelompok produk, yaitu kelompok
produk restoran dan katering. Selain itu mereka yang ingin
mendaftarkan juga harus membaca dan juga menyetujui customer
agreement.
Setelah proses registrasi tuntas, pelaku usaha juga diharuskan untuk
melakukan pembayaran registrasi. Adapun masa tenggang untuk
membayar adalah 10 (sepuluh) hari setelah dilakukan registrasi. Jika
29
melebihi tersebut maka sistem otomatis akan menghapus registrasi yang
sudah dilakukan.
Jika pembayaran registrasi sudah diverifikasi dan disetujui oleh
keuangan LPPOM MUI, pelaku usaha harus mengisi dan mengirim data
sertifikasi. Pengisian dan pengiriman ini dilakukan secara online di
menu upload halal document. Beberapa berkas yang perlu dikirim
seperti HAS Manual, HAS Status atau Certificate, Evidence of Halal
Policy Dissemintaion, dan lain sebagainya.
Kemudian pemohon sertifikasi halal juga diminta untuk membayar
biaya akad. Biaya ini berbeda dengan biaya registrasi yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Semua data yang sudah dimasukkan ke sistem
selanjutnya akan diproses oleh bagian-bagian yang terkait di LPPOM
MUI. Tugas pelaku usaha yakni memonitor semua proses yang ada.
Selain itu juga harus memberikan tanggapan atau mengirim data
tambahan jika terdapat pre audit memorandum atau audit memorandum
selama proses sertifikasi.
Jika semua proses sertifkasi sudah rampung dan juga sudah
mendapatkan persetujuan halal dari Komisi Fatwa, pelaku usaha tinggal
menunggu sertifikat halal dan/atau Status sistem jaminan halal. Berkas
tersebut akan diunggah oleh pihak LPPOM MUI dan pelaku usaha yang
mengajukan tinggal mengunduh sertifikat tersebut.
30
D. Tinjauan tentang Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha adalah
setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
badan hukum yang didirikan dan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi. Dapat dipahami bahwa pelaku usaha tidak hanya
sebatas warga negara Indonesia tapi juga dari luar negeri yang mana
memasarkan produknya di dalam wilayah nusantara.
Selain itu dalam penjelasan undang-undang tersebut yang termasuk
dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.38
Jadi semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan juga
distribusi bisa dikatakan sebagai pelaku usaha.
Adapun pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 12
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang tertera pada
UUPK. Hanya berbeda diksi dan penggunaan kata usaha dan ekonomi.
38 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), Hal. 41.
31
Sama halnya dengan pengertian pelaku usaha menurut UUPK, dalam
pengertian ini pelaku usaha juga tidak sebatas masyrakat Indonesia. Selama
ia menjalankan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi maka ia bisa
disebut dengan pelaku usaha.
Hak dari pelaku usaha39 juga sudah diatur dalam Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan
diuraikan sebagai berikut:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan; dan
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara kewajiban pelaku usaha40 juga sudah diuraikan dalam
Pasal 7 UUPK yakni sebagai berikut:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
39 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Hal. 43. 40 Ibid., Hal. 43.
32
2. Memberikan informasi yang ebnar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu abrang dan/atau
jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
jasa yang berlaku;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan.atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan; dan
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau pengantian apabila barang
dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara pengaturan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam
undang-undang Jaminan Produk Halal sedikit berbeda dan lebih khusus.
Hak pelaku usaha tertera pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal yakni sebagai berikut:
1. Informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem jaminan produk
halal;
2. Pembinaan dalam memproduksi produk halal; dan
33
3. Pelayanan untuk mendapatkan sertifikasi halal secara cepat, efisien,
biaya terjangkau dan tidak diskriminatif.
Adapun kewajiban pelaku usaha tertulis di Pasal 24 Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yakni sebagai berikut:
1. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
2. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian
antara produk halal dan tidak halal;
3. Memiliki penyelia halal; dan
4. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal.
Setelah pelaku usaha memperoleh sertifikat halal, mereka juga
diwajibkan melakukan hal hal yang tertera pada Pasal 25 yakni:
1. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat
sertifikat halal;
2. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;
3. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian
anatar produk halal dan tidak halal;
4. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir;
dan
5. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
34
E. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal
Indonesia sebagai negara hukum telah mengamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perihal
dijaminnya kemerdekaan setiap warga masyarakat Indonesia untuk
memeluk agamanya masing masing serta untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
Maka dari itu untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara memiliki kewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan
digunakan masyarakat. Jaminan produk halal sepatutnya dilaksanakan
sesuai dengan asas-asas yang ada. Jaminan penyelenggaraan produk halal
juga ebrtujuan untuk memberikan keamanan, keselamatan, kenyamanan
serta kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat Indonesia.
Tujuan tersebut dianggap penting mengingat kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan sangatlah cepat khususnya di bidang pangan, obat-obata dan
kosmetik.
Adapun pokok-pokok pengaturan dalam undang-undang ini antara
lain adalah sebagai berikut41:
1. Dalam peraturan ini ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal baik
dari bahan baku hewan, tumbuhan, hingga proses biologi dan kimiawi.
Selain itu juga ditetapkan rangkaian kegiatan dari proses produk halal
41 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
35
mencakup bahan, pengolahan, pengemasan, distribusi, penjualan dan
penyajian produk.
2. Undang-undang ini juga mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku
usaha. Namun ada pengecualian yang diberikan kepada pelaku usaha
yang memproduksi dari bahan produksi yang diharamkan.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah juga
bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan produk halal yang
mana dilakukan oleh BPJPH. BPJPH tidak sendirian melainkan
bekerjasama dengan kementerian terkait, MUI dan LPH.
4. Dalam peraturan ini juga diatur mengenai prosedur dan alur pengajuan
permohonan sertifikat halal oleh pelaku usaha.
5. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal memiliki
beban untuk memayar biaya proses sertifikasi. Selain itu, dalam undang-
undang ini juga disebutkan bahwa pihak lain dapat memfasilitasi biaya
sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil. Hal tersebtu dilakukan
dalamr angka memperlancar pelaksanaan JPH.
6. BPJPH melakukan pengawasan atas kegiatan yang berkaitan dengan
jaminan produk halal. Hal tersebut sebagai bentuk penjamina
pelaksanaan penyelenggaraan JPH.
7. Ditetapkan pula sanksi administrative dan pidana sebagai bentuk
penjaminan akan penegakan hukum terhadap pelanggaran UU JPH ini.