BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISYTIRĀK FI AL-QATLeprints.walisongo.ac.id/6794/3/BAB II.pdftidak ada...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISYTIRĀK FI AL-QATLeprints.walisongo.ac.id/6794/3/BAB II.pdftidak ada...
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ISYTIRĀK FI AL-QATL
(DELIK PENYERTAAN PEMBUNUHAN)
A. Pengertian Isytiȓak Fi al-Qatl
Dalam hukum pidana Islam istilah isytirāk fi al-qatl (delik penyertaan
pembunuhan) yaitu bersama-sama keterlibatan dalam suatu jarimah.
Pengertian isytirāk fi al-qatl atau bersama-sama berbuat suatu jarimah adalah
bersama-sama menghendaki dan bersama-sama melakukan permulaan
pelaksanaan peristiwa pidana, demikian juga hasil dari pada perbuatan sama-
sama dikehendaki. Sedangkan Pengertian turut serta berbuat atas sesuatu
jarimah mungkin terjadi tanpa menghendaki atau bersama-sama
menghendaki hasil dari pada tindak pidana atau perbuatan yang dimaksud.1
Jadi menurut hemat penulis, dalam jarimah pembunuhan turut serta
berbuat, kita melihat adanya pelaku utama dan pembantu, sedangkan dalam
jarimah pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama atau berserikat,
maka semua pelaku termasuk pelaku utama.
Dalam KUHP, istilah isytirāk fi al-qatl meliputi dua golongan yaitu
sebagai pelaku dan sebagai pembantu, sebagai pelaku meliputi orang yang
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan. Dan
seorang yang berperan sebagai pembantu yaitu seorang yang dengan sengaja
membantu saat terjadinya tindak pidana, dan seorang yang dengan sengaja
1 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1971), hlm. 225.
18
memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak
pidana.
Dalam pasal 55 dan 56 ada lima golongan peserta tindak pidana, yaitu :
1) Yang melakukan perbuatan (Plegen, dader),
2) Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader),
3) Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),
4) Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker),
5) Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).
Menurut jumhur ulama (ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, dan
Hanabilah) mengatakan, hukuman qiṣaṣ dijatuhkan terhadap beberapa orang
yang terlibat dalam pembunuhan terhadap satu orang meskipun mereka tidak
berkomplot dan tidak melakukan kesepakatan sebelumnya dalam
pembunuhan tersebut jika memang tindakan masing-masing dari mereka itu
bisa membunuh. Jadi menurut jumhur ulama, yang penting dalam kasus yang
tidak ada kesepakatan sebelumnya diantara mereka adalah tindakan masing-
masing dari memang mematikan, dalam arti tindakan salah satu dari mereka
sebenarnya sudah bisa membunuh.2
Dalam kitab Fatawa Ibnu Taimiyah, disebutkan beberapa contoh yang
beragam mengenai jarimah pembunuhan yang dilakukan secara bersama-
sama (isytirāk fi al-qatl), misalnya, jika ada sekelompok orang bersama-sama
membunuh orang yang maksum (orang yang mendapat jaminan
2 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu , juz 7, penerjemah, Abdul Hayyie al Kattani,
hlm. 562.
19
keselamatan), sekiranya semua turut melakukan pembunuhan, maka semua
pelaku wajib dihukum qiṣaṣ. Jika sebagian diantara pelaku pembunuhan
berbuat dan yang lainnya menjaga serta membantu, maka tidak wajib di qiṣaṣ
kecuali pelaku langsung, pendapat ini menurut pendapatnya Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.3
Dalam hukum pidana Islam ketika jarimah itu dilakukan oleh
beberapa orang, maka bentuk kerjasama mereka terdiri dari empat macam
kerjasama, yaitu
1) Pelaku jarimah bersama-sama dengan orang lain melaksanakan suatu
jarimah atau dengan pengertian bahwa mereka secara bersama-sama
melakukan jarimah.
2) Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan
jarimah.
3) Pelaku menghasut atau menyuruh orang lain untuk melaksanakan
jarimah.
4) Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukan jarimah dengan
berbagai macam cara, tetapi tanpa ikut melakukannya.4
Dari uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan turut serta dalam melakukan suatu jarimah (isytirāk fi al-qatl) yaitu
keikutsertaan seseorang atau lebih dalam melakukan suatu jarimah atau
tindak pidana, baik pelakunya turut serta secara langsung maupun tidak
langsung.
3 Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam., hlm. 284.
4 Ibid., hlm. 34-35.
20
Dalam hal keikutsertaan seseorang yang harus dipahami yaitu
bagaimana peranan para pelaku jarimah dalam melaksanakan kejahatan itu.
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena pertanggungjawaban dan
hukuman masing-masing pelaku sangat ditentukan pada seberapa jauh
peranan masing-masing pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Hukum pidana Islam membagi dua hal dalam isytirāk fi al-qatl (delik
penyertaan pembunuhan), yaitu orang yang turut serta secara langsung
(isytirāk mubasyir) dan orang yang turut serta secara tidak langsung (isytirāk
tasabbub). Untuk membedakan antara orang yang turut serta secara langsung
dengan orang yang turut serta secara tidak langsung, fukaha membagi dua
bagian sebagai berikut :
1) Orang yang turut serta secara langsung dalam melakukan tindak pidana
(syarik mubasyir ; perbuatannya disebut isytirāk mubasyir).
2) Orang yang turut serta secara tidak langsung dalam melakukan tindak
pidana (syarik mutasabbib ; perbuatannya disebut isytirāk ghair mubasyir
atau isytirāk bi tasabbub).5
Untuk mengategorikan keturutsertaan baik langsung atau tidak
langsung sebagai tindak pidana, ada dua syarat umum yang terdapat
didalamnya, yaitu :
a. Pelaku terdiri dari beberapa orang, jika pelaku sendirian maka tidak ada
istilah keikutsertaan langsung (isytirāk mubasyir) atau keikutsertaan tidak
langsung (isytirāk bi tasabbub).
5 Ahmad wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hlm.64.
21
b. Pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi
hukuman atas pelanggarannya. Jika perbuatan yang dihubungkan
kepadanya tidak demikian, berarti tidak ada tindak pidana dan tidak ada
istilah keikutsertaan.6
B. Dasar Hukum Dan Hukuman Isytirāk Fi al-Qatl
1. Dasar Hukum Isytirāk Fi al-Qatl
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan secara tegas, bahwa Allah swt
melarang umat manusia untuk saling tolong-menolong dalam kejahatan.
isytirāk fi al-qatl (delik penyertaan pembunuhan) merupakan suatu tindak
pidana atau jarimah yang dilakukan lebih dari satu orang, yang masing-
masing pelakunya ikut serta dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Dasar hukum isytirāk fi al-qatl (delik penyertaan pembunuhan)
telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 33, yaitu :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.”
6 Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, jilid II, hlm. 36
22
Sedangkan dasar hukum isytirāk fi al-qatl (delik penyertaan
pembunuhan) dalam hadits, yaitu sebagai berikut :
a. Hadits yang diriwayatkan dari Imam Malik
رر بنر بك ،أن عر ي يدك بنك اممسر عك ن سر ، عر يدك عك ير بنك سر ن ير ،عر الك نر مر ر أخبر
يلر د قرترلوه غك احك جلك ور ة بكرر بعر ة أو س ر سر رفررا خر نه قرترلر ه هللا عر ضك ابك رر طر امخر
عرلريهك أهل صر الر روترمر ر : م قارلر عر يعا، ور ك رقرترلتم جر اءر م .نعر7
Artinya : “Telah menceritakan kepadaku Malik dari Yahya bin Sa’id
dari Sa’id bin al-Musaiyab bahwa Umar bin Khatab r.a
telah membunuh lima atau tujuh orang sebab membunuh
seorang laki-laki dengan cara tipu muslihat, dan Umar r.a
berkata : “seandainya penduduk Ṣan’a ikut bersama-sama
membunuh anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum
bunuh mereka semua.
b. Hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a :
وعن عيل رىض هللا عنه اهه قىض يف رجل قتل رجال متعمدا, وامسكه
. ميوتأ خر , قال يقتل امقاتل , ويبس الاخر يف امسجن حىت 8
“Diceritakan dari Ali r.a,bahwasannya saya (Ali r.a)telah
menetapakan terhadap orang yang membunuh dengan sengaja, yang
korbannya dipegang oleh seseorang, maka si pembunuh hukumannya
dibunuh, sedangkan orang yang membantu hukumannya dipenjara
sampai mati.
c. Hadis riwayat ad-Daruquthny
براهمي امصرييف،ن براهمي بن محمد بن ا احلسن بن أ محد بن صاحل امكفي، ن ا
عبدة بن عبدهللا امصفار،ن أ بو داود احلفري، عن سفيان امثوري،عن
سامعيل بن أ مية، عن نفع، عن عر،عن امنيب صىل هللا عليه وسمل ، ا
7 Abi Abdillah Muhammab bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, juz 6, hlm. 34.
8 Muhammad ibn Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Darul Kutub
al-Arabi, 2000), hlm. 461.
23
ذا أ مسك ا مرجل امر بس ايذي لجلر وقت ه الاخر يقتل ايذي قتل وي قال: ا
)رواه ادلر قطين( أ مسك9
“Dari al-Hasan bin ahmad bin Shalih al-Kufi menceritakan kepada
kami, Abdah bin Abdullah Ash-Shairafi menceritakan kepada kami
Abu Daud al-Hafari menceritakan kepada kami dari sufyan ats-
Tsauri, dari Ismail bin Umayyah, dari Nafi’dari Ibnu Umar, dari Nabi
Muhammad saw bersabdah, “Jika seorang memegang orang lain
(korban) dan temannya satu lagi yang membunuhnya, maka yang
membunuh di hukum mati, dan yang memegang dipenjara.
2. Hukuman Isytirāk Fi al-Qatl
Hukuman atas suatu jarimah atau tindak pidana ditetapkan agar
orang tidak melanggarnya. Karena larangan melakukan suatu perbuatan
atau perintah untuk melaksanakannya semata-mata itu tidak menjamin
akan ditaati. Tanpa hukuman, perintah dan larangan akan jadi suatu yang
sia-sia dan diabaikan. Tanpa sanksi, perintah dan larangan tidak
mempunyai konskuensi. Jadi, hukuman sangat diperlukan, karena
hukuman yang menjadikan bagi perintah dan larangan itu efektif.10
Dalam hukum pidana Islam, suatu jarimah adakalanya dilakukan
oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh banyak orang. Apabila
perbuatan jarimah ini dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-
sama, maka perbuatan ini disebut sebagai turut berbuat jarimah atau
isytiȓak fi al-jarimah. Bersama-sama berbuat jarimah (isytirāk fi al-
jarimah) ini dibedakan atas dua macam yakni:
9 Al-Imam Al-Hafizh Ali bin Umar, Sunan ad-Daruquthni, penerjemah Anshori Taslim,
(Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), hlm. 327. 10
Muhammad Ichsan dan Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta : Fakultas Hukum UMY, 2006), hlm. 70.
24
a) Turut serta secara langsung (al-isytirāk al- mubasyir)
Mayoritas fukaha membedakan antara tanggungjawab pelaku
langsung pada kasus kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang
sudah direncanakan sebelumnya (tamallu’). Pada kasus pelaku
langsung yang kebetulan, pelaku hanya bertanggung jawab atas akibat
perbuatannya dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.
Dalam kasus tamallu’, para pelaku telah bersepakat untuk melakukan
suatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil
tindak pidana itu.apabila dua orang bersepakat untuk membunuh
seseorang kemudian keduanya pergi menjalankan aksinya, seorang
diantara keduanya mengikat korban, sedangkan yang lain memukul
kepalanya hingga korban mati, maka kedua pelaku bertanggung jawab
atas pembunuhan itu.11
Menurut jumhur ulama (ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah), hukuman qiṣaṣ dijatuhkan terhadap sekelompok yang
terlibat dalam pembunuhan terhadap satu orang meskipun mereka
tidak berkomplot dan tidak melakukan kesepakatan sebelumnya dalam
pembunuhan tersebut jika memang tindakan masing-masing dari
mereka itu bisa membunuh dan mematikan.12
Berbeda dengan pendapatnya Imam Malik, bahwa tamallu’
adalah kesepakatan yang sudah direncanakan sebelumnya untuk
melakukan suatu perbuatan dan saling menolong dalam melakukan.
11
Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Isla., hlm. 37-38. 12
Wahbah az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu., juz 7, hlm. 562.
25
Adapun kesepakatan untuk menyerang tidak dianggap sebagai
tamallu’. Sebagian fukaha Syafi’iyah dan Hanabilah memakai
pendapat ini. Walaupun demikian, mereka berbeda dengan Imam
Malik karena mereka tidak menganggap tamallu’ kecuali perbuatan
tersebut dilakukan secara bersama-sama dianggap sebagai pelaku.13
Para fukaha membedakan antara pelaku langsung tindak pidana
dan orang yang melakukan persepakatan, membantu, atau orang yang
ingin melakukan tindak pidana. Hal yang disepakati bahwa hukuman
untuk pelaku langsung pembunuhan adalah qiṣaṣ. Sedangkan
hukuman bagi orang yang melakukan persepakatan, membantu atau
menghasut, yaitu orang yang turut serta melakukan tindak pidana itu
berbeda-beda. Hukuman bagi orang yang melakukan persepakatan dan
penghasutan adalah takzir menurut para imam mazhab selain Imam
Malik. Dan hukuman bagi orang yang membantu adalah qiṣaṣ
menurut Imam Malik dan dihukum takzir menurut imam mazhab yang
lain.14
b) Turut serta secara tidak langsung (al-isytirāk tasabbub)
Orang yang dianggap pelaku tidak langsung ialah setiap orang
yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
yang dapat dijatuhi hukuman atasnya, orang yang menghasut
(menggerakkan) orang lain atau membantu dalam perbuatan tersebut,
13
Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, hlm. 208 14
Ibid, hlm. 288
26
dengan disyaratkan adanya kesengajaan dalam kebersepakatan,
penghasutan, dan pemberian bantuan tersebut.15
Pada dasarnya menurut syariat Islam, hukuman-hukuman yang
telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qiṣaṣ hanya
dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas pelaku tidak langsung.
Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam
jarimah hanya dijatuhi hukuman takzir. Alasan pengkhususan
ketentuan tersebut untuk jarimah hudud dan qiṣaṣ karena pada
umumnya hukuman-hukuman yang telah ditentukan itu sangat berat
dan tidak berbuat langsungnya pelaku tidak langsung merupakan
syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.16
Secara garis besar, hukuman pembunuhan dengan sebab
(pembunuhan secara tidak langsung) menurut ulama Hanafiyah adalah
pelakunya tidak terkena hukuman qiṣaṣ, karena pembunuhan dengan
sebab perantara tidak sama tingkatannya dengan pembunuhan secara
langsung. Sementara hukuman qiṣaṣ adalah berbentuk pembunuhan
secara langsung. Seperti orang yang membuat suatu galian lubang
ditengah jalan, lalu ada orang yang terperosok didalamnya dan mati
maka si pembuat lubang itu tidak dikenai hukuman qiṣaṣ.
Sebagaimana qiṣaṣ juga tidak dikenakan terhadap saksi yang
memberikan kesaksian palsu dalam kasus pembunuhan ketika mereka
15
Ibid., hlm. 42. 16
Ahmad wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 73.
27
menarik kembali kesaksian mereka setelah terpidana telah terlanjur
dihukum qiṣaṣ.17
C. Bentuk-bentuk Isytirāk Fi al-Qatl
Menurut hukum pidana Islam, para fukaha membedakan pelaku
isytirāk fi al-qatl ini dalam dua bagian, yaitu turut serta berbuat langsung
(isytirāk bil-mubasyir) dan turut berbuat tidak langsung (isytirāk ghairul bit-
tasabbub). Perbedaan antara keduanya adalah jika pelaku yang pertama
menjadi kawan secara nyata dalam melakukan jarimah, sedangkan pelaku
yang kedua menjadi sebab adanya jarimah, baik karena menyuruh, memberi
bantuan tetapi tidak ikut serta secara nyata dalam melaksanakannya.
1. Turut Serta berbuat langsung (isytirāk bil-mubasyir)
Turut serta secara langsung adalah tindakan yang berakibat pada
kebinasaan secara langsung tanpa ada suatu perantaraan dan tindakan itu
adalah yang menjadi penyebab langsung kematian. Pembunuhan secara
langsung yakni pelaku melakukan suatu tindakan yang berakibat langsung
pada kebinasaan tanpa ada suatu perantara, terhadap seseorang yang
memang orang orang itu adalah yang ia maksudkan dan ia inginkan,
seperti melukai atau menyembelih dengan pisau dan mencekik, karena
tindakan-tindakan seperti ini adalah yang mengakibatkan kematian
korban.18
Turut serta secara langsung terjadi, ketika seseorang melakukan
sesuatu perbuatan yang dianggap sebagai awal pelaksanaan jarimah yang
17
Wahbah Zuhaili, Fiqih Al-Islami Wa adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani,
hlm. 566 18
Ibid.,hlm.560.
28
disifati sebagai perbuatan maksiat dan yang dimaksudkan untuk
melakukan suatu jarimah tersebut. Dengan istilah sekarang apabila
seseorang telah melakukan percobaan, baik jarimah yang diperbuatnya itu
selesai atau tidak, karena selesai atau tidak hanya suatu jarimah tidak
berpengaruh terhadap kedudukan seseorang yang turut berbuat secara
langsung. Pengaruhnhya hanya berlaku pada besarnya hukuman, yaitu
apabila jarimah yang diperbuatnya selesai, sedang jarimah itu berupa
jarimah had, maka hukuman bagi pelaku adalah hukuman had, dan jika
jarimah yang diperbuatnya tidak selesai maka hanya dihukumi hukuman
takzir.19
Didalam turut serta secara langsung terdapat istilah yang dikenal
dengan sebutan tawafuq20
dan tamallu’21
. Jumhur ulama membedakan
antara tanggung jawab pelaku langsung spontanitas (tawafuq) dan yang
sudah direncanakan sebelumnya (tamallu’). Pada perbuatan tawafuq,
setiap pelaku langsung bertanggung jawab hanya atas akibat perbuatannya
19
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hal. 157 20
Tawafuq bermakna niat orang-orang yang turut serta dalam tidak pidana adalah untuk
melakukannya tanpa ada kesepakatan (permufakatan) sebelumnya diantara mereka. Dengan kata
lain, masing-masing pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul
seketika itu. Hal ini seperti yang terjadi pada kasus kerusuhan yang terjadi secara spontanitas.
Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada permufakatan (persepakatan) sebelumnya dan
melakukan berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara spontanitas. Lihat Alie Yafie,
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, hlm. 37 21
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tamalu’ adalah persamaan kehendak dari para
pelaku untuk berbuat, tanpa ada kesepakatan sebelumnya. Mereka berkumpul untuk melakukan
satu perbuatan secara seketika tanpa didahului rencana atau kesepakatan. Sebagian fuqaha
Syafi’iyah dan Hanabilah mengambil pendapat ini. Imam Abu Hanifah tidak menjadikan
artitamalu’ memiliki pengaruh apapun. Sedangkan menurut Imam Malik berpendapat bahwa
makna tamalu’ adalah kesepakatan yang sudah direncanakan sebelumnya untuk melakukan suatu
perbuatan dan saling menolong dalam melakukannya. Adapun kesepakatan untuk menyerang tidak
dianggap tamalu’. Sebagian fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah memakai pendapat ini.walaupun
demikian, mereka berbeda dengan Imam Malik karena mereka tidak menganggap tamalu’ kecuali
perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama dan masing-masing dianggap sebagai pelaku.
Lebih jelasnya, lihat Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam., hlm. 208.
29
bukan atas perbuatan orang lain. Dalam kasus tamallu’, para pelaku telah
bersepakat untuk melakukan suatu jarimah dan menginginkan bersama
terwujudnya hasil jarimah tersebut. Pada perbuatan tamallu’ keduanya
bertanggung jawab atas perbuatan jarimah tersebut.22
Menurut ulama’ Malikiyah orang-orang yang terlibat dalam suatu aksi
pembunuhan yang sebelumnya tidak kesepakatan dan perkomplotan
diantaranya mereka, maka mereka semua tetap dihukum bunuh, jika
memang mereka ikut memukul secara sengaja dan aniaya kemudian
korban mati ditempat itu juga, sementara pukulan-pukulan yang merka
lakukan tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lainya, atau bisa
dibedakan akan tetapi tidak diketahui mana pukulan yang mematikan dan
membunuh.23
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah dan ulama
Hanabilah berdasar pendapat yang lebih rajih menurut mereka, bahwa
tamallu’ adalah kesamaan keinginan para pelaku dalam suatu tindakan
meskipun tidak di dahului dengan adanya kesepakatan diantara mereka
sebelumnya. Sekira mereka bersama sama melakukan tindakan kejahatan
itu secara spontan meskipuntanpa didahului dengan adanya rencana atau
kesepakatan sebelumnya.24
2. Turut serta berbuat tidak langsung (isytirāk ghairul bit-tasabbub)
Yang dianggap turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu
22
Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, hlm. 38. 23
Wahba Zuhaili, Fiqih Al-Islam Wadillatuhu., Juz 7, hlm. 564. 24
Ibid.
30
perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain
atau memberikan bantuan dalam perbuatn tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.25
Apabila tindakan dari pihak mutasabib di anggap sebagai tindakan
yang melanggar dan melampui batas, maka hanya mutasabib saja yang
bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan kaidah “mutasabib tidak di tuntut
bertanggung jawab kecuali apabila ia melakukan perbuatan yang
melanggar” baik dengan sengaja atau tidak. Atau berdasar kaidah, “ suatu
perbuatan itu disandarkan mutasabib apabila tidak ada perantara yang
menengahi yaitu ketika tidak ada kemungkinan untuk menuntut
pertanggung jawaban dari pelaku langsung karena pelaku langsung yaitu
orang tidak mungkin dimintai pertanggung jawaban atau pelaku
langsungnya tidak diketahui atau perbuatan mutasabib lebih kuat dan
dominan dari pada pelaku langsung. Jadi pihak mutasabib harus
bertanggung jawab ketika perbuatanya yang manjadi sebab itu lebih
dominan dari pada tindakan pelaku langsung. 26
Secara garis besar hukum pembunuhan dengan sebab (pembunuhan
secara tidak langsung ) menurut ulama Hanifiyah adalah pelakunya tidak
terkena ancaman qiṣaṣ karena pembunuhan dengan sebab pelantaraan
tidak sama tingkatnya dengan pembunuhan secara langsung sementara
hukuman qiṣaṣ merupakan bentuk pembunuhan secara langsung. Misalnya
seperti seseorang membuat galian atau sumur ditengah jalan, lalu ada
25
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam., hlm. 144. 26
Wahba Zuhaili, Fiqih Al-Islam Wadillatuhu., juz 7, hlm. 574-575.
31
orang yang terperosok didalamnya kemudian ia mati. Maka orang yang
membuat lubang atau sumur itu tidak dikenai qiṣaṣ karena tindakan
penggalian itu adalah berarti pembunuhan dengan sebab pelantaran bukan
pembunuhan secara langsung. 27
Orang yang membantu orang lain dalam melakukan tindak pidana
dianggap sebagai pelaku tidak langsung meskipun sebelumnya ia tidak
bersepakat untuk melakukan tindak pidana tersebut. Misalnya orang yang
mengawasi jalan untuk memudahkan pencurian atau pembunuhan bagi
pelaku, ia dianggap sebagai orang yang memberi bantuan kepada pelaku.
Demikian pula orang yang menggiring korban ke tempat kejadian perkara
kemudian ia meninggalkannya untuk kemudian dibunuh oleh pelaku
tindak pidana, ia juga dianggap sebagai orang yang memberi bantuan
kepada pelaku.28
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, diisyaratkan adanya
perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak
harus harus selesai , melainkan cukup walaupun baru percobaan saja. Juga
tidak diisyaratkan pelaku langsung harus dihukum pula. Selain itu turut
serta tidak langsung, juga diisyaratkan adanya niat dari orang yang turut
berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuannya perbuatan itu
dapat terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka
27
Ibid,. hlm 566 28
Alie Yafie, Ensklopedi Hukum Pidana Islam., hlm. 44.
32
orang tersebut dianggap turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi,
apabila dimungkinkan dari niatnya.29
Jarimah pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama (isytirāk
fi al-qatl) yang dilakukan oleh pelaku tidak langsung mempunyai tiga
unsur, yang mana ketiga unsur tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman
Untuk terjadinya “keturutsertaan” disyaratkan adanya
perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman dan perbuatan tersebut harus
terjadi meskipun tidak harus selesai secara sempurna. Karena itu,
dalam percobaan tindak pidana, pelaku tidak langsung dapat dijatuhi
hukuman. Demikian juga, untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku
tidak langsung, pelaku langsung tidaklah harus dijatuhi hukuman. Hal
ini terkadang pelaku langsung memiliki niat yang baik sehingga ia
tidak dijatuhi hukuman, tetapi pelaku tidak langsung tetap dijatuhi
hukuman.30
b. Sarana atau cara mewujudkan perbuatan tersebut, yaitu mengadakan
persepakatan, penghasutan atau pemberi bantuan.
1. Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami
dank arena kesamaan kehendak untuk berbuat suatu jarimah.
Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut
berbuat. Jadi tidak ada “turut berbuat” kalau sudah ada
29
Ahmad wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 70. 30
Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam., hlm. 42
33
persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi
dan dikerjakan bersama.31
Dalam hal keturutsertaan tidak langsung, Imam Malik
mempunyai teori yang berbeda dengan fukaha lainnya. Imam
Malik menganggap orang yang bersepakat dengan orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang tersebut
menyaksikan tindak pidana itu berlangsung, maka orang tersebut
dianggap sebagai “pelaku penyerta langsung”, bukan pelaku tidak
langsung.32
2. Menghasut
Menghasut adalah membujuk (menggerakkan) orang lain
untuk melakukan tindak pidana dan bujukan itu yang menjadi
pendorong dilakukannya tindak pidana tersebut. perintah
(bujukan) atau pemaksaan untuk membunuh dapat dianggap
sebagai hasutan. Perbedaan antara perintah (bujukan) dan
pemaksaan yaitu : jika perintah (bujukan) tidak mempengaruhi
kebebasan kehendak orang yang diperintah untuk memilih
sehingga ia bisa melaksanakan tindak pidana tersebut atau
meninggalkannya, sedangkan pemaksaan memengaruhi
kebebasan kehendak orang tersebut. Artinya, ia hanya bisa
31
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986),
hal. 145. 32
Alie Yafie, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, hal. 42
34
memilih antara dua hal : melakukan tindak pidana atau menuai
apa yang diancamkan kepadanya.33
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan)
mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti orang
tua terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah
perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan.Kalau yang
diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu, atau gila, dan
yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka
perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi
menimbulkan jarimah atau tidak.34
3. Membantu
Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung (mubasyir)
dengan pemberi bantuan (mu’in). Menurut mereka, mubasyir
adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.Sedangkan
pemberi bantuan (mu’in) adalah orang yang tidak berbuat atau
mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat langsung
dengan perbuatan-perbuatan yang pada lahirnya tidak ada sangkut
pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan juga tidak
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari perbuatan yang
dilarang tersebut.35
33
Ibid, hlm. 43. 34
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidan Islam., hlm. 146. 35
Ahmad wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam., hlm. 72.
35
c. Adanya niat dari orang yang turut berbuat
Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan
adanya niat dari orang yang turut berbuat , agar dengan persepakatan,
suruhan, atau bantuannya itu perbuatan dapat terjadi. Kalua tidak ada
jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap
turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila
dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimahnya ditentukan, tetapi yang
terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkannya maka tidak terdapat
turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan, atau bantuan
tersebut ia bisa dijatuhi hukuman.36
36
Ibid., hlm. 70.