BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK DAN …erepo.unud.ac.id/16253/3/0890561062-3-BAB_II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK DAN …erepo.unud.ac.id/16253/3/0890561062-3-BAB_II.pdf ·...
58
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
KONTRAK DAN KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA
2.1 Istilah Perikatan, Perjanjian dan Kontrak
Buku III KUH Perdata tidak memberikan rumusan tentang
perikatan. Menurut Ilmu pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua ) orang atau lebih, yang
terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.42
Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu
hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam
pikiran kita. Perikatan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua
orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat
dinamakan perjanjian, yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian
janji-janji.43
Istilah perjanjian yang sebelumnya dikenal dengan persetujuan
merupakan terjemahan dari overeenkomst, yang bersumber dari Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
42 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, “Kompilasi Hukum Perikatan”, Bandung, Citra
Aditya Bhakti, hal. 1. 43 Subekti, 1980, “Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional”, Bandung, Alumni, hal.10.
59
“ Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan denga mana 1 (satu) orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.
Dalam bahasa aslinya berbunyi:
Eene overeenkomst is eene handeling waarbij een of meer
personen zich jegens een of meer andere verbinden.
Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUH
Perdata adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena
yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu
dikaatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbutan di dalam
lapangan hukum keluarga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang
diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata Buku III krterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain
dengan uang.44
Timbulnya perubahan istilah persetujuan ke perjanjian bersumber
dari KUHPerdata yang diterjemahkan Subekti dan Tjitrosudibio, dimana
pada awalnya kata overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan.
Namun pada KUHPerdata cetakan ke-25 terbitan tahun 1992, Subekti
dan Tjitrosudibio mencantumkan kata perjanjian sebagai ganti kata
persetujuan.
Kamus hukum menterjemahkan istilah Overeenkomst dengan
persetujuan atau permufakatan yang juga sinonim dengan istilah
44 Mariam Darus Badrulzaman, Op-Cit, hal. 65.
60
agreement atau conformity.45 Overeenkomst dalam struktur bahasa
belanda termasuk jenis kata benda dan bersifat tunggal, oleh karenanya
ketika berbicara tentang persetujuan maka yang digunakan adalah
overeenkomst. Sementara itu jika berbicara tentang segala persetujuan,
macam-macam persetujuan atau juga persetujuan-persetujuan,
dipergunakan overeenkomsten.
Overeenkomst dalam artinya sebagai persetujuan diperbedakan dengan
akkoord yang artinya setuju demikian juga dengan eenstemmig yaitu
sepakat, karena makna dari persetujuan adalah saling menyetujui atau saling
sepakat. Walaupun pengertian saling sepakat diartikan sebagai
persepakatan, dimana persepakatan adalah terjemahan overeenkomen, tidak
bisa semata-mata dipersamakan dengan persetujuan karena overeenkomst
lebih menekankan kepastian dalam sebuah kesepakatan. Oleh karenanya
terdapat kata verbinden didalam penjabaran pengertian overeenkomst yang
artinya membalut. Dalam KUHPerdata terjemahan Subekti dan
Tjitrosudibio, verbinden diterjemahkan sama dengan kata binden yang
artinya mengikat.
Perkembangan keilmuan tentang hukum perjanjian yang terjadi di
Indonesia diperoleh melalui proses penerjemahan ganda, karena terjadi dua
kali proses interpretasi dalam memahami satu masalah hukum yang
45 Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris,
Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 248.
61
bersumber dari Burgerlijk Wetboek. Hal ini berakibat pada apa yang
diterima oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia saat ini, lebih dipengaruhi
oleh bagaimana sarjana-sarjana hukum sebelumnya menginterpretasikan isi
Burgerlijk Wetboek. Proses penerimaan tersebut diikuti pula dengan proses
pengembangan pemikiran hukum perjanjian yang dilakukan sarjana-sarjana
hukum Indonesia sendiri.
Harus diakui bahwa sebagai sebuah terjemahan yang bersumber dari
Burgerlijk Wetboek, pendapat hukum tentang pengertian perjanjian yang
berkembang saat ini amatlah beragam. Walaupun para sarjana hukum
menganggap keragaman interpretasi perjanjian bukanlah hal yang penting
untuk diperdebatkan, namun pada kenyataannya sering tercantum
pemahaman-pemahaman yang berbeda antara istilah persetujuan dengan
perjanjian.
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah, bahwa perikatan
itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Dengan kata lain perjanjian adalah
sumber, bahkan sumber utama, dari perikatan. Suatu perikatan adalah suatu
pengertian abstrak (dalam arti tidak dapat dilihat dengan mata), maka
perjanjian adalah suatu peristiwa atau kejadian yang kongkrit.46
Berkaitan dengan istilah perjanjian, adalah hal yang tidak asing lagi
dikalangan sarjana hukum Indonesia bahwa terdapat istilah lain yang
cenderung dipersamakan dengan perjanjian, yaitu kontrak.
46 Subekti, Op-Cit, hal.11
62
Adapun istilah kontrak lazim ditujukan pada suatu perjanjian yang
diadakan secara tertulis atau yang diadakan dikalangan bisnis (dunia
usaha).47
2.1.1 Pengertian Kontrak
Istilah kontrak berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris.
Dalam bahasa Prancis “contrat” dan dalam bahasa Belanda
“overeenkomst” sekalipun kadang-kadang juga digunakan istilah
“contract”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis atau
komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah
perjanjian cakupannya lebih luas. 48
Dalam literatur-literatur yang berkaitan tentang hukum kontrak,
hukum bisnis dan hukum perjanjian, terdapat beberapa pemikiran yang
menganggap kedua istilah tersebut sama dan ada pula yang membedakan
pengertian antara keduanya :
a. Hasanudin berpendapat dalam tulisannya yang berjudul contract
drafting49, bahwa kontrak itu tidak lain adalah perjanjian itu sendiri
selama perjanjian yang dimaksud itu sifatnya mengikat. Dasar alasan
pendapat Hasanudin tersebut adalah Pasal 1233 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa perikatan itu dilahirkan dari perjanjian dan undang-
undang. Sedangkan dalam hukum perdata Indonesia, merujuk ke pasal
47 Subekti, ibid. 48 Hasanudin Rahman, op-cit, hlm. 2 49 Hasanudin Rahman, ibid.
63
1313 KUH Perdata, maka kontrak itu diartikan dengan overeenkoms
yang bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti perjanjian.
b. Ridwan Khairandy, dalam bukunya Itikad Baik dalam Kebebasan
Berkontrak, menyebutkan definisi kontrak yang juga sejajar dengan
pengertian perjanjian, yaitu:50
“Kontrak adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu pihak
atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih atau dimana
keduanya saling mengikatkan diri.”
c. Munir Fuady berpendapat bahwa terdapat banyak definisi tentang
kontrak dan masing-masing bergantung pada bagian-bagian mana dari
kontrak tersebut yang dianggap penting, maka bagian itulah yang akan
ditonjolkan dalam definisi tersebut.51
d. Salim HS berpendapat kontrak adalah hubungan hukum antara subjek
hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahi bahwa
subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek
hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai
dengan yang telah disepakatinya.52
e. J.D. Karla berpendapat bahwa dalam pengertiannya yang luas, kontrak
adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau
50 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan II, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 38 51 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional: Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cetakan Pertama,
P.T. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 4 (Selanjutnya disebut Munir Fuady II) 52 Salim HS, 2005, “Perkembanga Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku
Kesatu), cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal.17.
64
lebih. Kontrak itu bisa bersifat tertulis maupun tidak tertulis dan untuk
kontrak yang bersifat tertulis dapat berupa memo, sertifikat, atau
kuitansi. Dikarenakan hubungan kontraktual dibuat oleh dua pihak atau
lebih yang berpotensi menimbulkan pertentangan kepentingan, maka
perlu adanya persyaratan-persyaratan dalam kontrak sebagai pembatasan
secara hukum. Fungsinya adalah untuk melindungi para pihak dalam
kontrak dan mendefinisikan hubungan khusus antar para pihak dalam
kontrak bila ketentuan dalam kontrak itu tidak jelas, mendua, atau tidak
lengkap.53
f. Hikmahanto berpendapat dalam tulisannya yang berjudul teknik
pembuatan dan penelaahan kontrak bisnis, bahwa pengertian kontrak
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana
masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan
satu atau lebih prestasi. Hikamahanto selanjutnya menyimpulkan bahwa
dalam pengertian yang demikian itu, maka kontrak merupakan
perjanjian. Namun demikian kontrak merupakan perjanjian yang
berbentuk tertulis.54
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan,
bahwa timbulnya istilah kontrak dikarenakan adanya asumsi-asumsi sebagai
berikut:
53 J.D. Karla C. Shippey, 2001, “Menyusun Kontrak Bisnis Internasional”, Cetakan
Pertama, PPM, Jakarta, hal.1 54 Hikmahanto Juwana, 2001,”Teknik Pembuatan dan Penelaahan Kontrak Bisnis”,
Pascasarjana FH-UI, hal. 1
65
a. Asumsi tuntutan kepastian hukum.
Asumsi yang dikenal dan melekat di masyarakat bahwa berbicara tentang
kontrak berarti berbicara tentang “surat kontrak”, yaitu sesuatu yang
diyakini sebagai “bukti hitam diatas putih”. Tuntutan masyarakat yang
menginginkan adanya jaminan kepastian hukum untuk memperoleh
perlindungan hukum atas harta bendanya, meyakini bahwa satu-satunya
bukti terkuat selain saksi adalah bukti yang tertulis.
b. Asumsi perdagangan, bisnis dan komersialisme. Praktek perdagangan
dan bisnis yang terjadi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak
dalam setiap transaksi dan umumnya bersifat tertulis.
c. Asumsi transaksi non-riil (tidak tunai). Dalam dunia perdagangan dan
bisnis, selain karena transaksi yang terjadi berpotensi pada kerugian
materiil yang tidak kecil sehingga diperlukan bukti tertulis dalam
perjanjiannya, pelaksanaan transaksi juga jarang dilakukan secara riil.
d. Asumsi kesepakatan antara dua pihak. Kontrak selain dipahami sebagai
surat perjanjian, dipahami juga sebagai hasil tertulis yang isinya tentang
kesepakatan diantara dua pihak, sangat janggal ditelinga masyarakat jika
terjadi hibah yang dimuat dalam suatu kontrak hibah.
e. Asumsi kesepadanan bahasa. Istilah kontrak sudah lama dikenal di
Indonesia, sejak istilah contract dalam bahasa Inggris berhasil
diterjemahkan sebagai kontrak dalam bahasa Indonesia dan merupakan
sinonim dari perjanjian. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian
dikenal asas kebebasan berkontrak yang merupakan terjemahan dari
66
freedom of contract, sangat janggal bila diartikan dengan kebebasan
dalam perjanjian. Namun makna freedom of contract tetap dapat
diartikan secara lebih halus menjadi kebebasan dalam membuat
perjanjian, mengingat pengertian hukum dari kebebasan berkontrak
dalam kamus hukum perjanjian selalu mengarah pada tahap pra-kontrak
(pembuatan perjanjian).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan unsur-
unsur dalam hukum perjanjian, yaitu:55
a. Adanya kaidah hukum.
Kaidah hukum kontrak terdiri atas dua macam, yaitu tertulis dan tidak
tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundangan, traktat dan yurisprudensi.
Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah
hukum yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat.
b. Subyek hukum.
Istilah lain dari subyek hukum adalah rechtperson, yang diartikan
sebagai salah satu kategori yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban.
Subyek hukum di dalam hukum perjanjian terdiri dari dua pihak, yaitu
pihak yang berkewajiban (debitur) dan pihak yang berhak (kreditur).
55 Salim H.S., Loc - Cit.
67
c. Prestasi.
Prestasi adalah sesuatu yang menjadi hak subyek hukum (hak kreditur)
dan disisi lain merupakan kewajiban subyek hukum yang lain (kewajiban
debitur). Prestasi terdiri dari: melakukan sesuatu dan tidak melakukan
sesuatu.
d. Kesepakatan.
Perjanjian yang sah secara hukum adalah perjanjian yang telah
memenuhi syarat-syarat keabsahannya (Pasal 1320 KUH Perdata), salah
satunya adalah tercapainya kata sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara para pihak.
e. Hubungan hukum.
Hubungan tercipta antar para pihak yang sah secara hukum telah
menimbulkan akibat-akibat yang dikehendaki hukum.
f. Akibat Hukum.
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak secara sah menurut hukum akan
menimbulkan akibat hukum dalam hubungan mereka. Akibat hukum
yang terjadi dalam hubungan antar pihak meliputi hak dan kewajiban.
Hak adalah suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban adalah beban
tuntutan akibat dari adanya hak tersebut.
Perjanjian yang sah secara hukum adalah perjanjian yang
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan menurut hukum, dimana
68
persetujuan antar para pihak dilakukan berdasarkan 4 (empat) syarat
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata:56
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan
yang bebas untuk mengikatkan diri dan kamauan itu harus dinyatakan.
Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.
Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang
sah, dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri.
orang yang dianggap cakap berbuat hukum adalah orang yang telah
dewasa, yaitu orang yang telah berumur 21 tahun penuh dan atau orang
yang telah kawin dan tidak berada di bawah pengampuan. Beberapa
golongan orang oleh Undang-undang dinyatakan ”tidak cakap” untuk
melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Dalam Pasal 1330 KUH
Perdata, disebutkan tentang orang-orang yang tidak cakap membuat
perjanjian sebagai berikut :
1) Orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
56 Subekti, 1987, ”Hukum Perjanjian”, Cet. XI , Intermasa, Jakarta, hal. 17-18.
69
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang dan semua orang yang dilarang oleh undang-undang untuk
mengadakan perjanjian tertentu.
Apabila dilihat dari sudut rasa keadilan bahwa orang yang membuat
perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, harus
mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dari perjanjian itu. Dilihat dari sudut
kepastian hukum, karena seseorang yang membuat suatu perjanjian itu
berarti mempertaruhkan seluruh harta kekayaannya, maka orang tersebut
harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta
kekayaannya itu. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut
hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya dan berada
di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya sama dengan anak
yang belum dewasa. Kalau anak yang belum dewasa harus diwakili oleh
orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah
pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.57
c. Suatu hal tertentu.
Hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
57 Subekti, Ibid
70
d. Suatu sebab yang halal.
Maksudnya adalah bahwa hal yang diperjanjiakan oleh para pihak
merupakan perbuatan yang dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan
yang melanggar hukum.
Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut
subyeknya. Apabila salah satu unsur tidak terpenuhi dapat dimintakan
pembatalan, sedangkan dua syarat yang terakhir menyangkut obyeknya dan
apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka akan batal demi hukum.
Setelah membahas pengertian kontrak dan syarat sahnya suatu
perjanjian, ada baiknya juga disinggung unsur-unsur yang harus dipenuhi
pada waktu menyusun suatu kontrak.
Unsur-unsur kontrak ada tiga, yaitu:
a. Essensialia, adalah unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian
yang sifatnya mutlak harus ada, sebab tanpa adanya unsur ini suatu
perjanjian tidak mungkin ada.
b. Naturalia, adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, artinya
bagian dari suatu perjanjian yang tanpa diperjanjikan dianggap ada dalam
perjanjian tersebut.
c. Accedentalia, Adalah unsur yang secara khusus dan tegas diperjanjikan
dalam perjanjian.
71
2.1.2 Fungsi Kontrak Pada Umumnya
Kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik
dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional.
Fungsinya sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang
dibentuk dari janji-janji dari para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi.
Dalam hal terjadi pelanggaran maka terdapat kompensasi yang harus
dibayar. Kontrak dengan demikian merupakan sarana untuk memastikan
bahwa apa yang hendak dicapai oleh para pihak dapat diwujudkan .
Isi kontrak pada umumnya berkaitan dengan pertukaran ekonomi. Hukum
kontrak dengan demikian merupakan instrumen hukum yang mengatur
terjadinya pertukaran itu dan sekaligus memberikan bentuk perlindungan
bagi pihak yang dirugikan.
Menurut J Beatson dalam Yohanes Sogar Simamora terdapat dua fungsi
penting dari kontrak yaitu :58
1. Untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah
dipertukarkan;
2. Mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang
direncanakan dan memberikan aturan bagi kelanjutannya kedepan.
Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan mengenai
perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan dalam kontrak
yang dibuat.
58 Yohanes Sogar Simamora, 2009,”Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah”, LaksBang, Yogyakarta, hal. 32
72
Menurut P.S Atiyah dalam Yohanes Sogar Simamora, secara fundamental
terdapat tiga tujuan hukum kontrak, berikut ini :59
1. Hukum kontrak merupakan sarana bagi para pihak untuk
mengakomodasikan seluruh kepentingannya.
2. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji tersebut
menimbulkan harapan-harapan yang layak.
3. Hukum kontrak merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk
menjamin pelaksanaan janji dan harapan itu.
Jadi dengan demikian fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah
dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi
ekonomis kontrak adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan
yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.60
2.1.3 Asas-Asas Hukum Kontrak
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa sistem hukum
merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun
tertib hukum.61 Sistem hukum dibangun berdasarkan asas-asas yang diakui
dan menjadi dasar pembentukan suatu peraturan, asas hukum diartikan
59 Ibid, hal. 33 60 Salim HS, 2005, “Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku
Kesatu”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35 61 Mariam Darus Badrulzaman, 1990, “Hukum Benda Nasional”, Alumni, Bandung,
hal. 15.
73
sebagai : suatu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat didalam dan dibelakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.62“
Asas hukum bukanlah peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas
hukum merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang sifatnya
umum dan abstrak.
Asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang
kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi
elemen yuridis dari sebuah sistem hukum perjanjian. Jika norma hukum
perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas hukumnya maka norma hukum
itu akan kehilangan jati diri dan semakin memberikan percepatan bagi
runtuhnya norma hukum tersebut. Suatu norma hukum perjanjian yang baik
harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak
membingungkan (unambiguous).63
Dalam penyusunan suatu kontrak, harus didasari pada prinsip hukum
dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar
yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari
62 Sudikno Mertokusumo, 1999, “Mengenal Hukum (suatu Perjanjian)”, Liberty,
Yogyakarta, hal.32 63 Romli Atmasasmita, 2006, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, Prenada Medan,
Jakarta, hal.17
74
unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang
telah para pihak sepakati.
Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak adalah sebagai
berikut :
a. Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yaitu ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan;
4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
b. Asas Konsensualisme.
Asas konsensualisme dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,
dimana dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
75
c. Asas Kepastian Hukum.
Asas kepastian hukum dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: ” Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.”
Asas kepastian hukum disebut juga asas pacta sunt servanda. Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.
d. Asas Iktikad Baik.
Asas iktikad baik dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yang berbunyi : ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak harus
melaksanakan subtansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik para pihak. Asas ini dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu :
1) Iktikad baik nisbi;
Pada iktikad baik ini orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subyek.
76
2) Iktikad baik mutlak;
Pada iktikad baik ini penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang obyektif.
e. Asas Kepribadian.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Asas ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340
KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi :
”pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian melainkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri”.
Sedangkan pasal 1340 KUH Perdata berbunyi :
“persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya. “
f. Asas Keseimbangan.
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang”
(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban
di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Keseimbangan
dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari
perbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya,
atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya”. Hal ini berarti bahwa
kata keseimbangan pada satu sisi, dibatasi oleh satu kehendak (yang
dimunculkan oleh atau keadaan yang menguntungkan), dan pada sisi
77
lainnya, oleh keyakinan (akan kemampuan untuk) mengejawantahkan
hasil atau akibat yang dikehendaki.64 Hal ini berarti bahwa janji antara
para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada asas
adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum atau adanya keseimbang antara kepentingan kedua
belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.
Dengan adanya asas ini maka berarti bahwa para pihak mempunyai
kedudukan yang seimbang, tidak ada pihak yang memposisikan dirinya
sebagai pihak yang mendominasi atau didomisani oleh pihak yang lain.
2.2 Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
2.2.1 Pengertian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
Kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah
merupakan jenis kontrak yang rutin dilakukan oleh pemerintah untuk
memenuhi aneka kebutuhan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Di Indonesia, batasan kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan
Pemerintah dapat kita telusuri dari Perpres yang mengatur pedoman
pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah yaitu Perpres
No. 54 Tahun 2010.
Dalam pasal 1 angka 22 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 batasan kontrak
pengadaan barang/jasa adalah :
64 Herlien Budiono, 2006, “Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 304
78
“ perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pengelola
swakelola”.
Batasan pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah dirumuskan dalam
pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang selengkapnya berbunyi :
“Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”
Dalam kajian tentang kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan
Pemerintah, pemahaman tentang siapa yang dimaksud pemerintah merupakan
sasaran yang essensial, tidak saja karena kedudukan pemerintah yang
istimewa sebagai kontraktan tetapi juga untuk menentukan wilayah penerapan
hukum tentang pengadaan barang/jasa oleh instansi pemerintah.
Seperti yang diungkapkan oleh Sujan dalam Yohanes Sogar Simamora65
memahami apa yang dimaksud sebagai pemerintah mungkin tidak terlalu sulit,
tetapi memberikan definisi merupakan usaha yang tidak mudah karena difinisi
selalu saja tidak dapat mencakup seluruh sisi dan karenanya tidak pernah
memuaskan. Sering istilah pemerintahan digunakan sebagai sinonim untuk
negara, atau sebaliknya. Secara etimologis itu tidak benar, sekalipun memang
fungsi negara nampak jelas dari apa yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh
sebab itu dalam konteks kajian kontrak pengadaan barang/jasa bagi keperluan
65Yohanes Sogar Simamora, Op-cit, hal.66.
79
pemerintah, pengertian pemerintah harus dipahami dalam organisasi
pemerintahan atau kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan dan bukan
dalam pengertian fungsi pemerintahan atau kegiatan memerintah.66
Sejauh ini belum ditemukan secara eksplisit batasan tentang
pemerintah baik dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun undang-
undang. Pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara memberi batasan pemerintah sebagai “pemerintah pusat
dan/atau pemerintah daerah”. Apa yang dimaksud pemerintah pusat dan
daerah masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Sejauh yang menyangkut kontrak pengadaan barang/jasa bagi
keperluan pemerintah belum ditemukan ketentuan yang menentukan siapa
yang disebut pemerintah. Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, juga
Keppres-Keppres sebelumnya yang mengatur tentang pelaksanaan APBN
yang menjadi dasar hukum bagi pengadaan barang/jasa oleh Pemerintah, tidak
secara tegas menyebutkan pengertian pemerintah, kecuali pasal 1 angka 2
Keppres No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang menyebutkan,
”Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara,
Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Instansi
Pemerintah lainnya”.
66 Philipus M Hadjon,dkk, 2002, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah Mada
University Press, cet. VIII, Yogyakarta, hal. 6-7.
80
Telah disebutkan tadi, pengadaan barang/jasa bagi keperluan
Pemerintah yang dimaksud oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2010 kegiatan
untuk memperoleh pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa”, sedangkan kontrak didifinisikan sebagai
”perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana
Swakelola”.
Siapa yang dimaksud pengguna barang/jasa, dapat dijumpai dalam Pasal 1
angka 3 Perpres No. 54 Tahun 2010 yang selengkapnya berbunyi ”Pengguna
Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang
dan/atau Jasa milik Negara/Daerah dimasing-masing
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya”.
Jadi yang dimaksud dengan pengguna barang/jasa, yaitu :
1) Kepala kantor;
2) Kepala Satuan Kerja;
3) Pemimpin Proyek;
4) Pemimpin Bagian Proyek;
5) Pengguna Anggaran Daerah;
6) Pejabat yang disamakan.
Sementara organisasi pengadaan barang/jasa terdiri dari :
1) Pengguna Anggaran (PA);
2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
81
3) Unit Layanan Pengadaan (ULP);
4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP).
Sementara itu yang dimaksud sebagai Pengguna Anggaran (PA)
sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 angka 5 Perpres No. 54 Tahun 2010
adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang
disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010,
yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah adalah
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PengadaanBarang/Jasa.
Yang dimaksud dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP)
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 8 Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah
unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa di Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit
yang sudah ada.
Sedangkan yang dimaksud dengan Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan (PPHP) sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 10 adalah
panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan
menerima hasil pekerjaan.
82
2.2.2 Sejarah Perkembangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
Jika dikaitkan dengan wewenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka yang dapat diklasifikasikan sebagai
pembentuk undang-undang orisinil adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sebagai pembentuk konstitusi. Sedangkan yang diklasifikasikan
sebagai pembentuk Undang-Undang yang diwakilkan adalah Presiden yang
berdasarkan pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”.
Ini berarti Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk
menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan
peraturan pemerintah (pouvoir reglementair), dimana diciptakan wewenang-
wewenang pemerintahan kepada badan/pejabat TUN. Dalam hal ini
Presiden mendapat kewenangan delegasi dari Badan Legislatif untuk
membuat suatu undang-undang yang berlaku khusus dalam bidang
administrasi untuk menjalankan pemerintahan. Karena undang-undang yang
dibuat oleh Badan Legislatif pada dasarnya bersifat umum.
Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Jay A Sigler yang menyatakan
“legislative bodies often delegate considerable power to administrative
83
agencies to effect the purposes of statutes. This has given rise to
administrative policies, since statutes are often quite general.67
Maka sejalan dengan hal tersebut diatas, Presiden akan
mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menunjang dilaksanakannya
pembangunan, salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010
yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, agar pengadaan barang/jasa bagi keperluan pemerintah yang
dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan dengan
efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan
perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya
bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.
Dewasa ini aturan yang secara khusus mengatur pengadaan
barang/jasa bagi keperluan Pemerintah adalah Perpres No. 54 Tahun 2010.
Perpres ini merupakan hasil penyempurnaan dari perjalanan panjang
ketentuan pengadaan barang/jasa oleh Pemerintah sejak Keputusan Presiden
No. 11 Tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran
1973/1974 (Keppres No. 11 Tahun 1973). Setelah Keppres No. 11 Tahun
1973 berturut-turut hampir setiap tahun lahir keppres baru karena memang
67 Jay A Sigler and Benjamin R Beede, 1977, “The legal sources of public policy”,
Lexington Books, D.C Heath and Company, Massaehusetts, Toronto, page 27.
84
keppres yang bersangkutan mengatur tentang pelaksanaan APBN. Namun
ketentuan pengadaan barang bagi pemerintah selalu disisipkan di dalamnya.
Baru setelah tahun 2000 lahir keppres yang secara khusus mengatur tentang
pengadaan. Keputusan Presiden yang terkait dengan pengadaan barang/jasa
bagi keperluan Pemerintah setelah Keppres No. 11 Tahun 1973 tersebut
adalah :
1. Keppres No. 17 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun
Anggaran 1974/1975.
2. Keppres No. 7 Tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun
Anggaran 1975/1976
3. Keppres No. 14 Tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun
Anggaran 1976/1977.
4. Keppres No. 12 Tahun 1977 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
5. Keppres No. 14 Tahun 1979 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
6. Keppres No. 14 A Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
7. Keppres No. 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan
Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
8. Keppres No. 29 Tahun 1984 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
9. Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
10. Keppres No. 24 Tahun 1995 tentang Perubahan Atas Keppres No. 16
Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN.
85
11. Keppres No. 6 Tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keppres No. 16
Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24 Tahun
1995 tentang APBN.
12. Keppres No. 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN.
13. Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
14. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
15. Keppres No. 61 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No. 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
16. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 2005 tentang
Perubahan Ke Tiga Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
17. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2006 tentang
Perubahan Ke Empat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
18. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 79 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
19. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 85 Tahun 2006 tentang
Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
86
20. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 95 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
21. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Dari daftar diatas nampak bahwa Perpres tersebut merupakan
peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tentang APBN.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, keppres-keppres itu juga mengacu pada Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang keuangan.68
Keppres yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa bagi keperluan
Pemerintah tersebut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :69
1) Yang termuat dan menjadi bagian dari keppres tentang pelaksanaan
APBN;
2) Dalam keppres yang substansinya khusus tentang mengatur pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Selanjutnya akan dipaparkan perkembangan aturan pengadaan
tersebut :70
68 Salim HS, 2006, “Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata”, Ed I, Cet. 1,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 259 69 Yohanes Sogar Simamora, Op-cit, hal.127 70 Yohanes Sogar Simamora, Ibid, hal.128
87
1. Periode 1973 - 2000
Keppres No. 11 Tahun 1973 merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang No. 3 Tahun 1973 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Tahun 1973/1974 (LN 1973 No. 10, TLN No. 2998)
Ketentuan yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa
Pemerintah tertuang dalam Bab I tentang Pedoman Pokok khususnya
yang mengatur tentang Pengeluaran Negara. Dalam Keppres ini belum
ditentukan apa substansi yang harus dalam kontrak kecuali menetapkan
kontrak yang dilarang. Jenis kontrak yang dilarang adalah yang bersifat
cost-plus fee, yaitu jenis kontrak yang besarnya biaya pemborongan tidak
dinyatakan dengan pasti terlebih dahulu, melainkan baru akan ditetapkan
kemudian dengan menghitung biaya ditambah dengan upah atau
keuntungan.
Sampai dengan terbitnya Keppres No. 14 Tahun 1976 sejauh yang
menyangkut pengeluaran negara tidak banyak perubahan. Dengan
demikian aturan tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah yang tertuang
dalam Keppres No. 17 Tahun 1974 dan Keppres No. 7 Tahun 1975 pada
dasarnya sama dengan apa yang tertuang dalam Keppres No. 11 Tahun
1973 kecuali tentang batas minimal nilai pekerjaan atau pembelian
barang yang harus dilelangkan karena memang diperlukan penyeseuaian
berhubung kenaikan harga pada tiap tahunnya.
88
Perubahan yang signifikan adalah ketika tahun 1975 terdapat
keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dalam pengadaan
barang/jasa.
Dalam kurun waktu antara 1977 sampai 1980 aturan pengadaan
barang/jasa Pemerintah mengalami perubahan yang fundamental yakni :
Pertama, melalui Keppres No. 12 Tahun 1977, pengaturan tentang
pengutamaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa
berkembang menjadi lebih jelas dan diatur pula larangan perangkapan
fungsi pekerjaan (pelaksana pekerjaan tidak boleh merangkap sebagai
pengawas pelaksanaan).
Kedua, dalam Keppres 14 Tahun 1979, aturan pengadaan barang/jasa
pemerintah khususnya yang berkaitan dengan aspek kontrak berkembang
lagi yaitu dengan diaturnya mengenai isi perjanjian, sesuatu yang tidak
diatur dalam Keppres sebelumnya, Pasal 18 ayat (4) Keppres No. 14
Tahun 1979 mensyaratkan hal-hal yang sekurang-kurangnya harus
dimuat dalam perjanjian, yakni :
- Pokok yang diperjanjikan;
- Harga dan syarat-syarat pembayaran;
- Persyaratan dan spesifikasi teknis;
- Jangka waktu penyelesaian;
- Sanski dan status hukum;
- Hak dan kewajiban.
89
Keppres No. 14 Tahun 1979 juga memuat kebijakan pemerintah tentang
partisipasi golongan ekonomi lemah dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah secara kongkrit disamping keharusan untuk
mengutamakan produksi dalam negeri.
Ketiga, perkembangan yang dapat kita telusuri melalui Keppres 14A
Tahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 18
Tahun 1981. Disamping lebih lengkap dalam mengatur lebih lengkap
daam mengatur perihal mekanisme pembayaran kepada rekanan dan
alam menentukan kriteria produksi dalam negeri, Keppres 14A Tahun
1980 juga menentukan kriteria perusahaan yang digolongkan sebagai
perusahaan golongan ekonomi lemah serta tugas bagi Tim Pengendali
Pengaaan Barang/Peralatan Pemerintah yang dibentuk melalui Keppres
No. 10 Tahun 1980 untuk menetapkan standar surat perjanjian/kontrak
bagi pelaksanaan pemborongan/pembelian.
Tahapan perkembangan berikutnya adalah dalam kurun waktu
antara 1984 sampai dengan 1994. Dengan diterbitkannya Keppres No. 29
Tahun 1984, aturan pengadaan barang/jasa oleh pemerintah mengalami
perubahan yang mendasar.
Terdapat empat hal yang patut diperhatikan dalam Keppres ini, yaitu :
Pertama, keharusan menggunakan hasil produksi dalam negeri dijadikan
salah satu prinsip dasar dalam pengeluaran anggaran.
Kedua, metode pengadaan berkembang menjadi empat jenis dari tiga
jenis yang sebelumnya diterapkan. Jenis yang keempat itu adalah
90
pengadaan langsung yaitu bentuk pelaksanaan pemborongan/pembelian
yang dilakukan diantara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah
tanpa melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas atau penunjukan
langsung. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yag lebih
luas kepada pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah sebagai upaya
pembimbingan untuk meningkatkan kemampuan yang lebih besar dan
sekaligus usaha untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan.
Ketiga, adalah tentang SPK yang dalam Keppres sebelumnya tidak
dijelaskan. Dalam pasal 20 ayat (1) Keppres No. 29 Tahun 1984 ini
ditentukan apa yang sekurang-kurangnya harus dimuat dalam SPK. Isi
SPK ternyata pada dasarnya sama dengan perjanjian tetapi lebih ringkas.
Bagian komparisilah yang membedakan dengan perjanjian, sebab
dibagian ini dituangkan pihak yang memerintahkan dan yang menerima
perintah pelaksanaan pekerjaan serta ditandatangani oleh kedua belah
pihak.
Keempat, Keppres ini melarang perumusan klausula sanksi ganti rugi
bagi pemerintah dalam perjanjian. Dengan demikian sanksi hanya
berlaku bagi pemborong/rekanan.
Sampai tahun 2000, aturan pengadaan barang/jasa pemerintah tidak
mengalami perubahan yang fundamental.
91
2. Periode 2000 – 200771
Sebagai konsekuensi dari penerimaan Indonesia terhadap World
Trade Organization (WTO) yang ditandai dengan diratifikasinya melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization, kebijakan dan aturan hukum
dan aturan hukum mengenai pengadaan barang/jasa bagi pemerintah
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Isu transparansi dan
penolakan terhadap perlakukan yang diskriminatif yang bergaung kuat
sangat mempengaruhi pembentukan Keppres ini. Pengaruh ini nampak
dalam bagian yang memuat prinsip dasar dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah dan aturan-aturan yang termuat di dalamnya. Pada periode
ini perkembangan aturan hukum pengadaan meliputi dua tahap yakni
dalam Keppres No. 18 Tahun 2000 dan Keppres No. 80 Tahun 2003,
yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 61 Tahun 2004 dan
Perpres No. 32 Tahun 2005.
Keppres No. 18 Tahun 2000 merupakan tonggak sejarah dalam aturan
pengadaan barang/jasa di Indonesia. Melalui Keppres inilah kebijakan
dan aturan hukum pengadaan mengalami perubahan total pada seluruh
aspeknya termasuk yang menyangkut aspek kontrak pengadaan. Apabila
ketentuan tentang pengadaan yang sebelumnya hanya disisipkan dalam
Keppres pelaksanaan APBN maka dengan dikeluarkannya Keppres No.
71 Yohanes Sogar Simamora, Ibid, hal.140
92
18 Tahun 2000, aturan pengadaan bersifat terpisah dan khusus.
Pemisahan aturan pelaksanaan pengadaan barang/jasa dari pelaksanaan
APBN ditegaskan dalam pasal 12 Keppres No. 17 Tahun 2000 yang
berbunyi : “Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa diatur dengan
Keputusan Presiden”.72
Keppres ini juga menegaskan tentang prinsip-prinsip pengadaan
yang dianut, yaitu : efesien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak
diskriminatif dan bertanggungjawab. Prinsip-prinsip ini perlu ditekankan
agar dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi lebih
efisien, partisipasi dan persaingan yang sehat dan terbuka diantara
penyedia barang/jasa.
Dari sisi metode pengadaan juga dalam Keppres ini mengalami
perubahan yang prinsipil. Apabila dalam Keppres sebelumnya hanya
ditentukan empat jenis metode pengadaan yag meliputi pengadaan untuk
berbagai macam barang dan jasa, maka dalam keppres ini jenis metode
pengadaan disesuaikan dengan objek pengadaan. Untuk objek pengadaan
yang berupa pengadan barang dan jasa pemborongan, sesuai dengan
ketentuan pasal 12 ayat (2) Keppres No. 18 Tahun 2000 digunakan
metode pelelangan, pemilihan langsung, penunjukan langsung dan
swakelola. Sedangkan untuk objek pengadaan jasa konsultasi dilakukan
72 Keputusa Presiden No. 17 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara LN RI Tahun 2000 No. 14, TLN RI No. 3930
93
dengan cara sesuai dengan yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) Keppres
No. 18 Tahun 2000 yang berbunyi :
” Pelaksanaan pengadaan jasa konsultasi dilakukan dengan salah satu
cara : a. seleksi umum; b. seleksi langsung; c. penunjukan langsung”.
Ketentuan yang menyangkut kontrak pengadaan ditempatkan pada
Bab V, yang mengatur tentang isi kontrak dan jenisnya, juga diatur
tentang keharusan adanya pendapat hukum (legal opinión) dari ahli
hukum kontrak sebelum kontrak ditutup untuk jenis kontrak yang
kompleks dan atau bernilai diatas Rp. 50.000.000.000,-.
Ketentuan mengenai sanksi yang sebelumnya selalu bersifat sepihak,
dengan Keppres ini ditegaskan bahwa klausula sanksi dalam kontrak
pengadaan berlaku bagi kedua belah pihak. Dengan demikian pengguna
jasa yang note bene adalah pemerintah juga dapat dikenai sanksi jika lalai
dalam melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya klausula sanksi bagi
kedua belah pihak maka sekaligus ini mencerminkan bahwa dalam
kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah setidaknya, secara normatif,
telah terdapat keseimbangan kewajiban kontraktual bagi para pihak.
Selanjutnya pada tanggal 3 November 2003, diterbitkanlah Keppres
No. 80 Tahun 2003. Pada Keppres No. 80 Tahun 2003, juga disyaratkan
adanya sertifikasi keahlian yaitu tanda bukti pengakuan atas kompetensi
dan kemampuan profesi dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah
yang merupakan persyaratan seseorang untuk diangkat sebagai pengguna
barang/jasa atau panitia/pejabat pengadaan.
94
Pejabat pengadaan sebagaimana didefinisikan dalam pasal 1 angka 9
Keppres ini adalah personil yang diangkat oleh pengguna barang/jasa
untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa dengan nilai
sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Sedangkan panitia pengadaan adalah tim yang diangkat oleh pengguna
barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa (pasal 1
angka 8 Keppres No. 80 Tahun 2003).
Syarat yang diperlukan dalam pengangkatan seseorang sebagai anggota
panitia pengadaan sebagaimana diatur dalam Bab I huruf B angka 2
Lampiran I Keppres No. 80 Tahun 2003 adalah yang memiliki
kemampuan dalam memahami :
1) Tata cara pengadaan;
2) Substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan; dan
3) Hukum-hukum perjanjian/kontrak.
Dari syarat bahwa anggota panitia pengadaan harus memiliki
pemahaman dan menguasai hukum perjanjian/kontrak, hal ini
menunjukkan bahwa Keppres ini menempatkan aspek kontrak sebagai
bagian yang sangat penting dalam keseluruha proses pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Perihal kontrak pengadaan barang/jasa dalam Keppres ini diatur
dalam Bab II Bagian Kesebelas. Terdapat sepuluh pasal yang secara
khusus mengatur tentang kontrak pengadaan barang/jasa bagi
pemerintah, yaitu mulai pasal 29 sampai dengan pasal 38. Dalam kaitan
95
ini yang diatur sesuai dengan urutan pasal adalah menyangkut : isi
kontrak, jenis kontrak, penandatanganan kontrak, pembayaran uang
muka dan prestasi pekerjaan, perubahan kontrak, penghentian dan
pemutusan kontrak, serah terima pekerjaan, sanksi apabila para pihak
tidak memenuhi kewajibannya dan penyelesaian perselisihan.
Keppres ini membedakan tiga jenis dasar pembentukan kontrak
pengadaan, yaitu :
1) berdasarkan bentuk imbalannya :
♦ kontrak lumpsum;
♦ kontrak harga satuan;
♦ kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan;
♦ kontrak terima jadi (turn key);
♦ kontrak persentase.
2) berdasarkan jangka waktunya :
♦ kontrak tahun tunggal;
♦ kontrak tahun jamak (multi years).
3) jumlah pengguna barang/jasanya :
♦ kontrak pengadaan tunggal;
♦ kontrak pengadaan bersama.
Keppres-keppres setelah Keppres No. 80 Tahun 2003 tidak
mengalami perubahan yang mendasar, sehingga dalam pembuatan kontrak
pengadaan tetap berpedoman pada Keppres No. 80 Tahun 2003.
96
Pada tanggal 6 Agustus 2010, ditetapkanlah Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk
mengganti Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman Pengadaan
Barang/Jasa Bagi Pemerintah.
Dengan dikeluarkannya Perpres No. 54 Tahun 2010 ini diharapkan
dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara,
dan percepatan pelaksanaan APBN/ PBD. Selain itu, Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang berpedoman pada Peraturan Presiden ini ditujukan untuk
meningkatkan keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha-usaha
kecil, serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa
dengan mengutamakan penggunaan industri strategis dalam negeri.
Selanjutnya, ketentuan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan
Presiden ini diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah
terhadap proyek/kegiatan yang pelaksanaannya dilakukan melalui skema
pembiayaan bersama (cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.73
Perihal kontrak pengadaan barang/jasa dalam Perpres No. 54
Tahun 2010 tersebar dalam beberapa bab yakni :
- Bab IV, Bagian Ketiga pada paragraf keenam, pasal 50 – pasal 55
mengatur tentang jenis kontrak pengadaan barang/jasa;
73 Penjelasan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentatang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, hal. 1
97
- Bab VI, bagian keenam, pasal 64 mengatur tentang penyusunan dokumen
pengadaan barang/jasa;
- Bab VI, bagian kesepuluh, paragraph 11, pasal 86 mengatur tentang
penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa;
- Bab VI, bagian kesebelas pada pasal 87 hingga pasal 95 mengatur
tentang pelaksanaan kontrak;
- Bab XV, bagian keempat mengatur tentang sanksi baik sanksi yang
dijatuhkan kepada penyedia barang maupun kepada pemerintah dalam
hal ini diwakili oleh PPK maupun ULP.
Pada Perpres No. 54 Tahun 2010 membedakan 4 jenis kontrak
dalam pengadaan barang/jasa untuk keperluan pemerintah sebagai berikut :
a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran;
b. Kontrak berdasarkan Tahun Anggaran;
c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan
d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan.
Kontrak pengadan barang/jasa berdasarkan cara pembayaran dibedakan
menjadi :
a. Kontrak lumpsum;
b. Kontrak harga satuan;
c. Kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan;
d. Kontrak persentase; dan
e. Kontrak terima jadi (turn key).
98
Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran dibedakan menjadi :
a. Kontrak tahun tunggal;
b. Kontrak tahun jamak.
Kontrak berdasarkan sumber pendanaan dibedakan menjadi :
a. kontrak pengadaan tunggal;
b. kontrak pengadaan jamak;
c. Kontrak payung (framework contract).
Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan dibedakan menjadi :
a. Kontrak pengadaan pekerjaan tunggal;
b. Kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.