BAB III PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG...
-
Upload
truongkien -
Category
Documents
-
view
223 -
download
1
Transcript of BAB III PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG...
32
BAB III
PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG LARANGAN
SHALAT TAHIYATUL MASJID DIWAKTU KHOTIB
BERKHUTBAH
A. Biografi Ahmad Hassan, Perjuangan, dan Karyanya
1. Latar Belakang Ahmad Hassan
Ahmad Hassan (lahir di Singapura, 1887 – Bangil, 10 November
1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Di
samping itu ia juga dikenal sebagai seorang kritikus dan ahli debat/polemik
(terutama di bidang keagamaan). Nama lengkapnya Hassan bin Ahmad. Tetapi
ia lebih popular dengan nama Hassan Bandung, ketika tinggal di Bandung,
atau Hassan Bangil, setelah pindah ke Bangil, Jawa Timur. Hassan Bandung
adalah seorang tokoh Islam terkemuka dan tokoh Persatuan Islam (Persis).1
Dalam bidang pendidikan formal, sesungguhnya, Ahmad Hassan tidak
sempat menamatkan sekolahnya untuk tingkat dasar sekalipun. Pada usia yang
terlalu dini, Hassan telah mulai aktif bekerja. Sungguhpun demikian, untuk
tetap menjaga kelangsungan belajarnya, ia mengambil pelajaran privat,
terutama dalam pelajaran agama dan bahasa Arab. Langkah ini diambilnya,
agar kelak ia dapat memperluas pengetahuan agamanya dengan cara self-
study.2
1Abdual Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997, hlm..532. 2Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994, hlm. 82.
33
Sejak usianya yang ke-23, 1910 sampai dengan 1921, berbagai jenis
pekerjaan telah dicobanya, mulai dari seorang guru, pedagang tekstil, juru tulis
di kantor urusan haji, sampai anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Dari
berbagai jenis pekerjaan yang sempat dilakukannya itu, agaknya,
berwiraswasta dalam bidang pertekstilan lebih menarik bagi dirinya.
Hal ini terbukti, ketika pada 1921 Hassan pindah ke Surabaya dengan
maksud mengambil alih pimpinan sebuah toko tekstil milik pamannya, Haji
Abdul Latif. Masa itu di Surabaya sedang berkembang pertentangan paham
antara kelompok yang lebih bersemangat modernis dengan kelompok yang
cenderung tradisionalis, khususnya dalam persoalan-persoalan fikih. Haji
Abdul Latif sendiri, pamannya, termasuk kelompok tradisionalis.
Oleh karenanya, dapat dipahami mengapa pamannya tidak menyukai
pikiran-pikiran yang berorientasi Wahabiyah. Bahkan, pamannya cenderung
menghalangi Hassan untuk banyak berhubungan dengan mereka, baik yang
bersemangat pikiran modernis maupun yang cenderung kepada pikiran-pikiran
Wahabiyah. Hassan tidak begitu saja dapat menerima pandangan pamannya.
Sesungguhnya pertentangan paham antara kalangan yang kuat memegang
tradisi dengan kelompok yang bersemangat modernis telah mulai dikenalnya
sejak ia masih di Singapura.
Selain ayahnya sendiri pun bersimpati terhadap pikiran-pikiran
Wahabiyah, ia juga telah berkenalan dengan majalah-majalah yang diterbitkan
kalangan modernis, misalnya al-Imam yang terbit di Singapura dan al-Munir
yang diterbitkan di Padang. Bahkan, ia sendiri pernah membaca majalah al-
34
Manar yang diterbitkan Rasyid Rida di Mesir, meskipun ketika itu ia belum
begitu memahaminya. Tidak berapa lama setelah tinggal di Surabaya, Hassan
pun mengunjungi Bandung. Sebagaimana ia tiba di Surabaya untuk urusan
pertekstilan, kali ini pun datang ke Bandung untuk urusan yang sama, bahkan
untuk mengembangkannya lebih jauh.
la bermaksud mempelajari teknik pertenunan di lembaga tekstil
pemerintah untuk dipraktekkannya di perusahaan " tekstil yang hendak
didirikannya di Surabaya. Selama di Bandung Hassan tinggal di tempat Haji
Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Tanpa disengaja, Hassan
telah berada di pusat kegiatan organisasi keagamaan. Potensi untuk
memperdalam dan mengembangkan persoalan keagamaan yang telah
membenih dalam dirinya sejak di Singapura, kini menemukan tempat
persemaian yang memungkinkan.
Akhirnya Hassan memutuskan untuk tinggal di Bandung, di samping
untuk mengembangkan usahanya di bidang pertekstilan, juga sekaligus untuk
mengembangkan pikiran-pikiran keagamaannya yang memang cenderung
bersemangat modernis. Usaha yang sudah dirintisnya sejak ia di Singapura
mengalami kebangkrutan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
meninggalkan bidang usahanya, dan seluruh waktu yang dimilikinya
dicurahkan untuk mengembangkan pemahaman dan pemikiran keagamaan
organisasi Persis. Karena seluruh waktunya, dapat dikatakan, tercurahkan
35
untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini, akhirnya Hassan
terkenal dengan sebutan "Ahmad Hassan Bandung".3
Bagi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan
merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di
Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu,
sejumlah artikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun
1980-an telah terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan,
Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat
Hidup A. Hassan (1980) oleh Tamar Djaja, dan A. Hassan: Wajah dan Wijhah
Seorang Mujtahid (1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni.
Dengan penekanan yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling
melengkapi dalam memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir
perjuangannya dalam menyebarkan paham-paham ishlah, perbaikan, atau
tajdid, pembaruan, di paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha
memberikan gambaran tentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya
tidak menjadi tekanan, tetapi juga tidak akan berpretensi untuk
mengetengahkan sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa
tulisan ini merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan
perjuangan A. Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari
kehidupan masyarakat pada zamannya.4
Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang
pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan paham
3Ibid, hlm. 83. 4Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 127-130
36
Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari
penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat
disebut reformasi.
Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur yang sangat
penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran-pikirannya,
ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu; antara lain,
keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran yang
dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk
menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran.
Untuk membuat penilaian keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu
saja tidak cukup dengan melihatnya dalam kurun masa hidup seorang
penggerak, tetapi harus dilihat dalam pengaruh yang timbul sesudahnya.
Sebab seorang mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid) akan
selalu menentang arus masanya dan menghadapi suatu masyarakat yang
memerlukan proses dan berubah.
Pemikir-pemikir dalam tradisi Hambali, misalnya Ibnu Taymiyyah
(w.1328), yang misi utamanya ialah kritik pemikiran dan kehidupan sosial,
mendapatkan reaksi yang keras dari lawan-lawannya, tetapi beberapa abad
kemudian, khususnya dua abad terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat
terhadap gerakan Islam, mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya,
tetapi dalam metode dan semangatnya.5 Secara umum barangkali bisa disebut
5Ibid
37
bahwa karir A. Hassan merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-
akarnya bisa dilihat dalam tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerus
Ahmad ibn Hambal (w.855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-
menarik dengan kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial
yang ada.
Pergeseran dan tarik-menarik antara berbagai kekuatan yang dialami
telah membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat
hidupnya yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat
penting dalam menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus
pemikiran ishlah ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika
masih muda telah menyaksikan polemik di Singapura tentang mencium tangan
seorang sayyid (orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik yang
menggugat hak-hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut perlakuan
istimewa dari masyarakat umumnya.
Tahun 1921 ia pindah ke Surabaya untuk berdagang, dan di kota itu ia
bertemu dengan Wahhab Hasbullah (w.1971), salah seorang pendiri NU yang
mempertahankan ushalli. Pertemuan itu kemudian mengubah Hassan ke suatu
kesimpulan bahwa mengucapkan ushalli tidak punya dasar yang kuat.
Bergerak dari itu, kemudian lahir pendiriannya untuk menentang setiap bid'ah.
Pertemuannya dengan Faqih Hasyim, seorang yang telah dipengaruhi oleh
pemikiran ishlah, juga memperkuat arah pemikirannya.
Setelah itu, ia pindah ke Bandung pada tahun 1923 untuk belajar
pertenunan, tetapi titik yang menentukan arah hidupnya telah terjadi ketika
38
berkenalan dengan Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam,
yang memperkenalkan organisasi tersebut.6 Kehidupannya selama di Bandung
akhirnya tercurah pada kegiatan menulis dan mengajar, suatu pekerjaan yang
ditekuni sampai akhir hayatnya.
2. Perjuangan Ahmad Hassan
Untuk menyebarkan pahamnya, A. Hassan pada tahun 1926 telah
memilih Persatuan Islam (Persis) yang telah berdiri pada tahun 1923 di
Bandung. Organisasi itu didirikan oleh Muhammad Zamzam dan Muhammad
Yunus, dua usahawan yang berasal dari Palembang, Sumatera. A. Hassan
masuk Persis sebenarnya bukan karena tertarik pada paham-pahamnya, karena
bahkan A. Hassanlah yang membawa Persis untuk menjadi gerakan ishlah. A.
Hassan sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan
agar bisa berkembang secara efektif.
Tampaknya gabungan antara watak A. Hassan yang tajam dan ciri
Persis yang keras telah menghasilkan sebuah gerakan paham yang cepat
meluas. Salah satu keuntungan Persis ialah jumlah anggota yang tidak banyak,
karena itu bisa berjalan lebih lincah, dan kesibukan mengurusi anggota seperti
yang dialami oleh organisasi massa lainnya bisa dihindari, sehingga cukup
tenaga untuk menekankan aspek-aspek pendidikan, misalnya sekolah dan
pondok pesantren, publikasi dan kaderisasi. Dibanding dengan
Muhammadiyah yang pada awalnya lebih menekankan kegiatan sosial, dan al-
6Ibid
39
Irsyad yang membawa kesan eksklusif dalam keanggotaan, Persis memiliki
kelebihan yang sangat menonjol di bidang publikasi.
Di samping buku-buku A. Hassan yang tidak kurang dari 80 judul,
terbit pula majalah-majalah, antara lain Pembela Islam (1929-1935), al-Fatwa
(1930-1933), al-Lisan (1933-1942), at-Taqwa (1937-1941), Lasykar Islam
{1937-), dan al-Hikam (1939-) yang banyak memperkenalkan pikiran, di
samping A. Hassan, penulis-penulis muda lainnya, seperti Muhammad Natsir,
seorang murid yang mewarisi semangat perjuangan dan pemikiran A. Hassan.
Ketika A. Hassan pindah ke Bangil (1940), terbit pula majalah al-Muslimim
sampai sekarang.
Nama A. Hassan dan Persis menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,
karena begitu dominan pemikiran-pemikirannya dalam memberi warna
organisasi tersebut. Setiap pergerakan baru akan berkembang bila memiliki
ideologi yang cocok dengan momentum sejarah. Awal abad ke-20 merupakan
masa yang sangat memerlukan ideologi, sehubungan dengan derasnya arus
nasionalisme dan reformisme serta ideologi lainnya. Umat Islam Indonesia
sedang mencari masa depannya di tengah-tengah pertarungan ideology itu.
Seperti telah disinggung di muka bahwa sebelum masuknya A. Hassan,
Persis tidak lebih dari sekedar kelompok pengajian yang tidak memiliki
ideologi yang jelas. Sesudah menemukan ideologi ishlah yang pertama-tama
muncul dari A. Hassan itu, Persis menjadi daya tarik yang kuat bagi kalangan
muda terdidik terutama di kota Bandung. A. Hassan berfungsi seperti
pemimpin karismatik bagi Persatuan Islam.
40
Kaderisasi
A. Hassan telah menjadi figur yang menarik orang untuk masuk
Persatuan Islam. Dalam lembaga itu, di antara mereka ada yang sempat
terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Pada titik ini
orang bisa membandingkan secara sederhana antara A. Hassan dan Agus
Salim. Dalam Jong Islamieten Bond (JIB) Agus Salim telah berfungsi sebagai
bapak intelektual yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda Islam
yang pada saatnya menduduki jabatan elit politik mewakili umat Islam.
Hasilnya ialah kelompok modernis dengan segala kejujuran intelektual dan
integritas pribadi mereka yang seperti telah diduga oleh Fazlur Rahman
sebagai ciri umum golongan modernis di mana saja, kurang memiliki akar
ilmu agama.
Dalam hal ini, tampak jasa A. Hassan dalam mengisi dimensi ilmu
agama. Muhammad Natsir tampaknya menjadi orang yang beruntung
mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim dan juga A. Hassan.
Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan
tersendiri bagi murid-muridnya. Muhammad Natsir, seorang yang tertarik
pada A. Hassan sejak duduk di sekolah menengah, dalam tulisannya
menggambarkan sebagai berikut:
Suatu keistimewaan beliau (A. Hassan) ialah setiap orang yang berkenalan dengan beliau segera tertarik kepada pribadinya. Seorang ulama memikat hati anak-anak muda sekelilingnya. Kepada semua orang, beliau semata-mata memanggil "tuan." Kami (kata Natsir), beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore datang ke rumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius. Ketika itulah beliau
41
memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah saw. Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses
kaderisasi yang dilakukan oleh Hassan, yaitu dalam hal melatih memberikan
reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada
suatu hari surat kabar berbahasa Belanda AID di Bandung menyiarkan suatu
khutbah seorang bernama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad
saw. Natsir meminta pandangan Hassan tentang perlunya menangkis
penghinaan itu, dan bahkan mengharapkannya untuk melakukannya. Hassan
menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang
menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke Hassan, karena
Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa Hassan
tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu keluar, A. Hassan
tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit
dalam bentuk risalah berjudul Muhammad is Profeet. Natsir menyatakan
kesannya sebagai berikut:
... beliau tidak mau menyuapkan ibarat makanan kepada kader-kadernya. Kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya. Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. ...Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda Islam. ...Kami pemuda-pemuda yang berada di dekat beliau selalu diteliti dengan kuat, disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab masing-masing.... Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, ...Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary dan lainnya. Hasil kaderisasi itu bisa dilihat dalam dua figur yang mewakili
kecenderungan pemikiran Hassan, yakni Natsir dan Abdul Qadir, putera
42
pertama A. Hassan. Orang yang disebut pertama itu telah mewarisi
kecenderungan pemikiran politik A. Hassan, dan bahkan dengan integritas
pribadinya telah memberikan teladan etika politik yang sangat berharga bagi
generasi muda. Adapun yang kedua itu mewarisi minat A. Hassan dalam
menekuni dunia ilmu agama dan pendidikan, seperti terlihat dalam tulisan-
tulisannya dan kegiatannya dalam mengasuh Pesantren Persis Bangil.
3. Karya-Karya Ahmad Hassan
Beberapa karya Ahmad Hassan dapat disebutkan di bawah ini:
1. Pengajaran Shalat 1930 terbit 45.000 eks.
2. Pengajaran Shalat (huruf 'Arab) 1930 terbit 5.000 eks.
3. Kitab Tallin 1931 terbit 5.000 eks.
4. Risalah Jum'at 1931 terbit 4.000 eks.
5. Debat Riba 1931 terbit 2.000 eks.
6. Al-Mukhtar 1931 terbit 8.000 eks.
7. Soal Jawab 1931 terbit 7.000 eks.
8. Al-Burhan 1931 terbit 2.000 eks.
9. Al-Furqan 1931 terbit 2.000 eks.
10. Debat Talqin 1932 terbit 7.000 eks.
11. Kitab Riba 1932 terbit 2.000 eks.
12. Risalah Ahmadiyah 1932 terbit 3.000 eks.
13. Pepatah 1934 terbit 2.000 eks.
14. Debat Luar Biasa 1934 terbit 3.000 eks.
15. Debat Taqlid 1935 terbit 6.000 eks.
43
16. Debat taqlid 1936 terbit 10.000 eks
17. Surat-Surat.Islam dari Endeh 1937 terbit 10.000 eks
18. Al-Hidayah 1937 terbit 2.000 eks.
19. Ketuhanan Yesus Menurut Bibel 1939 terbit 4.000 eks.
20. Bacaan Sembahyang 1939 terbit 15.000 eks
21. Kesopanan Tinggi 1939 terbit 15.000 eks
22. Kesopanan Islam 1939 terbit 2.000 eks
23. Hafalan 1940 terbit 5.000 eks.
24. Qaidah Ibtidaiyah 1940 terbit 8.000 eks.
25. Hai Cucuku 1941 terbit 4.000 eks,
26. Risalah Kerudung 1941 terbit 7.000 eks.
27. Islam dan Kebangsaan 1941 terbit 6.000 eks.
28. An-Nubuwah 1941 terbit 8.000 eks.
29. Perempuan Islam 1941 terbit 7.000 eks.
30. Debat Kebangsaan 1941 terbit 3.000 eks.
31. Tertawa 1947 terbit 3.000 eks.
32. Pemerintahan cara Islam 1947 terbit 5.000 eks.
33. Kamus Rampaian 1947 terbit 4.000 eks.
34. A.B.C.Politik 1947 terbit 6.000 eks.7
35. Merebut kekuasaan 1947 terbit 4.000 eks.
36. Al-Manasik 1948 terbit 2.000 eks.
37. Kamus Persamaan 1948 terbit 4.000 eks.
7Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997, hlm. 47-
50
44
38. Al-Hikam 1948 terbit 4.000 eks.
39. First Step 1948 terbit 2.000 eks.
40. Al-Faraidh 1949 terbit 10.000 eks.
41. Belajar Membaca Huruf Arab 1949 terbit 3.000 eks.
42. Special Edition 1949 terbit 2.000 eks.
43. Al-Hidayah 1949 terbit 6.000 eks.
44. Sejarah Ism Mi'raj 1949 terbit 6.000 eks.
45. Al-Jawahir 1950 terbit 5.000 eks.
46. Matan Ajrumiyah 1950 terbit 2.000 eks.
47. Kitab Tajwid 1950 terbit 8.000 eks.
48. Surat Yasin 1951 terbit 2.000 eks.
49. Is Muhammad a Prophet 1951 terbit 5.000 eks.
50. Muhammad Rasul? 1951 terbit 5.000 eks.
51. Apa Dia Islam 1951 terbit 5.000 eks.
52. What is Islam? 1951 terbit 3.000 eks.
53. Tashauf 1951 terbit 30.000 eks.
54. Al-Fatihah 1951 terbit 5.000 eks.
55. At-Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.
56. Pedoman Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.
57. Syair 1953 terbit 2.000 eks.8.
58. Risalah Hajji 1954 terbit 2.000 eks.
59. Wajibkah Zakat? 1955 terbit 3.000 eks.
8Ibid
45
60. Wajibkah Perempuan Berjum'at? 1955 terbit 4.000 eks.
61. Topeng Dajjal 1955 terbit 3.000 eks.
62. Halalkah Bermadzhab 1956 terbit 7.000 eks.
63. Al-Madzhab 1956 terbit 7.000 eks.
64. Al-Furqan (Tafsir Qur'an) 1956 terbit 85.000 eks.
65. Bybel-Bybel 1958 terbit 5.000 eks.
66. Isa Disalib 1958 terbit 5.000 eks.
67. Isa dan Agamanya 1958 terbit 5.000 eks.
68. Bulughul Maram 1959 terbit 20.000 eks.
69. At-Tauhid 1959 terbit 15.000 eks.
70. Adakah Tuhan? 1962 terbit 12.000 eks.
71. Pengajaran Shalat 1966 terbit 3.000 eks.
72. Dosa-Dosa Yesus 1966 terbit 3.000 eks.
73. Bulughul Maram
74. Hai Puteriku
75. Nahwu
76. Al-Iman
77. Aqaid
78. Hai Puteriku II
79. Ringkasan Islam
80. Munazarah 9
9Ibid
46
Selain menerbitkan buku-buku, ia juga rajin menulis dalam majalah-
majalah dan selebaran-selebaran yang cukup luas penyebarannya. Dalam
perkembangannya, buku-buku A. Hassan sering kali dicetak ulang dan
dijadikan referensi oleh para ulama ataupun santri yang sedang menuntut ilmu
di berbagai lembaga pendidikan Islam, tidak hanya ulama dan santri Persis,
tetapi juga para ulama dan santri di luar jamaah Persis.
B. Pendapat Ahmad Hassan Tentang Larangan Shalat Tahiyatul Masjid
Diwaktu Khotib Berkhutbah
Ahmad Hassan dalam bukunya Soal Jawab tentang Berbagai Masalah
Agama, mengungkapkan bahwa menurut hadis-hadis yang shahih riwayatnya,
bila seseorang datang ke masjid pada hari Jum'ah sedang imam lagi
berkhuthbah, maka hendaklah la shalat dua raka'at (dan hendaklah ia
ringkaskan dua raka'at itu). Demikianlah juga tersebut dalam Risalah Jum'ah
dari "Persatuan Islam", Bandung.10
Selanjutnya Ahmad Hassan berkata:
Apa yang telah nyata datangnya dari perintah Rasulullah, mesti diterima dan diamalkan. Tetapi tidak dilarang mengemukakan pendapat bila pada keterangan Hadis itu terdapat semacam kemusykilan yang sukar difahami, karena bertentangan dengan keterangan Agama juga. Sebab itu, di sini saya kemukakan beberapa pendapat saya tentang perintah yang tersebut dalam Hadis itu, mudah-mudahan jika tuan telah menolong menyelesaikan kemusykilan itu akan berfaidah juga kiranya bagi pembaca Al-Lisaan setelah diumumkan.11
10 Ahmad Hassan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, jilid 3-4, Bandung:
CV.Diponegoro, 2003, hlm. 932 11 Ibid, hlm. 933
47
Lebih lanjut Ahmad Hassan mengatakan: 1) salat Tahiyyatul Masjid
itu hukumnya sunnat, 2) sedang mendengar khuthbah itu hukumnya wajib,
malah duduk berpeluk kakipun dilarang, karena yang demikian itu adalah
tanda enggan dan kurang perhatian. 3) Begitu pula bercakap (meski seorang
diri) ketika imam berkhuthbah menurut Hadits, maka akan menggugurkan
pahala Jum'ah. 4) Kita dilarang melakukan sesuatu yang mengganggu
keamanan perhatian si pendengar. 5) Khuthbah dibaca khathib untuk didengar
dan diperhatikan, guna pelajaran dan pendidikan; Ayat-ayat Qur'an wajib
didengar dengan diam dan tenang. Sekarang jika dikerjakan shalat Tahiyyatul
Masjid ketika khathib sedang berkhuthbah, tentunya semua kewajiban dan
peraturan itu jadi terlanggar, yakni: a) kita tidak lagi menenangkan anggota
menghadapi bacaan khuthbah, b) kita Sudah bercakap-cakap seorang diri,
yang memalingkan perhatian dari mendengar khuthbah. c) Selama shalat itu
kita tidak mendapat pelajaran dan pendidikan khuthbah, karena shalat itu
mustilah dengan khusyu,' d) lagi pula bergeraknya seseorang tegak,
menyebabkan juga perhatian orang-orang yang memandangnya terganggu.
Jadi, gerakannya yang kelihatan itu telah menimbulkan lagha bagi dirinya dan
adzaa bagi sidang Jum'ah; e) Kita tidak mendengar dan tidak diam ketika
dibacakan oleh khathib akan Ayat-ayat Qur'an.12
Lebih jauh, Ahmad Hassan menegaskan, demikian berat dan kerasnya
tuntutan peraturan bagi seseorang yang menghadiri khuthbah, lagi terbukti
kepentingan hikmahnya untuk sidang Jum'ah memang musykil rasanya
12 Ibid, hlm. 934
48
peraturan itu akan diperintahkan "merusakkannya" dengan satu ibadat sunnat
yang berfaidah untuk diri seorang. Padahal jika boleh kita menimbang, ada
lebih pantas orang yang lalai datang itu tidak diidzinkan lagi mengerjakan
shalat Tahiyyatul Masjid karena :
a. Hukuman bagi kelalaian datangnya, sehingga ia terluput dari pekerjaan
sunnat yang sangat utama, jadi kelepasan laba yang tidak bisa ditebusnya
lagi.13
b. Agar jangan lama kelihatan oleh hadirin, sehingga kelalaiannya itu tidak
sampai berpengaruh untuk mereka tiru dan ikuti pula barang sekali dua,
sehingga akhirnya jadi kebiasaan.14 Di zaman ini, berlalai diri pergi ke
Jum'ah telah menjadi penyakit umum dikalangan ummat Islam15
c. Agar orang banyak jangan terganggu melihat kelakuannya sedang
bergerak.
d. Agar terasa olehnya, bahwa kelalaiannya itu tercela dan tidak disukai,
sehingga menjadi satu hukuman yang pahit baginya, karena itu di lain kali
ia terpaksa berjaga-jaga tidak akan lalai lagi.16
Di sekolah-sekolah biasa juga guru melampaui giliran membaca,
umpamanya, bagi seorang murid, karena ia telat datang atau lupa membawa
13 Kalau begitu, bisa juga dipandang, bahwa keluputan mendengar beberapa nasehat dan
didikan di khuthbah itu sebagai hukuman baginya, 14Bisa juga kita membikin pemandangan, bahwa orang-orang yang terlambat datang
jum'ah itu disuruh shalat sunnat, supaya terlihat kepada orang ramai siapa dia orang yang terlambat datang itu, yang dengan itu mudah-mudahan ia merasa malu dan inshaf buat di lain kali. Kalau sekiranya tidak disuruh dia mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid itu, tetapi disuruh dia duduk saja, maka hal ini lebih banyak, jadi contoh, lantaran orang-orang yang telat datang itu tidak begitu kelihatan, dan dengan. itu si lalai tadi tidak merasa malu, lantaran ia tidak kelihatan terpencil dihadapan orang ramai.
15 Hal ini di zaman Nabi juga ada dan tidak dimarahi olehnya. 16 Tidak disuruh dia shalat itu, tidak terlihat sebagai satu hukuman, tetapi menyuruh dia
shalat itu ada terlihat faedahnya.
49
buku).17
Dengan adanya perintah menyuruh shalat Tahiyyatul Masjid ketika
imam berkhuthbah itu, terdapat pulalah beberapa pelanggaran yang dilakukan
oleh si khathib berkenaan dengan orang yang shalat, yaitu:
a. la telah mengganggu keamanan hati orang yang shalat, karena ketika
orang shalat. kita tidak boleh bersuara keras, walaupun membaca Qur'an,
apalagi sifatnya bacaan khuthbah sudah lazim mengandung pengertian
yang penting dengan suara-suara yang merdu dan tangkas, yang sudah
tentu sangat mengganggu bagi kekhusyu'an shalat18.
Apakah gunanya orang itu disuruh shalat padahal kekhusyu'an
hatinya diganggu dengan meneruskan bacaan khuthbah. Padahal menurut
A. Hassan yang memerintahkan orang mesti khusyu' itu ialah Qur'an dan
Hadis juga, dan yang melarang orang mengganggu orang shalat dengan
suara keras, ialah syari'at Nabi Muhammad Saw.19
b. Si khathib telah menyebabkan orang yang diperintahkan shalat itu berdosa
kepada Ilahi, karena kekacauan fikiran dan kebimbangan hati, lantaran
mendengar bunyi khuthbah yang tidak dapat di-elakkan, padahal hanya
karena hendak "memburukan" shalat sunnat20
17 Sebagai denda di sekolah, guru suruh lampaui murid yang telat, yang telat di khuthhbah
patut disuruh shalat supaya luput pelajaran yang ada di khuthbah itu. . 18 Kalau kita sudah pandang, bahwa orang yang terlambat dalang disuruh shalat itu
sebagai satu hukuman, maka tidak perlu lagi kita bicarakan hal terganggu hatinya atau tidak. Kalau satu kali merasa terganggu tentu di lain kali ia tidak datang telat lagi
19 Khusyu' itu betul diperintah, dan gangguan itu memang tidak boleh tetapi semua itu ditakhsieshkan dengan suruhan Hadis, supaya orang yang telaat itu bershalat.
20 Tidak khusyu' di dalam shalat sunnat itu, paling bisa dikatakan, tidak dapat ganjaran. Tetap; dengan gangguan itu ia dapat pelajaran, buat tidak telat di lain kali.
50
c. la telah diberatkan kalau disuruhnya satu pikulan perintah yang tidak
mungkin terjunjung oleh orang itu dengan beres, yaitu disuruh ia khusyu'
dan diancam dia berhati bimbang, pada hal kelakuan si khathib telah mesti
membimbangkan hatinya.21
Maka berhubung dengan sekalian kemusykilan yang tersebut itu,
terbitlah perasaan dihati saya:
1. Kita percaya, bahwa Hadis yang menyuruh shalat Tahiyyatul Masjid
ketika khathib berkhuthbah itu, sahih riwayatnya, tetapi tidak shahih
dirayatnya.22 Karena tidak mungkin Rasulullah akan perintah kita dengan
satu perintah yang berlawanan dengan kemauan Qur'an dan Hadis shahih
yang berkenaan dengan pekerjaan shalat dan berkhuthbah itu.23
2. Hadis-hadis itu betul shahih dan terdapat dalam Shahih Bukhari dan
Muslim, akan tetapi Hadis-hadis itu tidak lebih kuat dari Qur'an, yang
mewajibkan orang mesti diam dan mendengar ketika dibacakan Qur'an,
dan juga mewajibkan khusyu' dalam sembahyang serta mengharamkan
mengganggu orang yang munajat kepada Tuhannya, meskipun; dengan
sebaik-baik perkataan. Hal mana tentang sekalian perintah dan larangan
itu tidak akan dapat dipenuhi sebuah juga bila seseorang diperintah shalat,
padahal imam. berkhuthbah.
21 Kalau hal menyuruh orang yang telat supaya shalat itu kita pandang sebagai satu
,,ta'dieb" (hukuman) baginya sudah tentu hal terganggunya itu, tidak perlu dirundingkan. . 22 (Ya'ni tidak shah ma'nanya pada pandangan t. H. M.). 6) Sudah berulang kali kita
terangkan, bahwa disuruh-dia shalat itu sebagai satu denda. 23 Sudah berulang kali kita terangkan, bahwa disuruh-dia shalat itu sebagai satu denda.
51
3. Hadis-hadis itu shahih menurut riwayatnya, tetapi tidak di'amalkan, karena
bertentangan dengan tuntutan Qur'an dan Hadis shahih pula. Perintah yang
wajib tidak dapat dikalahkan oleh perintah yang sunnat
4. Meskipun Hadis itu telah dimasukkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ke
dalam shahihnya, tetapi belum tentu pula, bahwa sekalian yang ada dalam
shahih masing-masingnya itu mesti benar seanteronya. Jika Hadis pilihan
Imam Bukhari yang lebih sepuluh ribu jumlahnya itu berangsur-angsur
dipersusut sampai tinggal kira-kira empat ribu saja yang beliau akui dalam
shahihnya, apakah tidak mungkin jadi, bahwa dalam yang 4.000 itu masih
tertinggal barang dua tiga yang patut beliau singkirkan ?24
Dan jika mungkin, apakah tidak boleh jadi kalau Hadis yang jadi
pangkal bicara ini telah termasuk dalam kemungkinan itu25
5. Kita terima dan wajib pegang dengan Hadis shahih, lebih-lebih kalau
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tetapi ini jika tidak
berlawanan dengan Qur'an, Hadis shahih dan keadilan fikiran.
Demikianlah pendapat saya tentang soal ini, dengan memohonkan
ampun dan perlindungan juga kepada Tuhan Allah s.w.t., moga-moga
24 Hadis Bukhari tinggal empat ribu kalau dibuang yang mukarrar (yang berulang), bukan
dibuang yang lemah. 25Hadis-hadis yang menyuruh orang yang terlambat datang supaya sembahyang
Tahiyyatul Masjid itu, menurut riwayat sudah shahieh, dan tidak berlawanan dengan salah satu Hadis yang sama derajatnya atau dengan satu Ayat. Walaupun tuan sudah unjukkan beberapa keterangan yang tuan pan. dang sebagai berlawanan, tetapi semua itu sebenarnya tidak berlawanan, lantaran tidak dinamakan berlawanan selama dapat dita'wiel salah satunya. Ringkasnya : a) Hadis itu tidak berlawanan dengan Ayat yang menyuruh kita diam dan dengarkan baca'an imam, karena Ayat itu buat di dalam shalat, bukan buat di luar shalat. b) Hadis itu tidak berlawanan dengan Hadis-hadis dan Riwayat yang melarang mengganggu seseorang yang dalam shalat, lantaran bisa dikatakan, bahwa larangan-larangan itu buat di urusan yang lain dari orang yang telat datangnya, c) Hadis itu tidak juga berlawanan dengan fikiran, karena fikiran bisa berkata, bahwa orang itu disuruh shalat sunnat hingga luput beberapa didikan yang penting, supaya lain kali ia tidak lalai datang.
52
dipeliharakanNya saya yang dha'if ini daripada kesesatan dan kekeliruan. Dan
pendapat ini saya iringi dengan permohonan maaf yang besar kepada sidang
pembaca.26
C. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hassan
Ahmad Hassan dalam metode istinbath hukumnya tentang larangan
shalat tahiyatul masjid di waktu khotib berkhutbah menggunakan metode
sebagai berikut:
Pertama, al-Qur'an surat (7) al-A'raaf ayat 204:
وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون
)204: ألعراف( Artinya: dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah (baik-
baik) dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat.
Dari ayat tersebut Ahmad Hassan menggunakan analogi atau qias
bahwa khutbah jum'at pun merupakan fatwa-fatwa yang bermuatan al-Qur'an.
Kedua: Ahmad Hassan berpegang pada hadits sebagai di bawah ini:
. م. قال رسول اهللا ص : عن ابن عباس رضى اهللا عنهما قال
يخطب فهو آمثل الحمار يحمل من تكلم يوم الجمعة واإلمام
27.ليست له" انصت: "اسفارا والذي يقول له
26 Ahmad Hassan, op. cit, hlm. 935-938
53
Artinya: dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Rasulullah SAW
bersabda:Barangsiapa yang berbicara pada hari Jum.at padahal imam sedang berkhutbah, maka dia seperti keledai yang memikul beberapa kitab, dan orang yang mengatakan kepadanya: diamlah, maka tidak ada Jum’at baginya (HR.Ahmad).
اذا قلت : عن ابى هريرة رضي اهللا عنه في صحيحين مرفوعا
28.انصت يوم الجمعة واإلمام يخطب فقد لغوت
Artinya: Dari Abu Hurairah dalam dua kitab sahih (al-Bukhari dan Muslim) yang bersambung sanad hingga Nabi SAW, beliau bersabda: Apabila engkau berkata kepada temanmu diamlah, pada hari Jum’at padahal imam sedang khutbah maka engkau telah sia-sia.
Ketiga, kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فلالفرض افضل من الن
29 Artinya: fardu itu lebih utama daripada sunnah
27 Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi,
Musnad Ahmad, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1382 H/1953M, hlm. 43. Lihat Al-Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min Asyrari Muntaqa al-Akhbar, juz 2, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, 1973, hlm. 50.
28 Ibid 29 Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2001, hlm. 81.