Bell s Palsy

17
PENDAHULUAN (1) Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos). DEFINISI (2) Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.

description

m

Transcript of Bell s Palsy

Page 1: Bell s Palsy

PENDAHULUAN (1)

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial

perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem

saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari

Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau

setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta

penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.

Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita

berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.

Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan

kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata

yang sehat (lagoftalmos).

DEFINISI (2)

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui

sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita

dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui

sebabnya disebut Bell's palsy.

Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi

menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak

faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada

usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi

saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin

EPIDEMIOLOGI (3, 4)

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.

Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun

sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy

rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih

tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

Page 2: Bell s Palsy

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan

terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester

ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi

daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang

dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar

19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering

terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas

maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara

dingin atau angin berlebihan .

ANATOMI (5)

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1.      Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III),

otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).

2.      Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut

saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan

glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3.      Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian

depan lidah.

4.      Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari

sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-

otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah

dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan

sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan

lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi

proprioseptif dari otot yang disarafinya.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar

sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars

intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf

fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui

Page 3: Bell s Palsy

saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar

sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada

akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya

identik dengan saraf trigeminus.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar

di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus

V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki

meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan

menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam

os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang

untuk mersarafi otot- otot wajah.

PATOFISIOLOGI (6)

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy

hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau

lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi

pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi

kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang

mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen

mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau

iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh

nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi

supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar

ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks

motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau

dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau

mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya

Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di

pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen

Page 4: Bell s Palsy

stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di

daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis

fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan

melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan

dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan

lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi

virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama

virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes

zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah

dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat

ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas.

Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa

digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga

tertimbun disitu.

ETIOLOGI (1)

Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

A.    Idiopatik

Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy. Faktor-

faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh

dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,

hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor

genetic.

B.     Kongenital

a.       anomali kongenital (sindroma Moebius)

b.      trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

C.     Didapat

a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

Page 5: Bell s Palsy

c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

e. Sindroma paralisis n. fasialis familial

GEJALA KLINIK (1, 2)

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala

kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang

erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada

telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala

kelumpuhan otot wajah berupa :

         Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos).

         Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila

memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign

         Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan

mencong ke sisi yang sehat.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :

a.       Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan

berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.

lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi

maka air mata akan keluar terus menerus.

b.      Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),

ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di

sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya

nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda

timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

c.       Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.

d.      Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam

Page 6: Bell s Palsy

liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.

Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di

ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna

dan pina.

e.       Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),

ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

DIAGNOSA (4)

A.    Anamnesa

- Rasa nyeri

- Gangguan atau kehilangan pengecapan.

- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka

atau di luar ruangan.

-  Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,

otitis, herpes, dan lain-lain.

B.     Pemeriksaan Fisik

Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1.      Mengerutkan dahi

2.      Memejamkan mata

3.      Mengembangkan cuping hidung

4.      Tersenyum

5.      Bersiul

6.      Mengencangkan kedua bibir

C.     Pemeriksaan Laboratorium. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

D.    Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika

dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan

AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya

penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

Page 7: Bell s Palsy

DIAGNOSA BANDING (2)

1.      Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)

Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam

yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.

Tanda dan gejala RHS meliputi:

         Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran

telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah

         Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi

         Kesulitan menutup satu mata

         Sakit telinga

         Pendengaran berkurang

         Dering di telinga (tinnitus)

         Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)

         Perubahan dalam persepsi rasa

2.      Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang

dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty

ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang

kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial

yang menyebabkan kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis

menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer

pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa

kebas, pusing dan mual.

 

TATA LAKSANA (1, 8)

1.      Istirahat terutama pada keadaan akut

2.      Medikamentosa

a.                Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1

mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana

pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan

peluang kesembuhan pasien.

Page 8: Bell s Palsy

Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan

yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal

fasialis yang sempit.

b.               Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau

dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi

prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset

penyakit untuk mencegah replikasi virus.

c.                Perawatan mata:

         Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.

         Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan

tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan

kabur.

         Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan

menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea

3.      Fisioterapi

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.

Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering

digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan

faradisasi.

4.      Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan

komplikasi lokal maupun intracranial.

Tindakan operatif dilakukan apabila :

            tidak terdapat penyembuhan spontan

            tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI (2, 9,10)

1.      Crocodile tear phenomenon.

Page 9: Bell s Palsy

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan

setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom

yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar

ganglion genikulatum.

2.      Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul

gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan

(involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya

adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan

serabut-serabut otot yang salah.

3.      Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan

juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah

saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat

memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang

timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS (3, 6,7)

Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis

yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan

tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi

pada 3-6 bulan kemudian.

Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.

1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.

Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko

yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

1.      Usia di atas 60 tahun

2.      Paralisis komplit

3.      Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

4.      Nyeri pada bagian belakang telinga dan

5.      Berkurangnya air mata.

Page 10: Bell s Palsy

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk

mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu

6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,

mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.

Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen

antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4

bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %

kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %

penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor

kelenjar parotis.

  

KESIMPULAN (1)

Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat

menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior

lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.

Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis

perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi

dan kalau perlu operasi

 

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: Bell s Palsy

1.      Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

2.      Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy, “http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/

sPalsy.html” (diakses tanggal 11 desember 2011)

3.      Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,

“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22

Desember 2011).

4.      Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-

report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)

5.      Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.

6.     Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”, (diakses

tanggal 12 Desember 2011)

7.     Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

8.      Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-

palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)

9.      Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2

10.  Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat,

1985 : 311-17