biografi

16
al-Imam as-Suyuthi -rahimahullah- Beliau –rahimahullah- bernama Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al- Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat. Asal Usul Beliau –rahimahullah- Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya. Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun. Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar- Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-

Transcript of biografi

Page 1: biografi

al-Imam as-Suyuthi -rahimahullah-

Beliau –rahimahullah- bernama Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat.

Asal Usul Beliau –rahimahullah-

Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.

Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.

Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.

Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui.

Page 2: biografi

Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.

Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.

Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.

Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”

Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab

Page 3: biografi

tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”

Kitab-Kitab Karangan Imam Suyuthi

Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:

1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an

2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur

3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir

4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar

5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul

6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an

7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab

8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil

9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli

10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir

11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi

12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari

13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’

14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.

15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir

16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah

17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah

18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi

19. Syarh asy-Syathibiyah

20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri

21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari

Page 4: biografi

22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu

23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih

24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha

25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an

Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:

1. ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah

2. Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah

3. Husnul Muhaadlarah

4. Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin

5. Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’

6. Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis

7. Taqriibul Ghariib

8. al-Madraj Ila al-Mudraj

9. Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy

10. Asmaa`ul Mudallisiin

11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’

12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah

Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H seperti yang disebutkan oleh Sya’rani dalam kitab Dzail Thabaqat-nya. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun 10 bulan 18 hari. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun, di luar pintu gerbang Qarafah, atau yang terkenal dengan sebutan Bawwaabah as-Sayyidah ‘Aisyah (Pintu gerbang Sayyidah ‘Aisyah) di Cairo.

Rujukan:

Page 5: biografi

Tadriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy, yang ditahqiq oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab Abdullathif, Dar an-Nasyr al-Kutub al-Islamiyyah, Lahore, Pakistan, dan tahqiq DR. Ahmad Umar Hasyim, penerbit Daarul Kitab al-‘Araby, Beirut, Lebanon

(Tokoh ini diambil dari majalah as-Sunnah, edisi 06/1/1414-1993, ditulis/diterjemahkan oleh Hawari, dengan sedikit perubahan dari redaksi)

(sumber: alsofwah.or.id)

Biografi Imam Al-Qurthubi (Ulama Besar dari   Spanyol)

Nama dan asal beliau

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang ahli tafsir dari Cordova (sekarang bernama Spanyol). Ia berkelana ke negeri timur dan menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia salah seorang hamba Allah yang shalih dan ulama yang arif, wara’ dan zuhud di dunia, yang sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan untuk memberikan bimbingan, beribadah dan menulis.

Karya-Karya Beliau

Dia adalah menulis mengenai tafsir al-Qur’an, sebuah kitab besar yang terdiri dari 20 jilid, yang diberinya judul: “Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan”. Kitab ini merupakan salah satu tafsir terbesar dan terbanyak manfaatnya. Penulis tidak mencantumkan kisah-kisah atau sejarah, dan sebagai gantinya, penulis menetapkan hukum-hukum al-Qur’an, melakukan istimbath atas dalil-dalil, menyebutkan berbagai macam qira’at, I’rab, nasikh, dan mansukh.

Al-Asna fi Syarh Asma’illaj al-Husna

At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar

Syar at-Taqashshi

Qam’ al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qana’ah

At-Taqrib likitab at-Tamhid

Al-I’lam biima fi Din an-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Izhharm Mahasin Din al-Islam

At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-Akhirah (edisi Indonesia: Buku Pintar Alam Akhirat)

Page 6: biografi

Guru-Guru Beliau

Beliau mendengar pelajaran dari Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi dan meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Hafsh dan lain sebagainya.Beliau tinggal di kediaman Abu al-Hushaib.

Wafat Beliau

Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi meninggal dan dimakamkan Mesir yaitu dikediaman Abu al-Hushaib, pada malam senin, tanggal 09 Syawwal tahun 671 H. semoga Allah merahmati dan meridhai beliau.

Sumber: Lihat dalam Al-A’lam karya Az-Zirikli, 5/322. dan Hadiyyatul ‘Arifin, karya Al-Babani, 2/129.

http://alsofwah.or.id/?pilih=lihattokoh&id=147

Biografi Ibnu `Abbas

Feb 14th, 2010 | By ibnuthohir | Category: Siroh

`Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.

Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai  Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.

Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.

Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”

Page 7: biografi

Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat, beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.’”

Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:

“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”

Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.

`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”

Page 8: biografi

Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”

Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.

Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”

`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.

Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.

Page 9: biografi

Imam Ath-Thabari

Nama dan Tempat Kelahirannya

Nama Imam Ath-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Nama kunyah atau panggilannya adalah Abu Ja’far. Kelahirannya berdasarkan pendapat yang kuat adalah pada tahun 224 Hijriyah. Tempat kelahirannya di Amal, yaitu daerah yang subur di daerah Thabaristan.

Semangatnya dalam Mencari Ilmu

Abu Ja’far mengisahkan tentang dirinya, “Aku telah hafal Al-Qur’an pada saat usiaku tujuh tahun, aku telah shalat bersama manusia diusia delapan tahun dan menulis hadits diusia sembilan tahun. Dahulu ayahku dalam tidurnya melihat Rasulullah dan diriku membawa sekeranjang batu sedang bersama beliau. Dalam tidurnya, ayahku seolah melihat diriku sedang melempar batu dihadapan Rasulullah. Lalu ahli tafsir mimpi berkata kepada ayahku, ‘Sesungguhnya anak ini (Abu Ja’far Ath Tahabari), kelak jika dewasa akan memelihara syari’atnya.’ Dari mimpi itulah, akhirnya ayahku membiayai diriku mencari ilmu. Padahal pada waktu itu aku baru kanak-kanak yang masih kecil.”

Doktor Muhammad Az Zuhaili berkata, “Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja’far Ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabisakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun. Dalam masa ini, Abu Ja’far Ath-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin, dan membeli kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu Ja’far Ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya dan harta warisan milik ayahnya. Tatkala Abu Ja’far sudah kenyang menjalani hidup dalam dunia perjalanan mencari ilmu, akhirnya dia pun tinggal menetap.

Tatkala hidupnya terputus dari dari kegiatan musafir untuk menimba ilmu, maka sisa usianya difokuskan untuk menulis, berkarya dan mengajar ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Ilmu telah menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak akan pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya. Ketika seseorang telah tenggelam dalam lautan ilmu dimasa mudanya, maka menikah sering terabaikan. Ketika usia telah mencapai antara 35-40 tahun dan tersibukkan dalam majelis ilmu, maka keinginan menikah menjadi semakin hilang. Dilahapnya kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta waktu belajar dan berkarya juga lebih optimal. “

Akhlaknya yang Mulia

Apabila Abu Ja’far Ath-Thabari diberi hadiah, maka jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik, hadiah itu akan diterima. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah. Abu Haija’ Ibnu Hamdan pernah memberikan hadiah kepada Abu Ja’far Ath-Thabari tiga ribu dinar. Setelah

Page 10: biografi

melihat hadiah tersebut, Abu Ja’far Ath-Thabari terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak ini?”

Abu Ja’far Ath-Thabari selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pernah suatu ketika Abu Ja’far Ath-Thabari berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu permasalahan. Ditengah perdebatan, Abu Ja’far Ath-Thabari berhenti dan tidak meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Abu Ja’far Ath-Thabari.

Mendengar perkataan yang demikian itu, Abu Ja’far Ath-Thabari tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.

Kemampuan Hafalan dan Kecedasannya

Diantara hal yang dapat menunjukkan kepandaian dan kecerdasan Imam Ath-Thabari adalah kisah Imam Ath-Thabari tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam. Kisahnya adalah sebagai berikut: Imam Ath-Thabari berkata, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari, datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang Arudh. Akhirnya aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku.’ Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari Kitab Arudh tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahliArudh.”

Kezuhudan dan Kewara’annya

Al-Farghani berkata, “Muhammad bin Jarir Ath-Thabari tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasad, dan yang mengingkarinya. Adapun manusia berilmu dan ahli menjalankan agama, maka mereka tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin Jarir.

Mereka juga mengakui kezuhudannya dari dunia dan qana’ah dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil peninggalan ayahnya di Thabaristan. Perdana menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepadanya. Akan tetapi, dia tetap menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir At-Thabari ditawarkan kedudukan qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah al-mazhalim, dia pun menolaknya.

Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir mencelanya. Mereka berkata, ‘Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan.’

Pada dasarnya, mereka ingin sekali memperoleh jabatan tersebut. Namun dengan perkataan mereka itu, akhirnya Ibnu Jarir membentak mereka seraya berkata, ‘Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.’”

Page 11: biografi

Guru dan Muridnya

Para guru Ibnu Jarir Ath-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu:

Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib, Ismail bin Musa As-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar, Muhammad bin Hamid Ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd Al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, dll.

Sedangkan muridnya yaitu:

Abu Syuaib bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar Asy-Syafi’I, Abu Ahmad Ibnu Adi, Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi, Abu Muhammad Ibnu Zaid Al-Qadhi, Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Abu Al-Mufadhadhal Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dll.

Karya-Karyanya

Jami’Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-tafsir Ath-Thabari

Tarikh Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari

Dzail Al-Mudzil

Ikhtilaf ‘Ulama Al-Amshar fi Ahkam Syara’I Al-Islam yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf Al-Fuqaha

Lathif Al-Qaul fi Ahkam Syara’I Al-Islam, yaitu fiqih Al-Jariri

Adab Al-Qudhah

Al-Musnad Al-Mujarrad

Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an

Mukhtashar Manasik Al-Hajj

Al-Mujiz fi Al-Ushul

Musnad Ibnu ‘Abbas, dan masih banyak lainnya.

Meninggalnya

Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari meninggal pada waktu sore, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 Hijriyah. Beliau dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad.”

Sumber:

Biografi 60 Ulama Salaf. Syaikh Ahmad Farid: Pustaka Al-Kautsar

Page 12: biografi