Buku baratayudha (part 1)

133
BARATA YUDA Perang menuai karma Oleh MasPatikRajaDewaku wayangprabu.com

description

wayangprabu.com

Transcript of Buku baratayudha (part 1)

Page 1: Buku baratayudha (part 1)

BARATAYUDA Perang menuai karma

Oleh

MasPatikRajaDewaku

wayangprabu.com

Page 2: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 2

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mungkin sudah banyak yang menulis buku tentang perang perang Baratayuda. Namun cerita yang dipadukan dengan kisah-kisah perang tersebut dalam Pedalangan dari beberapa dalang terkenal di negri ini, mungkin masih sangat jarang.

Mas Patikrajadewaku adalah salah satu pengasuh dalam blog wayangprabu.com yang pemahaman akan cerita-cerita wayang cukup dalam. Meskipun bukan seorang seniman ataupun penulis, namun dari pengalaman dan pemahaman akan kirah para dalang senior seperti almarhum Ki Nartosabdho, almarhum Ki Timbul Cermo Manggolo, almarhum Ki Hadi Sugito, Ki Manteb Sudharsono dan dalang-dalang lainnya, beliau dikarunia kelebihan dalam menuangkan cerita wayang seolah kita mendengar alunan suara dari rekaman pagelaran wayang.

Kisah perang Baratayudha dalam buku ini, adalah tulisan Mas Patikrajadewaku yang telah dimuat secara serial di wayangprabu.com mulai 24 Juni 2010.

Kisah yang sangat menarik dan disajikan dengan renyah sehingga dapat membuat kita terbawa seolah berada dalam arena padang kurusetra.

Melalui beberapa perbaikan penulisan, kami sajikan untuk Anda, khususnya para penggemar wayang dimanapun berada.

Mudah-mudahan hal kecil ini dapat berguna bagi kita semua dan merupakan kontribusi kecil bagi upaya pelestarian dan pengembangan budaya wayang di Indonesia.

Bandung, 28 September 2013

Pranowo Budi Sulistyo

Admin wayangprabu.com

Page 3: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 3

Daftar Isi Kata Pengantar ..................................................2

Kresna Gugah ...................................................4

Hari-hari Menjelang Pecah Perang ................................ 19

Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama itu ...................... 35

Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra ........................... 47

Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta ............................... 55

Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua ............................... 64

Lunaslah Janji Abimanyu ........................................ 75

Ricuh di Bulupitu .............................................. 86

Ricuh juga di Kadilengeng ...................................... 99

Sihir Sakti Sempani ........................................... 108

Terjerat Jerat Cinta, Arjuna-Murdaningsih ...................... 117

Teror Kepala Jayadrata ........................................ 124

Akhir Dendam yang Terpendam .................................... 134

Page 4: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 4

Kresna Gugah Perang Baratayudha, atau lengkapnya Baratayuda Jayabinangun, perang antar darah Barata, merupakan salah satu dari empat perang besar yang telah digariskan dewa dalam pewayangan, selain perang Pamuksa ketika Prabu Pandu menumpas pemberontakan Prabu Trembuku dari Pringgandani dan Perang Gojalisuta, perang saudara anak bapak, antara Prabu Bomantara alias Prabu Sitija, dengan Prabu Kresna dalam membela anaknya yang lainnya Samba Wisnubrata, serta perang Guntarayana ketika Sang Begawan Ciptaning menjadi sraya, atas serangan Raja Hima Imantaka, Prabu Niwatakawaca, yang hendak mempersunting primadona kahyangan Jonggring Salaka, Dewi Supraba.

Perang Baratayuda, perang dimana terjadi bagaimana prajurit yang maju menjadi senapati, memetik hasil dari apa yang telah ditanam dan disisi lain meluwar janji yang pernah terucap.

Semua kejadian adalah bermula dari konflik keluarga keturunan langsung dari Resi Wiyasa Kresna Dwipayana.

Tiga orang puteranya: Drestarastra sang cacat netra sebagai anak sulung, Pandu Dewanata anak penengah dan Arya Yamawidura sebagai anak bungsu.

Ketika Prabu Wiyasa hendak menyerahkan tahta lengser keprabon Astina dan hendak menyucikan diri ke Sapta Arga, dipanggilnya ketiga puteranya. Dan dengan ikhlas disaksikan para saudara dekat termasuk Resi Bhisma atau Sang Jahnawisuta Dewabrata, yang secara garis adalah sebenarnya pewaris trah Barata, Drestarastra menyerahkan tahta haknya hingga ke anak cucu turunnya kepada adik penengah, Pandu Dewanata.

Sayang, atas kelicikan dan gosok kerti sampeka sang maha julig adik ipar Drestarastra, yaitu Arya Gendara Sangkuni, seratus anak Drestarastra, dikenal sebagai trah Kurawa, menjadi manusia-manusia bermoral buruk yang kurang tata krama.

Puntadewa, anak sulung trah Pandawa, anak Pandu yang telah mangkat, seorang yang tidak bisa berkata tidak, masuk dalam perangkap pokal akal-akalan Sengkuni dengan mengadakan permainan dadu.

Trah Pandawa yang telah mempunyai negara sendiri, hasil dari membuka hutan Wisamerta, dan menjadikannya sebuah istana indah bernama Indraparahasta atau kerajaan Amarta, terpaksa kalah dalam olah permainan curang Sengkuni. Perjanjian telah disepakati, pihak kalah akan dibuang ke hutan Kamyaka selama 12 tahun dan

Page 5: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 5

melakukan penyamaran disuatu tempat selama setahun terakhir masa pembuangan. Bila penyamaran diketahui pihak Astina, maka pembuangan harus diulang selama waktu yang sama.

Tigabelas tahun hampir lewat. Ketika Astina kedatangan seorang raja seberang bernama Prabu Susarman, raja dari negara Trikarta. Bujuk rayu Susarman menghasilkan serbuan bermotif menggelar jajahan ke Negara Wirata, dan berakhir gagal.

<<< ooo >>>

Syahdan, dalam sidang agung Negara Astina, Sang Duryudana sangat jengkel ketika prajurit Astina kembali dengan tangan hampa ketika pulang dari Wirata dalam misi menaklukkan negara itu.

Negara yang tadinya diperkirakan telah lemah karena ditinggalkan tiga orang agul-agul senapati, Sang Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang diberitakan tewas ditangan seorang jagal, ternyata berakhir dengan kegagalan telak. Malah Prabu Susarman, bala bantuan dari Negara Trikarta yang semula mengipasi agar Sang Duryudana mau menaklukkan Wirata, tewas mengenaskan.

Kekuatan Wiratha menurut perhitungan semula hanya tinggal dua dari tiga putera Baginda Matswapati, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Sudah sangat berkurang kekuatan negara itu, karena Resi Seta sang putra sulung yang sakti mandraguna, lebih senang dengan olah kapanditan, dan saat itu sedang bertapa tidur di Pertapan Suhini atau Sukarini.

Upaya Sang Duryudana untuk sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, menaklukkan Wirata sambil mencari keterangan tentang adanya trah Pandawa dalam masa penyamaran, sekalian dilakukan. Bila ditemukan disana, maka mereka harus mengulang lagi masa pembuangannya selama genap tigabelas tahun bakal terlaksana.

Padahal masa pembuangan duabelas tahun dan masa penyamaran satu tahun, sudah hampir berakhir ketika itu.

Selesailah masa perjanjian itu, ketika perang gagal dalam menggelar jajahan berakhir

“Hmm . . . . Paman Harya Sengkuni, kekalahan ini merupakan kegagalan beruntun. Pertama. . . . . . , pasti. ., negara Wirata gagal menjadi jajahan kita. Kedua, berakhirnya peperangan Astina dan Wirata, menandai habisnya waktu perjanjian pembuangan para Pandawa” Prabu Duryudana akhirnya bersabda setelah beberapa

Page 6: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 6

waktu diam dengan pergolakan pikiran penuh sesal atas misi yang berakhir dengan kekalahan telak yang memalukan.

“Dengan berakhirnya waktu perjanjian ini pasti Pandhawa akan segera menagih haknya untuk kita mengembalikan Astina dan Indraparahasta yang dulu dipertaruhkan dalam permainan dadu” Kembali sang Duryudana menyambung pembicaraannya dengan masygul.

Prabu Salya, raja Mandaraka, mertua dari Prabu Duryudana dan Adipati Karna yang ikut hadir dalam sidang menyela

“Benar angger Prabu, sabda raja adalah perkataan yang tidak dapat diasak, tidak usahlah kiranya angger prabu kukuh dalam mempertahankan lagi hak yang seharusnya harus dilepaskan, karena perjanjian telah berakhir. Bila nanti Angger bersedia, Negara Mandaraka akan saya pasrahkan untuk angger prabu. Saya sudah tua ngger, saatnya bagiku untuk menjauhi keramaian dan aku siap menyepi, kembali ke Argabelah”.

Sejenak suasana sidang sunyi.

“Anak Prabu” Sang mahajulig Sengkuni memecahkan kesunyian,

”Negara Mandaraka tidaklah sebesar Astina, tidak sebanding, apalagi dibandingkan luas Astina yang digabungkan dengan Amarta. Mau dikemanakan anak anakku Kurawa yang seratus itu bila hanya negara seluas Mandaraka yang diharapkan menampung sejumlah keponakanku semua . . ?” demikian Sang Patih Sengkuni memberikan alasan, ditambahkan lagi segala pertimbangan bermacam-macam yang intinya tidak menyetujui jika Negara Astina beserta seluruh jajahannya diserahkan ke trah Pandawa.

Demikian juga dengan Adipati Karna, seorang anak angkat kusir Radeya yang dirangkul dan dijadikan tetunggul senapati dan berpikiran menurut sudut pandang keprajuritan menambahkan :

”Yayi Prabu, apakah menurut yayi, saya sebagai seorang yang sudah dibuat kenyang dengan segala kebaikan, kemurahan hati dan keluhuran yang tiada terhingga, merasa masih kurang dalam memberikan tetameng terhadap keluhuran derajat Yayi Prabu? Sehingga dengan mudahnya menyerahkan kembali negara tanpa harus mengandalkan peperangan. Jangan berpikir sebagaimana berpikirnya orang yang tua yang sudah rapuh, sehingga menganggap penyerahan negara adalah hal yang bermartabat? Tidak. Keutuhan negara harus dibela dengan pecahnya dada dan mengalirnya darah...!”

Page 7: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 7

Gb. 1 - Jejer Negri Astina

Prabu Salya merasa tidak senang dengan perkataan Adipati Karna, yang dengan tanpa sengaja mengusik rasa sang Prabu Salya. Dalam hatinya perkataan itu ditujukan kepada dirinya. Kemarahan Sang Narasoma tua menggelegak. Tudingan kemarahan jatuh kepada Adipati Karna Suryatmaja sontak mengalir bagaikan banjir bandang.

“Heh Karna.! Dari tiga orang mantuku, kamulah satu-satunya mantu yang tidak pernah memberi rasa puas terhadap mertua, celaka benar nasib anakku Surtikanti dapat suami kamu, suami yang seharusnya dahulu bukanlah kamu, tapi Arjuna. Atas kemurahan Arjuna-lah kamu menjadi mantuku.

Prabu Baladewa, raja Mandura, menantuku yang gagah perkasa, tetapi didepanku menyembah kakiku. Prabu Duryudana, raja kaya raya. Didepanku takluk juga menyembah. Tetapi kamu itu siapa ? Adipati kecil, tetapi tingkah lakumu selalu tidak berkenan dalam hatiku. Sudah jarang datang ke Mandaraka, juga tak sekalipun kamu datang dengan membawa kebahagiaan, kalaupun datang pasti membawa masalah . . . . . . “ Panjang lebar Prabu Salya memarahi sang mantu dipersidangan, sekalipun beberapa kali dicoba kemarahannya dipenggal oleh menantu yang lain, Prabu Duryudana.

Page 8: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 8

Merasa sudah lega dengan memuntahkan segala kemarahan yang melebar kesana kemari kepada menantunya, Prabu Salya meminta diri: “Angger Prabu, pikirlah kembali dengan beningnya hati. Tetapi apapun yang terjadi nanti, bila Angger masih berkenan dengan tenaga orang tua ini, pastilah aku akan datang kembali ke Astina”

“Aku sudah kangen dengan Ibumu Setyawati. Ketika sudah tua semacam aku ini, pergi sebentar saja, rasaku gampang sekali kepengin kembali ketemu dengan ibumu” Prabu Salya berkilah.

Selepas kembalinya Sang Prabu Salya ke Mandaraka, sidang menetapkan, bagaimanapun Astina dan Indraparahasta dan seluruh jajahannya tetap akan dipertahankan. Sang Pendita Durna-pun dengan berat hati setuju dengan keputusan ini. Semua menganggap, para sesepuh Astina yang maha sakti seperti Sang Bhisma Jahnawisuta dari Talkanda, tidak akan tertandingi bila sudah berkenan maju dalam peperangan nanti.

Usahanya tinggal selangkah lagi, karena berdasarkan wangsit, peperangan besar Baratayuda bakal dimenangkan, bila sudah dapat menggaet Prabu Kresna yang sedang bertapa tidur di Balekambang. Usaha inipun sudah yakin dapat dicapai bila Prabu Baladewa yang merupakan kakak Sri Kresna dapat dirangkul untuk membangunkan adiknya, sekalian mengajaknya bergabung di Astina.

Apa yang diperhitungkan oleh Sang Duryudana perihal akan datangnya utusan dari para Pandawa memang benar adanya. Diluar sudah menunggu ibu dari para Pandawa, Dewi Prita, Kuntitalibrata dengan ditemani sang ipar, Adipati Yamawidura dari Ksatrian Panggombakan.

Setelah dipersilakan duduk, Sang Prita dengan santunnya mengutarakan maksud kedatangannya.

“Anakku ngger Duryudana, seperti yang sudah tersiar luas dijagat ini, bahwa sudah pundhat masa pengasingan anak-anakku Pandawa. Itu sudah masa lalu. Sekarang angger, sebagai utusan dari kelima anakku, aku meminta ketegasan, kapan waktunya peristiwa diperbolehkan kembali Pandawa ke Astina beserta dipulihkannya kedaulatan atas Negara Amarta bakal dilaksanakan. . . . ?”

Sang Dewi juga mengatakan bahwa kedatangannya disertai Arya Yamawidura, adalah merupakan saksi atas ucapan kesediaannya mewujudkan janji yang telah diucapkan ketika permainan dadu hendak dilaksanakan dulu.

Prabu Duryudana terdiam. Dalam hatinya bergolak pikiran bagaimana cara mengatakan tidak kepada utusan itu, yang tak lain adalah orang yang dihormatinya. Bahkan oleh ayahandanya sendiri Adipati Drestarastra.

Page 9: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 9

Tetapi oleh sang pembisik disekeliling Sang Prabu yang selalu menggosoknya dan nafsu Sang Prabu terhadap kekuasaan telah sedemikaian besar, kata Sang Prabu dengan tanpa mengindahkan tata krama dan seribu alasan, malah mengusir Dewi Kunti:

“Bibi sudahlah, bibi pulang saja kemana saja bibi mau, sekarang saya belum terpikir kapan akan mengembalikan semua yang telah dijanjikan dulu”.

Kunti hanya bisa meratap kepada adik iparnya, sang Yamawidura. Harapan besar yang telah diusungnya dari Wirata atas kembalinya negara Astina kepada anak-anaknya musnah sudah. Segera diboyongnya kembali Dewi Prita yang pingsan keberatan dengan beban batin, untuk sementara bermukim di Ksatrian Panggombakan. Segera Sang Yamawidura mengutus seseorang untuk mengabarkan apa yang terjadi terhadap Dewi Prita kepada anak anaknya di Wirata.

<<< ooo >>>

Prabu Drupada, raja Pancalaradya, yang datang kemudian atas inisiatif sendiri, sebagai duta juga dipandang remeh, dihinanya Sucitra tua itu yang hanya bisa menahan marah, dan keluar tanpa pamit dari sidang agung.

Keriuhan dalam sidang sampai juga ditelinga Adipati Destarastra, Adipati cacat netra ini segera minta dituntun sang istri, Dewi Gendari, menuju sidang agung yang sudah ditinggalkan oleh Dewi Kunti dan Prabu Drupada dengan perasaan masygul.

“Heh anakku Duryudana, aku dengar dari dalam tadi ada pertengkaran. Apa yang terjadi ngger, baiknya jujur saja katakan kepada bapakmu ini??”.

Dengan plintat-plintut Duryudana menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terperangah sang Drestarastra. Segera dia minta dipertemukan dengan Prabu Drupada, yang dengan kesaktiannya pasti mampu menaklukkan anaknya, untuk dimintai seribu maaf atas kurangnya tata susila yang dilakukannya tadi.

<<< ooo >>>

Balekambang. Sebenarnyalah Sri Kresna sedang meraga sukma. Secara kewadagan kelihatan Sri Kresna tertidur dalam bertapa, namun sebenarnya sukma sang Kesawa sedang pergi menghadap haribaan Sang Hyang Guruloka untuk mecari keterangan mengenai isi kitab Jitapsara. Kitab skenario pelaksanaan Perang Baratayuda yang berdasarkan jangka kadewatan sudah saatnya dibuat oleh Hyang Jagatnata dan ditulis oleh Batara Penyarikan, sekretaris Kahyangan.

Page 10: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 10

Maka ketika Para Kurawa datang hendak membangunkan dan mengajaknya bergabung, tidak satupun berhasil membangunkan. Mereka satu persatu melakukan usaha untuk mencoba dengan caranya sendiri sendiri.

Prabu Karna datang membangunkan dengan meraba leher sang Sri Kresna, menandakan leher adipati Karna akan terpenggal dan tewas dalam Baratayuda. Terkena pagar kesaktian diri Sri Kresna, Adipati Karna seketika terbanting tak sadarkan diri.

Demikian juga dengan Arya Dursasana yang datang membangunkan dengan menggerayangi dan menggoyang seluruh tubuh dan persendian Sri Kresna. Kejadian ini sebagai pertanda akan terpotong potongnya jasad Arya Dursasana dalam Baratayuda. Walat atau pagar diri Sri Kresna juga berlaku ketika Resi Durna mencoba membangunkan dengan memegang leher Sang Tapa.

Prabu Duryudana akhirnya datang sendiri dengan memegang dan mengelus paha Sri Kresna, ini sebagai pertanda bahwa kelak pada peperangan Baratayudha, Prabu Duryudana akan tewas dengan tertebas Gada Rujakpolo, gada Raden Werkudara, pada paha kirinya.

Karena tidak kunjung terbangun, makin lama semakin keras menggoyang paha Sri Kresna. Terkena walat sang Kresna seketika Prabu Duryudana juga sama dengan para bawahannya, terbanting tidak sadarkan diri. Geger para prajurit yang lain, seketika itu tidak ada satupun Kurawa yang berani mencoba membangunkan.

Ketika suasana sudah bisa diatasi dan tenang kembali, kesepakatan rembuk terjadi, mereka mengundurkan diri terlebih dulu sambil menunggu datangnya Prabu Baladewa sebagai usaha mereka yang terakhir.

<<< ooo >>>

Para Pandawa datang juga akhirnya. Waspada Prabu Yudistira, bahwa Sri Kresna sejatinya tidak sedang bertapa tidur, melainkan sedang meraga sukma, ditinggalkannya wadag, sementara sukma sang Narayana pergi entah kemana.

“Adikku Werkudara, kamu sudah pernah merasakan, bagaimana bertemu sang Guru Sejatimu, Dewa Ruci, tatkala kamu menceburkan dirimu ke samudera Minangkalbu dahulu. Sekarang ketemukan kakang Kresna. Ajaklah kembali ke raganya dan persilakan beliau untuk pulang bersama kita ke Wirata, untuk menjadikannya jaya trah kita Pandawa dalam perang Baratayudha bila benar akan terjadi nanti adimas”

Page 11: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 11

“Apa gunanya Si Arjuna yang lebih dari sakti, yang juga merupakan tukang tapa, sesama titis Wisnu dan lebih dekat dengan Kresna, kenapa dia tidak ada usaha yang mestinya tidak lagi harus diberi perintah??!”. Tukas sang Werkudara

Sang Arjuna yang dari tadi diam disindir kakaknya Bima, sejatinya sedang mengheningkan cipta, meraga sukma mencari dimana gerangan sukma kakak iparnya, Sukma Wicara, berada.

Gb. 2 - Kresna Gugah

Arjuna adalah sesama titisan Wisnu yang membelah diri bagaikan api dan panasnya. Ketika melihat raga Sri Kresna yang sedang tergolek, tak ada keraguan baginya bahwa Sri Kresna tidak bersukma. Ikutlah sang Arjuna meraga sukma dengan nama Sukma Langgeng meninggalkan raga dan saudara-saudaranya.

<<< ooo >>>

Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda perang Baratayuda.

Page 12: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 12

Batara Panyarikan dengan pena ditangan dan tinta dihadapannya menulis skenario apa yang dikatakan oleh Sang Jagad nata.

Telah ditulisnya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario:

Raden Utara dan Salya bertanding, Utara terbunuh oleh Prabu Salya.

Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh Resi Durna.

Raden Rukmarata terbunuh oleh panah Resi Seta.

Resi Bhisma perang tanding dengan Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya.

Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa tanding dengan Antareja dan hendak ditulisnya kedalam daftar skenario, tumpahlah tinta dihadapan Batara Panyarikan ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda tergelar. Gagallah kalimat itu dituliskan.

Marahlah Sang Girinata, ditangkapnya kumbang itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara.

“Heh Kaki Kresna. . ! kenapa kamu sebagai titahku menggagalkan usahaku dalam menulis naskah ini?” tanya Batara Guru.

“Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja”. Jawab Sukma Wicara.

“Baik, adakah sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi tetukar terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat terhindar?” sahut Batara Guru.

“Pukulun, saya rela menukarnya dengan pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun” demikian Sri Kresna menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan pusaka yang merupakan warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba.

“Dengan penyerahan ini Pukulun, maka dirasa akan fair-lah perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan kawan yang telah terbunuh”. Tambah Sri Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata.

Page 13: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 13

“Sedangkan bagaimana caranya agar kakak hamba Kakrasana agar tidak ikut dalam perang Baratayudha kelak serahkan kepada hamba” Kresna meneruskan.

Demikianlah, setelah barter terjadi dan Sukma Wicara telah diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulanglah Sang Sukma kembali ke menuju raganya.

Diperjalanan ketemulah Sang Sukma Wicara dengan Sukma Langgeng.

Sukma Langgeng memaksa memberikan kitab skenario kepadanya, tetapi dijelaskan bahwa ini adalah rahasia para dewa dan iapun tidak diberikan kitabnya hanya diberitahu jalan ceritanya. Sukma Langgeng tidak percaya dengan keterangan itu, dan terjadi perkelahian diantara keduanya.

Gegerlah Jonggring Salaka oleh tanding seimbang dan tidak akan berkesudahan. Diutusnya Batara Naradda oleh Hyang Girinata untuk memisahkan keduanya.

“ Heh cucu-cucuku. . .!!, Berhentilah . . . !!, Tidak ada gunanya kalian berkelahi, segera masuklah kembali ke raga masing masing. Tugas suci sudah menunggu. Sukma Langgeng percayakan kepada Sukma Wicara yang kelak menjadi pengatur laku dalam peperangan besar nanti !!” Batara Naradda datang dengan memberikan penjelasan panjang lebar kepada Sukma Langgeng atas apa yang terjadi ketika Sukma Wicara menghadap di Kahyangan Jonggring Salaka.

Keduanya segera mematuhi titah sang Naradda, turun kembali ke arcapada masuk ke raga masing masing.

Gembiralah para Pandawa setelah menerima kesanggupan Sri Kresna untuk diboyong ke Wirata.

Belum sempat mereka semua beranjak dari Balekambang, ketika datang Prabu Baladewa menghadang langkah para Pandawa dan Sri Kresna, sambil berkata:

“Sukurlah yayi Prabu sudah bangun dari tapamu…! Sekarang marilah adikku, pergi bersama kakakmu ini ke Astina, begitu kan kehendak yayi Prabu Duryudana ?” sang Baladewa menegaskan juga ke Prabu Duryudana

“Benar kakanda…! Marilah datang berkumpul ke Astina. Disana kakanda bakal saya beri kemukten, asalkan kanda sudi kami boyongi” sang Duryudana juga merayu Sri Kresna.

Sri Kresna yang selalu waspada, dengan tidak terlihat manampik dan berusaha untuk tidak melukai hati Sang Baladewa, menanyakan kepada Prabu Duryudana:

Page 14: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 14

“Yayi, tujuan akhir yayi memboyong kakakmu ini adalah memenangkan Baratayudha, bukankan begitu ?”

“Benar kakang Kresna” Dengan nada yakin Duryudana menyahut.

“Kalau begitu bukankan lebih baik bila kakakmu yang satu ini ditukar seribu raja beserta para nayakanya sekalian sehingga kekuatan negara Astina niscaya akan lebih kuat sentosa ?!” Kresna berusaha memberi alternatif, sambil berusaha bagaimana agar Duryudana mau dirayu.

Belum sempat sang Baladewa mencegah jawaban sang Duryudana yang sudah diduganya, dengan cepat Prabu Duryudana menyanggupi menukar satu orang Sri Kresna dengan seribu raja lengkap dengan hulubalangnya. Dalam pikirannya apalah kekuatan satu orang dibandingkan dengan kekuatan yang hendak dibarternya.

“Heh yayi Prabu Duryudana, semula apa yang direncanakan dari Astina datang ke Balekambang? Apakah yayi Prabu lupa akan wangsit dewata bahwa siapa yang bisa mendatangkan Kresna bakal unggul dalam perang itu? Bukankan aku didatangkan kemari hendak diutus melakukan itu? Aduh yayi Prabu, alangkah malangnya Kurawa memiliki raja seperti yayi ini . . . . . . . . !!”.

Panjang lebar sang Baladewa memarahi Prabu Duryudana. Sri Kresna menyela:

“Sudahlah kanda, sabda raja adalah perkataan suci, harus konsisten, sekali dia berkata, tak layaklah dia mencabut kembali kalimatnya”

Segera Sang Kresna menepuk batang beringin tempat bernaung dalam tapanya, seketika daun daun yang berguguran berubah menjadi seribu raja beserta para punggawanya.

“Silakan yayi Prabu Duryudana , pulanglah ke Astina beserta para raja yang kelak menjadi beteng dalam perang yang pasti akan terjadi nanti” Demikian Kresna bermaksud menyudahi persoalan.

“Mari Kakang Prabu, kita segera kembali ke Wirata”, Werkudara segera mengajak Sri Kresna pulang, “Persoalan kita sudah selesai” tambah Bima

“Belum !!” bentak Prabu Baladewa

“Apa maumu ?” sahut Bima kembali

“ Kresna harus ikut aku!!” Baladewa kembali membentak

Tentu saja Bima tidak berkenan, terjadilah perkelahian diatara keduanya. Kekuatan kedua ksatria ini memang hampir seimbang. Baladewa menggunakan kecepatan dan

Page 15: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 15

kekuatan untuk mencoba mengalahkan Bima, namun Werkudara juga memiliki kekuatan yang lebih tangguh dalam melawan Prabu Baladewa.

Merasa keteteran, Baladewa menggunakan senjata Nenggala. Waspada sang Kresna, didekatinya Werkudara dan dibisiki untuk memancing agar senjata Nenggala menancap ke tanah.

Demikianlah, atas pancingan itu senjata Nenggala yang hendak ditujukan ke Werkudara dan dihindari akhirnya menembus tanah dan terjepit hingga tidak bisa dicabut kembali.

Sri Kresna mendekati Baladewa yang berusaha keras mencabut pusakanya dari jepitan, disapanya prabu Baladewa

“Kakang Prabu, paduka tidak dapat melepaskan senjata dari dalam tanah karena sebenarnya kakanda berdosa. Tanah yang tidak bersalah paduka kenai senjata sakti. Akhirnya kejadian inilah yang menyebabkan senjata kanda tidak dapat dicabut kembali. Kandapun nanti akan mendapat kemalangan terjepit bumi dan tidak dapat keluar dari malapetaka itu”.

“Aduh adikku, sial benar aku. Bagaimana cara agar aku dapat keluar dari laknat bumi ini yayi ??” ratap Prabu Baladewa

“Kanda, paduka harus melakukan penebusan berupa memberikan dana bagi siapapun yang meminta”.

<<< ooo >>>

Tersebutlah seorang pengemis, hendak meminta sesuatu kepada Prabu Baladewa yang mendengar kabar Sang Prabu sedang berkelililng membagikan dana.

Ia dengan tidak sungkan meminta istri sang prabu, Dewi Erawati, untuk dijadikan sebagai istri. Tidak ingat akan kesanggupannya, marahlah Prabu Baladewa dan dikeluarkan senjata Nenggala dan ditujukan kepada si pengemis. Pengemis itu menghindar dan terserempet senjata itu, dan berubah ujud menjadi Arjuna.

Malang kembali menimpa Prabu Baladewa, senjata Nenggala kembali mengenai bumi dan menyebabkan tanah itu berlubang.

Ketika hendak mengambil senjata dan masuk kedalam lubang, segera bumi menjepit Sang Prabu hingga sebatas dada.

Sekuat tenaga Sang Prabu berusaha melepaskan diri, namun tetap tidak bisa keluar dari jepitan. Sekali lagi ia meminta tolong adiknya.

Page 16: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 16

“Kanda Prabu, sekarang dosa kanda makin besar, penebusannya pun semakin besar pula” Kresna memberikan penjelasan.

Dengan rasa putus asa Baladewapun menyerah atas ampunan dosa yang ia lakukan

“Baik sebesar apapun aku sanggup melakukan penebusan itu asalkan aku terhindar dari dosa yang aku telah perbuat ini”.

“Baik, kanda prabu harus melakukan tapa di Grojogan Sewu (air terjun dengan seribu alur). Kanda akan kami sertai dengan anak saya Setyaka. Jangan sekali-kali paduka menyelesaikan laku tapa kanda, bila saya belum menjemput kanda nanti”.

Dalam hati Sri Kresna, sekaranglah saatnya mulai untuk mengubah jalan nasib kakaknya itu.

Dengan ditemani keponakannya, Prabu Baladewa berangkat bertapa di air terjun dengan bunyi gemuruh, hingga segala bebunyian apapun akan terkalahkan dengan gemuruhnya suara air terjun dengan seribu alur. Raden Setyaka sudah dibekali pesan-pesan dari ayahandanya dan dirajah tapak tangannya agar dapat menenangkan sang uwak dengan memegang dadanya, bila Sang Baladewa terlihat gelisah.

Inilah sebenarnya usaha Sri Kresna dalam mengubah alur skenario, agar sang Baladewa tidak terlibat dalam perang Baratayuda, seperti janjinya kepada Sang Hyang Guru ketika itu.

<<< ooo >>>

Satu masalah selesai. Lalu bagaimana dengan Antareja ? Tidak kurang akal dipanggilnya Werkudara,

“Sena, Baratayuda nanti akan terlaksana. Setujukah yayi akan hal ini, termasuk syarat srana yang harus ditempuh agar Pandawa unggul dalam perang?”

“Setuju, apapun syaratnya” sahut Arya Werkudara.

“Nah, syarat itu berujud tumbal berupa anakmu Antareja, bila dia masih ada, maka Baratayuda yang berupa perang suci tempat para manusia mengunduh apa yang mereka tanam dan sarana meluwar segala janji, akan gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kesaktian anakmu yang satu itu”

Seketika itu sang Bhima berbalik tidak setuju. Dengan segala cara bujuk rayu dan pemberian pengertian akhirnya dengan berat hati putra Bhima mengerti dan merelakan anaknya sebagai tumbal akan kejayaan Pandawa.

Page 17: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 17

Gb. 3 - Raden Antareja (gaya Banyumasan)

Memang demikian, kesaktian Raden Antareja memang luar biasa. Kesaktian turunan dari Sang Hyang Anantaboga, dewa ular, kakeknya. Kesaktian yang berupa lapisan gigi taring dan bisa anta pada lidahnya. Tapak kaki siapapun yang terjilat bakal langsung melepuh dan tewas. Bahkan bekas telapak manusia yang dijilatpun bakal tewas seketika itu juga.

Segera dipanggilnya Antareja. “Antareja, sudahkan kamu siap menjadi senapati dengan akan berlangsungnya perang besar nanti?” Seberapa kesaktian yang kamu punyai untuk membuat jaya trah-mu?

Page 18: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 18

“Sudah siap uwa, kami bersedia untuk memberi bukti akan kesaktian putramu ini” Antareja mantap menjelaskan.

“Baik ikutlah aku, jilatlah tapak kaki yang aku tunjuk” perintah Kresna.

Segera Sri Kresna menunjuk bekas tapak kaki disuatu tempat yang sudah ditandainya. Gugurlah seketika sang Anantareja setelah menjilat tapak yang tercetak di tanah, yang ternyata bekas telapak kakinya sendiri. Diiringi wangi bunga tawur dari para bidadari, arwah Sang Antareja diiring para dewa dan bidadari ke sorga lapis sembilan.

<<< ooo >>>

Page 19: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 19

Hari-hari Menjelang Pecah Perang Negara Wirata, dimana Negara ini menjadi tempat berkumpulnya Pendawa selama masa penyamaran dan sebelum pecah perang besar itu. Disana para Pandawa ditunjang kekuatan dari Prabu Matswapati dalam rencananya mengambil kembali haknya atas Negara Astina beserta seluruh jajahannya. Termasuk Negara yang dibangun atas keringat dan darah Para Pandawa sendiri, Amarta.

Sang baginda Matswapati menerima kembali dengan suka cita para Pandawa yang sudah berhasil memboyong Prabu Kresna sebagai syarat atas kemenangan dalam perang besar nanti, bila usaha dalam mengirim duta ibu Pandawa, Kunti dan Prabu Drupada tidak ada hasil.

Memang demikian, ketika sudah diketahui hasil awal duta yang dikirim, Prabu Matswapati menasihati Yudistira agar segera mengambil tindakan perang terhadap para Kurawa.

Prabu Puntadewa yang berhati halus mengusulkan kepada Prabu Matswapati

“Baginda, perang nanti merupakan perang antar saudara sendiri, kalau mungkin, kami para Pendawa rela bila kami diberi separohnya saja, maka perang tidak harus terjadi”

“Kakaku sulung, bila separopun tidak diberi, Negara Astina harus diberikan seutuhnya dengan cara berperang” Werkudara menyahut sigap.

Sebenarnyalah Sri Kresna sudah tidak ada syak lagi bahwa Baratayudha pasti akan terjadi. Namun untuk meyakinkan sekali lagi, ia pun sanggup menjadi duta terakhir sekalian menjajagi sampai dimana kesiapan para Kurawa dalam menghadapi perang itu.

“Eyang Matswapati, sekaranglah saatnya untuk hamba melaksanakan tugas duta yang terakhir kalinya. Bila nanti memang semua tidak dapat dilakukan dengan cara perundingan, maka satu-satunya jalan adalah mengambil hak adik-adikku dengan cara perang” Mantap Sri Kresna memohon ijin kepada Sang Baginda Matswapati.

Sambung Kresna Kemudian

“Sekarang ijinkan hamba berangkat, dan adik hamba Setyaki akan kuajak serta sebagai kusir kereta Jaladara, untuk menyingkat waktu agar segera menjadi jelas apa yang bakal terjadi”.

Page 20: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 20

Restu Sang Baginda Matswapati, raja tua yang masih sentosa, beserta para Pandawa mengantarkan kepergian Sri Kresna dengan kereta Jaladara, disertai kusir adik iparnya Raden Setyaki, Singamulangjaya.

Gb. 4 - Kresna Duta

Kereta Jaladara adalah kereta hadiah dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali. Dengan ditarik kuda empat ekor berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri-sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang. Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain saling berbagi kesaktian dan saling melindungi.

Diceritakan, cepatnya lari kereta Jaladara segera sampai diluar kota Wirata, melewati di kaki gunung, sampailah di batas wilayah pemerintahan Astina dengan gapura yang terlihat demikian indah dan megah. Geger para kawula cilik di

Page 21: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 21

pedesaan dan lereng gunung kebawah Astina, mereka segera mambunyikan tetabuhan menyambut datangnya duta agung para Pandawa.

Lain halnya dengan pandangan mata Sri Kresna, setiap benda yang ditemuinya, pohon, bunga, burung burung termasuk lelawa, bahkan batu beserta lumut kering bagaikan menyapanya dengan sedih, mereka, dalam telinganya menanyakan mengapa para Pandawa tidak ikut serta dalam meminta negaranya separuh. Mereka terutama merindukan kedatangan Sang Arjuna ksatria sempurna meliputi seluruh jiwa, raga dan kesaktiannya.

Sesampainya di tegal Kuru, tanah lapang luas kebawah pemerintahan Astina, kereta dihentikan empat dewa : Rama Parasu, Kanwa dan Janaka, ketiga dewa yang dahulu kala adalah manusia luhur yang dihadiahi derajat tinggi menjadi dewa karena tekun dalam semedi, besar jasanya terhadap menjaga ketenteraman dunia, mengiring Sang Hyang Naradda, parampara pepatih Kahyangan Jonggring Salaka.

Segera Sri Kresna turun menyapa keempat dewa

“Duh pukulun, ada apakah gerangan pukulun berempat menghentikan laju kereta hamba?”

“Heh Kresna titah ulun, kami berempat datang menghentikan laju kereta tidak lain bermaksud untuk bersama datang ke Astina. Kami berempat hendak menjadi saksi bagaimana Duryudana bertindak, apapun yang akan ia lakukan akan aku saksikan dan menjadi ketetapan cerita yang akan berlangsung”.

“Baiklah, kami persilakan pukulun berempat naik ke kereta kami, agar kami mendapatkan kekuatan moral yang lebih besar dalam menjalankan duta kali ini pukulun” Kresna meminta keempatnya bersama dalam satu kereta. Diambil alihnya sais dari adiknya, Harya Setyaki. Dalam hati Sri Kresna bersyukur bahwa apa yang akan dilakukan Prabu Duryudana akan mendapatkan legitimasi dengan tataran yang lebih tinggi, apapun bentuknya.

Maka kata sepakat bersambut, bergabunglah bersama keempat dewa dalam satu kereta menuju kerajaan Astina.

<<< ooo >>>

Syahdan, Duryudana telah mendengar akan segera datangnya Sri Kresna. Sambutan kenegaraan berlangsung meriah. Gelaran karpet merah terhampar panjang, pada kedua sisi berjajar para prajurit pengawal yang serba sentosa. Disepanjang jalan para penduduk kota berjajar rapat menyaksikan tamu agung yang sayang apabila terlewat sekejappun.

Page 22: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 22

Para sesepuh yang menyambut kedatangan tamu diantaranya Sang Bhisma Jahnawisuta, Resi Durna; guru kedua trah Wiyasa, Resi Krepa; adik ipar Resi Durna dan para sesepuh lain termasuk Adipati Drestarastra. Sangat gembira dengan kedatangan sang duta. Mereka berharap kali ini perdamaian akan tercipta.

Tidak demikian dengan Patih Sangkuni, segera ia mendekati Duryudana dan membisikkan rencana atas kedatangan duta kali ini. Segera dipanggilnya Dursasana adiknya, diberitahukan segera agar para Kurawa menerapkan baris pendem, baris rahasia, untuk menumpas Kresna, raja Dwarawati, yang sejatinya adalah pengawak Pandawa, bila sewaktu-waktu dia berjalan dengan cara yang tidak sesuai dengan rencana yang disusun.

Segera para tamu, Sri Kresna, Batara Naradda, Batara Rama Parasu, Batara Kanwa dan Batara Janaka dipersilakan masuk ke ruang penyambutan. Segala macam hidangan digelar untuk menjamu kedatangan para tamu. Khusus untuk Sri Kresna juga dihidangkan segala makanan dan minuman untuk sang duta.

”Silakan dinikamati hidangan yang sudah kami persiapkan untuk sang duta yang sudah datang dari jauh dan tentunya sangat lelah” Duryudana menawari hidangan dihadapannya.

Dengan halus Sri Kresna menampik: “Terimakasih atas kebaikan yayi Prabu, besok baru kami akan datang kembali untuk menyampaikan segala keperluan kami, karena hari sudah menjelang malam.”.

“Kami akan bermalam di Kasatrian Panggombakan sekalian ketemu dengan bibi Kunti” sambung Sri Kresna dengan kewaspadaan tinggi.

Diluar sidang Sri Kresna pamit kepada keempat dewa, dan berjanji besok hari akan segera menyampaikan maksudnya sebagai duta.

<<< ooo >>>

Kasatrian Panggombakan. Dengan rasa masygul sang Prita dihadapan Arya Yamawidura, menceritakan bagaimana Duryudana dan Karna yang tak lain adalah ibu kandungnya tak mengindahkan apa yang dia minta atas hak anak anaknya.

“Sudahlah bibi, masalah ini pasrahkan saja pada kemenakanmu ini. Nanti aku akan datang juga pada putramu Karna. Aku ingin bicara empat mata dengannya. Aku merasakan adanya hal yang tidak sewajarnya dengan sikap putramu Karna, bibi” Kresna menyampaikan isi hatinya.

“Aku percaya sepenuhnya atas tindakan yang kamu lakukan nanti, sampaikan rasa sesal-sedihku kepadanya. Sebagai seorang ibu, naluri kasih sayangku kepadanya tak

Page 23: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 23

akan pudar, walaupun dalam kenyataannya, aku telah membuangnya ketika masih bayi merah dulu, ngger” demikian sang Prita berdesah pasrah.

<<< ooo >>>

Tak diceritakan keindahan malam di negara Astina, terutama didalam istana tempat kediaman sang Parameswari Banuwati. Istana yang serba berhiaskan memanik yang bersinar bak nyala hingga ke ujung langit, Istana tempat Duryudana memanjakan Parameswari jelita yang memiliki kecantikan sempurna.

Dan ketika matahari pagi sudah merekah, kesiapan di Panggombakan akan perginya sang duta ke sidang agung Astina dilakukan.

Dan ketika matahari naik sepenggalah, sidang sudah dipenuhi para agung dan sesepuh, diantaranya Adipati Drestarastra, Resi Bhisma, Begawan Durna, Resi Krepa, Prabu Salya, Adipati Karna, Patih Sangkuni dan parampara praja yang lain termasuk Arya Yamawidura.

Setelah berbasa-basi sejenak, Sri Kresna mengutarkan maksud kedatangannya

“Paman Drestarastra, kedatangan hamba kemari adalah ujud dari duta, utusan dari adik-adikku para Pandawa. Karena sudah menjadi kesepakatan sebelumnya, dalam permainan dadu, bahwa setelah genap duabelas tahun pembuangan dan satu tahun masa penyamaran berjalan mulus tanpa diketahui, maka Pandawa berhak kembali atas negara Astina beserta Indraparahasta”.

“Namun demikian paman, karena Kurawa juga adalah darah daging sendiri, maka atas kesediaan yayi Puntadewa, cukuplah Astina dibagi dua, dan yayi Duryudana melepaskan Indraprasta, yang negara ini merupakan perasan keringat darah Pandawa. Itu sudah cukup” sambung Sri Kresna.

Para sesepuh sangat berkenan dengan tawaran yang diajukan oleh Prabu Puntadewa.

“Aduh anakku Puntadewa . . . , demikian luhur budi yang mengeram dalam jiwamu ngger. Tawaranmu atas negara Astina adalah hal yang sangat adil. Bukankah begitu anakku Duryudana. . . . ?” demikian antara lain sang Drestarastra mengatakan.

Ibu sang Duryudana, Gendari, juga menyetujui kehendak suaminya. Rasa sayangnya atas anak-anaknya, dengan firasatnya akan ketidak mampuan anaknya dalam mengatasi kekuatan para Pandawa mendorongnya mengatakan

Page 24: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 24

“Benar apa yang dikatakan ayahmu ngger, terimalah tawaran yang diajukan saudaramu itu, rasa persaudaraan akan jauh lebih indah daripada kemukten yang kamu sandang selama ini!”.

Duryudana diam membisu. Dihadapan para raja, sesepuh dan keempat dewa, mau tidak mau Duryudana menandatangani pakta perjanjian atas perdamaian itu dengan perasaan masygul.

Demikianlah, ketika pakta telah ditandatangani dalam satu surat yang sudah disiapkan Sri Kresna, maka mohon pamitlah keempat dewa pulang kembali ke kahyangan.

Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dirasai sungkan, diliriknya sang paman, Arya Sangkuni serta Adipati Karna, meminta pendapat. Keduanya memang sama-sama menginginkan akan tetap mempertahankan negara dengan jalan perang. Sang paman mengerti sasmita dari keponakannya, gatuknya tetanda dari keduanya membuat Duryudana dengan tanpa suba sita menyambar surat perjanjian yang masih tergeletak diatas meja, disobeknya dan langsung meninggalkan sidang agung diiringi sang paman.

Tercenganglah para yang hadir atas sikap Duryudana, segera sang Gendari berlari berusaha menenangkan suasana batin anaknya yang kurang trapsila dihadapan para agung.

<<< ooo >>>

Diluar sidang agung. Arya Setyaki masih duduk diatas kereta Jaladara menunggu kembalinya sang kakak ipar yang sedang dalam tugas.

Burisrawa, putra sang Prabu Salya, yang selalu berada dilingkungan para Kurawa, oleh sebab kaulnya sendiri ketika gagal mempersunting Wara Subadra, tidak akan kembali ke Mandaraka bila tidak bisa mempersunting kekasih hatinya itu, atau setidak-tidaknya wanita yang sejajar kecantikannya dengan Subadra.

Dengan rasa benci Burisrawa menyaksikan ulah Setyaki yang dipandangnya kurang tata, tetap duduk diatas kereta, duduk dengan seenaknya dan tidak mau turun.

“Hoi Setyaki . . . .!! Turun datang kesini. Mari kita minum tuak bersama !! panggil Burisrawa mencari masalah.

“Terimakasih kakang Burisrawa, aku tidak minum seperti kamu” Setyaki mencoba berlaku sopan.

Page 25: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 25

“He, apakah perlu aku paksa kamu minum dengan cara kekerasan ?” sambar Burisrawa yang sedari tadi memang bermaksud memanasi Setyaki.

Pertengkaran sengit terjadi, dari saling tuding, saling colek terjadilah perkelahian antar keduanya.

Burisrawa yang berbadan tinggi besar dan kasar merasa yakin akan unggul berhadapan dengan Setyaki yang berperawakan kecil padat.

Saling serang antar keduanya berlangsung seru. Walaupun Setyaki lebih kecil tetapi sejatinya tersimpan kekuatan dari penjelmaan raja raksasa Singamulangjaya, yang pernah ditaklukkannya sewaktu Setyaki menjadi utusan dewa sewaktu masih kecil. Belum terlihat siapa yang diperkirakan unggul ketika para Kurawa yang datang kemudian mendengar keributan antara keduanya, seketika ikut larut dalam perkelahian. Tentu membantu Burisrawa, mereka mencoba menangkap Setyaki.

Pertempuran tidak imbang terjadi. Ketika mulai terdesak, Setyaki yang marah dicurangi menghindar dan bersumpah nanti dalam perang yang sesungguhnya akan berhadapan dengan Burisrawa, satu lawan satu, menyambung perkelahian yang terjadi tadi.

Ia berlari dikejar para Kurawa naik ke balairung dan mengadukan atas kejadian yang dialaminya.

Kaget Sri Kresna ketika melihat Setyaki dalam kejaran para Kurawa dan turun menghadapi ulah penyerang yang sebenarnya sudah siap dengan segala senjata untuk menumpas para duta yang datang kali ini.

Marahlah Sang Kesawa ketika melihat dirinya sebagai objek kebrutalan Kurawa. Triwikrama adalah hal yang terpikir ketika melihat prajurit segelar sepapan hendak menghancurkannya. Seketika Sri Kresna berubah wujud menjadi raksasa dengan sepuluh anggauta badan, diliputi kobaran api yang menyambar nyambar .

Dengan langkah yang menimbulkan gempa dan suara sesumbar yang menggelegar bagai halilintar, seketika membuat nyali para Kurawa gentar

“Hayo amuklah aku Kurawa, apakah kamu sanggup mengatasi kesaktianku………..!!!”.

Hawa panas yang ditimbulkan bahkan sampai ditepi samudra, airpun menggelegak, hingga mengambangkan satwa laut serta banyak kura kura sekalipun yang bercangkang keras.

Page 26: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 26

Bubar mawut para Kurawa, jeri melihat amuk Sang Triwikrama, penjelmaan Sang Wisnu Batara, bagaikan hendak melebur seisi bumi.

Catatan :

Dalam versi pedalangan Mataraman dan Banyumasan, kala terjadi Triwikrama, Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari Tewas tertimpa tembok baluwarti.

Dalam tulisan ini, Prabu Drestarastra sekalian Dewi Gendari akan diceritakan setelah perang Baratayuda usai.

Batara Naradda yang ternyata masih mengawasi segala yang terjadi atas peristiwa di Astina waspada, segera mendekati Sang Triwikrama

“Titah ulun Kresna…..!, dinginkan hatimu, bila dengan cara ini kamu menaklukkan Kurawa, maka kamu berdosa, membuat cerita Jitapsara yang sudah disepakati menjadi berantakan” Naradda berusaha menghentikan amukan sang Triwikrama.

Dengan segera Kresna meracut ajiannya, dan menghaturkan sembah kepada sang Naradda, Kanekaputra.

“Sudahlah, pulanglah kembali ke Wirata, bukankah kamu datang bukan sebagai orang yang diberi wasesa, tapi datang sebagai pengawak duta? dan sebenarnya kamu sudah tahu apakah yang bakal terjadi nanti. Bahwa perang Baratayuda harus terjadi ?” Batara Naradda menasihati Kresna.

“Aduh pukulun, seketika hamba tidak waspada, ketika para Kurawa datang bagai air bah mendekati kami dan Setyaki dengan senjata ditangan masing-masing. Maafkan hamba pukulun, ijinkanlah sekarang kami kembali ke Wirata” Jawab Sri Kresna membela diri.

<<< ooo >>>

Sebelum kembali ke Wirata, kembali Kresna teringat akan kesanggupannya menyampaikan sesuatu kepada Karna, putra Kunti dari kecelakaan dalam menerapkan ajian ajaran Resi Druwasa ketika itu, sehingga Kunti hamil karena ulah Sang Hyang Surya.

Bertemulah Kresna dengan Karna, disampaikan salam dari sang ibu yang dalam hatinya tetap menyayanginya.

Page 27: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 27

Ketika Kresna dengan jujur mengatakan apa yang dilihatnya dengan mata hatinya, hati Karna merasa tersentuh. Akhirnya dia mengatakan hal yang menjadi rahasia hatinya selama ini.

“Kanda Kresna, mungkin hal ini tidak mengagetkan kanda. Tapi isi hati ini akan saya tumpahkan dihadapan kanda, sejujur-jujurnya tanpa ada yang aku simpan lagi” Tutur Karna Basusena.

Gb. 5 - Sri Kresna Triwikrama

“Sebenarnya kenapa adikmu berlaku seperti ini adalah, pertama, dinda bermaksud membalas budi kepada Prabu Duryudana atas kebaikan yang selama ini telah

Page 28: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 28

tertumpah kepadaku siang dan malam. Sepantasnyalah nyawaku aku pertaruhkan membelanya” Mulailah Karna menjelaskan ikhwal atas apa yang terjadi sesungguhnya.

“Kedua, sewaktu dulu ketika saya bertempur memperebutkan senjata Kunta Wijayandanu, perang tanding kedua adikmu, antara saya dengan Arjuna telah disaksikan oleh Sang Hyang Naradda, bahwa bila nanti perang besar darah Barata terjadi, tanding itu akan dilanjutkan hingga satu diantaranya akan tewas, kanda. Dan hal itu sudah menjadi garis pepasti”.

“Ketiga, angkara murka harus segera lenyap dari muka bumi, sebab itu niat adikmu ini adalah segera menjadikannya Baratayuda menjadi ajang tumpasnya angkara murka yang disandang oleh kakang Duryudana dari atas bumi Astina, kanda”.

Karna melanjutkan : “Biarlah putra bibi Kunti ini tetap lima, seandainya nanti aku bertanding melawan Arjuna, dan salah satunya gugur dalam palagan nanti”.

Termangu Sri Kresna mendengar pengakuan jujur dari Adipati Karna, dirangkulnya saudara sepupunya, saudara dari orang tua kakak beradik antara ayahnya, Prabu Basudewa sebagai ayah sri Kresna dengan adiknya Kuntitalibrata sebagai ibu Karna itu.

Setelah berjanji untuk tetap merahasiakan semua yang terucap itu. Minta dirilah Sri Kresna untuk pulang kembali ke Wirata.

<<< ooo >>>

Tersiar kabar luas bahwa Perang Baratayuda akan segera berlangsung. Para negara sekutu dari kedua belah pihak mulai bersiap datang dari berbagai penjuru dunia.

Sementara itu sesaji tawur dihidangkan kepada para dewa junjungan dari kedua belah pihak. Sang Dursasana dipasrahi tugas untuk mencari manusia sebagai tawur bebanten sebagai syarat akan keunggulan dalam perang nanti.

Berangkatlah Arya Dursasana mencari manusia yang sanggup dijadikan tumbal. Tanpa pilih-pilih lagi, ketika sampai di pinggir kali Cingcingguling, sepasang kakak adik kembar penambang (tukang menyeberangkan orang dengan perahu) Sarka dan Tarka, dirayu untuk dijadikan tumbal dengan janji anak istrinya bakal dimuliakan di negara Astina. Keduanya menolak, tapi Dursasana tetap memaksa. Dibunuhnya Sarka dan Tarka dengan keji.

Sukma dua penambang itu melayang dengan sumpah akan membalas kematiannya segera.

Page 29: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 29

Dipersembahkannya tumbal itu keharibaan Batara Kala, yang dengan gembira menerima dan sanggup untuk menumpas Pandawa yang memang salah satu sukerta yang berhak dimakannya. Berangkatlah Batara Kala diiringi harapan besar para Kurawa.

Sampailah Batara Kala dikediaman para Pandawa. “ Heee. . . sudah lama aku mengidamkan makanan satria-satria trah Pandawa, sekaranglah saatnya tidak ada yang menghalangi. Kresna yang telah kehilangan kembang Wijayakesuma, tak akan mampu menghalangiku memakan darah daging Pandawa” Kegirangan Batara Kala setelah mengetahui Kresna tak lagi mampu menghalangi maksudnya.

Kresna yang ditakuti Kala bila hendak memangsa manusia-manusia sukerta, jenis manusia dengan ikatan kekeluargaan tertentu dan berbuat sesuatu yang ditentukan, yang dijanjikan ayahnya Batara Guru boleh dimakan, tak kuasa menaklukkan Kala dengan cepat. Seluruh kekuatan dan mantra Sri Kresna yang sekarang hanya memiliki satu dari sepasang pusaka sakti Cakrabaswara dan kembang Wijayakusuma, dapat ditandingi oleh Kala.

<<< ooo >>>

Kahyangan Ondar-Andir Bawana. Ketika itu Raden Wisanggeni, Putra Arjuna dari Dewi Dersanala, sedang menghadap Sang Hyang Wenang, ayah penguasa Kahyangan Jonggring Salaka, Batara Guru.

Wisanggeni manusia setengah dewa karena ibunya adalah putri dari Sang Hyang Brahma, mengetahui apa yang sedang terjadi di Wirata dan mengajak bicara sang Hyang Wenang

“Kaki Wenang, sebenarnya Baratayuda itu jadi nggak sih?”

“Kenapa kamu tanyakan itu Wisanggeni, bukankah garis besar cerita tentang kejadian dijagat ini kamu sudah mengetahui, kecuali nasib dirimu sendiri, tidak ada yang menghalangi kemampuanmu melihat ke masa depan” Sang Hyang Wenang dengan sengaja mencoba menyelidiki kemauan Wisanggeni yang sebenarnya sudah ia pahami.

“Kalau begitu kaki Wenang, kenapa sekarang Kala memaksakan kehendak dengan menumpas Pandawa saat ini, kaki ?” sahut Wisanggeni dengan santai.

“Ya, aku sudah tau maksudmu, turunlah ke Wirata. Bawalah senjata gada ini sebagai ganti senjata andalan Kresna yang mampu mengalahkan Kala dalam maksudnya makan manusia-manusia sukerta” Sang Hyang Wenang segera memberikan senjata gada kepada Wisanggeni.

Page 30: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 30

“Nanti setelah selesai tugasmu segera kembalikan kemari lagi. Ada sesuatu yang aku hendak katakan kepadamu, Wisanggeni” sambung Hyang Wenang.

Segera Wisanggeni melesat turun dari haribaan Sang Hyang Wenang.

Gb. 6 – Bambang wisanggeni (gaya Solo)

Kresna yang kehilangan akal dalam membendung serangan Kala segera didekatinya dan diberikan gada pemberian Hyang Wenang.

“Uwa, kamu nggak akan bisa kalahkan Kala, bukankah uwa Kresna sudah tak lagi mempunyai sepasang pusaka andalan itu, wa?”

Page 31: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 31

“Lho kamu kulup, tahu saja orang tuamu ada dalam kerepotan, kemarikan gada itu kulup, biar aku hadapi kembali Batara Kala itu”.

Maju kembali Sri Kresna Menghadapi Sang Batara Kala. Kali ini tidak dua kali kerja. Ketika tanding kembali dan Kala lengah, gada inten segera menghajar tubuh Kala, dan segera Kala terkapar, bertobat dan mengaku kalah.

“Baiklah Kala, sekarang aku ampuni bila kamu tidak lagi lagi memakan dan mengganggu manusia sukerta. Sanggupkah kamu?”

Setelah menyanggupi syarat dari Kresna, pulanglah kembali Kala ke Pasetran Gandamayit.

Catatan:

Versi lain menyebutkan Batara Kala tewas saat itu bersama dengan Batari Durga ketika, Kresna yang menyamar sebagai Batara kala mengelabuhi Durga agar menyimpan gada inten pada kutangnya.

Wisanggeni yang sudah berjanji untuk datang kembali ke hadapan Sang Hyang Wenang, kembali datang setelah menerima kembali gada pemberian pinjam itu.

“Kaki Wenang, sekarang aku sudah kembali, apa yang hendak kaki katakan mengenai hal penting itu kak i?” tanya Wisanggeni.

“Wisanggeni, kamu pasti akan memilih Baratayuda akan dimenangkan para orang tuamu bukan?” Hyang Wenang pura-pura bertanya.

“Itu sudah pasti, nggak perlu ditanyakan lagi” kembali jawab Wisanggeni masih dengan santainya.

Lanjut Sang Wenang: “Apakah kamu rela menjadi tumbal atas kemenangan orang tuamu?”

“Kalau kaki Wenang sudah menggariskan seperti itu, apa keberatanku” sahut Wisanggeni. “Ayolah kaki Wenang, sempurnakan kematianku sekarang”

Segera sang Hyang Wenang menatap Wisanggeni dengan tajam. Pandangan Sang Hyang Wenang diiringi tatapan yang fokus menyebabkan tubuh Wisanggeni makin mengecil dan mengecil, akhirnya menjadi debu tertiup angin.

<<< ooo >>>

Terkisah tiga orang manusia bernama Resi Janadi beserta kedua cantriknya Cantrik Rawan dan Cantrik Sagatra. Ketiganya bertekat untuk mati sebagai tawur para Pandawa. Maka menghadaplah mereka kehadapan para Pandawa.

Page 32: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 32

“Gusti, perkenankan kami bertiga hendak meraih kemukten swargaloka dengan perantara paduka. Ini kami lakukan demi kejayaan trah paduka nanti di dalam perang agung nanti” begitu tutur Resi Janadi kepada Prabu Puntadewa.

Prabu puntadewa adalah manusia pengasih, tidak dapat menolak memberi atau menerima apapun yang orang lain minta atau berikan kepadanya.

“Yayi Arjuna, segera berikan apapun maksud ketiga orang ini”

Arjuna menghunus Pasupati, dilepaskan panah hadiah dewata ketika bertapa di Gunung Indrakila. Panah dengan tajam berbentuk bulan sabit itu menghembuskan kobaran api dan membakar ketiga manusia yang dengan sukarela menjadi tawur dalam kejayaan Perang Besar Baratayuda.

<<< ooo >>>

Goa Selamangleng, sebuah negara para rasaksa dengan kerajaan yang dibangun dalam goa batu dilereng gunung. Jangan samakan goa itu dengan tempat kumuh dan kotor, namun sejatinya kerajaan goa itu indah mengagumkan, berhiaskan dengan batu permata mutu manikam nan gemerlap, bagaikan berebut sinar dengan sorot sang surya.

Pagi itu sang penguasa, seorang raseksi, perempuan dengan sosok tinggi besar bernama Dewi Jatagini sedang duduk di balairung dihadap oleh anak semata wayangnya Kalasrenggi. Pemuda raksasa sebesar lumbung padi dengan muka seram bermulut manyun dihias gigi gerigi tajam, bak tajamnya batuan karang di lereng jurang pantai.

Catatan:

Dalam versi Mataraman dan Banyumasan, anak Dewi Jatagini ada yang menyebutkan sebagai anak kembar, yaitu Kalasrenggi dan Srenggisrana.

Kalasrenggi berketetapan hati untuk mengutarakan isi hati yang telah dipendamnya sedari kecil hingga menganggap sudah waktunya perasaan itu dimuntahkan dihadapan ibunya:

“Ibu, aku merasa sudah cukup waktu untuk mengetahui, siapakah sejatinya diri kami ini” Kalasrenggi memulai pembicaraan setelah sekian lama terdiam ragu untuk mengutaraakan hal ini.

“Sedari kecil hingga dewasa, saya tidak pernah merasakan bagaimana rasa seorang anak dibimbing oleh bapaknya. Walaupun ajaran kesaktian kanuragan telah dipenuhi oleh ibunda yang sakti mandraguna, tapi rasa ini tidak dapat dibohongi,

Page 33: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 33

rasa kedekatan anak lelaki dengan ayahnya adalah idaman setiap anak lelaki, ibunda” sambung Kalasrenggi.

Termangu dewi Jatagini mendengar penuturan anaknya yang sebelumnya diperkirakan pasti suatu hari akan menanyakan hal itu.

“Baiklah anakku, mungkin sudah saatnya aku beritahukan hal tentang kedua orang tuamu yang sebenarya, hingga kamu hadir didunia sekarang”. Kemudian Jatagini menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hingga terlahir Kalasrenggi.

<<< ooo >>>

Syahdan, ketika itu kakak beradik Prabu Jatayaksa dan Jatagini muda sedang kasmaran. Prabu Jatayaksa merindukan Dewi Subadra, yang sudah bersuamikan Arjuna, sedangkan Jatagini kasmaran dengan satria penengah Pandawa, Arjuna.

Jatayaksa berangkat ke Madukara sendiri hendak menculik Subadra, sedangkan Jatagini dengan diam-diam juga pergi dari Selamangleng hendak mencari Arjuna.

Keduanya memang sakti mandraguna dapat menjelma menjadi siapa saja yang diangankan.

Keduanya berubah menjadi orang orang yang dianggap dapat menaklukkan hati kekasih idamannya.

Nasib berkehendak lain, mereka bertemu dan memadu kasih sekembalinya ke Selamangleng. Lahirlah Kalasrenggi kemudian, seorang anak dengan ujud raksasa.

Curigalah keduanya dan berubah ujud kembali ke semula setelah saling mengaku kesejatian dirinya.

Dendam Jatayaksa dengan seribu rasa atas dipermalukannya keluarga Selamangleng tertumpah kepada Arjuna. Berangkatlah dia dengan lasykarnya menuju Madukara. Pertempuran terjadi antara prajurit Selamangleng dengan Madukara. Pertempuran Jatayaksadan Arjuna tidak dapat dielakkan lagi. Kesaktian Jatayaksa yang hebat membuat Arjuna keteteran yang akhirnya melepaskan panah Ardadedali mengenai dada Jatayaksa dan tewaslah sang raja Selamangleng.

<<< ooo >>>

“Itulah anakku kejadian yang sebenarnya, ayahmu yang juga uwakmu berpesan padaku, untuk memberikan segenap kesaktian kepada kamu, dan setelah kamu dewasa carilah Arjuna, balaslah dendam yang tertanam dalam-dalam didadaku ini, anakku” pesan sang ibu mengakhiri penjelasan asal usul kejadian yang telah lalu itu.

Page 34: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 34

“Ibu ijinkalah anakmu berangkat sekarang juga. Berikan aku ciri-ciri satria itu” tidak seranta Kalasrenggi hendak menuntaskan dendam kedua orang tuanya.

Sebenarnya keraguan Jatagini, harap akan keselamatan anaknya bercampur aduk dengan ijin yang diberikan.

“Baiklah, tetapi menurut prajurit pangisepan telik sandi, saat ini Pandawa sedang berada di Wirata dan kamu tidak dapat mengenali Arjuna kalau tidak aku beri ciri- cirinya” sambung sang ibu, yang kemudian menerangkan ciri target utama balas dendam.

<<< ooo >>>

Adalah Bambang Irawan, yang baru turun gunung dari Pertapaan Yasarata atau Candibungalan. Cucu Resi Jayawilapa, memaksa turun gunung ingin mengabdikan diri demi kejayaan trah-nya, Pandawa, karena ia adalah anak Arjuna. Tanpa restu sang Panembahan dan ibunya Dewi Manuhara, Bambang Irawan berangkat ke Wirata seorang diri.

Setelah bertemu dengan ayahnya dan para saudaranya yang lain, Irawan menyatakan kesanggupannya menjadi bebanten bagi kejayaan keluarga, keluarlah Irawan dari balirung dan berkumpul dengan para prajurit yang siap siaga menuju tegal Kuru keesokan harinya.

Nasib naas menimpanya, ketika Kalasrenggi yang tengah berupaya mencari tahu keberadaan Arjuna melihat satria dengan ciri ciri yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh ibundanya. Kalasrenggi rasaksa sakti yang dapat terbang itu segera turun, dan tanpa ba bi bu menyambar leher Bambang Irawan dengan moncongnya. Putus leher satria muda itu. Namun sebelum itu, sempat Bambang Irawan menancapkan pusakanya kedalam dada Kalasrenggi. Gugurlah Bambang Irawan berbarengan dengan lepasnya nyawa Kalasrenggi.

Catatan:

Terdapat versi lain yang menyebutkan, Kalasrenggi tewas oleh pusaka panah Srikandi ketika ketahuan membunuh Bambang Irawan, Pada babak awal Baratayuda.

<<< ooo >>>

Page 35: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 35

Perang Besarpun Dimulai di Hari Pertama itu

Gb. 7 – Perang Baratayuda (serat Baratayuda)

Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat.

Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa-rawa. Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.

Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok bagaikan kelompok kembang setaman.

Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.

Page 36: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 36

Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.

Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya. Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.

Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita berwatak prajurit.

Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Drupadi bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.

Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.

Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya kembali menyusul raja-raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci ini.

Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.

Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa

Page 37: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 37

tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.

Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.

<<< ooo >>>

Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.

Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya mesanggrah di Karangpandan.

<<< ooo >>>

Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke Randuwatangan.

“Kanjeng Ibu, putra-putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.

Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya

“Anak anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.

“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak Pandu adalah anak-anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu masih kecil”

Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa

Page 38: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 38

sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.

<<< ooo >>>

Gb. 8 – Senapati Bhisma (Dewabrata)

Page 39: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 39

Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.

Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.

“Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.

“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.

Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.

Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam relungnya.

Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk mengunduh segala pakarti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.

Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.

Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke alam tepet suci.

Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja Wirata yang sama-sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.

Page 40: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 40

Catatan:

Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata.

Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.

<<< ooo >>>

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.

Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.

Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati memberikan usul

“Anak-anak dan cucu-cucuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak-anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar para Kurawa dan sraya prajurit dari Trikarta Prabu Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.

“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak-anakku. Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian”.

“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.

Page 41: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 41

“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Untuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.

Catatan:

Pada versi lain, majunya Resi Seta ke palagan terjadi ketika Utara dan Wratsangka telah tewas dan terpancing kemarahan Resi Seta saat jugar dari tapa tidur.

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta ? Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.

Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.

Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.

Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya

“Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai aturan “.

Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu-waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka disisi kiri dan kanan.

Page 42: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 42

Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.

Gb. 9 – Arjuna dan Kresna (karya Herjaka HS)

“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan, paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.

Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja ?”.

“Iparku, bukankah sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.

“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang

Page 43: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 43

telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.

“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku agungkan?” tanya Arjuna.

“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna menjelaskan.

Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.

Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.

Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak Wratsangka.

Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur perang.

“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” teriakan para prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.

Page 44: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 44

Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.

Gb. 10 – Wratsangka (gaya Solo)

Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang

Page 45: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 45

ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.

Gb. 11 – Rukmarata (putra Prabu Salya)

Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.

Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna.

Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah.

“Jagad dewa batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger…“. Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.

Page 46: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 46

Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar, mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang.

“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!!”

Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.

Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari.

Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.

Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma madeg senapati.

<<< ooo >>>

Page 47: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 47

Hari-hari Panjang di Padang Kurusetra

Gb. 12 – Resi Seta

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang di langit berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari kembang.

Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam

Page 48: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 48

pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali terbenamnya matahari ? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari raga.

Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan dendam kematian adik-adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.

“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.

Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.

<<< ooo >>>

Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur.

Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.

Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya, dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak kembar penggedor pertahanan lawan.

Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.

Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.

Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk, sementara Kartamarma selamat.

Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.

Page 49: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 49

Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.

Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik-adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.

<<< ooo >>>

Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung-burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.

<<< ooo >>>

Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa diatas angin Seta sesumbar “Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.

“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.

Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.

Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.

<<< ooo >>>

Page 50: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 50

Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”

Gb. 13 – Dewi Gangga

Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan dandanan serba putih.

“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu tanya.

Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”

“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”

“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.

Page 51: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 51

“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. sambung Sang Batari.

<<< ooo >>>

Beginilah cerita singkatnya ngger anakku :

“Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.

Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu kehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.

Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.

Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama-sama.

Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang dirasa kelewat berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di bengawan Gangga.

Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat baginya.

Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga disanggupinya permitaan yang satu itu.

Hari berganti, bulan berlalu dan tahun-tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan.

Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata ! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.

Page 52: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 52

Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari, hingga terucap kata-kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam kawidodaren”.

Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.

Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya. Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda Matswapati.

Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang Pandawa, dan Sentanu.

Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.

“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.

Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam lautan.

“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”

“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempuran, Aku bekali dengan senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.

Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama-lama melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.

<<< ooo >>>

Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.

“Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat ?” Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.

Page 53: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 53

“Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak menyerahkan nyawa ?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.

Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah, jatuh kebumi seiring muncratnya darah dari dada sang satria.

Gb. 14 – Seta terkena panah Bisma

Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan mata.

Sementara itu, para Pendawa dan anak-anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “

Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.

Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan

Page 54: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 54

“Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah prajurit wanita”

Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.

Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.

Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar terhindarkan.

Catatan:

Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.

“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.

“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”

Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.

<<< ooo >>>

Page 55: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 55

Akhir Perjalanan Sang Jahnawisuta

Gb. 15 – Akhir hidup Bisma (versi India)

Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.

“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu !“ Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat kemenangan akan segera datang.

Lanjutnya

“Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”

“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti

Page 56: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 56

Eyang Bisma ?!!” berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan.

Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.

Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut

“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”

“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!”

Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.

Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup kedalam.

Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.

<<< ooo >>>

Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung.

Page 57: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 57

Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara panjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.

Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.

Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.

Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu-waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.

Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.

Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim kemarau panjang.

Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh mengerikan.

Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.

Page 58: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 58

Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.

Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.

Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.

Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.

Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.

“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.

“Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.

“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.

“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”

“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.

Page 59: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 59

Gb. 16 – Wara Srikandi

Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”

“Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”

“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.

Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.

Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang lengan istrinya dan mengajaknya dengan lembut “Ayolah istriku, jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma.”

Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.

<<< ooo >>>

Page 60: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 60

Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan.

Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum. Dalam hatinya mengatakan

“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.

Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.

Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-bulan tanpa henti.

Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.

Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya, Dewi Amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini.

Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.

Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.

Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing,

Page 61: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 61

menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang membuncah.

Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.

<<< ooo >>>

Gb. 17 – Resi Bisma menanti ajal dikelilingi Pandawa dan Kurawa

“Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti” tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.

“Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan

“Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.

Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing-masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat.

“Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.

Page 62: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 62

“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana gemetar.

Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya.

Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata

“Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”.

Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.

Tersenyum Bisma merasa puas “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!”

Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang senang.

Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar-bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah-patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya

“Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes”.

Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan anggur merah segar.

“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan”.

Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman.

Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali menolak pemberiannya.

Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia memerintahkan kepada adik-adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang,

Page 63: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 63

“Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”

Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna,

“Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.

Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya. Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.

Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum.

Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang.

<<< ooo >>>

Page 64: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 64

Rekadaya Durna, Sang Senapati Tua Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar-sebentar mengelus dada, sebentar-sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap-usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki-maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.

Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.

“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.

Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,

“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu. Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”

Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.

Page 65: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 65

Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.

Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar

Gb. 18 – Pandita Durna

“Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan-akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.

Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melanjutkan

Page 66: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 66

“Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul-agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku !. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.

“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Semua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.

“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”

Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.

“Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.

“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.

“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.

“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu-satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”.

Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.

“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya

“Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati

Page 67: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 67

Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana, Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.

Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan,

“Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”

Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidakpuasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.

”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.

Wajah-wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah

“Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.

“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.

<<< ooo >>>

Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.

Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.

Page 68: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 68

Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.

Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.

Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.

“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”

“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian”

Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan.

”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.

“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.

“Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.

Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya

“Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”

“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.Prabu Kresna mengingatkan.

Page 69: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 69

Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.

<<< ooo >>>

Gb. 19 – Drestajumna (gaya Solo)

Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari-hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna. Tandangnya

Page 70: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 70

trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.

Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.

Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuat terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.

Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna

“Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”

Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.

Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.

Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.

Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa.

Page 71: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 71

“Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.

Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit

Gb. 20 – Prabu Gardapati

“Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”.

Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.

Page 72: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 72

Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.

“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.

“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.

“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.

Katanya lagi

“Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah

“Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.

Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.

“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini” Kresna membuka nalar Drestajumna.

Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.

“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan

<<< ooo >>>

Page 73: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 73

Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.

“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.

“Utari, jangan dirasa-rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.

Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang” Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.

“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda-tanda aku juga mau hamil kakang” Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.

“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.

Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.

“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.

Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.

Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.

Page 74: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 74

Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.

“Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.

Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah bertambah-tambah.

Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.

Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.

<<< ooo >>>

*) Pada nama nama ini, diceritakan, saat diadakan penimbangan bobot antara Pandawa dan Kurawa dengan tujuan siapa yang lebih berat akan diberi kekuasaan memerintah Negara Astina, atas akal-akalan Sangkuni.

Sangkuni berpikir tidaklah Kurawa yang berjumlah seratus akan lebih ringan dari Pandawa yang hanya lima orang.

Ketika para Kurawa sudah naik semua ke batang traju, semacam timbangan dengan sebatang gelagar panjang dengan satu poros ditengahnya kemudian Bondan Paksajandu, Werkudara muda, naik dengan gerakan tiba tiba sehingga banyak Kurawa yang terpental jauh keseberang lautan. Termasuk didalamnya nama-nama ini, yang akhirnya mereka berhasil di pengembaraannya dan menjadi raja disana.

Page 75: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 75

Lunaslah Janji Abimanyu Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua-orang tua kami”

“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru” Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan” Pinta Abimanyu

“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !” Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar-kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penunggangnya untuk

Page 76: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 76

menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Gb. 21 – Bambang Sumitra (gaya Solo)

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.

Page 77: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 77

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.

Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.

Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing-masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.

Kelihatanlah kekuatan masing-masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.

Page 78: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 78

Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.

Gb. 22 – Dewi Utari

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.

“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !” kata-kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.

Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan

Page 79: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 79

Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.

Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal-akalannya,

“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus-teruskan, maka akan kalah kita. Minta pendapatnya nak angger Adipati !” Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini” Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita” Pandita Durna menjelaskan strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing” Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.

Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara

Page 80: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 80

orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

Gb. 23 – Siti Sundari

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan” Bangga Abimanyu.

Page 81: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 81

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi” Tutur Adipati Karna.

Terkekeh-kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”.

Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi-tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.

Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.

Page 82: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 82

Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!

Gb. 24 – Lesmana Mandrakumara

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia

Page 83: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 83

berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.

Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.

Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.

Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.

“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.

Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain-main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir, sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama

Page 84: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 84

beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.

Gb. 25 – Abimanyu Ranjap

Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.

Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang

Page 85: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 85

begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.

Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang .

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

<<< ooo >>>

Page 86: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 86

Ricuh di Bulupitu Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna.

Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh.

Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.

Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu.

Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.

Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.

“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara-saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.

Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.

“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati-hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam.

Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan

Page 87: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 87

lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa.

Gb. 26 – Werkudara

Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.

Page 88: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 88

Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan.

Gb. 27 – Arjuna

Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.

Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.

Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.

Page 89: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 89

<<< ooo >>>

Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu-satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar-sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.

Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang-orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.

Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.

Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana-mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.

Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya.

“Paman Harya Sangkuni!”

Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.

“Daulat sinuwun memanggil hamba “

“Ini siang atau malam?”

Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.

“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “

Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya.

Page 90: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 90

“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.”

“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.

Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.

“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”.

“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”.

Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.

“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita-cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.

Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba-tiba menjadi ketus.

“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!

“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang

Page 91: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 91

malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’

“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa”.

Gb. 28 – Prabu Duryudana

Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya.

Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya.

“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna. Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.

Page 92: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 92

Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.

“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”.

Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.

“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”.

Krepa memancing.

“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.

Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.

“Bicaralah Krepa, akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.

Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.

“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.

“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.

Page 93: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 93

“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.

“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”.

Gb. 29 – Resi Krepa

Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong.

“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”.

Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.

“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”.

Page 94: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 94

“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.

“Maksud paman Krepa?”

Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing.

Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,

“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.

“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”.

“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.

“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.

Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.

Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.

“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar.

Page 95: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 95

“Mengapa diumpamakan begitu?”

Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan.

“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.

“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”.

“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.

“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.

Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.

“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!”

“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku. Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”

“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi!

Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.

“Sumbanglah para Kurawa dengan ide-ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”

Page 96: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 96

Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu.

“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.”

Prabu Duryudana menyahut mengamini.

Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.

“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata-kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.

“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”.

Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.

“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.

Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas.

“Kakang Prabu kami minta pengayoman”

“Apa dasarnya”.

Jawab Karna.

“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.

Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.

“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.

Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.

Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.

Page 97: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 97

Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika.

Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban.

Gb. 30 – Aswatama

Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.

Aswatama memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun-ubun. Merah

Page 98: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 98

menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.

“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.

Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.

“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”

Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.

Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama. “Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”

Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.

“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya”.

“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil!”

Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.

Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.

<<< ooo >>>

Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.

Page 99: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 99

Ricuh juga di Kadilengeng Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.

Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati.

Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai memadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.

Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai-lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berebut dengan sinar rembulan.

Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun.

Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.

“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana.

“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.

“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.

Page 100: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 100

“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”.

Gb. 31 – Banowati

Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari-hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya.

Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi

Page 101: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 101

menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.

“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!” Tukas sang dewi.

“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab Duryudana terus terang.

Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.

“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”.

“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”.Banuwati menjawab singkat.

“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?” Pertanyaan basa-basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.

“Tetep sehat-sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba, pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa-basi membalas pertanyaan suaminya.

“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.

“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?” Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak.

“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !” Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.

Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”

“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan-jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan

Page 102: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 102

waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang-panjangkannya.

“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran” Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi.

“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri” ! Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai-sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya.

“Aku tidak mengerti” Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang.

“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri” Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri.

“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna” Pelahan Duryudana memberi penjelasan

“Lalu siapa ?” Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.

“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”.

Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.

“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya !”.

Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam

“Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . . . .”.

Page 103: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 103

“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan ? Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!” Jawab Banuwati ketus.

“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.

“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.

“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani-beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan.

“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ” Kembali Banuwati menyalahkan anaknya.

“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.

“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.

Kekesalan Banuwati mulai mengungkit-ungkit peristiwa lama.

“Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”

Tak mau berlarut-larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian.

“Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”.

Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu-sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya.

“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah-marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !”

Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela-sela sedunya.

Page 104: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 104

“Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri-istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.”

Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!

“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “

Kali ini Prabu Duryudana yang marah-marah,“Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”.

“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.

“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya.

“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.

Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”

“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.

“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”.

“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang-orang yang terbuang sebenar-benarnya !”

“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”.

Page 105: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 105

Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.

“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.

Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan !” beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.

“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi.

“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.

“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !” Jawab Banuwati terus terang.

“Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam.

Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.

“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.

“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya.

“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?.

Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”

Bagai bendungan yang jebol, segala unek-unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.

Page 106: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 106

“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! Tetapi aku juga peduli !!” jawab Duryudana tandas.

“Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.

“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.

“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah makin seru.

“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.

Namun kembali ia dicecar pertanyaan.

“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”

“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !” Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.

“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata-kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.

“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..

“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati

“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.

“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”

Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya.

Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas.

“Mau kemana ?”

Page 107: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 107

“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati bertanya balik.

Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu.

Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .

<<< ooo >>>

Page 108: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 108

Sihir Sakti Sempani

Gb. 32 – Bogadenta

Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini.

Page 109: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 109

Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.

“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping senapati”.

Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri-seri. Kehormatan sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka.

“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.

“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara.” Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu.

“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta.“Bukankan anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”.

Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna“Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung ?

“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus.

Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.

Page 110: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 110

Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya

“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.

Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara.

“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.

Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.

Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.

“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu”.

<<< ooo >>>

Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.

Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan peperangan dihari itu.

Page 111: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 111

Segera setelah barisan lawan masing-masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha.

Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.

“Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.

Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi disela-sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya masing-masing.

Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.

Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan-akan menjadi bulan-bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.

Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti-ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia-nyiakan

Page 112: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 112

kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya.

Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.

Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha

Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.

Dengan mengendap-endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian

“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya.

“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya.

“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?. Dari ciri-cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.

“Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.

“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma !”

Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada

Page 113: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 113

dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat-cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu.

Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.

Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya.

Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja, Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban.

Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah-tambah liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu-tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban.

Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing-masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian

Page 114: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 114

Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.

Gb. 33 – Jayadrata

Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.

“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”

Page 115: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 115

“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni.

“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”. perintah Durna Kumbayana.

“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,

Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.

Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan.

“Saya tidak takut dengan Werkudara. Kenapa saya harus diminta mundur ?!”

“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.

“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata mengemukakan keberatannya.

“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !”

Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya, Sempani.

“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke pesanggrahan kami ini ?”

“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.

“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.

Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.

Page 116: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 116

“Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”

“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia-sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.

Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.

“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu.”

Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena.

Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya.

Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !

Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.

Page 117: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 117

Terjerat Jerat Cinta, Arjuna-Murdaningsih Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.

Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun-tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.

Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.

“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa-basi telah usai dibicarakan.

“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga.

“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.

“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.

“Bila demikian, cita-cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”

Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya.

Page 118: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 118

“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu” Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu-satunya.

Gb. 34 – Dursilawati

“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak-abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal-akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya” Bicara Wisamuka, tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.

Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.

Page 119: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 119

“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.

Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.

“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !” Larang ibunya.

“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak ! Sekaranglah saatnya !” Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.

“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?” dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya.

“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?” Wisamuka malah kembali bertanya.

“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.

“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu” Kembali anaknya membantah.

Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.

“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”.

“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.

Page 120: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 120

Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dihalangi jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir.

Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya bertemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.

Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya.

Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.

“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.

Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna–lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya.

“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu ?”

Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.

“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”.

“Jangan main-main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi.” Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan.

Page 121: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 121

Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.

Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya.

Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi-tubi ke dada Arjuna.

“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main-main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.

Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup-hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.

Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang.

“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu-satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.

Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.

“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.

“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !”

Page 122: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 122

Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.

Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.

Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.

Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna.

Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.

Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati.

Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya.

Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.

Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak-geriknya.

Page 123: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 123

Gb. 35 – Wayang Gajah

Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya.

“Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna.

Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya.

“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.

Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri-ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.

Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.

Page 124: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 124

Teror Kepala Jayadrata Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada.

Kenes ia berputar disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi.

Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.

“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ? ”Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.

“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata-kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?”Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.

“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai-sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”

“Bahagianya hatiku, karena tidak sia-sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.

“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.

Page 125: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 125

“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya.

“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”.Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.

Gb. 36 – Murdaningsih, Gajah Murdaningkung dan Arjuna

“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna.

“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.

“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh-jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.

“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.

“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.

Page 126: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 126

Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala-galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja-puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu.

Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.

Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun-ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung.

Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis.

Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian.

Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya.

Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya, muncul ditengah kejadian.

Tahulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya.

“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna. Sekarang aku ambil alih peran kamu.”

Page 127: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 127

“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”

“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran

“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya

“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang.

“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”

Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.

Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.

Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga-tiganya saling bisa menolong sesama kawannya.

Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.

“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”

Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”

Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”.

“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.

“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.

Page 128: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 128

“Saya keteteran menghadapi lawan-lawan itu.” aku Arjuna

“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu.

“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.

“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.

Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.

“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”. Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.

<<< ooo >>>

Sampai ke palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.

Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan.

Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru-buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.

Page 129: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 129

Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.

Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.

“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.

Gb. 37 – Prabu Kresna (Pakualaman)

Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata.

Page 130: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 130

Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.

“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya.

Tersenyum Prabu Kresna. “Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !

Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam melihat tempat persembunyian Jayadrata.

“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu ?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata !”

“Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”

“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”

Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.

Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara-saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.

Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.

Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.

Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan

Page 131: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 131

yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.

Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.

Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.

Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.

Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan-bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.

Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu.

“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”

Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !

“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.

Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !

Page 132: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 132

Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.

Berulang kalimat ini diucapkan.

Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal-akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.

Gb. 38 – Jayadrata (Jogja)

Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya

Page 133: Buku baratayudha (part 1)

Baratayuda – wayangprabu.com Hlm 133

yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal-akalan yang dilakukan Kresna.

Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.

Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.

Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.

Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.

Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.

Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .

<<< ooo >>>