case b indonesia HMD.doc
-
Upload
amalianasar -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
Transcript of case b indonesia HMD.doc
Presentasi Kasus Kepada Yth
Tri Desvianita Bapak/Ibu dr...........................
Kamis, 11 Juni 2009
___________________________________________________________________________
PENYAKIT MEMBRAN HYALIN
PENDAHULUAN
Penyakit Membran Hyalin (PMH) atau disebut juga dengan Respiratory Distress
Sindrome merupakan gangguan pernafasan pada bayi kurang bulan yang disebabkan
kurangnya surfaktan paru. PMH merupakan penyebab terbanyak kesakitan dan kematian
pada bayi kurang bulan. Sekitar 50% PMH didapatkan pada bayi dengan usia kehamilan
kurang dari 30 minggu dan 2% pada kehamilan 35-36 minggu.1,2
Angka kejadian PMH berhubungan dengan usia kehamilan dan berat badan lahir.
Kejadian PMH beberapa tahun terakhir menurun dengan penggunaan steroid antenatal untuk
meningkatkan kematangan paru, terapi pasca natal dengan pemberian surfaktan secara dini
dan teknik penggunaan ventilator mekanik yang baik yang dapat mengurangi kerusakan paru
yang masih matur. Terapi ini juga meningkatkan angka harapan hidup pada bayi kurang
bulan. Meskipun angka kejadian sudah menurun namun beratnya komplikasi masih
menunjukkan morbiditas yang signifikan.2
PMH biasanya muncul dalam beberapa saat setelah bayi lahir yang ditandai dengan
keluhan merintih, pernafasan cepat dengan frekuensi > 60 kali/menit, sianosis, pernafasan
cuping hidung, retraksi epigastrium, interkostal dan supra sternal. Pada pemeriksaan radiologi
ditemukan gambaran retikulogranuler dan airbronkogram pada kedua lapangan paru.2
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan,
asfiksia perinatal, tindakan seksio caesaria, ibu dengan Diabetes Mellitus, kelahiran yang
dipercepat setelah perdarahan antepartum serta adanya riwayat sebelumnya dengan PMH.1,2
Presentasi kasus ini bertujuan untuk melaporkan kasus serta mengingat kembali
diagnosa dan penatalaksanaan penyakit PMH.
KASUS
Seorang bayi perempuan A umur 8 jam dirawat di perinatologi RSUP Dr. M Djamil
Padang selama 15 hari (dari tanggal 10 sampai 24 Februari 2009). Alloanamnesa didapatkan
dari bidan dan keluarga dengan keluhan utama merintih sejak 6 jam yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang merintih sejak 6 jam yang lalu. Sesak nafas sejak 6 jam
yang lalu. Muntah tidak ada, kejang tidak ada. Anak belum diberi minum. Buang air kecil
biasa. Buang air besar ada. Anak lahir seksio caesaria di rumah bersalin Padang atas indikasi
perdarahan antepartum ec plasenta previa. Berat badan lahir 2100 gr, panjang badan lahir 45
cm. Ibu plasenta previa dengan air ketuban jernih. APGAR skore 6/7 (partus luar). Anak
sudah diberi bantuan oksigen dari rumah bersalin.
Riwayat kehamilan sekarang Gravid 4 partus 3 abortus tidak ada hidup 3, presentasi
bayi letak kepala. Anak pertama sampai anak ketiga lahir normal, cukup bulan, langsung
menangis, dengan jarak terakhir kehamilan 5 tahun. Pemeriksaan antenatal dengan bidan dan
dokter spesialis kandungan tidak teratur. Hari pertama haid terakhir lupa, tafsiran partus
tanggal 10 Maret 2009. Penyakit selama hamil perdarahan sejak kehamilan bulan ke tujuh.
Pemeriksaan terakhir waktu hamil : tekanan darah 120/80 mmHg, suhu afebris, hemoglobin
10 gr%, lekosit 5600/mm3, gula darah 110 gr%, golongan darah ibu dan ayah tidak diketahui.
Kebiasaan ibu waktu hamil: kualitas dan kuantitas makanan cukup, konsumsi obat-
obatan dari dokter spesialis kandungan dan bidan, merokok tidak ada. Riwayat persalinan:
berat badan ibu 65 kg tinggi badan ibu 165 cm. Persalinan di Rumah Bersalin Bunda
dipimpin oleh dokter spesialis kandungan. Jenis persalinan seksio caesaria atas indikasi
perdarahan antepartum ec plasenta previa. Komplikasi persalinan pada ibu: perdarahan, pada
bayi tidak ada. Medikasi waktu persalinan tidak diketahui. Kondisi ketuban jernih dengan
jumlah kurang lebih 300 ml.
Keadaan bayi saat lahir : lahir tanggal 10 Februari 2009 jam 01.05 wib. Jenis kelamin
perempuan, tunggal. Kondisi saat lahir : hidup. APGAR skore 6/7. Riwayat resusitasi:
pembersihan jalan nafas ada, pemberian vitamin K 1 mg. Plasenta: berat 300 gram, ukuran
tidak ada kelainan. Tali pusat: jumlah pembuluh darah 2 arteri dan 1 vena, tidak ada kelainan
Penilaian usia kehamilan belum dapat dinilai (dari kriteria fisik luar dan pilihan
kriteria neurologis menurut Dulbowittz).
Ayah pasien umur 50 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan wiraswasta, penghasilan Rp.
2.000.000/bulan. Ibu pasien umur 42 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan ibu rumah tangga.
Tinggal dirumah permanen, sumber air minum PDAM, wc didalam rumah, pekarangan kecil,
sampah dibuang petugas. Kesan hygiene dan sanitasi cukup.
Pemeriksaan fisik: keadaan umum letargi, berat badan 2100 gr panjang badan 45 cm.
Laju denyut jantung 144 kali/menit, laju nafas 80 kali/menit. Sianosis tidak ada. Ikterik tidak
ada. Suhu 36,7 C. Kepala: bentuk bulat simetris, ubun-ubun besar 1,5 x 1,5 cm, ubun-ubun
kecil 0,5 x 0,5 cm, jejas persalinan tidak ada. Mata: konjuntiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik. Telinga: tidak ditemukan kelainan. Hidung: ditemukan nafas cuping hidung. Mulut:
sianosis sirkum oral tidak ada. Leher: tidak ditemukan kelainan. Thorak: normochest, retraksi
pada epigastrium dan intercostal. Jantung: irama teratur bising tidak ada. Paru:
bronkovesikuler ronkhi tidak ada wheezing tidak ada. Abdomen: permukaan datar, kondisi
lemas, hati 1/4 x 1/4, limpa tidak teraba. Tali pusat tidak ditemukan kelainan. Umbilikus:
tidak ditemukan kelainan. Genitalia: labia minor menonjol. Ekstremitas: akral hangat, refiling
kapiler baik. Kulit: tidak ditemukan kelainan. Anus ada. Tulang-tulang: tidak ditemukan
kelainan. Reflek neonatal: Moro ada, rooting tidak ada, isap tidak ada, pegang ada. Ukuran:
lingkar kepala 32 cm, lingkaran dada 29, lingkaran perut 28, simpisis-kaki 20 cm, panjang
lengan 18 cm, panjang kaki 21 cm, kepala-simpisis 25 cm.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan: hemoglobin 11,8 gr% lekosit 12.200 hitung
jenis 0/0/1/69/26/1 eritrosit 3,81 juta/mm3 hematokrit 35% trombosit 213.000 retikulosit
66%, kesan anemia normositik normokrom.
Diagnosa kerja: NBBLR 2100 gr PBL 45 cm, lahir seksio sesaria atas indikasi
plasenta previa, ibu plasenta previa dengan ketuban jernih, tafsiran maturity belum dapat
dinilai, Apgar skore 6/7 (partus luar), derajat asfiksia sedang, kelainan kongenital tidak ada,
jejas persalinan tidak ada, penyakit sekarang Sindrom Gawat Nafas ec susp PMH DD/
Thymus hiperplasia + Anemia Normositik Normokrom.
Penatalaksanaan berupa pemberian oksigen 8 l/menit (head box), IVFD dextrose 10%
60 cc/kgBB/hari = 6 tetes/menit mikro, Ampisillin 2 x 100 mg, Gentamisin 1 x 10 mg, anak
sementara dipuasakan
Direncanakan pemeriksaan rontgen thorak, kultur darah, analisa gas darah, elektrolit,
pemeriksaan gula darah random dan pindah ke NICU. Setelah diterangkan mengenai
penyakit anak, orangtua pasien bersedia untuk pindah perawatan ke NICU tapi karena saat itu
NICU penuh pasien akhirnya dirawat di perinatologi didalam inkubator. Hasil laboratorium:
AGD pH= 7,35 pC02= 30 mmHg p02= 86 mmHg HCO3= 16,6 mmol/L BE(B) -7,9 mmol/L
SO2 90% kesan : asidosis metabolik terkompensasi. Elektrolit: Natrium= 126 Kalium= 4,9
kesan dalam batas normal. Kadar gula darah random (GDR) = 79 mg/dl kesan dalam batas
normal.
Hari kedua rawatan sesak nafas masih ada, demam tidak ada, kejang tidak ada,
kebiruan tidak ada, nuntah tidak ada. Anak kurang aktif, laju denyut jantung 140 x/menit, laju
nafas 76 x/menit, suhu 37 0C, berat badan 2050 gr. Mata: konjuntiva tidak anemis sklera
tidak ikterik, nafas cuping hidung ada, retraksi ada, jantung dan paru: tidak ditemukan
kelainan, abdomen: distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik.
Penilaian tafsiran maturitas 32-33 minggu SMK (sesuai masa kehamilan).Kesan: takipnoe.
Disikapi dengan pemberian 02 8 l/menit head box. Pemberian cairan total 70 cc/kgBB/hari,
IVFD dekstrose 10% = 6 tetes/menit. Dicoba pemberian ASI/susu formula 8 x 3 cc lewat
NGT. Antibiotik dilanjutkan, diberikan Ranitidin 2 x 2 mg dan Omeprazol 1 x 1 mg.
Hari ketiga rawatan sesak nafas berkurang, demam tidak ada, kejang tidak ada,
kebiruan tidak ada, residu tidak ada. Anak kurang aktif, nadi 136 x/menit, nafas 62 x/menit,
suhu 37 0C, berat badan 2050 gr. Mata: konjuntiva tidak anemis sklera tidak ikterik, nafas
cuping hidung ada, retraksi ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen:
distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: perbaikan minimal.
Disikapi dengan pemberian 02 8 l/menit head box. Pemberian cairan total 80 cc/kgBB/hari
dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 20 cc (protein 0,5 gr), pemberian
ASI/SF 4 x 5 cc dan 4 x 7,5 cc lewat NGT. Antibiotik, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan.
Hasil ekspertise rontgen tampak gambaran retikulogranuler disertai air bronkogram dikedua
paru, jantung dalam batas normal, kesan: PMH grade II-III. Hasil kultur darah: ditemukan
kuman Enterobacter, sensitif dengan Ciprofloxacin, Sulbactam + Cefoperazon, Meropenem,
disikapi dengan mengganti antibiotik Ronem 2 x 40 mg.
Hari kelima rawatan sesak nafas berkurang, demam tidak ada, muntah tidak ada,
residu tidak ada, tampak kuning sampai dada. Anak kurang aktif, laju denyut jantung 140
x/menit, laju nafas 58 x/menit, suhu 37 oC, berat badan 2100 gr. Kulit: ikterik sampai dada,
mata: konjuntiva tidak anemis sklera ikterik, nafas cuping hidung ada, retraksi dada
berkurang, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak ada,
ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik.. Kesan: perbaikan minimal + ikterus grade I-II.
Disikapi dengan penurunan pemberian 02 menjadi 6 l/menit head box. Pemberian cairan total
100 cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 20 cc (protein
0,5 gr), pemberian ASI/SF 4 x 10 cc dan 4 x 15 cc. Ronem, Ranitidin dan Omeprazol
dilanjutkan. Rencana periksa bilirubin urine. Hasil bilirubin urine negatif
Hari ke tujuh rawatan sesak nafas berkurang, kebiruan tidak ada, demam tidak ada,
muntah tidak ada, residu tidak ada, tampak kuning sampai perut. Anak kurang aktif, laju
denyut jantung 144 x/menit, laju nafas 56 x/menit, suhu 36,7 oC, berat badan 2150 gr. Kulit:
ikterik sampai umbilikus, mata: konjungtiva tidak anemis sklera ikterik, nafas cuping hidung
ada, retraksi berkurang, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak
ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: ikterus grade II-III. Disikapi
dengan pemberian 02 6 l/menit head box. Pemberian cairan total 110 cc/kgBB/hari dengan
IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 40 cc (protein 1 gr), pemberian ASI 8 x
20 cc lewat NGT. Ronem, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan. Direncanakan pemeriksaan
bilirubin total, bilirubun I dan bilirubin II. Hasil laboratorium tidak keluar karena darah lisis,
direncanakan untuk dilakukan fototerapi. Fototerapi telah dilakukan 2 x 24 jam.
Hari kesembilan rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, anak tidak tampak
kuning,residu tidak ada, muntah tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 142
x/menit, laju nafas 50 x/menit, suhu 36,7 0C, berat badan 2150 gr. Mata: konjungtiva tidak
anemis sklera tidak ikterik, nafas cuping hidung tidak ada, retraksi tidak ada, jantung dan
paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat
refiling kapiler baik. Kesan: perbaikan. Disikapi dengan penurunan pemberian 02 menjadi 4
l/menit head box. Pemberian cairan total 110 cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% =
4 tetes/menit, pemberian ASI 8 x 25 cc lewat NGT, pemberian aminofuchin dihentikan.
Ronem, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan.
Hari keduabelas rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada,
residu tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 140 x/menit, laju nafas 48 x/menit,
suhu 36,7 oC, berat badan 2200 gr. Mata: konjungtiva tidak anemis, nafas cuping hidung
tidak ada, retraksi tidak ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi
tidak ada, ekstremitas akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: stabil, disikapi dengan
pemberian 02 4 l/menit dalam box (head box dilepas). Pemberian cairan total 130
cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, pemberian ASI 8 x 25 cc
disendokkan. Ronem (hari kesepuluh), Ranitidin dan Omeprazol dihentikan.
Hari kelima belas rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada,
residu tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 142 x/menit, laju nafas 48 x/menit,
suhu 36,7C, berat badan 2200 gr. Mata: konjungtiva tidak anemis, nafas cuping hidung tidak
ada, retraksi tidak ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak
ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: stabil. Disikapi dengan stop
pemberian oksigen, Ronem (hari ketigabelas). Pemberian ASI 4 x 30 cc dan 4 x 35 cc
dengan disendokkan. Keluarga pasien minta untuk pulang karena anak sudah membaik dan
keuangan sudah terbatas.
TINJAUAN PUSTAKA
HYALINE MEMBRANE DISEASE
DEFINISI
Hyaline Membrane Disease (HMD) atau Respiratory Distress Sindrome adalah gawat
nafas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, diitandai
dengan adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung, dispnoe/takipnoe), retraksi
suprasternal, interkostal atau epigastrium, merintih dan sianosis, yang menetap atau menjadi
progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologik ditemukan
adanya pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram. 1,2
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria HMD bila didapatkan sesak
napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat
alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan,
edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al
(1988) disebut HMD bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak
langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya
disfungsi organ non pulmonar. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila kejadian akut, ada
infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal ≤ 18mmHg dan tidak ada bukti
secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2
kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2
kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu HMD.3
EPIDEMIOLOGI
Neonatus adalah bayi baru lahir sampai berumur 4 minggu. Kehidupan janin dan
neonatus ini merupakan lanjutan pertumbuhan dan perkembangan organ manusia yang
dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor dalam rahim dan faktor luar rahim. Angka kematian
neonatus pada negara maju jauh lebih rendah dibanding negara berkembang. Di Singapura
angka kematian neonatal adalah 13,5 ‰ pada tahun 1980, sedangkan di Indonesia pada tahun
yang sama diperkirakan 46,0 ‰. Penyebab kematian neonatus di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 1986 adalah cacat bawaan (33,3%), sindrom gawat nafas (20,1%), infeksi
(19,4%), asfiksia (17,7%) dan penyebab lain (9,5%).4 HMD adalah penyakit gawat nafas yang
merupakan penyebab utama kematian pada bayi kurang bulan karena kurangnya surfaktan
paru. Pada penelitian di Swedia tahun 1977 ditemukan prevalensi HMD 0,33%. Di Amerika
Serikat 1,72% pada bayi baru lahir berkembang menjadi HMD pada tahun 1986-1987,
dimana HMD menduduki urutan pertama penyakit gawat nafas pada bayi baru lahir.
Cambridge tahun 1990-1994 menadapati HMD sebagai penyebab kematian utama dan kasus
terbanyak penyakit gawat nafas pada bayi baru lahir.5
HMD berhubungan dengan usia gestasi dan berat badan. Sekitar 1 % bayi baru lahir
dapat berkembang menjadi HMD.6,7 Ditemukan 60-80% pada bayi dengan usia gestasi
kurang dari 28 minggu, 15% pada usia gestasi 32-36 minggu dan 5% pada usia gestasi 37
minggu. Insiden meningkat pada bayi laki-laki dan orang kulit putih.7 Dalam penelitian
NICHD Neonatal Reseach Network, Fanaroff tahun 2005 dilaporkan bahwa 42% pada bayi
dengan berat badan lahir 501-1500 gram menderita HMD, yang meliputi 71% antara 501-750
gram, 54% pada 701-1000 gram, 36% antara 1001-1250 gram, dan 22% antara 1251-1500
gram.8 HMD jarang ditemukan pada bayi cukup bulan. Resiko terjadinya HMD meningkat
pada ibu dengan Diabetes Melitus, kehamilan ganda, kelahiran dengan seksio caesaria,
asfiksia intra partum dan adanya riwayat HMD sebelumnya.2,5,6,7
ETIOLOGY
Penyebab Hyaline Membrane Disease adalah defisiensi surfaktan dalam paru.
Surfaktan adalah suatu senyawa kompleks yang terdiri dari protein dan phospholipid yang
berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan pada alveoli. Surfaktan adalah senyawa
kompleks antara lipid dan protein, dimana 90% terdiri atas lipid dan 10% protein.
Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) atau disebut juga dengan lecitin merupakan
komponen utama surfaktan paru yang berjumlah hampir 65% di antara glycerophospholipid
dari surfaktan. Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak
kedua, yaitu 8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di
alveoli,tapi secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah
oleh protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan
SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya. SP-
A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik
pengambilan surfaktan oleh sel alveolar epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A
diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP (analog),
epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein yang lebih kecil
yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids.2,7,9,10
Gambar 1. Komposisi dari surfaktan
Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II
dan mielin tubuler yang dimulai pada gestasi 22-24 minggu dan mulai berfungsi pada masa
gestasi 32-36 minggu. Fungsinya adalah untuk menurunkan tegangan permukaan dan
membantu menjaga stabilitas alveoli dengan mencegah alveolli kollap pada akhir ekspirasi
dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi berikutnya. Pada bayi dengan paru-
paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan dalam jumlah yang cukup pada saat lahir
sehingga alveolli akan kolaps pada saat akhir ekspirasi dan tidak mampu kembang kembali
pada saat inspirasi, sehingga pada waktu inspirasi butuh usaha besar.2,6,7,8
Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan
paru yaitu dengan cara menghitung rasio lesithin-sfingomielin dari cairan amnion.11
Sintesa surfaktan tergantung pada kondisi pH normal, suhu dan perfusi yang yang
optimal. Keadaan asfiksia, hipoksemia dan iskemik pulmonal, khususnya pada kondisi
hipovolemia, hipotensi dan stres dingin dapat menekan sintesa surfaktan. Epitel paru dapat
rusak dengan konsentrasi oksigen yang tinggi dan juga efek dari management respirator dapat
mengakibatkan penurunan sintesa surfaktan lebih lanjut.6,7
Gambaran 2. Pembentukan surfaktan
Fosfolipid dan protein surfaktan disintesa oleh sel alveolar tipe II. Surfaktan lipid dan surfaktan protein B (SP-
B) serta surfaktan protein C (SP-C) ditransportasi ke badan multivesikuler dan setelah proses proteolitik,
disediakan didalam lamellar body. SP-B,SP-C dan surfaktan lipid disekresi ke dalam alveoli dan berinteraksi
dengan surfaktan protein A (SP-A) pada tubuler myelin yang terdiri atas multilayer dan monolayer, yang
kemudian akan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan alveoli. Sisa surfaktan akan diambil dan
dimanfaatkan kembali atau dikatabolisne oleh sel alveolar tipe II. Makrofag alveolar memainkan peranan pada
bagian pembersihan dan katabolisme surfaktan lipid dan protein. 9
Meskipun jarang kelainan genetik bisa mengakibatkan gangguan pernafasan.
Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C yaitu gen yang berguna untuk transport
surfaktan melewati membran (ABCA3), kelainan ini sering menimbulkan kegawatan dan
kematian.7,12
TES KEMATANGAN PARU
Pengukuran kematangan paru janin dapat dilakukan dengan beberapa tes yaitu:
1. Rasio lesithin - sfingomyelin rasio
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan sebagai tolok ukur
kematangan paru, yaitu dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan
sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck
dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai
standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan
Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC). Gluck dkk
menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20
minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu.
Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan
bahwa HMD sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Adanya mekonium
dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah
menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin,
tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip
lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.7,13,14
2. Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga
agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan lambung yang dicampur
ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari
cairan lambung seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.
Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml
ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan
pengenceran lebih dari 2 kali merupakan indikasi maturitas paru janin. Tes shake
ini dilakukan dalam 30 menit setelah kelahiran13,14
3. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip
tehnologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur
mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio
surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada
albumin dan surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah
albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan
maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur
analisa pantulan secara otomatis rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana
hasilnya berhubungan dengan maturasi paru janin. Menurut referensi yang
digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan immatur bila rasio <
40 mg/dl, intermediet 40-59 mg/dl, dan matur bila lebih atau sama dengan 60
mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu
interpretasi hasil test.12,13
4. Jumlah lamellar body dalam cairan amnion. Lamellar body adalah kumpulan
fosfolipid yang diproduksi oleh sel alveolar tipe II dan ada dalam cairan amnion.
Dengan meningkatnya usia kehamilan meningkat pula jumlah lamellar body. Pada
suatu penelitian bila ditemukan jumlah lamellar body lebih dari 50.000
menunjukkan kematangan paru.12
PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya HMD pada bayi prematur adalah alveoli
yang kecil sehingga sulit berkembang, compliance paru yang kurang sempurna karena
dinding thorak yang masih lemah serta adanya defisiensi surfaktan.7
Defisiensi surfaktan ( penurunan sintesa dan sekresi) adalah penyebab utama HMD.
Agen aktif surfaktan dilepas ke alveoli dimana mereka akan menurunkan tegangan
permukaan dan membantustabilitas alveoli dengan mencegah kollap pada akhir ekspirasi.
Surfaktan memiliki peningkatan konsentrasi dimulai pada usia kehamilan 20 minggu.
Kemunculan pada cairan amnion pada usia kehamilan 28-32 minggu. Tingkat maturitas paru
biasanya telah ada pada kehamilan lebih dari 35 minggu. Atelektasis alveolar, pembentukan
membran hyaline dan udem intersisial dapat menurunkan compliance paru sehingga butuh
tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan alvoli.7
Paru pada bayi dengan HMD memiliki karakteristik bewarna kemerahan seperti
jaringan hati dan tampak tidak berisi udara. Perkembangan HMD dimulai dengan kerusakan
atau terlambatnya sintesa dan sekresi surfaktan diikuti dengan beberapa kejadian yang dapat
meningkatkan keparahan HMD. Sintesa surfaktan adalah proses dinamik yang tergantung
pada pH, suhu, perfusi. Asfiksia, hipoksemia dan iskemik pulmonal yang berhubungan
dengan hipovolemik, hipotensi dan stres dingin dapat menekan sintesa surfaktan. Faktor lain
seperti terekspose oksigen tekanan tinggi, efek barotrauma dan volumetrauma dari bantuan
ventilator dapat menjadi penyebab langsung keluarnya sitokin proinflamator dan kemokin
yang selanjutnya akan merusak endotelial dan epitel alveolar, yang mengakibatkan terjadinya
penurunan sintesa surfaktan dan fungsinya. Kebocoran protein seperti fibrin ke dalam ruang
alveolar akan memperburuk defisiensi surfaktan dengan merangsang inaktifnya surfaktan.
Defisiensi surfaktan diiringi dengan penurunan compliance paru menyebabkan hipoventilasi
alveolar dan ventilasi-perfusi (V/Q) menjadi tidak seimbang. Hipoksemia berat dan
hipoperfusi sistemik mengakibatkan penurunan aliran oksigenasi jaringan yang kemudian
menimbulkan metabolik anaerob dan asidosis laktat. Hipoksemia dan asidosis juga
mengakibatkan hipoperfusi paru dan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pulmonal dan
selanjutnya memperburuk hipoksemia dan shunting darah dari ventrikel kanan ke kiri
melewati duktus arteriosus dan foramen ovale. Akibatnya aliran darah pulmonal berkurang
sehingga menimbulkan iskemik pada sel yang menghasilkan surfaktan.7,8
PATOLOGI
Gambaran paru berwarna ungu kemerahan dan konsistensi seperti organ hati. Pada
pemeriksaan mikroskopis ditemukan atelektasis yang luas dengan sejumlah duktus alveolar,
alveoli dan bronkiolus berisi asidophilic, homogen, atau membran granuler. Debris amnion,
perdarahan intra alveolar dan emfisema intersisial adalah tambahan yang dapat ditemukan
dalam jaringan paru, walaupun tidak selalu ada. Emfisema intersisial mungkin adalah
pertanda ketika bayi mencoba bernafas. Membran hyalin jarang ditemukan pada otopsi paru
bayi yang meninggal lebih awal dari 6-8 jam setelah kelahiran.7
Faktor-faktor Predisposisi HMD
Kelahiran prematur merupakan resiko terbesar untuk terjadinya HMD. Hampir
setengah dari bayi baru lahir dibawah usia gestasi 30 minggu akan berkembang menjadi
HMD. Bayi laki laki mempunyai tendensi yang lebih dibanding bayi perempuan dengan
perbandingan 1,7 : 1. 2
1. Seksio caesaria
Tindakan seksio caesaria dapat meningkatkan resiko gangguan pernafasan pada
neonatus. Pada usia gestasi 37 minggu 7,4% bayi berkembang menjadi gangguan
pernafasan setelah kelahiran dengan seksio caesaria dibanding 4,2% pada gestasi 38
minggu. Tidak semua bayi berkembang menjadi HMD, beberapa menjadi TTN
(Transien Takipnoe of Neonatal). Alasan meningkatnya resiko terjadinya gangguan
pernafasan pada bayi hampir cukup bulan dengan saksio caesaria disebabkan adanya
keterlambatan penyerapan cairan paru dan meningkatnya resiko hipertensi
pulmonal.2,5
2. Asfiksia
Bayi yang lahir dengan asfiksia meningkatkan resiko untuk terjadinya HMD. Insiden
HMD pada bayi prematur dengan APGAR skore ≤ 5 memiliki resiko 2 kali lebih
tinggi dibanding dengan APGAR skore > 5. Selama asfiksia perfusi paru menjadi
menurun pada level yang sangat rendah, hal ini menyebabkan terjadinya iskemik dan
merusak pembuluh kapiler paru. Akibatnya terjadi kebocoran protein dan masuk ke
dalam alveoli sehingga menginaktifkan surfaktan dan menambah resiko hipertensi
pulmonal.2,5
3. Ibu dengan Diabetes Mellitus
Bayi dengan ibu Diabetes Mellitus mengalami gangguan pada sintesa surfaktan.
Insulin memperlambat maturasi pada sel pneumosit tipe II dan menurunkan proporsi
phosphatidylcholine dalam surfaktan. Kelahiran cukup bulan pada gestai 36-37
minggu menurunkan resiko derajat keparahan HMD pada bayi dengan ibu Dibetes
Mellitus.2,5
4. Ibu dengan hipertensi,
Ibu dengan hipertensi kemungkinan mengakibatkan kelahiran kurang bulan dengan
seksio caesaria sebelum dimulainya proses kelahiran. Beberapa bayi dapat
berkembang menjadi ARDS dibanding HMD.2,5
5. Familial
Beberapa HMD dengan faktor familial telah dilaporkan dan hal ini berhubungan
dengan defisiensi protein dalam surfaktan (SP-B). Pada beberapa kasus tidak
ditemukannya SP-B, kematian tidak dapat dihindari walaupun dengan perawatan yang
intensif. Terapi surfaktan atau transplantasi paru dapat dilakukan untuk menekan
angka kematian.2,5
6. Kehamilan ganda
Pada kehamilam kembar, anak kedua biasanya mempunyai resiko lebih besar untuk
terjadinya HMD. Tidak jelas meningkatnya resiko ini disebabkan terlambatnya
kematangan paru dan meningkatnya resiko asfiksia pada kembar kedua.2,5
7. Hipotermi
Hipotermi berakibat buruk pada bayi prematur. Gangguan koagulasi dan tidak
efektifnya fungsi paru dimana hal ini diperberat dengan hipoksemia dan asiodosis
memberi dampak yang buruk pada bayi prematur.2,5
8. Nutrisi
Nutrisi sangat penting untuk pembentukan surfaktan dan pertumbuhan paru.
Defisiensi inositol merupakan penyebab penting pada beberapa kasus dan merupakan
suplemen pada bayi prematur yang berguna untuk merangsang maturasi pospolipid
pada surfaktan.2,5
9. Hemolytic Disease of The Newborn (HDN)
HDN dihubungkan dengan terlambatnya pematangan paru neonatal, tapi
mekanismenya pastinya belum diketahui.2,5
10. Hipotiroid
Tiroid penting untuk perkembangan surfaktan. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa bayi kurang bulan dengan HMD mempunyai kadar hormon tiroid yang rendah
dalam darah umbilikal. Meskipun begitu banyak bayi dengan hipotiroid kongenital
tidak berkembang menjadi HMD.5
MANIFESTASI KLINIK
Bayi yang menderita HMD bisanya adalah bayi kurang bulan yang lahir dengan berat
badan lahir antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu. Jarang
ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram dan masa gestasi lebih dari 38
minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa saat setelah kelahiran terutama
pada umur 6-8 jam. Gejala karakteristik bisanya timbul pada usia 24-72 jam dan setelah itu
keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila membaik biasanya
menghilang pada akhir minggu pertama. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik
gangguan pernafasan berupa : takipnoe yaitu frekuensi nafas lebih dari 60 kali /menit,
merintih atau grunting, sianosis, retraksi pada sternum, epigastrium dan interkostal.2,5,6
Klasifikasi Gangguan Nafas 15
Frekuensi nafas
(pernafasan/menit)
Merintih saat ekspirasi
Retraksi dinding dada
Klasikasifikasi
60-90
60-90
> 90
> 90
-
+
-
+
Ringan
Sedang
Sedang
Berat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
Hipoksemia, hiperkapnia, dan kombinasi asidosis metabolik atau asidosis respiratorik
merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada HMD. Gambaran pH darah kadang-kadang
dapat menentukan prognosa bayi, pH darah yang menetap dibawah 7,20 untuk beberapa jam
menandakan adanya proses asidosis yang berat dan biasanya prognosa penyakit akan buruk.
Pemeriksaan tekanan gas darah menunjukkan PaO2 yang menurun. Penurunan ini disebabkan
berkurangnya absorpsi O2 dalam paru dan adanya pirau venoarterial. Demikian pula PaCO2
akan terlihat meninggi karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 akibat adanya
atelektasis paru. Pemeriksaan fungsi paru akan memperlihatkan perubahan fungsi paru seperti
volume tidal yang menurun, compliance paru yang menurun, kapasitas sisa fungsional yang
rendah disertai kapasitas vital yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru
akan terganggu.2,7
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya defisiensi surfaktan dengan beberapa
pemeriksaan seperti rasio lesithin-sfingomielin < 2 serta shake test dengan hasil tidak
ditemukannya gelembung yang berarti resiko tinggi untuk terjadinya HMD.12,13
Tidak ada kelainan yang spesifik dari pemeriksaan darah rutin pada HMD. Jumlah
lekosit biasanya normal, bila meningkat ( > 35.000/mm3 ) atau menurun ( < 6000/mm3 )
dipikirkan adanya keadaan sepsis. Trombositopenia bukan keadaan yang biasa ditemukan
pada HMD, kecuali dengan keadaan sepsis atau DIC (Disseminated Intravaskuler
Coagulation). Trombositopenia pernah dilaporkan akibat komplikasi dari ventilasi mekanik.
Pemeriksaan kelainan koagulan seperti prothrombin time dan partial tromboplastin time dapat
ditemukan memanjang pada bayi prematur yang diperburuk dengan adanya HMD.2,12
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan
diagnosa yang tepat. Disamping itu pemeriksaan juga bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang mempunyai gejala yang serupa seperti hernia diafragma,
pneumothorak dan lain-lain. Pada permulaan penyakit gambaran foto thorak mungkin tidak
khas, tetapi dengan berlanjutnya penyakit maka akan terlihat gambar klasik yang karakteristik
untuk penyakit tersebut. 2,5,6,7
Berdasarkan foto thorak stadium HMD adalah sebagai berikut :1,2
1. Stadium dini ( stadium I ) : ditemukan bercak milier paru dengan diameter 0,6 mm
dikenal dengan pola retikulogranuler
2. Stadium II : pola retikulo granuler disertai bayangan bronkogram udara sampai
lapangan perifer kedua paru, batas diafragma kabur
3. Stadium III : kedua lapangan paru tampak radio opak dengan bronkogram udara
sampai lapangan perifer paru, batas jantung dan diafragma tidak tampak lagi
4. Stadium IV : bercak menjadi satu dan merat disebut paru putih
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan bayi dengan gangguan pernafasan membutuhkan dukungan fisiologis
umum yang luas, pemantauan tanda vital dan dukungan ventilasi yang efektif. Kebanyakan
penyakit paru pada neonatus berkaitan dengan meningkatnya permeabilitas vaskuler paru dan
paling baik ditangani dengan restriksi cairan.12
Pemberian oksigen harus adekuat, PaO2 dipertahankan antara 60-80 mmHg.
Pemberian oksigen yang terlalu tinggi harus dicegah karena dapat menyebabkan kerusakan
paru dan retina (Retinophaty of Prematurity). Suplemen oksigen dapat diberikan tanpa
ventilasi mekanik melalui : oksigen head box, sungkup muka, kateter nasal, prong nasal dan
inkubator. Penggunaan ventilasi mekanik salah satunya dengan CPAP (Continuous Positive
Airway Pressure) bertujuan untuk mengatasi atelektasis alveoli dengan pengembangan paru
yang cukup untuk memudahkan pertukaran gas yang adekuat sambil mengurangi beban
pernafasan bayi tanpa tekanan, volume dan aliran yang berlebihan.12
Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan menetapnya PDA dan udem paru.
Penurunan volume intravaskuler menyebabkan menurunnya curah jantung yang juga
menyebabkan memburuknya fungsi paru. Bayi kurang bulan menerima sedikitnya 60
kalori/kgBB/hari, dengan 10% terdiri dari protein. Pemberian cairan biasanya dimulai 60-80
ml/kgBB/hari dengan dekstrose 5% atau 10%. Dimulai pemberian elektrolit segera atau atas
indikasi. Secara bertahap naikkan asupan cairan sebanyak 120-140 ml/kgBB/hari.8,16
Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai segera setelah asam basa tercapai dan
fungsi paru normal, meskipun asupan kalori yang adekuat tidak memungkinkan pada awal
perjalanan penyakit. Bila keadaan bayi sudah stabil pemberian nutrisi intravena dengan asam
amino dapat ditambahkan dan dapat dimulai pemberian sejumlah kecil minum peroral
(diutamakan air susu ibu) dengan volume 1-2 ml setiap 3-4 jam melalui pipa lambung untuk
merangsang pertumbuhan mukosa usus, kemudian secara bertahap terapi nutrisi parenteral
dapat dikurangi.8,16
Suhu tubuh normal 36,5-37,50C adalah penting untuk penatalaksaan gangguan
pernafasan. Penurunan suhu tubuh akan sangat mempengaruhi keseimbangan asam basa yang
menyebabkan asidosis metabolik dan meningkatnya konsumsi oksigen. Meningkatnya
kelembaban dapat menambah kehilangan cairan dan panas melewati kulit yang belum matur.
Keutuhan kulit penting untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan suhu tubuh. Kulit
yang tidak utuh juga menyebabkan meningkatnya resiko infeksi sistemik.8,16
Posisi bayi dengan gangguan paru penting untuk penatalaksaan yang optimal.
Perubahan tubuh yang tidak terencana dapat merubah posisi pipa endotrakeal. Posisi
telentang berkepanjangan menyebabkan atektasis segmen paru posterior. Posisi lateral selama
ventilasi mekanik dapat membantu memperbaiki atelektasis atau emfisema. Posisi telungkup
dapat meningkatkan ventilasi karena ekspansi total paru lebih besar dan mempermudah
drainase sekret.16
Cara yang adekuat untuk mempertahankan terbukanya saluran nafas antara lain posisi,
pengisapan sekret, drainase postural, fisioterapi dada dan perkusi yang lembut. Fisioterapi
dada harus dihindari pada hari pertama BBLR karena meningkatkan resiko perdarahan
intraventrikel.. Pengisapan sekret yang berlebihan juga menyebabkan trauma saluran nafas.
Keuntungan dari fisioterapi dada antara lain adalah untuk mengeluarkan sekret dan
memperbaiki ventilasi.16
Dekompresi lambung dapat memperbaiki pergerakan diafragma. Mungkin diperlukan
pipa orogastrik atau nasogastrik untuk dekompresi lambung dan mengurangi udara usus.16
Koreksi asam basa yaitu pada keadaan asidosis metabolik diperbaiki dengan
pemberian sodium bikarbonat. Sebaliknya pada keadaan asidosis respiratoris pemberian
sodium bikarbonat tidak diindikasikan dan malah bisa meningkatkan pCO2 lebih lanjut.
Asidosis respiratorik atau metabolik terutama bila digabungkan dengan hipoksia dapat
menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal yang mneyebabkan gangguan ventilasi-perfusi
serta menurunnya cardiac output. Pada asidosis respiratorik terapi alkali seharusnya tidak
diberikan hingga dimulainya bantuan ventilasi. Bila hal ini gagal untuk mempertahankan
oksigenasi dan terjadinya peningkatan pH, sodium bikarbonat baru diberikan selama
pemberian bantuan ventilasi dan selalu berusaha mencari penyebab asidosis.
Disfungsi miokardial dapat terjadi dan menyebabkan penurunan perfusi perifer
dengan laktat asidemia dan asidosis metabolik. Hipotensi sistemik dapat muncul pada
stadium awal HMD, oleh karena itu perlu pengawasan terhadap tekanan darah sistemik
dengan melakukan pemasangan kateter arteri. Pemberian kristalloid dan obat vasosupressor
sering digunakan. Pada pasien dengan hipotensi persisten dan tidak respon terhadap terapi
cairan atau dengan katekolamin, ditatalaksana dengan pemberian hidrokortison. Kegagalan
duktus arteriosus menutup, nekrotik enterokolitis dan bronkopulmonal displasia adalah
komplikasi yang sering terjadi pada HMD Pemberian prostaglandin inhibitor seperti
indometacin atau ibuprofen, restriksi cairan, vasopresor dan pemberian diuretik (furosemid)
dapat diindikasikan untuk PDA dengan payah jantung.8
Pemberian antibiotik dilakukan sesudah pengambilan sampel darah untuk kultur.
Kombinasi penisillin dengan aminoglikosid adalah regimen pilihan untuk membunuh kuman
group B Streptokokkus yang merupakan penyebab tersering pneumonia neonatal. Bila
ditemukan hasil kultur negatif maka pemberian antibiotik dihentikan setelah 3-5 hari.8.12,16
Pada kejadian akut bayi dengan HMD dapat ditemukan anemia ringan, biasanya
pemeliharaan dengan patokan hematokrit paling sedikit 35-40% untuk memperkuat
oksigenasi. Walaupun begitu bila terjadi resiko yang potensial maka pemberian tranfusi darah
seharusnya dapat dipertimbangkan secara hati-hati.8
Surfaktan saat ini sangat penting untuk tatalaksana bayi baru lahir terutama yang
menderita HMD di NICU. Terapi surfaktan dapat mengurangi kematian sebesar 30-50%
tetapi belum dapat mengurangi angka progresif dari HMD menjadi Bronkopulmonary
Displasia. Terapi surfaktan harus segera diberikan setelah secara klinis HMD dapat
didiagnosis. Surfaktan dapat diberikan dengan 2 tujuan yaitu profilaksis yang diberikan saat
lahir atau segera setelah lahir pada neonatus yang mempunyai resiko tinggi untuk
berkembang menjadi HMD, atau sebagai terapi yaitu surfaktan yang diberikan setelah
dilakukan ventilasi mekanik awal pada neonatus yang terbukti secara klinis menderita
HMD.15,17,18
Rekomendasi pemberian dosis surfaktan adalah sebagai berikut :15
1. ALEC (Pumactant) : 100 mg (1,2 ml) diulang setelah 1 sampai 2 jam
2. Curosuf (Poractant) : 100 mg/kgBB (1,25 ml/kgBB) diulang setelah 12 dan 24 jam
3. Exosurf (Colfosceril) : 67,5 mg/kgBB (5 ml/kgBB) diulang setelah 12 dan 24 jam
4. Survanta (Beractant) : 100 mg/kgBB ( 4 ml/kgBB) diulang setiap 6 jam sampai 4
dosis.
Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT) dengan
bantuan Nasogastric tube (NGT) yang dapat dimasukkan tanpa melepas ventilator dengan
melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan
dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambungan antara ETT dengan slang
ventilator.15,17
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan utama adalah menghindari terjadinya kelahiran prematur karena
dasar terjadinya HMD akibat belum matangnya fungsi paru, oleh sebab itu pengenalan
maturitas fungsi paru memegang peran yang penting dalam pencegahan penyakit ini. Salah
satu cara adalah dengan menghitung perbandingan lesitin-spingomielin dalam cairan amnion,
apabila perbandingan lesitin-spingomielin kurang dari 2 maka berarti jumlah surfaktan pada
neonatus berkurang dan mempunyai resiko tinggi untuk berkembang menjadi HMD.12
Pemberian kortikosteroid antenatal dapat menurunkan resiko HMD. Pengobatan ini
bertujuan untuk meningkatkan produksi surfaktan, mempengaruhi maturitas paru dan organ
lain. Pengobatan ini diberikan pada wanita hamil usia gestasi 24-34 minggu dengan prematur
ruptur membran tanpa Chorioamnionitis yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
kelahiran prematur dalam 7 hari mendatang. Pemberian pada kehamilam < 24 minggu
dipertanyakan keefektifitasnya. Dosis yang digunakan adalah deksametason 6 mg
intramuskular 4 kali dengan interval 12 jam.Untuk betametason 12 mg intramuskular 2 kali
berjarak 24 jam. Dosis yang lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan
terapi kortikosteroid dan mungkin meningkatkan kerugian dari efek sampingnya. Kontra
indikasi pengobatan ini adalah Chorioamnionotis yang telah terbukti secara klinis atau
indikasi lain untuk kelahiran segera. Pada penelitian NICHD Neonatal Reseach Network
pengobatan betametason memperlihatkan penurunan kematian lebih signifikan secara statistik
dibandingkan dexametason. Disamping pemberian kortikosteroid, telah dilaporkan
penggunaan ambroxol pada beberapa center di Eropa untuk merangsang maturitas paru.
Namun sedikit penelitian memperlihatkan manfaat obat ini. 5-8
KOMPLIKASI
Komplikasi dari HMD dapat diakibatkan karena keadaan prematuritas dan atau akibat
dari penatalaksanaan dari penyakit ini. Perdarahan intra kranial, disebabkan oleh beberapa
faktor yang saling menunjang seperti belum berkembangnya susunan syaraf pusat terutama
sistem vaskularisasi. Adanya hipoksia dapt menimbulkan nekrosis iskemik terutama pada
pembuluh darah kapiler didaerah periventrikuler. Kerusakan kapiler yang menimbulkan
perdarahan tadi dapat pula terjadi di daerah ganglia basal dan jaringan otak lain.2,7
Komplikasi pneumothorak atau pneumomediastinum timbul pada bayi yang
maendapat bantuan ventilasi mekanik. Pemberian oksigen dengan tekanan yang tidak
terkontrol baik dapat menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan dapat
memasuki rongga thorak atau mediastinum. Pneumothorak atau pneumomediastinum
merupakan keadaan darurat yang memerlukan diagnosis dan tindakan dini. Kelainan ini dapat
memperberat atelektasis yang telah ada. Penderita dapat membaik dengan tindakan
konservatif tetapi pada beberapa kasus mungkin memerlukan pembedahan.5,8
Paten Duktus Arteriosus (PDA) ditemukan pada HMD yang berat dengan beberapa
alasan seperti keadaan prematur yang dihubungkan dengan gangguan perkembangan otot
sirkuler pada duktus. Pemberian cairan yang berlebih juga merupakan faktor penting yang
menyebabkan terjadinya PDA. Pada beberapa penelitian ditemukan resiko terbesar terjadinya
PDA pada bayi laki-laki yang sangat prematur setelah mendapat terapi surfaktan profilak.5,8
Retinopathy of Prematurity (ROP) merupakan penyebab utama kebutaan pada bayi.
Usia kehamilan, penyakit sistemik yang berat serta hiperoksemia adalah penyebab penting
dalam patogenesis ROP. Pemberian tekanan oksigen yang tidak terkontrol dengan baik dapat
meningkatkan resiko terjadinya ROP. Begitu juga kualitas rumah sakit dalam memberikan
perawatan neonatal dapat menentukan resiko kematian dan derajat kegawatan ROP.5
Displasia Bronkopulmoner, kebanyakan bayi dengan HMD yang memiliki berat
badan lahir kurang dari 1100 gram dapat berkembang menderita Displasia Bronkopulmoner
yaitu berkisar 40-70%. Pencegahan penyakit ini sulit, dengan pemberian kortikosteroid
antenatal dan pemberian terapi surfaktan diharapkan dapat menurunkan insiden penyakit
ini.5,8
PROGNOSIS
Prognosis HMD tergantung dari usia gestasi dan berat badan lahir. Pada derajat HMD
yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke 3 atau ke 4 dan pada hari yang ke 7
terjadi penyembuhan sempurna. Pada kasus yang berat angka kematian diperkirakan 20-40%.
Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru angka kematian ini dapat
diturunkan. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian
hari lebih sering disebabkan akibat komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat
dari penyakit itu sendiri.4
ANALISIS KASUS
Kasus seorang bayi berumur 8 jam dengan diagnosa NBBLR 2100 gr PBL 45 cm,
lahir seksio caesaria atas indikasi perdarah antepartum ec plasenta previa, ibu dengan
plasenta previa, ketuban jernih, tafsiran maturity belum dapat dinilai, Apgar skore 6/7 (partus
luar), derajat asfiksia sedang, kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada,
penyakit sekarang Sindrom Gawat Nafas ec susp HMD DD/ Thymus hiperplasia, Anemia
normositik normokrom. Dari anamnesa didapatkan keluhan merintih sejak 6 jam yang lalu,
sesak nafas sejak 6 jam yang lalu, demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada.
Faktor resiko pada bayi ini adalah lahir prematur (8 bulan) dengan berat badan rendah (2100
gram), asfiksia perinatal (APGAR 6/7), ibu dengan riwayat perdarahan ante partum ec
plasenta previa serta proses kelahiran secara seksio caesaria. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan keadaan umum letargi, frekuensi jantung 144 kali/menit, frekuensi nafas 80
kali/menit, sianosis tidak ada, ikterik tidak ada, suhu 36,7 C, nafas cuping hidung ada. Pada
dinding dada ditemukan retraksi pada epigastrium dan interkostal. Sesuai kepustakaan HMD
ditemukan pada bayi baru kurang bulan dengan beberapa faktor resiko, dan gejala timbul
beberapa jam setelah kelahiran yaitu antara 6-8 jam.
Pada pemeriksaan laboratorium didapati analisa gas darah sebagai berikut : pH 7,35
pC02 30 mmHg p02 96 mmHg HCO3 16,6 mmol/L BE(B) -7,9 mmol/L SO2 97% dengan
kesan : asidosis metabolik terkompensasi. Elektrolit ditemukan Natrium 126 Kalium 4,9,
kadar gula darah 79 mg/dl. Pada penderita HMD dapat ditemukan asidosis metabolik dan
hipoksemia yang disebabkan gangguan ventilasi dan perfusi. Sedangkan pada pasien ini
tekanan dan saturasi oksigen masih batas normal hal ini mungkin disebabkan pasien telah
mendapat bantuan oksigen sejak kelahiran dengan indikasi derajat asfiksia sedang. Pada
pemeriksaan radiologi ditemukan gambaran retikulogranuler disertai air bronkogram dikedua
paru, jantung dalam batas normal, gambaran ini sesuai dengan HMD grade II-III
Dalam kepustakaan adanya defisiensi surfaktan ditentukan dengan pemeriksaan
pematangan paru yaitu dengan pemeriksaan ratio lecitin-spingomielin < 2. Pada pasien ini
tidak dapat ditentukan perbandingan dari lecitin-spingomielin dikarenakan tidak ada
pemeriksaan antenatal yang dilakukan untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan antenatal
pada ibu pasien dilakukan secara tidak teratur, kadang-kadang pemeriksaan dilakukan ke
bidan dan diselingi juga dengan ke dokter spesialis kandungan. Pemeriksaan shake test pada
pasien ini tidak dapat dilakukan karena pasien lahir di rumah bersalin dan baru dibawa ke
RSUP Dr. M Djamil dengan keluhan setelah berusia 8 jam, sedangkan pemeriksaan shake
test seharusnya dilakukan dalam waktu setengah jam setelah kelahiran.
Pasien dengan HMD seharusnya dirawat intensive di NICU tapi pada pasien ini tidak
dapat dilakukan karena NICU sudah tidak dapat menerima pasien lagi karena terbatasnya
fasilitas yang ada. Pemberian terapi surfaktan belum dapat dilakukan di RSUP M Djamil
Padang karena belum tersedia di bank jaringan.
Penatalaksanaan pasien dengan HMD dilakukan dengan terapi suportif yaitu dengan
pemberian oksigen 10 l/menit head box untuk mempertahankan tekanan pO2 60-80 mmHg.
Pemberian cairan dimulai dengan 60 cc/kg BB/hari dengan dekstrose 10%. Pada hari pertama
pasien dipuasakan hal ini disebabkan kondisi pasien yang belum stabil dan masih sesak
dengan frekuensi nafas 80 kali/menit. Setelah hari kedua pasien dicoba untuk diberi minum
susu formula yang diberikan lewat NGT dengan porsi sedikit yang bertujuan untuk
merangsang mukosa lambung dan untuk memenuhi kalori makanan. Pemberian antibiotik
Ampisillin dan Gentamisin diberikan sejak hari pertama, setelah keluar hasil kultur yaitu
ditemukannya kuman enterobakter maka antibiotik diganti dengan Ronem sesuai dengan
hasil sensitifitasnya. Bayi dengan HMD sulit untuk dibedakan dengan pneumonia neonatal,
oleh karena itu perlu diberikan antibiotik spektrum luas (Ampisillin dan Gentamisin) hingga
keluarnya hasil kultur darah. Omeprazol dan ranitidin diberikan untuk melindungi saluran
pencernaan karena intake makanan yang diberikan belum adekuat.
Pada hari kelima perawatan sesak nafas berkurang dan pasien terlihat kuning sampai
ke dada. Pada literatur bayi dengan HMD dapat mengalami perbaikan pada hari ketiga.
Ikterus pada pasien ini tergolong ikterus fisiologis karena muncul pada hari ketiga dan tidak
disertai dengan perburukan. Namun pada hari ketujuh ikterik meningkat menjadi grade III
dan disikapi dengan pemberian fototerapi. Pada hari kesembilan pasien tidak sesak nafas dan
gejala ikterik hilang, pemberian ASI ditingkatkan dan aminofuchin dapat dihentikan. Pada
hari keduabelas rawatan head box dilepas dan pemberian oksigen diberikan dalam inkubator.
Pemberian oksigen yang berlebihan dapat menimbulkan komplikasi pada bayi kurang bulan
seperti berkembangnya retinopathy of prematurity. Hari kelima belas rawatan orangtua
pasien minta pulang karena kondisi anaknya yang telah membaik, pemberian antibiotik
Ronem hanya sampai hari ketiga belas, yang seharusnya diberikan sampai hari keempatbelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis NU. Penyakit membran hyalin. Cermin dunia kedokteran. 1998; 121: 19-20.
2. Halliday HL. Respiratory distress syndrome. In: Greenough A, Milner AD, editors. Neonatal respiratory disorder. 2nd ed. New York: Oxford university inc, 2003; p. 247-63.
3. Ware L, Matthay M. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med org. 2005 [cited 2005 April 19]; 350(13):1278-80. Available from: http://www.nejm.org.
4. Markum AH, Ismail S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, editors. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991; h. 205-7.
5. Greenough A, Roberton NR. Acute respiratory disease in the newborn. In: Greenough A, Roberton NR, editors. Text book of neonatology. 3th ed. London: Churchill Livingstone, 1999; p.481-514.
6. Chernick V, Boat TF, Willmott RW, Bush A, editors. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. 7th ed. Philladelpia: Saunders Elsevier, 2006; p. 320-25.
7. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. Philladelpia.Saunders Elsevier, 2007; p.731-41.
8. Rodriguez RJ, Martin RJ, Fanaroff AA. Respiratory distress syndrome and its management. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Neonatal perinatal medicine disease of the fetus and infant. 8th nd. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2006; p. 1097-1107.
9. Whitset JA, Weaver TE. Hydrophobic surfactant proteins in lung function and disease. N Engl J Med. 2002 [cite 2009 april 19]; 347(26): p. 2141-48.
10. Aly H. Respiratory disorder in the newborn: identification and diagnosis. Pediactric in review. 2004; 25(6): 201-7.
11. Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008; p. 323-42.
12. Shulenin S, Nogee LM, Annilo T, Wert SE, Whitsett JA, Dean M. ABCA3 gene mutation in newborns with fatal surfactant deficiency. N Engl J Med. 2004 [cite 2009 april 14]; 350(13): p. 1296-1303.
13. Cosmi EV. Fetal lung maturity tests. In: Prenat Neonat Med 2001;21-30.14. Scarpelli M. Fetal lung maturity tests assess the capacity to form surfactant foam films
at birth. Prenat Neonat Med 2001;15-20. 15. Wilson LM. Fungsi pernafasan normal. Dalam Anderson S, Wilson LM editors.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi empat. Jakarta: EGC, 1995; h.647-8.
16. Kosim MS. Gangguan nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku ajar neonatology. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan dokter anak indonesia, 2008; h.126-46.
17. Gomella TL, Cuningham MD, Eyal FG, Zenk KE, editors. Neonatology management, procedur, on call problem disease and drug. 5th ed. New York: Lange medical book, 2004; p. 44-68.
18. Kosim MS. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Paedatrica indonesiana. 2005; 45(11-12): p. 233-40.
19. Kopelman AE, Mathew OP. Common respiratory disorder of the newborn. Pediatrica in review. 1995; 16(6): p.209-15.