case b indonesia HMD.doc

40
Presentasi Kasus Kepada Yth Tri Desvianita Bapak/Ibu dr........................... Kamis, 11 Juni 2009 ______________________________________________________________ _____________ PENYAKIT MEMBRAN HYALIN PENDAHULUAN Penyakit Membran Hyalin (PMH) atau disebut juga dengan Respiratory Distress Sindrome merupakan gangguan pernafasan pada bayi kurang bulan yang disebabkan kurangnya surfaktan paru. PMH merupakan penyebab terbanyak kesakitan dan kematian pada bayi kurang bulan. Sekitar 50% PMH didapatkan pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30 minggu dan 2% pada kehamilan 35-36 minggu. 1,2 Angka kejadian PMH berhubungan dengan usia kehamilan dan berat badan lahir. Kejadian PMH beberapa tahun terakhir menurun dengan penggunaan steroid antenatal untuk meningkatkan kematangan paru, terapi pasca natal dengan pemberian surfaktan secara dini dan teknik penggunaan ventilator mekanik yang baik yang dapat mengurangi kerusakan paru yang masih matur. Terapi ini juga meningkatkan angka harapan hidup pada bayi kurang bulan. Meskipun angka kejadian sudah menurun namun beratnya komplikasi masih menunjukkan morbiditas yang signifikan. 2

Transcript of case b indonesia HMD.doc

Page 1: case b indonesia HMD.doc

Presentasi Kasus Kepada Yth

Tri Desvianita Bapak/Ibu dr...........................

Kamis, 11 Juni 2009

___________________________________________________________________________

PENYAKIT MEMBRAN HYALIN

PENDAHULUAN

Penyakit Membran Hyalin (PMH) atau disebut juga dengan Respiratory Distress

Sindrome merupakan gangguan pernafasan pada bayi kurang bulan yang disebabkan

kurangnya surfaktan paru. PMH merupakan penyebab terbanyak kesakitan dan kematian

pada bayi kurang bulan. Sekitar 50% PMH didapatkan pada bayi dengan usia kehamilan

kurang dari 30 minggu dan 2% pada kehamilan 35-36 minggu.1,2

Angka kejadian PMH berhubungan dengan usia kehamilan dan berat badan lahir.

Kejadian PMH beberapa tahun terakhir menurun dengan penggunaan steroid antenatal untuk

meningkatkan kematangan paru, terapi pasca natal dengan pemberian surfaktan secara dini

dan teknik penggunaan ventilator mekanik yang baik yang dapat mengurangi kerusakan paru

yang masih matur. Terapi ini juga meningkatkan angka harapan hidup pada bayi kurang

bulan. Meskipun angka kejadian sudah menurun namun beratnya komplikasi masih

menunjukkan morbiditas yang signifikan.2

PMH biasanya muncul dalam beberapa saat setelah bayi lahir yang ditandai dengan

keluhan merintih, pernafasan cepat dengan frekuensi > 60 kali/menit, sianosis, pernafasan

cuping hidung, retraksi epigastrium, interkostal dan supra sternal. Pada pemeriksaan radiologi

ditemukan gambaran retikulogranuler dan airbronkogram pada kedua lapangan paru.2

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya PMH adalah persalinan kurang bulan,

asfiksia perinatal, tindakan seksio caesaria, ibu dengan Diabetes Mellitus, kelahiran yang

dipercepat setelah perdarahan antepartum serta adanya riwayat sebelumnya dengan PMH.1,2

Presentasi kasus ini bertujuan untuk melaporkan kasus serta mengingat kembali

diagnosa dan penatalaksanaan penyakit PMH.

KASUS

Page 2: case b indonesia HMD.doc

Seorang bayi perempuan A umur 8 jam dirawat di perinatologi RSUP Dr. M Djamil

Padang selama 15 hari (dari tanggal 10 sampai 24 Februari 2009). Alloanamnesa didapatkan

dari bidan dan keluarga dengan keluhan utama merintih sejak 6 jam yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang merintih sejak 6 jam yang lalu. Sesak nafas sejak 6 jam

yang lalu. Muntah tidak ada, kejang tidak ada. Anak belum diberi minum. Buang air kecil

biasa. Buang air besar ada. Anak lahir seksio caesaria di rumah bersalin Padang atas indikasi

perdarahan antepartum ec plasenta previa. Berat badan lahir 2100 gr, panjang badan lahir 45

cm. Ibu plasenta previa dengan air ketuban jernih. APGAR skore 6/7 (partus luar). Anak

sudah diberi bantuan oksigen dari rumah bersalin.

Riwayat kehamilan sekarang Gravid 4 partus 3 abortus tidak ada hidup 3, presentasi

bayi letak kepala. Anak pertama sampai anak ketiga lahir normal, cukup bulan, langsung

menangis, dengan jarak terakhir kehamilan 5 tahun. Pemeriksaan antenatal dengan bidan dan

dokter spesialis kandungan tidak teratur. Hari pertama haid terakhir lupa, tafsiran partus

tanggal 10 Maret 2009. Penyakit selama hamil perdarahan sejak kehamilan bulan ke tujuh.

Pemeriksaan terakhir waktu hamil : tekanan darah 120/80 mmHg, suhu afebris, hemoglobin

10 gr%, lekosit 5600/mm3, gula darah 110 gr%, golongan darah ibu dan ayah tidak diketahui.

Kebiasaan ibu waktu hamil: kualitas dan kuantitas makanan cukup, konsumsi obat-

obatan dari dokter spesialis kandungan dan bidan, merokok tidak ada. Riwayat persalinan:

berat badan ibu 65 kg tinggi badan ibu 165 cm. Persalinan di Rumah Bersalin Bunda

dipimpin oleh dokter spesialis kandungan. Jenis persalinan seksio caesaria atas indikasi

perdarahan antepartum ec plasenta previa. Komplikasi persalinan pada ibu: perdarahan, pada

bayi tidak ada. Medikasi waktu persalinan tidak diketahui. Kondisi ketuban jernih dengan

jumlah kurang lebih 300 ml.

Keadaan bayi saat lahir : lahir tanggal 10 Februari 2009 jam 01.05 wib. Jenis kelamin

perempuan, tunggal. Kondisi saat lahir : hidup. APGAR skore 6/7. Riwayat resusitasi:

pembersihan jalan nafas ada, pemberian vitamin K 1 mg. Plasenta: berat 300 gram, ukuran

tidak ada kelainan. Tali pusat: jumlah pembuluh darah 2 arteri dan 1 vena, tidak ada kelainan

Penilaian usia kehamilan belum dapat dinilai (dari kriteria fisik luar dan pilihan

kriteria neurologis menurut Dulbowittz).

Ayah pasien umur 50 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan wiraswasta, penghasilan Rp.

2.000.000/bulan. Ibu pasien umur 42 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan ibu rumah tangga.

Page 3: case b indonesia HMD.doc

Tinggal dirumah permanen, sumber air minum PDAM, wc didalam rumah, pekarangan kecil,

sampah dibuang petugas. Kesan hygiene dan sanitasi cukup.

Pemeriksaan fisik: keadaan umum letargi, berat badan 2100 gr panjang badan 45 cm.

Laju denyut jantung 144 kali/menit, laju nafas 80 kali/menit. Sianosis tidak ada. Ikterik tidak

ada. Suhu 36,7 C. Kepala: bentuk bulat simetris, ubun-ubun besar 1,5 x 1,5 cm, ubun-ubun

kecil 0,5 x 0,5 cm, jejas persalinan tidak ada. Mata: konjuntiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik. Telinga: tidak ditemukan kelainan. Hidung: ditemukan nafas cuping hidung. Mulut:

sianosis sirkum oral tidak ada. Leher: tidak ditemukan kelainan. Thorak: normochest, retraksi

pada epigastrium dan intercostal. Jantung: irama teratur bising tidak ada. Paru:

bronkovesikuler ronkhi tidak ada wheezing tidak ada. Abdomen: permukaan datar, kondisi

lemas, hati 1/4 x 1/4, limpa tidak teraba. Tali pusat tidak ditemukan kelainan. Umbilikus:

tidak ditemukan kelainan. Genitalia: labia minor menonjol. Ekstremitas: akral hangat, refiling

kapiler baik. Kulit: tidak ditemukan kelainan. Anus ada. Tulang-tulang: tidak ditemukan

kelainan. Reflek neonatal: Moro ada, rooting tidak ada, isap tidak ada, pegang ada. Ukuran:

lingkar kepala 32 cm, lingkaran dada 29, lingkaran perut 28, simpisis-kaki 20 cm, panjang

lengan 18 cm, panjang kaki 21 cm, kepala-simpisis 25 cm.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan: hemoglobin 11,8 gr% lekosit 12.200 hitung

jenis 0/0/1/69/26/1 eritrosit 3,81 juta/mm3 hematokrit 35% trombosit 213.000 retikulosit

66%, kesan anemia normositik normokrom.

Diagnosa kerja: NBBLR 2100 gr PBL 45 cm, lahir seksio sesaria atas indikasi

plasenta previa, ibu plasenta previa dengan ketuban jernih, tafsiran maturity belum dapat

dinilai, Apgar skore 6/7 (partus luar), derajat asfiksia sedang, kelainan kongenital tidak ada,

jejas persalinan tidak ada, penyakit sekarang Sindrom Gawat Nafas ec susp PMH DD/

Thymus hiperplasia + Anemia Normositik Normokrom.

Penatalaksanaan berupa pemberian oksigen 8 l/menit (head box), IVFD dextrose 10%

60 cc/kgBB/hari = 6 tetes/menit mikro, Ampisillin 2 x 100 mg, Gentamisin 1 x 10 mg, anak

sementara dipuasakan

Direncanakan pemeriksaan rontgen thorak, kultur darah, analisa gas darah, elektrolit,

pemeriksaan gula darah random dan pindah ke NICU. Setelah diterangkan mengenai

penyakit anak, orangtua pasien bersedia untuk pindah perawatan ke NICU tapi karena saat itu

NICU penuh pasien akhirnya dirawat di perinatologi didalam inkubator. Hasil laboratorium:

Page 4: case b indonesia HMD.doc

AGD pH= 7,35 pC02= 30 mmHg p02= 86 mmHg HCO3= 16,6 mmol/L BE(B) -7,9 mmol/L

SO2 90% kesan : asidosis metabolik terkompensasi. Elektrolit: Natrium= 126 Kalium= 4,9

kesan dalam batas normal. Kadar gula darah random (GDR) = 79 mg/dl kesan dalam batas

normal.

Hari kedua rawatan sesak nafas masih ada, demam tidak ada, kejang tidak ada,

kebiruan tidak ada, nuntah tidak ada. Anak kurang aktif, laju denyut jantung 140 x/menit, laju

nafas 76 x/menit, suhu 37 0C, berat badan 2050 gr. Mata: konjuntiva tidak anemis sklera

tidak ikterik, nafas cuping hidung ada, retraksi ada, jantung dan paru: tidak ditemukan

kelainan, abdomen: distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik.

Penilaian tafsiran maturitas 32-33 minggu SMK (sesuai masa kehamilan).Kesan: takipnoe.

Disikapi dengan pemberian 02 8 l/menit head box. Pemberian cairan total 70 cc/kgBB/hari,

IVFD dekstrose 10% = 6 tetes/menit. Dicoba pemberian ASI/susu formula 8 x 3 cc lewat

NGT. Antibiotik dilanjutkan, diberikan Ranitidin 2 x 2 mg dan Omeprazol 1 x 1 mg.

Hari ketiga rawatan sesak nafas berkurang, demam tidak ada, kejang tidak ada,

kebiruan tidak ada, residu tidak ada. Anak kurang aktif, nadi 136 x/menit, nafas 62 x/menit,

suhu 37 0C, berat badan 2050 gr. Mata: konjuntiva tidak anemis sklera tidak ikterik, nafas

cuping hidung ada, retraksi ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen:

distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: perbaikan minimal.

Disikapi dengan pemberian 02 8 l/menit head box. Pemberian cairan total 80 cc/kgBB/hari

dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 20 cc (protein 0,5 gr), pemberian

ASI/SF 4 x 5 cc dan 4 x 7,5 cc lewat NGT. Antibiotik, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan.

Hasil ekspertise rontgen tampak gambaran retikulogranuler disertai air bronkogram dikedua

paru, jantung dalam batas normal, kesan: PMH grade II-III. Hasil kultur darah: ditemukan

kuman Enterobacter, sensitif dengan Ciprofloxacin, Sulbactam + Cefoperazon, Meropenem,

disikapi dengan mengganti antibiotik Ronem 2 x 40 mg.

Hari kelima rawatan sesak nafas berkurang, demam tidak ada, muntah tidak ada,

residu tidak ada, tampak kuning sampai dada. Anak kurang aktif, laju denyut jantung 140

x/menit, laju nafas 58 x/menit, suhu 37 oC, berat badan 2100 gr. Kulit: ikterik sampai dada,

mata: konjuntiva tidak anemis sklera ikterik, nafas cuping hidung ada, retraksi dada

berkurang, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak ada,

ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik.. Kesan: perbaikan minimal + ikterus grade I-II.

Disikapi dengan penurunan pemberian 02 menjadi 6 l/menit head box. Pemberian cairan total

Page 5: case b indonesia HMD.doc

100 cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 20 cc (protein

0,5 gr), pemberian ASI/SF 4 x 10 cc dan 4 x 15 cc. Ronem, Ranitidin dan Omeprazol

dilanjutkan. Rencana periksa bilirubin urine. Hasil bilirubin urine negatif

Hari ke tujuh rawatan sesak nafas berkurang, kebiruan tidak ada, demam tidak ada,

muntah tidak ada, residu tidak ada, tampak kuning sampai perut. Anak kurang aktif, laju

denyut jantung 144 x/menit, laju nafas 56 x/menit, suhu 36,7 oC, berat badan 2150 gr. Kulit:

ikterik sampai umbilikus, mata: konjungtiva tidak anemis sklera ikterik, nafas cuping hidung

ada, retraksi berkurang, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak

ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: ikterus grade II-III. Disikapi

dengan pemberian 02 6 l/menit head box. Pemberian cairan total 110 cc/kgBB/hari dengan

IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, aminofuchin 40 cc (protein 1 gr), pemberian ASI 8 x

20 cc lewat NGT. Ronem, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan. Direncanakan pemeriksaan

bilirubin total, bilirubun I dan bilirubin II. Hasil laboratorium tidak keluar karena darah lisis,

direncanakan untuk dilakukan fototerapi. Fototerapi telah dilakukan 2 x 24 jam.

Hari kesembilan rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, anak tidak tampak

kuning,residu tidak ada, muntah tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 142

x/menit, laju nafas 50 x/menit, suhu 36,7 0C, berat badan 2150 gr. Mata: konjungtiva tidak

anemis sklera tidak ikterik, nafas cuping hidung tidak ada, retraksi tidak ada, jantung dan

paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak ada, ekstremitas: akral hangat

refiling kapiler baik. Kesan: perbaikan. Disikapi dengan penurunan pemberian 02 menjadi 4

l/menit head box. Pemberian cairan total 110 cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% =

4 tetes/menit, pemberian ASI 8 x 25 cc lewat NGT, pemberian aminofuchin dihentikan.

Ronem, Ranitidin dan Omeprazol dilanjutkan.

Hari keduabelas rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada,

residu tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 140 x/menit, laju nafas 48 x/menit,

suhu 36,7 oC, berat badan 2200 gr. Mata: konjungtiva tidak anemis, nafas cuping hidung

tidak ada, retraksi tidak ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi

tidak ada, ekstremitas akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: stabil, disikapi dengan

pemberian 02 4 l/menit dalam box (head box dilepas). Pemberian cairan total 130

cc/kgBB/hari dengan IVFD dekstrose 12,5% = 4 tetes/menit, pemberian ASI 8 x 25 cc

disendokkan. Ronem (hari kesepuluh), Ranitidin dan Omeprazol dihentikan.

Page 6: case b indonesia HMD.doc

Hari kelima belas rawatan sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, muntah tidak ada,

residu tidak ada. Anak cukup aktif, laju denyut jantung 142 x/menit, laju nafas 48 x/menit,

suhu 36,7C, berat badan 2200 gr. Mata: konjungtiva tidak anemis, nafas cuping hidung tidak

ada, retraksi tidak ada, jantung dan paru: tidak ditemukan kelainan, abdomen: distensi tidak

ada, ekstremitas: akral hangat refiling kapiler baik. Kesan: stabil. Disikapi dengan stop

pemberian oksigen, Ronem (hari ketigabelas). Pemberian ASI 4 x 30 cc dan 4 x 35 cc

dengan disendokkan. Keluarga pasien minta untuk pulang karena anak sudah membaik dan

keuangan sudah terbatas.

Page 7: case b indonesia HMD.doc

TINJAUAN PUSTAKA

HYALINE MEMBRANE DISEASE

DEFINISI

Hyaline Membrane Disease (HMD) atau Respiratory Distress Sindrome adalah gawat

nafas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, diitandai

dengan adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung, dispnoe/takipnoe), retraksi

suprasternal, interkostal atau epigastrium, merintih dan sianosis, yang menetap atau menjadi

progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologik ditemukan

adanya pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram. 1,2

Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria HMD bila didapatkan sesak

napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap

dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat

alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan,

edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al

(1988) disebut HMD bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak

langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya

disfungsi organ non pulmonar. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila kejadian akut, ada

infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal ≤ 18mmHg dan tidak ada bukti

secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2

kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2

kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu HMD.3

EPIDEMIOLOGI

Neonatus adalah bayi baru lahir sampai berumur 4 minggu. Kehidupan janin dan

neonatus ini merupakan lanjutan pertumbuhan dan perkembangan organ manusia yang

dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor dalam rahim dan faktor luar rahim. Angka kematian

neonatus pada negara maju jauh lebih rendah dibanding negara berkembang. Di Singapura

angka kematian neonatal adalah 13,5 ‰ pada tahun 1980, sedangkan di Indonesia pada tahun

yang sama diperkirakan 46,0 ‰. Penyebab kematian neonatus di RS Cipto Mangunkusumo

Page 8: case b indonesia HMD.doc

Jakarta pada tahun 1986 adalah cacat bawaan (33,3%), sindrom gawat nafas (20,1%), infeksi

(19,4%), asfiksia (17,7%) dan penyebab lain (9,5%).4 HMD adalah penyakit gawat nafas yang

merupakan penyebab utama kematian pada bayi kurang bulan karena kurangnya surfaktan

paru. Pada penelitian di Swedia tahun 1977 ditemukan prevalensi HMD 0,33%. Di Amerika

Serikat 1,72% pada bayi baru lahir berkembang menjadi HMD pada tahun 1986-1987,

dimana HMD menduduki urutan pertama penyakit gawat nafas pada bayi baru lahir.

Cambridge tahun 1990-1994 menadapati HMD sebagai penyebab kematian utama dan kasus

terbanyak penyakit gawat nafas pada bayi baru lahir.5

HMD berhubungan dengan usia gestasi dan berat badan. Sekitar 1 % bayi baru lahir

dapat berkembang menjadi HMD.6,7 Ditemukan 60-80% pada bayi dengan usia gestasi

kurang dari 28 minggu, 15% pada usia gestasi 32-36 minggu dan 5% pada usia gestasi 37

minggu. Insiden meningkat pada bayi laki-laki dan orang kulit putih.7 Dalam penelitian

NICHD Neonatal Reseach Network, Fanaroff tahun 2005 dilaporkan bahwa 42% pada bayi

dengan berat badan lahir 501-1500 gram menderita HMD, yang meliputi 71% antara 501-750

gram, 54% pada 701-1000 gram, 36% antara 1001-1250 gram, dan 22% antara 1251-1500

gram.8 HMD jarang ditemukan pada bayi cukup bulan. Resiko terjadinya HMD meningkat

pada ibu dengan Diabetes Melitus, kehamilan ganda, kelahiran dengan seksio caesaria,

asfiksia intra partum dan adanya riwayat HMD sebelumnya.2,5,6,7

ETIOLOGY

Penyebab Hyaline Membrane Disease adalah defisiensi surfaktan dalam paru.

Surfaktan adalah suatu senyawa kompleks yang terdiri dari protein dan phospholipid yang

berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan pada alveoli. Surfaktan adalah senyawa

kompleks antara lipid dan protein, dimana 90% terdiri atas lipid dan 10% protein.

Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) atau disebut juga dengan lecitin merupakan

komponen utama surfaktan paru yang berjumlah hampir 65% di antara glycerophospholipid

dari surfaktan. Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak

kedua, yaitu 8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di

alveoli,tapi secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah

oleh protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan

SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya. SP-

A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik

Page 9: case b indonesia HMD.doc

pengambilan surfaktan oleh sel alveolar epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A

diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP (analog),

epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein yang lebih kecil

yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids.2,7,9,10

Gambar 1. Komposisi dari surfaktan

Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II

dan mielin tubuler yang dimulai pada gestasi 22-24 minggu dan mulai berfungsi pada masa

gestasi 32-36 minggu. Fungsinya adalah untuk menurunkan tegangan permukaan dan

membantu menjaga stabilitas alveoli dengan mencegah alveolli kollap pada akhir ekspirasi

dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi berikutnya. Pada bayi dengan paru-

paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan dalam jumlah yang cukup pada saat lahir

sehingga alveolli akan kolaps pada saat akhir ekspirasi dan tidak mampu kembang kembali

pada saat inspirasi, sehingga pada waktu inspirasi butuh usaha besar.2,6,7,8

Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan

paru yaitu dengan cara menghitung rasio lesithin-sfingomielin dari cairan amnion.11

Sintesa surfaktan tergantung pada kondisi pH normal, suhu dan perfusi yang yang

optimal. Keadaan asfiksia, hipoksemia dan iskemik pulmonal, khususnya pada kondisi

hipovolemia, hipotensi dan stres dingin dapat menekan sintesa surfaktan. Epitel paru dapat

rusak dengan konsentrasi oksigen yang tinggi dan juga efek dari management respirator dapat

mengakibatkan penurunan sintesa surfaktan lebih lanjut.6,7

Page 10: case b indonesia HMD.doc

Gambaran 2. Pembentukan surfaktan

Fosfolipid dan protein surfaktan disintesa oleh sel alveolar tipe II. Surfaktan lipid dan surfaktan protein B (SP-

B) serta surfaktan protein C (SP-C) ditransportasi ke badan multivesikuler dan setelah proses proteolitik,

disediakan didalam lamellar body. SP-B,SP-C dan surfaktan lipid disekresi ke dalam alveoli dan berinteraksi

dengan surfaktan protein A (SP-A) pada tubuler myelin yang terdiri atas multilayer dan monolayer, yang

kemudian akan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan alveoli. Sisa surfaktan akan diambil dan

dimanfaatkan kembali atau dikatabolisne oleh sel alveolar tipe II. Makrofag alveolar memainkan peranan pada

bagian pembersihan dan katabolisme surfaktan lipid dan protein. 9

Meskipun jarang kelainan genetik bisa mengakibatkan gangguan pernafasan.

Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C yaitu gen yang berguna untuk transport

surfaktan melewati membran (ABCA3), kelainan ini sering menimbulkan kegawatan dan

kematian.7,12

TES KEMATANGAN PARU

Pengukuran kematangan paru janin dapat dilakukan dengan beberapa tes yaitu:

1. Rasio lesithin - sfingomyelin rasio

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan sebagai tolok ukur

Page 11: case b indonesia HMD.doc

kematangan paru, yaitu dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan

sfingomielin dari cairan amnion. Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck

dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai

standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan

Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer chromatography (TLC). Gluck dkk

menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20

minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu.

Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan

bahwa HMD sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Adanya mekonium

dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah

menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin,

tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip

lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.7,13,14

2. Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini

bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga

agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan lambung yang dicampur

ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari

cairan lambung seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.

Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml

ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan

pengenceran lebih dari 2 kali merupakan indikasi maturitas paru janin. Tes shake

ini dilakukan dalam 30 menit setelah kelahiran13,14

3. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip

tehnologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur

mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio

surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada

albumin dan surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah

albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan

maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur

analisa pantulan secara otomatis rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana

hasilnya berhubungan dengan maturasi paru janin. Menurut referensi yang

digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan immatur bila rasio <

40 mg/dl, intermediet 40-59 mg/dl, dan matur bila lebih atau sama dengan 60

Page 12: case b indonesia HMD.doc

mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu

interpretasi hasil test.12,13

4. Jumlah lamellar body dalam cairan amnion. Lamellar body adalah kumpulan

fosfolipid yang diproduksi oleh sel alveolar tipe II dan ada dalam cairan amnion.

Dengan meningkatnya usia kehamilan meningkat pula jumlah lamellar body. Pada

suatu penelitian bila ditemukan jumlah lamellar body lebih dari 50.000

menunjukkan kematangan paru.12

PATOFISIOLOGI

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya HMD pada bayi prematur adalah alveoli

yang kecil sehingga sulit berkembang, compliance paru yang kurang sempurna karena

dinding thorak yang masih lemah serta adanya defisiensi surfaktan.7

Defisiensi surfaktan ( penurunan sintesa dan sekresi) adalah penyebab utama HMD.

Agen aktif surfaktan dilepas ke alveoli dimana mereka akan menurunkan tegangan

permukaan dan membantustabilitas alveoli dengan mencegah kollap pada akhir ekspirasi.

Surfaktan memiliki peningkatan konsentrasi dimulai pada usia kehamilan 20 minggu.

Kemunculan pada cairan amnion pada usia kehamilan 28-32 minggu. Tingkat maturitas paru

biasanya telah ada pada kehamilan lebih dari 35 minggu. Atelektasis alveolar, pembentukan

membran hyaline dan udem intersisial dapat menurunkan compliance paru sehingga butuh

tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan alvoli.7

Paru pada bayi dengan HMD memiliki karakteristik bewarna kemerahan seperti

jaringan hati dan tampak tidak berisi udara. Perkembangan HMD dimulai dengan kerusakan

atau terlambatnya sintesa dan sekresi surfaktan diikuti dengan beberapa kejadian yang dapat

meningkatkan keparahan HMD. Sintesa surfaktan adalah proses dinamik yang tergantung

pada pH, suhu, perfusi. Asfiksia, hipoksemia dan iskemik pulmonal yang berhubungan

dengan hipovolemik, hipotensi dan stres dingin dapat menekan sintesa surfaktan. Faktor lain

seperti terekspose oksigen tekanan tinggi, efek barotrauma dan volumetrauma dari bantuan

ventilator dapat menjadi penyebab langsung keluarnya sitokin proinflamator dan kemokin

yang selanjutnya akan merusak endotelial dan epitel alveolar, yang mengakibatkan terjadinya

penurunan sintesa surfaktan dan fungsinya. Kebocoran protein seperti fibrin ke dalam ruang

alveolar akan memperburuk defisiensi surfaktan dengan merangsang inaktifnya surfaktan.

Page 13: case b indonesia HMD.doc

Defisiensi surfaktan diiringi dengan penurunan compliance paru menyebabkan hipoventilasi

alveolar dan ventilasi-perfusi (V/Q) menjadi tidak seimbang. Hipoksemia berat dan

hipoperfusi sistemik mengakibatkan penurunan aliran oksigenasi jaringan yang kemudian

menimbulkan metabolik anaerob dan asidosis laktat. Hipoksemia dan asidosis juga

mengakibatkan hipoperfusi paru dan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pulmonal dan

selanjutnya memperburuk hipoksemia dan shunting darah dari ventrikel kanan ke kiri

melewati duktus arteriosus dan foramen ovale. Akibatnya aliran darah pulmonal berkurang

sehingga menimbulkan iskemik pada sel yang menghasilkan surfaktan.7,8

PATOLOGI

Gambaran paru berwarna ungu kemerahan dan konsistensi seperti organ hati. Pada

pemeriksaan mikroskopis ditemukan atelektasis yang luas dengan sejumlah duktus alveolar,

alveoli dan bronkiolus berisi asidophilic, homogen, atau membran granuler. Debris amnion,

perdarahan intra alveolar dan emfisema intersisial adalah tambahan yang dapat ditemukan

dalam jaringan paru, walaupun tidak selalu ada. Emfisema intersisial mungkin adalah

pertanda ketika bayi mencoba bernafas. Membran hyalin jarang ditemukan pada otopsi paru

bayi yang meninggal lebih awal dari 6-8 jam setelah kelahiran.7

Faktor-faktor Predisposisi HMD

Page 14: case b indonesia HMD.doc

Kelahiran prematur merupakan resiko terbesar untuk terjadinya HMD. Hampir

setengah dari bayi baru lahir dibawah usia gestasi 30 minggu akan berkembang menjadi

HMD. Bayi laki laki mempunyai tendensi yang lebih dibanding bayi perempuan dengan

perbandingan 1,7 : 1. 2

1. Seksio caesaria

Tindakan seksio caesaria dapat meningkatkan resiko gangguan pernafasan pada

neonatus. Pada usia gestasi 37 minggu 7,4% bayi berkembang menjadi gangguan

pernafasan setelah kelahiran dengan seksio caesaria dibanding 4,2% pada gestasi 38

minggu. Tidak semua bayi berkembang menjadi HMD, beberapa menjadi TTN

(Transien Takipnoe of Neonatal). Alasan meningkatnya resiko terjadinya gangguan

pernafasan pada bayi hampir cukup bulan dengan saksio caesaria disebabkan adanya

keterlambatan penyerapan cairan paru dan meningkatnya resiko hipertensi

pulmonal.2,5

2. Asfiksia

Bayi yang lahir dengan asfiksia meningkatkan resiko untuk terjadinya HMD. Insiden

HMD pada bayi prematur dengan APGAR skore ≤ 5 memiliki resiko 2 kali lebih

tinggi dibanding dengan APGAR skore > 5. Selama asfiksia perfusi paru menjadi

menurun pada level yang sangat rendah, hal ini menyebabkan terjadinya iskemik dan

merusak pembuluh kapiler paru. Akibatnya terjadi kebocoran protein dan masuk ke

dalam alveoli sehingga menginaktifkan surfaktan dan menambah resiko hipertensi

pulmonal.2,5

3. Ibu dengan Diabetes Mellitus

Bayi dengan ibu Diabetes Mellitus mengalami gangguan pada sintesa surfaktan.

Insulin memperlambat maturasi pada sel pneumosit tipe II dan menurunkan proporsi

phosphatidylcholine dalam surfaktan. Kelahiran cukup bulan pada gestai 36-37

minggu menurunkan resiko derajat keparahan HMD pada bayi dengan ibu Dibetes

Mellitus.2,5

4. Ibu dengan hipertensi,

Ibu dengan hipertensi kemungkinan mengakibatkan kelahiran kurang bulan dengan

seksio caesaria sebelum dimulainya proses kelahiran. Beberapa bayi dapat

berkembang menjadi ARDS dibanding HMD.2,5

5. Familial

Page 15: case b indonesia HMD.doc

Beberapa HMD dengan faktor familial telah dilaporkan dan hal ini berhubungan

dengan defisiensi protein dalam surfaktan (SP-B). Pada beberapa kasus tidak

ditemukannya SP-B, kematian tidak dapat dihindari walaupun dengan perawatan yang

intensif. Terapi surfaktan atau transplantasi paru dapat dilakukan untuk menekan

angka kematian.2,5

6. Kehamilan ganda

Pada kehamilam kembar, anak kedua biasanya mempunyai resiko lebih besar untuk

terjadinya HMD. Tidak jelas meningkatnya resiko ini disebabkan terlambatnya

kematangan paru dan meningkatnya resiko asfiksia pada kembar kedua.2,5

7. Hipotermi

Hipotermi berakibat buruk pada bayi prematur. Gangguan koagulasi dan tidak

efektifnya fungsi paru dimana hal ini diperberat dengan hipoksemia dan asiodosis

memberi dampak yang buruk pada bayi prematur.2,5

8. Nutrisi

Nutrisi sangat penting untuk pembentukan surfaktan dan pertumbuhan paru.

Defisiensi inositol merupakan penyebab penting pada beberapa kasus dan merupakan

suplemen pada bayi prematur yang berguna untuk merangsang maturasi pospolipid

pada surfaktan.2,5

9. Hemolytic Disease of The Newborn (HDN)

HDN dihubungkan dengan terlambatnya pematangan paru neonatal, tapi

mekanismenya pastinya belum diketahui.2,5

10. Hipotiroid

Tiroid penting untuk perkembangan surfaktan. Beberapa penelitian memperlihatkan

bahwa bayi kurang bulan dengan HMD mempunyai kadar hormon tiroid yang rendah

dalam darah umbilikal. Meskipun begitu banyak bayi dengan hipotiroid kongenital

tidak berkembang menjadi HMD.5

MANIFESTASI KLINIK

Bayi yang menderita HMD bisanya adalah bayi kurang bulan yang lahir dengan berat

badan lahir antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu. Jarang

ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram dan masa gestasi lebih dari 38

minggu. Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa saat setelah kelahiran terutama

Page 16: case b indonesia HMD.doc

pada umur 6-8 jam. Gejala karakteristik bisanya timbul pada usia 24-72 jam dan setelah itu

keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila membaik biasanya

menghilang pada akhir minggu pertama. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik

gangguan pernafasan berupa : takipnoe yaitu frekuensi nafas lebih dari 60 kali /menit,

merintih atau grunting, sianosis, retraksi pada sternum, epigastrium dan interkostal.2,5,6

Klasifikasi Gangguan Nafas 15

Frekuensi nafas

(pernafasan/menit)

Merintih saat ekspirasi

Retraksi dinding dada

Klasikasifikasi

60-90

60-90

> 90

> 90

-

+

-

+

Ringan

Sedang

Sedang

Berat

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:

Hipoksemia, hiperkapnia, dan kombinasi asidosis metabolik atau asidosis respiratorik

merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada HMD. Gambaran pH darah kadang-kadang

dapat menentukan prognosa bayi, pH darah yang menetap dibawah 7,20 untuk beberapa jam

menandakan adanya proses asidosis yang berat dan biasanya prognosa penyakit akan buruk.

Pemeriksaan tekanan gas darah menunjukkan PaO2 yang menurun. Penurunan ini disebabkan

berkurangnya absorpsi O2 dalam paru dan adanya pirau venoarterial. Demikian pula PaCO2

akan terlihat meninggi karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 akibat adanya

atelektasis paru. Pemeriksaan fungsi paru akan memperlihatkan perubahan fungsi paru seperti

volume tidal yang menurun, compliance paru yang menurun, kapasitas sisa fungsional yang

rendah disertai kapasitas vital yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru

akan terganggu.2,7

Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya defisiensi surfaktan dengan beberapa

pemeriksaan seperti rasio lesithin-sfingomielin < 2 serta shake test dengan hasil tidak

ditemukannya gelembung yang berarti resiko tinggi untuk terjadinya HMD.12,13

Tidak ada kelainan yang spesifik dari pemeriksaan darah rutin pada HMD. Jumlah

lekosit biasanya normal, bila meningkat ( > 35.000/mm3 ) atau menurun ( < 6000/mm3 )

Page 17: case b indonesia HMD.doc

dipikirkan adanya keadaan sepsis. Trombositopenia bukan keadaan yang biasa ditemukan

pada HMD, kecuali dengan keadaan sepsis atau DIC (Disseminated Intravaskuler

Coagulation). Trombositopenia pernah dilaporkan akibat komplikasi dari ventilasi mekanik.

Pemeriksaan kelainan koagulan seperti prothrombin time dan partial tromboplastin time dapat

ditemukan memanjang pada bayi prematur yang diperburuk dengan adanya HMD.2,12

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan rontgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan

diagnosa yang tepat. Disamping itu pemeriksaan juga bermanfaat untuk menyingkirkan

kemungkinan penyakit lain yang mempunyai gejala yang serupa seperti hernia diafragma,

pneumothorak dan lain-lain. Pada permulaan penyakit gambaran foto thorak mungkin tidak

khas, tetapi dengan berlanjutnya penyakit maka akan terlihat gambar klasik yang karakteristik

untuk penyakit tersebut. 2,5,6,7

Berdasarkan foto thorak stadium HMD adalah sebagai berikut :1,2

1. Stadium dini ( stadium I ) : ditemukan bercak milier paru dengan diameter 0,6 mm

dikenal dengan pola retikulogranuler

2. Stadium II : pola retikulo granuler disertai bayangan bronkogram udara sampai

lapangan perifer kedua paru, batas diafragma kabur

3. Stadium III : kedua lapangan paru tampak radio opak dengan bronkogram udara

sampai lapangan perifer paru, batas jantung dan diafragma tidak tampak lagi

4. Stadium IV : bercak menjadi satu dan merat disebut paru putih

PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan bayi dengan gangguan pernafasan membutuhkan dukungan fisiologis

umum yang luas, pemantauan tanda vital dan dukungan ventilasi yang efektif. Kebanyakan

penyakit paru pada neonatus berkaitan dengan meningkatnya permeabilitas vaskuler paru dan

paling baik ditangani dengan restriksi cairan.12

Pemberian oksigen harus adekuat, PaO2 dipertahankan antara 60-80 mmHg.

Pemberian oksigen yang terlalu tinggi harus dicegah karena dapat menyebabkan kerusakan

paru dan retina (Retinophaty of Prematurity). Suplemen oksigen dapat diberikan tanpa

ventilasi mekanik melalui : oksigen head box, sungkup muka, kateter nasal, prong nasal dan

inkubator. Penggunaan ventilasi mekanik salah satunya dengan CPAP (Continuous Positive

Page 18: case b indonesia HMD.doc

Airway Pressure) bertujuan untuk mengatasi atelektasis alveoli dengan pengembangan paru

yang cukup untuk memudahkan pertukaran gas yang adekuat sambil mengurangi beban

pernafasan bayi tanpa tekanan, volume dan aliran yang berlebihan.12

Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan menetapnya PDA dan udem paru.

Penurunan volume intravaskuler menyebabkan menurunnya curah jantung yang juga

menyebabkan memburuknya fungsi paru. Bayi kurang bulan menerima sedikitnya 60

kalori/kgBB/hari, dengan 10% terdiri dari protein. Pemberian cairan biasanya dimulai 60-80

ml/kgBB/hari dengan dekstrose 5% atau 10%. Dimulai pemberian elektrolit segera atau atas

indikasi. Secara bertahap naikkan asupan cairan sebanyak 120-140 ml/kgBB/hari.8,16

Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai segera setelah asam basa tercapai dan

fungsi paru normal, meskipun asupan kalori yang adekuat tidak memungkinkan pada awal

perjalanan penyakit. Bila keadaan bayi sudah stabil pemberian nutrisi intravena dengan asam

amino dapat ditambahkan dan dapat dimulai pemberian sejumlah kecil minum peroral

(diutamakan air susu ibu) dengan volume 1-2 ml setiap 3-4 jam melalui pipa lambung untuk

merangsang pertumbuhan mukosa usus, kemudian secara bertahap terapi nutrisi parenteral

dapat dikurangi.8,16

Suhu tubuh normal 36,5-37,50C adalah penting untuk penatalaksaan gangguan

pernafasan. Penurunan suhu tubuh akan sangat mempengaruhi keseimbangan asam basa yang

menyebabkan asidosis metabolik dan meningkatnya konsumsi oksigen. Meningkatnya

kelembaban dapat menambah kehilangan cairan dan panas melewati kulit yang belum matur.

Keutuhan kulit penting untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan suhu tubuh. Kulit

yang tidak utuh juga menyebabkan meningkatnya resiko infeksi sistemik.8,16

Posisi bayi dengan gangguan paru penting untuk penatalaksaan yang optimal.

Perubahan tubuh yang tidak terencana dapat merubah posisi pipa endotrakeal. Posisi

telentang berkepanjangan menyebabkan atektasis segmen paru posterior. Posisi lateral selama

ventilasi mekanik dapat membantu memperbaiki atelektasis atau emfisema. Posisi telungkup

dapat meningkatkan ventilasi karena ekspansi total paru lebih besar dan mempermudah

drainase sekret.16

Cara yang adekuat untuk mempertahankan terbukanya saluran nafas antara lain posisi,

pengisapan sekret, drainase postural, fisioterapi dada dan perkusi yang lembut. Fisioterapi

dada harus dihindari pada hari pertama BBLR karena meningkatkan resiko perdarahan

Page 19: case b indonesia HMD.doc

intraventrikel.. Pengisapan sekret yang berlebihan juga menyebabkan trauma saluran nafas.

Keuntungan dari fisioterapi dada antara lain adalah untuk mengeluarkan sekret dan

memperbaiki ventilasi.16

Dekompresi lambung dapat memperbaiki pergerakan diafragma. Mungkin diperlukan

pipa orogastrik atau nasogastrik untuk dekompresi lambung dan mengurangi udara usus.16

Koreksi asam basa yaitu pada keadaan asidosis metabolik diperbaiki dengan

pemberian sodium bikarbonat. Sebaliknya pada keadaan asidosis respiratoris pemberian

sodium bikarbonat tidak diindikasikan dan malah bisa meningkatkan pCO2 lebih lanjut.

Asidosis respiratorik atau metabolik terutama bila digabungkan dengan hipoksia dapat

menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal yang mneyebabkan gangguan ventilasi-perfusi

serta menurunnya cardiac output. Pada asidosis respiratorik terapi alkali seharusnya tidak

diberikan hingga dimulainya bantuan ventilasi. Bila hal ini gagal untuk mempertahankan

oksigenasi dan terjadinya peningkatan pH, sodium bikarbonat baru diberikan selama

pemberian bantuan ventilasi dan selalu berusaha mencari penyebab asidosis.

Disfungsi miokardial dapat terjadi dan menyebabkan penurunan perfusi perifer

dengan laktat asidemia dan asidosis metabolik. Hipotensi sistemik dapat muncul pada

stadium awal HMD, oleh karena itu perlu pengawasan terhadap tekanan darah sistemik

dengan melakukan pemasangan kateter arteri. Pemberian kristalloid dan obat vasosupressor

sering digunakan. Pada pasien dengan hipotensi persisten dan tidak respon terhadap terapi

cairan atau dengan katekolamin, ditatalaksana dengan pemberian hidrokortison. Kegagalan

duktus arteriosus menutup, nekrotik enterokolitis dan bronkopulmonal displasia adalah

komplikasi yang sering terjadi pada HMD Pemberian prostaglandin inhibitor seperti

indometacin atau ibuprofen, restriksi cairan, vasopresor dan pemberian diuretik (furosemid)

dapat diindikasikan untuk PDA dengan payah jantung.8

Pemberian antibiotik dilakukan sesudah pengambilan sampel darah untuk kultur.

Kombinasi penisillin dengan aminoglikosid adalah regimen pilihan untuk membunuh kuman

group B Streptokokkus yang merupakan penyebab tersering pneumonia neonatal. Bila

ditemukan hasil kultur negatif maka pemberian antibiotik dihentikan setelah 3-5 hari.8.12,16

Pada kejadian akut bayi dengan HMD dapat ditemukan anemia ringan, biasanya

pemeliharaan dengan patokan hematokrit paling sedikit 35-40% untuk memperkuat

Page 20: case b indonesia HMD.doc

oksigenasi. Walaupun begitu bila terjadi resiko yang potensial maka pemberian tranfusi darah

seharusnya dapat dipertimbangkan secara hati-hati.8

Surfaktan saat ini sangat penting untuk tatalaksana bayi baru lahir terutama yang

menderita HMD di NICU. Terapi surfaktan dapat mengurangi kematian sebesar 30-50%

tetapi belum dapat mengurangi angka progresif dari HMD menjadi Bronkopulmonary

Displasia. Terapi surfaktan harus segera diberikan setelah secara klinis HMD dapat

didiagnosis. Surfaktan dapat diberikan dengan 2 tujuan yaitu profilaksis yang diberikan saat

lahir atau segera setelah lahir pada neonatus yang mempunyai resiko tinggi untuk

berkembang menjadi HMD, atau sebagai terapi yaitu surfaktan yang diberikan setelah

dilakukan ventilasi mekanik awal pada neonatus yang terbukti secara klinis menderita

HMD.15,17,18

Rekomendasi pemberian dosis surfaktan adalah sebagai berikut :15

1. ALEC (Pumactant) : 100 mg (1,2 ml) diulang setelah 1 sampai 2 jam

2. Curosuf (Poractant) : 100 mg/kgBB (1,25 ml/kgBB) diulang setelah 12 dan 24 jam

3. Exosurf (Colfosceril) : 67,5 mg/kgBB (5 ml/kgBB) diulang setelah 12 dan 24 jam

4. Survanta (Beractant) : 100 mg/kgBB ( 4 ml/kgBB) diulang setiap 6 jam sampai 4

dosis.

Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT) dengan

bantuan Nasogastric tube (NGT) yang dapat dimasukkan tanpa melepas ventilator dengan

melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan

dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambungan antara ETT dengan slang

ventilator.15,17

PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan utama adalah menghindari terjadinya kelahiran prematur karena

dasar terjadinya HMD akibat belum matangnya fungsi paru, oleh sebab itu pengenalan

maturitas fungsi paru memegang peran yang penting dalam pencegahan penyakit ini. Salah

satu cara adalah dengan menghitung perbandingan lesitin-spingomielin dalam cairan amnion,

apabila perbandingan lesitin-spingomielin kurang dari 2 maka berarti jumlah surfaktan pada

neonatus berkurang dan mempunyai resiko tinggi untuk berkembang menjadi HMD.12

Pemberian kortikosteroid antenatal dapat menurunkan resiko HMD. Pengobatan ini

bertujuan untuk meningkatkan produksi surfaktan, mempengaruhi maturitas paru dan organ

Page 21: case b indonesia HMD.doc

lain. Pengobatan ini diberikan pada wanita hamil usia gestasi 24-34 minggu dengan prematur

ruptur membran tanpa Chorioamnionitis yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya

kelahiran prematur dalam 7 hari mendatang. Pemberian pada kehamilam < 24 minggu

dipertanyakan keefektifitasnya. Dosis yang digunakan adalah deksametason 6 mg

intramuskular 4 kali dengan interval 12 jam.Untuk betametason 12 mg intramuskular 2 kali

berjarak 24 jam. Dosis yang lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan

terapi kortikosteroid dan mungkin meningkatkan kerugian dari efek sampingnya. Kontra

indikasi pengobatan ini adalah Chorioamnionotis yang telah terbukti secara klinis atau

indikasi lain untuk kelahiran segera. Pada penelitian NICHD Neonatal Reseach Network

pengobatan betametason memperlihatkan penurunan kematian lebih signifikan secara statistik

dibandingkan dexametason. Disamping pemberian kortikosteroid, telah dilaporkan

penggunaan ambroxol pada beberapa center di Eropa untuk merangsang maturitas paru.

Namun sedikit penelitian memperlihatkan manfaat obat ini. 5-8

KOMPLIKASI

Komplikasi dari HMD dapat diakibatkan karena keadaan prematuritas dan atau akibat

dari penatalaksanaan dari penyakit ini. Perdarahan intra kranial, disebabkan oleh beberapa

faktor yang saling menunjang seperti belum berkembangnya susunan syaraf pusat terutama

sistem vaskularisasi. Adanya hipoksia dapt menimbulkan nekrosis iskemik terutama pada

pembuluh darah kapiler didaerah periventrikuler. Kerusakan kapiler yang menimbulkan

perdarahan tadi dapat pula terjadi di daerah ganglia basal dan jaringan otak lain.2,7

Komplikasi pneumothorak atau pneumomediastinum timbul pada bayi yang

maendapat bantuan ventilasi mekanik. Pemberian oksigen dengan tekanan yang tidak

terkontrol baik dapat menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan dapat

memasuki rongga thorak atau mediastinum. Pneumothorak atau pneumomediastinum

merupakan keadaan darurat yang memerlukan diagnosis dan tindakan dini. Kelainan ini dapat

memperberat atelektasis yang telah ada. Penderita dapat membaik dengan tindakan

konservatif tetapi pada beberapa kasus mungkin memerlukan pembedahan.5,8

Paten Duktus Arteriosus (PDA) ditemukan pada HMD yang berat dengan beberapa

alasan seperti keadaan prematur yang dihubungkan dengan gangguan perkembangan otot

sirkuler pada duktus. Pemberian cairan yang berlebih juga merupakan faktor penting yang

Page 22: case b indonesia HMD.doc

menyebabkan terjadinya PDA. Pada beberapa penelitian ditemukan resiko terbesar terjadinya

PDA pada bayi laki-laki yang sangat prematur setelah mendapat terapi surfaktan profilak.5,8

Retinopathy of Prematurity (ROP) merupakan penyebab utama kebutaan pada bayi.

Usia kehamilan, penyakit sistemik yang berat serta hiperoksemia adalah penyebab penting

dalam patogenesis ROP. Pemberian tekanan oksigen yang tidak terkontrol dengan baik dapat

meningkatkan resiko terjadinya ROP. Begitu juga kualitas rumah sakit dalam memberikan

perawatan neonatal dapat menentukan resiko kematian dan derajat kegawatan ROP.5

Displasia Bronkopulmoner, kebanyakan bayi dengan HMD yang memiliki berat

badan lahir kurang dari 1100 gram dapat berkembang menderita Displasia Bronkopulmoner

yaitu berkisar 40-70%. Pencegahan penyakit ini sulit, dengan pemberian kortikosteroid

antenatal dan pemberian terapi surfaktan diharapkan dapat menurunkan insiden penyakit

ini.5,8

PROGNOSIS

Prognosis HMD tergantung dari usia gestasi dan berat badan lahir. Pada derajat HMD

yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke 3 atau ke 4 dan pada hari yang ke 7

terjadi penyembuhan sempurna. Pada kasus yang berat angka kematian diperkirakan 20-40%.

Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru angka kematian ini dapat

diturunkan. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian

hari lebih sering disebabkan akibat komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat

dari penyakit itu sendiri.4

ANALISIS KASUS

Kasus seorang bayi berumur 8 jam dengan diagnosa NBBLR 2100 gr PBL 45 cm,

lahir seksio caesaria atas indikasi perdarah antepartum ec plasenta previa, ibu dengan

plasenta previa, ketuban jernih, tafsiran maturity belum dapat dinilai, Apgar skore 6/7 (partus

luar), derajat asfiksia sedang, kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada,

penyakit sekarang Sindrom Gawat Nafas ec susp HMD DD/ Thymus hiperplasia, Anemia

normositik normokrom. Dari anamnesa didapatkan keluhan merintih sejak 6 jam yang lalu,

sesak nafas sejak 6 jam yang lalu, demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada.

Page 23: case b indonesia HMD.doc

Faktor resiko pada bayi ini adalah lahir prematur (8 bulan) dengan berat badan rendah (2100

gram), asfiksia perinatal (APGAR 6/7), ibu dengan riwayat perdarahan ante partum ec

plasenta previa serta proses kelahiran secara seksio caesaria. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan keadaan umum letargi, frekuensi jantung 144 kali/menit, frekuensi nafas 80

kali/menit, sianosis tidak ada, ikterik tidak ada, suhu 36,7 C, nafas cuping hidung ada. Pada

dinding dada ditemukan retraksi pada epigastrium dan interkostal. Sesuai kepustakaan HMD

ditemukan pada bayi baru kurang bulan dengan beberapa faktor resiko, dan gejala timbul

beberapa jam setelah kelahiran yaitu antara 6-8 jam.

Pada pemeriksaan laboratorium didapati analisa gas darah sebagai berikut : pH 7,35

pC02 30 mmHg p02 96 mmHg HCO3 16,6 mmol/L BE(B) -7,9 mmol/L SO2 97% dengan

kesan : asidosis metabolik terkompensasi. Elektrolit ditemukan Natrium 126 Kalium 4,9,

kadar gula darah 79 mg/dl. Pada penderita HMD dapat ditemukan asidosis metabolik dan

hipoksemia yang disebabkan gangguan ventilasi dan perfusi. Sedangkan pada pasien ini

tekanan dan saturasi oksigen masih batas normal hal ini mungkin disebabkan pasien telah

mendapat bantuan oksigen sejak kelahiran dengan indikasi derajat asfiksia sedang. Pada

pemeriksaan radiologi ditemukan gambaran retikulogranuler disertai air bronkogram dikedua

paru, jantung dalam batas normal, gambaran ini sesuai dengan HMD grade II-III

Dalam kepustakaan adanya defisiensi surfaktan ditentukan dengan pemeriksaan

pematangan paru yaitu dengan pemeriksaan ratio lecitin-spingomielin < 2. Pada pasien ini

tidak dapat ditentukan perbandingan dari lecitin-spingomielin dikarenakan tidak ada

pemeriksaan antenatal yang dilakukan untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan antenatal

pada ibu pasien dilakukan secara tidak teratur, kadang-kadang pemeriksaan dilakukan ke

bidan dan diselingi juga dengan ke dokter spesialis kandungan. Pemeriksaan shake test pada

pasien ini tidak dapat dilakukan karena pasien lahir di rumah bersalin dan baru dibawa ke

RSUP Dr. M Djamil dengan keluhan setelah berusia 8 jam, sedangkan pemeriksaan shake

test seharusnya dilakukan dalam waktu setengah jam setelah kelahiran.

Pasien dengan HMD seharusnya dirawat intensive di NICU tapi pada pasien ini tidak

dapat dilakukan karena NICU sudah tidak dapat menerima pasien lagi karena terbatasnya

fasilitas yang ada. Pemberian terapi surfaktan belum dapat dilakukan di RSUP M Djamil

Padang karena belum tersedia di bank jaringan.

Penatalaksanaan pasien dengan HMD dilakukan dengan terapi suportif yaitu dengan

pemberian oksigen 10 l/menit head box untuk mempertahankan tekanan pO2 60-80 mmHg.

Page 24: case b indonesia HMD.doc

Pemberian cairan dimulai dengan 60 cc/kg BB/hari dengan dekstrose 10%. Pada hari pertama

pasien dipuasakan hal ini disebabkan kondisi pasien yang belum stabil dan masih sesak

dengan frekuensi nafas 80 kali/menit. Setelah hari kedua pasien dicoba untuk diberi minum

susu formula yang diberikan lewat NGT dengan porsi sedikit yang bertujuan untuk

merangsang mukosa lambung dan untuk memenuhi kalori makanan. Pemberian antibiotik

Ampisillin dan Gentamisin diberikan sejak hari pertama, setelah keluar hasil kultur yaitu

ditemukannya kuman enterobakter maka antibiotik diganti dengan Ronem sesuai dengan

hasil sensitifitasnya. Bayi dengan HMD sulit untuk dibedakan dengan pneumonia neonatal,

oleh karena itu perlu diberikan antibiotik spektrum luas (Ampisillin dan Gentamisin) hingga

keluarnya hasil kultur darah. Omeprazol dan ranitidin diberikan untuk melindungi saluran

pencernaan karena intake makanan yang diberikan belum adekuat.

Pada hari kelima perawatan sesak nafas berkurang dan pasien terlihat kuning sampai

ke dada. Pada literatur bayi dengan HMD dapat mengalami perbaikan pada hari ketiga.

Ikterus pada pasien ini tergolong ikterus fisiologis karena muncul pada hari ketiga dan tidak

disertai dengan perburukan. Namun pada hari ketujuh ikterik meningkat menjadi grade III

dan disikapi dengan pemberian fototerapi. Pada hari kesembilan pasien tidak sesak nafas dan

gejala ikterik hilang, pemberian ASI ditingkatkan dan aminofuchin dapat dihentikan. Pada

hari keduabelas rawatan head box dilepas dan pemberian oksigen diberikan dalam inkubator.

Pemberian oksigen yang berlebihan dapat menimbulkan komplikasi pada bayi kurang bulan

seperti berkembangnya retinopathy of prematurity. Hari kelima belas rawatan orangtua

pasien minta pulang karena kondisi anaknya yang telah membaik, pemberian antibiotik

Ronem hanya sampai hari ketiga belas, yang seharusnya diberikan sampai hari keempatbelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis NU. Penyakit membran hyalin. Cermin dunia kedokteran. 1998; 121: 19-20.

Page 25: case b indonesia HMD.doc

2. Halliday HL. Respiratory distress syndrome. In: Greenough A, Milner AD, editors. Neonatal respiratory disorder. 2nd ed. New York: Oxford university inc, 2003; p. 247-63.

3. Ware L, Matthay M. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med org. 2005 [cited 2005 April 19]; 350(13):1278-80. Available from: http://www.nejm.org.

4. Markum AH, Ismail S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, editors. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991; h. 205-7.

5. Greenough A, Roberton NR. Acute respiratory disease in the newborn. In: Greenough A, Roberton NR, editors. Text book of neonatology. 3th ed. London: Churchill Livingstone, 1999; p.481-514.

6. Chernick V, Boat TF, Willmott RW, Bush A, editors. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. 7th ed. Philladelpia: Saunders Elsevier, 2006; p. 320-25.

7. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. Philladelpia.Saunders Elsevier, 2007; p.731-41.

8. Rodriguez RJ, Martin RJ, Fanaroff AA. Respiratory distress syndrome and its management. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Neonatal perinatal medicine disease of the fetus and infant. 8th nd. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2006; p. 1097-1107.

9. Whitset JA, Weaver TE. Hydrophobic surfactant proteins in lung function and disease. N Engl J Med. 2002 [cite 2009 april 19]; 347(26): p. 2141-48.

10. Aly H. Respiratory disorder in the newborn: identification and diagnosis. Pediactric in review. 2004; 25(6): 201-7.

11. Bhakta KY. Respiratory distress syndrome. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of neonatal care. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008; p. 323-42.

12. Shulenin S, Nogee LM, Annilo T, Wert SE, Whitsett JA, Dean M. ABCA3 gene mutation in newborns with fatal surfactant deficiency. N Engl J Med. 2004 [cite 2009 april 14]; 350(13): p. 1296-1303.

13. Cosmi EV. Fetal lung maturity tests. In: Prenat Neonat Med 2001;21-30.14. Scarpelli M. Fetal lung maturity tests assess the capacity to form surfactant foam films

at birth. Prenat Neonat Med 2001;15-20. 15. Wilson LM. Fungsi pernafasan normal. Dalam Anderson S, Wilson LM editors.

Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi empat. Jakarta: EGC, 1995; h.647-8.

16. Kosim MS. Gangguan nafas pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku ajar neonatology. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan dokter anak indonesia, 2008; h.126-46.

17. Gomella TL, Cuningham MD, Eyal FG, Zenk KE, editors. Neonatology management, procedur, on call problem disease and drug. 5th ed. New York: Lange medical book, 2004; p. 44-68.

Page 26: case b indonesia HMD.doc

18. Kosim MS. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Paedatrica indonesiana. 2005; 45(11-12): p. 233-40.

19. Kopelman AE, Mathew OP. Common respiratory disorder of the newborn. Pediatrica in review. 1995; 16(6): p.209-15.