CKR

68
BAB 1 LAPORAN PENDAHULUAN 1.1 Konsep Dasar 1.1.1 Definisi Menurut Muttaqin (2011;270), cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (helm) yang membungungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Menurut Kusuma (2013;85), cedera kepala merupakan yang meliputi trauma kulit kepala tengkorak, dan otak. Menurut Baticaca (2008;96), trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam, deficit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2002). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan 1

description

ckr wirna

Transcript of CKR

Page 1: CKR

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Dasar

1.1.1 Definisi

Menurut Muttaqin (2011;270), cedera kepala meliputi trauma kulit

kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera

oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (helm) yang

membungungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali

terkena cedera dan mengalami kerusakan.

Menurut Kusuma (2013;85), cedera kepala merupakan yang meliputi

trauma kulit kepala tengkorak, dan otak.

Menurut Baticaca (2008;96), trauma atau cedera kepala juga dikenal

sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma

baik trauma tumpul maupun trauma tajam, deficit neurologis terjadi karena

robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik,

serta edema serebral di sekitar jaringan otak.

Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau

menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,

2002).

Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar

penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,

hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000).

Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai

dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000).

Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau

kejatuhan benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi

neurology sementara atau menurunya kesadaran sementara, mengeluh

pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.

1.1.2 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011;271), penyebab dari cedera kepala adalah

adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang

1

Page 2: CKR

yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang

diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-

deserelasi) pada otak. Selain itu juga penyebab dari cedera kepala bias juga

karena kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan kerja/ pekerja pabrik, dan

serangan/peluru.

Menurut Kusuma (2013;86), mekanisme cedera kepalameliputi

cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-countre coup, dan

cedera rotasional.

1. Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala

yang tidak bergerak (misalya; alat pemukul menghantam kepala atau

peluru yang ditembakkan ke kepala).

2. Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek

diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala

membentur kaca depan mobil.

3. Cedera Akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan

kenderaan bermotor dan episode kekerasan fisik.

4. Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat yang

pertama kali terbentur. Sebagai contorh pasien dipukul dibagian

belakang kepala.

5. Cedera Rotasional terjadi jika pukulan /benturran menyebabkan otak

berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau

robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darfah

yang memfiksasi ptak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

1.1.3 Manifestasi Klinis

Tanda-tanda dari terjadinya cedera kepala ringan adalah : Pingsan

tidak lebih dari 10 menit, tanda-tanda vital dalam batas normal atau

menurun, setelah sadar timbul nyeri, pusing, muntah, GCS 13-15, tidak

terdapat kelainan neurologis.

Gejala lain cedera kepala ringan adalah : Pada pernafasan secara

progresif menjadi abnormal, respon pupil mungkin lenyap atau progresif

2

Page 3: CKR

memburuk, nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap seiring dengan

tekanan intrakranial, dapat timbul muntah-muntah akibat tekanan

intrakranial, perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada

berbicara serta gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat

(Corwin, 2000).

Menurut Baticaca (2008;96), gejala-gejala yang timbul yang

bergantung pda jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap

atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur. Fraktur kubah

cranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, sehingga penegakkan

diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fotp tengkorak. Fraktur

dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal

atau lokasi telinga tulang temporal, perdarahan sering terjadi dari hidung,

faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area

ekimosis mungkin terlihat di atas mastoid.

Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan cerebrospinal (CSS)

keluar dari telinga (otoreserebrospinal). Keluarnya CSS merupakan

masalah serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika

organism masuk ke dalam basis krani melalui hidung, telinga atau sinus

melalui robekan pada dura mater. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan

oleh CSS yang mengandung darah.

Menurut Mutaqqin (2011;273), tipe cedera kepala terbuka dan

trauma kepala tertutup. Trauma keplala terbuka adalah kerusakan otak

dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak dan

melukai atau menyobek durar matr menyebabkan CSS merembes. Trauma

kepala tertutup adalah keadaan trauma kepala tertutup dapat megakibatkan

kondisi komosio, kontosiu, epidural hematoma, subdural hematoma,

intrakarnial hematoma. Komosio/ gegar otak, dengan tanda- tanda:

1. Cedera kepala ringan.

2. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.

3. Hilangnya kesadaran sementara, kurang dari 10- 20 menit.

4. Tanpa keruakan otak permanen.

5. Munculnya gejala nyeri kepala, pusing, muntah.

3

Page 4: CKR

6. Disorientasi sementara.

7. Tidak ada gejala sisa.

8. Tidak ada terapi khusus.

Kontusio serebril/ memar otak, dengan tanda- tanda:

1. Ada memar otak.

2. Pendarahan kecil local, difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan

adanya pendarahan.

3. Gejala : gangguan kesadaran lebih lama, kelainan neurologis positif,

reflex patologis positif, lumpuh, konvulsi, gejala TIK meningkat,

amnesia reyrogat lebih nyata.

Menurut Kusuma (2013;87), pada pemeriksaan klinis biasa yang

dipakai untuk menentukan cedera kepalamenggunakan pemeriksaan GCS

yang dikelompokan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat seperti

diatas. Nyeri menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya

fraktur.

1. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.

2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan

hidung.

3. Laserasi atau kontusio otak ditujukkan oleh cairan spinal berdarah.

Hematom pada cedera kepala :

1. Epidural Hematom (EDH) : hematom antara duramater dan tulang,

biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya aretri meningica

media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan

neurologis sisi kiri dan kanan (hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek

patologis satu sisi). Gambaran CT-Scan area hiperdens dengan bentuk

bikonvek diantara 2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline

shift >5mm dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.

2. Subdural Hematom (SDH) : hematom dibawah lapisan duramater

dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein, a/v

cortical, sinus venous. Subdural hematom adalah terkumpulya daah

anatar duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.

4

Page 5: CKR

Terfjadi akibata pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan lambatdan

sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam-2 jari, 2 minggu atau

beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala bingung ,

mengantuk dan berpikir lambat, kejang dan udem pupil dan secara

klinis ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi

yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT-

Scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).

Indikasi operasi jika perdarahna tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran

garis tengah >3cm, perifer adanya pergeseran garis tengah.

3. ICH (Intracerebral Hematom)

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan

otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan

otak pada pemeriksaan CT scan indikasi dilakukan operasimadanya

daerah hiperdens, diameter >3cm, perifer, adanya pergeseran garis

tengah.

1.1.4 Patofisiologi

Menurut Muttaqin (2011;270), cedera kepala meliputi trauma kulit

kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera

oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (helm) yang

membungungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali

terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu sekali neuro rusak,

tidak dapat diperbaiki lagi. Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat

diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi

seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan

banyak lainnya timbul sekunder dari cedera. Efek- efek ini harus dihindari

dan ditemukan secepatnya oleh perawat muda untuk menghindari

rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental, fisik bahkan

kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius

di antara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemik sebagai

hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan dua pertiga korban dari kasusu

ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki- laki lebih banyak dari

5

Page 6: CKR

wanita. Lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat

mempunyai singnifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya

syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian

tubuh lainnya. Risiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah

kerusakan otak sebagai respon terhadap cedera dan memyebabkan

peningkatan tekanan intrakarnial.

Pada beberapa literatul terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera

kepala otak merupakan gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai

atau tanpa disertai perdarahan interstill dalam subtansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontiunitas otak.

Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi

menjadi tiga gradiasi yaitu:

1. Cedera kepala ringan/ cedera otak ringan, bila GCS: 13-15.

2. Cedera kepala sedang/ cedera otak sedang, bila GCS: 9-12.

3. Cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama

dengan.

6

Page 7: CKR

1.1.5 Web of Caution

7

Page 8: CKR

8

Page 9: CKR

1.1.6 Penatalaksanaan

Menurut Mutaqqin ( 2011;284), penatalaksanaan saat awal trauma

pada cedera kepala selain dari factor mmpertahankan fungsi ABC (airway,

breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure),

maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia

srebril yang terjadi. Keadaan ini dapat di bantu dengan pemberian oksigen

dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative

memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah. Selain itu perlu di

control kemungkinan rekanan intrakarnialyang meninggi disebabkan oleh

edema serebril. Sekalipun tidak jarang memerlkan tindakan operasi, tetapi

usaha untuk menurunkan tekanan intrakarnial ini dapat dilakkan dengan

cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventelasi yang mengurangi asidosis

intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha

untuk menrunkan nilai PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal,

hiperventilasi. Tin membuat intermitten iatrogenic paralisis. Intubasi

dilakukan sedini mungkin kepada klien- klien yang koma untuk mencegah

terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur

dapat mencegah penigkatan tekana inrakarnial.

Penatalaksanaan konservatif meliputi:

1. Bedrest total

2. Observasi tanda- tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran )

3. Pemberian obat- obatan

a) Dexamethason/ kalmethason sebagai pengoabatan anti- edema

serebral, dosisi sesuai dengan berat ringannya trauma.

b) Terapi hiperventilasi ( trauma kepala berat), untuk mengurangi

vasodilatasi.

c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penicillin) atau

untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.

4. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah- muntah tidak

dapat diberikan apa- apa, hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin,

amonofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan ) 2- 3 hari

kemudian diberikan makanan lunak.

9

Page 10: CKR

5. Pada trauma berat karena hari- hari pertama di dapatkan klien

mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi reterensi

natrium dan elektrolit makan hari- hari pertama (2-3 hari) tida terlalu

banyak cairan. Dectosa 5% 8 jam prtama, ringer dextrose 5% 8 jam

ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan

nasogastric tube (2500-3000 TKTP).pemberian protein tergantung dari

nilai urinerogennya.

Menurut Baticaca (2008;101), penatalaksanaan medis yang

dilakukan adalah :

1. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan posisi kepala

dan leher sejajar.

2. Traksi ringan pada kepala.

3. Kolar servikal.

4. Terapi untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah

kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan

fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang

adcekuat. Control perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan evaluasi gas

darfah arteri.

5. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan

TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat pemberian monitol untuk

mengurangi edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi,

penggunaan steroid: meninggikan posisi kepalanditempat tidur;

kolaborasi bedah neuro untuk mengangkat bekuan darah dan jahitan

terhadap laserasi kepala. Pasang alat pemantau TIK selama

pembedahan atau dengan teknik aseptic di tempat tidur. Rawat klien di

ICU.

6. Tindakan perawatan pendukung yang lain, yaitu pemantauan ventilasi

dan pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit, dan

ketidakseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik

(ventilator) bila klien koma berat untuk mengontrol jalan napas.

Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan

10

Page 11: CKR

vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK.

Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala

yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia (seperti

klorpromazin). Pasang NGT bila terjadi penurunan motilitas lambung

dan peristaltic terbalik akibat cidera kepala.

1.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Muttaqin (2011;284), pemeriksaan diagnostik yang

diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :

1. CT scan (dengan/ tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya, lesi, pendarahan , determinan, ventrikuler,

dan perubahan jaringan otak. Indikasi CT-Scan nyeri kepala atau

muntah0muntah, penurunan GCS lebih 1 point, adanya lateralisasi,

bradikardi (nadi <60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi yang

tidak sesuai tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka

tembus akibat bertajam atau peluru.

2. MRI

Di gunakan sama dengan CT scan dengan/ tanpa kontras radioaktif.

3. Cerebral Angiography

Menunjukan anomial sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak

sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.

4. Seral EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5. Sinar –X

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis ( perdarahan /edema), fragmen tulang.

6. BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil

7. PET

Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

11

Page 12: CKR

8. CSS

Lumbal pungsi dapat dilakukan jika didga terjadi pendarahan

subaraknoid.

9. Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan

tekanan intrakarnial.

10. Screen Toxicologiy

Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan

kesadaran.

11. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)

Rontgen toraks menyatakan akumulasi udara/ cairan pada area pleura

12. Toraksentesis menyatakan darah/ cairan

13. Analisa gas darah (AGD/ Astrup)

Analisa gas darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu es diangnostik

untuk menetukan status respirasi. Status respirasi yang dapat

digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi

dan status asam basa.

14. Pengkajian neurologi

15. Foto polos tengkorak (skull X-ray)

16. Angiografi serebral

1.1.8 Komplikasi

Menurut Smeltzer (2002), komplikasi yang muncul dari cidera

kepala ringan yaitu dapat menyebabkan kemunduran pada kondisi pasien

karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progressif dan

hernia otak. Edema serebral adalah penyebab paling umum dari

peningkatan tekanan intrakarnial pada pasien yang mendapat cedera

kepala. Komplikasi lainnya yaitu deficit neirologis dan psikologi ( tidak

dapat mencium bau- bauan, abnormalitas geraka mata, afasia, defek

memori dan epilepsi.

12

Page 13: CKR

1.1.9 Klasifikasi

Menurut Kusuma (2013;85) klasifikasi cedera kepala :

1. Berdasarkan Patologi

1) Cedera kepala primer

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan

gangguan integritas fisi, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut,

yang menyebabkan kematian sel.

2) Cedera kepala sekunder

Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak

lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK

yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk

edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik

serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi local atau

sistemik.

2. Menurut Jenis Cedera

1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak

dan laserasi durameter. Trauma yang menembus tengkorak dan

jaringan otak.

2) Cedera kepala tertutup : dapat disamakan pada pasien dengan gegar

otak ringan dengan cedera serebral yang luas.

3. Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale)

1) Cedera kepala ringan/minor

a. GCS 14-15

b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari

30 menit

c. Tidak ada fraktur tengkorak

d. Tidak ada kontusia serebral, hematoma

2) Cedera kepala sedang

a. GCS 9-13

b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan anamnesa lebih dari 30

m tetapi kurang dari 24 jam

c. Dapat mengalami fraktur tengkorak

13

Page 14: CKR

d. Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intracranial.

3) Cedera kepala berat

a. GCS 3-8

b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam

c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma

intracranial.

Skala Koma Glasgow:

Dewasa Respons Bayi dan Anak-Anak

Buka Mata (Eye)

Spontan 4 Spontan

Berdasarkan perindah verbal 3 Berdasarakan suara

Berdasarkan rangsang nyeri 2 Berdasarkan rangsang nyeri

Tidak member respons 1 Tidak member respons

Respons Verbal

Orientasi baik 5 Senyum, orientasi terhadap obyek

Percakapan kacau 4 Menangis tetapi dapat ditenangkan

Kata-kata kacau 3 Menangis dan tidak dapat ditenangkan

Mengerang 2 Mengerang dan agitatif

Tidak member respons 1 Tidak member respons

Respons Motorik

Menurut perintah 6 Aktif

Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisis rangsang nyeri

Menjauhi rngsang nyeri 4 Menjauhi rangsang nyeri

Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal

Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal

Tidak member respons 1 Tidak member respons

Skor 14-15 12-13 11-12 8-10 <5

Kondisi Compos mentis Apatis Somnolent Stupor Koma

14

Page 15: CKR

BAB 2

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan

sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,

lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital, lainnya. Pengkajian

keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan diangnostik, dan pengkajian psikososial.

2.1 Pengkajian

1. Identitas Pasien

Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),

jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor

tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,

tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.

2. Anamnesa

1) Keluhan utama

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta

pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma

kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.

2) Riwayat Penyakit Saat Ini

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu

lintas, jauh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian

yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS < 15), konvulsi,

muntah, takipnea, sakit kepala, wajah sinietris atau tidak, lemah, luka di

kepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor

dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan

pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam

intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai

perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien

tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan

alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-

ngebutan.

15

Page 16: CKR

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,

riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung,

anemia. Penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-

obat adiktif. konsumsi alkohol berlebihan.

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi

dan diabetes melitus.

3. Pemeriksaan fisik

Menurut Mutaqqin (2011;277), setelah melakukan anamnesis yang

mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna

untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik

sebaiknya dilakukan per sistem (B1–B6) dengan fokus pemeriksaan fisik

pada pemeriksaan B3 (Brain). yang terarah dari dihubungkan dengan

keluhan-keluhan dari klien.

1) Keadaan Umum

Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan

kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera

kepala sedang GCS 9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS

kurang atau sama dengan 8) dari terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

B 1 (BREATHING)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari

perubahan jaringan cerebral akibat, trauma kepala. pada beberapa keadaan

hasil dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan: Inspeksi,

didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,

penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan paru tidak sinietris.

Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan kesinietrisannya. Ketidak

sinietrisan mungkin menunjukkan adanya atelektaksis, lesi pada paru,

obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau

penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.

16

Page 17: CKR

B2 (BLOOD)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)

hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.

Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada beberapa

keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi

bradikardi, takikardi, dan aritmia.

B3 (BRAIN)

Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama

disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya

perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan

epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus

dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

2) Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah

indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.

Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam

kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien

cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,

semikomatosa, sampai koma.

3) Pemeriksaan Fungsi Serebral

a) Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai

gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik

pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami

perubahan.

b) Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala

didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek

maupun jangka panjang. Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan

efek psikologis didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya

kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual

kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat

ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam

pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini

17

Page 18: CKR

menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka.

Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh

labilitas emosional, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan kurang

kerjasama.

c) Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparuse sebelah

kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi

kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan

tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparuse

kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang

sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.

4) Pameriksaan Saraf Kranial

a) Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang merusak

anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada

fungsi penciuman/ anosmia unilateral atau bilateral.

b) Saraf II. Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan

menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu fungsi Bari

nervus optikus. Pendarahan di ruang intrakranial, terutama hemoragia

subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan di retina. Anomali

pembuluh darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus.

Tetapi dari segala macam kelainan di dalam ruang intrakranial,

tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus.

c) Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata terutama

pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-

kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus

dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada

penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang

tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot-otot okular akan

menyusul pada tahap berikutnya, jika pada trauma kepala terdapat

anisokoria di mana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan

miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang

lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan

oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal.

18

Page 19: CKR

Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif,

sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.

d) Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis

nervus trigeninius, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi

gerakan mengunyah.

e) Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.

f) Saraf VIII. perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala

ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak

melibatkan saraf vestibulokoklearis.

g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran

membuka mulut.

h) Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien

cukup baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius.

i) Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.

5) Sistem Motorik

a) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)

karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparusis (kelemahan

salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.

b) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.

c) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan

otot didapatkan grade 0.

d) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena

hemiparuse dan hemiplegia.

6) Pemeriksaan Refleks

a) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau

periosteum derajat refleks pada respons normal.

b) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi

yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis

akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.

7) Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk

19

Page 20: CKR

menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan

jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan

hubungan visualspasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek

dalam area spacial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan

sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi

(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta

kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

B4 (BLADDER)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik, termasuk

berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat

terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien

mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan.

B5 (BOWEL)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologic luas.

B6 (BONE)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh

ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya

perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis

(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membran mukosa).

Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan

rendahnya kadar haemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien

yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.

2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan

dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari

20

Page 21: CKR

adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural

hematoma, dan epidural hematoma.

2. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi

pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan,

ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan,

dan perubahan perbandingan 02 dengan COD kegayalan ventilator.

3. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan

penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk

sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada

trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

4. Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma

jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

5. Risiko gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang

berhubungan dengan penggunaan alat bantu napas

6. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya

endotracheal/tracheostomy tube dan paralisis/kelemahan

neuromuskular.

7. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional; ancaman

terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alai

bantu/perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran,

hubungan interpersonal.

8. Risiko perubahan membran mukosa mulut yang berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan cairan melalui oral, adanya tube dalam

mulut, kurang/menurunnya salivasi, tidak efektifnya kebersihan

mulut.

9. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan

kebutuhan metabolisme.

10. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan misinterpretasi

informasi, tidak mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan

akibat krisis situasional.

11. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema

21

Page 22: CKR

pada otak.

2.3 Intervensi Keperawatan

1. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan

dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari

adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural

hematoma, dan epidural hematoma.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil: Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan

muntah, GCS: 4,5,6 tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.

Intervensi Rasionalisasi

Mandiri

Kaji faktor penyebab dari

situasi/keadaan individu/ penyebab

koma/penurunan perfusi jaringan dan

kemungkinan penyebab peningkatan

TIK.

Deteksi dini untuk memprioritaskan

intervensi, mengkaji status

neurologis/tanda-tanda kegayalan untuk

menentukan perawatan kegawatan atau

tindakan pembedahan.

Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bile sirkulasi

serebral terpelihara dengan baik atau

fluktuasi ditandai dengan tekanan darah

sistemik, penurunan dari autoregulator

kebanyakan merupakan tanda penurunan

difusi lokai vaskularisasi darah serebral.

Dengan peningkatan tekanan darah

(diastolik) make dibarengi dengan

peningkatan tekanan darah intrakranial.

Adanya peningkatan tekanan darah,

bradikardi, disritmia, dispnea merupakan

tanda terjadinya peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman,

dan reaksi terhadap cahaya.

Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari

bola mata merupakan tanda dari gangguan

nerves/saraf jika batang otak terkoyak.

22

Page 23: CKR

Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial

(okulomotorik) yang menunjukkan

keutuhan batang otak, ukuran pupil

menunjukkan keseimbangan antara

parasimpatis dan simpatis. Respons

terhadap cahaya merupakan kombinasi

fungsi dari saraf kranial III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu

lingkungan.

Panas merupakan refleks dari hipotalamus.

Peningkatan kebutuhan metabolisms dan O2

akan menunjang peningkatan TIK/ICP

(Intracranial Pressure).

Pertahankan kepala/leher pada posisi

yang netral, usahakan dengan sedikit

bantal. Hindari penggunaan bantal yang

tinggi pada kepala.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat

menimbulkan penekanan pada vena

jugularis dan menghambat aliran darah otak

(menghambat drainase pada vena serebral),

untuk itu dapat meningkatkan tekanan

intrakranial.

Berikan periode istirahat antara tindakan

perawatan dan batasi lamanya prosedur.

Tindakan yang terus-menerus dapat

meningkatkan TIK oleh efek rangsangan

kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan berikan

rasa nyaman seperti masase punggung,

lingkungan yang tenang, sentuhan yang

ramah, dan suasana/pembicaraan yang

tidak gaduh.

Memberikan suasana yang tenang (colming

effect)dapat mengurangi respons psikologis

dan memberikan istirahat untuk

mempertahankan TIK yang rendah.

Cegah/hindarkan terjadinya valsava

manuver.

Mengurangi tekanan intratorakal dan intra

abdominal sehingga menghindari

peningkatan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat meningkatkan

intrathorak/tekanan dalam thoraks dan

tekanan dalam abdomen di mana aktivitas

ini dapat meningkatkan tekanan TIK.

23

Page 24: CKR

Kaji peningkatan istirahat dan tingkah

laku.

Tingkah nonverbal ini dapat merupakan

indikasi peningkatan TIK atau memberikan

refleks nyeri di mana klien tidak mampu

mengungkapkan keluhan secara verbal,

nyeri yang tidak menurun dapat

meningkatkan TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran

bladder, pertahankan drainase urine

secara paten jika digunakan dan juga

monitor terdapatnya konstipasi.

Dapat meningkatkan respons otomatis yang

potensial menaikan TIK.

Berikan penjelasan pada klien (jika

sadar) dan keluarga tentang sebab-akibat

TIK meningkat.

Meningkatkan kerjasama dalam

meningkatkan perawatan klien dan

mengurangi kecemasan.

Observasi tingkat kesadaran dengan

GCS.

Perubahan kesadaran menunjukkan

peningkatan TIK dan berguna menentukan

lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi:

Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi hipoksemia, di mana dapat

meningkatkan vasodilatasi serebral, volume

darah, dan menaikan TIK.

Kolaborasi untuk tindakan operatif

evakuasi darah dari dalam intrakranial.

Tindakan pembedahan untuk evakuasi

darah dilakukan bila kemungkinan terdapat

tanda-tanda defisit neurologis yang

menandakan peningkatan intrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin diinginkan

untuk mengurangi edema serebral,

peningkatan minimum pada pembuluh

darah, tekanan darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretik

contohnya: manitol, furoscide.

Diuretik mungkin digunakan pada fase akut

untuk mengalirkan air dari sel otak dan

mengurangi edema serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya:

dexamethason, methyl prenidsolon.

Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan

mengurangi edema jaringan.

24

Page 25: CKR

Berikan analgesik narkotik contoh:

kodein.

Mungkin diindikasikan untuk mengurangi

nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK

tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk

mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya:

asetaminofen.

Mengurangi/mengontrol hari dan pada

metabolisms serebral/oksigen yang

diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai

dengan indikasi seperti prothrombin,

LED.

Membantu memberikan informasi tentang

efektivitas pemberian obat.

2. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi

pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan,

ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan,

dan perubahan perbandingan 02 dengan COD kegayalan ventilator.

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas

kembali efektif.

Kriteria hasil: Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami

perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi Rasionalisasi

Berikan posisi yang nyaman, biasanya

dengan peninggian kepala tempat

tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong

klien untuk duduk sebanyak mungkin.

Meningkatkan inspirasi maksimal,

meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi

pada sisi yang tidak sakit.

Observasi fungsi pernapasan, catat

frekuensi pernapasan, dispnea, atau

perubahan tanda-tanda vital.

Distress pernapasan dan perubahan pada

tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres

fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan

terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan

tersebut dilakukan untuk menjamin

keamanan.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat

mengurangi ansietas dan mengembangkan

kepatuhan klien terhadap rendahnya

terapeutik.

25

Page 26: CKR

Jelaskan pada klien tentang

etiologi/faktor pencetus adanya sesak

atau kolaps paru-paru.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat

mengembangkan kepatuhan klien terhadap

rendahnya terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu

klien untuk kontrol diri dengan

menggunakan pernapasan lebih

lambat dan dalam.

Membantu klien mengalami efek fisiologi

hipoksia, yang dapat dimanifestasikan

sebagai ketakutan/ansietas.

Periksalah alarm pada ventilator

sebelum difungsikan. Jangan

mematikan alarm.

Ventilator yang memiliki alarm yang bisa

dilihat dan didengar misalnya alarm kadar

oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.

Taruhlah kantung resusitasi di

samping tempat tidur dan manual

ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat

digunakan.

Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat

berguna untuk mempertahankan fungsi

pernapasan jika terjadi gangguan pada alai

ventilator secara mendadak.

Bantulah klien untuk mengontrol

pernapasan jika ventilator tiba-tiba

berhenti.

Melatih klien untuk mengatur napas seperti

napas dalam, napas pelan, napas perut,

pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat

membantu memaksimalkan fungsi dari sistem

pernapasan.

Perhatikan letak dan fungsi ventilator

secara rutin. Pengecekan konsentrasi

oksigen, memeriksa tekanan oksigen

dalam tabung, monitor manometer

untuk menganalisis batas/kadar

oksigen.

Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).

Periksa fungsi spirometer.

Memperhatikan letak dan fungsi ventilator

sebagai kesiapan perawat dalam memberikan

tindakan pada penyakit primer setelah menilai

hasil diagnostik dan menyediakan sebagai

cadangan.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain:

Dengan dokter, radiologi, dan

fisioterapi.

Pemberian antibiotik.

Pemberian analgesik.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk

mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas

pengembangan parunya.

26

Page 27: CKR

Fisioterapi dada.

Konsul foto thoraks.

3. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan

penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk

sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada

trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan

napas.

Kriteria hasil: Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube

bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan

sekret di saluran pernapasan.

Intervensi Rasional

Kaji keadaan jalan napas. Obstruksi mungkin dapat disebabkan

oleh akumulasi sekret, sisa cairan

mukus, pedarahan, bronkhospasme,

dan/atau posisi dari

endotracheal/tracheostomy tube yang

berubah.

Evaluasi pergerakan dada dan

auskultasi suara napas pada kedua paru

(bilateral).

Pergerakan dada yang simetris dengan

suara napas yang keluar dari paru-paru

menandakan jalan napas tidak

terganggu. Saluran napas bagian bawah

tersumbat dapat terjadi pada

pnemonia/atelektasis akan menimbulkan

perubahan suara napas seperti ronkhi

atau wheezing.

Monitor letak/posisi endotracheal tube.

Beri tanda batas bibir.

Lekatkan tube secara hati-hati dengan

memakai perekat khusus.

Mohon bantuan perawat lain ketika

Endotracheal tube dapat saja masuk ke

dalam bronchus kanan, menyebabkan

obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan

dan mengakibatkan klien mengalami

pneurnothoraks.

27

Page 28: CKR

memasang dan mengatur posisi tube.

Catat adanya batuk, sertambahnya

sesak napas, suara alarm dari ventilator

karena tekanan yang tinggi,

pengeluaran sekret melalui

endotracheal/tracheostomy tube,

sertaambahnya bunyi ronkhi.

Selama intubasi klien mengalami refleks

batuk yang tidak efektif, atau klien akan

mengalami kelemahan otot-otot

pernapasan

(neuromuskular/neurosensorik),

keterlambatan untuk batuk. Semua klien

tergantung dari alternatif yang dilakukan

seperti mengisap lendir dari jalan napas.

Lakukan penghisapan lendir jika

diperlukan, batasi durasi pengisapan

dengan 15 detik atau lebih. Gunakan

kateter pengisap yang sesuai, cairan

fisiologis steril. Berikan oksigen 100%

sebelum dilakukan pengisapan dengan

ambu bag (hiperventilasi).

Pengisapan lendir tidak selamanya

dilakukan terus- menerus, dan durasinya

pun dapat dikurangi untuk mencegah

bahaya hipoksia. Diameter kateter

pengisap tidak boleh lebih dari 50%

diameter endotrachekffacheostomy tube

untuk mencegah hipoksia.

Dengan membuat hiperventilasi melalui

pemberian oksigen 100% dapat

mencegah terjadinya atelektasis dan

mengurangi terjadinya hipoksia.

Anjurkan klien mengenai teknik batuk

selama pengisapan seperti waktu

bernapas panjang, batuk kuat, bersin

jika ada indikasi.

Batuk yang efektif dapat mengeluarkan

sekret dari saluran napas.

Atur/ubah posisi klien secara teratur

(tiap 2 jam).

Mengatur pengeluaran sekret dan

ventilasi segmen paru-paru, mengurangi

risiko atelektasis.

Berikan minum hangat jika keadaan

memungkinkan.

Membantu pengenceran sekret,

mempermudah pengeluaran sekret.

Jelaskan kepada klien tentang

kegunaan batuk efektif dan mengapa

terdapat penumpukan secret di saluran

Pengetahuan yang diharapkan akan

membantu

mengembangkan kepatuhan klien

28

Page 29: CKR

pernapasan. terhadap rencana terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang

tepat untuk pengontrolan batuk.

Batuk yang tidak terkontrol adalah

melelahkan dan tidak efektif, dapat

menyebabkan frustasi.

Napas dalam dan perlahan saat duduk

setegak mungkin.

Memungkinkan ekspansi paru lebih

luas.

Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan

frekuensi napas dan meningkatkan

ventilasi alveolar.

Tahan napas selama 3-5 detik

kemudian secara perlahan-lahan,

keluarkan sebanyak mungkin melalui

mulut.

Meningkatkan volume udara dalam

paru, mempermudah pengeluaran

sekresi sekret.

Lakukan napas kedua, tahan, dan

batukkan dari dada dengan melakukan

2 batuk pendek dan kuat.

Pengkajian ini membantu mengevaluasi

keefektifan upaya batuk klien.

Auskultasi pare sebelum dan sesudah

klien batuk.

Sekresi kental sulit untuk diencerkan

dan dapat menyebabkan sumbatan

mukus, yang mengarah pada atelektasis.

Ajarkan klien tindakan untuk

menurunkan viskositas sekresi:

mempertahankan hidrasi yang adekuat;

meningkatkan masukan cairan 1000-

1500 cc/hari bila tidak ada kontra

indikasi.

Untuk menghindari pengertian dari

sekret atau mosa pada saluran napas

bagian atas.

Dorong atau berikan perawatan mulut

yang baik setelah batuk.

Higiene mulut yang baik meningkatkan

rasa kesejahteraan dan mencegah bau

mulut.

Kolaborasi dengan dokter, radiologi,

dan fisioterapi.

Pemberian ekspektoran.

Pemberian antibiotik.

Ekspektoran untuk memudahkan

mengeluarkan lendir dan mengevaluasi

perbaikan kondisi klien atas

pengembangan parunya.

29

Page 30: CKR

Fisioterapi dada.

Konsul foto thoraks.

Lakukan fisioterapi dada sesuai

indikasi seperti postural drainage,

perkusi/penepukan.

Mengatur ventilasi segmen paru-paru

dan pengeluaran sekret.

Berikan obat-obat bronkhodilator

sesuai indikasi seperti aminophilin,

meta-proterenol sulfat (alupent),

adoetharine hydrochloride (bronkosol).

Mengatur ventilasi dan melepaskan

sekret karena relaksasi

musclelbronchospasme.

4. Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma

jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi,

dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien

tidak gelisah.

Intervensi RasionalisasiJelaskan dan bantu klien dengan

tindakan pereda nyeri nonfarmakologi

dan non-invasif.

Pendekatan dengan menggunakan

relaksasi dan nonfarmakologi lainnya

telah menunjukkan keefektifan dalam

mengurangi nyeri.

Ajarkan Relaksasi: Teknik-teknik untuk

menurunkan ketegangan otot

rangka, yang dapat menurunkan

intensitas nyeri dan juga tingkatkan

relaksasi masase.

Akan melancarkan peredaran darah

sehingga

kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi

dan akan mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri

akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-

hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bila

terasa nyeri dan berikan posisi yang

Istirahat akan merelaksasi semua jaringan

sehingga akan meningkatkan

30

Page 31: CKR

nyaman misalnya ketika tidur,

belakangnya dipasang bantal kecil.

kenyamanan.

Tingkatkan pengetahuan tentang

penyebab nyeri dan menghubungkan

berapa lama nyeri akan berlangsung.

Pengetahuan yang akan dirasakan

membantu mengurangi nyerinya. Dan

dapat membantu mengembangkan

kepatuhan klien terhadap rencana

terapeutik.

Observasi tingkat nyeri dan respons

motorik klien, 30 menit setelah

pemberian obat analgesik untuk

mengkaji efektivitasnya Sertaa setiap 1-2

jam setelah tindakan

perawatan selama 1-2 hari.

Pengkajian yang optimal akan

memberikan perawat data yang objektif

untuk mencegah kemungkinan komplikasi

dan melakukan intervensi yang tepat.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian

analgesik.

Analgesik memblok lintasan nyeri,

sehingga nyeri akan berkurang.

5. Risiko gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang

berhubungan dengan penggunaan alat bantu napas

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada tanda-tanda edema perifer/paru-paru.

Kriteria hasil: Klien dapat menunjukkan tekanan darah, berat badan, nadi, intake dan

output cairan dalam batas normal.

Intervensi RasionalisasiMandiri Pertahankan secara ketat intake

dan output.

Untuk mencegah dan mengidentifikasi

secara dini terjadi kelebihan cairan.

Timbang berat badan setiap hari. Peningkatan berat badan merupakan

indikasi berkembangnya atau

sertambahnya edema sebagai manifestasi

dari kelebihan cairan.

Kaji dan observasi suara napas, vokal

fremitus, hasil foto thoraks.

Adanya ronkhi basah, vokal fremitus

menandakan adanya edema paru-paru.

31

Page 32: CKR

Monitor tanda vital seperti tekanan darah,

nadi.

Kekurangan cairan dapat menunjukkan

gejala peningkatan nadi dan tekanan darah

menurun.

Catatlah perubahan turgor kulit, kondisi

mukosa mulut, dan karakter sputum.

Penurunan cardiak output berpengaruh

pada perfusi fungsi otak. Kekurangan

cairan selalu diidentifikasikan dengan

turgor Wit berkurang, mukosa mulut

keying, dan sekret yang kental.

Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan

keluar.

Memberikan informasi tentang keadaan

cairan tubuh secara umum untuk

mempertahankannya tetap seimbang.

Kolaborasi

Berikan cairan per infus jika

diindikasikan.

Mempertahankan volume sirkulasi dan

tekanan osmotik.

Monitor kadar elektrolit jika

diindikasikan.

Elektrolit, khususnya potasium dan

sodium dapat berkurang jika klien

mendapatkan obat diuretik.

6. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya

endotracheal/tracheostomy tube dan paralisis/kelemahan

neuromuskular.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam terjadi perilaku dalam menerapkan komunikasi

efektif.

Kriteria hasil: Membuat teknik/metode komunikasi yang dapat dimengerti sesuai

kebutuhan.

Intervensi RasionalisasiMandiri

Kaji kemampuan klien untuk

berkomunikasi.

Berbagai macam alasan untuk menunjang

selama pemasangan ventilator sangat

bervariasi seperti klien dapat memberi

isyarat dan menggunakan tulisan

(misalnya klien COPD dengan

kemampuan yang kurang) atau kelemahan,

32

Page 33: CKR

comatosa, atau paralisis. Komunikasi

dengan klien ini bersifat individual.

Menentukan cara-cara komunikasi seperti

mempertahankan kontak mata, pertanyaan

dengan jawaban ya atau tidak,

menggunakan kertas dan pensil/bolpoin,

gambar, atau papan tulis; bahasa isyarat,

perjelas arti dari komunikasi yang

disampaikan.

Mempertahankan kontak mata akan

membuat klien interest selama

komunikasi. Jika klien dapat

menggerakkan kepala, mengedipkan mata,

atau senang dengan isyarat-isyarat

sederhana, lebih baik dengan

menggunakan pertanyaan ya/tidak.

Kemampuan menulis kadang-kadang

melelahkan klien, selain itu dapat

mengakibatkan frustasi dalam upaya

memenuhi kebutuhan komunikasi.

Keluarga dapat bekerjasama untuk

membantu memenuhi kebutuhan klien.

Pertimbangkan bentuk komunikasi bila

terpasang kateter intravena.

Kateter intravena yang terpasang di tangan

akan mengurangi kebebasan

menulis/memberi isyarat.

Letakkan bel/lampu panggilan di tempat

yang mudah dijangkau dan berikan

penjelasan cara menggunakannya. Jawab

panggilan tersebut dengan segera. Penuhi

kebutuhan klien. Katakan kepada klien

bahwa perawat slap membantu jika

dibutuhkan.

Ketergantungan klien pada ventilator akan

lebih baik dan rileks, perasaan aman, dan

mengerti bahwa selama menggunakan

ventilator, perawat akan memenuhi segala

kebutuhannya.

Buatlah catatan di kantor perawatan

tentang keadaan klien yang talk dapat

berbicara.

Mengingatkan staf perawat untuk

berespons dengan klien selama

memberikan perawatan.

Anjurkan keluarga/orang lain yang dekat

dengan klien untuk berbicara dengan

klien, memberikan informasi tentang

keluarganya, dan keadaan yang sedang

Keluarga/SO dapat merasakan akrab

dengan klien berada dekat klien selama

berbicara, dengan pengalaman ini dapat

membantu/mempertahankan kontak nyata

33

Page 34: CKR

terjadi. seperti merasakan kehadiran anggota

keluarga yang dapat mengurangi perasaan

kaku/ janggal.

Kolaborasi

Evaluasi kebutuhan komunikasi

(berbicara) selama memakai tracheostomy

tube.

Klien dengan pengetahuan dan

keterampilan yang adekuat memiliki

kemampuan untuk menggerakkan

tracheostomy tube bila berbicara.

7. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional; ancaman

terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alai

bantu/perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran,

hubungan interpersonal.

Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.

Kriteria hasil: Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang

sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan

masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi, klien

dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks

dan tidur/istirahat dengan baik.

Intervensi RasionalisasiMandiri

Identifilkasi persepsi klien untuk

menggambarkan tindakan sesuai situasi.

Menegaskan batasan masalah individu dan

pengaruhnya selama diberikan intervensi.

Monitor respons fisik seperti kelemahan,

perubahan tanda vital, gerakan yang

berulang-ulang, catat kesesuaian respons

verbal dan nonverbal selama komunikasi.

Digunakan dalam mengevaluasi

derajat/tingkat

kesadaran/konsentrasi, khususnya ketika

melakukan komunikasi verbal.

Anjurkan klien dan keluarga untuk

mengungkapkan dan mengekspresikan

rasa takutnya.

Memberikan kesempatan untuk

berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut,

dan mengurangi cemas yang berlebihan.

Akuilah situasi yang membuat cemas dan

takut. Hindari perasaan yang talk berarti

seperti mengatakan semuanya akan

Memvalidasi situasi yang nyata tanpa

mengurangi pengaruh emosional. Berikan

kesempatan bagi klien/ keluarga untuk

34

Page 35: CKR

menjadi baik. menerima apa yang terjadi pada dirinya

serta mengurangi kecemasan.

Identifikasi/kaji ulang bersama

klien/keluarga tindakan pengaman yang

ada seperti kekuatan dan supplai oksigen,

kelengkapan suction emergency.

Diskusikan arti dari bunyi alarm.

Membesarkan/menentramkan hati klien

untuk membantu menghilangkan cemas

yang talk berguna, mengurangi konsentrasi

yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana

sebagai respons dalam keadaan darurat.

Catat reaksi dari klien/keluarga. Berikan

kesempatan untuk mendiskusikan

perasaannya/konsentrasinya dan harapan

masa depan.

Anggota keluarga dengan responsnya pada

apa yang terjadi dan kecemasannya dapat

disampaikan kepada klien.

8. Risiko perubahan membran mukosa mulut yang berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan cairan melalui oral, adanya tube dalam

mulut, kurang/menurunnya salivasi, tidak efektifnya kebersihan

mulut.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi perubahan mukosa mulut.

Kriteria hasil: Mencatat dan memperlihatkan adanya pengurangan gejala,

mengidentifikasikan intervensi secara spesifik untuk menjaga kebersihan mukosa

mulut.

Intervensi RasionalisasiLakukan pengamatan rongga mulut, gigi,

luka pada gusi, perdarahan secara rutin.

Identifikasi masalah dengan cepat dapat

memberikan tindakan/pencegahan dengan

tepat.

Lakukan perawatan mulut secara rutin

atau jika diperlukan, khususnya klien

dengan intubasi tube seperti menyikat gigi

dengan sikat gigi yang lembut atau

menyeka dengan kain basah.

Mencegah kekeringan/lecet pada membran

mukosa dan mengurangi medium tempat

perkembangan bakteri. Membuat perasaan

enak/nyaman.

Berikan salep pelindung bibir dan minyak

pelumas

Mempertahankan kelembapan dan

mencegah kekeringan.Ubah posisi endotracheal tube secara

teratur sesuai jadwal.

Mengurangi risiko perlukaan pada bibir

dan mukosa mulut.

35

Page 36: CKR

9. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan

kebutuhan metabolisme.

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Kriteria hasil: Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan

kenaikan berat badan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium.

Intervensi RasionalisasiMandiri Evaluasi kemampuan makan

klien.

Klien dengan tracheostomy tube mungkin

sulit untuk makan, tetapi klien dengan

endotracheal tube dapat menggunakan

mag slang atau memberi makananObservasi/timbang berat badan jika

memungkinkan.

Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan

kekurangan intake nutrisi menunjang

terjadinya masalah katabolisme,

kandungan glikogen dalam otot, dan

kepekaan terhadap pemasangan ventilator.

Monitor keadaan otot yang menurun dan

kehilangan lemak subkutan.

Menunjukkan indikasi kekurangan energi

otot dan mengurangi fungsi otot-otot

pernapasan.

Catat pemasukan per oral jika

diindikasikan. Anjurkan klien untuk

makan.

Nafsu makan biasanya berkurang dan

nutrisi yang masuk pun berkurang.

Menganjurkan klien memilih makanan

yang disenangi dapat dimakan (bila sesuai

anjuran).

Berikan makanan kecil dan lunak. Mencegah terjadinya kelelahan,

memudahkan masuknya makanan, dan

mencegah gangguan pada lambung.

Kajilah fungsi sistem gastrointestinal

yang meliputisuara bising usus, catat

terjadi perubahan di dalam lambung

seperti mual, muntah. Observasi

perubahan pergerakan usus misalnya

Fungsi sistem gastrointestinal sangat

penting untuk memasukkan makanan.

Ventilator dapat menyebabkan kembung

pada lambung dan perdarahan lambung.

36

Page 37: CKR

diare, konstipasi.

Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari

selama tidak terjadi gangguan jantung.

Mencegah terjadinya dehidrasi akibat

penggunaan ventilator selama tidak sadar

dan mencegah terjadinya konstipasi.

Kolaborasi

Aturlah diet yang diberikan sesuai

keadaan klien.

Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat

sangat diperlukan selama pemasangan

ventilator untuk mempertahankan fungsi

otot-otot respirasi. Karbohidrat dapat

berkurang dan penggunaan lemak

meningkat untuk mencegah terjadinya

produksi CO2 dan pengaturan sisa respirasi.

Lakukan pemerilam proses belajar

mengajar ksaan laboratorium yang

diindikasikan seperti serum, transferin,

BUN/Creatine dan glukosa.

Memberikan informasi yang tepat tentang

keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.

10. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan misinterpretasi

informasi, tidak mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan

akibat krisis situasional

Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan misinterpretasi informasi, tidak

mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis situasional.

Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi klien mengerti apa yang telah

didiskusikan dan berpartisipasi dalam proses belajar.

Kriteria Hasil : Menunjukkan pengertian interest yang ditunjukkan isu verbal dan

nonverbal, menunjukkan respons dalam proses belajar mengajar dengan banyak

bertanya, mengerti tentang indikasi pemakaian ventilator, mendemonstrasikan

pemasangan ventilator sesuai keperluan individu.

Intervensi RasionalisasiMandiri

Tentukan kemampuan dan kemauan

belajar.

Kondisi fisik dapat mempengaruhi kondisi

belajar. Dengan kemauan yang kuat dapat

mengatasi perasaan takut terhadap mesin

dan mempunyai syarat-syarat dalam

kemampuan untuk belajar dalam semua

37

Page 38: CKR

Diskusi tentang kondisi tertentu yang

memerlukan ventilator, ukuranya, tujuan

pengobatan jangka panjang atau jangka

pendek.

Dengan diskusi dapat pengetahuan dasar

klien dan keluarga sehingga dapat

membuat keputusan sesuai dengan

informasi yang diberikan. Usaha ini dapat

diteruskan dalam beberapa minggu. Bila

tidak menggunakan ventilator dapat

meningkatkan PCO2, dispnea, cemas,

takirkadia, berkeringat, sianosis.

Jelaskan tentang penggunaan respirator

kepada klien dan keluarga, akibat

pemakaian respirator dalam gaya hidup,

dan perubahan-perubahan kemauan dan

ketidakmauan untuk menggunakan

respirator.

Kualitas hidup dapat mempengaruhi oleh

pemakaian respilator,di mana perawat

harus mengerti pemakaian ventilator dalam

24 jam.

Tingakatkan partisipasi perawatan

mandiri dan sosialisasi.

Mengembalikan perhatian pada keadaan

aktivitas normal, peningkatan daya tahan ,

dan membantu kemandirian klien.

Ulangi informasi yang diberikan; pola

dalam nutrisi, makanan tambahan.

Mempertinggi penyembuhan dan

kepercayaan, kebutuhan individu pada

pertemuan mendatang.

Rekomendasikan pada klien /keluarga

tentang pelaksanaan resusitasi.

Meningkatkan rasa amanb tentang

kemampuan untuk mengatasi kemampuan

darurat.

Buatlah jadwal untuk memberikan latihan

bagi perawat yang akan melaksanakan

perawatan respirator pada klien di rumah.

Pendekatan secara tim digunakan untuk

mengoordinasi perawat dan klien serta

memberikan pendidikan kesehatan sesuai

kebutuhan klien.

2.4 Implementasi Keperawatan

1. Risiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang

sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik

38

Page 39: CKR

bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural

hematoma.

1) Mengkaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/ penyebab

koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab

peningkatan TIK.

2) Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.

3) Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.

4) Mengpertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan

dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada

kepala.

5) Memberikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang

sebab-akibat TIK meningkat.

6) Mengobservasi tingkat kesadaran dengan GCS.

2. Ketidak efektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi

pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang

tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan 02 dengan

CO2, kegayalan ventilator.

1) Memberikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian

kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk

duduk sebanyak mungkin.

2) Mengobservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan,

dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.

3) Menjelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya

sesak atau kolaps paru-paru.

4) Mempertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk kontrol diri

dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

3. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan

ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan

keletihan.

39

Page 40: CKR

1) Mengkaji keadaan jalan napas.

2) Mengatur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam).

3) Memberikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.

4) Menjelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan

mengapa terdapat penumpukan secret di saluran pernapasan.

4. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks

spasme otot sekunder.

1) Mengjelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri

nonfarmakologi dan non-invasif.

2) Mengajarkan Relaksasi: Teknik-teknik untuk menurunkan

ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan

juga tingkatkan relaksasi masase.

3) Mengajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

4) Meningkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan

menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

5. Risiko gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang

berhubungan dengan penggunaan alat bantu napas.

1) Mempertahankan secara ketat intake dan output.

2) Memonitor tanda vital seperti tekanan darah, nadi.

3) Mencatat perubahan turgor kulit, kondisi mukosa mulut, dan

karakter sputum.

4) Mengitung jumlah cairan yang masuk dan keluar.

5) Memonitor kadar elektrolit jika diindikasikan.

6. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan terpasangnya

endotracheal/tracheostomy tube dan paralisis/kelemahan

neuromuskular.

1) Mengkaji kemampuan klien untuk berkomunikasi.

2) Menentukan cara-cara komunikasi seperti mempertahankan kontak

mata, pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, menggunakan kertas

40

Page 41: CKR

dan pensil/bolpoin, gambar, atau papan tulis; bahasa isyarat, perjelas

arti dari komunikasi yang disampaikan.

3) Menganjurkan keluarga/orang lain yang dekat dengan klien untuk

berbicara dengan klien, memberikan informasi tentang keluarganya,

dan keadaan yang sedang terjadi.

7. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional; ancaman

terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alai

bantu/perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran,

hubungan interpersonal.

1) Mengidentifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan

sesuai situasi.

2) Memonitor respons fisik seperti kelemahan, perubahan tanda vital,

gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan

nonverbal selama komunikasi.

3) Menganjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan

mengekspresikan rasa takutnya.

4) Mengidentifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan

mengontrol penggunaannya,

8. Risiko perubahan membran mukosa mulut yang berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan cairan melalui oral, adanya tube dalam mulut,

kurang/menurunnya salivasi, tidak efektifnya kebersihan mulut.

1) Melakukan pengamatan rongga mulut, gigi, luka pada gusi,

perdarahan secara rutin.

2) Memberikan salep pelindung bibir dan minyak pelumas

3) Mengubah posisi endotracheal tube secara teratur sesuai jadwal.

9. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan

dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan

kebutuhan metabolisme.

1) Mengevaluasi kemampuan makan klien.

41

Page 42: CKR

2) Mengobservasi/timbang berat badan jika memungkinkan.

3) Memberikan makanan kecil dan lunak.

4) Menganjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari selama tidak terjadi

gangguan jantung.

10. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan misinterpretasi

informasi, tidak mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat

krisis situasional

1) Menentukan kemampuan dan kemauan belajar.

2) Mendiskusikan tentang kondisi tertentu yang memerlukan ventilator,

ukuranya, tujuan pengobatan jangka panjang atau jangka pendek.

3) Meningakatkan partisipasi perawatan mandiri dan sosialisasi.

2.5 Evaluasi

1. Klien tidak gelisah dan tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan

muntah.

2. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.

3. Bunyi napas terdengar efektif, menunjukan batuk efektif dan tidak ada

lagi penumpukan secret disaluran pernapasan.

4. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang.

5. Klien dapat menunjukkan tekanan darah, berat badan, nadi, intake dan

output cairan dalam batas normal.

6. Membuat teknik/metode komunikasi yang dapat dimengerti sesuai

kebutuhan.

7. Klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang

sehat kepada perawat dan klien dapat mencatat penurunan

kecemasan/ketakutan di bawah standar.

8. Mengidentifikasikan intervensi secara spesifik untuk menjaga

kebersihan mukosa mulut.

9. Memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan hasil

pemeriksaan laboratorium.

42

Page 43: CKR

10. Klien mengerti apa yang telah didiskusikan dan berpartisipasi dalam

proses belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Mutaqqin, Arif . 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika .

43