Critical Appraisal Mata
-
Upload
fifiadrias -
Category
Documents
-
view
58 -
download
6
Transcript of Critical Appraisal Mata
Perbandingan kemampuan mendiagnosis analisis Moorfield dan skor glaukoma
dengan menggunakan HRT III ( Heidelberg Retinal Tomograph) pada mata dengan
glaukoma primer sudut terbuka
Shveta Jindal, Tanuj Dada, Vsreenivas, Viney Gupta, Ramajit Sihot, Anita Panda
Latar Belakang : Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil
diagnosis HRT GPS dengan analisis Noorfields (MRA)
Bahan dan Metode : Penelitian ini melibatkna 50 mata normal dan 50 mata
dengan glaukoma primer sudut terbuka stadium dini sampai
dengan stadium lanjut. Gambar diperoleh dengan
menggunakan HRT versi 3.0.
Hasil : Koefisien untuk semua klasifikasi MRA dan GPS adalah
0.216 (95% CI: 0.119-0.315). Batas sensitivitas dan
spesifisitas dievaluasi menggunakan yang paling spesifik
(batas hasil ysng dimasukkan sebagai uji negatif) dan kriteria
paling spesifik (batas hasil dimasukkan sebagai uji positif).
Sensitivitas dan spesifisitas MRA adalah 30.61 dan 98% (lebih
spesifik) dan 57.14 dan 98% (paling spesifik). Sensitivitas dan
spesifisitas GPS adalah 81.63 dan 73.47% (lebih spesifik) dan
95.92 dan 34,69% (sedikit spesifik). MRA mempunyai rasio
positif yang tinggi ( 28.57 vs 3.08) dan GPS mempunyai rasio
negatif yang tinghi ( 0.25 vs 0.44). Sensitivitas meningakat
dengan peningkatan ukuran disc pada keduanya yaitu MRA
dan GPS.
Kesimpulan : Terdapat hasil yang berbeda antara klasifikasi MRA dan
GPS. GPS cenderung mempunyai sensitivitas tinggi,
spesifisitas rendah dan rasio yang lebih rendah pula
dibandingkan MRA. Ukuran disc seharusnya dimasukkan
sebagai pertimbangan ketika menginterpretasikan hasil HRT.
GPS maupun MRA keduanya menunjukkan penurunan
sensitivitas untuk ukuran disc kecil dan GPS menunjukkan
penurunan spesifisitas untuk ukuran disc yang besar.
Kata kunci : Pemindaian oftalmoskopi confocal laser, skor probabilitas
glaukoma, Heidelberg retina tomograph
Laser oftalmoskopi oleh tomografi retina Heidelberg (HRT) telah menjadi
pemeriksaan yang biasa dilakukan diseluruh pusat kesehatan utama untuk mendeteksi
glaukoma dan progresifitasnya terhadap nervus optikus. HRT menyediakan obyek yang
dapat digandakan dengan menggunakan analisis morfologi diskus optikus. Salah satu
algoritma HRT adalah MRA, yang dikembangkan suapaya HRT mendiagnosis lebih
baik dengan cara mengikat area yang berbeda di diskus optikus. Area pengukuran ini
terbatas karena membutuhkan pemeriksa untuk memperkirakan batas ukuran diskus
optikus dengan menggunakan garis untukparameter stereometer dan MRA.
Belakangan ini telah dirilis pemeriksaaan glaukoma yang lebih maju dengan
analisis yaitu HRT versi 3.0( HRT III) yang merupakan revisi dari software HRTII. HRT
III menyediakan pengetahuan tentang algiloritma MRA dan yang terbaru, skor
kemungkinan glaukoma (GPS), yangmana tidak mengandalkan penggambaran bentuk
garis secara manual. GPS menganalisisONH bentuk struktur anatomi pasien, yang
tidak bergantung pada bentuk garis , menggunakan diskus optikus 3D dan lapisan serat
serabut saraf (RNFL). Itu dihitung probabilitas kelainan struktur, berdasarkan seberapa
dekat model sehat dibandingkan dengan pasien glaukoma.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode cross sectional dengan pendekatan case
control yang telah dilakukan pada 50 mata normal dan 50 subyek penderita glaukoma
primer sudut terbuka dari stadium dini hingga lanjut. Kriteria inklusi untuk subyek-
subyek yang memenuhi syarat dipilih secara acak dengan menggunakan computer untuk
mengacak nomor. Semua subyek penelitian berusia > 35 tahun, dengan gangguan
refraksi tidak lebih dari 5 D ( dioptri), astigmatisme tidak lebih dari 3 D, dan dengan
koreksi terbaik visus > 20/40. Sedangkan kriteria ekslusi penelitian ini adalah:
1. subyek-subyek dengan kekeruhan kornea
2. penyakit intraocular lain
3. penyakit neurologi
4. gangguan lapangan pandang
5. gangguan diskus optikus
Penelitian ini telah disetujui oleh dewan komite etik di institusi. Informed
consent telah dilakukan pada semua partisipan. Subyek-subyek juga telah menjalani
sebuah pemeriksaan mata secara menyeluruh yang dimulai dari anamnesis,
biomikroskop slit lamp , tonometri, gonioskopi, pemeriksaan dilatasi fundus, dan
pemeriksaan lapang pandang dengan menggunakan analisis Humphrey 30-2 SITA
(algoritma swedia). Subyek-subyek yang memenuhi syarat di masukkan kedalam dua
kelompok yaitu:
1. subyek dengan mata normal
2. subyek yang menderita glaukoma.
Subyek dengan mata normal tidak memiliki riwayat keluarga menderita
glaukoma, tekanan intraokular < 21mmhg, hasil gonioskopi menunjukkan sudut
terbuka, evaluasi klinis normal serta evaluasi dengan menggunakan analisis Humphrey
normal. Pada subyek yang mendeita glaukoma ditemukan tekanan intraokular > 21
mmHg pada saat di diagnosis, hasil gonioskopi menunjukkan sudut terbuka, glaukoma
mengubah nervus optikus, dan lapang pandang berubah, glaukoma khas ( 3 poin yang
ditemukan pada penelitian ini adalah batas P < 5% adalah normal, salah satunya
memiliki nilai P < 1%, dengan uji lapng pandang glaukoma keluar dari batas normal,
yang keudian di konfirmasi lagi dengan dua uji berturut-turut, standar pola deviasi <5%
telah dikonfirmasi dengan menggunakan dua uji lapang pandang berturut-turut.
Gangguan lapang pandang pada pasien glaukoma dikatakan dini bila ( deviasi
mean ( MD) > 6 db, kurang dari 18 poin level dibawah 5% dan kurang dari 10 poin
level P dibawah 1%, tidak ada poin sensitivitas < 15 db pada fiksasi sentral 5°, dan
lanjut bila (MD -6 db sampai -12 db, kurang dari 37 poin level P dibawah 5% dan
kurang dari 20 poin level P dibawah 1%, tidak ada kekurangan absolut (0 db) pada
fiksasi sentral 5°, dan hanya ada satu lapang pandang dengan sensitivitas < 15 db pada
fiksasi sentral 5°). Mata dengan koreksi visus maju dikeluarkan dari penelitian.
HRT adalah oftalmoskopi yang menggunakan laser iodida dengan panjang
gelombang 670 nm, yang bisa membaca permukaan retina lapis demi lapis dengan
beberapa fokus dalam bidang yang sejajar. Semua gambar yang diperoleh dari HRT III
memiliki kualitas yang bagus, gambar-gambar ini memiliki topografi dengan standar
deviasi < 3 mikrometer dan tidak ditemukan saerah yang melayang atau opak.
Kesalahan pada perbesaran telah diperbaiki dengan mengukur kelengkungan kornea
pasien.
Untuk MRA, garis ONH digambar menggunakan batas tepi ONH sebagai batas
dalam cincin Elschnig. Pada penelitian ini, garis digambar oleh seorang operator. MRA
membandingkan daerah neuroretinal secaravumum dan individual dalam 6 bagian
dwngan prediksi nilai untuk subyek sehat dengan ukuran disc dan umurbyang sama.
Hasil direkam sebagai klasifikasi yang kemudian dikategorikan sebagai berikut : ONL
( outside normal limit/ diluar batas normal), BL (borderline/perbatasan), dan WNL
(within normal limit/ dalam batas normal), Tergantung apakah area yang diamati lebih
kecil 95% dari batas prediksi (diklasifikasikan BL) atau lebih kecil dari 99% dari batas
prediksi (diklasifikasikan ONL).
GPS diperoleh menggunakan analisis secara otomatis yang tidak bergantung
pada penelusuran garis. Software menggunakan dua ukuran lapisan pada serat saraf
( kelengkungan horizontal dan vertikal RNFL) dan tiga ukuran bentuk ONH
( kedalaman lengkungan, kecuraman tepi lengkungan, dan ukuran lengkungan) sebagai
input kedalam komputer. Klasifikasi ini disediakan dalam bentuk indeks mulai dari 0
(kemungkinan sakit kecil) sampai 1 ( kemungkinan sakit tinggi), untuk menggambarkan
kemungkinan data yang mirip dalam data kelompok percobaan glaukoma maka GPS
kemudian menggunakan output secara otomatis dengan tiga kategori yaitu, ONL ( GPS
> 0.64), BL ( GPS 0.24- 0.64), dan WNL (< 0.24).
Semua analisis statistik menggunakan software SPSS versi 15.0 dan STATA
versi 9.0. Perbedaan antara kelompok dinilai dengan menggunakan uji t untuk
parameter kontinyu dan menggunakan uji chi square untuk parameter kategori. Kurva
karakteristik digunakan untuk menilai kegunaan setiap parameter dan sektor untuk
membedakan mata glaukoma dari mata sehat. Sensitivitas 95% (5% positif palsu).
Spesifisitas tetap dihitung untuk seluruh parameter. Kemampuan hasil diagnosis MRS
dan GPS telah dihitung. Rasio positif dan negatif telah dihitung untuk diklasifikasikan.
Statistik dwngan menggunakan nilai K digunakan untuk menganalisi kecocokan antara
klasifikasi MRA dan GPS.
HASIL
50 subyek mata sehat dan 50 subyek mata dengan glaukoma dini sampai
dengan lanjut telah dimasukkan dalam penelitian. Dasar demografi dan karakteristik
klinis ditunjukkan pada tabel 1. Pasien yang menderita glaukoma memiliki usia lebih
tua (perbedaan umur 14 tahun, p < 0.001), dari subyek sehat. Rerata panjangnya axis
untuk subyekbnormal adalah 22.94 lebih kurang 0.71 mm dan untuk pasien glaukoma
adalah 23.5+- 0.91 mm (p =0.001). Rerata untuk kesalahan refraksi untuk subyek
normal adalah +- 0.41 (+-0.97) D dan untuk kelompok glaukoma adalah - 0.23 (+- 1.95)
D (p = 0.04). Rerata lapang pandang MD untuk kelompok sehat adalahb-2.82 +- 1.36 db
dan untuk kelompok glaukoma adalah -6.45 +- 2.97 db mencerminkan derajat
kerusakan glaukoma dini sampai lanjut.
Table 1
Baseline characteristics of the study population
ParameterNormal (n = 50)
Glaucoma (n =
50)Significance P
value
Mean SD Mean SD
Age (years) 44.74 8.88 58.78 11.08 P < 0.001
CCT* (mm) 537 27.77 530.8 27.99 P = 0.27
Mean deviation (db) - 2.82 1.36 - 6.45 2.97 P < 0.001
Pattern standard deviation
(db)2.50 1.19 5.71 3.23 P < 0.001
Cup-disc ratio 0.36 0.11 0.71 0.13 P < 0.001
*CCT: Central corneal thickness
Secara keseluruhan, GPS memperoleh hasil positif palsu tertinggi (25%) dan
MRA memperoleh hasil negatif palsu tertinggi (42%). Sensitivitas dan spesifisitas telah
dievaluasi untuk semua klasifikasi MRA dan GPS dengan menggunakan kriteria yang
lebih spesifik ( dengan pertimbangan kasus BL sebagai uji negatif) dan kriteria spesifik
paling sedikit ( dengan pertimbangan BL sebagai uji positif). Secara keseluruhan, GPS
memiliki sensitivitas relatif tinggi (73.47-81.63%) dibandingkan MRA (30.61-57.14%).
Bagaimanapun, spesifisitas GPS lebih rendah (34.69-73.47%) dibandingkan dengan
MRA ( 98%). Sensitivitas meningkat sesuai dengan peningkatan derajat glaukoma,
untuk MRA (52% untuk kasus dini dan 60% untuk kasus lanjut) dan GPS (78.3% untuk
kasus dini dan 84% untuk kasus glaukoma lanjut).
Nilai-nilai sensitivitas dan spesifisitas diekstrakpolasi untuk dihitung rasionya ,
untuk dilihat efeknya setelah uji probabilitas penyakit. Klasifikasi MRA secara umum
cenderung memberikan rasio positif yang lebar ( 28.57 vs 3.08) denga efek probabilitas
setelah uji lebar, dan untuk klasifikasi GPS cenderung meberi rasio negatif lebih ( 0.25
vs 0.44) dengan efek lanjut setelah uji probabilitas.
Kecocokan sempurna (diklasifikasikan dalam kategori yang sama dengan
analisis) diamati pada 36% mata normal dan pasien glaukoma (tabel 2 dan 3). Sebagian
cocok (.diklasifikasikan dengan analisis BL dan yang lain dengan WNL/ONL) diamati
pada 38% mata normal dan glaukoma. Terdapat sedikit kecocokan antara MRA dan
GPS, K= 0.216 (95% CI: 0.119 - 0.315), GPS memperoleh hasil positif palsu tertinggi
(28%) dan MRA menunjukkan hasil negatif palsu tertinggi (42%).
Table 2
Distribution of glaucoma subjects among classifications
GPS* → MRA † ↓ WNL‡ BL§ ONL|| Total
WNL‡ 2 6 13 21
BL§ 0 1 13 14
ONL|| 0 0 15 15
Total 2 7 41
*GPS: Glaucoma probability score†MRA: Moorfield’s regression analysis‡WNL: Within normal limits§BL: Borderline||ONL: Outside normal limits
Table 3
Distribution of healthy controls among classifications
GPS* → MRA † ↓ WNL‡ BL§ ONL|| Total
WNL‡ 17 19 13 49
BL§ 0 0 0 0
ONL|| 0 0 1 1
Total 17 19 14
*GPS: Glaucoma probability score†MRA: Moorfield’s regression analysis‡WNL: Within normal limits§BL: Borderline||ONL: Outside normal limits
Semua parameter ONH memiliki perbedaan yanh signifikan diantara kelompok
( tabel 4). Pasien-pasien glaukoma mempunyai area disc yang luas dibandingkan subyek
yang sehat ( mean 2.43 mm2 vs 2.24 mm2; p = 0.04). Parameter-parameter yanh
mungkin membedakan antara subyek glaukoma dan subyek sehat adalah rasio area disc
(AUROC (area under roc curve)= 0.842 ; tabel 4)), rasio area lingratan- disc (AUROC
=0.842; tabel 2), dan area lingkaran (AUROC= 0.832; tabel 4). Spesifisitas tetap 95% ,
nilai sensitivitas terbaik adalah 57% untuk rasio area lingkaran-disc dan 55% untuk
rasio vertical lingakaran-disc. Tabel 5 menunjukkan perbandingan parameter-parameter
GPS antar kelompok. Parameter dengan perbedaan terbaik adalah kelengkungan
horizontal RNFL (AUROC= 0.832).
Table 4
Comparison of stereometric parameters between groups
Parameter
Normal (n
= 50)
Glaucoma (n
= 50)P
valueAUROC*
Sensitivity at 95%
Specificity (%)
Mean Mean
Disc Area (mm2) 2.24 ± 0.41 2.43 ± 0.52P =
0.04
Cup Area (mm2) 0.61 ± 0.38 1.28 ± 0.65P <
0.0010.813 36.7
Rim Area (mm2) 1.63 ± 0.37 1.15 ± 0.41P <
0.0010.832 26
Cup/Disc Area
Ratio0.26 ± 0.15 0.51 ± 0.21
P <
0.0010.842 57
Rim Area/Disc
Area Ratio0.74 ± 0.15 0.49 ± 0.21
P <
0.0010.842 8
Cup Volume
(mm3)0.17 ± 0.18 0.48 ± 0.38
P <
0.0010.792 35
Rim Volume
(mm3)0.43 ± 0.18 0.26 ± 0.15
P <
0.0010.780 20
Mean Cup Depth
(mm)0.24 ± 0.11 0.36 ± 0.14
P <
0.0010.760 24
Maximum Cup
Depth (mm)0.63 ± 0.22 0.79 ± 0.26
P <
0.0010.682 23
Cup Shape
Measure-0.17 ± 0.08 -0.08 ± 0.08
P <
0.0010.786 22
Cup/Disc 0.49 ± 0.21 0.70 ± 0.22 P < 0.775 41
Parameter
Normal (n
= 50)
Glaucoma (n
= 50)P
valueAUROC*
Sensitivity at 95%
Specificity (%)
Mean Mean
Horizontal ratio 0.001
Cup/Disc Vertical
ratio0.38 ± 0.23 0.63 ± 0.24
P <
0.0010.823 55
FSM 1.27 ± 2,23 -1.23 ± 2.4P <
0.0010.805 14
RB 1.29 ± 0.75 0.17 ± 1.26_P <
0.0010.797 30
*AUROC: Area under receiver operating characteristic curve
Table 5
Comparison of glaucoma probability score parameters between groups
ParameterNormals (n=50) Glaucoma (n=50)
P value AUROC*
Mean Mean
Cup depth(mm) 0.64 ± 0.18 0.70 ± 0.19 P = 0.118 0.589
Horizontal RNFL† curvature -0.03 ± 0.05 -0.09 ± 0.05 P < 0.001 0.832
Vertical RNFL† curvature -0.11 ± 0.05 -0.16 ± 0.06 P < 0.001 0.753
Rim steepness -0.19 ± 0.48 -0.52 ± 0.54 P < 0.001 0.702
Cup size 0.51 ± 0.20 0.70 ± 0.29 P < 0.001 0.734
*AUROC: Area Under receiver operating characteristic curve†RNFL: Retinal nerve fibre layer
Tabel 6 menunjukkan analisis klasifikasi MRA dan GPS, cut off poin telah
dipilih BL untuk MRA dan ONL untuk klasifikasi GPS. Secara keseluruhan, GPS
memiliki AUROC lebih tinggi daripada MRA. Bagian dengan kemungkinan terbaik
adalah nasal inferior (AUROC= 0.723 ) untuk MRA dan temporal superior (AUROC=
0.860) untuk GPS. MRA memiliki rasio positif lebih baik (6.73-22.5) sebaliknya GPS
memiliki rasio negatif lebih baik (0.14-0.21).
Table 6
Sectoral analysis of Moorfield’s regression analysis and glaucoma probability score classifications
AUROC* Sensitivity (%) Specificity (%) +LR † -LR†
Temp Superior
MRA ‡ 0.682 39 98 19.5 0.622
GPS § 0.860 89 77 3.9 0.14
Temp Inferior
MRA ‡ 0.716 47 96 11.75 0.55
GPS § 0.854 84 77 3.65 0.21
Nasal Superior
MRA ‡ 0.712 45 98 22.5 0.56
GPS § 0.846 87 78 3.95 0.17
Nasal Inferior
MRA ‡ 0.723 51 92 6.37 0.53
GPS § 0.847 84 76 3.5 0.21
*AUROC: Area under receiver operating characteristic curve†LR: Likelihood ratio‡MRA: Moorfield’s regression analysis§GPS: Glaucoma probability score
Ukuran disc optikus terbagi menjadi kecil (<1.87 mm2) , sedang (1.37-2.8mm2)
dan besar ( >2.81mm2) tergantung data populasi dengan etnis tertentu. Sensitivitas
keduanya MRA dan GPS menurun seiring dengan menurunnya ukuran disc (tabel 7).
spesifisitas untuk MRA tidak banyak berubah dengan berubahnya ukuran disc,
sebaliknya GPS meningkat pada ukuran disc yang besar pula.
Table 7
Effect of disc size on Moorfield’s regression analysis and glaucoma probability score classifications
Small discs (<1.87) n
= 13
Normal discs (1.87-2.81) n
= 73
Large discs (>2.81) n
= 14
MRA*
Sensitivity
40 52.78 87.5
Specificity
100 97.3 100
Small discs (<1.87) n
= 13
Normal discs (1.87-2.81) n
= 73
Large discs (>2.81) n
= 14
GPS†
Sensitivity
60 80.56 100
Specificity
100 75 20
*MRA: Moorfield’s regression analysis†GPS: Glaucoma probability score Figures indicates in percentage
Untuk GPS populasi positif palsu memiliki ukuran disc lebih besar dari
populasi negatif palsu ( 2.57 vs 1.99 mm2). untuk MRA dibandingkan subyek negatif
palsu dengan positif palsu, area disc lebih kecil untuk negatif palsu ( 2.28 vs 2.64 mm2).
DISKUSI
Diagnosis glaukoma stadium dini adalah dengan penemuan klinis. Evaluasi
secara subyektif dengan menggunakan ONH sangat sulit dilakukan karena terdapat
perbedaan yang besar antar individu. Metode analisis ONH secara obyektif yang
terpercaya adalah seperti HRT yang digunakan untuk mendiagnosis dan merubah hasil
ONH untuk glaukoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kemampuan
operator menggambar garis yang tergantung MRA dan bentuk garis yang tidak
tergantung GPS, pada pasien glaukoma primer sudut terbuka dan subyek dengan mata
sehat.
Rata-rata umur penderita glaukoma adalah lebih tua ketika dibandingkan
dengan kontrol. Penelitian sebelumnya oleh Zangwill dkk, Javier dkk, Harizman dkk,
Coops dkk, dan Burgansky-Eliash dkk, juga melaporkan hasil yang mirip yaitu subyek
sehat lebih muda dibandingkan dengan pasien glaukoma. Hal ini dikarenakan bahwa
subyek yang lebih muda secara sukarela ikut dalam penelitian. Perbedaan nilai yang
terlalu besar untuk parameter normal terjadi ketika penelitian menggunakan kontrol
yang lebih muda daripada kasus dengan menggunakan subyek yang lebih tua. Pada
penelitian ini, kelompok pasien glaukoma sedikit lebih myopia dibandingkan kontrol,
kesalahan refraksi telah disesuaikan dengan fokus yang tepat untuk pasien glaukoma
yang telah terdaftar pada penelitian. Mereka telah memiliki kontrol IOP dengan obat-
obatan atau dengan pembedahan. Sebelumnya kontrol IOP telah diukur secara statistik
untuk subyek glaukoma. Diharapkan, MD dan PSD pasien kelompok glaukoma lanjut
dan dini secra signifikan lebih tepat daripada subyek normal.
Parameter ONH telah dievaluasi dan dibandingkan antara glaukoma dan subyek
sehat menggunakan HRT III. Rata-rata area disc untuk subyek normal pada penelitian
ini adalah 2.24 mm2. Ini mirip untuk area disc kelompok ekslusif dari 275 mata normal
yang telah dievaluasi dengan HRT III pada penelitian sebelumnya yang dilakukan diluar
pusat kesehatan. Bagaimanapun, ukuran area disc pada kelompok glaukoma lebih lebar
(2.43mm2), salah satu penjelasan yang mungkin adalah terdapat bias pada data
percobaan. Kerusakan dini sulit untuk dideteksi pada diskus optikus yang kecil dengan
oftalmoskopi, disk yang besar lebih mudah untuk dideteksi.
AUROC tertinggi antara parameter HRT adalah rasio area pinggir-area disc dan
rasio area cup-area disc diikuti oleh daerah pnggir dan rasio cup vertikal disc. Ferreras
dkk juga melaporkan hasil mirip dengan parameter yang disebutkan diatas. Keduanya,
fungsi linier diskriminatif HRT, RB, dan FSM memiliki perbedaan kemampuan antara
glaukoma dan subyek normal masing-masing (nilai AUROC 0.850 dan 0.797).
parameter GPS dengan AUROC yang tinggi adalah kelengkungan RNFL. Hasil yang
mirip pada beberapa penelitian berbeda, termasuk salah satunya oleh Swindale dkk,
yang menunjukkan parameter yang sama memiliki perbedaan yang tinggi antara subyek
normal dan glaukoma.
Terdapat sedikit kecocokan antara semua klasifikasi MRA dan GPS. Koefisien
kecocokan (k) adalah 0.216, yang berhubungan dengan sedikit kecocokan. Burgansky-
Eliash dan rekan melaporkan kesepakatan dari 78,5% (k, 0,56) dan Coops dan rekan
melaporkan kesepakatan dari 71% (k, 0,52). Namun, Javier dkk, [9] melaporkan
kecocokan yang lebih rendah pada 56% kasus (k, 0,34). Alasan untuk perbedaan dalam
penelitian ini dan penelitian oleh Javier dkk mungkin adalah jumlah mata dengan
glaukoma awal (50% dari pasien pada penelitian ini menderita glaukoma dini). Berbagai
studi melaporkan bahwa sensitivitas kedua algoritma menurun, terutama untuk MRA,
pada mata dengan glaukoma dini.
MRA, telah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan diagnostik HRT,
dengan mempertimbangkan variabilitas daerah disk optik dalam evaluasi kuantitatif dari
daerah pinggiran. Teknik MRA menggunakan regresi linier dari daerah pinggiran
dengan daerah disk untuk meningkatkan kapasitas diagnostik HRT. Pada glaukoma
dini, dilaporkan sensitivitas 59,6% dan spesifisitas 72,3%. Sensitivitas dan spesifitas
yang berbeda telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya dengan berbagai
kemungkinan. Pertama, bentuk rim dan ukuran optik sangat bervariasi pada pasien
normal dan pasien glaukoma sudut terbuka. Kedua, sensitivitas dan spesifitas tergantung
pada tingkat keparahan dan tahap glaukoma. Penelitian lain juga menunjukkan
pentingnya ukuran disk dan ras dalam klasifikasi mata glaukoma dan sehat dengan
menggunakan MRA. Baru HRT III menawarkan perubahan dengan mencoba untuk
meningkatkan presisi diagnostik, termasuk database normatif lebih besar, dan algoritma
GPS baru. Sampai sekarang, tingkat akurasi diagnostik beragam telah dilaporkan.
Dalam studi saat ini, kepekaan MRA berkisar 30,61-57,14%, lebih rendah daripada
yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya. Perbedaan dihasilkan dari fakta bahwa
50% dari pasien penelitian ini memiliki glaukoma dini. Spesifisitas lebih tinggi dari
pada penelitian sebelumnya.
Mengenai algoritma GPS, penelitian ini memperoleh sensitivitas sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan penelitian lain, dan spesifisitas lebih rendah. Dengan
demikian, GPS memiliki kecenderungan untuk sensitivitas yang lebih tinggi dan
spesifisitas lebih rendah dibandingkan dengan MRA. Namun, hasil terbaik diperoleh
ketika mempertimbangkan nilai-nilai BL GPS sebagai hasil negatif dan MRA BL nilai-
nilai sebagai hasil positif. Rasio kemungkinan positif lebih tinggi untuk MRA,
sedangkan, GPS memberikan yang lebih baik rasio kemungkinan negatif. Hasil ini
dalam populasi penelitian bahwa GPS memberikan informasi yang lebih baik untuk
mengkonfirmasikan disk normal, sedangkan, MRA lebih bermanfaat dalam
mengkonfirmasikan kecurigaan glaukoma. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Zangwill dkk dan Ferreras dkk.
Baik MRA dan GPS menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah untuk rim yang
lebih kecil dan sensitivitas yang lebih tinggi untuk rim yang lebih besar. Meskipun
spesifisitas tetap sama di berbagai ukuran disk untuk MRA, menurun dengan ukuran
disk yang semakin meningkat untuk GPS. Seperti penelitian sebelumnya yang
menunjukkan efek yang sama pada keakuratan diagnostik dari kedua algoritma.
Kesimpulannya, kecocokan secara keseluruhan antara MRA dan klasifikasi
GPS adalah sedikit. GPS memiliki sensitivitas yang lebih baik dan spesifisitas rendah
dari MRA. GPS dan MRA menunjukkan penurunan sensitivitas untuk rim yang lebih
kecil dan GPS menunjukkan penurunan untuk cakram yang lebih besar.
DIAGNOSIS WORKSHEET
Citation:
Apakah hasil penelitian diagnosis valid?
Pakah terdapat persamaan penelitian ini dengan penelitian baku emas?
Apakah subyek penelitian meliputi spectrum penyakit dari yang ringan sampai berat, penyakit yang terobati dan tidak dapat diobati?Apakah lokasi penelitian disebutkan dengan jelas?Apakah presisi uji diagnostic dan variasi pengamat dijelaskan?
Are the valid results of this diagnostic study important?
SAMPLE CALCULATIONSTarget disorder
(iron deficiency anemia)TotalsPresent Absent
Diagnostic test result
(serum ferritin)
Positive(< 65 mmol/L)
731a
270b
1001a+b
Negative ( 65 mmol/L)
78c
1500d
1578c+d
Totals809a+c
1770b+d
2579a+b+c+d
Sensitivity = a/(a+c) = 731/809 = 90%Specificity = d/(b+d) = 1500/1770 = 85%Likelihood ratio for a positive test result = LR+ = sens/(1-spec) = 90%/15% = 6Likelihood ratio for a negative test result = LR - = (1-sens)/spec = 10%/85% = 0.12Positive Predictive Value = a/(a+b) = 731/1001 = 73%Negative Predictive Value = d/(c+d) = 1500/1578 = 95%Pre-test probability (prevalence) = (a+c)/(a+b+c+d) = 809/2579 = 32%Pre-test odds = prevalence/(1-prevalence) = 31%/69% = 0.45Post-test odds = pre-test odds LRPost-test probability = post-test odds/(post-test odds +1)
YOUR CALCULATIONSTarget disorder
TotalsPresent AbsentPositive a b a+b
Diagnostic test result
Negative c d c+d
Totalsa+c b+d a+b+c+d
Can you apply this valid, important evidence about a diagnostic test in caring for your patient?
Is the diagnostic test available, affordable, accurate, and precise in your setting?
Can you generate a clinically sensible estimate of your patient’s pre-test probability (from personal experience, prevalence statistics, practice databases, or primary studies)? Are the study patients similar to your
own? Is it unlikely that the disease possibilities
or probabilities have changed since the evidence was gathered?
Will the resulting post-test probabilities affect your management and help your patient? Could it move you across a test-
treatment threshold? Would your patient be a willing partner
in carrying it out?
Would the consequences of the test help your patient?
Additional notes:
3.
Telaah Kritis Uji Diagnosis
3.3.1 Telaah Kritis berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti
3.3.1.1 Penilaian Validitas (Validity) (Sackett, 2000, Soeparto,et al, 1998)
1. Apakah dilakukan suatu pembandingan yang independen dan blind/
tersamar dengan standar referensi diagnosis (gold standard)?
Ya.
Pertama, tes diagnosis diterapkan pada setiap subyek yang sama dengan diagnosis standard dan dinilai secara independen. Pada penelitian ini subyek menjalani keduanya, baik uji diagnostik yang diteliti (pemeriksaan PCR), maupun uji gold standard (pemeriksaan kultur sputum).
Kedua, hasil dari uji diagnostik yang satu tidak diketahui oleh pihak yang melakukan uji yang lain. Petugas yang melakukan pemeriksaan PCR tidak mengetahui hasil dari pemeriksaan klinis ataupun diagnose akhir dari sample. Contoh darah dari sample hanya diberi kode angka dan diantarkan ke laboratorium tanpa ada informasi klinis kepada petugas laboratorium yang melakukan pemeriksaan PCR. Demikian juga klinisi yang merawat tidak mengetahui hasil pemeriksaan PCR nya.
2. Apakah tes diagnosis ini dievaluasi pada spektrum pasien yang tepat
(seperti pada pasien yang biasanya kita akan ukur dengan tes tersebut)?
Ya.
Penelitian ini melibatkan subyek pasien bangsal paru yang dicurigai secara klinis menderita TB.
3. Apakah rancangan penelitian maupun seleksi subyek penelitian yang
dilibatkan dijelaskan dengan baik?
Tidak.
Pada bagian metode peneliti tidak menjelaskan metode pemilihan subyek yang dilibatkan dalam penelitian. Sampel darah hanya diambil pada semua pasien yang dating selama periode 6 bulan yang akan menjalani evaluasi diagnostic untuk menegakkan diagnose TBC. Peneliti tidak menjelaskan kriterian inklusi dan eksklusi dari sunyek penelitian. Rancangan penelitian tidak digambarkan secara terperinci.
4. Apakah reproduksibilitas ( presisi ) dari hasil test dan interpretasinya
(variasi pengamat) disebutkan?
Ya.
Dalam penelitian ini pemeriksaan PCR spesifik untuk elemen insersi IS 110 dari kompleks organism M.TBC ( termasuk M. bovis, M. africano, dan M. microti) dan tidak akan mendeteksi organism dari kompleks M. avium. Sehingga bila dilakukan penelitian ulang, hasilnya akan tidak jauh berbeda. Hasil penelitian ini di interpretasikan oleh 2 orang pengamat dan semua sampel diperiksa 2 kali.
5. Apakah istilah “normal” disebutkan dengan jelas?
Tidak.
Penelitian ini tidak menggunakan rentang pengukuran. Tapi hanya mendeteksi elemen insersi IS6 110. Apabila ditemukan elemen tersebut maka pasien di diagnose terinfeksi TBC.
6. Apakah uji diagnostik yang diteliti merupakan bagian dari suatu kelompok
uji diagnosis, apakah kontribusinya pada kelompok uji diagnostik tersebut
dijelaskan?
Tidak.
Uji diagnosis pada penelitian bukan merupakan bagian dari suatu kelompok uji diagnosis, tetapi merupakan uji diagnosis tersendiri yang dapat digunakan tanpa dikombinasi oleh uji yang lain.
7. Apakah cara dan tehnik melakukan uji diagnosis yang sedang diteliti
dijelaskan, sehingga dapat direplikasi?
Ya.
Cara dan teknik telah dibahas dengan baik pada bab methods, sehingga dengan membaca jurnal tersebut, kemungkinan orang lain dapat mereplikasi penelitian tersebut.
8. Apakah kegunaan uji diagnosis yang sedang diteliti disebutkan?
Ya.
Kegunaan dari pemeriksaan PCR disebutkan pada diskusi. Yaitu untuk mendapatkan hasil diagnosis dari TBC paru aktif dengan cepat
2. Penilaian Pentingnya Hasil Penelitian Uji Diagnostik
(Importance)
Dari jurnal kami dapat merekontruksi tabel 2x2 sebagai berikut :
Tabel 2.1 Pemeriksaan PCR darah tepi penderita curiga tuberkulosis paru dibandingkan dengan kultur dari sputum
Penyakit
Positif Negatif
PCR assay
Positif 3
a
9
5
b
44
Negatif 2
c
4
d
2
44
41 47 88
Perhitungan nilai :
Sensitivitas : a/ (a+c) = 95 %
Spesifisitas : d/(b+d) = 89 %
Akurasi : (a+d)/(a+b+c+d) = 92 %
Positive Predictive Value (PPV/NP+) : a/(a+b) = 89%
Negative Predictive Value (NPV/NP-) : d/(c+d) = 95%
Positive Likelihood Ratio (LR+) : sens/(1-spec) = 8,94
Negative Likelihood Ratio (LR-) : (1-sens)/spec = 0,05
Prevalensi : (a+c)/(a+b+c+d) = 46%
Pre-test odds : prevalence/(1-prevalence) = 0,86
Post-test odds : pre-test odds x LR = 7,71
Post-test probability : post-test odds/(post-test odds+1) = 88%
Interpretasi:
Positive Likelihood Ratio (LR+) pemeriksaan PCR berdasarkan perhitungan adalah 8,94, Negative LR (LR-) diperoleh 0,05 ; menunjukkan perubahan moderat dari Pre Tes Probabillitas menjadi Post Tes Probabilitas. Dari pre-test odds, diperoleh Pre Tes Probabilitas 46% (pre-test odds/(pre-test odds+1)). Sehingga perubahan Pre Tes Probabilitas ke Post Tes Probabilitas adalah sebesar 42% (88% - 46%). Disebutkan bahwa tes diagnosis yang menghasilkan perubahan yang besar Pre Tes Probabilitas menjadi Post tes Probabilitas (pre-test to post-test probability) adalah penting.
3.3.1.3 Kemampuan Terapan Hasil Studi yang Valid ini pada Pasien (Applicability)
1. Apakah tes diagnosis tersebut tepat, akurat, dan dapat dipakai dalam
konteks kita?
Belum bisa.
Penggunaan pemeriksaan PCR dalam konteks klinis di negara kita belum memungkinkan dikarenakan keterbatasan biaya, alat maupun sumber daya manusianya. Dan juga dikarenakan endemisitas TB yang tinggi di negara kita sehingga dengan pemeriksaan BTA sputum sudah mencukupi untuk melakukan diagnosis penyakit TB paru.
2. Apakah Kita dapat secara klinis melihat estimasi pre-test probabilitas
pasien kita?
Ya.
Prevalensi kasus TB di Negara kita sudah terdata sampai di tingkat kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia..
3. Apakah hasil post-test probabilitas berpengaruh pada penanganan
terhadap pasien kita?
Tidak.
Walaupun hasil post-test probabilitas meningkat banyak dibandingkan dengan pre-test probabilitas namun tidak banyak berpengaruh kepada penanganan pasien TB di negara kita oleh karena sampai saat ini penggunaan pemeriksaan PCR belum lazim digunakan dalam konteks klinis untuk diagnosis TB paru di Indonesia.