CRS Buat Ujian
Transcript of CRS Buat Ujian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.1
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa
muda. Awitan laki-laki biasanya 15-25 tahun pada perempuan 25-35 tahun.
Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan
perempuan. Awitan setelah umur 40 tahun jarang terjadi.2,3
Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Namun, berbagai teori telah berkembang seperti model diastasis-stes dan hipotesis
dopamine. Model diastasis stress merupakan satu model yang mengintegrasikan
faktor biologis, psikososial, dan lingkungan.2
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta afek yang tidak wajar (inappropriate)
atau tumpul (blunted). Kesadaran composmentis dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat terjadi
dikemudian hari.1
Gangguan skizofrenia berdasarkan PPDGJ III yaitu skizofrenia paranoid,
skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca
skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya,
skizofrenia ytt. Beberapa kriteria diagnostic untuk subtype skizofrenia menurut
DSM-IV yaitu tipe paranoid, tipe terdisorganisasi, tipe katatonik, tipe tak
tergolongkan, dan tipe residual.1,2
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe, salah satunya adalah tipe
katatonik. Skizofrenia katatonik merupakan merupakan satu tipe skizofrenia yang
ditandai oleh ketegangan otot (katatonia), negativisme, dan stupor atau gaduh.
Belum ada laporan prevalensi ataupun hasil survei pasti angka kejadian
skizofrenia tipe katatonik ini. Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi jarang
1
ditemukan kasus skizofrenia katonik yang memiliki gejala khas ini. Oleh karena
itu, penulis ingin membuat analisis kasus dari kasus skizofrenia katatonik ini
sebagai bahan ujian di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Riwayat Psikiatri
Riwayat psikiatri didapatkan dari pasien dan alloanamnesis dengan adik
pasien.
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. F
Usia : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : STM
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : RT 10 RW 04 Karang Anyar Bajubang, Kab.
Batanghari.
MRSJ : 04 April 2014
B. Alloanamnesis
Nama : Tn. Fr
Usia : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Suku : Melayu
Pendidikan : STM
Pekerjaan : Swasta
Alamat : RT 10 RW 04 Karang Anyar Bajubang, Kab.
Batanghari.
Hubungan dengan penderita : Adik kandung
3
C. Keluhan Utama
Pasien buang air kecil dan buang air besar sembarangan semakin parah
sejak dua minggu yang lalu.
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih 5 tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien suka menyendiri.
Namun, pasien masih bisa bicara dengan orang lain dan masih mau melakukan
kegiatan seperti biasanya. Dengan berjalannya waktu, pasien semakin tidak mau
bicara dan membantah jika ditanya. Misalnya, keluarga pasien menanyakan
“mengapa diam saja?”, pasien pasti langsung membantah atau melawan dengan
mengatakan “jangan tanya-tanya” disertai roman muka yang tidak menyenangkan.
Selain itu, pasien kadang-kadang duduk di bawah pohon atau di pinggir jalan dan
tertawa sendiri sampai larut malam. Akan tetapi, keluhan tersebut masih jarang
terjadi karena kadang-kadang pasien masih terlihat normal kembali. Ketika pasien
dalam keadaan normal, keluarganya mencoba bertanya “apakah pasien merasa
sakit?”, tapi pasien bilang tidak, ia baik-baik saja.
Keluarga pasien tidak mengetahui penyebab yang menyebabkan pasien
menjadi seperti itu. Pada saat itu, pasien tidak pernah dibawa berobat ke rumah
sakit atau praktik dokter karena pasien ataupun keluarganya tidak merasa pasien
mengalami gangguan jiwa. Pasien dibawa berobat ke dukun (sering ganti-ganti
dukun, namun tidak ada perubahan). Keluarga mengira pasien mengalami hal-hal
mistik (kemasukan setan atau sejenis diguna-guna).
Kurang lebih 4 tahun sebelum masuk rumah sakit, ayah dan ibu pasien
sering bertengkar karena ayah pasien selingkuh. Akhirnya, orangtua pasien pun
bercerai. Semenjak perceraian orangtuanya, perhatian dan kebahagiaan yang
terjadi di dalam rumah semakin berkurang. Semenjak itu, pasien semakin sering
menyendiri dan semakin tidak mau berbicara bahkan terkesan tertutup. Kalaupun
berbicara, pasien biasanya marah-marah dan pembicaraan tidak nyambung.
Kurang lebih 2 tahun ini, keadaan pasien mulai memburuk. Pasien sudah
tidak mau lagi merawat dirinya, pasien semakin sulit di ajak bicara, sulit disuruh
makan dan mandi. Selain itu, pasien buang air besar dan buang air kecil
sembarangan. Pasien semakin sering jongkok di bawah pohon atau di pinggir
4
jalan sambil tertawa sendiri dari pagi sampai larut malam. Akhirnya, keluarga
memutuskan untuk membuat sekat rumah, bagian depan untuk keluarga dan
bagian belakang untuk pasien. Pasien tetap tidak dibawa berobat ke praktik dokter
ataupun ke rumah sakit.
Satu bulan yang lalu, pasien semakin parah, pasien sering mengamuk-
ngamuk tanpa alasan yang jelas bahkan pasien sempat memukuli adiknya dan
mengganggu anggota keluarga lainnya. Pasien seperti tidak mengenal adik dan
keluarganya lagi. Selain itu, jika tidak ada makanan di rumah, os juga langsung
mengamuk. Buang air besar dan buang air kecil semakin sembarangan.
Kemudian, dalam dua minggu ini, pasien menjadi benar-benar diam dan tidak
bergerak dalam posisi jongkok yang sesekali disertai senyum-senyum sendiri.
Oleh karena merasa terganggu dengan pasien yang buang air kecil dan besar
sembarangan, keluarga pasien merasa ketakutan dan memutuskan untuk
membawa pasien ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi pada tanggal 4 april 2014
pukul 16.04 WIB.
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama 5 tahun yang lalu, namun
tidak diobati ke praktik dokter ataupun rumah sakit jiwa.
F. Riwayat Medis dan Psikiatrik Lain
1. Gangguan Mental atau Emosi
Sudah pernah mengalami gangguan yang sama sebelumnya, namun tidak
diobati.
2. Gangguan Psikosomatis
Riwayat mengalami gangguan psikosomatis tidak ada.
3. Kondisi Medik
Riwayat penyakit fisik berat dan riwayat penyalahgunaan zat dan obat-
obatan tidak ada.
4. Gangguan Neurologi
Riwayat trauma kepala, sakit kepala hebat, kesulitan bicara, kelemahan
anggota tubuh, kejang dan kehilangan kesadaran tidak ada.
5
G. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pasien, sebagai berikut :
1. Penderita dibesarkan oleh kedua orang tua kandung.
2. Ayah bekerja sebagai buruh harian lepas (swasta), sedangkan ibu sebagai
ibu rumah tangga.
3. Hubungan kedua orang tua kurang baik sejak ayah pasien selingkuh,
hingga akhirnya mereka bercerai.
4. Penderita mempunyai sifat pendiam dan anak pertama dari empat
bersaudara.
5. Status sosial ekonomi menengah ke bawah.
6. Tidak ada hubungan darah antara ayah dan ibu.
7. Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga tidak ada.
Struktur keluarga yang tinggal serumah pada saat pasien berusia 10 tahun
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1 Tn.S L x tahun Ayah Pemarah dan tegas.
2 Ny.P P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang.
3 Tn.Fr L x tahun Adik Pendiam
Struktur keluarga yang tinggal serumah saat ini
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1 Ny.P P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang
2 Tn.F L 30 tahun Pasien Pendiam, pemalu,
penyayang
3 Tn.Fr L 22 tahun Adik Pendiam, tegas
4 Nn.L P x tahun Adik Pendiam, penyayang
5 Tn.I L x tahun Adik Ceria
6
GENOGRAM
Keterangan:
Laki-laki
Perempuan Gangguan jiwa
H. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat prenatal dan perinatal
Selama kehamilan ibu pasien dalam kondisi sehat, hamil cukup bulan,
dilahirkan secara spontan dan sehat dengan bantuan bidan. Saat kehamilan
tidak ada penyakit fisik dan mental yang dialami oleh ibu. Kehamilan dan
kelahiran pasien direncanakan dan diharapkan oleh kedua orangtua.
2. Masa kanak-kanak awal (kelahiran sampai usia 3 tahun)
a. Kebiasaan makan dan minum
Pasien mendapat ASI sampai usia ± 2 tahun, diberikan makanan
tambahan sejak usia 6 bulan. Pasien kadang-kadang rewel dan terbangun
malam hari. Kemudian tertidur kembali setelah disusui dan ditemani ibunya.
b. Perkembangan awal
Kesehatan pasien cukup baik, jarang sakit, pertumbuhan dan
perkembangan tampak normal, sesuai anak-anak sebayanya. Pasien
merupakan anak yang pendiam dan tidak terlalu bergaul dengan teman
seusianya.
c. Toilet training
Diajarkan oleh ibu tanpa paksaan.
7
d. Gejala-gejala dari gangguan perilaku
Tidak ditemukan gangguan perilaku.
e. Kepribadian dan tempramen
Pasien adalah anak yang pendiam dan sedikit pemalu.
3. Masa kanak-kanak menengah (usia 3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan anak lainnya.
Pasien bermain seperti anak-anak biasanya. Pasien diasuh oleh kedua
orangtuanya. Pasien adalah anak yang pendiam, pemalu dan penyayang.
Hubungan pasien dengan ibu dekat. Di sekolah, pasien bermain seperti anak-
anak biasanya dan tidak ada masalah selama sekolah.
4. Masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja)
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan anak yang pendiam, berhubungan baik dengan
teman-teman sekolahnya. Namun, pasien hanya berteman biasa, tidak terlalu
dekat.
b. Riwayat pendidikan
Setelah lulus SD, pasien melanjutkan ke SMP. Tidak ada masalah
selama di sekolah. Setelah lulus SMP, pasien melanjutkan ke STM. Prestasi
di sekolah cukup baik dan tidak pernah tinggal kelas.
c. Perkembangan kognitif dan motorik
Sesuai dengan anak seusianya.
d. Masalah emosi dan fisik masa remaja.
Pasien adalah anak yang pendiam dan sedikit pemalu. Perkembangan
fisik remaja sesuai.
e. Riwayat psikoseksual.
Pasien ada menyukai teman wanita, tapi tidak pacaran.
5. Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai supir truk.
8
b. Riwayat perkawinan dan relasi
Pasien belum menikah.
c. Aktivitas sosial
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga baik. Namun,
hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga mulai tidak harmonis
semenjak pasien mengalami keluhan–keluhan psikiatri bahkan pasien
diasingkan dari lingkungannya.
d. Latar belakang agama
Pasien kurang taat beribadah.
e. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum.
f. Riwayat seksual
Pasien mulai menyukai lawan jenis pada saat tamat SMP. Namun,
keluarga pasien belum melihat pasien memiliki pacar.
2.2 Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 4 April 2014 pukul 16.04 WIB.
A. Gambaran Umum
1. Penampilan
Pasien dibawa ke IGD Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi di antar oleh adik
kandung pasien. Pasien tidak menggunakan baju, pasien hanya memakai kain
sarung dan beralas kaki sendal jepit. Pasien berpenampilan tak rapi, rambutnya
yang panjang dan tidak disisir (gimbal), kuku yang kotor dan panjang-panjang.
Selain itu, pasien tampak lemah seperti orang sakit, roman muka pasien datar
terhadap sekitar.
2. Perilaku terhadap pemeriksa
Dari awal pemeriksaan, pasien tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa (tidak kooperatif).
3. Karakteristik bicara
Dari awal pemeriksaan, pasien tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa (diam).
4. Tingkah laku dan aktivitas psikomotor
9
Selama wawancara pasien tampak mutisme, negativisme.
B. Mood dan Afek
1. Mood (subjektif) : sulit dinilai
2. Afek (objektif) : datar
C. Persepsi
1. Ilusi : sulit dinilai
2. Halusinasi : sulit dinilai
3. Depersonalisasi : sulit dinilai
4. Derealisasi : sulit dinilai
D. Pikiran
1. Bentuk pikiran : psikosis
2. Jalan pikiran : terganggu
3. Isi pikiran : terganggu
E. Sensorium dan kognisi
1. Kesadaran : kompos mentis
2. Orientasi
Tempat : sulit dinilai
Waktu : sulit dinilai
Orang : sulit dinilai
3. Memori
Jangka panjang : sulit dinilai
Jangka sedang : sulit dinilai
Jangka pendek : sulit dinilai
Jangka segera : sulit dinilai
4. Konsentrasi dan perhatian : terganggu
5. Membaca dan menulis : sulit dinilai
6. Berpikir abstrak : sulit dinilai
7. Informasi dan intelegensia : sulit dinilai
10
F. Dekorum : buruk
G. Wawasan terhadap penyakit : buruk (tingkat I, penyangkalan total atas
penyakitnya)
2.3 Pemeriksaan Diagnosis Lebih Lanjut
A. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umum : tampak lemah
- Kesadaran : kompos mentis
- Gizi : kurang
- Tekanan darah : 130/90 mmhg
- Nadi : 84x/menit
- Respirasi : 20x/menit
- Suhu : 36,5oC
- Kulit : tampak kusam dan kering
- Kepala : dalam batas normal
- Mata : dalam batas normal
- Leher : dalam batas normal
- Toraks
Jantung : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
- Abdomen
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
- Ekstremitas : edema kedua tungkai dan kaki (+)
11
B. Pemeriksaan Penunjang :
2.4 Ringkasan Penemuan
A. Pemeriksan Status Mental
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : kompos mentis
Roman muka : datar
Kontak/rapport : tidak adekuat
Bicara : diam
12
Orientasi W.T.O : sulit dinilai
Konsentrasi dan perhatian : terganggu
Pikiran
Bentuk : terganggu
Jalan : terganggu
Isi : terganggu
Tingkah laku : mutisme dan negativisme
Emosi :
Mood : sulit dinilai
Afek : datar
Dekorum : cukup
Insight of illness : tilikan tingkat 1 (penyangkalan total atas
penyakitnya).
B. Pemeriksaan Fisik : Edema kedua tungkai dan kaki (+)
C. Pem. Penunjang (laboratorium) : Hasil pemeriksaan yang dilakukan dalam
batas normal. Akan tetapi, GDS pasien rendah (111 mg/dl).
2.5 Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F.20.3 Skizofrenia Katatonik.
Aksis II : Z. 03.2 Tidak ada diagnosis aksis II.
Aksis III : Gejala, tanda dan temuan klinis-lab abnormal (edema kedua
tungkai dan kaki (+), GDS rendah)
Aksis IV : Masalah dengan “primary support group” (keluarga).
Aksis V : GAF Scale 20-11
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
13
2.7 Rencana terapi menyeluruh
1. Umum
- Rawat inap
- Perhatikan higiene pribadi pasien.
- Perhatikan asupan makanan pasien.
- Awasi kemungkinan perilaku membahayakan dirinya sendiri.
2. Farmakologi
- Obat-obatan yang diberikan berdasarkan tanda dan gejala serta reaksi
pasien terhadap obat yang diberikan, beserta sediaan yang tersedia.
obat-obatan yang direncanakan untuk diberikan :
Saat pasien diterima di IGD, berikan :
Risperidon 2 mg 2x1
THP (Trihexyphenidyl) 2 mg 2x1
CPZ (Chlorpromazine) 100 mg 0-0-1
Selanjutnya, lihat perkembangan pasien, berikan :
- Olanzapin 5 mg 0-0-1
- Trifluoperazin HCL 5 mg 2x1
- Jika dalam follow up keadaan benar-benar lemah dan pasien tidak
mungkin mau makan berikan IVFD RL 20 gtt/menit.
- Jika diperlukan, berikan paracetamol 500 mg.
3. Non-farmakologi
- Berikan diet :
Susu 6 x 200 ml
Bubur saring + telur dihancurkan.
- Berikan psikoterapi suportif individu.
- Berikan terapi perilaku kepada pasien.
- Berikan terapi psikososial kepada seluruh pihak yang berhubungan
dengan pasien (keluarga, warga sekitar tempat tinggal pasien).
14
2.8 Pembahasan
A. Diagnosis
1. Aksis I
Pasien didiagnosis sebagai skizofrenia katatonik karena memiliki berbagai
tanda dan gejala yang memenuhi kriteria skizofrenia katatonik, yang
penjelasannya dirincikan sebagai berikut :
Berdasarkan pemeriksaan bermakna yang didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan diagnostik lanjut yang ditemukan
pada pasien, yaitu :
- Adanya hendaya dalam kemampuan daya nilai realita terlihat dari pikiran,
sikap dan penampilan pasien yang terganggu. Pikiran pasien yang terganggu
karena suka senyum-senyum sendiri. Sikap pasien yang terganggu karena
pasien suka mengamuk-ngamuk tanpa alasan yang jelas. Penampilan pasien
yang terganggu karena penampilan yang tidak rapi tidak sesuai dengan
keadaan orang normal biasanya.
- Lingkungan dan keluarga mengeluh tentang sikap pasien yang berbeda dari
orang normal bahkan bertentangan dengan norma sosial.
- Adanya gejala psikotik inkoherensi dan katatonia. Inkoherensia karena
sebelum menjadi diam dan tidak bergerak, pasien sering tidak nyambung
ketika berbicara.
- Maka dapat disimpulkan pasien menderita suatu psikosis.
Berdasarkan pemeriksaan bermakna yang didapatkan dari anamnesis ,
pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan diagnostik lanjut yang ditemukan
pada pasien, yaitu :
- Kesadaran : kompos mentis
- Tidak terdapat kelainan organik yang dikaitkan dengan gangguan jiwa.
- Tidak terdapat riwayat penggunaan zat-zat psikoaktif.
- Maka dapat disimpulkan pasien menderita psikosis fungsional.
15
Berdasarkan pemeriksaan bermakna yang didapatkan dari anamnesis ,
pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan diagnostik lanjut yang ditemukan
pada pasien, yaitu :
- Adanya perilaku katatonik.
- Adanya gejala negatif (tidak mau bicara, afek tumpul, penarikan diri dari
pergaulan sosial).
- Gejala tersebut terjadi lebih dari 1 bulan.
- Ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan
penarikan diri secara sosial.
- Maka berdasarkan PPDGJ III dan DSM-IV-TR dapat disimpulkan pasien
menderita skizofrenia.
Berdasarkan pemeriksaan bermakna yang didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan diagnostik lanjut yang ditemukan
pada pasien, yaitu :
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
- Adanya perilaku yang mendominasi gambaran klinisnya :
Mutisme (tidak berbicara).
Adanya negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakan ke arah berlawanan.
- Maka berdasarkan PPDGJ III dan DSM-IV-TR dapat disimpulkan pasien
menderita skizofrenia katatonik.
2. Aksis II
Berdasarkan aloanamnesis tidak ditemukan data secara klinis yang cukup
bermakna untuk menentukan suatu gangguan kepribadian karena tidak ada
kepribadian yang sangat kaku dan sulit menyesuaikan diri sepanjang masa
dewasa. Oleh karena itu, tidak ada diagnosis aksis II.
16
3. Aksis III
Gejala, tanda dan temuan klinis-lab abnormal (edema edema kedua tungkai
dan kaki (+), GDS rendah).
4. Aksis IV
Berdasarkan aloanamnesis didapatkan keterangan mengenai adanya
stressor dengan “primary support group” (keluarga) yaitu orangtua pasien
bercerai sehingga semenjak itu perhatian dan kebahagiaan di dalam rumah pasien
berkurang.
5. Aksis V
Berdasarkan Global Assesment of Functioning Scale, GAF scale untuk saat
ini adalah 20-11 karena gangguan sangat berat dalam komunikasi (membisu) dan
mengurus diri.
B. Terapi
1. Umum
- Rawat inap.
Alasan pasien dirawat inap :
Berbahaya untuk diri pasien sendiri.
Karena pasien tidak bisa bergerak, pasien bisa terjatuh atau hal
berbahaya lainnya dapat terjadi karena pasien tidak mampu
menggunakan kemampuan motoriknya untuk bertahan.
Ketidakmampuan total dari fungsi.
Pasien tidak bisa melakukan berbagai fungsinya. Hal ini perlu
tatalaksana khusus dari pihak rumah sakit.
Tidak ada sistem pendukung yang kuat.
Pasien diasingkan dari keluarga dan lingkungannya yang akan
lebih memperburuk kondisi psikologis pasien.
- Perhatikan higiene pribadi pasien.
- Perhatikan asupan makanan pasien.
- Awasi kemungkinan keadaan yang membahayakan diri pasien.
17
2. Farmakologi
- Obat-obatan yang diberikan berdasarkan tanda dan gejala serta reaksi
pasien terhadap obat yang diberikan, beserta sediaan yang tersedia.
obat-obatan yang direncanakan untuk diberikan :
Saat pasien diterima di IGD, berikan :
Risperidon 2 mg 2x1
Risperidone adalah antipsikotik baru yang kedua yang
memiliki lebih sedikit efek samping dibandingkan antipsikotik
terdahulu, dan tampaknya berefek terhadap gejala positif dan negatif.
THP (Trihexyphenidyl) 2 mg 2x1
Pemberian Trihexiphenidil adalah untuk mencegah timbulnya
extrapiramidal syndrome.
CPZ (Chlorpromazine) 100 mg 0-0-1
Diberikan untuk memberikan efek sedasi pada pasien agar
pasien tertidur sehingga tidak bertahan pada posis yang aneh-aneh
lagi seperti “jongkok tanpa tujuan”.
Selanjutnya, lihat perkembangan pasien, berikan :
- Olanzapin 5 mg 0-0-1
- Trifluoperazin HCL 5 mg 2x1
- Jika dalam follow up keadaan benar-benar lemah dan pasien tidak mau
makan berikan IVFD RL 20 gtt/menit.
- Jika diperlukan, berikan paracetamol 500 mg.
3. Non-farmakologi
- Berikan diet :
Susu 6 x 200 ml
Bubur saring + telur dihancurkan.
- Berikan psikoterapi suportif individu.
Psikoterapi suportif adalah satu bentuk terapi yang mempunyai
tujuan menolong pasien beradaptasi dengan baik terhadap suatu
masalah yang dihadapi dan mendapatkan suatu kenyamanan hidup
terhadap gangguan psikisnya. Selain itu, Mengembalikan keadaan jiwa
18
yang rapuh ataupun mengalami gangguan keseimbangan, yang terutama
dilakukan adalah menekan ataupun mengontrol gejala-gejala yang
terjadi dan menstabilkan pasien kedalam suasana yang aman dan
terlindungi sehingga mampu melawan ataupun menghadapi tekanan
yang mungkin saja berat, baik yang datang dari luar maupun dari dalam
dirinya.
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan membina hubungan yang
baik dokter-pasien. Melakukan pengamatan yang cermat, sabar, tulus
dan peka terhadap pasien. Tujuan diberikan psikoterapi adalah
menaikkan fungsi psikologis dan sosial; menyokong harga dirinya dan
keyakinan dirinya sebanyak mungkin; menyadari realitas,
keterbatasannya, agar dapat diterima; mencegah terjadinya relaps.
- Berikan terapi perilaku kepada pasien.
Latih pasien untuk mandi, makan dan beraktivitas sendiri.
Latih pasien untuk berkomunikasi.
Latih pasien untuk menggerakkan tubuhnya.
- Berikan terapi psikososial kepada seluruh pihak yang berhubungan
dengan pasien (keluarga, warga sekitar tempat tinggal pasien).
Terapi keluarga. Terapi keluarga berguna karena pasien
skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas
didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama
dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang
jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan keluarga. D o k t e r
harus membantu keluarga dan pasien memahami tentang skizofrenia
sehingga support system bisa berjalan dengan baik dan pasien tidak
merasa diabaikan. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa
terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Angka relaps
19
tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan
terapi keluarga.
Terapi kelompok. Terapi ini diberikan dengan memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada warga tentang skizofrenia dan
cara bersikap untuk membantu kesembuhan pasien skizofrenia. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan harga diri pasien kembali.
C. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam karena pasien sulit berkativitas termasuk makan
sehingga bisa berpengaruh terhadap keadaan fisiknya, terutama tanda-tanda
vitalnya. Pasien bisa saja menjadi sangat lemah. Selain itu, pasien suka
mempertahankan diri pada posisi yang tidak biasa seperti “jongkok” dapat
menyebabkan edema nya semakin parah. Pemeriksaan penunjang fungsi ginjal,
hati, dan lainnya belum dilaksanakan sehingga edema tungkai dan kakinya masih
bisa merupakan tanda suatu penyakit lain.
Quo ad functionam : dubia ad malam, karena :
- Onset muda
- Perilaku menarik diri, autistic
- Tidak menikah.
- Sistem pendukung yang buruk.
- Gejala negatif.
20
2.9 Follow Up
Tanggal Follow Up5 april 2014 (PICU) S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : compos mentis, TD : 110/70 mmHg, N : 76 x/menit, RR : 20 x/menit
- Penampilan : tidak rapi, tampak lemah, tidak kooperatif.
- Perilaku dan aktivitas psikomotor : mutisme (+) dan negativisme (+).
- bicara : diam- Afek : tumpul- Mood : sulit dinilai- Sensasi dan persepsi : sulit dinilai- Pikiran : terganggu- Orientasi W/T/O : sulit dinilai- RTA : terganggu- Insight : I
A : Skizofrenia katatonikP : risperidon 2 mg 2 x 1 CPZ 1 x 100 mg
6 April 2014 (PICU) S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)O : Os tidak mau makan, tidak mau bangunTD : compos mentis, 130/80 mmHg, N : 118 x/menit, T : 36,5ºC RR : 20 x/menit.
- Penampilan : tidak rapi, tampak lemah, tidak kooperatif.
- Perilaku dan aktivitas psikomotor : mutisme (+) dan negativisme (+).
- bicara : diam- Afek : tumpul- Mood : sulit dinilai- Sensasi dan persepsi : sulit dinilai- Pikiran : terganggu- Orientasi W/T/O : sulit dinilai- RTA : terganggu- Insight : I
A : Skizofrenia katatonikP :
- Konsul dengan konsulen- Observasi tanda-tanda vital- Lanjutkan terapi sebelumnya- Hubungi keluarga
7 April 2014 S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)O : TD 130/80 mmHg, HR 84 x/m; T febris; RR 20 x/m;
Afek datar; Negativisme (+), Mutisme (+)A : Skizofrenia katatonikP : Terapi
21
IVFD RL 20 gtt/menit Risperidon 2 mg 2x1 CPZ stop Paracetamol 500 mg 3x1
8-10 April 2014 S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)O : compos mentis, Afek datar; Negativisme (+), Mutisme
(+)A : Skizofrenia katatonikP : Terapi
Risperidon 2 mg 2x1 THP 2 mg 2x1
11-12 April 2014 S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)O : urin (-), dehidrasi (+)A : skizofrenia katatonikP :
IVFD RL 20 gtt/menit Olanzapin (olandoz) 5 mg 0-0-1 Trifluoperazin HCL (Stelazin) 5 mg 2x1 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc Observasi TTV dan ESO
14 -15 April 2014 S : sulit dinilaiO : Os sudah mau berdiri dan berjalan sedikitTD : 120/80 mmHg, N :108 x/menit, RR : 18 x/menit T : afebrisAfek datar; Negativisme (+), Mutisme (+)A : skizofrenia katatonikP :
Olanzapin (olandoz) 5 mg 0-0-1 Trifluoperazin HCL (Stelazin) 5 mg 2x1 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc Observasi TTV dan ESO
16-23 April 2014 S : sulit dinilaiO : Os kembali tidak bergerak hanya saja tidak separah awal masuk.Afek datar; Negativisme (+), Mutisme (+)A : skizofrenia katatonikP :
Olanzapin (olandoz) 5 mg 0-0-1 Trifluoperazin HCL (Stelazin) 5 mg 2x1 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc Observasi TTV dan ESO
24 april 2014 S : sulit dinilaiO :TD : compos mentis, TD :120/80 mmHg, N : 80 x/menit RR: 18 x/menit.
22
Afek datar; Negativisme (+), Mutisme (+)A : skizofrenia katatonikP :
Olanzapin (olandoz) 5 mg 0-0-1 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc Observasi TTV dan ESO
26 april 2014 S : sulit dinilaiO :Afek datar; postur katatonik (+) {berdiri di samping tempat tidur kakinya dimiringkan}, Negativisme (+), Mutisme (+)A : skizofrenia katatonikP :
Olanzapin (olandoz) 5 mg 0-0-1 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc Observasi TTV dan ESO
BAB III
23
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Istilah skizofrenia diciptakan oleh Bleuler (psikiater dari Swiss) dari bahasa
Yunani, Skhizo : split/membelah, dan phren : mind/ pikiran, berarti : terbelah/
terpisahnya antara emosi dan pikiran/ intelektual.
Berdasarkan PPDGJ III, Skizofrenia merupakan suatu deskirpsi sindrom
dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak
selalu bersifat kronis “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.4
Berdasarkan DSM-IV-TR, skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok
ciri dari gejala positif dan negatif, ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan
ataupun hubungan antar pribadi dan menunjukkan terus gejala-gejala ini selama
paling tidak 6 bulan.2
Skizofrenia katatonik adalah jenis skizofrenia dimana penderita skizofrenia
biasanya tidak terkoordinasi, merasa canggung, dan memiliki perilaku yang tidak
biasa. Penderita gangguan skizofrenia ini memiliki gangguan dalam gerakan.
Mereka cenderung untuk membuat gerakan berulang-ulang yang tidak biasa
seperti mengepakkan tangan atau kaki mereka. Dalam beberapa kasus, penderita
skizofrenia akan duduk, berdiri atau tinggal dalam posisi yang aneh selama
berjam-jam atau berhari-hari. Mereka benar-benar tidak mampu mengurus diri
sendiri karena perilaku mereka. Kadang-kadang, orang tersebut mengulangi satu
kata atau kalimat berulang-ulang.5
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi motorik yang tidak bergerak (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativisme yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).4
3.2 Epidemiologi
24
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa
dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda
yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35
tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan
lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural.2
Dewasa ini skizofrenia katatonik jarang ditemukan, mungkin karena terapi
obat bekerja secara efektif bagi proses-proses motorik yang aneh tersebut.
Skizofrenia katatonik adalah salah satu jenis skizofrenia yang langka.
3.3 Etiologi2
1. Model Diatesis-stres
Menurut model diathesis-stres, seseorang mungkin memiliki kerentanan
spesifik (diathesis) yang bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan,
memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia. Biasanya yang paling umum,
diathesis atau stress dapat berupa stress biologis, lingkungan atau keduanya.
2. Faktor Neurobiologis
a. Integrasi teori biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah struktur
limbic, lobus frontalis, dan ganglia basalis. Thalamus dan batang otak
juga terlibat karena peranan thalamus sebagai mekanisme pengintegrasi
dan batang otak serta otak tengah merupakan lokasi utama bagi neuron
aminergik ascenden.
b. Hipotesis dopamine
Skizofrenia disebabkan karena terlalu banyak aktivitas dopaminergik
dan tidak memperinci apakah hiperaktifitas dopaminergik adalah karena
terlalu banyaknya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor
dopamine atau kombinasi mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik
didalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya diotak tengah keneuron
dopaminoseptif di sistem limbic dan korteks serebral. Peranan penting
25
bagi dopamine dalam patofisiologi skizofrenia adalah penelitian yang
mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamine utama, yaitu
homovanillic acid pada plasma yang meningkat.
c. Neurotransmitter lainnya
1) Serotonin
Aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsive yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik
2) Norepinefrin
System noradrenergic memodulasi system dopaminergic dengan
cara tertentu sehingga kelainan system noradrenergic predisposisi
pasien untuk relaps
3) Asam amino
Neurotransmitter asam amino inhibitor gamma-aminobutiric acid
(GABA) mengalami penurunan dihipokampus yang menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik
d. Neuropatologi
1) System limbic
System limbic karena peranannya dalam mengendalikan emosi.
Pada penelitian ditemukan penurunan ukuran daerah termasuk
amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus.
2) Ganglia basalis
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan,
dengan demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam
patologi skizofrenia.
e. Psikoneuroendokrinologi
Beberapa data menunjukan data penurunan konsentrasi luteinzing
hormone-foliccle stimulating hormone (LH/FSH), kemungkinan
dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit.
3. Faktor Genetika
26
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan
penderita skizofrenia berhubungan dekat dengan saudara tsb (contoh : sanak
saudara derajat pertama atau derajat kedua). Petanda kromosom terletak pada
lengan panjang kromosom 5, 11, dan 18; lengan pendek kromosom 15 dan
kromosom X adalah yang paling sering dilaporkan.
a) Populasi umum 1%
b) Saudara Kandung 8%-10%
c) Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
d) Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
e) Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
f) Kembar monozigot 47%-50%
4. Faktor Psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan factor psikologis yang mempengaruhi
skizofrenia
a. Teori tentang pasien individual
1) Teori psikoanalitis
Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
fiksasi dalam perkembangan yang terjadi lebih awal dari yang
menyebabkan perkembangan neurosis.freud juga mendalikan
bahwa adanya defek ego juga berperan pada skizofrenia.
2) Teori psikodinamika
Pandangan psikodinamika cenderung menganggap hipersensitivitas
terhadap stimulus persepsi yang didasarkan secara konstitusional
sebagai suatu defisit.
3) Teori belajar
Anak-anak yang menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara
berfikir yang irasional dengan meniru orang tuanya yang mungkin
memiliki masalah emosionalnya sendiri yang bermakna.
b. Teori tentang keluarga
27
Perilaku keluarga yang patologis bermakna meningkatkan stress
emosional yang harus dihadapi pasien skizofrenik yang rentan.
3.4 Patogenesis dan Patofisiologi6
Pada pasien skizofrenia dengan gejala negatif yaitu berkurangnya motivasi
dan emosi terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di
korteks prefrontalis, dan penurunan jumlah neuron (jumlah substansia gricea).
Selain itu migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara
patofisiologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrite dari sel pyramidal telah ditemukan dikorteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrite mengandung sinaps
glutamatergik; sehingga transmisi glutamanergiknya terganggu. Selain itu, pada
area yang terkena, pembentukan GABA dan/atau jumlah neuron GABAergik
tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel pyramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis dikaitkan dengan dopamine; avaibilitas dopamine atau
agonis dopamine yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan
penhambat reseptor dopamine D1 dan D2 dapat digunakan sebagai tatalaksana
skizofrenia. Penurunan reseptor D2 yang ditemukan dikorteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negative skizofrenia,
seperti berkurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamine mungkin terjadi akibat
pelepasan dopamine yang meningkat dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik.
Pelepasan dan kerja dopamine ditingkatkan oleh beberapa zat yang meningkatkan
perkembangan skizofrenia. Dopamine berperan sebagai transmitter melalui
beberapa jalur:
1. Jalur dopaminergik ke sistim limbic (mesolimbik).
2. Ke korteks (mesokorteks) mungkin penting dalam perkembangan
skizofrenia.
3. Pada system tubuloinfundibular, dopamine mengatur pelepasan hormone
hipofisis (terutama penghambatan pelepasan prolaktin)
4. Dopamine mengatur aktifitas motorik pada system nigrostriatum.
28
Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia.
Kerja serotonin yang berlebihan dapat menyababkan halusinasi dan banyak obat
antipsikotik akan manghambat reseptor 5-HT2A.
3.5 Gambaran Klinis
1. Timbul pertama (15-30 th), akut, didahului stress emosional.
2. Hampir tidak ada respon terhadap lingkungan, aspek motorik dan verbal sangat
terganggu
3. Terjadi:
a. Stupor katatonik: mutisme, muka tanpa mimik, negativism, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama.
29
Stupor katatonik terdapat 2 bentuk :
- rigid (badan menjadi kaku)
- chorea-fleksibility (badan menjadi lentur)
b. Gaduh gelisah katatonik : hiperaktivitas motorik tapi tidak disertai emosi
yang semestinya, stereotipi, mennerisme, grimace, dan neologisme
4. Tipe katatonik serangannya berlangsung dengan jauh lebih cepat. Aktivitasnya
jauh berkurang dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stupor,
dimana individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya
menonton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu, dan
sikap badan yang aneh.
Penderita skizophrenia katatonik yang parah biasanya di tempat tidur, tidak mau
berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata terbuka biasanya akan
terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi kosong. Perkembangan
selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, terjadi catatonic
excitement dimana penderita menunjukkan suatu gerakan tertentu dalam waktu
yang lama dan kemudian secara ekstrim berubah sebaliknya.
3.6 Diagnosis 2,4
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosis skizofrenia katatonik sebagai berikut :
1. Memenuhi kriteria umum skizofrenia:
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
“thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
“thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luardirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
“delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
30
“delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujukke pergerakan tubuh/ anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus);
“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifat mistik atau
mukjizat;
Halusinasi auditorik:
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien pasien di antara mereka sendiri
(di antara berbagai suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahkluk asing dan dunia lain)
b. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
31
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
2. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi:
a. Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan ) atau mutisme (tidak berbicara)
b. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara suka rela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d. Negativitisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kea rah
yang berlawanan)
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya)
f. Fleksibiltas cerea/waxy flxibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
32
g. Gejala-gejala lain seperti Command autism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria diagnosis skizofrenia katatonik, sebagai
berikut :2
A. Karateristik simtoms: dua (atau lebih) dari hal dibawah ini, setiap hal muncul
dalam porsi yang signifikan selama waktu / periode 1 bulan (atau kurang
apabila telah berhasil diobati)
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara yang kacau (melantur atau inkoheren)
4. Disorganisai berat dari perilaku atau perilaku katatonik.
5. Simtom negatif (afek tumpul, alogia, kehilangan minat)
Catatan: hanya satu simtom dari kriteria A yang dibutuhkan apabila
waham bizarre atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus
berkomentar pada perilaku atau pikiran orang tersebut, atau 2 atau lebih suara
yang berbicara satu sama lain.
B. Disfungsi sosial dan pekerjaan
C. Durasi tanda-tanda yag secara kontinu bertahan selama 6 bulan yang harus
terdiri atas 1 bulan simtom pada kriteria A (atau kurang apabila berhasil
diobati).
D. Dieksklusikannya skizoafektif dan gangguan mood.
E. Diekslusikannya kondisi medis umum/zat.
F. Bila ditemukan ada hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive
penambahan diagnosis dari skizofrenia harus dibuat berdasarkan atas
33
ditemukannya waham yang jelas atau halusinasi yang muncul paling sedikit 1
bulan (atau lebih sedikit apabila berhasil diobati).
Klasifikasi mengenai perjalanan longitudinal dibuat berdasarkan minimal 1
tahun setelah onset awal.
3.7 Diagnosis Banding
1. Katatonik organic : akibat penyakit organik (ensefalitis).
2. Stupor disosiatif : tidak ditemukan gangguan fisik atau gangguan jiwa
lainnya, adanya problem atau kejadian-kejadian baru (stressful).
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Psikofarmaka7
Pemilihan obat
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek
samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka
waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan
golongan yang tidak sama) dengandosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat
penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan
gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal.
Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke
dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat
menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping
34
berupa gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin
yang akan menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek
samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur, gangguan miksi,
defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis
yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah
trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan
untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri,
hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg
diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita
dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur.APG II sering
disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal.
Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di
otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat
efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam
Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hari)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga
tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
Obat antipsikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4 minggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara/Lama pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkansetiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2
minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12
minggu. (stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu
35
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu)
setelah itu tapering off (dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu stop. Untuk pasien
dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan paling
sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5
kali).Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama
3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada
penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan
lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian anticholinergic agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM,
tablet trhexyphenidyl 3x2 mg/hari.
Obat antipsikotik
Dopamin reseptor antagonis: chlorphromazine, trifluoperazine, haloperidol,
thionidazine. Kekurangannya: 50% penderita tetap tidak ada perbaikan dan
eso serius (tardive diskinesia dan neurolepik malignan sindrom).
Risperindon (risperidal): lebih efetif, ESO neurologik sangat berkurang, dapat
mengatasi gejala positif dan gejala negatif.
Clozapine: minus; agronulositosi dan harganya mahal, Pluz; tidak
menyebabkan tardive diskimesia.
1. Antipsikotik tipikal:
a. Phenothiazine:
chlorpromazine: tablet 25mg; 100mg
levomepromazine: tablet 25 mg;100mg
perphenazine: tablet 4mg; 8mg
trifluoperazine: tablet 5mg
thioridazine: 10mg;100mg
b. Butyrophenone:
haloperidol: tablet 0,5mg; 1,5mg; 2mg; 5mg
diphenyl-butyl-piperidine
pimozide : tablet 2mg; 4mg
36
Efek penggunaan obat2 antipsikotik : mulut kering, pandangan kabur, sulit
konsentrasi, tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan
gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja.
2. Antipsikotik atipikal
a. Benzamide:
sulpiride :tablet 50mg;200mg
dibenzodiazepine
clozapine: tablet 25mg; 100mg
olanzapine: tablet 5mg; 10mg
quetiapine
zotapine
aripiprazole
b. Benzisoxazol: risperidone (tablet 1mg), paliperidone (kapsul 3mg)
Obat-obat ini bisa menetralisir gejala-gejala akut skizofrenia (kacau,
gaduh gelisah, waham, halusinasi auditorik, inkoheren, gejala negatif
kronik.
3.8.2 Terapi Psikososial8
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain :
1. Psikoterapi individual
2. Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah
membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting
di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu
hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman
tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional
antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien.
3. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di
dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali
sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak
terhadap keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga,
37
cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan
yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah sederhana, kesabaran,
ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai
daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama yang
merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan
adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk
suapan, manipulasi, atau eksploitasi.
4. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi
diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di
rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat,
dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
5. Sosial skill training
6. Terapi okupasi
7. Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
8. Psikoterapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu
bagi pasien skizofrenia.
9. Psikoterapi keluarga
38
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah
proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali,
anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak
saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur
terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari
ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien
mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka
relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga
sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
3.9 Prognosis
Prognosis dievaluasi dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit,
dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada penanganan. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi prognosis skizofrenia, antara lain sebagai berikut:
1. Keluarga
Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama dari
keluarganya. jangan membeda-bedakan antara orang yang mengalami
Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang yang mengalami
gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.
2. Inteligensi
Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi yang
tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang yang
inteligensinya rendah.
3. Pengobatan
Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian kecil
39
pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk mendapatkan
kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Kedua antagonis
reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang mengganggu
dan serius. Namun pasien skkizofrenia perlu di beri obat Risperidone
serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan
Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi terhadap
obat lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada orang yang
tidak bereaksi terhadap pemberian obat.
5. Stressor Psikososial
Apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari luar, maka akan
mempunayi dampak yang positif, karena tekanan dari luar diri
individu dapat diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula sebaliknya
apabila stressor datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi atau
tidak dapat diminimalisir maka prosgnosisnya adalah negatif atau
akan bertambah parah.
6. Kekambuhan
Penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya lebih buruk.
7. Gangguan Kepribadian
Prognosis untuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian akan
sulit disembuhkan. Besar kecilnya pengalaman akan memiliki peran
yang sangat besar terhadap kesembuhan.
8. Onset
Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset yang
lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki prognosis
yang lebih baik.
9. Proporsi
Orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional)
mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang
bentuk tubuhnya tidak proporsional.
10. Perjalanan penyakit
40
Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase prodromal
prognosisnya lebih baik dari pada orang yang sudah pada fase aktif
dan fase residual.
11. Kesadaran
Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia adalah jernih.
Hal inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.
Prognosis baik Prognosis buruk
Onset lambat
Faktor pencetus yang jelas
Onset akut
Riwayat sosial, seksual, pekerjaan
pramorbid baik
Gejala gangguan mood
Menikah
Riwayat keluarga gangguan mood
Sistem pendukung yang baik
Gejala positif
Onset muda
Tidak ada faktor pencetus
Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual, pekerjaan
pramorbid buruk
Perilaku menarik diri, autistik
Tidak menikah, bercerai, janda/duda
Riwayat keluarga skizofrenia
Sistem pendukung yang buruk
Gejala negatif
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan
DAFTAR PUSTAKA
41
1. Maslim, rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Editor : maslim
rusdi.edisi : III.jakarta 2003.bagian ilmu kedokteran jiwa FK unika atma
jaya.hal : 48 - 49
2. Sadock B, Sadock V A. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis,
Edisi 2. Jakarta : EGC. 2010
3. Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku
Psikiatri Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 2010.
4. Maslim R. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta;
PT Nuh Jaya. 2003. hal 64-5.
5. Elvira SD, Hadiskanto G, Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FK-UI 2010.
6. Silbernagl, Stefan dan Florian lang. Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi. Jakarta: EGC 2007.
7. Maslim, Rusdi. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: PT Nuh Jaya
2007.
8. Hawari HD. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta: FK-UI
2009.
42