Dalih Pelepasan Lahan Massal - USD Repositoryrepository.usd.ac.id/27326/2/129114118_full.pdf ·...

245
DALIH PELEPASAN LAHAN MASSAL: ANALISIS WACANA PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELEPASAN LAHAN UNTUK TAMBANG PADA PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh : Rifki Akbar Pratama 129114118 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of Dalih Pelepasan Lahan Massal - USD Repositoryrepository.usd.ac.id/27326/2/129114118_full.pdf ·...

  • DALIH PELEPASAN LAHAN MASSAL: ANALISIS WACANA

    PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELEPASAN LAHAN UNTUK

    TAMBANG PADA PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    Disusun Oleh :

    Rifki Akbar Pratama

    129114118

    PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2018

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • iv

    PERSEMBAHAN

    Untuk mereka yang masih berusaha mengepalkan tangan sekuat tenaga

    dan tak kenal henti menggelorakan

    serta mewujudkan kredo: menanam adalah melawan!

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • v

    MOTTO

    “Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan

    kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan

    terus bergelombang ke tepian.”

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • vii

    DALIH PELEPASAN LAHAN MASSAL: ANALISIS WACANA

    PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELEPASAN LAHAN UNTUK

    TAMBANG PADA PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO

    Rifki Akbar Pratama

    ABSTRAK

    Perubahan fungsi lahan kerap dimengerti sebagai suatu proses makro meski

    ada akar-akar mikro yang turut melandasi persoalan: seperti adanya keputusan

    atau keputusasaan. Ciri itu pulalah yang kerap kali mendorong sebuah gerakan

    petani kemudian menyerah dan memungkinkan alih fungsi lahan yang terjadi.

    Studi ini hendak meneluri kasus serupa dengan mengarahkan fokus pada proses

    pengambilan keputusan pelepasan lahan oleh petani lahan pantai di Kulon Progo.

    Foucauldian Discourse Analysis digunakan untuk mengungkap dinamika wacana

    yang menjadi prakondisi pelepasan lahan. Penyelidikan yang dilakukan

    menemukan bahwa pengambilan keputusan pelepasan lahan dimungkinkan karena

    wacana yang berkembang mengerucut dalam pembentukan petani sebagai figur

    manusia ekonomi yang mengandalkan penaksiran untung-rugi. Sebuah posisi

    yang turut dikondisikan oleh karakteristik petani lahan pantai sebagai produsen

    komoditas skala kecil. Keterlibatan petani dalam arus pasar serta komodifikasi

    atas produksi subsisten perlu dimengerti lebih jauh untuk menghindarkan diri

    meromantisir petani dan lebih memahami posisi petani. Di sisi lain, studi ini juga

    menemukan bahwa anggota gerakan petani mampu memperkuat posisinya jika

    menyadari otonomi yang mereka punyai. Utamanya terkait otonomi kerja harian

    mereka yang dipandang lebih membebaskan daripada iming-iming kerja upahan

    yang ditawarkan perusahaan atau tambang. Dengan kata lain, menggemakan

    kredo: menanam adalah melawan!

    Kata kunci: petani, lahan pantai, pengambilan keputusan, apropriasi lahan,

    analisis wacana

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    PRETEXT OF MASS LAND DEALS: THE UNDERLYING DISCOURSE

    ON DECISION MAKING OF PEASANT WHO ACCEPTS LAND DEALS

    FOR MINING

    Rifki Akbar Pratama

    ABSTRACT

    Without further ado, the event of land acquisition has often been ascribed to

    macro-structural process. The consent that given to blueprint of regional

    development or signed contract by the resident‘s representative has been

    considered as the main reasons escorting the land deals. What has gone astray by

    aforementioned reasoning was the chance to grasp the idea that some decisions

    tightly bound with desperation in the hand of individual. Avoiding those

    misleading, this study traces the process of decision making by peasants at coastal

    areas in Kulon Progo, Yogyakarta that leads to land deals. This case is intriguing

    to be explored further because it occurs in the middle of the feud between peasant

    movement and iron mining project. Foucauldian Discourse Analysis is utilized to

    unveil the discourse dynamics of the land deals. This study finds that economic

    discourse that manifested in the formation of homo oeconomicus subject reigned

    over the peasant rationale. Bolster by their identity as petty commodity producers

    and the idea of self-interested agents, those peasants are propelled to accept the

    offer to let go their land. The other side of the coin shows us that the working time

    of the peasants gave them autonomy to clench their fist and shout their slogan:

    cultivate to resist!

    Keywords: farmer, petty commodity producers, decision making,

    foucauldian discourse analysis, coastal sandy lands

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • x

    KATA PENGANTAR

    Pertama kali berpikir tentang topik studi ini membuat penulis menengok

    dasar berpijak. Penulis bertanya apakah penelitian remeh yang coba

    disumbangkan ini berbekal visi ataukah sekadar aspirasi belaka. Dalam budaya

    Jepang ada sebuah konsep yang bisa menggambarkan keresahan ini: ikigai. Kita

    biasa mengenalinya sebagai, ‗alasan keberadaan‘ atau dalam frase lain raison

    d'être. Bila anda mengetiknya di mesin pencari anda dengan cepat akan

    menemukan ilustrasi empat buah diagram Venn yang saling beririsan. Sekilas

    anda akan melihat sebentuk lotus sebagai hasil irisan dari empat lingkaran

    tersebut. Empat lingkaran itu sendiri mewakili empat hal: apa yang kamu cintai,

    apa yang diperlukan oleh dunia, apa yang kamu mahir lakukan, apa yang dapat

    kamu lakukan untuk memperoleh bayaran. Setiap irisan di antara dua lingkaran,

    juga di antara tiga lingkaran akan menggambarkan suatu cara kita memaknai

    kehidupan kita di dunia. Penulis tahu bahwa dalam studi ini penulis berbekal pada

    dua hal utama, ‗apa yang saya cintai‘ dan ‗apa yang saya rasa bisa saya lakukan‘.

    Hanya saja, terjun di tengah sebuah kisah resistensi petani mendorong penulis

    untuk memberanikan diri mengklaim bahwa studi ini juga diperlukan.

    Verba volant, scripta manent atau ‗yang terkatakan melayang pergi, yang

    tertuliskan tinggal abadi‘ melukiskan bagaimana peneliti menemukan topik ini.

    Ialah catatan kecil dari Sonny Mumbunan tentang pilihan antarwaktu juga

    wawancara Widodo, petani lahan pantai Kulon Progo, yang dicatat rapi oleh

    Azhar Irfansyah dan Ferdhi Putra yang menuntun peneliti. Menggemari gagasan

    soal waktu serta imajinasi akan irisannya dengan kehidupan petani menjadi suatu

    awal bagi langkah penulis untuk memulai studi ini. Meski akhirnya penulis

    berpisah dengan topik tersebut penulis cukup merasa gembira ketika studi yang

    menyusuri jalan berbeda ini menghadirkan kembali penekanan akan pentingnya

    konsepsi tentang waktu di kalangan petani. Bagi penulis aktivitas menulis

    tampaknya satu-satunya yang bisa penulis andalkan untuk berbagai kesempatan

    dalam hidup. Maka hanya itulah yang dapat penulis lakukan untuk

    menyumbangkan sedikit jawaban kecil atas apa yang ditekankan Widodo: bahwa

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xi

    ―mengabaikan hal-hal kecil adalah kesalahan besar‖. Penting atau tidaknya hasil

    dari studi ini penulis pikir akan berarti bila diwujudkan dalam praktik.

    Seorang kawan dalam pelbagai kesempatan mengenalkan saya dengan

    trilema: saat ada tiga hal yang menarik tetapi hanya dua yang bisa dipenuhi.

    Begitu pula halnya dengan proses menulis studi ini. Saya juga menemui tiga hal:

    membaca buku serta menonton film mencerahkan yang tidak relevan dengan

    skripsi, mengerjakan skripsi dengan lancar, dan meluangkan waktu dengan orang

    terdekat. Bila dua yang lain dipilih kamu akan mengorbankan opsi ketiga. Pada

    akhirnya, pilihan saya mengabaikan aturan dalam trilema tersebut dengan

    merotasi korban. Namun demikian, hal terakhir ialah yang selalu saya selamatkan:

    orang-orang terdekat, yang tanpa mereka studi ini akan ditangguhkan lebih lama

    dalam benak penulis.

    Kepada dua orang berikut saya layangkan rasa terima kasih yang tidak

    terhingga. Setiawati Tjandra, seorang yang selalu mengingatkan penulis akan

    epigram Fernando Pessoa: ―to define the beautiful is to misunderstand it‖. Ia

    adalah seorang gadis yang tak pernah lelah menemani dan mencomeli dalam

    pelbagai kesempatan untuk mendorong penulis segera merampungkan studi.

    Sosok penerjemah nilai compassion dalam kehidupan nyata sedari pikiran hingga

    perbuatan yang membolehkan penulis hadir menjadi saksi kemurnian hatinya.

    Dari dirinyalah penulis belajar menyemai berbagai hal sederhana yang mampu

    membawa kehangatan di dalam dada. Ia menemani penulis dalam

    menyederhanakan pelbagai hal tanpa membuatnya remeh. Tanpa kehadirannya

    penulis masih masih akan berkubang dalam suatu kerumitan berpikir. Mas Johan,

    sosok Gemini pertama, yang muncul sebagai sosok kakak dan memberikan

    kepercayaan tiada putus bagi penulis untuk terus menjadi saksi upaya mendasari

    sikap dari nilai-nilai yang egaliter pun altruis. Ialah seorang ayah penyayang yang

    membuat argumen Guy Corneau bagi penulis bahwa, ―ayah sulit menjalin relasi

    emosional yang hangat dengan anak laki-lakinya serta lebih sering hadir dalam

    diam‖ menjadi semacam isapan jempol belaka.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    Tanpa mengecilkan peranan mereka yang disebut berikut penulis ingin

    menghaturkan terima kasih pula kepada:

    1. Dr. YB. Cahya Widiyanto, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi, sosok

    Gemini kedua, yang tak pernah berhenti meluangkan waktu, tenaga, serta

    perhatian untuk menunjukkan tempat penulis harus mencari tanpa

    menunjukkan apa yang harus peneliti lihat dan temukan. Dengan kata lain,

    terus menantang penulis untuk berpikir mandiri menemukan kebenaran.

    Pula untuk kesempatan menyusuri jejak kegelisahan yang sama dalam

    studi tentang kehidupan petani yang ia telah lakukan sebelumnya maupun

    praktik nyata yang terus berlanjut. Tak lupa juga untuk kejenakaan serta

    kehangatan yang membuat penulis beroleh daya lenting yang nyata. Juga

    untuk kedegilannya mempopulerkan kredo, ―Manusia bukan amuba,

    mereka tak dapat membelah diri, hanya membela diri‖.

    2. Para petani di Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo yang masih

    bertahan: Mas Wid yang menunjukkan secara nyata bahwa perjuangan

    memanglah perwujudan kata-kata dan dengan terbuka menerima

    mahasiswa bengal yang memberanikan diri menulis studi ini. Pak Tukijo

    yang menyuguhkan kenyataan bahwa petani yang bodoh dan tak bisa

    menyusun strategi ialah mitos. Apa yang sering ditemui ialah petani yang

    dianggap bodoh atau dibodohi. Pak Parno, persona yang memesona, petani

    Karangwuni yang masih bertahan. Kisahnya, bahkan untuk rekan-

    rekannya yang telah melepas lahan, tampak seperti perwujudan nyata kata-

    kata Njoto, satu kerikil yang jatuh di tengah-tengah air yang riaknya akan

    terus bergelombang ke tepian. Sebuah kisah yang bila didengar akan terus

    menggelorakan kredo, Menanam Adalah Melawan!

    3. Dicky Putra Ermandara, seorang kawan yang sejak mula mengenal

    tulisannya tentang Li Ta-Chao, pengasuh sebuah kelompok belajar Marxis,

    sudah mencerahkan dan membawa semangat untuk mendaki jalan terjal

    pengetahuan. Dari dirinyalah penulis memeroleh kesempatan melempar

    obrolan dari satu topik ke topik lain ala metode Sokrates yang terkadang

    jenaka, lebih sering mencerahkan. Dengan penuh kerendahan hati ia

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiii

    mengaku bahwa kelebihan yang ia miliki hanyalah mudah untuk diajak

    berdialog. Meskipun demikian, penulis selalu membawa setumpuk ilmu

    darinya yang bisa dicatat dalam satu buku utuh dalam setiap obrolan yang

    mengalir. Lahir satu tahun lebih awal dibanding penulis membuatnya

    diberkahi kebijakan yang hakiki, bahwa ―sesungguhnya pencerahan hanya

    untuk yang bangun di pagi hari‖.

    4. Dewi Kharisma Michellia, seorang karib yang sudah penulis anggap

    seperti adik sendiri. Kemurahan hatinya tak bisa dibeli. Menyelam di

    dunia fiksi tak membuatnya lupa merawat hubungan persahabatan di dunia

    nyata. Penulis berhutang atas kebaikan hatinya telah rela direpotkan untuk

    menggali arsip ini-itu di waktu senggangnya. Tanpa dirinya dan Shandy

    Wilobudiargo kecil kemungkinan terbersit dalam pikiran penulis untuk

    menekuni disiplin ilmu psikologi.

    5. Mendiang Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.S. untuk pelajarannya yang

    berharga bahwa dalam ilmu kita perlu memahami sesuatu hingga titik

    paling dasar guna mendapat tempat berpijak. Juga untuk Monica

    Eviandaru Madyaningrum yang kelasnya melukiskan bagaimana

    kesadaran kritis bisa dibangun bersama dengan menopang pemahaman

    satu sama lain. Th. Dewi Irianty Galang, FCJ dan Lidwina Tri Astuti, FCJ

    dua suster yang selalu hadir menyuntikkan semangat serta usaha untuk

    mendalami dan menemui diri lebih jauh. Juga untuk para staf dan

    karyawan yang telah meluangkan tenaganya untuk mengurus segala

    bentuk kerumitan yang sangat mungkin tak bisa penulis jalani sebagai

    sebuah profesi.

    6. Kawan-kawan baik di Fakultas Psikologi. Lenny Lawren sosok adik yang

    kerap menemani berbagi air mata juga tawa. Ricky Januarto yang baik

    budi dan seringkali rela direpotkan menyediakan tempat bernaung saat

    pagi-pagi buta. Leonardus Dimas Aditya, yang juga telah dengan baik hati

    membuka pintu rumah untuk berbagi kisah, melepas lelah, atau

    membiarkan penulis memuji keahlian orang tuanya, Antonius Suhartoyo

    dan Eming Mariska, yang mahir memasak, menyeduh kopi dan berbagi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiv

    inspirasi. Klemens Nugraha Rezkijaya Saani yang perjuangannya

    mengingatkan pada penulis bahwa jalan memutar itu selalu beroleh

    pengalaman yang setimpal dan juga menyadarkan penulis bahwa begitu

    panjang namanya. Katarina Novitasari yang telah bergabung dalam klub

    rahasia empat sekawan dengan segala keganjilannya serta ketulusan

    hatinya untuk mengantar ke pelbagai pengalaman berharga. Segenap

    kawan-kawan dalam naungan Pieta Glorious: teruntuk Karmelita Galuh

    yang menjadi rekan menguji ketelitian diri bersama Foucault dan begitu

    percaya gurauan Marquez bahwa ―...kekuatan yang tak terkalahkan yang

    telah mengguncang dunia ini adalah cinta yang tak terbalas, bukan cinta

    yang bahagia‖. Tak lupa Alfredo Hendrasta, Priska Eldiana, Kurnia

    Novariany, Maria Karina, Devi Putri, yang menanti Gaudeamus Igitur

    mengalun dan menghidupi kredo: iuvenes dum sumus.

    7. Kedua orang tua penulis, Bambang Isnaeni E.P. dan Tri Atmani. Dua

    manusia yang menunjukkan dalam rentang hidup mereka suatu

    pengabdian kepada sesama. Baik dalam pekerjaan maupun kehidupan.

    Mereka yang mengingatkan, ialah sebentuk kesia-siaan menangisi nasib

    diri bila masih ada orang lain yang membutuhkan lebih dari sekadar

    tangisan. Dalam diam mereka memberi ruang kebebasan bagi penulis

    untuk mengelana ke belantara jauh. Dalam diam mereka merawat akar

    yang mengikat seutas rasa yang selalu membuat penulis teringat untuk

    pulang.

    8. Sb, Sr, Sj, dan Ey yang tanpa kebaikan hati mereka, untuk meluangkan

    waktu di tengah jadwal menanam mereka, penulis tak akan bisa

    menangkap dinamika pergulatan petani di tengah hempasan arus

    kapitalisme. Uluran tangan merekalah yang memungkinkan studi ini

    dilakukan dan tidak mengendap di pikiran penulis. Terlepas dari keputusan

    atau keputusaan mereka yang berujung pelepasan lahan penulis mengucap

    salam takzim bagi mereka berempat.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xv

    Mengambil satu posisi tertentu dalam jalan mendaki pengetahuan

    tentu memuat risiko kesalahan. Ini semacam truisme yang sukar dibantah.

    Dengan demikian, penulis hanya bisa bersadar diri bahwa kritik dan

    praktik ialah yang memungkinkan hasil studi ini dibantah atau didorong

    lebih jauh.

    Yogyakarta, 30 Januari 2018

    Rifki Akbar Pratama

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xvi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

    HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ..................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

    HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

    HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v

    HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi

    ABSTRAK .......................................................................................................... vii

    ABSTRACT ....................................................................................................... viii

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... ix

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... xvi

    DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix

    DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xx

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxi

    BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

    A. Latar Belakang ................................................................................. 1

    B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 15

    C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 15

    D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 15

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 17

    A. Petani ............................................................................................. 17

    1. Posisi dan Definisi Petani .......................................................... 17

    2. Petani Lahan Pantai dan Identitas Petty Commodity Producers 24

    3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) ................................... 29

    B. Pengambilan Keputusan ................................................................ 33

    C. Dinamika Pengambilan Keputusan Petani .................................... 42

    BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 51

    A. Paradigma dan Strategi Penelitian ................................................. 51

    B. Refleksivitas Peneliti ..................................................................... 54

    C. Fokus Penelitian ............................................................................. 56

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xvii

    D. Informan Penelitian ........................................................................ 57

    E. Metode Pengambilan Data ............................................................. 58

    F. Metode Analisis Data ..................................................................... 60

    G. Kualitas Penelitian ......................................................................... 68

    H. Pedoman Wawancara ..................................................................... 70

    BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 74

    A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ........................................... 74

    1. Persiapan dan perizinan ............................................................. 74

    2. Pelaksanaan penelitian ............................................................... 76

    B. Informan Penelitian ........................................................................ 77

    1. Demografi informan .................................................................. 77

    2. Latar Belakang Informan ........................................................... 78

    C. Hasil Analisis Data ........................................................................ 84

    1. Tahap 1: Konstruksi Diskursus .................................................. 84

    a. Identitas Petani ...................................................................... 84

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan ................ 90

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan ............................................ 97

    2. Tahap 2: Pemerian Diskursus-diskursus .................................... 99

    a. Identitas Petani .................................................................... 100

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 101

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 102

    3. Tahap 3: Orientasi Aksi ........................................................... 102

    a. Identitas Petani ................................................................... 103

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 106

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 112

    4. Tahap 4: Pemosisian ............................................................... 113

    a. Identitas Petani ................................................................... 113

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 114

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 116

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xviii

    5. Tahap 5: Praktik ....................................................................... 117

    a. Identitas Petani ................................................................... 117

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 119

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 121

    6. Tahap 6: Subjektivitas ............................................................. 122

    a. Identitas Petani .................................................................... 122

    b. Proses Pengambilan Keputusan Pelepasan Lahan .............. 124

    c. Makna dan Kepemilikan Lahan .......................................... 126

    D. Pembahasan ................................................................................. 128

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 160

    A. Kesimpulan .................................................................................. 160

    B. Saran ............................................................................................ 162

    1. Kepada Gerakan Petani ............................................................ 162

    2. Kepada Aktivis Pendamping Gerakan Petani .......................... 163

    3. Kepada Peneliti Selanjutnya .................................................... 164

    C. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 166

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 168

    LAMPIRAN ...................................................................................................... 174

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xix

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inisiatif .......................... 27

    Tabel 2. Pertanyaan-pertanyaan Kunci dalam Tahapan Analisis FDA............... 67

    Tabel 3. Pelaksanaan Penelitian .......................................................................... 76

    Tabel 4. Demografi Informan ............................................................................. 77

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xx

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lembar Persetujuan Informan

    Thematic Coding Informan 1

    Thematic Coding Informan 2

    Thematic Coding Informan 3

    Thematic Coding Informan 4

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xxi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Skema Pembahasan ...........................................................................159

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    “Kami terlalu santai karena beranggapan situasi di Karangwuni kondusif...Di

    sini kami merasa kecolongan, karena pada awalnya kami tidak terlalu merespon.

    Artinya, kami juga kurang berkomunikasi dengan warga Karangwuni secara

    langsung.. Kami pun tidak merespon provokasi-provokasi itu sampai akhirnya

    Karangwuni lepas. Sampai sekarang saya masih merasa terpukul lantaran ada

    salah satu warga Karangwuni yang menangis di teras rumah saya lantaran

    terlanjur melepas lahannya...

    Tapi ya mau apa lagi?”

    Sejarah mencatat dalam pelbagai kisah konflik agraria upaya halus dalam

    mendepak petani keluar dari ruang hidup atau kerja hariannya ialah konsekuensi

    yang perlu dihadapi para petani saat desakan kapitalisme semakin intens. Kronik

    seputar resistensi para petani merekam duel mereka dengan ekspansi kapitalisme,

    dalam rupa kawasan industri khususnya, seringkali berujung pada kekalahan.

    Tercatat, setidaknya 5 juta keluarga petani keluar dari profesinya sejak 2003

    hingga 2013, yakni sekitar 500.000 tiap tahunnya, dengan kata lain, hampir setiap

    satu menit satu keluarga petani meninggalkan tanah pertaniannya (Pembaruan

    Tani, 2014). Apa yang menjadi korban tak hanya petani yang tersingkir dari upaya

    pemenuhan kebutuhan harian. Pertanian pun tersudut dalam ingatan. Pergantian

    nama desa Soroako menjadi desa Nikkel sejak pertambangan nikel merangsek

    masuk menggusur tanah pertanian ialah salah satu contoh (Robinson, 1986).

    Sekilas, proses perubahan sosial-ekonomi tersebut tampak terlihat sebagai

    dampak sebuah pergeseran di tataran makro-struktural. Namun, perlu dimengerti,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    layaknya sebuah tumbuhan yang tercerabut di dasar perubahan makro tersebut

    teruntai pula akar-akar yang bersifat mikro-individual. Pada tingkatan makro kita

    bisa melihat cetak biru proyek pengembangan berisi pelbagai proyeksi

    keuntungan yang berbuah kesepakatan legal di atas kertas. Hal demikian yang

    kemudian dianggap sebagai alas maupun alasan pengembangan. Kendatipun

    begitu, pada ranah mikro kita bisa melihat bahwa berbagai perubahan yang terjadi

    dimungkinkan pula oleh adanya keputusan maupun keputusasaan. Mencoba

    menggali lebih dalam mengenai persoalan mikro-individual tersebut, dengan

    menyuguhkan potret riil mengenai persoalan keputusan pelepasan lahan pantai di

    Kulon Progo, ialah yang hendak ditempuh studi ini.

    Ialah Widodo yang mengutarakan keresahan dalam kutipan di atas dalam

    sebuah wawancara di situs Indoprogress (dalam Irfansyah dan Putra, 2014). Ia

    merefleksikan adanya kekeliruan dalam sebuah gerakan petani yang, sejak 2007,

    berusaha menghimpun kekuatan untuk bertahan dari gempuran proyek tambang

    pasir besi: Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Koordinator

    Bagian Eksternal Paguyuban PPLP Kulon Progo itu melihat kelalaian tersebut

    turut memungkinkan mayoritas warga salah satu desa yang tergabung dalam

    paguyuban, Desa Karangwuni, akhirnya melepaskan lahan mereka kepada PT

    Jogja Magasa Iron (JMI) pada pertengahan 2013. Sebuah pukulan besar bagi

    komunitas petani yang mencoba terus mempertahankan ruang hidup dari proyek

    tambang PT JMI yang merangsek masuk relung penghidupan mereka. Menyitir

    seorang penulis Jepang, Haruki Murakami, ―begitulah kiranya kisah tercipta—

    dengan sebuah titik balik, sebuah pelintiran tidak terduga. Hanya ada satu jenis

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    kebahagiaan, tetapi kemalangan hadir dalam pelbagai bentuk dan ukuran.

    Sebagaimana yang dibilang Tolstoy.‖ Ia lantas melanjutkan, ―Kebahagiaan ialah

    sebuah kiasan, ketidakbahagiaan ialah sebuah kisah‖ (Murakami, 2005). Serupa

    itulah kita akan menelusuri sebuah titik balik dalam gerakan petani yang dianggap

    sebagai kemalangan serta menyusup melalui sejenis kelalaian. Usaha ini akan

    memanfaatkan studi tentang pengambilan keputusan pelepasan lahan sebagai

    sarana penyelidikan. Sebuah studi sederhana guna menyumbangkan narasi sebuah

    kisah perihal dalih pelepasan lahan massal.

    Sebagaimana sebuah kisah pergolakan, ada awal mula mengapa keriuhan

    terjadi. Bila ditilik lebih lanjut para petani yang bernaung di bawah PPLP

    sekarang ini sebenarnya menandai sebuah kesegaran dalam kisah tentang petani di

    Indonesia. Petani dalam kisah ini tidak identik dengan kata kemiskinan. Justru

    sebaliknya, menjadi petani ialah sebuah jalan yang diretas untuk keluar dari

    belenggu kemiskinan. Terkait hal itu kita perlu sejenak menengok ke belakang.

    Seperti yang telah dicatat Yanuardy (2014), dalam sejarah kita akan melihat

    bahwa lahan pasir yang kemudian ditanami oleh para petani mulanya ialah lahan

    yang gersang dan tandus. Apa yang tumbuh di atasnya tidak bisa dimakan ataupun

    layak untuk dijual. Hanyalah rumput duri, pandan duri, serta sidaguri yang

    tumbuh. Kenyataan menunjukkan kemiskinan begitu lekat pada narasi hidup

    penduduk pesisir Kulon Progo. Masyarakat kerap dilabeli sebagai ‗wong cubung‘

    layaknya kecubung beracun yang tumbuh di sekitar lahan pasir. Mayoritas

    penghidupan warga ialah buruh tani dan tuna kisma yang bergantung pada petani

    kaya dengan lahan bukan pasir.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    Kisah itu berganti sejak 1985. Pelbagai upaya yang dilakukan untuk

    mengubah lahan pasir menjadi lahan pertanian yang produktif akhirnya

    membuahkan hasil. Proses ini kemudian meningkatkan produktivitas pertanian

    lahan pasir. Berbagai tanaman hortikultura dijadikan sarana utama bagi para

    petani di pesisir untuk mengadu nasib. Pada perhelatan panen raya tahun 2012

    yang bertajuk ―Merayakan Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati‖

    organisasi petani mengklaim bahwa setiap desa pesisir berhasil panen 8-9 ton/hari

    dengan nilai jual Rp 15.000/kg, serta setidaknya mendapat Rp. 130 juta rupiah

    dalam setiap kali panen (Yanuardy, 2014). Dalam taksiran lain, rata-rata petani

    lahan pasir dengan luas lahan 1000 m2

    bisa menghasilkan pendapatan setidaknya

    2.250.000 per bulan dengan asumsi harga cabai 7.500 rupiah per kilogram

    (Wibowo dan Santosa, 2011). Gambaran lain juga bisa dilihat dari penelitian

    Wilastinova (2012) terkait komoditas semangka di tiga desa pesisir. Ia

    menunjukkan setidaknya total pendapatan yang diperoleh oleh petani mencapai

    Rp. 2.625.509 per usaha tani. Bermodal data tersebut secara intuitif kita bisa

    menaksir keuntungan yang mungkin diperoleh dari lahan pesisir dengan

    menengok nilai Kebutuhan Hidup Layak Yogyakarta, pada tahun 2012, yang

    berkisar di nilai Rp 1.046.514 (―KHL Yogyakarta Ditetapkan‖, 2012).

    Fondasi kuat pertanian sebagai tumpuan hidup juga memiliki efek positif

    lain bila kita mengamati sebentar sumbangan para petani bagi Kulon Progo. Ialah

    sebuah pernyataan yang lantas mudah dibantah bila kita menempatkan petani

    seolah begitu akrab dengan waktu luang dan minim bekerja. Pertanian tercatat

    memegang peranan besar dalam perputaran roda ekonomi. Sebagai gambaran kita

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    bisa menengok catatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten

    Kulon Progo pada 2012—satu tahun sebelum para petani Karangwuni meneken

    kontrak pelepasan lahan dengan PT JMI. Tercatat dalam data Badan Pusat

    Statistik Kabupaten Kulon Progo (BPS) tahun 2016, lapangan usaha pertanian,

    kehutanan, dan perikanan menempati sumbangan tertinggi sebesar 21,22 % dari

    seluruh PDRB Kulon Progo pada tahun 2012. Secara lebih spesifik tanaman

    hortikultura, yang menjadi sandaran hidup para petani lahan pantai, pada tahun

    yang sama, menyumbangkan 27,98% dari seluruh PDRB dari kategori pertanian,

    peternakan, perburuan dan jasa pertanian atau bila PDRB didasarkan harga terdata

    sebesar 279,26 milyar rupiah (BPS Kabupaten Kulon Progo, 2016).

    Hanya saja, sebagaimana kata Murakami, kisah bermula dengan sebuah titik

    balik. Persis di lahan yang juga digunakan petani untuk bertani hortikultura

    terkandung pula pasir besi yang dianggap komoditas berharga: pasir besi. Seperti

    dicatat Attamami dan Heru (2011), kandungan pasir besi ini tak hanya

    mengandung titanium tetapi juga vanadium. Bahan ini biasa diproduksi sebagai

    logam anti karat dan peralatan berkecepatan tinggi, seperti tank atau pesawat

    ulang-alik (Attamami dan Heru, 2011). Klaim yang kemudian muncul ialah pasir

    besi dengan kandungan vanadium kualitas baik hanya ada di Meksiko dan di

    Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Gubernur DIY, Sri Sultan

    Hamengkubuwono X, ―pasir besi di pesisir selatan dapat dikatakan emas hitam,

    karena harganya bisa lipat seribu dibandingkan besi biasa‖ (Perkasa, 2014).

    Ketenteraman para petani untuk menanam serta menjadi penyokong

    ekonomi daerah ini berubah sejak Bupati Kulonprogo Periode 2001-2006, Toyo

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    Santoso Dipo menerbitkan izin Kuasa Pertambangan bagi PT Jogja Magasa

    Mining pada Oktober 2005 (Perkasa, 2014). Perusahaan buah karya RMH Hario

    Seno, GBPH Joyokusumo serta GKR Pembayun ini bersama dengan kolaborator

    modal Indo Mines Limited, yang berbasis di Australia, melahirkan PT JMI pada

    September 2008. Seperti yang dicatat Perkasa (2014) perusahaan ini kemudian

    memegang hak atas kontrak karya dengan konsesi seluas 2.987 hektar. Areal ini

    meliputi empat kecamatan dengan sebelas desa terdampak, yakni Jangkaran dan

    Palihan di kecamatan Temon; Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates;

    Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur; serta Garongan, Pleret,

    Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan (Cahyono, Yanuardy, Sauki,

    Budhiawan, dan Syaifullah. 2009). Narasi pihak Jogja Magasa Mining sendiri

    berusaha melukiskan betapa menawannya industri pertambangan. Melalui

    pertambangan pasir besi itulah mereka mengklaim bahwa ketersediaan 50% dari

    stok nasional atas besi dan baja dapat terpenuhi. Selain itu, pihak perusahaan

    berargumen, melalui pertambangan pendapatan negara dan peningkatan kualitas

    hidup manusia dapat terjamin (Yanuardy, 2014).

    Kepemilikan perusahaan oleh keluarga keraton tersebut lantas menempatkan

    para petani dalam posisi yang dilematis. Hal ini lantaran muncul pernyataan

    bahwa sekitar 80% tanah yang digunakan masyarakat pesisir untuk lahan

    pertanian ialah tanah milik Pakualaman Ground, berdasar Rikjsblaad Kesultanan

    1918, yang menjadi dasar untuk mendaku penguasaan tanah dalam area tersebut

    (Yanuardy, 2014). Situasi dilematis bagi petani semakin menjadi dengan terbitnya

    Perda No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW)

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    DIY. Poin terkait RTRW ini menjadi kunci karena memungkinkan bagi

    pelaksanaan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perda ini

    memuat perubahan substansi dari Raperda RTRWP DIY yang telah disahkan.

    Salah satunya perubahan substansi Perda No. 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf

    b nomor 2 yang menyatakan soal penetapan kawasan peruntukan pertambangan di

    Kulon Progo berbunyi ―Kawasan Pesisir Pantai Selatan untuk pertambangan pasir

    besi di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur‖.

    Konteks historis di atas kemudian menginisiasi lahirnya gerakan tandingan

    dari para petani lahan pantai di Kulon Progo. Gerakan perlawanan terhadap

    proyek pertambangan pasir besi dari berbagai kelompok tani mengerucut, pada 1

    April 2007, dengan terbentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Posisi

    ‖menolak harga mati dengan berbagai alasan‖ serta kredo ―menanam adalah

    melawan‖ menjadi acuan bergerak. Hanya saja, seperti yang sudah-sudah, sebuah

    kisah kerap dimulai dengan suatu pelintiran yang tak terduga. Pada pertengahan

    2013, sebagian besar petani di Desa Karangwuni akhirnya melepas lahan pesisir

    yang mereka miliki. Jumat, 2 Agustus 2013, menjadi titi mangsa yang menandai

    arus balik ini. Sekitar 310 warga Desa Karangwuni menerima down payment, 10

    juta, untuk pelepasan lahan mereka di Gedung Kaca (―Warga Karangwuni

    Terima‖, 2013).

    Persoalan hilangnya akses terhadap lahan ini sendiri perlu mendapat

    perhatian khusus. Terutama bila kita melihat catatan bahwa sekitar 0,25 hektar

    lahan setiap menit telah dikonversi dari pertanian ke non-pertanian (Nurdin,

    2014). Menjadi hal yang kemudian menarik bila kita menggarisbawahi bahwa hal

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    tersebut terjadi pula di Yogyakarta. Dalam konteks Kulonprogo hal tersebut

    menjadi krusial. Seperti yang dicatat Yanuardy (2012), selama beberapa dekade

    kemiskinan di Kulonprogo secara mendasar merefleksikan kondisi umum dari

    kemiskinan yang terus bertahan di daerah pedesaan kota Yogyakarta. Lantaran

    seperti yang dipaparkan Tauchid (2009, dalam Yanuardy, 2012), kemiskinan di

    kawasan pedesaan di Yogyakarta berasal mula dan diakibatkan oleh petani yang

    tak memiliki lahan ataupun adanya suatu kondisi yang membatasi dan membebani

    terkait akses terhadap lahan karena adanya kontrol dari peraturan dari kesultanan

    feodal terhadap lahan. Setidaknya hingga tahun 1948 keluarga tani di daerah

    Yogyakarta hanya mempunyai rata-rata 1/4 atau 1/3 hektare lahan (Tauchid,

    2009). Sejenak menengok pada data statistik tahun 2012 kita bisa melihat

    pentingnya persoalan ini untuk ditelisik lebih jauh. Tercatat dengan garis

    kemiskinan sebesar 256.575 ribu per kapita per bulan prosentase tingkat

    kemiskinan Kabupaten Kulon Progo mencapai 23,3 % dan menempati posisi

    teratas dibandingkan daerah lain di Yogyakarta (BPS Daerah Istimewa

    Yogyakarta, 2016).

    Peristiwa pelepasan lahan yang telah diuraikan di atas kemudian

    mencetuskan sebuah pertanyaan di benak penulis. Bila kehidupan yang layak

    dimungkinkan diraih melalui pertanian, mengapa para petani akhirnya melepaskan

    lahannya? Demi mengurai jawaban atas pertanyaan tersebut, studi ini kemudian

    dilakukan. Upaya menyelidiki perkara apa saja yang memungkinkan pelepasan

    lahan membawa penulis kepada studi tentang pengambilan keputusan. Hal ini

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    lantaran pilihan para petani untuk melepas atau tidak melepas lahan kemudian

    menjadi suatu simpul penentu terkait persoalan pengambilalihan lahan.

    Sampai di titik ini kita perlu berhenti sejenak dan mengintrodusir pemikiran

    kritis agar tidak terjebak pada usaha meromantisir posisi petani. White (2006,

    dalam Ermandara, 2015) telah mengingatkan bahwa ada kecenderungan dalam

    studi agraria untuk ―melukiskan latar masyarakat agraris (terutama di Jawa)

    tersusun atas komunitas ‗kaum tani kecil‘ yang egaliter dan homogen‖. Cara

    pandang ini memuat suatu masalah tersendiri. Karena ―dengan mengandaikan

    masyarakat agraris sebagai jenis masyarakat yang secara asali tentrem-aman-

    sentosa, masalah-masalah agraria kerap dikerdilkan menjadi sekadar isu

    penyerobotan dan perampasan lahan yang sumber masalahnya eksternal‖

    (Ermandara, 2015). Posisi ilusif seperti ini akan mendorong kita pada kebuntuan

    untuk menjawab apa yang memungkinkan keputusan pelepasan lahan dan

    kegagalan memahami karakteristik petani lebih jauh.

    Celah yang kemudian ditawarkan ialah dengan melihat identitas petani

    lahan pantai itu sendiri yang berpijak pada produksi komoditas skala kecil. Di

    tengah kapitalisme petani harus menghadapi komodifikasi atas subsistensi.

    Mereka beralih menjadi produsen komoditas skala kecil (petty commodity

    producers), yang menggantungkan pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka

    ―melalui integrasi ke dalam pembagian kerja masyarakat serta berbagai pasar

    yang lebih luas‖ (Bernstein, 2010). Posisi petani yang terjun jauh dalam arus pasar

    seturut perubahan logika produksi mereka ini memunculkan karakteristik khusus

    untuk mengupayakan akumulasi laba, demi memenuhi hajat hidup. Utamanya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    karena ―hal-hal yang semula diproduksi untuk konsumsi sendiri kemudian

    diproduksi terutama untuk dipertukarkan‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi,

    2017). Laba dalam bentuk uang ialah sarana mereka untuk memenuhi konsumsi

    sehari-hari.

    Apa yang disebut terakhir mengondisikan pula karakteristik para petani saat

    ini. Sekarang, petani pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan produksi pertanian:

    pupuk, obat pestisida, bahkan bibit pertanian yang dulunya mampu diproduksi

    sendiri (Widiyanto, 2007). Tak hanya soal produksi, gaya hidup petani, khususnya

    produsen komoditas skala kecil, yang telah beralih dari produksi tanaman

    subsisten, pun terpengaruh karena beredar dalam sirkuit kapitalisme. Para petani

    umumnya perlu ―menyambung hidup melalui mekanisme pertukaran karena

    semakin sedikit barang dan jasa yang langsung diproduksi untuk memenuhi

    kebutuhan yang sifatnya langsung‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017).

    Hal ini dicatat Widiyanto (2007), turut ―mendorong egoisme di kalangan petani

    karena sulitnya keadaan serta beratnya beban kebutuhan yang harus ditanggung.

    Mereka tidak lagi punya keleluasaan untuk memperhatikan kepentingan orang

    lain, dan perhatiannya lebih tersita bagi diri dan keluarganya yang belum

    tercukupi‖.

    Berbagai kondisi dilematis yang dihadapi petani tersebut berkesesuaian

    dengan pendapat Beck (1992), bahwa dalam kehidupan modern secara mendasar

    tak ada lagi orang yang menaruh perhatian pada pencapaian sesuatu yang ‗baik

    atau layak‘ tetapi lebih kepada mencegah yang terburuk. Para petani terdorong

    untuk menggenggam erat risiko di tengah hembusan angin kapitalisme yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    semakin kencang. Sebagaimana yang juga telah diingatkan Chomsky (dalam

    Schupp dan Ohlemacher, 2000), saat kita memasuki pintu ekonomi industrial,

    kerugian dan risiko akan terbagi rata sedangkan segala keuntungan mengarah

    pada satu pihak saja. Lebih lanjut Beck, dalam tafsiran Denney (2005), juga

    mengemukakan bahwa sejalan dengan tercerabutnya masyarakat dari situasi

    tradisional ―perhatian bergerak dari hal yang nyata, seperti kemiskinan material

    dan diskriminasi, menjadi kegelisahan serta ketakutan akan pelbagai risiko yang

    muncul‖.

    Mencoba menggali pelbagai hal yang memungkinkan munculnya

    kegelisahan serta kecemasan di tengah pengambilan keputusan ialah hal lain yang

    dituju dari studi ini. Memanfaatkan pendekatan kualitatif peneliti ingin

    menyelidiki dinamika pengambilan keputusan dalam realitas riil sehari-hari.

    Logika induktif yang menuntun pendekatan kualitatif peneliti amini akan

    menghindarkan diri dari usaha membopong berbagai teori ke praktik riil untuk

    disesuaikan dengan realita. Hal ini untuk mengelak dari sudut pandang positivistik

    yang kerap ditawarkan ilmu ekonomi berkenaan dengan riset pengambilan

    keputusan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Susianto (2008), cara

    pandang ekonom cenderung mengedepankan prediksi dan pembentukan model

    dibanding penyusunan pemaparan yang realistis. Hal ini membawa implikasi

    menelurkan teori-teori yang bersifat normatif: tentang apa yang seharusnya serta

    ideal. Sedangkan di sudut yang lain, tambah Susianto (2008), cara psikolog

    membangun asumsinya perlu bersifat realistis. Dengan demikian, teori yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    dihasilkan membawa tendensi deskriptif atau memaparkan apa yang benar-benar

    dilakukan manusia.

    Tepat di titik inilah penulis membidik potensi positif dari penelitian

    kualitatif mengenai pengambilan keputusan pada petani yang telah melepaskan

    lahan. Paparan penelitian sebagai sebuah studi kasus dirasa dapat digunakan untuk

    menelisik pelbagai wacana yang menjadi prakondisi riil pengambilan keputusan

    pelepasan lahan. Usaha penulis untuk mencoba memaparkan permasalahan

    dengan pisau analisis Foucauldian Discourse Analysis (FDA) dirasa akan

    menguntungkan demi tujuan tersebut. Hal ini lantaran FDA ‗menaruh perhatian

    terhadap bahasa dan perannya dalam pembentukan kehidupan sosial dan

    psikologis‘ (Willig, 2013). Fokus atas ‗pembentukan‘ ini akan mengantarkan pada

    pemaparan mengenai proses serta dinamika berkenaan dengan pengambilan

    keputusan—yang tidak hanya digambarkan dalam bagian-bagian yang terpisah

    tetapi juga relasi yang menyertainya. Hal ini penting karena dengan menyelidiki

    relasi dimungkinkan didapat pula gambaran mengenai determinan atau penentu

    utama dalam relasi tersebut. Dengan demikian, gambaran yang cenderung

    deksriptif bisa didorong ke arah paparan mengenai landasan dasar bagi suatu

    penjelasan.

    Di sisi yang lain, ada satu kunci utama mengapa pendekatan FDA dianggap

    menjadi pisau yang tangguh dalam studi proses pengambilan keputusan ini. FDA

    akan membantu dalam penggalian wacana yang memungkinkan kita melihat

    landasan dasar keputusan. Ini seturut yang dikemukakan Parker (1992, dalam

    Willig 2013) bahwa dari sudut pandang Foucauldian, ‗wacana memfasilitasi dan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    membatasi, memungkinkan dan mendesak apa yang dapat dikatakan, oleh

    siapapun, kapanpun, di manapun‖. Dalam hal ini, keberadaan wacana yang

    beredar dan memengaruhi individu-individu akan ditilik dan digambarkan secara

    umum. Begitu pula, bila merujuk paparan Parker (1992, dalam Willig 2013)

    tersebut, FDA akan menjadi piranti guna menyelidiki implikasi-implikasi yang

    muncul dari wacana-wacana yang berkembang seputar pengambilan keputusan

    terhadap individu yang hidup di antara wacana-wacana tersebut.

    Dalam kerangka yang terakhir disebut terdapat gagasan implisit mengenai

    posisi subjek. Perihal subjek ini penting karena di sinilah letak keunggulan FDA

    dalam menelisik proses pengambilan keputusan. Seperti yang disampaikan Parker

    (1994, dalam Willig, 2013) wacana dapat didefinisikan sebagai ―sekumpulan

    pernyataan yang mengkonstruksi objek-objek serta mengatur posisi subjek-

    subjek‖. Dengan demikian, melalui penggunaan FDA, yang berpusar pada

    wacana, penelitian ini dimungkinkan untuk menggambarkan dinamika wacana

    yang memungkinkan pengambilan keputusan pelepasan lahan terjadi, batasan

    yang dihadapi serta turut menyokong pelepasan, dan posisi individu yang melepas

    lahan di tengah konstelasi gerakan perlawanan. Hal terakhir ini persis

    dimungkinkan karena wacana atau diskursus, ―menawarkan sebuah posisi-posisi

    bagi subjek, yang ketika diterima, membawa implikasi bagi subjektivitas dan

    pengalaman‖ (Willig, 2013). Demikian, di tengah hamparan wacana, kita pun bisa

    melihat apa yang disebut Michel Foucault sebagai truth-effect. Saat ―sesuatu yang

    dianggap benar kemudian menjadi kenyataan dan memberi struktur pada

    pemikiran dan tindakan sosial‖ (Farid, 2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017).

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    Gambaran mengenai ‗sesuatu yang dianggap benar‘ di mata para petani ini

    ialah yang hendak ditilik lebih jauh dalam penelitian ini. Upaya ini bisa

    menempatkan penelitian ini pada posisi strategis di tengah rumpun studi tentang

    agraria. Lantaran seperti yang dicatat Farid (2017, dalam Farid dan Luthfi, 2017),

    penduduk kerap ―muncul hanya dalam bentuk angka statistik atau kategori

    abstrak‖. Terlebih lagi, ―hampir seluruh kehidupannya diasumsikan, misalnya

    bahwa angka pertumbuhan tinggi dengan sendirinya berarti peningkatan taraf

    hidup dan kebahagiaan, tanpa pernah melihat atau mendengar perspektif petani

    mengenai kehidupan mereka sendiri‖ (Farid, 2017 dalam Farid dan Luthfi, 2017).

    Usaha ‗melihat‘ dan ‗mendengar‘ perspektif petani ini jugalah yang hendak

    diupayakan dalam studi ini.

    Kemungkinan mengetahui bagaimana wacana memengaruhi dan

    menempatkan subjek ini pula yang akan membawa penelitian ini untuk

    menyelidiki pelbagai hal kecil yang merangkai wacana dalam pengambilan

    keputusan pelepasan lahan. Hal-hal kecil ini penting. Seperti yang ditekankan

    Widodo, dalam wawancara di Indoprogress (2014), yang menggarisbawahi bahwa

    ―mengabaikan hal kecil adalah kesalahan besar.‖ Ia mengisyaratkan bahwa adalah

    sebuah kesalahan yang berujung pada penyesalan saat hal sekecil apapun

    dilalaikan sebagai dasar pertimbangan dalam sebuah penentuan pilihan. Setali tiga

    uang, penyesalan pulalah yang ditunjukkan salah seorang warga Karangwuni yang

    menangis setelah terlanjur melepas lahannya. Sebuah ilustrasi nyata yang

    menggambarkan suatu pilihan yang dirasa keliru. Apa yang hendak diraih dari

    tuturan kisah tentang pengambilan keputusan dalam studi ini hanyalah upaya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    membalik hal di atas. Sebuah usaha memperhatikan hal kecil guna membangun

    sebuah gerakan yang besar. Atapun bila hal terakhir ini gagal pun kita bisa, seperti

    kata Samuel Beckett, ―gagal dengan lebih elok‖.

    B. Pertanyaan Penelitian

    Bagaimana dinamika wacana yang berkembang dalam proses pengambilan

    keputusan pada petani lahan pantai di Kulon Progo yang telah melepaskan

    lahannya untuk tambang?

    C. Tujuan Penelitian

    Mengeksplorasi dinamika wacana yang berkembang dalam proses

    pengambilan keputusan pada petani yang melepaskan lahannya untuk tambang.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Teoretis

    Secara teoretis, penelitian ini memberikan tambahan referensi bagi

    bidang psikologi sosial terkait dinamika wacana pengambilan keputusan

    petani. Di sisi lain, penelitian ini juga menawarkan pendekatan penelitian

    dengan sudut pandang baru dalam mengungkap dinamika proses pengambilan

    keputusan secara naturalistik.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    2. Manfaat Praktis

    Menyuguhkan informasi bagi aktivis pendamping gerakan petani

    tentang dinamika pengambilan keputusan petani guna menyokong rancangan

    advokasi yang kontekstual bagi gerakan.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Petani

    “Tugas seorang intelektual bukanlah untuk membentuk kehendak politik orang

    lain; ialah, melalui analisis yang ia lakukan di bidangnya sendiri, untuk

    mempertanyakan lagi dan lagi apa yang telah diterima sebagai dalil dan terbukti

    dengan sendirinya, untuk mengusik kebiasaan mental seseorang, cara mereka

    melakukan dan berpikir tentang seuatu, untuk mengurai apa yang telah dikenal

    dan diterima, untuk memeriksa peraturan dan institusi dan juga dasar dari

    problematisasi ulang ini (di mana ia menjalankan tugas spesifiknya sebagai

    intelektual) untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak politis (di mana ia

    memiliki peran sebagai warga untuk dilakoni)

    —Michel Foucault (1988)

    1. Posisi dan Definisi Petani

    Bila menengok sejenak mengenai asal kata ‗petani‘, perihal kepemilikan

    tanah menempati suatu posisi penting. Tani sebagai kata dasar dari petani memuat

    arti ‗palemahan sing ditanduri‘, yakni ‗bidang tanah yang ditanami‘. Tanpa

    adanya tanah sebagai sarana untuk ditanami petani kehilangan posisinya untuk

    disebut sebagai petani, setidaknya bila kita menilik secara etimologis. Hanya saja

    kita perlu kembali pada pendapat Foucault di atas: untuk mengurai kembali apa

    yang kita kenali sebagai petani. Sebagai awal mula kita bisa mempertimbangkan

    pendapat Eric R. Wolf sebagai tumpuan pendefinisian. Wolf (1966) memberi

    penekanan bahwa petani ialah ‗para pengolah tanah pedesaan yang menghasilkan

    surplus dari usaha mereka sendiri yang kemudian dipindah-tangankan kepada

    suatu kelompok penguasa dominan‘. Adanya penekanan yang diberikan atas

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    proses pindah tangan ini mendorong pengertian, seperti apa yang digarisbawahi

    Landsberger (1974), bahwa bukan kepemilikan lahan, melainkan hilangnya

    kekuasaan atas hal tersebut—dan juga kontrol atas kerja yang dicurahkan—yang

    perlu dijadikan acuan bagi pendefinisian identitas petani. Hadirnya eksploitasi

    menjadi suatu kerangka utama dalam usaha pendefinisian. Petani, seturut

    kerangka tersebut, dengan demikian menempati posisi seperti yang dikemukakan

    Bernstein dan Byres (2008), sebagai ―korban sekaligus protagonis aktif dalam

    drama sejarah pembentukan modernitas.‖

    Dalam narasi mengenai pembentukan modernitas kapitalis kaum petani

    seringkali dianggap sebagai ‗anakronisme sejarah‘—berada di zaman yang

    salah—maupun sebagai ―garis pangkal pembangunan yang semakin surut‖

    (McMichael, 2008). Narasi modernitas dalam kapitalisme melukiskan kemajuan

    sebagai proses bertahap yang kerap menempatkan kaum petani sebagai

    penghalang bagi gerak maju pembangunan. Cap ini sehaluan dengan pandangan

    Rostow (1960) terkait pembangunan yang menempatkan petani sebagai suatu

    garis pangkal, sebagai sebuah ―fase tradisional dari sejarah umat manusia.‖

    Modernitas, yang dapat dimengerti sebagai ―keadaan sosioekonomi yang berdasar

    pada industrialisasi serta urbanisasi, kondisi menjadi maju‖, (Kitching 1982 &

    2001, dalam Bernstein, 2011) lantas mendepak petani dari posisinya yang

    dianggap terbelakang. Deru modernitas ini menggilas petani dan menyingkirkan

    mereka menjadi sebatas apa yang disebut W. Arthur Lewis (1954) sebagai ‗suplai

    tenaga kerja yang tak terbatas‘ bagi ekonomi industri. Di sini kita bisa melihat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    bahwa kian terhapusnya kaum petani turut memperlancar bergeraknya roda

    industrialisasi, begitu pula tegaknya modernitas.

    Mazoyer dan Roudart (2006) melukiskan nuansa pengorbanan kaum petani

    ini dalam peran serta mereka di tengah proses pembentukan modernitas. Mereka

    mencatat bahwa, kebanyakan dari penduduk dunia yang kelaparan bukanlah para

    konsumen dan pembeli bahan makanan yang hidup di wilayah urban melainkan

    para petani serta penjual produk-produk agrikultur. Lebih lanjut lagi, mereka

    menggarisbawahi, ―tingginya jumlah mereka tidak sekadar sesuatu yang secara

    sederhana diwarisi dari masa lalu tetapi adalah hasil dari proses yang terus

    berjalan yang mengarahkan pada kemiskinan ekstrem untuk ratusan juta petani

    yang hidup berkekurangan‖. Tampak bahwa modernitas memberikan ruang hidup

    bagi kaum petani, tetapi dalam posisi yang tersudutkan.

    Modernitas sendiri masih mewadahi kaum petani dan turut membentuk

    pelbagai jenis kelas petani yang masih bertahan (Bernstein, 2010). Namun

    demikian, ini memuat situasi paradoks yang dialami petani sebagai protagonis

    aktif sekaligus korban seperti yang dikemukakan Bernstein dan Byres. Bahwa, di

    satu sisi, sebagian dari mereka berada dalam posisi layaknya paparan Wolf dalam

    karyanya Peasant Wars of The Twentieth Century (1970), yakni mempunyai

    otonomi terkait pengolahan tanah. Wolf, yang bergeser dari posisi sebelumnya

    dalam Peasant (1966), menjelaskan bahwa petani ialah ―penduduk yang secara

    eksistensial terlibat dalam pengolahan tanah dan membuat keputusan yang

    otonom berkenaan dengan proses pengolahan tanah. Kategori ini dengan demikian

    dibuat guna menyertakan para petani penyewa (tenants) dan petani bagi hasil

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    (sharecroppers) sebagaimana juga pemilik tanah swakelola sepanjang mereka

    dalam posisi untuk membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana

    tanaman panenan mereka dibudidayakan‖ (Wolf, 1970). Meski terkadang

    penegasan sifat otonom ini masih memuat persoalan pindah tangan bila menilik

    praktik para petani penyewa dan petani bagi hasil. Kedua jenis petani ini

    cenderung sedikit atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk

    menentukan tanaman apa yang akan dibudidayakan (Landsberger, 1974).

    Karakter otonom, dalam definisi Wolf tersebut mencerminkan sisi aktif

    petani dalam menentukan arah eksistensinya sebagai tuan atas tanahnya sendiri.

    Teodor Shanin (1973) menawarkan suatu pengertian mengenai petani yang dapat

    digunakan untuk menyisir persoalan otonomi tersebut dan menunjukkan problem

    yang kemudian dihadapi petani. Ia menyebut ada empat karakteristik esensial dan

    saling terhubung yang mendefinisikan petani. Bahwa ―pertanian milik keluarga

    adalah basis bagi unit pengorganisasian sosial yang multifungsi, peternakan dan

    biasanya pemeliharaan hewan adalah satu sarana mata pencaharian, budaya

    tradisional lekat hubungannya dengan cara hidup dari suatu komunitas kecil

    pedesaan dan suatu penundukkan diri terhadap kekuatan luar yang begitu kuat

    serta bersifat multi-direksional‖.

    Apa yang disebut terakhir menunjukkan bahwa otonomi yang dimiliki

    petani bukanlah sesuatu yang terberi melainkan suatu hasil dari proses tarik-ulur.

    Hal ini menggambarkan bahwa sebagian petani juga menempati posisi lain, yakni

    sebagai korban penundukkan. Kedudukan sebagai korban ini juga senada dengan

    catatan Dede Mulyanto (2011), bahwa ―petani selalu menjadi bagian dari sistem

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas dalam kedudukan yang lebih

    rendah.‖ Di sini kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa pukul rata dalam

    mengkategorisasi dan mendefinisikan petani. Persoalan mendasar ini muncul

    sebagai akibat dari posisi petani yang kompleks: satu kaki menjejak karakter

    otonom dan kaki yang lain terkekang dalam spektrum yang lebih luas.

    Landsberger (1974) sendiri telah mengingatkan akan hal ini berkenaan dengan

    mereka yang memakai konsep budaya untuk mendefinisikan petani, yang

    ―seringkali berpikir bahwa petani hidup dalam sebuah komunitas yang tertutup,

    terisolasi (yang mana kekerabatan memegang peranan besar), sehingga secara

    eksplisit maupun implisit berkontradiksi dengan beberapa individu yang memberi

    penekanan begitu besar pada pertalian ekonomi secara eksternal‖.

    Keterlibatan ke dalam spektrum yang lebih luas mau tidak mau akan

    membawa kita untuk menilik karakteristik petani berkenaan dengan keputusan

    atas tanah yang ia olah. Karena otonomi tersebut juga sendiri membawa implikasi

    pada kategorisasi petani (peasant) yang digagas. Wolf (1966) sendiri

    mengusulkan pembedaan antara petani dalam artian peasant dengan petani dalam

    artian farmer. Sosok yang disebut pertama memanfaatkan agrikultur sebagai

    sarana mata pencaharian. Sedangkan yang disebut terakhir, selayaknya di

    Amerika Serikat, lebih mengarah pada usaha bisnis yang mengejar keuntungan.

    Persoalan otonomi yang beririsan dengan ekonomi kembali memainkan peranan

    di sini. Seperti apa yang dikemukakan Landsberger (1974), tanpa adanya otonomi

    keputusan atas tanaman yang ditanam kita tidak bisa secara sewenang-wenang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    mengatakan bahwa petani (peasant) secara subtantif berorientasi pada pertanian

    subsisten (penyambung hidup).

    Hal ini yang membuat kita perlu juga mencatat pendapat Sidney Mintz

    (1973). Mintz mengikuti karakterisasi Wolf dan Shanin, mencatat fakta ―bahwa

    kaum tani tidak dimanapun juga membentuk suatu masa yang homogen atau yang

    berkelompok, melainkan selalu dan dimana-mana melambangkan diri mereka

    dengan perbedaan internal melalui berbagai jalur‖. Ia menambahkan bahwa

    perlunya sebuah definisi dengan cakupan-menengah dari kaum tani dan

    masyarakat tani. Definisi yang meliputi masyarakat petani sesungguhnya

    ‗sebagaimana di lapangan‘ dan suatu definisi dengan cakupan-luas yang memadai

    untuk mendeskripsikan semua petani. ―Definisi atau tipologi mengenai kaum

    tani‖, ia bilang, ―perlu berurusan dengan berbagai macam ‗campuran‘ dari kelas

    petani, ataupun dari kelompok etnis, dalam tata masyarakat yang berbeda‖ (Mintz,

    1973).

    Dalam paparan kontemporer usaha pendefinisian ini dianggap bermasalah

    oleh Henry Bernstein. Persoalan mendasar yang menjadi titik berangkat ialah

    kedudukan petani yang lepas dari gagasan romantik mengenai wilayah terisolir.

    Posisinya sebagai bagian dari sistem ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas

    menuntut mereka menghadapi komodifikasi subsistensi di dalam kapitalisme.

    Cara mereka bertahan hidup (subsistensi) telah mengalami komodifikasi.

    Komodifikasi ini membuat segala jenis elemen-elemen produksi dan reproduksi

    sosial diproduksi untuk, dan didapat dari, pertukaran pasar serta tunduk pada

    aturan dan tekanan yang menyertainya (Bernstein, 2010). Hal yang secara

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    langsung ataupun tidak langsung dapat menempatkan para petani kini untuk

    disertakan pula dalam ‗kelas-kelas tenaga kerja‘. Layaknya apa yang dijelaskan

    oleh Panitch dan Leys (2001) sebagai ‗sejumlah angka yang meningkat...yang kini

    bergantung—secara langsung maupun tidak langsung—terhadap penjualan tenaga

    kerja mereka untuk memenuhi reproduksi sehari-hari mereka sendiri.‘ Mereka

    harus mengejar usaha reproduksi ini dengan mengikutsertakan diri dalam ranah

    kerja upahan atau sektor informal.

    Berstein (2010) juga berpendapat bahwa, dari perspektif Marxis,

    ―terminologi ‗petani‘ (peasant) dan ‗kaum tani‘ (peasantry) hanya berguna dalam

    mempertimbangkan struktur masyarakat pra-kapitalis, yang dihuni kebanyakan

    oleh keluarga petani skala kecil...dan dalam suatu proses transisi menuju

    kapitalisme.‖ Dalam kapitalisme ia mengusulkan suatu pembedaan petani ke

    dalam tiga kelas, yakni ―petani kapitalis skala-kecil, produsen komoditas skala

    kecil, dan pekerja upahan‖ (Bernstein, 2010). Tawaran untuk melekatkan serta

    meleburkan kategori petani dengan produsen komoditas skala kecil yang akan

    diambil di sini. Argumen utama yang mendasari ialah kecocokan karakteristik

    dengan para petani lahan pantai yang menjadikan produksi komoditas sebagai

    sandaran hidup mereka. Bernstein (2010) sendiri menggarisbawahi bahwa

    kategori produsen komoditi skala-kecil (petty commodity producers) ini memiliki

    karakteristik ganda, yakni sebagai pemilik kapital (dalam bentuk lahan dan

    segenap kekuatan produksi lain) sekaligus pekerja bagi dirinya sendiri.

    Studi ini sendiri menyandarkan diri pada tawaran pendefinisian Bernstein di

    atas. Dengan kata lain melihat petani berada di bawah kategori yang sama dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    produsen komoditas skala kecil. Dalam artian petani di sini dilihat sebagai

    pengolah lahan yang telah mengalami komodifikasi subsistensi, yakni

    menggantungkan pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka melalui integrasi ke

    dalam pembagian kerja masyarakat serta berbagai pasar yang lebih luas.

    2. Petani Lahan Pantai dan Identitas Petty Commodity Producers

    Lahan pasir telah dianggap sebagai urat nadi bagi para petani lahan pantai di

    Kulon Progo. Lahan tersebut, yang pada mulanya adalah lahan tandus, menjadi

    tumpuan para petani lahan pantai melalui inisiatif-inisiatif yang dilakukan, keluar

    dari kemiskinan kronik. Pada paparan berikut kisah historis tentang inisiatif dan

    perguliran nasib para petani lahan pantai akan diceritakan dengan menyandarkan

    diri pada catatan Yanuardy (2014) dan beberapa sumber lain yang tertaut.

    Tahun 1985 merupakan titimangsa penanda keberhasilan penemuan teknik

    pertanian lahan pasir pantai setelah berbagai upaya untuk mengubah lahan pasir

    sebagai lahan pertanian menemui kegagalan. Berbagai teknik pengairan seperti

    sumur renteng (sumur induk yang dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang

    dihubungkan dengan pipa), hingga hidrolik dipakai sebagai sarana untuk

    mengatasi kendala yang ada. Setelah kerja sama dengan peneliti Universitas Gajah

    Mada ditemukanlah pula teknik lain penutupan tanah menggunakan jerami dan

    pelapisan tanah liat. Keduanya terbukti membuat tanaman lebih subur.

    Produktivitas lahan pasir pun meningkat dari pelbagai upaya yang dilakukan

    ini. Kemungkinan akses terhadap lahan yang semula tandus ini pun membawa

    para petani ke pembagian penguasaan atas tanah. Pada mulanya para petani tak

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    bertanah serta penggembala ternak yang biasa memanfaatkan lahan tersebut

    mendapat bagian. Lahan garapan tersebut dihitung dengan sistem ―kotakan‖ (satu

    kotak), yang memiliki luasan antara 2000-3000 m2. Bagian yang terluas sekitar

    7000 m2.

    Pemetaan sederhana yang dilakukan oleh para petani menghasilkan status

    tanah menjadi dua, yakni tanah pemajekan (atau tanah yang bersertifikat dan

    wajib pajak) dan tanah garapan. Tanah pemajekan ini, sekitar 400-500 m dari

    bibir pantai, tidak tergolong kategori lahan pasir dan telah bisa ditanami sejak

    dulu, baik tanaman pangan utama (seperti padi, jagung, ubi) maupun buah-

    buahan, meski memang tidak sesubur saat ini. Kepemilikan tanah ini ialah warisan

    dari nenek moyang para petani serta bersertifikat legal. Sedangkan tanah garapan

    ialah lahan pasir yang berbatasan langsung dengan bibir pantai. Lahan ini dahulu

    merupakan perbukitan gumuk pasir yang kering serta tandus. Setelah penemuan

    teknologi pertanian lahan pasir tanah ini kemudian digarap para petani pesisir

    menjadi lahan subur dengan pelbagai tanaman holtikutura: seperti cabai,

    semangka, melon, palawija, serta sebagian kecil padi. Inovasi teknologi para

    petani ini bergerak maju setelah ditemukan teknik penanggulangan hama dengan

    teknik-teknik sederhana tanpa penggunaan bahan-bahan kimiawi. Para petani

    pelopor pembaharuan pertanian ini juga berusaha mengembangkan dan

    memuliakan bibit cabe sendiri, sehingga ketergantungan terhadap produksi bibit

    cabai pabrik menurun.

    Tak berhenti sampai di situ para petani juga mengembangkan sistem lelang.

    Sistem lelang ini merupakan alternatif guna menjawab keresahan para petani

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    pesisir yang merasa selalu dirugikan oleh tengkulak. Selain itu lelang ini diadakan

    guna menurunkan pula frekuensi konflik antarpetani karena ketidaksamaan harga

    yang kerap kali dimainkan oleh para tengkulak. Lelang ini dilakukan dengan cara

    petani mengumpulkan hasil panen cabai di kelompok tani masing-masing

    wilayah. Para pembeli cabai atau tengkulak kemudian diminta menuliskan harga

    penawaran terhadap hasil panenan padi dalam sebuah kertas yang kemudian

    dimasukkan dalam kotak tertutup. Harga tertinggi dari para pembeli dan tengkulak

    yang mengingkan cabai inilah yang lantas menjadi patokan utama untuk harga

    dasar cabai di daerah tersebut. Sistem lelang yang diduplikasi di berbagai tempat

    di wilayah pesisir ini meningkatkan perolehan para petani.

    Para petani pesisir ini lantas membekukan penemuan cara pengolahan lahan

    pasir besi ini sebagai sebuah pengetahuan sosial kolektif. Muncul kesadaran

    bahwa pengetahuan tersebut harus disebarluaskan agar masyarakat pesisir yang

    hidup dalam kemiskinan dapat mengalami perubahan nasib serta memperoleh

    kesejahteraan seperti halnya mereka. Melalui ―endong-endongan‖, yang awalnya

    merupakan tradisi berkumpul dan bersilaturahmi, suatu forum lokal untuk berbagi

    pengetahuan dirintis. Pelbagai organisasi petani juga memanfaatkan forum

    tersebut sebagai sarana berembug untuk menentukan berbagai hal. Hal ini

    meliputi penentuan musim tanam serta panen agar bisa dimulai secara serentak—

    kesepakatan yang mereka telurkan untuk mengatasi hama; cara mengatasi

    ketergantungan terhadap sarana produksi pertanian industrial seperti pupuk,

    pestisida, dan pembasmi hama; juga penentuan jenis tanaman apa yang ditanam

    pada musim tertentu; dan tak lupa, termasuk membicarakan bagaimana strategi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    serta pilihan-pilihan yang memungkinkan untuk membangun gerakan perlawanan

    dan lain sebagainya. Terkait dengan perubahan sosial ekonomi pra inisiatif

    pengelolaan lahan pasir dan sesudahnya Yanuardy (2014) meringkasnya dalam

    tabel sebagai berikut:

    Tabel 1

    Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inisiatif

    Aspek Pra-Inisiatif Pasca Inisiatif

    Identitas Budaya

    dan

    Martabat

    Disebut wong cubung secara

    peyoratif karena dianggap

    terbelakang, dan kelas

    terendah. secara kebudayaan

    termarginalisasi

    Petani pioner dan

    inovator

    pertanian lahan

    pasir.

    Sistem

    Penghidupan

    dominan

    Pekerja pedesaan; pekerja

    migran

    Produsen

    komoditas skala

    kecil dengan

    tanaman

    holtikultura.

    Posisi sosial Dianggap terbelakang;

    masyarakat ―kurang

    berpendidikan dan kurang

    berkembang‖

    Menjadi

    pembicara dan

    pemateri di

    berbagai acara

    ilmiah di

    universitas, LSM,

    gerakan sosial dan

    media massa.

    Tanaman utama Tidak ada, hanya semak-

    semak

    dan sedikit kelapa.

    Cabe, padi,

    melon,

    semangka, dll.

    Proses inisiatif pengelolaan lahan pasir ini, sebagaimana klaim para petani

    pesisir bersandar pada pengetahuan sosial kolektif yang mereka dapatkan melalui

    pengalaman bertani di lahan pasir. Selain itu proses ini juga mendorong proses

    integrasi dan reintegrasi mereka terhadap tanah. Yanuardy (2014) mencatat bahwa

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    berbagai proses ini memunculkan pelbagai perubahan-perubahan pada masyarakat

    pesisir di daerah Kulon Progo. Ia mencatat setidaknya terdapat tiga perubahan

    signifikan yang muncul. Pertama, terjadi reintegrasi masyarakat dengan tanah:

    lahan pasir yang dianggap mampu memenuhi keberlangsungan hidup masyarakat

    membuat para petani ini terikat kembali kepada tanah mereka dan mendorong

    pula adanya arus balik ke pedesaan. Seorang pentolan PPLP sebagai contoh

    menyatakan bahwa, ―ia memilih untuk pulang ke desa dan menjadi petani setelah

    ia menghabiskan hidup di kota sebagai buruh‖.

    Kedua, meningkatnya kesejahteraan petani pesisir: participatory poverty

    assessment menemukan bahwa kesejahteraan petani pesisir semakin meningkat

    melihat semakin beragamnya dan meningkatnya indikator kesejahteraan seperti

    kepemilikan terhadap bangunan rumah, luasan lahan, dan jumlah modal bertani

    serta kepemilikan perhiasan (Shohibuddin dan Savitri, 2009 dalam Yanuardy,

    2014). Di tahun 2012, dalam acara Panen Raya yang bertajuk ―Merayakan

    Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati‖, organisasi petani mengklaim

    bahwa hasil panen di setiap desa pesisir berkisar antara 8-9 ton/hari dengan nilai

    sekitar Rp 15.000/kg, serta mengemukakan bahwa mereka memiliki setidaknya

    Rp. 130 juta rupiah setiap kali musim panen.

    Ketiga, sebagai salah satu implikasi yang muncul karena inisiatif

    pengelolaan lahan pasir ini ialah meningkatnya martabat dan harkat penghuni

    daerah pesisir. Hal ini dimungkinkan bukan hanya karena akumulasi berbasis

    pertanian yang mereka lakukan melainkan karena mereka dipandang sebagai

    penggagas serta penemu teknik pertanian di lahan pasir. Citra ini mendorong para

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    petani tersebut untuk diundang menjadi pembicara atau pemateri dalam pelbagai

    forum-forum ilmiah di kampus, organisasi masyarakat sipil, media massa ataupun

    gerakan sosial. Pembicaraan dengan tema-tema yang beragam mulai teknologi

    pertanian lahan pasir, sistem lelang, maupun organisasi perlawanan bukanlah hal

    yang asing bagi mereka.

    3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP)

    Area konsesi pertambangan seluas hampir 3000 hektare yang akan dikeruk

    PT. Jogja Magasa Iron dalam kasus pertambangan pasir besi di Kulon Progo

    menyentuh relung kehidupan para petani lahan pantai. Setidaknya delapan desa

    beserta lahan garapan yang telah mereka tanami selama bertahun-tahun akan

    terkena dampak pertambangan. Yanuardy (2014) menamai proses ini dengan

    ‗proyek perampasan tanah‘ dengan argumen ―karena perampasan tanah secara

    aktual terhadap seluruh tanah di tapak proyek belum terjadi.‖ Penangguhan

    proyek perampasan tanah ini karena munculnya gerakan tandingan dari para

    petani lahan pantai. Pada 1 April 2017, para petani dari berbagai kelompok tani

    membentuk perkumpulan bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP)

    sebagai sarana konsolidasi melawan pertambangan pasir besi.

    Dalam catatan harian seorang anggota PPLP yang telah dibukukan, Widodo

    (2012) dapat dilihat bahwa PPLP memang terlahir dari rahim perlawanan terhadap

    proyek pertambangan pasir besi. Ia mencatat:

    ―Selanjutnya pada tanggal 1 April 2007 terbentuklah sebuah wadah

    petani yang bernama ―Paguyuban Petani Lahan Pantai‖ (PPLP) Kulon

    Progo. Seorang petani mencoba memberanikan diri dan sekarang

    sudah dianggap sebagai petani pemberani yang bernama Sukarman

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    dari desa Bugel yang juga merupakan salah satu desa di pesisir Kulon

    Progo. Mengundang seluruh kelompok tani yang berada di pesisir

    Kulon Progo, yang notabene akan menjadi korban pembantaian

    tambang untuk berkumpul di rumahnya, membahas semua kejadian-

    kejadian terkait dengan situasi pesisir saat itu terutama tentang

    rencana penambangan yang pasti menggusur tempat mereka hidup dan

    menghidupi keluarganya. Pada hari itu muncul tiga opsi untuk dipilih

    oleh peserta rapat, yaitu:

    1. Menerima tambang besi

    2. Menerima dengan syarat

    3. Menolak harga mati dengan berbagai alasan

    Tanpa dikomando dan dikoordinir peserta rapat pada siang itu

    serentak menyatakan memilih pilihan yang ke-3 yaitu: ‖Menolak

    harga mati dengan berbagai alasan‖. Sehingga tanpa meninggalkan

    proses kolektif maka keputusan diambil dengan pilihan angka tiga.

    Tidak hanya modal otot, petani di sini sudah mulai berpikir tentang

    kelangsungan hidup mereka dan anak cucu serta kehidupan di masa

    mendatang. Mereka (petani) berpikir ketika alam memberi manfaat

    maka mereka harus bisa menjaga dan melestarikan dan juga

    sebetulnya bahwa yang bisa meredam kemurkaan alam juga cuma

    alam itu sendiri. Mereka tidak selalu berpikir bahwa kekayaan adalah

    segala-galanya. Kehidupan yang tenteram damai dan sejahtera itu cita-

    cita mereka.‖

    Yanuardy (2014) mencatat bahwa basis sosial paling utama dari PPLP

    adalah para petani lahan pasir yang menggantungkan hidupnya dari pertanian

    lahan pasir di sepanjang pesisir Yogyakarta. Ia menggarisbawahi bahwa para

    petani ini bertransformasi dari kelompok miskin pedesaan menjadi produsen

    skala-kecil (petty commodity producers). Para petani ini meski tidak mempunyai

    lahan dalam skala luas dapat menghasilkan komoditi untuk dilepas ke pasar.

    Pengolahan lahan pesisir ini turut memanfaatkan berbagai suplai tenaga kerja

    seperti buruh tani, pekerja musiman, perempuan yang bekerja di rumah tangga di

    desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada usaha tani persawahan dari desa-

    desa di Kabupaten Kulon Progo. Bagi beberapa petani hal ini turut menumbuhkan

    rasa bangga karena mendongkrak posisi serta citra sosial mereka.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    Yanuardy (2014) juga menggarisbawahi bahwa ciri penting yang menandai

    transformasi pedesaan di daerah pesisir ialah ―akumulasi kekayaan yang

    didapatkan melalui pengelolaan sumber daya bersama beserta reproduksinya

    terus-menerus‖. Menurut Yanuardy, akumulasi kekayaan ini memungkinkan para

    petani lahan pasir untuk menimbang-nimbang trade-off yang muncul dari

    perbandingan antara pertambangan dengan usaha tani lahan pantai yang sejauh ini

    mereka kerjakan. Lebih lanjut bagi Yanuardy, ―sangat mudah bagi PPLP untuk

    memutuskan untuk sama sekali menolak proyek pertambangan pasir besi tersebut‖

    berdasar penaksiran atas keuntungan yang dilakukan.

    Hadirnya PPLP bukan dipergunakan untuk wadah pengorganisasian massa

    untuk menolak pertambangan saja tetapi juga sebagai wadah untuk berembug

    dalam penentuan kesepakatan-kesepakatan sosial-ekonomis melalui adanya forum

    yang dinamakan endong-endongan. Forum ini membahas pula pelbagai

    pertimbangan atas keputusan serta pilihan strategi yang akan digunakan oleh

    organisasi dalam bertahan dari gempuran tambang. Hal lain yang turut diatur

    dalam wadah ini ialah terkait wewenang, peran serta tugas para petani yang

    terlibat dalam paguyuban. Salah satu yang terpenting ialah persoalan aturan,

    pengelolaan, serta batasan terhadap pihak-pihak dari luar paguyuban maupun dari

    anggota paguyuban yang boleh terlibat, beraliansi maupun bergabung ke dalam

    gerakan perlawanan mereka. PPLP dengan demikian menempati posisi sebagai

    ‗pintu masuk‘ bagi orang ‗luar‘ untuk menjalin hubungan dengan gerakan

    perlawanan petani pesisir Kulon Progo. Menurut beberapa aktivis PPLP, seperti

    yang dicatat Yanuardy (2014) hal ini dianggap penting karena organisasi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 32

    berulangkali disusupi orang-orang ‗titipan' yang berusaha membuat gerakan

    perlawanan ini mengendur. Di sisi lain, sebagai palang pintu, mereka juga

    menaruh sikap tegas pun selektif terhadap berbagai kalangan yang hendak

    menjalin jejaring serta membantu mereka seperti NGO/LSM lokal, nasional

    maupun internasional. Menempati posisi sentral membuat PPLP tidak bisa

    menerima kelompok LSM/NGO bila sudah menyentuh persoalan pengorganisiran

    warga.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 33

    B. Pengambilan Keputusan

    Hammond, Mcleland, dan Mumpower (1980), menyergah dengan studinya

    mengenai pengambilan keputusan yang mengandalkan pada dua gagasan utama:

    ekonomi dan psikologi. Dalam ekonomi, orang dipercaya mengambil keputusan

    dalam suatu tindakan rasional (secara umum berkaitan dengan menerima atau

    tidak menerima suatu alternatif) karena mereka mengacu pada nilai tertentu

    (utilitas) dan berdasar kepercayaan tentang mungkin tidaknya sebuah kejadian

    terjadi (probabilitas). Pandangan ini memunculkan apa yang dinamakan dengan

    ―manusia rasional‖. Gagasan yang menjadi acuan para ekonom guna

    mengeksplorasi konsekuensi dari pilihan serta tindakan—yang bersandar pada

    berbagai macam kegunaan subjektif (utilitas) dan kepercayaan (beliefs). Psikolog,

    di lain sisi, ingin mengetahui apa yang menjadi sumber kepercayaan, harapan,

    serta preferensi dibandingkan hanya untuk mengeksplorasi apa konsekuensi dari

    bersandar pada tiga hal tersebut.

    Sebetulnya pembicaraan mengenai pengambilan keputusan secara umum

    akan beredar pada dua hal utama, yakni pengambilan keputusan yang berdasar

    pada pengetahuan dengan ukuran saintifik dan hal yang berdasar pada nalar

    umum. Bila mengikuti paparan Edwards (1954) kajian mengenai pengambilan

    keputusan terlihat menaruh risiko sebagai salah satu isu sentral. Bila kita sejenak

    menilik survei teoretis yang dilakukan Edwards (1954) ada dua hal utama yang

    dijadikan fokus, yakni pengambilan keputusan yang tidak disertai risiko dan

    pengambilan keputusan yang disertai risiko.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 34

    Berkenaan dengan yang pertama, terdapat asumsi yang melandasi teori dari

    pilihan tanpa risiko ini, yakni subjek pengambil keputusan yang dijelaskan dalam

    teori ini adalah ‗seorang manusia ekonomi‘. Manusia ekonomi ini setidaknya

    memiliki tiga kriteria: (1) memiliki informasi yang lengkap (2) berwatak sensitif

    secara tak terbatas (infinitely sensitive) dan (3) bersifat rasional (Edwards, 1954).

    Karakteristik pertama mengarah pada asumsi bahwa manusia ekonomi sang

    penentu pilihan ini mengetahui tidak hanya berbagai alternatif tindakan yang ia

    punyai tetapi juga kemungkinan hasil dari setiap tindakan yang ia lakukan.

    Karakteristik kedua berkaitan dengan pandangan bahwa alternatif yang ada bagi

    individu muncul terus-menerus, mengikuti fungsi infinitely divisible, bahwa harga

    dapat dibagi secara tak terbatas, dan bahwa manusia ekonomi memiliki

    sensitivitas terhadap hal tersebut secara tak terbatas. Hal-hal ini demi menyokong

    fungsi yang mereka susun bersifat kontinu (continous) dan dapat diturunkan

    (differentiable).

    Karakteristik ketiga adalah rasionalitas, yang mengacu pada dipenuhinya

    dua hal, yakni manusia ekonomi (1) dapat mengatur preferensinya atas alternatif

    yang ia dapatkan (weak ordering) dan (2) ia dapat memilih guna memaksimalkan

    sesuatu. Guna melakukan pengaturan preferensi ada hal yang diandakan, yakni ia

    dapat mengatakan preferensinya atas dua hal dan bahwa preferensi bersifat

    transitif (jika individu memilih A dibandingkan B, dan B dibandingkan C, maka ia

    harusnya memilih A bila diperbandingkan dengan C). Pemenuhan atas gagasan

    bahwa manusia ekonomi akan membuat pilihan dengan suatu cara untuk

    memaksimalkan sesuatu adalah asas dasar dari teori pilihan (theory of choice).

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 35

    Dalam kasus teori pilihan tanpa risiko apa yang dimaksimalkan adalah kegunaan

    subjektif (utility) dari sesuatu. Muatan mendasar dari gagasan memaksimalkan

    (maximation) ini ialah bahwa manusia ekonomi selalu memilih alternatif terbaik

    dari semua pilihan yang tersedia baginya.

    Pandangan mengenai alternatif terbaik ini akan membawa kita pada gagasan

    teoretikus Jeremy Bentham (dalam Edwards, 1954) yang memegang pandangan

    bahwa tujuan dari tindakan manusia adalah mencari kenikmatan dan menghindari

    kesakitan. Setiap objek ataupun tindakan akan dipertimbangkan dari sudut

    pandang yang mellihat apakah sifatnya memunculkan kenikmatan atau rasa sakit.

    Sifat ini terkadang disebut pula sebagai kegunaan subjektif (utility) dari suatu

    objek. Tujuan dari sebuah tindakan merunut cara pandang ini ialah guna

    memaksimalkan kegunaan subjektif. Gagasan hedonisme terkait kondisi di masa

    yang akan datang ini yang secara implisit tercantum dalam teori pilihan yang

    bersandar pada kegunaan subjektif (utility). Perihal teori ini, Edwards memberikan

    catatan bahwa ada beberapa hal yang akan tampak dalam observasi biasa yang

    dilakukan psikolog ketika mencoba mengamati proses pilihan tanpa risiko ini

    dalam situasi eksperimental. Pertama dan terutama adalah bahwa manusia

    tidaklah secara sempurna bertindak konsisten ataupun memiliki sensitivitas yang

    sempurna. Kita bisa menambahkan apa yang telah dikemukakan Vlek (1938)

    terkait pilihan tanpa risiko ini. Dalam pilihan tanpa risiko penentu keputusan

    dihadapkan pada kepastian mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan

    yang mungkin diambil. Esensi dalam pilihan jenis ini adalah memilih dari

    tindakan yang akan dilakukan (course of action). Dalam hal ini ketidakpastian

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 36

    akan konsekuensi hanya muncul dalam rentang antara penentuan pilihan dan saat

    individu akhirnya mengalami hasil dari pilihannya.

    Mengenai pilihan yang disertai dengan risiko Edwards (1954) terlebih

    dahulu menjelaskan perbedaan antara risiko (risk) dengan ketidakpastian

    (uncertainty). Ia memberikan dua contoh untuk mengurai dua konsep tersebut. Ia

    menjelaskan konsep risiko dengan memberi gambaran bahwa kebanyakan orang

    akan setuju bahwa probabilitas seseorang mendapatkan gambar saat melempar

    koin adalah sebesar 0,5. Proposisi mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa

    yang akan datang dimana angka dapat dikenakan pada proposisi, yang

    merepresentasikan kemungkinan bahwa proposisi itu bernilai benar, tersebut