Data praktikum

174
Kesuburan Tanah I. Pengertian dan Cakupan 1.1. Pengertian kesuburan tanah 1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah 1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah 1.4. Komponen kesuburan tanah II. Hubungan Tanah – Tanaman 2.1. Tanah sebagai media bertanam 2.2. Bentuk hara dalam tanah 2.3. Kuantitas dan intensitas hara 2.4. Gerakan hara dalam tanah: difusi, aliran masa, pertukaran 2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar 2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman 2.7. Kurva pertumbuhan tanaman III. Hara Makro 3.1. Pengertian hara esensial 3.2. Pengertian hara makro 3.3. Nitrogen (N) 3.4. Fosfor (P) 3.5. Kalium (K) 3.6. Kalsium (Ca) 3.7. Magnesium (Mg) 3.8. Sulfur (S)

description

data data

Transcript of Data praktikum

Page 1: Data praktikum

Kesuburan Tanah

I.  Pengertian dan Cakupan

1.1. Pengertian kesuburan tanah

1.2.  Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah

1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah

1.4. Komponen kesuburan tanah

II. Hubungan Tanah – Tanaman

2.1. Tanah sebagai media bertanam

2.2. Bentuk hara dalam tanah

2.3. Kuantitas dan intensitas hara

2.4. Gerakan hara dalam tanah: difusi, aliran masa, pertukaran

2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar

2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman

2.7. Kurva pertumbuhan tanaman

III. Hara Makro

3.1. Pengertian hara esensial

3.2. Pengertian hara makro

3.3. Nitrogen (N)

3.4. Fosfor (P)

3.5. Kalium (K)

3.6. Kalsium (Ca)

3.7. Magnesium (Mg)

3.8. Sulfur (S)

IV. Hara Mikro

4.1. Pengertian hara mikro

4.2. Besi (Fe)

4.3. Mangan (Mn)

4.4. Tembaga (Cu

Page 2: Data praktikum

4.5. Seng (Zn)

4.6. Klorida (Cl)

4.7. Boron (B)

4.8. Molibden (Mo)

V. Evaluasi Kesuburan Tanah

5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman

5.2. Uji kimia tanah

5.3. Uji mikrobia

5.4. Percobaan pemupukan

5.5. Missing element

5.6.  Analisis jaringan

5.7. Uji cepat tanaman

5.8. Gejala visual tanaman

5.9.  Rekomendasi pemupukan

VI. Pupuk

6.1. Pengertian pupuk

6.2. Kategori pupuk

6.3. Pupuk buatan

6.4. Pupuk organik

6.5. Pupuk hijau

6.6.  Pupuk hayati

6.7. Pembuatan kompos

6.8. Peraturan pupuk

VII. Pemupukan

7.0. Pengertian Pemupukan

7.1. Pemupukan lewat akar

7.2. Pemupukan lewat daun

7.3. Serapan hara

7.4. Efisiensi pemupukan

7.5. Keharaan berimbang

7.6. Kebutuhan pupuk

Page 3: Data praktikum

VIII. Pengelolaan Kesuburan Tanah

8.1. Pengelolaan tanah masam

8.2. Pengelolaan tanah gambut

8.3. Pengelolaan tanah sawah

8.4. Pertanian lestari

8.5. Pengelolaan hara terpadu

8.6. Mutu dan kesehatan tanah

Daftar Pustaka

1. Black, C.A. 1967. Soil Plant Relationship. John Wiley and Sons. vii + 618 h.

2. Cooke, C.W. 1975. Fertilizing for Maximum Yield. The English Language Book

Soc. And Crosby Lockwood Staples. London. xx + 297 h.

3. Cosico, W.C. 1985. Organic Fertilizers: Their Nature, Properties & Use. College of

Agriculture. University of Phillipines. Los Banos. 136 h.

4. Engelstad, O.P. (ed.). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan DH.

Goenadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

5. FAO. 2000. Fertilizer and Their Use. 70 h.

6. Foth, H.D. & B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. John Wiley & Sons. New York. 212 h.

7. IFDC. 1978. Fertilizer Manual. xix + 353 h.

8. IRRI. 1984. Organic Matter and Rice. Los Banos.

9. Jones, U.S. 1979. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Virginia. xii + 368 h.

10. Miller, R.W. & R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant

Growth. Prentice-Hall New Jersey. xiv + 768 h.

11. Radjagukguk, B. & Joetono (Eds.). 1983. Prosiding Seminar Alternatif Pelaksanaan

Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia. Bulletin No. 18. Fakultas Pertanian

UGM.

12. RAPA-FAO. 1991. Asian Experience in Integrated Plant Nutrition. Bangkok.

13. Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M. Saleh.

Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Vii + 232 h.

14. Roesmarkam, A. & NW. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.

Yogyakarta. ISBN 979-21-0468-2. 224 hal.

15. Russel, E.W. 1978. Soil Condition & Plant Growth. McGraw Hill. New York. 60 h.

Page 4: Data praktikum

16. Sastrohoetomo, A. 1968. Pupuk Buatan dan Penggunaannya. Djambatan. Jakarta. x

+ 60 h.

17. Thompson, L.M. & F.R. Troeh. 1978. Soils & Soil Fertility. McGraw-Hill Pub. xi +

516 h.

18. Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizers.

MacMillan Pub. New York. xiv + 754 h.

Page 5: Data praktikum

I.  Pengertian dan Cakupan

1.1. Pengertian kesuburan tanah

1.2.  Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanah

1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanah

1.4. Komponen kesuburan tanah

1.1. Pengertian Kesuburan Tanah

1. 

Kopi (Foto: agrobost organik)

2.

Padi (Foto: agrobost organik)

Tanah yang subur lebih disukai untuk usaha  pertanian , karena menguntungkan. Sebaliknya

terhadap tanah yang kurang subur dilakukan usaha untuk menyuburkan tanah tersebut

sehingga keuntungan yang diperoleh meningkat.

Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman

yang diinginkan secara optimal, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman

tersebut dapat berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat akar, trubus, batang,

biomassa, naungan atau penampilan.

Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung faktor pembentuk tanah yang

merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk, Iklim, Relief, Organisme, atau  Waktu.

Tanah merupakan fokus utama dalam pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman

merupakan indikator utama mutu kesuburan tanah.

1.2. Istilah yang berkaitan dengan kesuburan tanahBeberapa istilah penting yang perlu diketahui dalam membahas kesuburan tanah antara

lain: tanah, lahan, produktivitas tanah, evaluasi lahan, kemampuan lahan,hara,

dan pupuk.

Page 6: Data praktikum

Suatu saat pernah ada masyarakat bertani tanpa pupuk, itu terjadi dahulu kala manakala

status kesuburan tanah masih bagus. Pada saat itu tanah memiliki cadangan hara yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman dalam beberapa musim. Pelonggokan

(akumulasi) hara ke dalam tanah lebih besar dibanding pengambilan oleh panen. Neraca

hara di lahan positif.

Seiring dengan bertambahnya populasi manusia menurut deret ukur sedangkan produksi

pertanian mengikuti deret hitung (ingat teori Malthus), maka terjadi pergeseran.

Cadangan hara dalam tanah mulai menipis, neraca hara turun menjadi defisit. Untuk

mempertahankan produktivitas lahan, manusia memberikan abu sisa pembakaran atau

kotoran binatang.

1.3. Urgensi menjaga kesuburan tanahJumlah penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga kebutuhan pangan terus bertambah.

Sebaliknya luas lahan produktif relatif tetap atau bahkan menyusut. Lahan-lahan yang

bagus di Jawa dialihfungsikan menjadi pemukiman atau kawasan industri. Peningkatan

produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau

ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah

bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan terus digalakkan agar kegiatan pertanian senantiasa

menguntungkan, aman, lestari dan ramah lingkungan. Perlu penyusunan rekomendasi

pemupukan terpadu yang bersifat spesifik lokasi disesuaikan dengan komoditas yang

diusahakan dan lahan tempat usahanya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi

pemupukan dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan.

Beberapa alasan kenapa harus memupuk:

1. Aplikasi pupuk terhadap hara yang diketahui menjadi faktor pembatas, akan

meningkatkan hasil.

2. Pengusahaan tanaman dengan hasil tinggi (high yielding), membutuhkan tanah yang

subur secara berkesinambungan.

3. Hara yang diserap oleh tanaman harus digantikan.

4. Penggunaan pupuk yang tepat akan meningkatkan keuntungan ekonomi.

Hubungan antara kesuburan tanah dengan keadaan lingkungan dapat digambarkan sebagai

berikut. Hara dapat bergerak menuju badan air permukaan atau air dalam tanah. Hal ini

disebabkan bentang lahan saling berhubungan, lahan pertanian tidak terpisah dari

Page 7: Data praktikum

lingkungan di sekitarnya. Pengelolaan hara yang buruk, misalnya pemupukan yang

berlebihan, pengelolaan rabuk yang sembarangan, akan menimbulkan beaya lingkungan.

1.4. Komponen Kesuburan Tanah1. Kedalaman efektif perakaran yang  memadai [nama lain solum, merupakan daerah

jelajah akar, perlu dikonservasi menghadapi erosi].

2. Struktur tanah yang optimum [mengatur imbangan air-udara dan kemudahan

ditembus akar].

3. Reaksi tanah yang optimum [mencerminakan ketersediann/kelarutan unsur hara

serta dominansi mikrobia].

4. Hara cukup dan seimbang [macam, jumlah dan nisbah].

5. Penyimpanan dan penyediaan hara dan lengas yang optimum [berkaitan dengan

Kapasitas Pertukaran Kation, buffering capacity, serta  retensi lengas].

6. Humus yang cukup [penyimpanan C-organik dalam tanah, berfungsi dalam khelasi,

sebagai sumber materi dan energi bagi mikrobia].

7. Mikrobia bermanfaat [melakukan sinergisme, pelaku aktif daur hara dan materi].

8. Bebas bahan meracun [berupa senyawa toksin dan limbah].

Page 8: Data praktikum

II. Hubungan Tanah – Tanaman 2.1. Tanah sebagai media bertanam

2.2. Bentuk hara dalam tanah

2.3. Kuantitas dan intensitas hara

2.4. Gerakan hara dalam tanah: difusi, aliran masa, pertukaran

2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar

2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman

2.7. Kurva pertumbuhan tanaman

2.1. Tanah sebagai media bertanam “Soil is the medium wich supports the growth of plants. It provides mechanical supports,

the water and oxygen supply to plant roots as well as the plant nutrients.”

“Soil is one of the most important national resources of any country. The soil not only

grows a variety of food and fodder crops required for men and animals but also produces

raw materials for various agro-industries viz., sugar and starch factories, textile mills,

canning and food processing units”

“Soil is a habitat for plant growth bears certain physical, chemical and biological properties,

which determined degree of workability, suitability to the specific crop varieties, physical

and chemical capacities as well as productivity. The physical capacities of a soil are

influenced by the size, proportion, and arrangement on mineral composition of the soil

particles. The physical and biological properties of soil need careful studies because soil is a

natural medium for the plant growth and gives mechanical support to plant.”

Pertanian –> interaksi : manusia – tanaman – tanah (lingkungan)

Tanaman –> proses: hidup – tumbuh – berkembang

Indonesia negara agraris –> sebagian penduduk menjadi petani atau buruh tani.

Kepemilikan lahan sempit.

Iklim tropika –> CH tinggi, kelembaban tingggi, temperatur hangat sepanjang tahun maka

perkembangan tanah intensif.

1. Tanah kurang subur : tanah mineral masam, gambut.

2. Tanah dekat volkan tetap subur (ada tambahan material baru).

Page 9: Data praktikum

2.2. Bentuk hara dalam tanahJika tanah digambarkan selaku sistem, maka dapat dipilahkan adanya komponen

masukan dan komponen keluaran. Di dalam tanah unsur hara memiliki berbagai bentuk dan

kelincahan untuk bergerak. Hara dapat mengalami alih rupa dan alih tempat.

Sumber hara dalam tanah

1. Perombakan bahan organik tanah.

2. Pelapukan mineral tanah.

3. Pemupukan.

4. Pembenah organik: rabuk, kompos, biosolid.

5. Penambatan N : legum.

6. Batuan: batuan fosfat, greensand.

7. Buangan industri: kapur, gipsum.

8. Pengendapan udara: N, S.

9. Pengendapan air: sedimen, erosi, banjir.

Pangkalan hara (nutrient pool)

Tanpa melihat darimana asalnya, semua hara akan mengelompok dalam pangkalan yang

tertentu. Unsur hara berinteraksi dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, kemudian

diserap tanaman atau berpindah antar pangkalan hara dalam tanah. Pangkalan hara dalam

tanah adalah:

1. Larutan tanah: bentuk hara terlarut dalam lengas tanah dan sifatnya tersedia segera

untuk diserap oleh akar bagi tanaman.

2. Bahan organik:  selalu mengalami proses perombakan dan oleh karena itu akan

melepaskan hara.

3. Organisme tanah: hara diambil untuk metabolisme atau menjadi komponen

penyusun tubuhnya, sehingga mengalami imobilisasi sementara.

4. Mineral tanah: hara yang  berada dalam pangkalan ini memeiliki sifat antara cukup

terlarut sampai sedikit terlarut.

5. Permukaan jerapan: hara dipegang permukaan tanah oleh berbagai mekanisme,

berkisar antara cepat tersedia sampai sangat lambat tersedia.

6. Pertukaran kation: tipe yang sangat penting dari jerapan permukaan tanah.

Page 10: Data praktikum

2.3. Kuantitas dan intensitas haraPengertian daya sangga (buffering capacity) adalah:

1. kemampuan tanah untuk mempertahankan kadar hara dalam larutan tanah, atau

2. kapasitas fasa padatan untuk mengisi kembali (replenishment) hara dalam larutan

yang diserap oleh akar tanaman.

Kebanyakan uji tanah dirancang untuk mengukur kapasitas (daya sangga) tersebut.

Hubungan kuantitas dan intensitas hara dinyatakan sebagai:

BC = ΔQ/ΔI

ΔQ = faktor kuantitas (kapasitas), meliputi ion yang terjerap dan mineral yang melarutkan

secara cepat untuk memasok hara diatas kebutuhan satu musim tanam.

ΔI  = faktor intensitas, perubahan konsentrasi hara dalam larutan.

Penyerapan oleh tanaman –> ΔI (menurunkan konsentrasi dalam larutan).

ΔQ yang tinggi menjaga konsentrasi hara dalam larutan,  ΔI neto menjadi kecil.

ΔQ rendah tidak mampu menjaga konsentrasi hara dalam larutan,  ΔI neto menjadi besar.

2.4. Gerakan hara dalam tanahIon di dalam tanah tanah akan bergerak menuju permukaan akar dengan mekanisme

berikut: root interception, mass flow atau diffusion.

Pemasokan dan pengangkutan hara:

1. intersepsi akar semata-mata berkaitan dengan pemasokan hara (solely a supply

mechanism).

2. aliran massa dan difusi merupakan pemasokan dan pengangkutan hara (mechanisms

of supply and transport).

3. memahami bagaimana hara bergerak, sangat penting untuk memahami dampaknya

bagi lingkungan, juga dalam penyerapan hara.

 

a. Intersepsi akar

Akar tumbuh menembus tanah, bersinggungan dengan permukaan partikel tanah,

permukaan akar bersinggungan dengan ion hara yang terjerap, kemudian terjadi pertukaran

secara langsung (contact exchange). Meskipun angkanya kecil, tetapi sumbangannya

penting agar hara mencapai akar. Hal ini nampak jelas terutama bagi hara dengan kadar

Page 11: Data praktikum

tinggi dalam tanah misalnya Ca dan Mg, atau hara yang dibutuhkan dalam jumlah kecil bagi

tanaman seperti Zn dan Mn dan hara mikro lainnya.

Intersepsi dipengaruhi oleh semua yang mempengaruhi pertumbuhan akar: tanah yang

kering, tanah mampat, pH tanah yang rendah, keracunan Al dan Mn, kekahatan hara,

kegaraman, aerasi buruk, penyakit akar, serangga, nematoda, temperatur sangat tinggi atau

sangat rendah. Pertumbuhan tanaman berpengaruh paling besar terhadap proses intersepsi,

meskipun juga berpengaruh terhadap dua mekanisme lainnya.

Hara yang masuk melalui intersepsi  tergantung pada kadar hara dalam tanah,  volume tanah

yang dijelajahi akar, akar menempati 1 – 2% volume tanah, pada permukaan tanah akar

lebih rapat.

Proses intersepsi atau pertukaran langsung dapat digambarkan sebagai berikut:

[rambut akar] H+ dengan K+ [liat/BO]

pertukaran => => =>

[rambut akar] K+ dengan H+ [liat/BO]

Hal ini terjadi karena akar juga memiliki KPK yang berumber dari gugus karboksil (seperti

dalam bahan organik): COOH <–> COO- + H+.  Besarnya kpk akar pada monokotil 10 – 30

meq/100 g dengan sifat kation monovalen lebih cepat diserap, sedangkan akar dikotil

memiliki KPK 40 – 100 meq/100 g dengan sifat kation divalen lebih cepat diserap.

 

b. Aliran masa (mass flow)

Hara terlarut terbawa bersama aliran air menuju akar tanaman, aliran air dipengaruhi oleh

transpirasi, evaporasi dan perkolasi. Jumlahnya proporsional dengan laju aliran (volume air

yang ditranspirasikan) dan kadar hara dalam larutan tanah.

Aliran masa memasok hampir seluruh hara mobil yang diperlukan tanaman yaitu: NO 3-,

SO42-, Cl-, and H3BO3. Seringkali memasok hara Ca dan Mg yang berlebihan. Dengan

demikian dapat memenuhi kebutuhan Cu, Mn, and Mo, serta memenuhi sebagian kebutuhan

Fe and Zn.

Faktor yang mempengaruhi aliran masa adalah :

1. kadar lengas tanah:  tanah yang kering tidak ada gerakan hara,

2. temperatur: temperatur yang rendah mengurangi transpirasi dan evaporasi,

3. ukuran sistem perakaran: mempengaruhi serapan air.

Pengaruh kerapatan akar terhadap pasokan hara oleh aliran masa lebih ringan dibanding

terhadap intersepsi akar dan difusi.

Page 12: Data praktikum

c.  Difusi (diffusion)

Ion bergerak dari wilayah yang memiliki kadar hara tinggi ke wilayah yang lebih rendah

kadar haranya. Akar menyerap hara dari larutan tanah. Kadar hara di permukaan akar lebih

rendah dibandingkan kadar hara tersebut  larutan tanah di sekitar akar. Ion bergerak menuju

permukaan akar. Mekanisme ini sangat penting bagi hara yang berinteraksi kuat dengan

tanah. Terutama untuk memasok hara P dan K, juga hara mikro Fe dan Zn.

Laju difusi proporsional dengan gradien konsentrasi, koefisien difusi dan wilayah yang

tersedia untuk terjadinya difusi. Persamaan difusi “Hukum Fick”:

dC/dt = De. A.dC/dX

dC/dt = laju difusi (perubahan konsentrasi antar waktu)

De  = koefisien disfusi efektif

A          = luas penampang difusi

dC/dX = gradien konsentrasi (perubahan konsentrasi antar jarak)

Koefisien difusi efektif (effective diffusion coefficient)

De=Dw.Θ(1/T).(1/b)

Dw = koefisien difusi dalam air

Θ     = kadar air tanah volumetrik

T     = faktor kelikuan (tortuosity)

b     = daya sangga tanah (soil buffering capacity)

Koefisien difusi dalam air dipengaruhi temperatur, jika dingin difusi lebih lambat. Kadar air

tanah, jika kering difusi lebih lambat, kurang air, wilayah yang dilewati difusi lebih sempit.

Kelikuan (tortuosity), jalur dalam tanah tidak lurus, tetapi melalui sekeliling partikel tanah

yaitu lapisan air yang sangat tipis. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur tanah dan kadar airnya.

Jika lebih banyak mineral liat maka jalur difusi lebih panjang.  Lapisan air lebih tipis, jalur

difusi lebih panjang. Daya sangga tanah (buffering capacity): hara dapat diambil melalui

jerapan tanah selama bergerak tersebut, hal ini akan menurunkan laju difusi.

Jarak difusi hara sangatlah pendek yaitu:  K ~ 0,2 cm, sedangkan P ~ 0,02 cm. Ukuran dan

kerapatan akar sangat mempengaruhi pasokan hara oleh mekanisme difusi. Hal ini harus

menjadi pertimbangan dalam penempatan pupuk.

2.5. Mekanisme penyerapan hara oleh akar

Page 13: Data praktikum

Kebanyakan unsur diserap akar tanaman dalam bentuk anorganik. Setelah mencapai akar,

ion hara diangkut sampai ke bagian daun melalui serangkaian tahapan, yaitu penyerapan

pasif (passive root uptake), penyerapan aktif (active root uptake), alih tempat

(translocation).

a. Struktur akar

Ion harus bergerak melewati atau mengelilingi sejumlah lapisan jaringan akar.

epidermis = lapisan terluar dari sel

korteks = sel besar ukuran tidak beraturan dengan ruang antara sel diantara mereka

endodermis = lapisan sel dengan suberin band, casparian strip, menjadi penghalang

gerakan ion masuk ke stele.

stele = mengandung pembuluh xylem yang mengangkut air dan ion menuju batang.

b. Gerakan pasif

Difusi dan pertukaran ion

epidermis –> menembus kortek –> ke endodermis

Apoplast (apparent free space)

ruang di antara sel (extracellular within and between cell walls)

KPK akar ada pada dinding sel

c. Gerakan aktif

Harus menembus membran sel

Symplast: Intracellular interconnected cytoplasmic pathway between cells

pengangkutan aktif melewati membran

pengambilan unsur hara secara selektif

d. Pengambilan ion secara aktif

diperlukan energi untuk melewati membran sel

konsentrasi di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel

gerakan untuk mengatasi gradien elektrokimia

energi berasal dari metabolisme sel

e. Ion carriers

pengangkutan melewati membran dijembatani oleh karier

karier berada di dalam membran

mengikat ion di bagian luar dari batas –> bergerak melewati membran –> melepas

ion ke dalam sitoplasma

karier bersifat selektif, masing-masing ion punya karier tersendiri

1. Pengangkutan aktif (active transport)

Page 14: Data praktikum

Memungkinkan tanaman memilih hara yang masuk ke akar, menjaga netralitas muatan di

dalam sel akar, akar melepas H+ and OH- . Pengambilan kation: melepas H+, pengambilan

anion: melepas OH- . Pengambilan kation umumnya >> dibanding pengambilan anion

sehingga pH risosfer turun.

Memungkinkan tanaman menimbun hara esensial, tanaman memiliki kemampuan yang

berbeda dalam menimbun hara pada tanah yang memilik kadar hara yang rendah. Sifat

genetik mempengaruhi pengambilan hara, alih tempat, pertumbuhan akar, metabolisme

akar, lingkungan risosofer.

2. Rhizosphere (rhizo = akar)

Wilayah tanah yang bersinggungan langsung dengan akar, jaraknya 1-4 mm. Tempat

kegiatan mikrobia: eksudat organik dari akar merupakan cadangan makanan. Suasana pH

risosfer dan aktivitas mikrobia mempengaruhi ketersediaan hara melalui proses pelarutan

dan khelasi, pH lebih rendah dan adanya asam organik meningkatkan kelarutan. Akar dan

mikrobia di risosfer dapat menghasilkan khelat, akar dan aktivitas mikrobia juga mampu

menurunkan redoks potensial sehingga meningkatkan ketersediaan hara.

Akar tanaman tidak terlihat karena tersembunyi dalam tanah dan sukar untuk diteliti,

sehingga sering diabaikan. Sifatnya tidaklah pasif, tetapi aktif mengangkut hara dan

mengambil secara selektif dengan mengubah suasana tanah di sekitarnya sehingga

meningkatkan ketersediaan hara tersebut.

2.6. Faktor penentu pertumbuhan tanaman “Growth is defined as the progressive development of an organism”

Setiap syarat tumbuh dapat membatasi hasil. Aturan minimum dari Liebig berlaku unsur

hara, tetapi dapat pula diterapkan bagi syarat tumbuh yang lainnya. Pertumbuhan tanaman

dibatasi oleh keberadaan hara yang paling terbatas jumlahnya, tanpa memperhatikan

besarnya sediaan hara yang lainnya. Tugas petani adalah mengidentifikasi semua faktor

pembatas hasil, dan menghilangkan atau meminimalkannya sehingga usahanya

menguntungkan.

Faktor penentu pertumbuhan tanaman dapat dipilahkan menjadi 2 bagian yaitu:  Genetik

(dakhili=internal) dan Lingkungan (khariji=eksternal).

1. Faktor Genetik

Page 15: Data praktikum

Perbaikan genetik dengan munculnya hibrida, varitas atau galur telah menunjukkan adanya

peningkatan hasil panen pada tanaman jagung, gandum atau komoditas lainnya.

Tabel. Hasil panen jagung di USA pada tahun 1971-1973

Hibrida tahun Panen buruk (kg/ha) Panen baik (kg/ha)

1930 3.709 6.538

1940 4.464 7.544

1950 4.778 7.670

1960 4.902 8.550

1970 5.972 8.990

Tabel. Hasil panen gandum berbagai varitas

Varitas Panen (kg/ha)

1926 (Marquis) 2.028

1935 (Thatcher) 2.230

1958 (Lee) 2.425

1967 (Chris) 2.735

1971 (Era) 3.623

Tanaman dengan hasil panen tinggi (high yielding) mengambil hara lebih banyak

dibandingkan tanaman biasa. Tanaman demikian bersifat menguras hara. Jika ditanam pada

tanah yang memiliki ketersediaan hara terbatas, maka hasil panen akan lebih rendah

dibandingkan tanaman biasa.

Pada masa lampau dilakukan pemilihan varitas tanaman untuk berbagai tingkat kesuburan

tanah yang berbeda. Sekarang hal tersebut tidak dikerjakan lagi, karena pada tanah yang  

tidak subur dapat ditambahkan pupuk. Meski demikian tetap dilakukan upaya pemilihan

tanaman misalnya: tahan terhadap pH rendah atau keracunan Al, atau terhadap kondisi

garaman, atau tahan terhadap kekeringan.

2. Faktor lingkungan

Page 16: Data praktikum

“Environment is defined as the aggregate of all the external conditions and  influences

affecting the life and development of the organism.”

Yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah : Temperatur, Lengas, Sinar matahari,

Susunan udara, Struktur tanah, Reaksi tanah, Biotik, Penyediaan hara dan Senyawa

penghambat pertumbuhan.

1. Temperatur: Temperatur merupakan ukuran intentitas panas.  Kisaran temperatur

secara umum untuk makluk hidup: -35 0C  –  +75 0C; Tanaman pertanian : 25 – 40 0C.

Temperatur ini mempengaruhi: fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel,

penyerapan air dan hara, transpirasi, aktivitas ensim dan koagulasi protein.

2. Lengas tanah : kadarnya dalam tanah sangat bervariasi: Jenuh air (saturated)–

kapasitas lapangan (field capacity) – layu permanen (wilting point). Fungsi lengas

antara lain sebagai : pelarut, media transportasi, bahan dasar H2O.

3. Sinar matahari: aspek yang terkait dengan pertumbuhan adalah: proses fotosintesis,

lama penyinaran dan periode tumbuh.

4. Udara: diperlukan untuk respirasi dan sebagai bahan dasar CO 2 dalam proses

fotosintesis.

5. Struktur tanah : mempengaruhi ruang tumbuh akar dan imbangan udara-lengas.

6. Reaksi tanah: berkaitan dengan ketersediaan hara, unsur meracun dan kehidupan

mikrobia.

7. Biotik: antagonisme atau sinergisme, jasad pengganggu: hama,  penyakit, gulma

8. Penyediaan hara: mineral, tekstur, struktur, pH, bahan organik tanah, pemupukan,

pengolahan tanah.  Perakaran tanaman dapat  dangkal, dalam, atau menyebar.

9. Senyawa penghambat pertumbuhan: adanya limbah atau bahan beracun.

2.7. Kurva pertumbuhan tanaman1. Growth Response Curves Liebig (c. 1860, German) (linear)

Y = mX + b,   where:  Y = yield; m = slope – i.e. rate of yield increase, a function of the

environment and nutrient; X = amount of nutrient added; b = minimum yield, one would get

this yield with no nutrient additions.

Page 17: Data praktikum

2. Mitscherlich (c. 1910, German) (Law of Diminishing Returns)

(1) dy/dx = (A-Y)C.  if integrate equation (1), then get (2) log (A-Y) = log(A) – cX,where:

A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.

dy/dx = slope – i.e. rate of yield increase, a function of the environment, the nutrient, and

amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount increases.

x = amount of nutrient added; c = constant.

3. Bray (c. 1920, U. Illinois) (soil interactions)

Started with Mitscherlich’s basic equation, developed: log (A-Y) = log(A) – c1B –

cX, where:  A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.

dy/dx = slope – i.e. rate of yield increase. It is a function of the environment, the nutrient,

and amount of nutrient already present. This value gets smaller as nutrient amount

increases.

X = amount of nutrient added; c1 = constant that is for B; c = constant.

B = value explaining behavior of ‘immobile’ nutrients (e.g. K, P, Ca, Mg). The c1B term

takes into account the reality that nutrients interact with soil and not all nutrients behave

identically.

4. Baule (c. 1920, German mathematician, worked with Mitscherlich) (nutrient

interactions)

Page 18: Data praktikum

Baule developed idea of “half-way points.” Using the identical relationship as Mitscherlich,

Baule concluded that: Y = A – A(1/2) # Baule Units, where:

A = maximum possible yield (theoretical); Y = actual yield.

Baule Unit= the amount of nutrient that when added results in moving Y (yield) one-half 

way closer to A (maximum possible yield).

III. Hara Makro3.1. Pengertian hara esensial

Suatu unsur termasuk sebagai hara esensial jika memenuhi syarat:

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant

metabolic functions).

2. Tanaman tidak akan sempurna siklus hidupnya tanpa adanya unsur tersebut

(plant cannot complete its lifecycle without it).

3. Tidak ada unsur lain yang dapat menggantikan secara sempurna seluruh fungsi

metabolisme yang melibatkan unsur tersebut (no other element can substitute for

all of its metabolic functions).

3.2. Pengertian hara makro

Unsur C, H, O jumlahnya sangat melimpah, C dan O umumnya diambil dari udara

sedangkan H dari air.  Proses fotosintesis yang berlangsung di daun menghasilkan gula

dengan mengambil CO2 dari udara. Pernafasan daun dan akar menggunakan oksigen dari

udara (yaitu di stomata dan pori tanah) untuk menghasilkan ATP (energi sel tubuh).

Hara mineral (13) sebagian besar berasal dari tanah, terbagi atas : hara makro: N, P, K, Ca,

Mg, S dinyatakan dalam % (g/100g) dan hara mikro: Fe, Zn, Mn, Cu  /  B, Cl, Mo /  [Ni]

dinyatakan dalam ppm (mg/kg).  Kandungan hara yang tertinggi umumnya N dan K. Pada

tanaman yang diberi pupuk dengan cukup mengandung 1-5 % bobot kering. Tembaga dan

Mo memiliki kadar paling kecil, hanya beberapa ppm. 1% = 10.000 ppm.

Page 19: Data praktikum

3.3. Nitrogen1. Bentuk dan fungsi  N

N dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar, umumnya menjadi faktor

pembatas pada tanah-tanah yang tidak dipupuk. Berupa asam amino, amida dan amin yang

berfungsi sebagai kerangka (building blocks) dan senyawa antara (intermediary

compounds). Berupa protein, khlorofil, asam nukleat: protein/ensim mengatur reaksi

biokimia, N merupakan bagian utuh dari struktur klorofil, warna hijau pucat atau

kekuningan disebabkan kekahatan N, sebagai bahan dasar  DNA dan RNA.

3. Mobilitas N

Unsur N sangat mobil dalam jaringan tanaman, dialihtempatkan dari daun yang tua ke daun

yang muda. Gejala kekahatan klorosis muncul pada daun dibagian bawah yaitu daun yang

lebih tua.  Jika berlebihan N akan merangsang pertumbuhan vegetatif, laju fotosintesis

tinggi, penggunaan CH2O juga tinggi, akibatnya menghambat kematangan tanaman,

jaringan menjadi sukulen, tanaman rebah, mudah terserang penyakit.

4. Sumber N

Beberapa sumber N adalah : perombakan bahan organik: daur N; penyematan biologis:

simbiotik dan non simbiotik; deposisi atmosfir karena muatan listrik dan kegiatan industri;

pupuk N  dan rabuk, kompos dan biosolid.

Page 20: Data praktikum

5. Bentuk N yang diserap tanaman

Bentuk NH3 (amoniak) diserap oleh daun dari udara atau dilepaskan dari daun ke udara,

jumlahnya tergantung konsentrasi di udara. Sebagian besar N diambil akar dalam bentuk 

anorganik yaitu NH4+ (ammonium) and NO3

- (nitrat). Jumlahnya tergantung kondisi tanah,

nitrat lebih banyak terbentuk jika tanah hangat, lembab dan aerasi baik. Penyerapan

NH4+ lebih banyak terjadi pada pH tanah netral, sedangkan NO 3

- pada pH rendah. Senyawa

NO3- umumnya bergerak menuju akar karena aliran masa, senyawa NH4

+ bersifat tidak

mobil, gerakan disebabkan oleh difusi juga aliran masa.

Senyawa ammonium ini tidak harus direduksi di dalam tubuh tanaman sehingga menghemat

energi, kandungan protein tanaman lebih tinggi (CH2O). Keseimbangan kation/anion:

mengurangi penyerapan Ca, Mg, K, tetapi meningkatkan penyerapan fosfat, sulfat dan klor.

Suasana pH risosfer: akar melepas H+.

Senyawa nitrat harus direduksi terlebih dahulu di dalam tubuh tanaman sebelum disintesis

menjadi asam amino, NO3- à  NH3. Keseimbangan kation/anion: meningkatkan penyerapan

Ca, Mg, K, tetapi menurunkan penyerapan fosfat, sulfat, dan klor. Suasana pH risosfer: akar

melepas HCO3- (OH-)

Jika kadar NH4+ tinggi dapat bersifat meracun,  sedangkan jika kelebihan NO3

- dapat secara

aman disimpan dalam vakuola. Preferensi tanaman: kebanyakan tanaman tumbuh baik pada

kondisi campuran, tanaman yang tahan terhadap suasana masam umumnya lebih baik jika

Page 21: Data praktikum

diberi NH4+, sebaliknya keluarga terung-terungan (Solanaceae) lebih menyukai NO3

-, karena

membutuhkan banyak kation lainnya (penyerapan nitrat merangsang penyerapan kation).

6. Transformasi N dalam tanah

Di dalam tanah unsur N dapat mengalami alihrupa sebagai berikut: Mineralisasi,

Immobilisasi, Nitrifikasi, Denitrifikasi, Volatilisasi, Fiksasi N.

7. Mineralization

Pelepasan N organik menjadi N yang tersedia bagi tanaman yaitu: NH 4+, melibatkan

mikrobia heterotrof yaitu bakteri dan kapang. Bahan organik tanah mengandung N sekitar

5%, sekitar 1-4% dari N organik mengalami mineralisasi setiap tahunnya.

Aminisasi: proteins + H2O –> asam amino + amina + urea + CO2 + energi. 

pemecahan protein menjadi unit lebih kecil, yang mengandung gugus NH2

Ammonifikasi:

R – NH2 + H2O –>  NH3 + R – OH + energi

NH3 + H2O        –>  NH4+ + OH-

8. Immobilisasi (assimilasi)

Berkebalikan dengan proses mineralisasi. Pengambilan bentuk N anorganik dari tanah

kemudian menyatukan bahan tersebut menjadi bentuk N organik oleh mikrobia, dapat

berupa NH4+ atau NO3

-. Kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi ditentukan oleh

nisbah C:N .

9. Nitrifikasi

Perubahan NH4+ menjadi NO3

-, sumber NH4+ dapat berupa bahan organik atau pupuk.

Oksidasi biologis: bilangan oksidasi N meningkat dari -3 menjadi + 5, melalui 2 tahapan

proses:

2NH4+ + 3O2 –>  2NO2

- (nitrit) + 2H2O + 4H+ (Nitrosomonas bacteria) dan

2NO2- + O2 –> 2NO3

- ( Nitrobacter bacteria)

Nitrit bersifat meracun, umumnya tidak sampai mengumpul, karena reaksi nitrit menjadi

nitrat jauh lebih besar dibanding perubahan ammonium menjadi  nitrit. Ada dua jenis

bakteri ototrof yang menonjol, mereka mendapatkan energi dari oksidasi N, sedangkan C

diambil dari CO2

Page 22: Data praktikum

10. Proses nitrifikasi

Meningkatkan potensi pelindian N. Senyawa NO3- sangat mobil, sangat  larut air, tidak

dapat dipegang oleh koloid tanah. Senyawa NH4+ merupakan kation tertukar, dapat dipegang

oleh koloid tanah, bersifat mobil dalam tanah pasiran tanah yang memiliki KPK rendah.

Untuk berlangsungnya proses nitrifikasi diperlukan suasana aerasi yang baik, karena yang

aktif bakteri aerobik, oksigen diperlukan sebagai reaktan dalam kedua reaksi yang terlibat.

Proses ini bersifat mengasamkan tanah, 2 mol H+dihasilkan per mol NH4+ yag dinitrifikasi,

ini dapat berasal dari pupuk ammonium atau mengandung pembentuk ammonium (urea).

Sangat cepat pada pH tinggi, optimum pada pH 8.5, bakteri memerlukan cukup Ca dan P,

keseimbangan reaksi lebih cocok pada pH tinggi tersebut. Reaksi cepat pada temperatur

hangat dan tanah yang lembab. Penghambatan nitrifikasi: digunakan untuk membatasi

pelindian nitrat,  N-Serve (nitrapyrin) karena bersifat meracun bagi Nitrosomonas.

11. Denitrifikasi

Kehilangan N dalam bentuk gas, reaksi NO3- menjadi N2 dan N2O. Bakteri

anaerob:Pseudomonas, Bacillus, menggunakan N sebagai sumber O2 dalam respirasi, terjadi

pada tanah tergenang atau terbatasnya oksigen, sekitar akar atau seresah yang sedang

terombak. Bakteri memerlukan bahan organik, bahan orgaik yang siap dirombak sebagai

sumber energi

4(CH2O) + 4NO3- + 4H+ –>  4CO2 + 2N2O + 6H2O

5(CH2O) + 4NO3- + 4H+ –>  5CO2 + 2N2O + 7H2O

Kehilangan N dari pupuk umumnya 10-30%, pada kondisi: penambahan bahan orgaik dan

kurangnya aerasi, temperatur hangat : antara 50 – 80 F, pH >5.5, cukup sediaan nitrat,

pertumbuhan tanaman, dapat menyumbang C dan kurangnya oksigen, tanaman dapat juga

membatasi denitrifikasi dengan mengurangi kadar air dalam tanah dan nitrat karena diserap

12. Volatilisasi

Kehilangan berupa gas NH3, terutama dari pupuk N di permukaan, juga rabuk di

permukaan tanah, kehilangan rabuk juga terjadi saat penanganan dan penyimpanan, dengan 

reaksi NH4+ –>  H+ + NH3 . Kehilangan NH3 terutama pada pH tinggi, pH larutan >7 , pada

kesetimbangan reaksi bergerak ke kanan, kehilangan tersebut dapat ditekan dengan cara

pemberian pupuk dibenamkan, atau dengan penyiraman air irigasi, urea bersifat sangat

larut.

Page 23: Data praktikum

Pada tanah masam dan netral: kehilangan urea lebih besar dibanding pupuk NH 4+ ,

reaksi awal NH4+ bersifat asam. Hidrolisis Urea meningkatkan pH sekitar butiran:

CO(NH2) 2 (urea) + H+ + 2H2O –>   2NH4+ + HCO3-

ini memerlukan H+ dan menaikkan pH, dapat mencapai > 7

mendorong reaksi : NH4+ + HCO3

- –>  NH3  + H2O + CO2

Pada tanah kapuran (calcareous soils), kehilangan Urea secara potensial tetap

tinggi. Pupuk NH4+ lebih mudah menguap dibanding dalam suasana asam, karena bereaksi

dengan karbonat, NH4+ + HCO3

-  NH3  + H2O + CO2 , kehilangan ammonium fosfat and

sulfat lebih tinggi dibanding garam ammonium yang terlarut seperti klorida dan nitrat.

Faktor lain yang mendorong volatilisasi antara lain: bentuknya cairan vs. padatan. Aplikasi

permukaan disebar (broadcast surface applications), dibandingkan setempat atau

dicampurkan. Temperatur yang tinggi. Permukaan tanah yang lembab dan evaporasi yang

cepat. KPK yang rendah: retensi NH4+ dan penyanggaan pH. residu tanaman di permukaan,

penggembalaan dan gumpal tanah, menjaga lengas tanah permukaan, mengurangi kontak

tanah dan gerakan ke dalam tanah

Inhibitor Urease merupakan alat untuk menghambat perombakan urea dan

mengurangi volatilisasi N, contoh: Agrotrain. umumnya kurang efektif dibandingkan

dengan perbaikan cara pemupukan, misalnya concentrated banding. Urease adalah ensim

yang memecah urea, berasal dari tanaman atau tanah (mikrobia).  Usaha yang lain dengan

membuat Slow release, urea-based fertilizers Contoh: Ureaform: Urea-formaldehyde, SCU

(Sulfur-coated urea), manfaatnya:   pemberian cukup satu kali untuk suatu jangka waktu

tertentu, misalnya 3 – 6 atau 9 bulan, hemat pada tempat yang memiliki potensi pelindian

atau penguapan yang tinggi, Sering digunakan untuk tanaman hias atau tanaman tahunan.

Ammonia anhidrat, karena bentuknya mudah menguap, maka disuntikkan di bawah

permukaan tanah, standar 15 cm untuk tanah kasar lebih dalam lagi. Kondisi yang cocok

untuk kehilangan: tanah yang kering: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat, NH 3 tidak

berubah menjadi NH4+, tanah mineral liat basah: lubang bekas injeksi tidak menutup rapat,

tekstur kasar: difusi NH3 , tanah berbongkah: difusi NH3 , bahan organik rendah: bahan

organik memegang NH3,

Tujuan penggunaan Inhibitor nitrifikasi untuk menghambat nitrifikasi, dan mengurangi

pelindian N. Umumnya digunakan pada musim gugur, atau di tanah pasiran. Contoh: bahan

N-Serve, DCD yang berfungsi menghambat perubahan ammonium menjadi nitrit dalam

proses nitrifikasi.

Page 24: Data praktikum

13. Fiksasi N

Meskipun kadar N udara 78%, tetapi ketersediaan N dalam tanah sering menjadi faktor

penghambat. Terdapat 70 juta kg N setiap hektar tanah. N 2 harus diubah menjadi bentuk

yang tersedia bagi tanaman. Fiksasi industri: N2 direduksi dengan energi yang besar (high

energy inputs), pada temperatur tinggi 1.200 0C dan tekanan tinggi 500 atm. dengan reaksi:

3H2 + N2 –>  2NH3. NH3 (amonia anhidrat) digunakan langsung sebagai pupuk atau sebagai

bahan baku pupuk N yang lain.

Berbagai mikrobia dapat menyemat N2: Simbiotik atau hidup bebas. Rhizobia dan

legum. Hal ini penting bagi dunia pertanian. Bakteri simbiotik membentuk bintil akar,  

tanaman inang menerima N yang tersemat sedangkan bakteri  menerima fotosintat.

Rhizobia dan legum memiliki hubungan yang bersifat spesifik, legum yang yang berbeda

membutuhkan spesies Rhizobia tertentu yang sesuai. Umumnya dilakukan inokulasi pada

biji yang akan ditanam. Hal ini diperlukan terutama jika lahan baru untuk pertama kali

ditanami legum tersebut atau untuk introduksi suatu strain baru. Strain memiliki

kemampuan menyemat N yang berbeda-beda.

Faktor yang mempengaruhi penyematan N antar alain: Keadaan pH tanah :  pH

yang rendah membahayakan Rhizobia dan akar tanaman, adanya keracunan Al dan Mn ,

serta kekahatan Ca, Mo dan P. Spesies dan strain memiliki tingkat kepekaan yang berbeda-

beda. R. meliloti (alfalfa, sweet clover) sangat peka terhadap pH yang rendah, strain lain

lebih toleran. Kadar Nitrogen tersedia tanah: jika kandungan N tanah tinggi, maka

penyematan akan rendah. Pertumbuhan tanaman dan manajemen: laju fotosintesis tinggi

akan meningkatkan penyematan N, sebaliknya hal yang menurunkan batang atau hasil juga

menurunkan penyematan N misalnya frekuensi dan waktu pemangkasan pada HMT. 

Kemampuan penyematan N pada legum tahunan (perennial)       : 100-200 kg/ha/th,

sedangkan legum semusim (annual)      : 50-100 kg/ha/th

14. Penyematan N lainnya

Azolla Anabaena : paku air dan ganggang hijau biru (cyanobacteria), jumlah N yang

tersemat cukup untuk padi sawah. Cyanobacteria (blue-green algae), hidup bebas, pada

tanah tergenang, permukaan tanah yang lembab. Azospirillum: bakteria yang hidup bebas,

atau bersekutu dengan akar serealia atau rerumputan. Azotobacter:bakteria hidup bebas, di

tanah, air , risosfer, atau permukaan daun. Bentuk hubungan yang lain kurang berhubungan

Page 25: Data praktikum

dengan pertanian, tetapi bermanfaat bagi ekosistem alam atau agroforestry. Pohon legum:

Black locust, mimosa, akasia. Frankia:aktinomisetes simbiotik, Alder.

3.4. FOSFORa. Bentuk dan fungsi P di dalam jaringan tanaman

1. P dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif besar, sedikit lebih kecil dibawah N dan

K, setara dengan S, Ca dan Mg

2. Fosfat: unsur P sangat reaktif, di alam ditemukan dalam bentuk gugus fosfat

3. ATP : transfer energi

4. NADP : fotosintesis

5. Asam nukleat: bahan DNA, RNA

6. Lemak fosfat (phospholipids): membran sel dan organ dalam sel

b. Mobilitas P

Unsur fosfor (P) sifatnya mobil dalam tanaman, mudah dipindahkan dari bagian daun yang

tua ke titik tumbuh. Gejala kekahatan: tanaman kerdil, pertumbuhan akar buruk,

kedewasaan terlambat, warna daun hijau kelam, muncul warna keunguan misalnya pada

jagung.  Jika P berlebihan meskipun tidak secara langsung meracuni tanaman, akan

Page 26: Data praktikum

menyebabkan merangsang pertumbuhan organisme perairan, mempercepat eutrofikasi, P

tanah yang berlebih meningkatkan pengangkutan P dalam sedimen, air limpasan.

c. Sumber P

1. perombakan bahan organik: menyumbang 20-80% dari total P dalam tanah

2. rabuk, kompos dan biosolid

3. pelarutan mineral P : mineral primer dan sekunder, mineral primer sangat lambat

tersedia menjadi sumber jangka panjang

4. pengendapan sedimen erosi

5. pupuk P

d. Bentuk P yang diserap tanaman

Kebanyakan P diserap dalam bentuk ion anorganik orthofosfat: HPO4 2- atau H2PO4 

-.

Jumlahnya tergantung pH larutan, pada pH 7,2 jumlahnya setara, HPO4 2- lebih banyak jika

kondisi tanah alkalin, sedangkan H2PO4–

 lebih banyak jika kondisi tanah masam. Akar juga

menyerap beberapa fosfat organik: asam nukleat, fitin, kontribusi terhadap keseluruhan hara

P masih kecil.

Penyerapan H2PO4– lebih cepat dibanding HPO4 

2- , hal ini terkait dengan muatan divalen vs.

monovalen. Keseimbangan kation/anion : penyerapan fosfat meningkatkan penyerapan Ca,

Mg, K, keseimbangan muatan, pengakutan kooperasi; penyerapan fosfat dapat menghambat

penyerapan nitrat dan sulfat, penghambatan kompetisi. pH risosfer: akar melepas

HCO3 - (OH 

- )

e. Gerakan P menuju akar

Ion HPO4 2- atau H2PO4 

– terutama bergerak menuju akar karena difusi dan aliran massa:

kadar dalam tanah rendah : sekitar 0,05 ppm

adanya reaksi penjerapan, presipitasi di dalam tanah

ion fosfat bergerak < 1 mm dalam satu musim tanamn

ukuran dan kerapatan sistem perakaran sangat penting dalam proses penyerapan P

f. Transformasi P di dalam tanah

Unsur P di dalam tanah akan mengalami proses alihrupa : mineralisasi, immobilisasi,

penjerapan-pelepasan pada permukaan mineral: mineral liat, oksida Fe dan Al, karbonat,

pengendapan-pelarutan mineral sekunder: Ca, Al, Fe fosfat atau pelapukan mineral tanah

primer: Apatit.

Page 27: Data praktikum

g. Mineralisasi

Kandungan P dalam bahan organik tanah sekitar 1%  P organik melepaskan fosfat

anorganik yang tersedia bagi tanaman. Ensim fosfatase yang dihasilkan oleh berbagai

mikrobia, melepas ion orthofosfat. P organik dalam tanah, hampir 50% berupa fosfat

inositol, lemak fosfat (fosfolipid) dan asam nukleat sekitar 10%. Hampir 50% P organik  

belum dikenali dengan baik. Fofat Inositol merupakan rangkaian ester fosfat : C 6H6(OH)6 =

inositol, gugus OH digantikan oleh fosfat, terutama dalam bentuk asam pitat (phytic acid).

Inositol hexaphosphate: memiliki 6 gugus fosfat, merupakan hasil aktivitas mikrobia, sisa

perombakan.

h. Imobilisasi (asimilasi)

Proses ini merupakan kebalikan dari mineralisasi. Pengambilan P anorganik dari tanah

(HPO4 2- or H2PO4 

- ) kemudian diubah menjadi  P organik oleh mikrobia. Ada keseimbangan

antara proses mineralisasi dengan immobilisasi. Nisbah C:P menentukan laju perombakan

bahan organik (seperti halnya nisbah C/N), mineralisasi P juga ditentukan oleh nsibah C/N.

Nisbah C/P tinggi, mikrobia menggunakan P tersedia dari larta tanah, ketersediaan bagi

tanaman berkurang. Jika kadar P dalam larutan tanah rendah maka pertumbuhan mikrobia

terhambat, perombakan bahan organik juga lambat. Nisbah C/P bahan organik tanah sekitar

100:1. nisbah C:N:P sekitar 120:10:1.3.

jika C:P > 300,            P imobilisasi > P mineralization, residue <0.2% P

jika C:P = 200-300,  P imobilisasi = P mineralization

jika C:P < 200,            P imobilisasi < P mineralization, residue >0.3% P

i. Penyematan P

Penyematan P adalah proses pengambilan P anorganik dari larutan tanah. P hasil

mineralisasi bahan organik, P yang diberikan sebagai pupuk terlarut, atau hasil pelarutan

berbagai sumber dengan mudah mengalami reaksi di dalam tanah :

Adsorpsi: retensi P pada permukaan mineral sesquioksida (Fe2O3 atau Al2O3)

Presipitasi: pembentukan mineral P sekunder

Penyematan P merupakan reaksi bersinambung, tidak ada batas yang tegas antara adsorpsi

dan presipitasi amorf. Jenis penyematan bervariasi sesuai kondisi tanah: terutama pH tanah:

Page 28: Data praktikum

kation terlarut, permukaan mineral; kadar fosfat dan kation: pada kadar rendah terjadi

adsorpsi, pada kadar tinggi terjadi presipitasi.

j. Jerapan (adsorpsi)

Tanah masam: oksida dan hidroksida Al dan Fe, mineral liat; permukaan mineral pada

kondisi masam; kebanyakan dalam bentuk ion H2PO4 - . Terjadi padapermukaan oksida dan

hidroksida. Muatan positif neto pada kondisi masam, lihat pertukaran dan jerapan anion.

Muatan positif menarik anion: fosfat dan lainnya. Fosfat berinteraksi dengan gugus -OH

dan -OH2 + di permukaan: jerapan istimewa (specific adsorpsi), chemisorpsi; mendesak –OH

dan -OH2 dan mengikat Al dan Fe; menjadi Al-O-fosfat. P labil: fosfat diikat oleh satu ikata

Al-O-P; segera terlepas dari permukaan untuk mengisi larutan tanah; juga disebut sebagai

“P aktif” . P tidak labil: fosfat diikat oleh dua ikatan Al-O-P atau Fe-O-P; P tidak mudah

terlepas dari mineral menuju larutan tanah. Permukaan liat: tepian mineral liat yang pecah;

gugus -OH yang terbuka; serupa dengan pertukaran -OH di permukaan oksida Al dan Fe;

jerapan liat 1:1 (kaolinit) >> liat 2:1 (monmorillonit).

Tanah kapuran: mineral karbonat; permukaan mineral dalam kondisi alkalin, karbonat stabil

terbentuk pada pH 7.8 atau lebih; fosfat menggantikan gugus CO 3 2-; ada juga yang terjerap

pada permukaan Al(OH)3 dan Fe(OH)3 .

Tanah halus memiliki kapasitas jerapan yang lebih tinggi dibanding tanah kasar, karena luas

permukaannya lebih besar. Tanah masam memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibanding

tanah netral atau kapuran.  Oksida Al dan Fe memiliki kapasias jerapan lebih besar

dibanding karbonat.  Oksida amorf memiliki kapasitas jerapan lebih besar dibandingkan

bentuk kristalin, karena luas permukaan lebih besar dan terjadi sebagai partikel diskrit atau

selaput atau lapisan film pada partikel tanah lainnya. Takaran pupuk lebih tinggi diperlukan

untuk menjaga kecukupan P larutan tanah pada tanah yang memiliki kapasitas retensi yang

besar

Persamaan jerapan digunakan untuk menggambarkan kapasitas jerapan tanah:

(1). persamaan Freundlich. Q=a.c^b  . Jumlah P terjerap proporsional dengan kadar P dalam

larutan tanah. a,b adalah konstanta empirik dari setiap jenis tanah. Persamaan ini bagus

untuk kadar P rendah dalam larutan, tetapi tidak menunjukkan kapasitas jerapan maksimum.

(2). persamaan Langmuir. Q=abc/(1+ac) . Untuk menduga jika seluruh tapak jerapan sudah

terisi, tidak akan terjadi lagi jerapan. b = jerapan maksimum, peningkatan P dalam larutan

tidak akan meningkatkan jerapan

Page 29: Data praktikum

Eksistensi suatu jerapan P maksimum memiliki implikasi terhadap gerapan P terlarut.

Tanah dapat menyemat banyak P dan mempertahankan P terlarut sedikit, tetapi kapasitas

retensi tersebut dapat terlampaui misalnya dengan pemberian sinambung dengan rabuk

yang memiliki kadar sangat tinggi (overload).

k. Presipitasi

Pada tanah masam: dirajai kation terlarut Al dan Fe, menyebabkan presipitasi mineral Al-

fosfat dan Fe- fosfat. Pada tanah netral dan kapuran: dirajai kation terlarut Ca,

menyebabkan presipitasi mineral Ca-fosfat. Keadaan pH larutan dan kelarutan Al, Fe dan

Ca fosfat menentukan kadar P dalam larutan tanah, perhatikan stabilitas mineral.

Ketersediaan P maksimum pada pH 6 – 7, yaitu diantara zona Al dan Fe fosfat dengan Ca

fosfat yang tidak terlarut.  Reaksi presipitasi umumnya terjadi sangat lambat.

Pada tanah masam: FePO4 . 2H2O + H2O <–> H2PO4 

- + H+ + Fe(OH)3, jika kemasaman

meningkat (H+), keseimbangan bergerak ke kiri, Fe-fosfat mengendap dan P larutan

menurun, jika kemasaman menurun, keseimbangan bergerak ke kanan, Fe-fosfat melarut

dan P larutan meningkat, pada saat akar menyerap H2PO4 -, keseimbangan bergerak ke

kanan, Fe-fosfat melarut untuk mengisi P dalam larutan tanah. Fe-fosfat padatan akan

mempertahankan H2PO4 – tetap pada aras keseimbangan, hal ini tergantung pH tanah.

Pada tanah netral dan kapuran: CaHPO4 . 2H2O + H+ <–> Ca2+ + H2PO4 

- + 2H2O, jika

kemasaman menurun, keseimbangan bergerak ke kiri, Ca-fosfat mengendap dan P larutan

menurun, jika kemasaman meningkat keseimbangan bergerak ke kanan, Ca-fosfat melarut

dan P larutan meningkat, pada saat akar menyerap H2PO4 -, keseimbangan bergerak ke kiri,

Ca-fosfat melarut, mengisi P dalam larutan tanah. Ca-fosfat padatan menjaga H2PO4 –

 pada

aras keseimbangan, hal ini tergantung pH tanah.

l. Ketersediaan dan penyematan P dari pupuk

Faktor kuantitas dan intensitas BC=ΔQ/ΔI, kapasitas penyanggaan dan penyematan saling

berkaitan. P dalam pupuk: sifatnya sangat larut dalam air (very soluble), meningkatkan

kadar P larutan. Faktor intensitas: kadar hara dalam larutan tanah, adalah P yang segera

tersedia. inilah yang mengalami asimilasi oleh organisme, penjerapan oleh pemukaan dan

rekasi presipitasi. Penyematan P mengurangi intensitas (P dalam larutan), tetapi juga

menjadi cadangan untuk mengisi kembali P dalam larutan, yakni sebagai penyangga.

Kapasitas penyanggaan (buffering capacity) adalah kemampuan tanah untuk

mempertahankan kadar hara dalam larutan tanah (ability of soil to maintain nutrient

Page 30: Data praktikum

concentrations in the soil solution) atau kapasitas fasa padatan tanah untuk mengisi hara

dalam larutan tanah yang diserap oleh tanaman (capacity of solid soil phases to replenish

solution nutrients taken up by plant roots). Faktor kuantitas: meliputi P organik, P terjerap

dan P mineral, merupakan fraksi labil dan fraksi tidak labil.

P labil : secara cepat dapat mengisi P dalam larutan, merupakan P terjerap yang

mudah terurai, termasuk P organik yaitu dari fraksi bahan organik yang cepat

terombak

P tidak labil: secara perlahan akan mengisi P larutan atau P labil, meliputi P yang

terjerap kuat, P organik dan P mineral.

m. Manajemen P pupuk

Tujuan untuk mengurangi penyematan P. Pada tanah yang memiliki kapasitas jerapan

tinggi, frekuensi pemberian harus tinggi dengan dosis yang rendah. Pengaruh penempatan

pupuk:

disebar (surface applications): mobilitas P dalam tanah terbatas, P akan bergerak ke

akar dengan sangat lambat.

disebar dan dibenamkan (broadcast and incorporate): P diberikan pada zone

perakaran, P terbuka penuh terhadap permukaan tanah, potensi penyematan P

maksimal.

larikan (band placement): mengurangi kontak tanah dengan pupuk, penyematan

lebih sedikit dibanding jika disebar dan dibenamkan, akar akan menembus zona P.

cara aplikasi terbaik: tergantung hasil uji tanah dan jenis tanah, larikan sangat

penting pada tanah yang memiliki P rendah dengan kapasitas penyematan yang

tinggi, pada tanah yang memilki P tinggi, atau tanah dengan kapasitas penyematan

rendah aplikasi dengan cara disebarkan dan dibenamkan setiap 3-4 tahun cukup

efektif.

3.6. Kaliuma. Bentuk dan fungsi K dalam tanaman

Unsur K dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar, yakni terbesar kedua setelah

hara N. Pada tanah yang subur kadar K dalam jaringan hampir sama dengan N. K tidak

menjadi komponen struktur dalam senyawa organik, tetapi bentuknya semata ionik,

Page 31: Data praktikum

K+ berada dalam larutan atau terikat oleh muatan negatif dari permukaan jaringan misalnya: 

R-COO-K+. Fungsi utama K adalah mengaktifkan ensim-ensim dan menjaga air sel.

Ensim yang diaktifkan antara lain: sintesis pati, pembuatan ATP, fotosintesis, reduksi nitrat,

translokasi gula ke biji, buah, umbi atau akar. Pengaturan air sel:  K+ mengatur potensial air

sel dan osmosis, Na+ dapat menggantikan fungsi K+ pada sebagian spesies. Turgor sel:

ketegaran tanaman, pembukaan dan penutupan stomata. Pengambilan air oleh akar: tarikan

osmotik. K dan ketahanan terhadap cekaman: ketahanan terhadap kekeringan: mengatur

transpirasi dan penyerapan air oleh akar, musim dingin atau beku, ketahanan terhadap

serangan penyakit jamur, ketahanan terhadap serangan serangga, mengurangi kerebahan :

batang lebih kuat.

b. Mobilitas K

Unsur K sangat lincah dalam tubuh tanaman, mudah dipindahkan dari daun tua ke bagian

titik tumbuh. Gejala kekahatan: klorosis/nekrosis ujung dan tepi daun, dimulai dari daun tua

atau bagian bawah tanaman (jika disebabkan kegaraman, maka gejala tepi terbakar dimulai

pada daun muda), pada legum: muncul becak putih atau nekrosis pada tepi daun, sering

jumbuh dengan bekas gigitan serangga, tanaman rebah, tidak tahan kekeringan, rentan

terhadap serangan penyakit dan serangga.

Jika K berlebihan tidak secara langsung meracuni tanaman. Kadar K dalam tanah yang

tinggi dapat menghambat penyerapan kation yang lain (antagonis) dapat mengakibatkan

kekahatan Mg dan Ca. K dapat mengatasi gangguan karena kelebihan N  yang merangsang

pertumbuhan vegetatif, tanaman menjadi sukulen (basah), mudah rebah dan rentan terhadap

serangan penyakit/serangga, sedangkan K memiliki pengaruh yang sebaliknya.

c. Sumber K

1. Bahan organik: sebagian besar K mudah terlindi dari seresah tanaman, pelepasan

tersebut tidak berkaitan dengan tingkat perombakan sebagaimana N atau P, hal ini

disebabkan K tidak menjadi komponen dalam struktur senyawa organik.

2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan K dalam bentuk terlarut, sehingga segera

tersedia bagi tanaman

3. K tertukar: sebagai K+ dalam kompleks pertukaran, pertukaran merupakan reaksi

dalam tanah yang paling penting bagi K

4. K tidak tertukar : K+ pada posisi antar kisi dalam mineral liat  2:1

Page 32: Data praktikum

5. Pelarutan mineral K: kebanyakan tanah memiliki kadar K total yang tinggi, K yang

dimiliki tersebut lebih banyak dibanding hara yang lain, sedangkan untuk tanah pasir

secara alami kandungan K memang rendah, sumber K adalah mineral feldspar dan

mika, yang akan tersedia dengan lambat, ini menjadi sumber K dalam jangka

panjang, K tersedia merupakan sebagian kecil saja dari K total

6. Pupuk K

d. Bentuk K yang diserap tanaman

Unsur K diserap dalam bentuk kation (K+). Konsumsi berlebihan: jika K+ terlarut sangat

tinggi, tanaman akan menyerap lebih banyak K dibanding yang diperlukan, ini

menyebabkan kelebihan (banyak sekali) K yang terangkut oleh panen, sehingga dapat

menyebabkan ketimpangan hara bagi ternak, yakni kekurangan  Ca, Mg, Na.

e. Gerakan K menuju akar

Kadar K dalam larutan tanah umumnya 1-10 ppm, sedangkan rerata untuk tanah pertanian

adalah 4 ppm. K+ bergerak karena difusi dan aliran masa. K bergerak menuju akar terutama

oleh disfusi, pada kebanyakan tanah besarnya mencakup 90%. Jangkauan gerakan K sangat

terbatas, selama satu musim tanam hanya 1-4 mm. Gerakan K karena aliran masa sangat

penting pada tanah yang memiliki K tinggi, demikian juga K yang berasal dari pupuk K

yang diberikan, atau pada tanah dengan KPK yang rendah.

f. Alih rupa K dalam tanah

1. Pertukaran kation: jerapan dan pelepasan dari permukaan liat atau bahan organik

tanah.

2. Penyematan: K berada di antara kisi liat,  yaitu pada mineral liat sekunder,

pelepasan K ini sangat lambat karena sukar ditukar kation lain

3. Pelapukan mineral primer: feldspar, mika

g. Ketersediaan K

1. Segera tersedia: K labil, K dalam larutan tanah atau komplek pertukaran, meliputi 1-

2% dari total K dalam tanah.

2. Tersedia lambat : K tidak tertukar, K tersemat, meliputi 1-10% K total dalam tanah.

3. Tidak tersedia: K dalam struktur mineral primer, dengan lambat akan mengisi

pangkalan K tersedia, meliputi 90-98% total K dalam tanah.

Page 33: Data praktikum

h. Pertukaran kation

Reaksi pertukaran kation dirajai oleh kelakuan K dalam tanah. Terjadi keseimbangan yang

cepat antara K tertukar dengan K larutan tanah, K tertukar menjadi penyangga yang akan

mengisi K dalam larutan, perlu diingat kembali konsep faktor kuantitas dan intensitas  (BC

= ΔQ/Δ I ). K dalam larutan tanah dan K tertukar dipengaruhi oleh jenis dan jumlah kation

yang lain serta watak tapak pertukaran tanah. K+ dipegang lebih lemah dibandingkan kation

polivalen lainnya dengan deret kekuatan ikatan :  Al3+ > Ca2+ > Mg2+ > K+ = NH4+ > Na+ ,

(ingat Lyotropic series) . Kejenuhan basa dan pH tanah: jerapan K lebih tinggi jika

kejenuhan basa lebih tinggi, K+ segera menggantikan Ca2+ dan Mg2+ lebih cepat dibandingkan

Al3+ . Pengapuran meningkatkan jerapan K+, pengapuran meningkatkan kejenuhan basa

(Ca2+ dan Mg2+), peningkatan jerapan K+tersebut sejalan dengan adanya peningkatan KPK

yang disebabkan bertambahkanya muatan karena kenaikan pH (ingat variable charge).

Tipe tapak pertukaran K+ : (1).posisi p (planar): permukaan luar dari mineral liat,

nonspesifik, (2). posisi e (edge): tepian mineral liat, spesifik untuk K, (3). posisi I (inner):

permukaan dalam mineral liat, sangat spesifik bagi K. K dalam larutan tanah disangga oleh

K+ pada posisi “p” .

i. K tidak tertukar

K dalam posisi ini tidak segera tersedia, tetapi dalam keseimbangan dengan pangkalan K

labil:  “K tidak tertukar –> lambat –> K tertukar –> cepat –> K larutan tanah”.   

Penyematan dan pelepasan K: mineral primer mika membentuk mineral sekunder: liat 2:1,

yaitu Illit dan vermikulit. “Fixed” K: K+ terikat pada posisi antar kisi, merekatkan kedua

kisi, menghilangkan sifat kembang kerut liat tersebut. proses dapat balik dengan lambat :

pelepasan K: Mika –> illit –> vermikulit, penyematan K: K pupuk bergerak menuju tapak

antar kisi pada liat 2:1, Vermikulit à illit. Penyematan Ammonium (NH 4+) dapat juga terjadi

untuk mengisi posisi antar kisi tersbut

Faktor yang mempengaruhi penyematan dan pelepasan K: (1). jumlah dan jenis liat, (2).

kehadiran NH4+ dan (3). daur lengas tanah: basah/kering, beku/cair, pengaruhnya bervariasi

tergantung kadar K  tertukar dan jenis liat

j. Pelapukan mineral K

Unsur K terlepas dari pelapukan mika: Mika memiliki kisi silikat 2:1 (pada mineral primer),

akan membentuk mineral liat sekunder 2:1. K-feldspar: pelapukan lebih lambat dibanding

mika, pelepasan K akan terjadi setelah adanya pelarutan mika, pada tanah dengan tingkat

pelapukan sedang (moderately weathered soils) maka kandungan K akan tertinggi

Page 34: Data praktikum

sedangkan pada tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (highly weathered soils)

kadar K akan rendah.

k. Alih tempat K

Kehilangan K dari tanah setiap tahunnya, lebih besar dibanding N atau P. Erosi:

kehilangannya besar pada tanah yang kaya K. Pelindian (leaching): K lebih mudah terlindi

dibanding P, sedikit pelindian jika KPK tanah tinggi. pelindian dominan pada tanah dengan

KPK rendah, yaitu tanah pasiran masam yang memiliki KPK berasal dari muatan

terubahkan dari bahan organik, atau wilayah tersebut memiliki curah hujan yang tinggi, atau

menggunakan irigasi yang baik

l. K tersedia bagi tanaman

Faktor kuantitas dan intensitas, BC = ΔQ/Δ I . Faktor intensitas (I): kadar hara larutan tanah,

yaitu hara yang segera tersedia bagi tanaman. Faktor kuantitas (Q): K tertukar, K ini berada

dalam keseimbangan dengan K yang berada dalam larutan, artinya jika K dalam larutan

diserap oleh akar, maka akan segar diisi kembali. BC sebanding dengan KPK: uji tanah

mengukur K tertukar, sejumlah K yang tidak tertukar (nonexchangeable atau fixed) dapat

juga dilepaskan menjadi tersedia selama musim tanam

K pupuk: sangat larut dalam air, meningkatkan kadar K dalam larutan tanah. Tambakan K

tersebut segera akan mengisi tapak  pertukaran atau mengalami penyematan. Pada tanah

dengan BC yang tinggi padatan tanah akan mengambil K yang berada dalam larutan tanah,

menyebabkan kadar (intensitas) K dalam larutan mungkin lebih rendah dibandingkan tanah

yang memiliki KPK yang lebih rendah. Meskipun demikian kemampuannya untuk menjaga

stabilitas kadar K dalam larutan jelas lebih lama.

Penyerapan K oleh tanaman dipengaruhi adanya kation lain dalam tanah. Nisbah aktivitas

larutan (solution activity ratios) dapat digunakan untuk menaksir ketersediaan K: Aktivitas

K+ / (aktivitas Ca2+ + aktivitas Mg2+)½,  perlu mempertimbangkan Al3+ di tanah masam dan

Na+ di tanah garaman

m. Manajemen K pupuk

Aplikasi pupuk K: berikan pupuk dalam jumlah yang sedikit tetapi lebih sering (use smaller

but more frequent) pada tanah dengan daya penyematan yang tinggi atau untuk membatasi

konsumsi yang berlebihan dan hilang karena pelindian.

Page 35: Data praktikum

Penempatan pupuk: (1). aplikasi permukaan K memiliki keterbatasan mobilitas dalam

tanah, K yang diberikan di permukaan tanah akan bergerak menuju akar dengan sangat

lambat, (2). disebarkan dan dibenamkan, menempatkan K pada zona perakaran, penyematan

K akan maksimum pada tanah dengan tektsur halus dan memiliki daya semat yang  tinggi,

(3). lingkaran, kontak antara tanah dengan pupuk terbatas, dapat mengurangi penyematan

K, sangat bermanfaat pada tanah yang memiliki kadar K rendah tetapi punya daya semat

yang tinggi.

K yang berada dalam mineral jika mengalami pelapukan akan menyediakan sejumlah K

yang cukup berarti pada beberapa tanah, perlu diperhatikan dalam pemupukan. Pengapuran

dapat meningkatkan kejenuhan basa dan KPK tanah karena sumbangan muatan terubahkan,

dapat meningkatkan K tersedia dan mengurangi pelindian K.

3.6. Kalsiuma. Bentuk dan fungsi Ca dalam tanaman

1. Hara makro sekunder, dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, lebih sedikit

dibanding N dan K, serupa jumlahnya dengan P, S, dan Mg.

2. Kebanyakan Ca berada dalam dinding sel dan dinding membran: hara “apoplastik”,

fungsi utama berada di luar sitoplasma, perannya dalam metabolisme sedikit, menjadi

jembatan divalen yang mengubungkan antar molekul dan bersifat reversible.

3. Komponen struktural membran sel, menjaga stabilitas membran dan integritas sel:

mengatur selektivitas serapan ion, mengatur permeabilitas membran dan mencegah

kebocoran larutan dalam sel.

4. Komponen struktural dinding sel, berupa Ca-pektat di lamela tengah diantara

dinding sel yang saling berdekatan berfungsi menguatkan dinding sel dan  ketahanan

terhadap infeksi jamur, atau berada di antara dinding sel dengan membran plasma,

fungsi membran.

5. Diperlukan dalam pemanjangan dan pembelahan sel: membentuk dinding sel dan

membran sel yang baru, ini merupakan fungsi pengaturan sebagaimana fungsi

struktur, dan ikatan yang reversible di dalam membran dan dinding sel

memungkinkan sel untuk tumbuh dan berkembang.

 

b. Mobilitas Ca

Page 36: Data praktikum

Unsur Ca sangat tidak mobil dalam tanaman, alih tempat terbatas dari daun tua ke bagian

yang sedang tumbuh, dapat menyebabkan kekurangan Ca dalam buah, umbi dan titik

tumbuh akar dan batang, kekahatan Ca dapat saja terjadi pada tanah yang memiliki kadar

Ca yang tinggi, terutama jika laju transpirasinya rendah. Gejala kekahatan pertumbuhan

titik tumbuh batang dan akar terhambat, daun pada jagung lengket (sticky), daun yang baru

terbentuk tergulung, gangguan fisiologis pada organ penyimpanan: “blossom end rot” pada

tomat dan lombok, “bitter pit” pada apel atau terbakar pada tepi daun serta,  “cupping” pada

daun muda, ujung daun terbakar pada sawi. Kelebihan Ca tidak secara langsung meracuni

tanaman atau organisme lain, tanah yang memiliki Ca tinggi dapat menghambat serapan

hara yag lain, dapat juga menyebabkan kekahatan K atau Mg

c. Sumber Ca

1. Bahan organik: sebagian besar Ca dapat dengan cepat terlindi dari seresah tanaman,

sebagian yang lain mengalami mineralisasi pada awal tahapan perombakan bahan

tersebut.

2. Rabuk, kompos dan biosolid: sebagian besar Ca adalah larut dalam air, bentuk yang

segera tersedia, dapat dengan mudah hilang sebelum bahan tersebut diberikan di

lapangan.

3. Ca tertukar: Ca2+ merupakan kation yang dapat dipertukarkan, pertukaran kation

merupakan reaksi paling penting bagi unsur Ca dalam tanah.

4. Pelarutan mineral Ca: kehadiran mineral Ca di dalam tanah sangat bervariasi. Pada

tanah yang kasar kadar Ca lebih rendah dibanding tanah yang halus teksturnya, kadar

Ca juga rendah pada tanah yang sudah terlapuk lanjut, kadarnya cukup banyak pada

tanah humida, atau wilayah beriklim temperate, tanah permukaan mungkin memiliki

kadar Ca yang lebih rendah karena sifatnya asam. Kadar Ca rendah pada tanah

kapuran, terbentuk senyawa Ca karbonat, terbentuk Gipsum (CaSO4) pada tanah

kering.

5. Kapur dan pupuk: kebanyakan Ca yang diberikan ke dalam tanah adalah senyawa

untuk menetralisir kemasaman tanah, terutama CaCO3 dan CaMgCO3. Gipsum

digunakan untuk memasok Ca tanpa mempengaruhi pH tanah, Ca juga  terkandung

dalam pupuk  superfosfat

 

Page 37: Data praktikum

d. Serapan Ca oleh tanaman

Unsur Ca diserap dalam bentuk kation divalen Ca2+ . Penyerapan Ca2+ terbatas pada ujung

akar: wilayah perakaran muda yang memiliki dinding sel endodermis belum mengalami

suberisasi. Ca memasuki pembuluh xilem melalui jalur apoplastik. Pengangkutan

menembus membran terbatas, diperlukan pertumbuhan akar terus menerus agar

pengambulan Ca mencukupi kebutuhan. Pengangkutan melalui xilem, Ca terbawa oleh

aliran air transpirasi. mobilitas lewat floem terbatas

 

e. Gerakan Ca menuju akar

Kation Ca2+ dipasok oleh intersepsi akar dan aliran masa serta difusi, Ca2+ di kebanyakan

tanah bersifat sangat mobil , kadar dalam larutan tanah 30-300 ppm, kecukupan untuk

tanaman secara umum > 15 ppm, Ca akan mengumpul di sekitar akar, pada tanah yang

memiliki kadar Ca yang tinggi.

f. Transformasi Ca dalam tanah

1. Pertukaran kation: Adsorsi – desorpsi dari liat dan bahan organik

2. Presipitasi – pelarutan kapur dan mineral sekunder: karbonat dan Ca-fosfat

3. Pelapukan mineral primer

 

g. Pertukaran kation (cation exchange)

Reaksi pertukaran kation merajai kelakuan Ca dalam tanah. Terjadi keseimbangan yang

cepat antara Ca tertukar dengan Ca larutan. Ca tertukar menyangga Ca dalam larutan. Ikatan

Ca2+ lebih kuat dibanding kation lain dengan urutan: Al3+ > Ca2+ > Mg2+> K+ = NH4+ > Na+.

 

h. Ketersediaan Ca bagi tanaman

Kejenuhan basa dan pH tanah: kejenuhan Ca2+ yang tinggi diperlukan agar hara ini tersedia

bagi tanaman. Angkanya beragam sesuai tipe tapak pertukaran : kejenuhan pada liat 2:1

besarnya >70% , sedangkan pada bagan organik tanah dan liat 1:1 besarnya 40 to 50%.

Pada ph yang rendah Ca kurang tersedia: disebabkan kejenuhan Ca 2+ rendah, adanya

Al3+ dalam larutan menghambat penyerapan Ca2+ . Kation yang lain misalnya Mg2+, K+,

NH4+ jika kadarnya tinggi akan menghambat penyerapan Ca, sebaliknya anion Nitrat akan

meningkatkan serapan Ca.

 

Page 38: Data praktikum

i. Pengangkutan Ca

Kehilangan Ca dapat disebabkan erosi:  kehilangan akan lebih tinggi pada tanah yang

memiliki KPK lebih tinggi , atau pelindian:  seringkali Ca merajai sebagai kation di dalam

air pelindian dan bergerak menuju saluran drainase, menjadi faktor penting munculnya

pemasaman tanah.

j. Pengelolaan Ca

Umumnya dilakuakan pengapuran, jika pH suatu tanah pada level baik umumnya Ca

mencukup kebutuhan tanaman. Kekahatan: tanah pasiran dengan KPK rendah yang terlindi

hebat, tanaman yang memerlukan pH rendah untuk tumbuhnya, misalnya kentang untuk

mengatasi scab, tanaman yang memerlukan Ca tinggi . Gangguan fisilogis seringkali bukan

karena masalah kesuburan tanah, tetapi:  masalah distribusi atau alihtempat,  atau pasokan

untuk jaringan tidak mencukupi karena laju transpirasi rendah, untuk : buah atau daun

muda, sehingga menimbulkan gejala blossom end rotatau tipburn. Managemen air: dipacu

(aggravated) oleh kondisi selang-seling basah dan kering, diperlukan pengambilan Ca

secara sinambung, manajemen irigasi yang lebih baik. Penyemprotan Ca dalam beberapa

hal sangat membantu, harus mencapai jaringan yang terkena gejala, penyemprotan dapat

meningkatkan masa penyimpanan buah yang dipetik.

3.7. Magnesium

a. Bentuk dan fungsi Mg dalam tanaman

Merupakan hara makro sekunder, diperlukan tanaman dalam jumlah relatif banyak, lebih

sedikit dibanding N dan K, serupa jumlahnya dengan P, S dan Ca; umumnya Mg <Ca. 

Esensial untuk fotosintesis: menjadi atom pusat dari molekul klorofil, jumlahnya 15- 20%

total Mg dalam tanaman. Komponen struktural pada ribosom: sintesis protein. Aktivasi

ensim: transfer fosfat dan gugus karboksil, yaitu reaksi ATP dan transfer energi, fiksasi

CO2 oleh RuBP carboxylase.

b. Mobilitas Mg

Mg bersifat mobil dalam tanaman: dialih tempatkan dari daun tua ke titik tumbuh.  Gejala

kekahatan yang muncul: dimulai pada daun tua dibagian bawah tanaman; kenampakan

Page 39: Data praktikum

utama berupa klorosis kekuningan diantara tulang daun (interveinal chlorosis), sedangkan

tulang daun tetap hijau, hal ini mirip dengan gejala kekahatan Fe; pada beberapa tanaman

daun di bagian bawah membentuk a reddish-purple cast; jika lanjut daun mengalami

nekrosis.  Kelebihan Mg tidak secara langsung meracuni tanaman atau organisme,

kelebihan Mg dapat disimpan di vakuola, kadar Mg yang tinggi dalam tanah menghambat

penyerapan kation yang lainnya, misalnya menmgakibatkan kekahatan K  atau Ca.

c. Sumber Mg

1. Bahan organik: kebanyakan Mg segera terlindi dari seresah, sisanya mengalami

mineralisasi pada tahap awal perombakan residu tersebut.

2. Rabuk, kompos dan biosolid: kebanyakan Mg terlarut, segara tersedia. oleh karena

itu denganmudah hilang sebelum diberikan ke lahan

3. Mg tertukar: Mg2+ termasuk kation dapat ditkar, pertukaran kation termasuk reaski

terpenting bagi Mg dalam tanah

4. Pelarutan mineral Mg: yaitu mineral primer atau mineral liat  sekunder, tanah kasar

lebih sedikit kandungan Mg dibanding tanah halus, kadar Mg lebih tinggi pada lahan

kering semi arid atau arid.

5. Kapur dan Pupuk : Mg berada dalam senyawa yang dibgunakan untukmentralkan

pH tanah, terutaam dalam bentuk batu kapur dolomit (CaMgCO 3), bentuk yang lain

misalnya garam Epsom (MgSO4 ) dan K2SO4 .MgSO4 (Sul-Po-Mag)

d. Bentuk Mg yang diserap tanaman

Mg diserap tanaman dalambentuk kation divalen Mg2+

Gerakan Mg menuju akar:

Mg2+ dipasok oleh mass flow dan root interception dan difusi. Root interception Mg jauh

lebih rendah dibanding pada Ca. Kadar dalam larutan tanah 5-50 ppm, pada tanah iklim

sedang (temperate).

e. Transformasi Mg dalam tanah

1. Pertukaran kation: Adsorpsi – desorpsi dari liat dan bahan organik

2. Presipitasi – dissolusi kapur dan mineral sekunder: gamping dolomiti; mineral liat

kaya Mg ( liat 2:1 , vermiculite)

3. Pelapukan mineral tanah primer: Biotite, hornblende, olivene

Page 40: Data praktikum

f. Pertukaran kation

Reaksi pertukaran kation paling menentukan kelakuan Mg dalam tanah. Keseimbangan

cepat antara tertukar dengan terlarut: Mg tertukar menyangga Mg dalam larutan, ingat

faktor kuantitas dan intensitas. Mg2+ diikat lebih kuat dibanding kationmonovalen: Al3+ >

Ca2+ > Mg2+ > K+ = NH4+ > Na+

g. Ketersediaan Mg bagi tanaman

Kejenuhan Mg dan pH: diperlukan kejenuhan Mg2+ >10% agar mencukupi tanaman,

kejenuhan Mg2+ diperlukan lebih tinggi pada tanah liat 2:1 dibanding, tanah dengan KPK

yang bersumber dari bahan organik atau liat 1:1, Mg kurang tersedia pada pH rendah:

karena kejenuhan Mg2+ lebih rendah,  kehadiran Al3+ dalam larutan menghambat penyerapan

Mg2+ . Kation lain: Jika kadar Ca2+, K+, NH4+ tinggi akan mengganggu penyerapan Mg2+, Nitrat

dibandingkan Ammonium, akan meningkatkan serapan Mg2+

h. Pengangkutan Mg keluar lahan

1. Erosi: jika KPK lebih tinggi kehilangan akan lebih tinggi

2. Pelindian: Mg merupakan kation dalam air pelindian menuju saluran drainase,

menyumbang pemasaman tanah

i. Manajemen Pupuk Mg

Pengapuran: Mg dengan mudah dapat dikelola dengan pengapuran pada tanah berpH rendah

(dengan kapur dolomit), pengapuran dapat menyebabkan kekahatan Mg jika kadar Ca yang

tinggi (kalsit) digunakan pada tanah dengan kadar Mg yang rendah]. Kekahatan: tanah

masam, pasiran dengan KPK rendah dengan pelindian yang hebat, pemupukan K (KCl and

K2SO4) dapat meningkatakan kehilangan tersebut, tanah dengan kadar K yang tinggi

menyebabkan kekahatan Mg karena menghambat penyerapan Mg. Grass tetany: kekahatan

Mg pada ternak dapat terjadi meskipun kadar dalam tanaman belum kahat, lebih hemat

memberi garam Epsom pada pakan ternak dibanding pemupukan lewat tanah

3.8. Sulfura. Bentuk dan fungsi S dalam tubuh tanaman

Unsur S diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak, lebhi sedikit dibanding N

atau K, serupa dengan  P, Ca dan Mg.; sebagai penyusun asam amino essensial: sistin,

sistein dan metionin, 90% S dalam tanaman berupa protein, ikatan disulfida, susunan

Page 41: Data praktikum

protein dan aktivitas ensim, pembentukan klorofil; Ferredoksin: protein Fe-S, reaksi redoks:

fotosintesis, penyematan nitrogen, reduksi nitrat dan sulfat; koensim: koensim A dan

vitamin, biotin, thiamine, B1; senyawa volatil: tanaman keluarga Onion dan crucifer

(cabbage).

b. Mobilitas S

Unsur S relatif tidak mobil dalam tanaman: tidak segera dapat dialihtempatkan dari daun

yang tuda ke bagian titik tumbuh, gejala kekahatan muncul pertama pada bbagian atas yaitu

daun muda. Gejala kekahatan: kerdil (stunted), pertumbuhan spiral (spindly growth),

seringkali seluruh tanaman menjadi klorosis seragam (uniformly chlorotic), tanaman

Crucifer membentuk warna kemarahan dan ungu, kadar protein rendah, pengumpulan N

bukan protein. Jika kadar S berlebihan tidak secara langsung mempengaruhi tanaman

tersebut atau organisme yang memakannya, tetapi dapat menyebabkan masalah kegaraman

karena S merupakan anion yang dominan pada tanah salin, pelindian yang hebat dari 

SO4= meningkatkan kehilangan kation.

c. Sumber S

1. Perombakan bahan orgaik tanah, karena 90% S dalam tanah berada dalam bentuk

organik tersebut

2. Rabuk, kompos dan biosolid.

3. Sulfat yang terjerap pada tapak pertukaran anion dari oksida Al dan Fe.

4. Mineral S: pada musim kering sulfida dalam bentuk anaerob.

5. Pengendapan atmosfer dari inudstri, hujan asam.

6. Pupuk S.

d. Bentuk S yang diserap tanaman

1. Penyerapan langsung SO2 oleh daun: jumlahnya kecil, jika kadar S dalam udara

tinggi akan meracuni tanaman.

2. Penyerapan akar etrutama dalam bentuk: sulfat (SO4=).

e. Gerakan S menuju akar

Di dalam tanah sulfat bergerak karena aliran masa dan difusi. Terutama beregrak karena

aliran masa (mass flow), difusi memiliki arti penting pada tanah dengan kadar S yang

Page 42: Data praktikum

rendah. Kadar dalam larutan tanah 5-20 ppm. Aras yang mencukupi kebutuhan tanaman 3-5

ppm dalam tanah

f. Transformasi S dalam tanah

Proses alih rupa antara lain: Mineralisasi – immobilisasi, Adsorpsi – desorpsi, Presipitasi –

dissolusi, Oksidasi – reduksi, Volatilisasi.

g. Mineralization – imobilisasi

1. Daur S organik serupa dengan N organik.

2. Mineralisasi : melepas S menjadi anorganik, SO4 tersedia bagi tanaman

3. Imobilisasi (assimilation): kebalikan dari mineralisasi, pengambilan S anorganik

dari tanah oleh mikrobia untuk membentuk tubuhnya

4. Keseimbangan antara mineralisasi dan imobilisasi ditentukan oleh nisbah C:S dan

N:S, nisbah C:N:S bahan organik sekitar  120:10:1,4.

5. Dalam bahan organik terkandung 1% S. Dengan susunan bentuk ester dan eter

sulfat sebesar 30-60% melalui ikatan C-O-S, bentuk asam amino sekitar 10-20%,

residual S sebesar 30-40%.

6. Ensim sulfatase : mirip dengan ensim fosfatase, melepas sulfat dari ester sulfat.

7. Pengaruh nisbah C:S : (1)  C:S >400   S imobilisasi > S mineralisasi, (2) C:S = 200-

400 S imobilisasi = S mineralisasi, (3) C:S <200 S mineralisasi > S imobilisasi.

h. Adsorpsi – desorpsi

1. Senyawa SO4 2- yangterjerap merupakan bentuk S dari pangkalan labil bersifat segara

tersedia, mengisi kekosongan pada larutan tanah . Uji S tanah umumnya misalnya

ekstraksi dengan Ca-fosfat.mengukur S yang terlarut ditambah S yang terjerap.

Reaksi ini penting pada tanah yang telah terlapuk dengan lanjut. Kekuatan adsorpsi:

H2PO4 > SO4

= > NO3.

2. Faktor yang mempengaruhi kapasitas jerapan: koloid tanah, hidroksida Fe-Al,

kandungan liat tipe 1:1, kemasaman tanah, besarnya muatan tergantung pH,

kapasitas pertukaran anion.

3. Komposisi larutan tanah juga mempengaruhi: kadar SO4, keberadaan anion dan

kation lainnya, pendesakan oleh fosfat.

i. Presipitasi – dissolusi

Page 43: Data praktikum

1. Gypsum (CaSO4) di daerah kering, merupakan bentuk pengendapan bersama antara

S dengan Ca-karbonat  pada tanah kapuran

2. Sulfida pada kondisi anerob di tanah tergenang:  H2S mengendap sebagai FeS atau

ikatan logam-S yang lainnya, untuk melarutkan diperluakn proses oksidasi.

j. Okidasi – reduksi

1. Bentuk S : beragam dari bilangan oksidasi -2 sampai + 6, yaitu silfida, polisulfida, S

elemen, tiosulfat, sulfit dan sulfat.

2. Bentuk oksidasi terbanyak sebagai sulfat, sulfat yang diserap tanaman akan

direduksi menjadi S organik.

3. Proses Oksidasi dan reduksi S dibantu oleh mikrobia

4. Senyawa S anorganik tereduksi terdapat pada tanah tergenang kondisi anaerob :

(wetlands, swamps, tidal marshes), pada kondisi aerob segera mengalami oksidasi.

5. Oksidasi S: mikrobia ototrofik dan heterotrofik : Thiobacillus sp. meneybabkan

pemasaman. H2S + 2O2 à H2SO4 à  2H+ + SO4=

 dijumpai pada daerah tambang (acid

mine drainage) terjadi oksidasi senyawa sulfida speerti pyrite (FeS). Dapat juga

digunakan di lahan pertanian untuk mengoksidasi S elemen : 2S + 3O 2 + 2H2O à

2H2SO4 à  4H+ + 2SO4=

k. Pengangkutan S

1. Erosi: hilangan bersama bahan organik

2. Pelindian: sulfat sangat mobil dalam tanah, sulfat merupakan anion yang dominan

pada air lindian, pelindinan meningkat jika kandungan kation monovalen (K+, Na+)

besar

3. Hilang karena volatilisasi

l. Volatilisasi

Kehilangan karena menguap: hasil transformasi mikrobia dalam tanah, misalnya  dimethyl

sulfide (CH3SCH3), atau karbon disulfide, methyl mercaptan, dan dimethyl disulfida.

Pengaruhnya terhadap kesuburan tanah rendah. Dapat juga menguap melalui daun, hal ini

mempengaruhi mutu pakan.

m. Manajemen pupuk S

Page 44: Data praktikum

Pada tanah pasiran sering kekahatan S, karena rendahnya bahan organik tanah dan pelindian

yang hebat terhadap SO4, kebutuhan tanaman beragam: diperlukan oleh alfalfa, clovers,

canola, kubis dan sayuran serupa, hmt Brassicas, bawang merah danbawang putih, hmt

rerumputan atau legum, rumput menyerap S lebih cepat dibanding legum.  Sumber sulfur: S

unsur (tidak segera tersedia, harus dioksidasi lebih dahulu menjadi SO 4, oksidasi

berlangsung dalam reaksi masam). Sumber lain ikut dalam superfosfat. SSP (14% S), TSP

(1,5% S).

IV. Hara Mikro4.1. Pengertian hara mikro

Hara mikro dibutuhkan oleh semua tanaman, berupa kation logam (Cu, Fe, Mn, Zn)

dan anion  (B, Cl, Mo). Meskipun kebutuhan tanaman sedikit tetapi kekahatan unsur ini

dapat menghambat pertumbuhan atau mengurangi hasil sebagaimana hara makro (ingat

konsep faktor pembatas). Keracunan unsur mikro lebih sering terjadi karena kisaran antara

aras kecukupan dan keracunan pada tanaman sangatlah sempit. Kadar hara mikro dalam

tanaman umumnya dinyatakan dalam ppm (mg/kg).

Fungsi umum hara mikro adalah: merupakan komponen struktural dari ensim,  baik ensim

untuk pengaktifan atau pengaturan, sebagai pembawa elektron pada reaksi oksidasi reduksi,

sebagai komponen dinsing sel  atau pengisi larutan yang berkaitan dengan osmosis dan

keseimbangan muatan.

Daur hara mikro

1. Pangkalan hara mikro dan transformasi: sangat bervariasi, tetapi memiliki proses

dan reaksi yang serupa seperti dalam hara makro

2. Bahan organik, mikrobia dan mineralisasi-imobilisasi

3. Adsorsi dan desorpsi pada permukaan

4. Pelapukan mineral primer

5. Presipitasi dan disolusi mineral sekunder

6. Larutan tanah: khelasi dangat penting untuk kelarutan, pengangkutan dan

ketersediaan bagai tanaman.

4.2. Besia. Fe dalam tanaman

Page 45: Data praktikum

1. Unsur Fe diserap akar dalam bentuk Fe2+ atau Fe3+, Fe3+ umumnya direduksi menjadi

Fe2+ sebelum penyerapan, bentuk Fe3+ sangat penting untuk rerumputan.

2. Reaksi redoks: pembentukan klorofil, penyusun sitokrom, ferredoxin,

leghemoglobin, diperlukan untuk fotosintesis, respirasi dan penyematan N

3. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan tanaman, kekahatan muncul pertama kali

pada titik tumbuh yaitu daun yang muda.

4. Gejala kekahatan pertumbuhan berhenti, klorosis di antara tulang daun yaitu pada

daun muda, jika parah daun berwarna putih.

5. Keracunan terjadi pada tanah dengan drainase sangat buruk, kondisinya reduiksi

dan banyak Fe2+ terlarutmisalnya pada tanah sawah.

b. Fe dalam tanah

1. Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk mineral

primer, bagian dari liat, oksida dan hidroksida.

2. Larutan Tanah: kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH) 3

mengatur kadar Fe dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya

teroksidasi kadar Fe3+ > Fe2+. Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe3+mengalami reduksi

menjadi Fe2+.

3. Kelarutan Fe dan pH tanah, reaksi: Fe(OH)3 (soil) + 3H+ –> Fe3+ + 3H2O, kelarutan 

Fe3+ berkurang 1.000 kali jika pH meningkat 1 unit.

4. Kekahatan Fe sering dijumpai pada tanah dengan pH tinggi

c. Gerakan Fe menuju akar

1. Fe bergerak karena difusi dan aliran masa

2. Kadar dalam larutan tanah sangat rendah yaitu Fe3+ = 10-6 -10-24 M.

3. Total Fe dalam larutan terlalu rendah untuk mencukupi kebutuhan tanaman

4. Khelasi diperlukan, meningkatkan bentuk terlarut dan meningkatkan Fe yang

terbawa difusi dan aliran masa.

d. Khelasi

1. Ikatan kompleks antara ion logam dengan senyawa organik: senyawa organik

disintesis oleh akar, hasil perombakan bahan organik tanah atau sisa tanaman, hasil

metabolisme mikrobia, contoh khelat alami : asam sitrat dan asam oksalat, sedang

khelat buatan : DTPA.

Page 46: Data praktikum

2. Khelat (chelate = claw), ikatan ganda, ion logam sebagai pusat sedang senyawa

organik mengelilinginya.

3. Khelat larut air meningktkan ketersediaan hara mikro Fe, Zn, Mn, Cu, mencegah

dari reaksi presipitasi/adsorpsi.

4. Pada tanah gambut khelasi oleh gugus fungsional justri menurunkan ketersediaan

Cu.

e. Penyerapan khelat Fe

Khelat Fe menembus akar tanaman, Fe3+ dilepaskan pada permukaan akar, khelat bebas

kembali ke larutan tanah (bulk solution), khelat tersebut mengikat ion Fe3+ yang lainnya,

khelasi mengambil ion Fe bebas dari dalam larutan tanah,menyebabkan kadar Fe dalam

larutan menurun  yang akan diikuti pelepasan Fe yang semula terjerap atau melarutkan Fe

dari mineral.

f. Pengaruh Tanaman

Tanaman memiliki efisiensi penyerapan Fe yang berbeda-beda (faktor genotip). Adaptasi

akar dalam menyerap Fe: Pemasaman risosfer (melepas H+), melepas agen khelasi

(phytosiderophores), melepas agen pereduksi (phenolic compounds), meningkatkan laju

serapan Fe (reduksi Fe3+ lebih cepat), pengangkutan Fe dari akar ke daun lebih baik (sel

pemindah, asam sitrat dan asam organik lainnya)

g. Kekahatan Fe

1. Klorosis karena pengapuran (kedelai, blueberry), tanah kapuran dengan pH tinggi

(drainase dan aerasi buruk, kadar bikarbonat tingi).

2. Kadar bahan organik rendah (tanah kapuran tererosi), di wilayah ini agen khelasi 

sangat sedikit.

3. Interaksi hara: kekahatan muncul karena kelebihan Cu, Mn, Zn, Mo dan P.

Pemasaman karena penyerapan NH4-N di risosfer meningkatkan serapan Fe.

h. Pupuk Fe

1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat

2. Sumber anorganik: pemupukan ke tanah kurang efektif karena Fe menjadi tidak

tersedia, aplikasi pada tanaman (pupuk daun atau injeksi) lebih efektif.

Page 47: Data praktikum

3. Khelat Fe: cukup efektif jika diberikan ke tanah, tapi harganya mahal, umumnya

digunakan untuk komoditas yang bernilai tinggi.

4.3. Mangana. Mn dalam tanaman

1. Diserap akar dalam bentuk Mn2+, atau dalam komplek organik.

2. Berfungsi dalam fotosintesis: memecah air dan evolusi oksigen

3. Reaksi redoks (Mn2+ / Mn3+), dekarboksilasi, hidrolisis.

4. Mn dapat mengganti Mg2+ dalam reaksi fosforilasi

5. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan, kekahatan muncul paad titik tumbuh, daun

yang muda.

6. Gejala kekahatan muncul klorosis antara tulang daun yan muda serupa dengan

kekahatan Fe, daun kehilangan warna tidak merata (spot).

7. Keracunan Mn dapat terjadi pada tanah yang sangat masam. Becak hitam atau

coklat (endapan MnO2) dengan cincin pucat, terjadi pada daun tua, disebabkan

kekahatan Fe, Mg, Ca.

b. Mn dalam tanah

1. Berupa mineral primer, liat, oksida dan hidroksida

2. Larutan tanah: kelarutan Mn dikontrol oleh pH tanah, kondisi redoks dan adsorpsi

pada permukaan organik; sejumlah Mn2+ dijerap dalam bentuk tertukar pada

permukaan liat; kebanyakan yang berada dalam larutan tanah berbentuk khelat.

3. Kelarutan Mn: ditentukan oleh kelarutan MnO2, lebih terlarut pada pH yang  rendah

dan potensi redoks rendah, MnO2 + 4H+ + 2e –>  Mn2+ + 2H2O, kelarutan menurun

100 kali jika pH naik 1 unit, kenaikan pH meningkatkan kompleksasi pada

permukaan bahan organik padat

c. Gerakan Mn menuju akar

Mn bergerak karena difusi dan aliran massa. Khelasi meningkatkan Mn yang terlarut,

kebanyakan Mn menembus akar dalam bentuk khelat.

d. Kekahatan Mn

Page 48: Data praktikum

1. Terjadi pada tanah dengan pH tinggi, tanah kapuran atau tanah dengan daya sangga

rendah dikapur berlebihan.

2. Pada tanah dengan kadar bahan organik tinggi.

3. Interaksi hara: disebabkan kadar Cu, Fe, dan Zn tinggi.

4. Pemasaman karena pupuk NH4-N meningkatkan ketersediaan Mn.

5. 5.      Iklim kering menyebabkan kekahatan, kondisi oksidasi.

e. Keracunan Mn

Terjadi pada tanah yang sangat masam. Hal ini dapat diatasi dengan pengapuran, untuk

mengurangi Mn yang tersedia

f. Pupuk Mn

1. Rabuk dan pupuk organik, juga meningkatkan khelat.

2. Sumber anorganik Mn-sulfat: sumber yang umum, aplikasi tanah atau daun

seimbang efektivitasnya, diberikan dalam larikan lebih efektif dibanding disebar.

3. Mn khelat: untuk pupuk daun, aplikasi di tanah kurang efektif, karena Fe atau Ca

dapat mengganti Mn dalam khelat tersebut.

4.4. Tembaga

a. Cu dalam tanaman

1. Diserap dalam bentuk Cu2+ atau komplek organik.

2. Reaksi redoks: komponen plastosianin, sitokrom oksidase, ensim oksidase;

diperlukan dalam proses fotosintesis, respirasi, lignifikasi, pembentukan serbuksari,

dan penyerbukan.

3. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan, kekahatan muncul pada titik tumbuh, daun

yang muda.

4. Gejala kekahatan: warna hijau muda, biru muda, kekuningan pada daun muda; tepi

daun menggulung, ujung daun kering; daun layu; pembentukan dan buah biji buruk.

b. Cu dalam tanah

1. Meskipun kecil terdapat dalam mineral primer dan sekunder.

2. Larutan tanah: kelarutan Cu ditentukan oleh pH larutan dan proses jerapan pada

permukaan mineral dan organik; di dalam larutan terutama berbentuk khelat

Page 49: Data praktikum

3. Kelarutan Cu dan pH: Tanah-Cu (mineral) + 2H+ –> Cu2+. Cu terlarut berkurang 100

kali jika pH naik 1 unit. Reaksi hidrolisis Cu: pH <7, Cu 2+ dominan, jika pH >7,

CuOH+ dominan, pH meningkat diikuti peningkatan jerapan Cu.

4. Jerapan Cu: Cu dijerap pada liat, oksida Al, Fe, Mn dan permukaan organik;

(jerapan Cu ini paling kuat dibanding hara mikro lainnya);  jerapan dalam bentuk

dapat ditukar pada permukaan liat; bahan organik mengurangi atau meningkatkan

ketersediaan Cu: jika bahan organik tidak larut berarti mengurangi cu dari larutan,

tetapi khelatyang larut meningkatan ketersediaan Cu; sebagian besar Cu dapat

disekap (occluded) atau diendapkan dalam struktur liat atau mineral oksida

c. Gerakan Cu menuju akar

Cu bergerak karena difusi. Khelasi meningkatkan Cu terlarut, difusi khelat Cu sangat

penting untuk mencukupi kebutuhan tanaman.

d. Kekahatan Cu

1. Sering dijumpai pada tanah organik: apasitas jerapan tinggi.

2. Dapat terjadi pada tanah pasiran yang sudah terlindi dan memiliki pH tinggi.

3. Interaksi hara: kadar Fe, Zn, dan P memicu kekahatan Cu.

4. Tanaman peka: biji-bijian, wortel, bawang merah.

e. Pupuk Cu

1. Rabuk dan pupuk organik: menambah khelat, rabuk dari kandang babi dan biosolid

dapat mengandung Cu sangat tinggi

2. Sumber anorganik: khelat Cu diberikan sebagai pupuk daun atau lewat tanah

efektivitasnya sama.

3. Jika diberikan dalam larikan dapat menyebabkan kerusakan akar.

4.5. Senga. Zn dalam tanaman

1. Diserap dalam bentuk Zn2+

2. Aktivitas ensim: struktur, fungsi atau kofaktor regulator; metabolisme karbohidrat,

sintesis protein; zat pengatur tumbuh triptofan, IAA (auksin).

3. Tidak mudah dipindahkan antar jaringan tanaman, kekahatan muncul pada titik

tumbuh di daun muda,  pada beberapa tanaman gejala muncul pada daun tua

Page 50: Data praktikum

4. Gejala kekahatan: pertumbuhan kerdil ruas pendek, roset, kekurangan IAA; warna

hijau muda, kuning atau putih pada daun; daun kecil, sempit dan tebal; pengguguran

daun; buah tidak terbentuk.

b. Zn dalam tanah

1. Unsur Zn ditemukan sedikit pada mineral primer dan sekunder

2. Larutan tanah: kelarutan Zn dikendalikan oleh pH larutan dan jerapan oleh mineral

dan organik; yang larut kebanyakan dalam bentuk khelat.

3. Kelarutan Zn dan pH tanah: tanah-Zn + 2H+ –>  Zn2+; jika pH naik 1 unit

kelarutanberkurang 100 kali; pH meningkat diikuti peningkatan jerapan.

4. Jerapan Zn: Zn dijerap oleh liat, oksida Al-Fe, bahan organik dan karbonat;

kekuatan jerapan dapat ditukar sampai sangat sukar dilepas; kompleks organik dapat

meningkatan atau menurunkan ketersediaan Zn seperti pada Cu.

c. Gerakan Zn menuju akar

Zn bergerak terutama karena difusi, sebagian kecil oleh aliran masa. Khelasi sanngat

penting agar mencukupi kebutuhan tanaman, meningkatkan jumlah Zn terlarut,

meningkatkan Zn yang bergerak karena difusi dan aliran masa.

d. Kekahatan Zn

1. Tanah kapuran pH tinggi: wilayah tererosi, tanah permukaan hilang

2. Tanah dengan tekstur sangat halus, karena kapasitas jerapan yang tinggi

3. Kondisi dingin dan basah, kekahatan awal musim semi

4. Interaksi hara: kelebihan Cu, Fe, Mn, dan P memicu kekahatan Zn; pemasaman

karena pupuk ammonium meingkatakan ketersediaan Zn.

5. Tanaman peka: seperti jagung dan kedelai.

e. Pupuk Zn

1. Rabuk dan sumber organik: menambah khelat

2. Sumber anorganik: Zn-sulfat (efektif untuk di tanah); pupuk daun (tanaman buah,

pembibitan)

3. Khelat Zn untuk daun atau tanah, semuanya efektif.

4. Pemberian dalam larikan lebih efektif dibandingkan jika ditebar.

Page 51: Data praktikum

4.6. Kloridaa. Cl dalam tanaman

1. Diserap akar dalam bentuk Cl –, dapat juga diserap lewat daun

2. Fungsi: berkaitandengan air dalam tanaman; osmotik, turgor daun, counterion K+;

diperlukan dalam evolusi O2 (fotosintesis)

3. Sangat mudah bergerak dalam tanaman

4. Gejala kekahatan : layu; klorosis daun; pertumbuhan akar terhambat; nekrosis daun

dan berwarna seperti tembaga

5. Kelebihan Cl: penyerapan air berkurang; daun menebal dan menggulung; mutu

buah dan umbi berkurang.

b. Cl dalam tanah

1. Sangat mobil, mudah terlindi

2. Sumber utama garam KCl

3. Merupakan anion utama pada tanah salin, mengumpul di tanah kering, berada

sedikit diatas water table, darinase internal buruk, berasal dari air irgasi

4. Sedikit sekali Cl dalam bahan organik, atau terjerap di permukaan mineral

5. Di daerah pantai banyak masukan dari hembusan angin laut.

c. Ketersediaan Cl

1. Dalam tanah Cl sangat terlarut dan sangat tersedia bagi tanaman

2. Pada tanah yang sangat hebat pelindiannya mungkin muncul kekahatan

3. Interaksi hara: nitrat dan sulfat dapat menghambat penyerapan Cl

4. Tekanan penyakit: mampu menekan penyakit pada akar dan daun (gandum, padi,

kentang)

d. Gerakan Cl

Unsur Cl bergerak menuju akar bersama aliran masa.

e. Keracunan Cl

Keracunan Cl lebih sering dijumpai dibanding kekahatan Cl. Unsur ini menekan

pertumbuhan tanaman dengan mekanisme: sumbangan garam yangtinggi dalam tanah, bagi

Page 52: Data praktikum

tanaman yang peka terhadap Cl misalnya: kacang-kacangan, tanaman buah, kapas dan

tembakau.

f. Pupuk Cl

Unsur Cl terdapat dalam rabuk dan sumber organik lainnya meski sedikit. Sumber

anorganik: pupuk KCl, atau gram lainnya.

4.7. Borona. Boron dalam tanaman

1. Diserap akar dalam bentuk H3BO3

2. Berperanan dalam pengangkutan gula; permeabilitas membran; komponen dinding

sel; pembentukan serbuk sari;  pemanjangan, pembelahan dan diferensiasi sel.

3. Kebanyakan B diperlukaan pada jaringan ekstraseluler (dinding sel, lignifikasi,

diferensiasi xilem), serupa dengan watak apoplastik dari Ca.

4. Tidak mudah dipindahkan dalam jaringan tanaman; kekahatan muncul pada titik

tumbuh atau daun muda.

5. Gejala kekahatan: titik tumbu (tunas atau akar) berhenti; klorosis daun, daun

termuda mati; ruas memendek, terbentuk roset; batang dan tangkai menebal; bunga

berguguran, pembentukan buah dan biji buruk sekali.

6. Kenampakan karena kahat B: buah apel seperti gabus, patah batang pada seledri

7. Keracunan B disebabkan kisaran yang sempit antara kekahatan dan keracunan hara,

berupa klorosis atau nekrosis pada ujung dan tepi daun.

b. Boron dalam tanah

1. Mineral turmalin (borosilikat)

2. Bahan organik: sebagai penyusun BO, ikatan kompleks organik

3. Dijerap oleh liat, oksida Fe dan Al

4. Larutan tanah: pada pH 5-9 dirajai oleh H3BO3 ; kelarutan B dikendalikan oleh

reaksi adsorpsi-desorpsi permukaan mineral; ketersediaan  B dipengaruhi oleh pH

larutan, jumlah liat, oksida dan bahan organik tanah.

c. Ketersediaan B

Page 53: Data praktikum

1. Unsur B sangat tersedia pada tanah masam, sebaliknya terjerap kuat oleh oksida dan

liat pada pH > 6.5.

2. Dapat terlindi pada tanah pasiran yang masam

3. Bahan organik merupakan cadangan utama

4. Tanah yang kering: kebanyakan B diserap secara pasif bersama air, seperti Ca,

didistribusikan ke tanaman melalui sistem transpirasi, pengambilan dan

pengangkutan yang terus menerus dalam xilem sangat penting

5. Interaksi hara: kadar Ca dan K yang tingi dapat memicu kekahatan B

d. Gerakan B menuju akar

Unsur B bergerak karena aliran masa (kebanyakan) dan difusi (sangat penting jika B dalam

tanah rendah)

e. Keracunan B

Dapat dijumpai pada tanah yang sangat kering, air irigasi yang kadar B nya tinggi; atau

pada tanah masam. Jika Ca rendah menyebabkan kepekaan terhadap B

f. Pupuk B

Rabuk dan bahan organik. Senyawa anorganik: Borax (natrium borat, solubor (pupuk daun

dan tanah).

4.8. Molibdenuma. Mo dalam tanaman

1. Diserap akar dalam bentuk MoO4 2- (molybdate)

2. Dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit dibandingkanhara mikro yang lainnya

3. Reaksi redoks : Mo (VI) / Mo (IV)

4. Nitrat reduktase : sintesis N oleh tanaman

5. Nitrogenase: ensim bakteri untuk penyematan N

6. Berperan dalam penyerapan dan pengangkutan Fe

7. Agak mudah dipindahkan dalam jaringan tanaman

8. Gejala kekahatan: seperti gejala kekahatan N

9. Keracunan Mo jarang dijumpai. Jika kadarnya sangat tinggi dalam HMT dapat

meracuni ternak.

Page 54: Data praktikum

b. Mo dalam tanah

1. Mineral primer mengandung molybdate

2. Bahan organik

3. Terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, mirip jerapan P (ikatanlebih ringan,

karena dapat didesakoleh fosfat)

4. Mo larutan tanah: kadarnya sangat rendah

5. pH larutan tanah: H2MoO4 0, HMoO4 

-, MoO4 2-. MoO4 

2- lebih banyak jika pH

meningkat.

c. Ketersediaan Mo

1. Jika pH meningkat Mo menjadi tersedia, 1 unit kenaikan pH meningkatkan

ketersediaan Mo 10 kali (berbeda dengan hara mikro lainnya).

2. Kekahatan dijumpai pada tanah masam, atau tanah dengan oksida Fe-Al

3. Interaksi hara: sulfat tinggi menghambat serapan Mo, nitrat meningkatkan serapan

Mo, ammonium menurunkan serapan Mo.

d. Gerakan Mo menuju akar

Mo bergerak ke akar karena aliran masa (kebanyakan) dan difusi (penting jika Mo tanah

rendah)

e. Keracunan Mo

1. Molybdenosis pada ternak karena tidak seimbang antara Mo dan  Cu dalam pakan.

2. Pada tanah netral atau alkalin

3. Ketersediaan Cu rendah, misalnya paad gambut

f. Pupuk Mo

1. Rabuk dan organik lainnya: meski kadarnya kecil tapi sudah mencukupi, karena

memang kebutuhan Mo juga kecil

2. Sumber anorganik : Ammonium dan natrium molybdates, diberikan sebagai pupuk

daun atau pupuk tanah, atau diberikan untuk benih (seed treatmnents)

3. Pengapuran dapat mengatasi kekahatan Mo

Page 55: Data praktikum

V. Evaluasi Kesuburan Tanah 5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanaman

5.2. Uji kimia tanah

5.3. Uji mikrobia

5.4. Percobaan pemupukan

5.5. Missing element

5.6.  Analisis jaringan

5.7. Uji cepat tanaman

5.8. Gejala visual tanaman

5.9.  Rekomendasi pemupukan

5.1. Pengambilan contoh tanah dan tanamanDalam analisis tanah pengambilan contoh tanah merupakan hal penting. Contoh

tanah yang diambil harus mewakili suatu areal tertentu. Contoh tanah yang dianalisis untuk

suatu jenis hara hanya memerlukan beberapa gram saja. Oleh karena itu kesalahan dalam

pengambilan contoh tanah tanah menyebabkan kesalahan dalam evaluasi dan interpretasi.

Page 56: Data praktikum

Pengambilan contoh tanah untuk mengetahui status hara (kesuburan tanah) digunakan

sistem composite sample yaitu percampuran contoh (susunan contoh) yang diambil dari

areal yang dikehendaki. Contoh itu mewakili areal yang relatif agak seragam dalam hal

jenis tanah, tofografi, kemiringan dan bahan induk.

Pengambilan contoh tanah umumnya dengan berjalan sambil mengambil contoh tanah

dengan mengiris tipis sedalam sekitar 25 cm (daerah perakaran). Suatu areal diambil

sebanyak 10 – sampai 20 contoh (umumnya diambil dengan jumlah ganjil) misalnya

sebanyak 15 lokasi. Tanah dari 15 lokasi  tersebut dikumpulkan dan dicampur sehomogen

mungkin. Dari campuran tanah yang dianggap homogen tersebut diambil contoh untuk

dianalisis. Sebagian tanah yang berasal dari campuran inilah yang digunakan untuk analisis.

Seperti halnya dalam analisis tanah, pengambilan contoh dalam analisis jaringan memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap hasilnya. Penyebaran hara dalam tanaman tidak

merata artinya suatu unsur kadar pada daun tidak sama dengan kadar unsur tersebut dalam

tangkai daun atau pada kayu. Seperti pengambilan contoh tanah pengambilan contoh

tanaman untuk dianalisis perlu mendapat perhatian. Dari berbagai pustaka disebutkan setiap

hara tanaman memerlukan suatu organ tanaman tertentu yang cocok untuk contoh

Kesukaran timbul bila banyak macam hara dan banyak macam tanaman yang perlu

dianalisis. Misalnya analisis yang diperlukan N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn untuk tanaman

kopi, jagung, kedelai, karet dan seterusnya sehingga memerlukan kecermatan dan kesabaran

dalam mengambil contoh tanaman.

Pada dasarnya pemilihan contoh tanaman adalah:

1. Pertumbuhan organ tersebut telah cukup,

2. Tidak terlalu muda (pucuk) atau terlalu  tua,

3. Sebaiknya sebelum fase generatif; mendekati tanaman berbunga.

5.2. Uji Kimia TanahKeunggulan uji kimia tanah dibanding analisis jaringan adalah kemampuannya

untuk menentukan status hara dalam tanah sebelum tanaman diusahakan di lapangan.

Langkah yang dikerjakan dalam uji tanah:

1. Pengambilan cuplikan yang mewakili (representative) di lapangan

2. Penetapan kadar hara tersedia dalam cuplikan di laboratorium

3. Penafsiran hasil uji kimia tanah (soil test calibration).

4. Perhitungan kebutuhan hara oleh tanaman (nutrient recommendation).

Page 57: Data praktikum

Dari hasil analisis tanah dapat diharkatkan:

1. Sangat rendah (SR) . Pada keadaan ini umumnya tanaman menderita gejala

kekurangan hara atau disebut penyakit defisiensi. Masing-masing hara menampakkan

geajala tertentu. Produksi tanaman sangat rendah dan apabila dipupuk akan

menun¬jukkan respon yang baik, artinya produksi secara nyata meningkat sedangkan

gejala defisiensi menghilang.

2. Rendah (R). Pada harkat ini sebagian tanaman tidak menampakkan gejala defisiensi

tetapi produksi rendah. Bila dipupuk dengan pupuk yang mengandung hara ini

produksi naik cukup memadai atau menunjukkan respon terhadap pemupukan.

3. Cukup, sedang, medium (S). Berarti kedaan hara dalam tanah cukup produksi juga

cukup memadai, bila dipupuk dengan pupuk yang mengandung hara ini sedikit

menunjukkan kenaikan produksi atau masih respon terhadap pemupukan.

4. Tinggi (T). Tanaman umumnya menampakkan gejala pertumbuhan normal.

Produksi dalam keadaan optimal. Pemupukan tidak nyata menunjukkan kenaikan

produksi atau tanaman realtif sedikit respon pemupukan.

5. Sangat Tinggi (ST). Apabila kadarnya melampaui ambang batas toleransi, sebagian

tanaman akan menunjukkan gejala penyimpangan pertumbuhan. Penyimpangan

petumbuhan ini umumnya berupa gejala keracunan, yang gejalanya berbeda satu

tanaman dengan lainnya. Tetapi produksi menunjukkan penurunan secara nyata.

Kegunaan analisis (baik tanah maupun analisis tanaman) adalah untuk:

1. Untuk mengetahui status hara dalam tanah maupun tanaman.

2. Kelestarian kesuburan tanah dan produktivitas lahan. Dengan mengetahui kadar

hara dalam tanah dan produksi tanaman dapat dihitung kehilangan hara dari tanah

karena panen

3. Menduga produksi tanaman serta menghitung keuntungan apabila dilakukan

pemupukan.

4. Untuk mengetahui hara yang menjadi faktor pembatas yang harus diperbaiki dan

membuat rekomendasi pemupukan.

5. Penilaian lahan secara ekonomis misalnya harga tanah, pajak dan sebagainya.

Tabel.  Kriteria Penilaian Beberapa Sifat Tanah

Page 58: Data praktikum

Sifat tanah SR R S T ST

C (%) < 1,0 1,0-2,0 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00

N (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75

C/N < 5 5,0-10,0 11,0-15,0 16,0-25,0 > 25

P2O5 HCl 25% (mg% < 10 10-20 21-40 41-60 > 60

P2O5 Bray I (ppm) < 10 10-15 16-25 26-35 > 35

P2O5 Olsen (ppm) < 10 10-25 26-45 46-60 > 60

K2O HCl 25% (me%) < 10 10-20 21-40 41-60 > 60

Kation tertukar

K (me/100 g) < 0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 > 1,0

Na (me/100 g) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 > 1,0

Mg (me/100 g) < 0,1 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8,0

Ca (me/100 g) < 2,0 2,0-5,0 6,0-10 11-20 > 20

KPK (me/100 g) < 5 5-16 17-24 25-40 > 40

kejenuhan basa (%) < 20 20-35 36-50 51-70 > 70

Kejenuhan Al (%) < 10 10-20 21-30 31-60 > 60

DHL (mS/cm) < 1,0 1,0-2,0 2,0-3,0 3,0-4,0 > 4,0

sangat masam masam

agak masam netral

agak alkalin alkalin

pH H2O < 4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,5-7,5 7,5-8,5 >8,5About these ads

5.3. Uji mikrobiaPrinsip dasar kegiatan ini adalah:

1. Unsur yang dibutuhkan oleh mikrobia hampir sama dengan tanaman,

2. Pertumbuhan mikrobia sangat cepat (jam-hari),

3. Hemat ruangan.

Azotobacter

Page 59: Data praktikum

Mikrobia ini peka terhadap  unsur: P, K dan Ca.

Cara percobaan :

1. Siapkan media tanah yang diberi pati 5%.

2. Perlakuan: kontrol, + K, + P, + PK.

3. Masukkan media ke dalam petridish, atur lengas.

4. Inokulasi dengan Azotobacter, inkubasikan selama 72 jam pada t 30 oC.

5. Amati pertumbuhan koloni.

6. Tingkat kekahatan unsur berkorelasi negatif dengan pertumbuhan koloni.

Aspergillus niger

Mikrobia ini peka terhadap unsur: P dan K

Cara percobaan:

1. Larutan hara (minus K) 30 mL + 2,5 g tanah

2. Masukkan dalam labu + inokulan (spora)

3. Inkubasi selama 4 hari, t 30 oC.

4. Timbang bobot miselia.

5.4. Percobaan pemupukanPercobaan pemupukan dapat dikerjakan di rumah kaca atau di lapangan. Perlakuan dapat

berupa jenis pupuk, takaran pupuk atau cara pemberian pupuk. Dengan kegiatan ini dapat

diketahui :

1. respon tanaman terhadap pemberian pupuk, dan

2. dosis optimum pemupukan.

Yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah:

1. tanah yang digunakan,

2. perlakuan,

3. tanaman indikator,

4. pemeliharaan,

5. panen.

Tanaman indikator yang digunakan dapat dipilih berdasarkan tujuan kegiatan. Jika kegiatan

diarahkan untuk kesuburan tanah maka dipilih tanaman yang peka terhadap kekahatan hara.

Page 60: Data praktikum

Namun jika untuk tujuan keharaan (neraca hara misalnya), maka dipilih tanaman yang

penting bagi masyarakat.

5.5. Missing ElementDikenal juga sebagai omission trial atau minus one test artinya suatu set percobaan dengan

memberikan semua hara yang diperlukan tanaman (basal elements)  kecuali unsur yang

diamati. Prinsip dasar yang digunakan dalam metode ini adalah hukum Liebig.

Informasi yang didapat dengan cara ini adalah:

1. mengetahui unsur yang kahat, dan

2. mengetahui urutan keparahan kekahatan hara tersebut.

Ini merupakan langkah pertama yang biasanya dikerjakan setelah kegiatan survei

kesesuaian lahan dilakukan.

5.6. Analisis jaringan “Leaf analysis: determines the elemental content of a particular plant part, a laboratory

analysis of collected plant tissue.”

Pengukuran kuantitatif status hara suatu tanaman, dilakukan dengan pengambilan cuplikan

tanaman di lapangan diteruskan dengan analisis di lab. Diperlukan untuk konfirmasi suatu

diagnosis visual, dapat mendeteksi kekahatan pada tahap dini sehingga perbaikan masih

dimungkinkan untuk mencegah kehilangan hasil panen. Digunakan bersama dengan uji

tanah, karena kekahatan tanaman tidak selalu berhubungan dengan kekurangan hara dalam

tanah. Rekomendasi pemupukan seingkali lebih baik dibuat berdasarkan hasil uji tanah

dibandingkan analisis jaringan.

Langkah yang dikerjakan dalam analisis jaringan meliputi:

1. pengambilan cuplikan di lapangan,

2. penyiapan cuplikan (dikeringkan, dihaluskan),

3. destruksi basah atau kering

4. penetapan kadar hara (gravimetri, titrasi, spektrofotometri, flamfotometri)

5. penafsiran hasil dan pembuatan rekomendasi.

Pengambilan cuplikan yang tepat merupakan langkah yang penting. Aras kecukupan hara

ditentukan berdasarkan letak bagian tanaman yang diambil sebagai cuplikan pada fase

pertumbuhan tertentu, misalnya: (1). daun yang baru saja dewasa  dan membuka secara

Page 61: Data praktikum

sempurna (recently matured, fully expanded leaves), atau (2). tangkai daun dari daun yang

baru saja dewasa (petioles from recently matured leaves).

Pengambilan pada fase kebutuhan tanaman sampai dipuncaknya (high nutrient demand),

misalnya: (1).  titik puncak fase vegetatif (peak vegetative growth stage), atau (2). fase

generatif (reproductive stage). Penafsiran hasil untuk setiap tanaman bersifat spesifik.

Manfaat analisis jaringan tanaman adalah:

1. untuk mengetahui kadar hara dalam jaringan tanaman, atau

2. untuk menghitung serapan hara oleh tanaman.

Tingkat kecukupan hara dalam jaringan tanaman dapat dibedakan:

1. Aras kritis (critical value, critical level, critical nutrient concentration)

menunjukkan kadar hara dalam jaringan, dibawah kadar ini menampakkan gejala

kekahatannya, umumnya pada aras ini hasil panen turun 10%. Jika diberi tambahan

hara, tanaman bersifat sangat responsif, dan gejala kekahatan akan menghilang.

2. Kisaran kritis hara (critical nutrient range): sukar untuk ditentukan secara tepat,

merupakan peralihan antara wilayah kekahatan dengan kecukupan hara, hasil

tanaman berkurang antar 0% sampai 10%. Pemberian hara akan meningkatkan

pertumbuhan dan hasil tanaman.

3. Kisaran kecukupan (sufficiency range, sufficiency level, sufficiency zone): kadar

hara cukup untuk mendukung pertumbuhan dan hasil panen yang maksimum,

pemberian hara dapat meningkatkan kadar hara dalam jaringan tetapi tidak

mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

4. Aras berlebihan atau meracun (excessive or toxic level): kadar hara terlalu tinggi

mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan hasil tanaman, jika kadarnya sangat

tinggi dapat meracuni tanaman atau mengakibatkan gangguan ketimpangan hara

(imbalance of nutrients).

5.7. Uji cepat tanaman

Page 62: Data praktikum

“Tissue testing: an analysis of extracted cellular, sap normally carried out inthe field,

makes use of special papers,reagents and testing kits.”

Deteksi dikerjakan di lahan petani secara cepat dan praktis (rapid, quick-test), sehingga

hasilnya dapat diketahui segera. Sedangakan hasil uji lab. baru diketahui  setelah beberapa

minggu. Untuk mengetahui respon dari perlakuan sedang yang diberikan bagi tanaman,

misalnya diberi pupuk dengan cara disebar atau melalui air irigasi.

Chlorophyll meter: digunakan untuk mengukur tingkat kehijauan daun. Ini cara praktis

untuk mengukur kadar N daun secara tidak langsung. Warna hijau ditentukan oleh kadar N

sebagai penyusun klorofil. IRRI yang  berpusat telah mengembangkan penggunaan LCC

(leaf colour chart = bagan warna daun) untuk menentukan kebutuhan pupuk N pada

tanaman padi. Analisis getah tanaman: dengan pewarnaan, untuk mengukur kadar nitrat

atau K+.

Prinsip kerja: bahan + reagen –> reaksi warna

1. Jaringan tertentu dipotong-potong, ditambah akuades

2. Getah jaringan diperas

3. Penafsiran hasil: RENDAH – CUKUP – TINGGI

4. Sebaiknya dikerjakan 6 kali per musim, jika 1 kali ambil pada saat berbunga.

Jumlah ulangan 10-15 per lahan.

Bandingkan hasil antara lahan yang cukup hara dengan yang kahat.

5.8. Gejala visual tanamanPengambilan hara yang kurang mencukupi dalam tubuh tanaman mengakibatkan

munculnya gejala kekahatan.

Prinsip yang harus dipegang dalam mengenali gejala visual adalah:

1. fungsi dasar unsur hara,

2. dinamika atau mobilitas hara dalam tubuh tanman, dan

3. interaksi hara.

Gejala visual berkaitan dengan fungsi hara, misalnya hara N diperlukan dalam

pembentukan klorofil, maka kekurangan N akan diikuti klorosis daun. Letak munculnya

gejala berkaitan dengan sifat mobilitas hara dalam jaringan tanaman, misalnya unsur N

dengan cepat dapat dipindahkan dari daun yang tua ke titik tumbuh, sehigga dedaunan yang

baru berwarna hijau, sedangkan klorosis muncul pertama kali pada daun yang lebih rendah

pada pohon atau yang lebih tua.

Page 63: Data praktikum

Unsur Ca berfungsi sebagai penyusun lamella tengah (Ca-pektat), jika tanaman kekahatan

Ca maka pertumbuhan terhambat, kerusakan terlihat pada titik tumbuh karena pembelahan

sel terhenti.

KUNCI DETERMINASI KEKAHATAN HARA

Gejala Unsur

A. Gejala utama berupa klorosis daun  

A1. Seluruh lembar daun  

A1a. pada bagian bawah tanaman, diikuti nekrosis dan lepas NITROGEN

A1b. seluruh bagian tanaman SULFUR

   

A2. Daging diantara tulang daun  

A2a. daun tua atau dewasa baru MAGNESIUM

A2b. daun muda  

A2b1. tak ada gejala lain BESI

A2b2. terdapat bintik kelabu pada daerah klorosis MANGAN

A2b3. ujung daun tetap hijau, klorosis pada urat daun, tepi daun mengalami nekrosis dengan cepat TEMBAGA

A2b4. daun muda sangat kecil, tanpa lembar daun,  ruas menjadi pendek (roset) SENG

   

B. Klorosis bukan gejala utama  

B1. Gejala muncul pada bagian bawah tanaman  

B1a. Seluruh daun hijau tua, diikuti pertumbuhan kerdil, muncul pigmen ungu terutama pada daun tua FOSFOR

B1b. Tepi daun tua mengalami klorosis dan terbakar, atau bintik klorosis berkembang cepat menjadi nekrosis tersebar pada lembar daun tua KALIUM

   

B2. Gejala muncul pada bagian atas tanaman  

B2a. Tunas muda mati, pertumbuhan berkembang menyamping; daun BORON

Page 64: Data praktikum

muda menjadi tebaI, berkulit dan klorosis; terjadi retakan dan lubang pada cabang baru atau tangkai bunga

B2b. Tepi daun tidak terbentuk, daun memanjang; titik tumbuh terhenti; jaringan muda berwarna hijau terang atau mengalami klorosis yang tidak merata; pertumbuhan akar buruk pendek dan tebal KALSIUM

Beberapa faktor penting yang juga perlu diperhatikan adalah: intensitas gejala (kekahatan

ringan tidak menampakkan gejala), umur tanaman, varitas tanaman, musim, kekahatan

beberapa hara secara bersamaan, keracunan, populasi dan kesehatan tanaman.

Kelemahan gejala kekahatan hara:

1. Gejala visual yang serupa dapat disebabkan oleh lebih dari satu hara, misalnya

gejala klorosis antar tulang daun pada daun yang muda merupakan watak kekahatan

Fe atau Mn.

2. Gejala visual serupa dapat pula disebabkan serangga, penyakit, herbisida atau faktor

lainnya, misalnya gejala kekahatan B dan bekas dimakan belalang pada legum

hampir sama kenampakannya.

3. Kekahatan hara pada tanaman mungkin bukan karena kekurangan hara dalam tanah,

tetapi dapat disebabkan keadaan pH, kelebihan hara lain, atau adanya faktor

penghambat pertumbuhan akar.

4. Pada saat menunjukkan gejala visual kekahatan hara, kehilangan hasil secara murad

telah terjadi.

5.9. Rekomendasi pemupukanLangkah yang ditempuh dalam menetapkan rekomendasi pemupukan adalah:

1. Menghitung kebutuhan hara untuk suatu target hasil panen,

2. Menghitung penyediaan hara dari tanah,

3. Menghitung efisiensi serapan hara,

4. Menghitung takaran hara,

5. Menentukan waktu aplikasi.

Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, umumnya dibuat paket pemupukan

berdasarkan tingkat kesuburan tanah.  Contoh pembuatan rekomendasi untuk tanah sawah:

Tabel . Tingkat kesuburan tanah sawah

Page 65: Data praktikum

Karakter Kategori kesuburan

tidak subur subur sangat subur

Tekstur

pasiran, pasir geluhan, geluh pasiran

geluh liatan, liat geluh liatan,  liat

C-organik (% C) < 1 1-1,5 1,5 – 2,5

KPK (cmolc kg-1) < 10 10-20 > 20

P-Olsen (ppm) <5 5-10 > 10

K tertukar (cmolc kg-1) <0.15 0.15–0.30 > 0,3

pH setelah tergenang <6.5 6,5-7 6,5 – 7

Kekahatan/keracunan hara mikro ya nihil nihil

Hasil (GY0) (t ha-1) 2.5 4,0 5,0

INS (sediaan asli N) (kg N ha-

1) 30 50 70

IPS (sediaan asli P) (kg P ha-1) 10 15 20

IKS (sediaan asli K) (kg K ha-

1) 50 75 100

Tabel . Rekomendasi pemupukan untuk sawah dengan irigasi

Tanah / Target hasil

Musim Kemarau (Ymax ~ 10 t ha-1)

Musim Hujan (Ymax ~ 7.5 t ha-1)

N P K N P K

(t ha-1) (kg ha-1) (kg ha-1)

Tanah tidak subur

4 60–80 8–12 20–40 60–80 8–12 20–25

5 90–110 15–25 50–60 90–120 15–25 50–60

6 120–150 25–40 80–100 - - -

7 150–200 35–60 110–140 - - -

Tanah subur

4 0 8–12 10–40 0 8–12 10–40

Page 66: Data praktikum

5 50–70 10–15 15–50 50–70 10–15 15–50

6 90–110 12–18 30–60 100–120 12–18 40–60

7 120–150 15–30 60–80 - - -

8 160–200 35–50 110–130 - - -

Tanah sangat subur

4 0 8–12 10–40 0 8–12 10–40

5 0 10–15 15–50 20–30 10–15 15–50

6 50–60 12–18 20–60 60–80 12–18 20–60

7 80–100 14–21 20–70 - - -

8 120–150 15–25 60–80 - - -Sumber: Dobermann & Fairhurst (2000).

VI. Pupuk 6.1. Pengertian pupuk

6.2. Kategori pupuk

6.3. Pupuk buatan

6.4. Pupuk organik

6.5. Pupuk hijau

6.6.  Pupuk hayati

6.7. Pembuatan kompos

6.8. Peraturan pupuk

Page 67: Data praktikum

6.1. Pengertian PupukPupuk adalah suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara  bagi tanaman.

Bahan tersebut berupa mineral atau organik, dihasilkan oleh kegiatan alam atau diolah oleh

manusia di pabrik. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman adalah: C, H, O (ketersediaan

di alam masih melimpah), N, P, K, Ca, Mg, S (hara makro, kadar dalam tanaman > 100

ppm), Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, Mo, B (hara mikro, kadar dalam tanaman < 100 ppm).  

Pupuk diberikan agar tanaman (tumbuhan yang diusahakan manusia) dapat  tumbuh,

berkembang dan menghasilkan sesuai yang diharapkan. Manusia selalu menuntut lebih

terhadap kemampuan tanaman. Rekayasa genetik dan lingkungan di lakukan agar tanaman

memberikan kinerja yang lebih baik.  Dengan bantuan hasil tanaman tersebut, unsur yang

semula berada dalam tanah masuk ke dalam tubuh manusia.

Tumbuhan tidak memerlukan pupuk. Karena tumbuhan mampu mengambil unsur hara yang

tersedia di lingkungan hidupnya. Pada lahan yang tidak terusik manusia, kesuburan tanah

selalu meningkat, karena terjadi pelonggokan materi dan energi di tempat tersebut. Mineral

dari jeluk yang lebih dalam diangkut ke daun dan digugurkan ke permukaan tanah. Gas-gas

di udara terutama CO2 dijerat dan digunakan sebagai penyusun tubuh tumbuhan. 

Tumbuhan selalu hidup bersama dengan lelembut (mikrobia). Serasah tumbuhan menjadi

makanan dan sumber energi bagi lelembut tersebut untuk terus bekerja. Hasil perombakan

digunakan kembali oleh tumbuhan. Interaksi mineral dan bahan organik yang terus menerus

itu, akan diikuti ketersedian hara dan lengas yang makin besar,  sehingga memberikan

lingkungan yang terbaik bagi tumbuhan.

Semakin berkurang usikan manusia terhadap suatu lahan, maka lahan tersebut akan

bertambah subur. Sebaliknya, semakin banyak usikan semakin banyak pula masukan yang

harus diberikan agar lahan tetap subur. Semakin intensif lahan dikelola, semakin banyak

pula pupuk yang diperlukan.

Bahan pupuk selain mengandung  hara tanaman umumnya mengandung bahan lain, yaitu:

1. Zat pembawa atau karier (carrier). Double superfosfat (DS): zat pembawanya

adalah CaSO4 dan hara tanamannya fosfor (P).

2. Senyawa-senyawa lain berupa kotoran (impurities) atau campuran bahan lain dalam

jumlah relatif sedikit. Misalnya ZA (zwavelzuure amoniak) sering mengandung

kotoran sekitar 3% berupa khlor, asam bebas (H2SO4) dan sebagainya.

Page 68: Data praktikum

3. Bahan mantel (coated) ialah bahan yang melapisi pupuk dengan maksud agar pupuk

mempunyai nilai lebih baik misalnya kelarutannya berkurang, nilai higroskopisnya

menjadi lebih rendah dan mungkin agar lebih menarik. Bahan yang digunakan untuk

selaput berupa aspal, lilin, malam, wax dan sebagainya. Pupuk yang bermantel

harganya lebih mahal dibandingkan tanpa mantel.

4. Filler (pengisi). Pupuk majemuk atau pupuk campur yang kadarnya tinggi sering

diberi filler agar ratio fertilizer nya dapat tepat sesuai dengan yang diinginkan, juga

dengan maksud agar mudah disebar lebih merata

Dalam praktek perlu diketahui istilah-istilah khusus yang sering digunakan dalam pupuk

antara lain ialah:

1. Mutu pupuk atau grade fertilizer artinya angka yang menunjukkan kadar hara

tanaman utama (N,P, dan K) yang dikandung oleh pupuk yang dinyatakan dalam

prosen N total, P2O5 dan K2O. Misalnya pupuk Rustika Yellow 15-10-12 berarti kadar

N 15%, P2O5 10% dan K2O 12%.

2. Perbandingan pupuk atau ratio fertilizer ialah perbandingan unsur N,P dan K yang

dinyatakan dalam N total, P2O5 dan K2O merupakan penyederhanaan darigrade

ferilizer. Misalnya grade fertilizer 16-12-20 berarti ratio fertilizernya 4:3:5.

3. Mixed ferilizer atau pupuk campuk ialah pupuk yang berasal dari berbagai pupuk

yang kemudian dicampur oleh pemakainya. Misalnya pupuk Urea, TSP dan KCl

dicampur  menjadi satu dengan perbandingan tertentu sesuai dengan mutu yang

diinginkan. Hal ini berbeda dengan pupuk majemuk yaitu pupuk yang mempunyai

dua atau lebih hara tanaman dibuat langsung dari pabriknya.

6.2. Kategori pupukPupuk dapat dibedakan berdasarkan bahan asal, senyawa, fasa, cara penggunaan, reaksi

fisiologi, jumlah dan macam hara yang dikandungnya.

Berdasarkan asalnya dibedakan:

1. Pupuk alam ialah pupuk yang terdapat di alam atau dibuat dengan bahan alam tanpa

proses yang berarti. Misalnya: pupuk kompos, pupuk kandang, guano, pupuk hijau

dan pupuk batuan P.

Page 69: Data praktikum

2. Pupuk buatan ialah pupuk yang dibuat oleh pabrik. Misalnya: TSP, urea, rustika

dan  nitrophoska. Pupuk ini dibuat oleh pabrik dengan mengubah sumber daya alam

melalui proses fisika dan/atau kimia.

 

Berdasarkan senyawanya dibedakan:

1. Pupuk organik ialah pupuk yang berupa senyawa organik. Kebanyakan pupuk alam

tergolong pupuk organik: pupuk kandang, kompos, guano. Pupuk alam yang tidak

termasuk pupuk organik misalnya rock phosphat, umumnya berasal dari batuan

sejenis apatit [Ca3(PO4)2].

2. Pupuk anorganik atau mineral merupakan pupuk dari senyawa anorganik. Hampir

semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik.

 

Berdasarkan fasa-nya dibedakan:

1. Padat. Pupuk padat umumnya mempunyai kelarutan yang beragam mulai yang

mudah larut air sampai yang sukar larut.

2. Pupuk cair. Pupuk ini berupa cairan, cara penggunaannya dilarutkan dulu dengan

air, Umumnya pupuk ini disemprotkan ke daun. Karena mengandung banyak hara,

baik makro maupun mikro, harganya relatif mahal.. Pupuk amoniak cair merupakan

pupuk cair yang kadar N nya sangat tinggi sekitar 83%, penggunaannya dapat lewat

tanah (injeksikan).

 

Berdasarkan cara penggunaannya dibedakan:

1. Pupuk daun ialah pupuk yang cara pemupukan dilarutkan dalam air dan

disemprotkan pada permukaan daun.

2. Pupuk akar atau pupuk tanah ialah pupuk yang diberikan ke dalam tanah disekitar

akar agar diserap oleh akar tanaman.

 

Berdasarkan reaksi fisiologisnya dibedakan:

1. Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis masam artinya bila pupuk tersebut

diberikan ke dalam tanah ada kecenderungan tanah menjadi lebih masam (pH

menjadi lebih rendah). Misalnya:  Za dan Urea.

2. Pupuk yang mempunyai reaksi fisiologis basis ialah pupuk yang bila diberikan ke

dalam tanah menyebabkan pH tanah cenderung naik misalnya: pupuk chili salpeter,

calnitro, kalsium sianida.

Page 70: Data praktikum

 

Berdasarkan jumlah hara yang dikandungnya dibedakan:

1. Pupuk yang hanya mengandung satu hara tanaman saja. Misalnya: urea hanya

mengandung hara N, TSP hanya dipentingkan P saja (sebetulnya juga mengandung

Ca).

2. Pupuk majemuk ialah pupuk yang mengandung dua atau lebih dua hara tanaman.

Contoh:  NPK, amophoska, nitrophoska dan rustika.

 

Berdasarkan macam hara tanaman dibedakan:

1. Pupuk makro ialah pupuk yang mengandung hanya hara makro saja: NPK,

nitrophoska, gandasil.

2. Pupuk mikro ialah pupuk yang hanya mengandung  hara mikro saja misalnya:

mikrovet, mikroplek, metalik.

3. Campuran makro dan mikro misalnya pupuk gandasil, bayfolan, rustika. Sering juga

ke dalam pupuk campur makro dan mikro ditambahkan juga zat pengatur tumbuh

(hormon tumbuh).

6.3. Pupuk BuatanPupuk buatan yang dibuat oleh pabrik jumlah dan macamnya sangat banyak. Untuk pupuk

majemuk sering diberi nama dagang sesuai dengan selera pabriknya.

Pupuk Nitrogen (N)

Pupuk nitrogen mengandung hara tanaman N. Bentuk senyawa N umumnya berupa nitrat,

amonium, amin, sianida. Contoh:  Kalium nitrat (KNO3), amonium fosfat [(NH4)3PO4], urea

(NH2CONH2) dan kalsium sianida (CaCN2). Bentuk pupuk N ini berupa kristal, prill, pellet,

tablet maupun cair.

Amonium sulfat [(NH4)2SO4]

Pupuk ini dikenal dengan nama zwavelzuure amoniak (ZA) dan sampai sekarangpun masih

banyak beredar di masyarakat. Umumnya berupa krital putih dan hampir seluruhnya larut

air. Kadang-kadang pupuk tersebut diberi warna (misalnya pink). Kadar N sekitar 20-21%

Page 71: Data praktikum

yang diperdagangan umumnya mempunyai kemurnian selitar 97%. Kadar asam bebasnya

maksimum 0.4%. Sifat pupuk ini: larut air, dapat dijerap oleh koloid tanah, reaksi fisiologis

masam, mempunyai daya mengusir Ca dari kompleks jerapan, mudah menggumpal, tetapi

dapat dihancurkan kembali, asam bebasnya kalau terlalu tinggi meracun tanaman.

Anhidrous amonia (NH3)

Pupuk ini dianggap yang paling tinggi kadar N-nya. Disimpan dalam bentuk cair.

Penggunaannya dengan injeksi ke dalam tanah atau dilarutkan dalam air kemudian

dipompa. Di Indonesia belum digunakan walaupun pabrik sudah membuat untuk keperluan

lain. Pupuk dapat juga dilarutkan dalam air pengairan, akan tetapi ada risiko kehilangan N

yang terbawa air pengairan dan karena penguapan terutama pada tanah atau air yang

mempunyai reaksi alkalis. Jumlah N yang hilang tergantung tekstur tanah, reaksi, cara

pemberiannya, dalamnya injeksi ke dalam tanah. Dari berbagai percobaan menunjukkan

bahwa sekitar 1-8 % tersemat pada lapisan permukaan tanah dan 2-31 % pada lapisan

bagian bawah. Sering pemberian amonia cair dicampur dengan sulfur (S) karena sulfur larut

dalam amonia.

Amonium khlorida (NH4Cl)

Kadar N dalam amonium khlorida (ACl) sekitar 26%. Dari beberapa peneliti untuk sebagian

tanaman sering menunjukkan bahwa pupuk ACl lebih baik dibanding amonium sulfat (ZA)

terutama untuk tanaman yang memerlukan unsur Cl. Ada dugaan bahwa ZA bila diberikan

ke dalam tanah akan meninggalkan sulfat (SO4=) dan ion ini kemudian ditanah sawah

direduksi menjadi H2S, senyawa ini bersifat racun terhadap tanaman. Proses selanjutnya H2S

bereaksi  dengan feri atau mangan menjadi FeS atau Fe2S dan MnS.  tuk tanaman yang

diharapkan kadar proteinnya tinggi sebaiknya digunakan pupuk ZA karena senyawa protein

mengandung unsur S sehingga pemberian S berperanan dalam pembentukan protein.

Tanaman berbeda-beda tanggapannya terhadap kedua pupuk tersebut. Tapi umumnya sisa

Cl kurang disenangi dibanding SO4=, demukian juga reaksi fisiologis ACl lebih asam dari

pupuk ZA.

Amonium nitrat  (NH4NO3)

Kadar N dalam pupuk amonium nitrat sekitar 32-33,5%. Kalau dicampur dengan kapur

disebut amonium lime( ANL).

 

Page 72: Data praktikum

Pupuk fosfor (P)

Kecuali untuk nitrogen, kadar unsur dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk oksidanya.    P

dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk P2O5. Pupuk TSP mengandung P sebesar 44% P2O5.

Untuk mengetahui kadar P (bukan P2O5) maka harus dikalikan dengan suatu bilangan

konversi:

Prosentase P       =  0.43 X prosentase P2O5

Prosentase P2O5 =  2.29 X prosentase P

Angka 0.43 berasal dari berat molekul P2O5 dibagi berat 2P. Berat atom P=31 dan O=16,

sehingga 144:62 = 2.29 atau sebaliknya 62:144 = 0.43. Kadar yang ditunjukkan umumnya P

yang larut dalam asam sitrat 2%; jadi bukan P yang larut air.

 

Enkel superfosfat [ES = Ca(H2PO4)2 + CaSO4]

Sejak zaman Belanda ES sudah populer digunakan sebagai pupuk P. Sering disebut single

superphosphate. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan bahan baku batuan fosfat (apatit)

dan diasamkan dengan asam sulfat untuk mengubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia

untuk tanaman. Reaksi singkat pembuatan ES:

Ca3(PO4)2 CaF + 7H2SO4 –> 3Ca(H2PO4) + 7CaSO4 + 2HF

Disamping mengandung dihodrofosfat juga mengandung gipsum. Kadar P2O5 = 18-24%,

kapur (CaO) = 24-28% . Bentuk pupuk ini berupa tepung berwarna putih kelabu. Sedikit

larut dalam air reaksi, fisiologis netral atau agak masam. Syarat yang harus dipenuhi kadar

(F2O3 + Al2O3) kurang dari 3%. Apabila terlalu banyak mengandung kedua oksida tersebut 

yang bersifat meracun tanaman, kedua oksida juga dapat bereaksi dengan fosfat menjadi

tidak tersedia bagi tanaman (terjadi fiksasi P oleh Fe dan Al). Dalam penyimpanan sering

mengalami kerusakan fisik tetapi tidak mengalami perubahan khimianya. Dalam

pemakaiannya dianjurkan sebagai pupuk dasar yaitu pemupukan sebelum ada tanaman agar

pada saat tanaman mulai tumbuh P sudah dapat diserap oleh akar tanaman.

Pupuk ES masih mengandung gips (CaSO4) cukup tinggi dan untuk beberbagai jenis tanah

sering menyebabkan struktur tanah menjadi menggumpal seperti padas dan kedap terhadap

air. Hal ini yang sering dianggap sifat merugikan dari pupuk ES.

Doubelsuperfosfat (DS)

Berbeda dengan ES, pupuk ini dianggap tidak mengandung gipsum, dalam pembuatannya

digunakan asam fosfat yang berfungsi sebagai pengasam dan untuk meningkatkan kadar P.

Garis besar reaksi pembuatannya sebagai berikut:

Page 73: Data praktikum

(Ca3PO4)2CaF + 4H3PO4+ 3H20 –> 3Ca(H2PO4)2 + HF

Kadar P2O5 + 38%. Pupuk ini telah lama digunakan di Indonesia baik oleh petani maupun di

perkebunan besar. Sifatnya berupa tepung kasar berwarna putih kotor. Asam

H3PO4 diperoleh dari:   Ca3 (PO4)3CaF + 3H2SO4 –> 2H3PO4 + CaSO4 + HF. Asam fosfat

dipisahkan dari larutannya.

Pupuk ini berwarna abu-abu coklat muda; sebagian P larut air; reaksi fisiologis: sedikit

asam. Bahaya meracun sulfat relatif kecil dan sulfidanya yang berasal dari reduksi sulfat

juga rendah. Bekerjanya lambat dan kemungkinan pelindian juga rendah. Bila diberikan

pada tanah yang bayak mengandung Fe3+ dan Al3+ bebas akan terjadi sematan P oleh kedua

unsur tersebut. Karena lambat bekerjanya pupuk ini diberikan sebagai pupuk dasar.

Tripel superfosfat (TSP)

Rumus kimianya Ca(H2PO4). Sifat umum pupuk Tripel superfosfat (TSP) sama dengan

dengan pupuk DS. Kadar P2O5 pupuk ini sekitar 44-46% walaupun secara teoritis dapat

mencapai 56 %. Pembuatan pupuk TSP dengan menggunakan sistemwet proses. Dalam

proses ini batuan alam (rockphosphate) fluor apatit diasamkam dengan asam fosfat hasil

proses sebelumnya (seperti pembuatan pupuk DS). Reaksi dasarnya sebagai berikut:

Ca3(PO4)2CaF  +  H3PO4 –> Ca(H2PO4)2 + Ca(OH)2 + HF

 

Pupuk kalium

Jenis pupuk yang khusus mengandung kalium relatif sedikit jumlahnya. Umumnya sudah

dicampur dengan pupuk atau unsur lain menjadi pupuk majemuk. Sehingga menjadi pupuk

yang mengandung kalium, nitrogen dan atau fosfor (dua atau lebih hara tanaman).

Kadar pupuk K dinyatakan sebagai % K2O. Konversi kadar K2O menjadi K adalah sebagai

berikut:  % K2O = 1.2 X % K, dan  % K  =  0.83 X % K2O

Muriate (KCl)

Dianggap pupuk yang kadar hara K nya tinggi. Nama muriate berasal dari asam murit

adalah sama dengan asam khlorida. Kadar K2O teoritis dapat mencapai 60-62%; tetapi

dalam kenyataan pupuk muriate yang diperdagangkan hanya sekitar 50%. Bentuknya

berupa butiran kecil-kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai kemerah-

merahan. Dalam praktek lebih banyak digunakan jika dibandingkan dengan pupuk-pupuk K

yang lain karena harganya relatif murah.

Page 74: Data praktikum

Pupuk ini kurang disenangi karena kadar Cl nya yang tinggi terutama untuk pemupukan

tanaman yang peka terhadap kualitas maupun produksi. Banyak digunakan untuk

perkebunan karet dan tebu, tetapi sekarang sebagian beralih ke pupuk KNO 3. Pemupukan

KNO3 selain memupuk K juga berarti memupuk N.

 

Kalium sulfat (zwavelzuure kali = ZK)

Rumus kimia: K2SO4. Pupuk ini banyak digunakan baik untuk perkebunan maupun petani

kecil. Harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan pupuk muriate. Kadar K 2O sekitar

48-50%. relatif mengandung Cl sedikit lebih kurang hanya 2.5%. Pupuk ZK dapat dibuat

dari garam komplek K2SO4.2MgSO4. Garam komplek ini dilarutkan dalam air kemudian

diberi KCl  Reaksinya:

K2SO4.2MgSO4 + KCl –> 3 K2SO4 + 2 MgCl2.

K2SO4 akan mengendap dan untuk memisahkannya maka MgCl2 didekantir. Pupuk ini sejak

lama banyak digunakan di Indonesia. Untuk tanaman sera misalnya rami, sosella dan kapas

pemupukan K mmengakibatkan kualiats seratnya lebih tinggi.  Atau dibuat dari garam KCl

yang diasamkan dengan asam sulfat. Reaksinya sebagai berikut:

2 KCl + H2SO4 –> K2SO4 + HCl

Reaksi pencampuran dilakukan dalam bejana besi panas yang selalu diaduk agar bercampur

sempurna. Gas HCl yang keluar didinginkan dan dilarutkan dalam air.

Kalium-magnesium sulfat

Rumus kimianya : K2SO4.2MgSO4. Kadar K2O berkisar antara 22-23% dan kadarMgO antara

18-129%. Dibuat dari garam komplek K2SO4. 2MgSO4. Seperti pupuk ZK kadar Cl rendah

ialah kurang dari 3%. Kadar S= 18%. Perkebunan di sekitar Sumatra Utara dulu banyak

menggunakan pupuk ini.

Kalium nitrat (Niter)

Selain mengandung unsur K juga mengandung unsur N. Kadar K 2O cukup tinggi 44% dan

kadar N sekitar 13%. Pupuk ini kurang penting dan tidak banyak digunakan. Tanaman yang

banyak menggunkan pupuk ini ialah tanaman tembakau, kapas. Niter merupakan pupuk

majemuk dengan grade fertilizer 13-0-44.

 

Pupuk Majemuk (compound fertilizer)

Page 75: Data praktikum

Pupuk majemuk  mengandung dua atau lebih hara tanaman (makro maupun mikro). Banyak

sekali pupuk majemuk yang beredar di masyarakat baik untuk pertanian, perkebunan,

pertamanan, hidrofonik atau khusus untuk tanaman anggrek. Pupuk tersebut mempunyai

nama dagang yang berbeda-beda tergantung pabrik pembuatnya. Pupuk yang ditujukan

untuk komoditas bernilai ekonomi tinggi umumnya mengandung banyak hara tanaman

terutama N, P dan K. Untuk tanaman sayuran dan hidrofonik banyak menggunakan hara

kedua N, P, K, Ca, Mg dan S. Sedangkan untuk tanaman hias dan anggrek disamping

mengandung seluruh hara makro juga mengandung seluruh hara mikro dengan grade

fertilizer yang beraneka. Bahkan ditambah lagi dengan zat pengatur pertumbuhan tanaman

(hormon).

Nitrogen umumnya berasal dari nitrat (NO3-), amonium (NH4

+), amida (-NH2) dan protein,

baik secara tunggal maupun gabungan. Umumnya pupuk ini larut air. Sumber P berupa

monohidrofosfat (HPO4=) dan dihidrofosfat (H2PO4

-). P ini tidak sempurna larut air, tetapi

larut seluruhnya dalam asam sitrat. K berasal dari garam nitrat, khlorida atau sulfat kalium.

Pupuk majemuk  cair bersifat larut air, penggunaannya disemprotkan pada organ tanaman.

Tersedianya beraneka pupuk majemuk tentu untuk memudahkan petani tanpa harus

membuat campuran sendiri. Pupuk majemuk dibuat disesuaikan dengan jenis tanaman atau

tujuan penggunaannya. Pupuk yang digunakan untuk kedelai berbeda dengan untuk rumput

atau padi. Demikian juga untuk tanaman kapas atau tembakau. Untuk tanaman kopi yang

belum menghasilkan digunakan pupuk yang berbeda dengan tanaman kopi yang sudah

produksi.

Untuk tanaman hias yang bernilai tinggi (misalnya anggrek) digunakan pupuk cair atau

pupuk padat slow release. Kandungan haranya lengkap berupa mineral yang air larut dan

juga sering senyawa organik protein dan hormon tumbuh serta unsur yang dapat berperanan

untuk mengintensifkan warna bunga.

6.4. Pupuk organikPenggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal

pertanian, pertambahan penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya

penggunaan pupuk sebagai usaha peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup

khawatir dengan pemakaian pupuk mineral yang berasal dari pabrik ini akan menambah

tingkat polusi tanah yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kesehatan manusia.

Page 76: Data praktikum

Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk

mineral dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia dikurangi atau dihentikan sama

sekali agar manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman

dengan pertanian organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa

penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada

masukan dari luar sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang

tertutup.

Banyak sifat baik pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain ialah:

1. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman dengan 

lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif

kecil.

2. Dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah

dan mudah ditembus akar.

3. Tanah lebih mudah diolah untuk tanah-tanah berat.

4. Meningkatkan daya menahan air (water holding capacity). Sehingga kamampuan

tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak. Kelengasan air tanah lebih

terjaga.

5. Permeabilitas tanah menjadi lebih baik. Menurunkan permeabilitas pada tanah

bertekstur kasar (pasiran), sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah

bertekstur sangat lembut ( liatan).

6. Meningkatkan KPK (Kapasitas Pertukaran Kation ) sehingga kemampuan mengikat

kation menjadi lebih tinggi, akibatnya apabila dipupuk dengan dosis tinggi hara

tanaman tidak mudah tercuci.

7. Memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi maupun tingkat

rendah ) menjadi lebih baik karena ketersediaan makan lebih terjamin.

8. Dapat meningkatkan daya sangga (buffering capasity) terhadap goncangan

perubahan drastis sifat tanah.

9. Mengandung mikrobia dalam jumlah cukup yang berperanan dalam proses

dekomposisi bahan organik.

Sedangkan sifat yang kurang baik dari pupuk organik adalah:

1. Bahan organik yang mempunyai C/N masih tinggi berarti masih mentah. Kompos

yang belum matang (C/N tinggi) dianggap merugikan, karena bila diberikan langsung

ke dalam tanah maka bahan organik diserang oleh mikrobia (bakteri maupun fungi)

untuk memperoleh enersi. Sehingga populasi mikrobia yang tinggi memerlukan juga

Page 77: Data praktikum

hara tanaman untuk tumbuhan dan kembang biak. Hara yang seharusnya digunakan

oleh tanaman berubah digunakan oleh mikrobia. Dengan kata lain mikrobia bersaing

dengan tanaman untuk memperebutkan hara yang ada.  Hara menjadi  tidak tersedia

(unavailable) karena berubah dari senyawa anorganik menjadi senyawa organik

jaringan mikrobia, hal ini disebut immobilisasi hara. Terjadinya immobilisasi hara

tanaman bahkan sering menimbulkan adanya gejala defisiensi.  Makin banyak bahan

organik mentah diberikan ke dalam tanah makin tinggi populasi yang menyerangnya,

makin banyak hara yang mengalami immobilisasi. Walaupun demikian nantinya bila

mikrobia mati akan mengalami dekomposisi hara yang immobil tersebut berubah

menjadi tersedia lagi. Jadi immobilasasi merupakan pengikatan hara tersedia menjadi

tidak tersedia dalam jangka waktu relatif tidak terlalu lama.

2. Bahan organik yang berasal dari sampah kota atau limbah industri sering

mengandung mikrobia patogen  dan logam berat yang berpengaruh buruk bagi

tanaman, hewan dan manusia.

 

Sisa tanaman hasil pertanian

Limbah sisa hasil pertanian cukup banyak terutama terdiri dari daun-daun, kulit biji (kopi,

coklat, sabut kelapa) dari perkebunan, jerami padi jagung, daun dari halaman/ pekarangan

dan sebagainya. Bahan organik yang baru dikumpulkan umumnya masih segar dan

mempunyai kisaran nisbah C/N sedang (± 35) untuk legum dan sangat tinggi (> 60) untuk

kayu dan non legum. Sebelum digunakan bahan-bahan ini harus dikomposkan lebih dulu

agar nisbah C/N nya turun menjadi ± 15.

 

Pupuk kandang

Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di Indonesia. Selain jumlah ternak lebih

tinggi sehingga volume bahan ini besar, secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan

mikrobia dibandingkan limbah pertanian. Yang yang dimaksud pupuk kandang ialah

campuran kotoran hewan/ ternak dan urine.

Tabel Rata-rata hara dari pupuk kandang sapi

 Uraian NilaiUkuran hewan ( kg) 500Pupuk segar (ton/tahun) 11,86Kadar air ( %) 85Kandungan hara  (kg/ton ton)  Nitrogen (N) 10.0

Page 78: Data praktikum

Fosfor (P) 2.0Kalium (K) 8.0Kalsium (K) 5.0Magnesium (Mg) 2.0Sulfur (S) 1.5Ferrum (Fe) 0.1Boron (B) 0.01Cuprum (Cu) 0.01Mangan (Mn) 0.03Zinc (Zn) 0.04

Pupuk kandang dibagi menjadi dua macam: a) pupuk padat dan b) pupuk cair. Susunan hara

pupuk kandang sangat bervariasi tergantung macamnya  dan jenis hewan ternaknya.

Nilai pupuk kandang dipengaruhi oleh:

1. makanan hewan yang bersangkutan, fungsi hewan tersebut sebagai pembantu pekerjaan

atau dibutuhkan dagingnya saja,

2. jenis atau macam hewan, dan jumlah dan jenis bahan yang digunakan sebagai alas

kandang.

6.5. Pupuk HijauPupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman legum. Karena kemampuan

tanaman legum mengikat N udara dengan bantuan bakteri penambat N menyebabkan kadar

N dalam tanaman relatif tinggi. Akibatnya pupuk hijau dapat diberikan dekat waktu

penanaman tanpa harus mengalami proses pengomposan lebih dulu sebagaimana sisa-sisa

tanaman pada umumnya.

Beberapa contoh pupuk hijau, antara lain:

1. Crotalaria juncea. Dulu jenis legum ini diharuskan ditanam pada perkebunan

tembakau Vorstenland pergiliran tanaman. Memasukkan tanaman legum ini jelas

akan berpengaruh baik terhadap sifat-sifat tanah baik tanaman tembakau itu sendiri

Page 79: Data praktikum

maupun tanaman sesudahnya. Produksi 150-250 kw/ hektar. Kandungan N 2.84%

dari bahan kering. Kadar bahan kering 16.0% dari bahan basah.

2. Crotalaria anagyroides. Produksi hijauan daun dan tangkai 284 kw/ hektar. Kadar

N= 2.31% dari bahan kering, kadar bahan kering sekitar 13.24%;  umur tanaman 6-

10 bulan.

3. Crotalaria usaramensis. Produksi hijauan tergolong tinggi sekitar 350 kw/ hektar;

umur tanaman 4-5 bulan.

4. Tephrosia vogelii, thephrosia candida.

5. Sesbania sesban, janti turen (Jawa).

6. Sesbania esculatta, produksi 120 kwt/ hektar.

7. Phaseolus tunatus, kratok (Jawa). Produksi 120-180 kw/ hektar . Mengandung N

3.85 % dari bahan kering; kadar bahan kering 19.3% terhadap bahan basah.

8. Glycine soya, kedele produksi 65.27 kw/ hektar tangkai dan daun  mengandung

0.57% N dari bahan basah. Selain produksi daun dan tangkai kedele mempunyai

produksi biji kedele dengan sekitar 1.1 ton per hektar.

9. Vigna sisnensis, kacang tunggak, kacang dadapan.

10. Mimosa invisa, produksi 300 kw/ hektar.; umur 6-8 bulan.

11. Centrosoma pubescens, produksi 400 kw/ hektar; umur 10 bula.

12. Calopogonium mucunoides, umumnya digunakan untuk makanan ternak.

13. Pueraria thumbergiana.

6.6. Pupuk HayatiPupuk hayati adalah mikrobia yang diberikan ke dalam tanah untuk meningkatkan

pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah atau udara. Umumnya digunakan

mikrobia yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya. Keuntungan

diperoleh oleh kedua pihak, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur hara yang

diperlukan, sedangkan mikrobia mendapatkan bahan organik untuk aktivitas dan

pertumbuhannya.

Mikrobia yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung ke

dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan

Page 80: Data praktikum

ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini adalah mikrobia penambat N, dan mikrobia

untuk meningkatkan ketersedian P dalam tanah.

Bacaan lanjut:

BIO P 2000 Z.  

Pupuk Hayati Bio P 2000 Z  adalah pupuk hayati cair, hasil dari teknologi bio

perforasi dibuat dari sekumpulan bakteri yang dapat bekerja sama dengan tanaman

dalam penyerapan unsur hara. Pada saat ini kandungan bakteri di alam  baik di tanah

maupun di tanaman sangat berkurang. Padahal bakteri tersebut secara alami dapat

membantu proses pengelolaan  tanah dan proses pertumbuhan tanaman.

6.7. Pembuatan komposKompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir

berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk

dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki

nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan

terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan

terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos

yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan

nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat

dibandingkan cara konvensional.

Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar

mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikrobia disini

bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan untuk baku

kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ ternak dan

sebagainya. Cara pembuatan kompos bermacam-macam tergantung: keadaan tempat

pembuatan, budaya orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam

bahan yang tersedia dan selera si pembuat.

Yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah:

1. Kelembaban timbunan bahan kompos. Kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat

dipengaruhi oleh kelembaban  yang cukup, tidak terlalu kering maupun basah atau

tergenang.

2. Aerasi timbunan. Aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu

anaerob mikrobia yang hidup hanya mikrobia anaerob saja, mikrobia aerob mati atau

Page 81: Data praktikum

terhambat pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas masuk ke

dalam timbunan bahan yang dikomposkan umumnya menyebabkan hilangnya

nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3.

3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60 0C). Selama

pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang dikomposkan

temparaturnya naik; bahkan sering temperatur mencampai 60 0C. Pada temperatur

tersebut mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur

umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos.

4. Suasana. Proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asam-asam organik,

sehingga menyebabkan pH turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak

netralisasi kemasaman.

5. Netralisasi kemasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran

misalnya kapur, dolomit atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi tetapi

juga menambah hara Ca, K dan Mg dalam kompos yang dibuat.

6. Kadang-kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan

diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat

memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga

perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga

meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih

tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap.

Cara praktis pembuatan bokashi jerami – pupuk kandang

Pembuatan kompos sebaiknya dikerjakan:

1. dalam bangunan yang memiliki lantai rata, keras dan bebas dari genangan air, serta

adanya atap yang melindungi dari terik matahari dan hujan,

2. dekat dengan sumber bahan organik: jerami, pupuk kandang, sampah, sekam, dedak

dll.,

3. dekat dengan sumber air, dan

4. transportasi mudah.

Alat yang diperlukan: Garuk atau cangkul, Pemotong rumput atau sabit, Gembor, Ember,

Cetakan kayu dan  Karung atau plastik

Bahan

1. Jerami dicacah halus 3- 5 cm (500 kg)

Page 82: Data praktikum

2. Pupuk kandang (500 kg)

3. EM-4 (500 mL)

4. Gula pasir  (250 g)

Cara pembuatan:

1. Larutan EM-4. Masukkan 20 mL EM-4 + 10 g gula pasir + air bersih 1.000 mL ke

dalam jerigen tertutup rapat, digojok merata dan difermentasikan selama 24 jam.

2. Jerami + pupuk kandang dicampur merata di atas lantai.

3. Tambahkan larutan EM-4 ke kemudian diaduk merata sehingga kadar lengas dalam

adukan tersebut sekitar 30%. Ambil segenggam bakal kompos tersebut, jika diperas

air mulai menetes.

4. Buat gundukan setinggi 60 cm, tutupi dengan karung goni.

5. Setiap 2 hari gundukan tersebut diperiksa, jika temperatur > 50 oC gundukan harus

dibongkar dan dianginkan. Setelah dingin buat gundukan kembali, tutup dengan

karung goni. Jika terlalu kering tambahkan larutan EM-4.

6. Setelah 3 minggu gundukan dibongkar. Kompos diayak dengan saringan kasa 2 cm.

Bahan yang tidak lolos saring dikomposkan kembali.

Penggunaan bokashi

Takaran penggunaan secara umum 2 kg/m2. Begitu sampai di lahan kompos harus segera

dicampur merata dengan tanah. Kompos yang tidak segera digunakan dapat disimpan.

Kompos terlebih dahulu dikering anginkan, kemudian dimasukkan dalam karung plastik

yang kedap air dan berwarna gelap. Karung tersebut disimpan ditempat yang kering,

terlindung dari hujan dan cahaya matahari langsung.

VII. Pemupukan 7.0. Pengertian Pemupukan

7.1. Pemupukan lewat akar

7.2. Pemupukan lewat daun

7.3. Serapan hara

7.4. Efisiensi pemupukan

7.5. Keharaan berimbang

Page 83: Data praktikum

7.6. Kebutuhan pupuk

7.0. Pengertian PemupukanPemupukan menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk

menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya pupuk diberikan dalam bentuk padat atau cair

melalui tanah dan diserap oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga diberikan lewat

permukaan tanaman, terutama daun.

Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana tanah, baik fisik, kimia

atau biologis disebut pembenahan tanah (amandement) yang berarti perbaikan (reparation)

atau penggantian (restitution). Bahan-bahan tersebut termasuk mulsa (pengawet lengas

tanah, penyangga temperatur), pembenah tanah (soil conditioner, untuk memperbaiki

struktur tanah), kapur pertanian (untuk menaikkan pH tanah yang terlalu rendah, atau untuk

mengatasi keracunan Al dan Fe), tepung belerang (untuk menurunkan pH tanah yang

semula tinggi) dan gipsum (untuk  menurunkan kegaraman tanah). Rabuk kandang dan

hijauan legum diberikan ke dalam tanah dengan maksud sebagai pupuk maupun pembenah

tanah.

Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah. Dengan

mengandalkan sediaan hara dari tanah asli saja, tanpa penambahan hara, produk pertanian

akan semakin merosot. Hal ini disebabkan ketimpangan antara pasokan hara dan kebutuhan

tanaman. Hara dalam tanah secara berangsur-angsur akan berkurang karena terangkut

bersama hasil panen, pelindian, air limpasan permukaan, erosi atau penguapan. Pengelolaan

hara terpadu antara pemberian pupuk dan pembenah akan meningkatkan efektivitas

penyediaan hara, serta menjaga mutu tanah agar tetap berfungsi secara lestari.

Tujuan utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara secara optimum untuk

mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh peningkatan hasil panen.

Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberikan pupuk bentuk dan

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, dengan cara yang tepat dan pada saat yang

tepat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pertumbuhan tanaman tersebut. Tanaman dapat

menggunakan pupuk hanya pada perakaran aktif, tetapi sukar menyerap hara dari lapisan

tanah yang kering atau mampat. Efisiensi pemupukan dapat ditaksir berdasarkan kenaikan

bobot kering atau serapan hara terhadap satuan hara yang ditambahkan dalam pupuk

tersebut.

Faktor yang berpengaruh terhadap pemupukan:

Page 84: Data praktikum

1. Tanah: kondisi fisik (kelerengan, jeluk mempan perakaran, retensi lengas dan

aerasi), kondisi kimiawi (retensi hara tersedia, reaksi tanah, bahan organik tanah,

sematan hara, status dan imbangan hara), kondisi biologis (pathogen, gulma).

2. Tanaman: jenis, umur dan hasil panen yang diharapkan.

3. Pupuk: sifat, mutu, ketersediaan dan  harga.

4. Iklim: temperatur, curah hujan, panjang penyinaran dan angin.

7.1. Pemupukan lewat akar1. Penyebaran (broadcasting)

Dengan cara ini pupuk ditebarkan pada permukaan tanah, misalnya pada lahan sawah.

Pemupukan dilakukan sebelum tanam (waktu pembajakan/ penggaruan/ pengolahan tanah)

sebagai pupuk dasar, atau sesudah tanam sebagai pupuk susulan, kemudian diinjak-injak

agar pupuk terbenam ke dalam tanah.

Dapat dibedakan:

1. Top dressing: pupuk ditebarkan merata ke seluruh permukaan tanah atau menurut

alur yang tersedia. Untuk lahan yang sudah ditanami, jika permukaan tanaman basah

atau lembab cara ini harus ditunda, karena dapat menyebabkan plasmolisis daun.

Kerusakan akan meningkat pada dosis yang lebih besar, terutama pupuk N dan K.

2. Side dressing: pupuk ditebarkan di samping alur benih atau tanaman.

Metoda broadcasting cocok dilakukan untuk lahan sawah atau tanaman dengan jarak tanam

yang rapat, perakaran merata pada tanah bagian atas (top soil) dan pupuk diberikan dalam

jumlah yang besar. cara ini mudah dilakukan, hemat  beaya dan tenaga, pemberian pupuk

agak berlebih tidak berdampak buruk bagi tanaman.

Namun kerugian yang harus ditanggung adalah kontak pupuk dengan tanah besar, sehingga

penyematan hara khususnya P oleh tanah akan lebih besar, pada tanah alkalis dan kering

sebagian N akan hilang menguap dalam bentuk ammonia (NH3), juga pertumbuhan gulma

akan ikut terpacu.

2. Penempatan (placement)

Dengan cara ini pupuk ditempatkan secara khusus ke dalam lubang atau alur yang sudah

dipersiapkan lebih dahulu. Pupuk dapat diberikan pada saat penyiapan atau saat penanaman,

terutama untuk tanaman semusim.

Pupuk diberikan dengan cara plow sole placement (bersamaan dengan pengolahan tanah,

pupuk dijatuhkan melalui lubang di belakang mata bajak), row placement(pupuk

dibenamkan ke dalam tanah menurut alur bekas bajakan kemudian akan tertutup oleh

Page 85: Data praktikum

pembalikan tanah pada alur berikutnya) atau combine drilling (pupuk dibenamkan bersama

benih ke dalam alur yang sudah dibuat sebelumnya, posisi pupuk dapat di bawah benih

disamping, atau keduanya).

Untuk lahan yang sudah ditanami dipergunakan cara side band placement (pupuk

ditempatkan pada alur disamping barisan tanaman), spot/ point placement (pupuk

ditempatkan pada suatu titik atau lubang di kanan atau kiri tanaman), atau circular band /

ring placement (pupuk dibenamkan ke dalam alir melingkar di sekeliing tanaman sejauh

tajuk daun terluar).

Untuk tanaman tahunan pupuk dapat diberikan ke dasar lubang tanam, dapat pula dicampur

terlebih dahulu dengan tanah bagian atas yang akan digunakan untuk menimbun lubang.

Metode placement cocok digunakan untuk tanah yang kurang subur, lahan kering, jarak

tanam renggang, perakaran sedikit, tanaman tahunan, jumlah pupuk sedikit, pupuk tablet,

dan terutama pupuk P dan K. Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini adalah kontak

pupuk dengan tanah dapat dikurangi, sehingga penyematan hara dapat ditekan, pengambilan

hara oleh tanaman lebih mudah, terutama bagi tanaman yang perakarannya

terbatas, residual effect dari pupuk lebih besar, serta kehilangan hara dapat dikurangi.

3. Fertigation (fertilizing-irrigation)

Dengan cara ini kita melakukan pengairan sekaligus memupuk tanaman. Pengairan dapat

secara sederhana yakni air saluran yang dimasukkan ke lahan, atau irigasi modern

menggunakan tangki bertekanan. Pupuk yang digunakan dapat berupa cairan atau pupuk

padat yang dilarutkan dalam air. pupuk yang sering digunakan adalah ammonia, asam fosfat

dan KCl. Cara ini biasanya diterapkan untuk usaha yang komersial terutama di wilayah

padang pasir atau perbukitan.

4. Injection

Pupuk ammonia (gas) bertekanan disuntikkan pada jeluk 10-20 dibawah permukaan tanah,

pupuk tanpa tekanan disuntikkan dekat dengan permukan tanah. Umumnya diterapkan pada

skala usaha yang besar dan hamparan yang luas.

7.2. Pemupukan lewat daun

Page 86: Data praktikum

Cara ini dikenal dengan nama foliar application. Pupuk terlarut disemprotkan pada

permukaan tanaman terutama daun. Cara ini dilakukan untuk melengkapi pemberian pupuk

melalui tanah untuk mengatasi dengan segera gejala kekahatan yang muncul, terutama hara

mikro dan hara yang immobil dalam tubuh tanaman. Hara masuk ke dalam tubuh tanaman

melalui mulut stomata secara difusi atau osmosis.

Hal-hal penting yang harus diperhatikan adalah:

1. larutan harus encer (< 0,5 %);

2. tegangan muka larutan harus rendah sehingga kontak dengan permukaan daun lebih

besar, biasanya ditambahkan zat perekat;

3. kadar biuret pada urea harus < 2%;

4. kondisi lingkungan cuaca harus memungkinkan.

7.3. Serapan haraSerapan hara adalah jumlah hara yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Hal ini diperoleh

berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman.

SERAPAN = kadar hara (%)  x bobot kering (g)

Misalnya padi sawah memiliki kandungan K dalam jerami 1% dari bobot kering panen

sejumlah: 2 ton/ha. Maka besarnya pengangkutan K dalam  jerami = 0,01 x 2.000 kg/ha =

20 kg K/ha.

Manfaat dari angka serapan hara antara lain :

1. Mengetahui efisiensi pemupukan

2. Mengetahui agihan hara dalam tubuh tanaman

3. Mengetahui pengangkutan hara dalam tanaman

4. Mengetahui neraca hara di suatu lahan.

5. Pertimbangan dalam membuat rekomendasi pemupukan.

 

Tabel serapan hara secara umum.

Unsur Biji Daun/batang

N (kg/ton) 20 20

P (kg/ton) 5 20

K (kg/ton) 4 2

Page 87: Data praktikum

 

Kadar hara secara umum dalam tanaman.

Sumber: Growth and Mineral Nutrition of Field Crops. 3ed. 2011. hal 103

7.4. Efisiensi pemupukan

Efisiensi merupakan nisbah antara hara yang dapat diserap tanaman dengan hara yang

diberikan. Makin banyak hara yang dapat diserap dari pupuk yang diberikan tersebut, maka

nilai efisiensi penyerapan semakin tinggi.

Eh = (Sp-Sk).100/Hp

Eh = efisiensi serapan hara

Sp = serapan hara pada tanaman yang dipupuk

Sk = serapan hara pada tanaman yang tidak dipupuk

Hp = kadar hara dalam pupuk yang diberikan

Nilai efisiensi serapan hara secara umum adalah untuk N = 40-60% , P = 15-20% dan K =

40-60%. Hara yang tidak dapat diserap oleh tanaman dapat disebabkan  hilang karena

terlindi, menguap, terbawa air limpasan dan erosi, tersemat, diambil oleh mikrobia, atau

mengendap di dalam tanah.

Page 88: Data praktikum

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan antara lain: pupuk

diberikan secara tepat (dosis, bentuk, waktu, cara). Penggunaan pupuk anorganik bersama-

sama dengan pupuk organik dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara. Pupuk

yang dibuat lepas terkendali (controlled released fertilizer) atau lepas lambat (slow released

fertilizer) dimaksudkan untuk melepas hara sesuai dengan kebutuhan tanaman.

7.5. Keharaan berimbang

Ketimpangan hara (nutrient imbalances) muncul akibat pola tanam monokultur dan

pemupukan yang tidak berimbang. Sebagian besar lahan padi sawah hanya diberi Urea dan

TSP (sekarang yang tersedia SP36, atau SP27). Ada sebagian yang memberikan N dalam

bentuk Urea dan ZA ([NH4]2SO4). Kondisi demikian telah menyebabkan pengambilan hara

selain N, P, Ca dan S  (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan petani) menjadi jauh

lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah. Ini dikenal dengan istilah

penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah. Berdasarkan hukum Liebig, hara yang

terbatas jumlahnya akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil panen yang akan

diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar)

yang terus menurun terutama di Jawa pada dekade terakhir ini.

Pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk berimbang dengan meningkatan produksi

pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya memberikan hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di

masa depan yang diperlukan adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang

lengkap kandungan haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan

jenis tanaman dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik sifatnya,

diperlukan database yang cukup tentang kadar dan serapan hara oleh setiap jenis tanaman

yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi cadangan dan efisiensi

penyerapan hara.

Penggunaan pupuk organik, bentuk padat atau cair, telah dilaporkan mampu meningkatkan

hasil panen per hektar. Hal ini disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara

yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik telah menjadi

kebutuhan mutlak bagi pengusaha hortikultura. Sejumlah pengusaha yang menyewa lahan

untuk tanaman mereka akan diuntungkan jika mendapatkan lahan yang masih cukup tinggi

kandungan bahan organiknya.

7.6. Kebutuhan pupuk

Page 89: Data praktikum

Berikut ini diberikan beberapa contoh perhitungan untuk menentukan kebutuhan pupuk.

Suatu lahan padi sawah membutuhkan 35 kg P2O5 / hektar, sedangkan dari uji tanah

didapatkan kadar P tersedia 20 P2O5 /hektar. Jika efisiensi serapan fosfat dari pupuk

TSP (45% P2O5) yang diberikan sebesar 25%, maka jumlah pupuk yang diperlukan

adalah:

kebutuhan P2O5 = (25-20).100/25 = 60  kg P2O5 kg/ha

kebutuhan TSP = 100.60/45 = 133  kg TSP/ha

Jika dosis pupuk Urea sebesar 250 kg/ha untuk tanaman jagung dalam satu musim

dengan jarak antar baris 70 cm dan dalam barisan 20 cm.  Hitung berapa berat Urea

yang harus diberikan untuk setiap tanaman ?

Perhitungan berdasarkan populasi tanaman

Untuk luas 1 hektar, dosis pupuk = 250 kg = 250.000 g

Untuk luas 1 m2, dosis pupuk = 250.000 g / 10.000 m2 = 25  g/m2

Luas 1 tanaman     = 0,7 x 0,2 m2 = 0,14 m2 –> Populasi = 1/ 0,14 tanaman/m2

Dosis untuk 1 tanaman = 25 g / (1 /0,14 tanaman/m2) = 3,5  g/ tanaman.

Suatu percobaan di rumah kaca menggunakan 10 L tanah untuk setiap pot. Dosis

pupuk KCl untuk jagung adalah 100 kg KCl/ha dalam satu musim tanam. hitung

berapa berat pupuk yang harus ditimbang untuk setiap pot ?

Perhitungan berdasarkan volume tanah

Untuk 1 hektar, dosis = 100 kg = 100.000 g

Volume 1 hektar = 10.000 m2 x 0,2 m = 2.000 m3

Volume 1 pot = 10 L = 0,01 m3

Dosis per pot = (0,01 m3 /2.000 m3 ) x 100.000 g = 0,5  g / pot

VIII. Pengelolaan Kesuburan Tanah 8.1. Pengelolaan tanah masam

8.2. Pengelolaan tanah gambut

8.3. Pengelolaan tanah sawah

8.4. Pertanian lestari

8.5. Pengelolaan hara terpadu

8.6. Mutu dan kesehatan tanah

Page 90: Data praktikum

8.1. Pengelolan tanah masamS O I L A C I D I T Y A N D L I M I N G

Liming an acid soil is the first step in creating favorable soil conditions for productive plant

growth. Crops vary in their ability to tolerate an acidic (low pH) soil. In addition, evidence

has shown that soil acidity may influence other crop management problems such as

herbicide activity. Soil pH is a good indicator of the need for liming, but a buffer pH

measurement is necessary to determine the quantity of soil acidity to be neutralized in order

to change the soil pH. The general goal of liming agricultural soils continues to be a soil pH

of 6.0 to 7.0.

Raising soil pH requires a quantity of agricultural liming material that is determined by the

amount of acidity in the soil and the quality of the liming material. Soil acidity is measured

by soil testing; the quality of agricultural liming material is determined by its purity and

particle size distribution.

Acid soils

In the context of agricultural problem soils, acid soils are soils in which acidity dominates

the problems related to agricultural land use.  They are characterized by a pH which is

strongly (5.5-4.5) to extremely acid (<4.5), a low cation-exchange capacity and a low base

saturation.

Acid soils occur in the tropics and subtropics as well as in moderate climates.   Their

formation depends on specific conditions of climate, topography, vegetation, parent

material and time for soil formation.  Acrisols and Ferralsols are most common in old land

surfaces in humid tropical climates.  Acid sulphate soils occur in the tropics, in low-lying

coastal land formerly occupied by mangrove swamps.  Podzols are typical soils of the

northern coniferous forests but may occur in the tropics, too.

The types of acid soils vary considerably due to different factors in soil formation,

especially differences in climate, parent material and vegetation.  Acid soils place major

difficulties for agricultural use but can be very productive if lime and nutrients are

constantly applied and appropriate soil management is practised.

Special management implications are caused by the occurrence of aluminium toxicity. In

general soils with pH (H2O)  <5 and >60% Al saturation of the cation exchange capacity

(CEC) may suffer from Al toxicity.  High concentrations of Al affect root growth, uptake

and translocation of nutrients (especially immobilization of phosphorus in the roots), cell

division, respiration, nitrogen mobilization and glucose phosphorylation of plants. 

Therefore, in the context of agricultural problem soils, it is necessary to make a distinction

Page 91: Data praktikum

between acid soils with Al toxicity and soils without Al toxicity because of the differing

management implications for these soils.

Strongly acid soils with aluminium toxicity (pH < 5)

Strong soil acidity considerably effects physical, chemical and biological properties of

soils.  The low calcium concentrations in the soil solution of acid soils restrict biological

activity and soil structure stability.  The major production constraint on strongly acid

mineral soils is, however, the possible occurrence of high aluminium concentrations in the

soil solution which are toxic to plants.  Especially many tropical soils which are extremely

weathered contain high amounts of exchangeable aluminium due to advanced soil formation

processes.

The first effects of aluminium toxicity to be observed are a shortening and thickening of the

roots.  Roots become brown in colour and branching is reduced.  The symptoms of

aluminium toxicity are similar to phosphorus or calcium deficiency.  If aluminium toxicity

further progresses various plant metabolic processes are affected such as uptake and

translocation of nutrients (especially immobilization of phosphorus in the roots), cell

division, respiration, nitrogen mobilization and glucose phosphorylation of plants.

The tolerable aluminium concentration varies from plant species to plant species.  But there

are few crops such as tea which may accumulate greater amounts of aluminium without

negative effects on plant growth.  Tolerance of plants may depend on different factors such

as differences in root morphology, ability to increase the pH of the root zone, mechanisms

to reduce translocation of aluminium from the roots to the shoots, accumulation of

aluminium in the shoots without affecting plant metabolism and mechanisms for not

inhibiting nutrient uptake (Ca, Mg, P) despite the presence of aluminium.

Lime application is a common means for increasing soil pH and consequently reducing the

amount of aluminium in the soil solution.  However, in many tropical areas lime is in short

supply.  Therefore the breeding of aluminium tolerant crop varieties is of specific

importance for tropical agriculture.  There are tolerant varieties of various crops available. 

Especially varieties of upland rice, cassava, mango, cashew, citrus, pineapple and cowpeas

may be suitable for arable production on these soils.  Also various grasses (Brachiaria

decumbens, Paspalum plicatulum, Pueraria lobata, Melinis minutiflora, Hyparrhenia rufa)

and legumes (Stylosanthes ssp., Desmodium ssp, Centrosema ssp.) can be productively used

on these soils.

 

Page 92: Data praktikum

Moderately acid soils without aluminium toxicity (pH >5 and <6.5)

In moderately acid soils there are no principal differences with regard to the pH demands of

crops if aluminium toxicity is excluded.  Even crops which are known to demand more

neutral soil conditions such as sugar beet, barley and wheat may give reasonable yields on

moderate acid soils if appropriate nutrient and water supply and favourable rooting

conditions are ensured.  The negative effects of soil acidity on physical and chemical soil

conditions can be partly compensated by a high organic matter content.  The lower the soil

pH, the higher should be the organic matter content of the soil.   A high organic matter

content helps to achieve favourable tillage conditions, good aggregate stability and soil

aeration.  Consequently appropriate attention has to be given to increase the organic matter

content in moderate acid soils.  This can be achieved, for instant, by mulching or no-tillage

systems.

8.2. Pengelolaan tanah gambut

In the context of agricultural problem soils, Histosols are soils in which the organic matter

content dominates the problems related to agricultural land use.  They are characterized by a

layer of organic matter (>30%) of more than 40 cm either extending down from the surface

or taken cumulatively within the upper 80 cm of the soil (histic horizon).

Histosols have specific characteristics (low bulk density, colloidal nature and specific

thermal properties) which differ substantially from those of mineral soils.  Variations in

these characteristics depend on the flora which has formed the Histosol.  The floristic

composition and evolving decomposition products (“humus substances” as humid and

fulvic acids) determines the organic matter which forms the Histosol.  Histosols are formed

because the production of organic debris exceeds its decay; the accumulated dead plant

material is only slightly decomposed due to varying combinations of waterlogging (and

resulting anaerobic conditions), low temperatures and severe acidity.

The occurrence of Histosols depends on a permanent plant cover and a shallow water table. 

Natural drainage is very poor and the occurrence of water lenses within the peat is fairly

common.  Histosols occur mainly in areas of high atmospheric humidity, low

evapotranspiration and consequently wet soils or form in wet depressions and flat sites

where run-off water accumulates and prevents the rapid decomposition of the plant litter.

Histosols occupy some 270 million hectares worldwide, mainly in boreal and temperate

regions.  Some 225 million hectares are situated in the boreal and temperate regions of

Page 93: Data praktikum

North America, Europe and Asia.  An estimated 40 million hectares occur in the tropics and

subtropics, of which almost 25 million are in the coastal lowlands of Southeast Asia.

Histosols are used for various forms of extensive forestry and/or grazing or lie idle.   If

carefully reclaimed and managed, Histosols can be very productive under capital-intensive

forms of arable cropping and horticulture.

Histosols have a high pore volume (low bulk density) which causes considerable problems

for the reclamation.  The removal of water through drainage is necessarily associated with

shrinkage and compaction of the loose organic matter and subsequent considerable

subsidence of the land surface.  The low bearing capacity hampers also the construction of

roads, buildings, and water works.

After removal of the plant cover the low thermal conductivity of the organic material allows

very high temperatures to build up in the upper few centimetres of Histosols exposed to

direct solar radiation.  This causes irreversible transformation of colloids and makes the

organic material crumble to a dry “powder” which is very susceptible to wind erosion.  The

lower parts of the solum, in contrary, heat up slowly which can be unfavourable for plant

development in colder environments.

The fertility of Histosols is normally low when the natural vegetation is abruptly replaced

with agricultural crops.  The cycling of plant nutrients is interrupted and leads to chemical

exhaustion, particularly where annual crops are grown on oligotrophic material.  Especially

micro-nutrients (as boron, copper and zinc) may be deficient.  Controlled burning is often

(particularly in subsistence agriculture) used as a means to liberate nutrients.  However,

burning has to be considered as an inappropriate practice for sustainable agriculture because

in the long run soil structure is seriously damaged and most of the nutrients are lost to the

atmosphere or leached out of the rooting zone.

The specific characteristics (low bulk density, colloidal nature and specific thermal

properties) of Histosols require careful soil management for their sustainable agricultural

use in order to deal with the degrading effects of rapid decomposition, mineralization and

compaction of organic material after drainage; and irreversible shrinkage resulting in

adverse water retention characteristics and increased sensitivity to wind erosion.

8.3. Pengelolaan tanah sawah

Importance of rice

Page 94: Data praktikum

Agriculture contributed 22% to GDP in 1990. Rice is an important commodity and is

subsidized by the government through inputs and price support. As a result, the country

attained self-sufficiency in 1984. Indonesia used to import 25% of the rice in the world

market in the 1960s and early 1970s, but exported small amounts in the late 1980s. Rice

production increased at the rate of 4.6% annually from 1969 to 1988, but this rate has

declined recently, and the country has slipped back into import dependence. In 1995

Indonesia imported 3.2 million t of rice to cope with the short-fall in domestic production

due to natural disasters.

Rice is the staple food of the people. In rice- growing areas, it is a major source of income

for the farmers. With diversification programs, however, other commodities included in the

farming systems supplement the income from rice.  Rice area increased by 33% between

1969 and 1990. But in Java many ricelands are being converted into nonagricultural use

such as housing and industry. There is, however, potential of expansion of rice area in the

coastal wetlands in the outer islands.

Rice environment

Rice is grown in a wide range of environments: irrigated lowland, rainfed lowland, tidal

swamp, and upland. About 72% of the rice area is irrigated, 7% rainfed lowland, 10%

flood-prone, and 11% upland. About 70% of the irrigated rice area can be planted to two

crops of rice a year; in the other rice ecosystems, only one rice crop can be grown. Dryland

crops, however, usually follow the rice crop in rainfed lowland areas. The average cropping

intensity is about 140%. On Java, however, cropping intensity is more than 200%,

especially in irrigated and favorable rainfed ecosystems.

Most irrigated lowland rice areas are located in floodplains. However, they can also be

found on mountainsides wherever there is water. Rainfed lands are on both floodplains and

undulating landscapes. Uplands are mostly on undulating landscape. Most of the flood-

prone areas are coastal swamps affected by the rise and fall of tides.

The use of modern rice varieties has increased markedly. Current estimates are that over

85% of riceland is planted to modern varieties. Production of other food crops such as

maize, soybean, peanut, and mungbean has been increasing at about the same rate as rice.

The area covered by these crops has increased at an even higher rate than rice, averaging

about 4.3% annually.

Production constraints

Page 95: Data praktikum

Long-term sustainability is a primary concern, particularly in the uplands. Weather,

topography, and poor soils are the chief production constraints.

1. Weather. Rainfed lowland, and upland rice ecosystems are most prone to drought

stress. However, some irrigated lowlands are also prone to drought, especially in the

dry season when irrigation water is in short supply. Others, especially those in low-

lying areas, as well as the tidal swamps are subject to flooding.\

2. Topography. Erosion is a serious problem in upland rice areas because on steep

slopes the fields are neither bunded nor terraced. That is causing serious

sedimentation problems in lowland irrigation systems. Alley cropping as well as

terracing are being introduced in some areas, but these cultural practices have not as

yet been widely adopted by farmers.

3. Soils. In irrigated and favorable rainfed lowlands, the relatively heavy application of

fertilizers plus the fairly high yields make nutrient imbalance a serious problem.  In

the upland ecosystem, where soils are more weathered and leached, acidity, Al

toxicity, P and other nutrient deficiencies combine to reduce yields. Soil acidity is

serious in tidal swamps because of acid sulfate soils. That is accompanied by Fe

toxicity, as well as some deficiencies of P and micronutrients.

8.4. Pertanian lestariSustainable Agriculture

Some terms defy definition. “Sustainable agriculture” has become one of them. In such a

quickly changing world, can anything be sustainable? What do we want to sustain? How

can we implement such a nebulous goal? Is it too late? With the contradictions and

questions have come a hard look at our present food production system and thoughtful

Page 96: Data praktikum

evaluations of its future. If nothing else, the term “sustainable agriculture” has provided

“talking points,” a sense of direction, and an urgency, that has sparked much excitement and

innovative thinking in the agricultural world.

The word “sustain,” from the Latin sustinere (sus-, from below and tenere, to hold), to keep

in existence or maintain, implies long-term support or permanence. As it pertains to

agriculture, sustainable describes farming systems that are “capable of maintaining their

productivity and usefulness to society indefinitely. Such systems… must be resource-

conserving, socially supportive, commercially competitive, and environmentally sound.”

Page 97: Data praktikum

The term sustainable agriculture means an integrated system of plant and animal production

practices having a site-specific application that will, over the long term:

satisfy human food and fiber needs

enhance environmental quality and the natural resource base upon which the

agricultural economy depends

make the most efficient use of nonrenewable resources and on-farm resources and

integrate, where appropriate, natural

biological cycles and controls

sustain the economic viability of farm operations

enhance the quality of life for farmers and society as a whole.

Concept Themes

Sustainable agriculture integrates three main goals–environmental health, economic

profitability, and social and economic equity. A variety of philosophies, policies and

practices have contributed to these goals. People in many different capacities, from farmers

to consumers, have shared this vision and contributed to it. Despite the diversity of people

and perspectives, the following themes commonly weave through definitions of sustainable

agriculture.

Sustainability rests on the principle that we must meet the needs of the present without

compromising the ability of future generations to meet their own needs.

Therefore, stewardship of both natural and human resources is of prime importance.

Stewardship of human resources includes consideration of social responsibilities such as

working and living conditions of laborers, the needs of rural communities, and consumer

health and safety both in the present and the future. Stewardship of land and natural

resources involves maintaining or enhancing this vital resource base for the long term.

A systems perspective is essential to understanding sustainability. The system is envisioned

in its broadest sense, from the individual farm, to the local ecosystem,  andto communities

affected by this farming system both locally and globally. An emphasis on the system

allows a larger and more thorough view of the consequences of farming practices on both

human communities and the environment. A systems approach gives us the tools to explore

the interconnections between farming and other aspects of our environment.

A systems approach also implies interdisciplinary efforts in research and education. This

requires not only the input of researchers from various disciplines, but also farmers,

farmworkers, consumers, policymakers and others.

Page 98: Data praktikum

Making the transition to sustainable agriculture is a process . For farmers, the transition to

sustainable agriculture normally requires a series of small, realistic steps. Family economics

and personal goals influence how fast or how far participants can go in the transition. It is

important to realize that each small decision can make a difference and contribute to

advancing the entire system further on the “sustainable agriculture continuum.” The key to

moving forward is the will to take the next step.

Finally, it is important to point out that reaching toward the goal of sustainable agriculture

is the responsibility of all participants in the system, including farmers, laborers,

policymakers, researchers, retailers, and consumers. Each group has its own part to play, its

own unique contribution to make to strengthen the sustainable agriculture community.

The remainder of this document considers specific strategies for realizing these broad

themes or goals. The strategies are grouped according to three separate though related areas

of concern: Farming and Natural Resources, Plant and Animal Production Practices, and the

Economic, Social and Political Context. They represent a range of potential ideas for

individuals committed to interpreting the vision of sustainable agriculture within their own

circumstances.

Plant Production Practices

Sustainable production practices involve a variety of approaches. Specific strategies must

take into account topography, soil characteristics, climate, pests, local availability of inputs

and the individual grower’s goals. Despite the site-specific and individual nature of

sustainable agriculture, several general principles can be applied to help growers select

appropriate management practices:

Selection of species and varieties that are well suited to the site and to conditions on

the farm;

Diversification of crops (including livestock) and cultural practices to enhance the

biological and economic stability of the farm;

Management of the soil to enhance and protect soil quality;

Efficient and humane use of inputs; and

Consideration of farmers’ goals and lifestyle choices.

Selection of site, species and variety.

Preventive strategies, adopted early, can reduce inputs and help establish a sustainable

production system. When possible, pest-resistant crops should be selected which are

Page 99: Data praktikum

tolerant of existing soil or site conditions. When site selection is an option, factors such as

soil type and depth, previous crop history, and location (e.g. climate, topography) should be

taken into account before planting.

Diversity

Diversified farms are usually more economically and ecologically resilient. While

monoculture farming has advantages in terms of efficiency and ease of management, the

loss of the crop in any one year could put a farm out of business and/or seriously disrupt the

stability of a community dependent on that crop. By growing a variety of crops, farmers

spread economic risk and are less susceptible to the radical price fluctuations associated

with changes in supply and demand.

Properly managed, diversity can also buffer a farm in a biological sense. For example, in

annual cropping systems, crop rotation can be used to suppress weeds, pathogens and insect

pests. Also, cover crops can have stabilizing effects on the agroecosystem by holding soil

and nutrients in place, conserving soil moisture with mowed or standing dead mulches, and

by increasing the water infiltration rate and soil water holding capacity. Cover crops in

orchards and vineyards can buffer the system against pest infestations by increasing

beneficial arthropod populations and can therefore reduce the need for chemical inputs.

Using a variety of cover crops is also important in order to protect against the failure of a

particular species to grow and to attract and sustain a wide range of beneficial arthropods.

Optimum diversity may be obtained by integrating both crops and livestock in the same

farming operation. This was the common practice for centuries until the mid-1900s when

technology, government policy and economics compelled farms to become more

specialized. Mixed crop and livestock operations have several advantages. First, growing

row crops only on more level land and pasture or forages on steeper slopes will reduce soil

erosion. Second, pasture and forage crops in rotation enhance soil quality and reduce

erosion; livestock manure, in turn, contributes to soil fertility. Third, livestock can buffer

the negative impacts of low rainfall periods by consuming crop residue that in “plant only”

systems would have been considered crop failures. Finally, feeding and marketing are

flexible in animal production systems. This can help cushion farmers against trade and price

fluctuations and, in conjunction with cropping operations, make more efficient use of farm

labor.

Soil management

Page 100: Data praktikum

A common philosophy among sustainable agriculture practitioners is that a “healthy” soil is

a key component of sustainability; that is, a healthy soil will produce healthy crop plants

that have optimum vigor and are less susceptible to pests. While many crops have key pests

that attack even the healthiest of plants, proper soil, water and nutrient management can

help prevent some pest problems brought on by crop stress or nutrient imbalance.

Furthermore, crop management systems that impair soil quality often result in greater inputs

of water, nutrients, pesticides, and/or energy for tillage to maintain yields.

In sustainable systems, the soil is viewed as a fragile and living medium that must be

protected and nurtured to ensure its long-term productivity and stability. Methods to protect

and enhance the productivity of the soil include using cover crops, compost and/or manures,

reducing tillage, avoiding traffic on wet soils, and maintaining soil cover with plants and/or

mulches. Conditions in most California soils (warm, irrigated, and tilled) do not favor the

buildup of organic matter. Regular additions of organic matter or the use of cover crops can

increase soil aggregate stability, soil tilth, and diversity of soil microbial life.

Efficient use of inputs

Many inputs and practices used by conventional farmers are also used in sustainable

agriculture. Sustainable farmers, however, maximize reliance on natural, renewable, and on-

farm inputs. Equally important are the environmental, social, and economic impacts of a

particular strategy. Converting to sustainable practices does not mean simple input

substitution. Frequently, it substitutes enhanced management and scientific knowledge for

conventional inputs, especially chemical inputs that harm the environment on farms and in

rural communities. The goal is to develop efficient, biological systems which do not need

high levels of material inputs.

Growers frequently ask if synthetic chemicals are appropriate in a sustainable farming

system. Sustainable approaches are those that are the least toxic and least energy intensive,

and yet maintain productivity and profitability. Preventive strategies and other alternatives

should be employed before using chemical inputs from any source. However, there may be

situations where the use of synthetic chemicals would be more “sustainable” than a strictly

nonchemical approach or an approach using toxic “organic” chemicals. For example, one

grape grower switched from tillage to a few applications of a broad spectrum contact

herbicide in the vine row. This approach may use less energy and may compact the soil less

than numerous passes with a cultivator or mower.

Page 101: Data praktikum

8.5. Pengelolaan hara terpadu

INTEGRATED PLANT NUTRIENT MANAGEMENT SYSTEM (IPNMS)

Definition

Integrated plant nutrient management system (IPNMS) pertains to the combined use of

organic and inorganic fertilizers in proper proportion accompanied by sound cultural

management practices in crop production. Such cultural practices include the use of

appropriate varieties, good water management, pest control (including weeds) and crop

rotation (Rice Production Manual, 1991). According to Singh (1994), the basic concept of

IPNMS is to limit the unfavorable exploitation of soil fertility and plant nutrients.

The maintenance and improvement of soil fertility and plant nutrition at an optimum level

to sustain the desired crop productivity through optimization of the benefits from all

possible sources of plant nutrients in an integrated manner is the main concern of IPNMS.

The combination of organic and inorganic fertilizer seem to be more practical than the use

of organic fertilizer alone. The importance of IPNMS is recognized mainly because of the

growing consumption of inorganic fertilizers and the unavailability of nutrients at low cost.

Another reason is that, many researches revealed that neither inorganic fertilizers nor

organic sources alone can achieve a sustainable productivity of soils as well as crops under

highly intensive cropping systems (Singh, et. al., 1994).

There are many factors that should be considered in the adoption of IPNMS and should

include the farmer’s socio-economic and cultural conditions. There are varying approaches

in the utilization of organic materials in different localities. In Central Luzon, one common

practice of the farmer is the dumping and burning of rice hull in the field prior to planting.

This burned rice hull is the farmer’s way of controlling pest especially weeds and diseases

(Aganon, et. al, 1999).

IPNMS also considers the water resource in the area. In upland farming where water is

usually limiting, the application of organic matter is encouraged to increase the soil water

holding capacity and provide more available water to the plants.

Page 102: Data praktikum

History

In the mid-1960s, when projections of global starvation were common, no one questioned

the role of mineral fertilizer in increasing food production, particularly in the food-deficit

countries. On the contrary, fertilizer use was an integral part of the “Green Revolution”

technological package of improved varieties of rice and wheat, irrigation, and fertilizer that

helped many densely populated countries to achieve food self-sufficiency in the short span

of 20 to 25 years.

In the early 1990s, however, fertilizer became the target of criticism, mainly because of

heavy use in the developed countries, where it was suspected of having an adverse impact

on the environment through nitrate leaching, eutrophication, greenhouse gas emissions and

heavy metal uptakes by plants. Consequently, fertilizer use per se was mistakenly identified

as harmful to the environment. But, if for any reason fertilizer use were discontinued today,

world food output would drop by an estimated 40 per cent with all its disastrous

consequences. While fertilizer misuse can contribute to environmental contamination, it is

often an indispensable source of the nutrients required for plant growth and food

production.

Unless all the soil nutrients removed with the harvested crops are replaced in proper

amounts from both organic and inorganic sources, crop production cannot be sustained: soil

fertility will decline. If in the past, the emphasis was on increased use of fertilizer; the

current approach should focus on educating farmers to optimize use of organic, inorganic,

and biological fertilizer in an integrated way. Plant nutrition in future will require the

judicious and integrated management of all sources of nutrients for sustainable agriculture.

Need for change

To promote this integrated approach in a more systematic and scientific manner, FAO

pioneered the development of new technologies such as Integrated Pest Management (IPM)

and IPNS. The basic concept underlying IPNS is the maintenance and possible increase of

soil fertility for sustaining increased crop productivity through the optimization of all

possible sources, organic and inorganic, of plant nutrients required for crop growth and

quality in an integrated manner appropriate to each cropping system and farming situation

within the given ecological, social and economic boundaries.

Integrated nutrient management differs from conventional nutrient management in that it

more explicitly considers nutrients from different sources, notably organic materials,

Page 103: Data praktikum

nutrients carried over from previous cropping seasons, the dynamics and transformation of

nutrients in soil, interaction between nutrients, and the availability of nutrients in space (the

rooting zone) and time (the growing season), in relation to the nutrient demand by the crop.

In addition, it integrates the objectives of production with ecology and environment, that is,

optimum crop nutrition, optimum functioning of the biosphere (soil health), and minimum

nutrient losses or other adverse effects on the environment.

Integrated Nutrient Management (INM) has to be considered an integral part of any

sustainable agricultural system. Attempts made in several countries of South and South-East

Asia to complement the use of mineral with organic sources of plant nutrients have

generated useful, though limited, information on the complementary and synergistic effects

of these materials on the yield of crops. Because organic sources of nitrogen are also

improving soil structure and soil bioactivity which are not directly improved by mineral

sources of N, the productivity of the crop for each kg of N may be better with organic

sources of N than with only mineral sources of N. If the objective of IPNS is the balanced

and effective use of various sources of plant nutrients than the strategy should be the

mobilization of all available, accessible and affordable plant nutrient sources in order to

optimize the environmentally benign productivity of the whole cropping system and to

increase the monetary return to the farmer.

Thus, there is need for more information on (i) integrated nutrient recommendations for

cropping systems as a whole taking into account the complementary and the synergistic

effects of combined use of both mineral and organic/ biological sources for sustained crop

production, (ii) recommendations for different agro-ecological situations taking into

account available organic/ biological resources, (iii) and finally, transfer of this technology

for the benefit of small farmers through the national agricultural extension services.

Components and technology of IPNS

Soil sources

Soils supply all the 16 essential plant nutrients. Nutrients are mostly found in organic and/or

fixed mineral form. Plants can meet much of their nutritional requirement from this source,

if managed properly, mainly through mineralization of soil organic matter. But due to

continuous and intensive cultivation, the nutrient supplying capacity of soils has decreased

considerably.

Therefore, under any intensive agriculture system, special emphasis should be given to

raising Soil Organic Matter (SOM) to maintain soil nutrient and to reduce soil degradation.

Page 104: Data praktikum

To enhance soil nutrient supply it is necessary to adopt appropriate soil management

practices, such as improvement of soil physical conditions and addition of appropriate

quantities of nutrients including micronutrients through mineral fertilizer, organic and

biological sources.

Mineral fertilizers

Various types and grades of fertilizer are available throughout Asia supplying major

nutrients such as N, P and K. The fertilizer use levels differ widely between various

countries and nutrient use is mostly imbalanced, favouring lopsided use of nitrogen.

Balanced fertilization is known to improve fertilizer use efficiency (FUE) and at the same

time profitability for the farmer. Using ever higher rates of nitrogen (urea mostly) alone

with improved better varieties, the resulting higher yields also remove ever larger amounts

of soil nutrients if not replenished and the FUE declines further resulting in stagnating and

even declining yields. This leads to the paradox situation where statistics report the

continuing increase in fertilizer use but the expected crop production increases are not

taking place.

Apart from N, P and K, sulphur (S) and micronutrients such as zinc (Zn), iron (Fe)

manganese (Mn) and boron (B) have also gained in importance in recent years. The

secondary nutrient sulphur (S) has become deficient over wide areas especially since the

intensive use of high analysis fertilizer, urea, instead of sulphate of ammonia and TSP or

DAP instead of single superphosphate or NPK compounds. The major effect of these and

several other factors is the gradual decline in crop yields and fertilizer use efficiency.

Organic fertilizer sources

The sustainability of highly intensive cropping systems and the associated heavy mineral

fertilizer use without organic manures is widely questioned. This has brought the almost

forgotten farmyard manures (FYM) and composts back to the forefront. Regular

applications of such organic manures not only supply all the various secondary and

micronutrients, though in small quantities, but also improve the physical and biological

properties of the soil.

Furthermore, return to the farm is the best way to take care of the large amounts of animal

waste produced in the commercial dairy, pig and poultry farms, instead of dumping and

degrading the environment.

Page 105: Data praktikum

Farmyard manure

Farmyard manure (FYM) traditionally does not receive the attention it deserves, as most

farmers store their most valuable asset, their cattle/ buffalo manure not in a systematic, but

in a rather haphazard way. Storage of FYM in rural households in the region is in heaps

exposed to sun, wind and rain, which accounts for substantial nutrient losses. FYM

preparation needs improvement, adhering to strict and prompt coverage for shading and

prevention of drying out by hot wind or washing out of nutrients with heavy rains (pollution

hazard). In the Indian subcontinent the widespread practice of using dried cattle and buffalo

dung for burning (cooking) as firewood substitute should be discouraged and for the farmer

affordable alternatives provided to the farmers e.g. use of biogas.

Compost

Unlike FYM, compost is not a by-product of common farm activities, but has to be

specially prepared for its own sake. The quality of the ripe compost after undergoing a

heating process reaching at least 60oC to destroy harmful pathogens and weed seeds will

depend on the raw material used and the attention given to proper composting by the

farmer. The C:N ratio needs to be lowered to 20-15 and good quality compost should have

no more than 30 per cent moisture, as no farmer wants to carry excess water to the field.

Practically all 16 known plant nutrients are contained in compost, but unfortunately, only in

very small quantities. Composting is a labour and time-consuming process, which takes 3-6

months. To speed up the process in several countries, rapid composting technologies have

been developed. With the use of Trichoderma harzianium (Philippines), a fungal activator,

decomposition of rice straw and other organic material with high C:N ratio, combined with

animal manure is enhanced to 25 days.

In Thailand, the Department of Land Development of the Ministry of Agriculture uses a

mixture of bacterial and fungal microorganisms to inoculate raw rice straw compost for

rapid decomposition. More than 100,000 packages of compost activator or inoculants are

prepared per year for free distribution to farmers. Each package of 150 g is sufficient for

rapid composting of one ton straw or other organic material together with 200 kg of animal

manure plus 2 kg of urea. Commercially prepared composts marketed as organic fertilizer

are available in most countries in the region and used mainly for high quality vegetable

production and horticultural use.

Page 106: Data praktikum

Crop residues

Other freely available sources of organic matter that are available on-farm in large

quantities are wheat and rice straws, maize stalks, and stovers of legumes and various

pulses. Most of the crop residues are not collected for composting and nutrient recycling,

but are used as animal feed (straws/stovers), burnt or left in the field for natural

decomposition (fallen leaves and stubble). Crop residues in the long run also increase the

OM content in the soil. Mulching with fresh straw or leaves is another good agronomic

practice for conserving moisture, reducing soil erosion and for recycling of nutrients, if the

partly decomposed mulching material is ploughed under for the following crop. Direct

seeding of maize or soybean into mulch cover would be another good agronomic practice.

Burning of straw which is still widely practised by farmers as the fastest and least labour

requiring method of disposal should be discouraged or, if possible, banned as in most

developed countries, mainly because of its air polluting effect.

Green manure

Green manure crops such as Sesbania aculeata ploughed into the soil after 45-60 days, as

practiced by Indian, Nepali and Pakistani farmers may contribute about 30-40 kg per

hectare nitrogen for the following crop. However, it seems to be increasingly difficult to

find a niche in the traditional farming calendar and cropping system to successfully grow a

green manure crop, which occupies the land for several months and needs water and

fertilizer, except N- just to plough it back into the soil.

Wherever possible and feasible the growing of grain legumes such as groundnuts, soybeans,

chickpeas, cowpeas or mungbean as cash crops, which maintain soil fertility and provide

farmers with extra income and fodder from crop residues should be encouraged.

Leguminous green manures, when incorporated, certainly add the nutrients present in their

biomass including the bulk of nitrogen they have captured (fixed) from the air, but other

nutrients have to be absorbed from the soil.

Green manuring apart from making net nitrogen addition, basically recycles other nutrients

back in the soil. Furthermore, effective nitrogen fixation requires an adequate phosphorus

status in soils which is usually lacking. It is a common misconception that using green

manures to provide nitrogen would be less damaging to the environment than using mineral

fertilizer, but far from it, the opposite is often the case. When the legume plants die at the

end of the growing season or after harvest and there is no crop growth in the field to take up

all the nitrate which is released from the rapidly decaying rhizobium nodules and plant

Page 107: Data praktikum

residue, there is a great danger of nitrate leaching, especially under hot, humid and high

rainfall climatic condition in the tropics.

Biogas slurries

Biogas plants in rural areas produce digested slurry as an end product, which could be

applied directly in cultivated fields. Such slurry contains about 1.5-2.0 per cent nitrogen, 1.0

per cent phosphorus and a little over 1 per cent potassium. It is also a valuable source of

micronutrients. Moreover, due to the heated digestion processes, biogas slurry is virtually

free from weed seeds and pathogens.

Industrial waste materials

Most industrial waste materials as are valuable resources and should be properly managed

and utilized. The large number of sugar cane processing factories in the region produce

substantial quantities of organic by-products such as bagasse, pith and press-mud. Even

though some of the bagasse and cane residues are used for cardboard production, most of

them are burnt as fuel in the sugar industry. So far only a small portion is mixed with press-

mud, composted and recycled as organic fertilizer.

Agro-industries, such as fruit and vegetable processing, cotton ginneries, oil mills,

breweries and distilleries, also produce large quantities of organic waste materials which

need to be properly managed and utilized for nutrient recycling instead of dumping and

polluting the environment. An excellent example for organic waste recycling is the practice

of Malaysia’s oil palm industry to effectively utilize the vast quantities of palm oil milling

effluent

City refuse (garbage, sewage sludge)

Increasing population and even faster growth of urban population will consequently lead to

increasing amounts of urban waste, which would create enormous disposal problems if not

properly recycled as a source of crop nutrients. Processed, composted solid organic wastes

and sewage sludge provide both organic matter and valuable plant nutrients to crops. The

transport from urban composting plants to the farming areas constitutes a major part of the

cost of processed organic wastes for farmers.

Marketing studies and advertising campaigns, attractive comparative prices together with a

subsidy scheme to encourage the large-scale acceptance by farmers of urban compost

should be considered. Subsidies, grants and credit should concentrate on transport and

Page 108: Data praktikum

handling cost of such bulky products, which could nevertheless result in considerable

savings in mineral fertilizer, for the farmers. As a rule of thumb the price per kg of nutrient

in composted city refuse for the farmer should be at par or not considerably higher than the

cost per kg nutrient in commonly used mineral fertilizer. The other not so easily

quantifiable benefits of using organic fertilizer materials, such as increasing SOM, better

water holding capacity, and better soil health, are to be accounted for by the cost of extra

labour for spreading and incorporation in the field.

Enriched city compost

City compost produced at mechanical composting plants throughout the Asia and the

Pacific region (India, Nepal, Pakistan, Philippines, Indonesia, and Thailand) is generally

low in plant nutrients and therefore its acceptability by farmers has been limited. To

improve the quality and nutrient content of city compost, low-grade rock phosphate and

phosphate solubilising azotobacter spp. and the nitrogen fixing bacteria, such as azotobactor

spp. or pseudomonas spp., are being used as inoculants.

Microbial inoculation and application of 1 to 5 per cent rock phosphate increased the

nitrogen content of city compost by 24 to 30 per cent and more favourable C:N ratios have

been obtained. Available P2O5 content of compost was increased by 60 to 114 per cent

where rock phosphate was applied and inoculated with aspergillus awamori. Preparation of

compost from enriched city garbage or otherwise is promising, provided that financial

support from government is available.

However, heavy metals in sewage sludge when continuously applied in excessive quantities

to farmland as organic manure could lead to problems. Monitoring for Cd, Zn, Pb, As, and

Cu contents in compost is recommended.

Biofertilizers

Biofertilizers have an important role to play in rainfed areas in improving the nutrient

content of crops. Although rhizobium is the most researched and well known among the

biofertilizers, there are a number of microbial inoculants with potential practical application

in IPNS. Such inoculates could contribute to increasing crop productivity through increased

biological nitrogen fixation (BNF), increased availability or uptake of nutrients through

phosphate solubilization, or increased absorption, stimulation of plant growth (hormones),

or by rapid decomposition of organic residues (rapid composting technology).

Page 109: Data praktikum

Rhizobium inoculants

The nitrogen fixed by rhizobia benefits legume crop production in two ways: (i) by meeting

most of the legume crops nitrogen needs and (ii) by enriching the soil for the benefit of

subsequent crops. Rhizobium inoculation should be considered in all legume green manure

crops to gain maximum benefit from nitrogen fixation in the shortest possible time.

Azospirillum, azotobacter and pseudomonas inoculations on upland grain crops are still in

their infancy and field trial results are inconclusive, although good responses to

azospirillum and azotobacter inoculation of wheat, rice and sugar cane have been recorded.

Further research is needed to find agronomic practices that may help the inoculated bacteria

to multiply profusely in the rhizosphere.

Biofertilizers for flooded rice: Azolla and BGA

Most important biofertilizers for wetland rice are the water fern azolla and the blue green

algae (BGA), also known as floating nitrogen fertilizer factories. Both can grow alongside

paddy. Azolla can also be used for green manuring which could contribute from 20 to 60 kg

per hectare N. Phosphorus is a key element and its deficiency results in poor growth and

reduced N fixation (addition of 1 kg P results in fixation of 5 to 10 kg N). Azolla is

considered an efficient scavenger for potassium and serves as a source of K for rice crops.

Azolla biofertilizer technology is labour intensive. Irrigation water, phosphate fertilizer and

pest control measures are necessary inputs. Nitrogen fixed by azolla or BGA becomes

available to the rice crop only after its decomposition. Numerous field experiments

indicated that only up to one third of the fixed N is absorbed by the following rice crop,

while two-thirds remained in the soil as residual N or is lost to the atmosphere.

Phosphate solubilizing microorganisms

A number of microorganisms known to have the ability to solubilize and transform

inorganic P from normally insoluble sources through excretion of various organic acids

have been isolated. These are bacteria of the bacillus and pseudomonas spp and fungi, such

as aspergillus, penicillium and trichoderma spp. In addition to P-solubilization these

microorganisms can also mineralize locked up organic P into soluble, plant available forms.

As these reactions take place in the rhizosphere and the microorganisms bring more P into

solution than they can absorb for their own growth, the surplus is available for plants to

absorb. The effectiveness of these microorganisms depends on the availability of sufficient

Page 110: Data praktikum

energy source, carbon in the soil, P concentration, particle size of rock phosphate as well as

temperature and moisture.

Constraints to biofertilizer use

It is difficult to predict the performance biofertilizers, which is influenced by many factors,

only some of which could be attributed to farm management. Essentially, the survival/

multiplication rate of the introduced strains needs to be improved. There are several

constraints to the use of biofertilizer. For example, inoculum transportation and storage

should be ideal. There would be a rapid decline in number of cultured bacteria if transported

and stored at 45oC and above. Poor survival is also related to high temperature in the soil

during summer months.

Growth and survival of rhizobium and other free-living N2-fixing bacteria is also

influenced by competition and antagonism from other organisms, soil salinity, water

logging and pesticides application. So far biofertilizer use is below potential, but could

increase if GMO technologies presently being explored become successful. Intensive

extension activities through widespread field demonstration programmes and wide publicity

through mass media could help in creating awareness among farmers on the benefits of

biofertilizer use.

8.6. Mutu dan kesehatan tanahWhat is Soil Quality?

Soil Quality is how well soil does what we want it to do. More specifically, soil quality is

the capacity of a specific kind of soil to function, within natural or managed ecosystem

boundaries, to sustain plant and animal productivity, maintain or enhance water and air

quality, and support human health and habitation.

People have different ideas of what a quality soil is. For example:

1. for people active in production agriculture, it may mean highly productive land,

sustaining or enhancing productivity, maximizing profits, or maintaining the soil

resource for future generations;

2. for consumers, it may mean plentiful, healthful, and inexpensive food for present

and future generations;

3. for naturalists, it may mean soil in harmony with the landscape and its surroundings;

Page 111: Data praktikum

4. for the environmentalist, it may mean soil functioning at its potential in an

ecosystem with respect to maintenance or enhancement of biodiversity, water quality,

nutrient cycling, and biomass production.

What does soil do?

Healthy soil gives us clean air and water, bountiful crops and forests, productive rangeland,

diverse wildlife, and beautiful landscapes. Soil does all this by performing five essential

functions:

1. Regulating water. Soil helps control where rain, snowmelt, and irrigation water

goes. Water and dissolved solutes flow over the land or into and through the soil.

2. Sustaining plant and animal life. The diversity and productivity of living things

depends on soil.

3. Filtering potential pollutants. The minerals and microbes in soil are responsible for

filtering, buffering, degrading, immobilizing, and detoxifying organic and inorganic

materials, including industrial and municipal by-products and atmospheric deposits.

4. Cycling nutrients. Carbon, nitrogen, phosphorus, and many other nutrients are

stored, transformed, and cycled through soil.

5. Supporting structures. Buildings need stable soil for support, and archeological

treasures associated with human habitation are protected in soils.

Soil has both inherent and dynamic quality

Inherent soil quality is a soil’s natural ability to function. For example, sandy soil drains

faster than clayey soil. Deep soil has more room for roots than soils with bedrock near the

surface. These characteristics do not change easily.

Dynamic soil quality is how soil changes depending on how it is managed. Management

choices affect the amount of soil organic matter, soil structure, soil depth, water and nutrient

holding capacity. One goal of soil quality research is to learn how to manage soil in a way

that improves soil function. Soils respond differently to management depending on the

inherent properties of the soil and the surrounding landscape.

Soil quality is linked to sustainability

Page 112: Data praktikum

Understanding soil quality means assessing and managing soil so that it functions optimally

now and is not degraded for future use. By monitoring changes in soil quality, a land

manager can determine if a set of practices are sustainable.

Assessing soil quality

Soil quality is an assessment of how well soil performs all of its functions. It cannot be

determined by measuring only crop yield, water quality, or any other single outcome. The

quality of a soil is an assessment of how it performs all of its functions now and how those

functions are being preserved for future use.

Table. Indicators of soil quality:

Indicators can be assessed by qualitative or quantitative techniques. After measurements are

collected, they can be evaluated by looking for patterns and comparing results to

measurements taken at a different time or field.

Soil quality cannot be measured directly, so we evaluate indicators. Indicators are

measurable properties of soil or plants that provide clues about how well the soil can

function. Indicators can be physical, chemical, and biological characteristics. Useful

indicators :

Page 113: Data praktikum

1. are easy to measure

2. measure changes in soil functions

3. encompass chemical, biological, and physical properties

4. are accessible to many users and applicable to field conditions

5. are sensitive to variations in climate and management.

Soil quality is not an end in itself

The ultimate purpose of researching and assessing soil quality is not to achieve high

aggregate stability, biological activity, or some other soil property. The purpose is to protect

and improve long-term agricultural productivity, water quality, and habitats of all organisms

including people. We use soil characteristics as indicators of soil quality, but in the end, soil

quality must be identified by how it performs its functions.

Managing for soil quality

Each combination of soil type and land use calls for a different set of practices to enhance

soil quality. Yet, several principles apply in most situations.

1. Add organic matter. Regular additions of organic matter are linked to many aspects

of soil quality. Organic matter may come from crop residues at the surface, roots of

cover crops, animal manure, green manure, compost, and other sources. Organic

matter, and the organisms that eat it, can improve water holding capacity, nutrient

availability, and can help protect against erosion.

2. Avoid excessive tillage. Tillage has positive effects, but it also triggers excessive

organic matter degradation, disrupts soil structure, and can cause compaction. For

more information about conservation tillage.

3. Carefully manage fertilizer and pesticide use. In this century, pesticides and

chemical fertilizers have revolutionized U.S. agriculture. In addition to their desired

effects, they can harm non-target organisms and pollute water and air if they are

mismanaged. Manure and other organic matter also can become pollutants when

misapplied or over-applied. On the positive side, fertilizer can increase plant growth

and the amount of organic matter returned to the soil.

4. Increase ground cover. Bare soil is susceptible to wind and water erosion, and to

drying and crusting. Ground cover protects soil, provides habitats for larger soil

organisms, such as insects and earthworms, and can improve water availability.

Page 114: Data praktikum

Cover crops, perennials, and surface residue increase the amount of time that the soil

surface is covered each year.

5. Increase plant diversity. Diversity is beneficial for several reasons. Each crop

contributes a unique root structure and type of residue to the soil. A diversity of soil

organisms can help control pest populations, and a diversity of cultural practices can

reduce weed and disease pressures. Diversity across the landscape and over time can

be increased by using buffer strips, small fields, contour strip cropping, crop

rotations, and by varying tillage practices. Changing vegetation across the landscape

or over time increases plant diversity, and the types of insects, microorganisms, and

wildlife that live on your farm.