Definisi

20
LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS A. Definisi Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi, toksin kuman Clostridium Tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot rangka. Clostridium Tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderangm berspora, Golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf tepi setempat. Tetani didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas ditanah. Tersebar luas ditanah, besi berkarat, sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. B. Patofisiologi

description

YEEEYAA

Transcript of Definisi

LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS

A. Definisi Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi, toksin kuman Clostridium Tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot rangka. Clostridium Tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderangm berspora, Golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf tepi setempat. Tetani didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas ditanah. Tersebar luas ditanah, besi berkarat, sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.B. Patofisiologi Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi,tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% terjadi setelah 14 hari. Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik. Kuduk kaku, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas risus sardonikus dan meluas ke otot-otot untuk menelen yang menyebabkan disfagia. Sebagai tambahan dari peningkatan tonus otot, terjadi juga spasme episodik muskular.Kontraksi tonik ini memiliki gambaran seperti kejang yang mempengaruhi otot agonis dan antagonis. Spasme dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupunbanyak yang tidak sementara kesadaran tidak terpengaruh. Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Kontraksi otot ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis danantagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. Pada tetanus generalisata otot-otot diseluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresifuntuk mempengaruhi seluruh tubuh. Tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas otonomik yang nyata. Sistem saraf simpatiklah yang jelas dipengaruhi. Secara klinispeningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpaivasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, dan keringat berlebihanC. Pathogenesis Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk yang dalam, misalnya tertusuk paku, pecahan paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor/tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium Tetani. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-14 hari. Prognosis penyakit ini sangat buruk bila ada OMP dan luka pada kulit kepala. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikatkan oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas dalam peredarah darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini. D. Gejala Klinis Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal ) 2. Cephalic Tetanus 3. Generalized tetanus (Tctanus umum) 4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus Kharekteristik dari tetanus : 1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari. 2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya 3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang. 4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. 5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme 6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity ) 7. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat . 8. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan 9. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. 10. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Ad 1. tetanus lokal (lokalited Tetanus) Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.Ad.2. Cephalic tetanus Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Ad.3 Generalized Tetanus Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Ad.4. Neotal tetanus Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang memperlihatkan instrument untuk memotong tali pusat.E. Pengkajian Pengakajian tetanus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psiko-sosial. 1. Anamnesis Keluhan utama yang sering dikeluhkan klien adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran 2. Riwayat penyakit saat ini Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian utnuk dilakukan pengkajian lebih mendalam , bagaimana sifat timbulnya kejangdan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit letargi, tidak responsive, dan koma. 3. Riwayat penyakit dahulu Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam. Adakah porte dentre lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda kotor. 4. Pengkajian psiko-sosial-spiritual Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas. Rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Karena klien harus menjalani rawat inap apakah berpengaruh terhadap status ekonomi klien. 5. Pemeriksaan fisik Pada pasien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40 derajat Celsius. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan ke otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi nafas berhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum. Tekanan darah biasanya normal. a. B1 (Breathing)Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien tetanus. Disertai ketidakefektifan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil fremitus seimbang kanan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dna kemampuan batuk yang menurun. b. B2 (Blood)Pengjakian pada system kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien tetanus. TD norma, peningkatan heart rate. c. B3 (Brain)Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian system lain. 1) Tingkat kesadaran Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan 2) Pemeriksaan saraf kranail a) Saraf 1 . biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciumanb) Saraf II, tes ketajaman pada kondisi normal. c) Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui klien tetanus mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. d) Saraf V. reflex masester meningkat. Mulut mencucu (ini adalah gejala khas dari tetanus)e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. g) Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut h) Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher (mendadak) i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal. 3) System motorik Kekuatan otot menurun, kontrol kesimbangan dan koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan. 4) Pemeriksaan reflex Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, derajat reflex pada respon normal. 5) Gerakan involunterTidak ditemukan tremor, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu badan. 6) System sensorik Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaaan tubuh. Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaaan tubuh. d. B4 Bladder Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. e. B5 (Bowel)Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB. f. B6 (Bone)Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen. F. Diagnosis keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidka efektif yang berhubungan dengan adanya secret trachea. Kemampuan batuk menurun2. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengna proses inflamasi dan efek toksin di jaringan otak3. Resiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap visual, suara, dan taktil)4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trimus5. Gangguan mobilitas fisik yang berhubugnan dengan adanya kejang berulang6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik7. Cemas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang G. Rencana intervensi keperawatan NoDiagnosa KeperawatanIntervensi Keperawatan

1Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya secret dalam trachea, kemampuan batuk menurun 1. Kaji fungsi paru adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaaan otot-otot bantu, warna dna kekentalan sputum. 2. Atur posisi fowler dan semifowler 3. Ajarkan cara batuk efektif 4. Lakukan fisioterapi dada dan vibrasi dada5. Penuhi hidarasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500 mL/hari6. Lakukan pengisapan lender di jalan napas 7. Berikan oksigen

2Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan otak1. Monitor suhu tubuh klien 2. Berikan kompres air hangat di kepala dan aksila 3. Berikan bedrest total selama fase akut 4. Kolaborasi pemberian terapi ATS dan antimikroba

3Resiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap visual, suara, dan taktil)1. Kaji stimulasi kejang 2. Hindarkan stimulasi cahaya, kalau perlu klien ditempatkan pada ruangan dengan pencahayaan yang kurang3. Pertahankan bedrest total selama fase akut 4. Kolaborasi pemberian terapi diazepam

4Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trimus1. Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya secret 2. Berikan pengertian pentingnya nutrisi bagi tubuh 3. Auskultasi adanya hiperaktivitas suara bowel 4. Timbang berat badan sesuai indikasi 5. Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala 6. Bila klien sering kejang berikan makanan lewat NGT 7. Pertahankan lingkungna yang tenang dan anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk memberikan makanan pada klien

5Gangguan mobilitas fisik yang berhubugnan dengan adanya kejang berulang1. Kaji tingkat imobilisasi gunakan skala tingkat ketergantungan 2. Berikan perubahan posisi yang teratur pada klien 3. Pertahankan body aligment adekuat, berikan latihan ROM pasif jika klien sudah bebas panans dan kejang 4. Berikan perawatan kulit secara adekuat lakukan masase. Ganti pakaian klien dengan bahan linen dan pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering 5. Berikan perawatan mata. Bersihkan mata dan tutup kapas yang basah sesekali

6Cemas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang 1. Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan damping klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak 2. Jelaskan sebab terjadi kejang 3. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Berikan lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat4. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan ansietas 5. Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.Smanoe , Gatoet. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitandepartemen IPD FKUI. Jakarta.