Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul Fiqih)
-
Upload
universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta -
Category
Spiritual
-
view
410 -
download
2
Transcript of Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul Fiqih)
Pertanyaan - pertanyaan Ushul Fiqh kelompok tiga:
I A Hukum Ekonomi Syariah
1. (Amik) seperti apa syarat menjadi hakim menurut Islam?
Jawab : dalam konteks penetapan hukum ulama ushul fiqh, hakim dibedakan menjadi
dua. Pertama al-Mutsbit al-hukm (yang berhak menetapkan hukum/Allah SWT), kedua
al-Mudzhir al-hukm (yang membuat hukum menjadi nyata/mujtahid). Kemudian, yang
menjadi pertanyaan adalah syarat menjadi mujtahid atau yang membuat hukum menjadi
nyata. Karena sumber atau dalil yang dijadikan objek kajian para mujtahid adalah al-
Quran dan hadis, yang tidak lain keduanya di tulis dalam bahasa Arab, maka seorang
mujtahid diharuskan menguasai ilmu bahasa arab seperti ilmu nahwu, sharaf, mantiq,
balaghah, bade’, dll.
2. (Richad) apa dasar hukum manusia dijadikan hakim?
Jawab : seperti yang kita tahu, di Indonesia sebutan untuk seseorang yang memimpin
suatu sidang di pengadilan adalah hakim. Sedangkan dalam Islam hakim adalah Allah.
Kemudian, mengapa ada kata hakim yang ditujukan bukan untuk Allah seperti contoh
yang disebutkan diatas. Menurut pemahaman kami dari kelompok tiga ushul fiqh, sebutan
hakim bagi manusia itu hanya sebatas dzahiriyah saja atau kalimatnya saja, dan sebutan
hakim itu juga bukan untuk konteks Islamiyah. Karena dalam Islam hakim secara mutlak
adalah Allah. Oleh karena itu bangsa arab menyebut orang yang mengatur jalannya
pengadilan sebagai qadhi bukan hakim.
3. (S. Khodijah) Mengapa wanita tidak boleh menjadi hakim?
Jawab : wanita adalah mahluk Allah yang dikenal lemah lembut dan selalu menyertakan
perasaannya dalam setiap kondisi mereka. Oleh karena itu wanita tidak diperbolehkan
menjadi hakim karena seorang hakim atau qadhi tidak boleh memutuskan suatu hal
berdasarkan emosi atau perasaan, dan seorang hakim dituntut untuk memutuskan suatu
hal berdasarkan sudut pandang yang objektif atau tidak subjektif.
4. (Alen) apakah ada hubungannya antara hukum taklifi dan mahkum fih?
Jawab : ya ada, karena mahkum fih atau objek hukum Islam itu sendiri adalah perbuatan
mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’, dan yang disebut hukum taklifi adalah
hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan
sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan perbuatan mukallaf (objek hukum) itu
meliputi perbuatan meninggalkan yang dilarang, melaksanakan yang di perintahkan dan
memilih sebuah pilihan. Jadi objek hukum itu tidak lain adalah hukum taklifi.
5. (Fauzan K) ajaran mana yang pantas di sebut Ahlusunnah Waljamaah, Asy’ariyah atau
Maturidiyah?
Jawab : salah satu ulama yang sepemikiran dengan Maturidiyah adalah imam hanafi
sedangkan imam hanafi juga termasuk ulama Asy’ariyah. (jawaban belum di
sempurnakan).
6. (Adam) apakah perbedaan antara pebuatan mukallaf dengan wajib, sunah, haram,
makruh, dan mubah?
Jawab : tidak ada perbedaan di antara keduanya. Karena pengertian dari perbutan
mukallaf itu sendiri adalah perbuatan mereka yang berhubungan dengan hukum syara’,
dan hukum syara’ itu meliputi hukum perintah (wajib dan sunah), hukum larangan
(haram dan makruh), hukum pilihan (mubah).
7. (Iqoh) berikan contoh kesulitan yang sifatnya wajar atau biasa di tanggung manusia!
Jawab : contoh yang sifatnya wajar atau biasa di tanggung manusia antara lain bekerja
keras dalam mencapai suatu tujuan yang baik, berdagang, bertani, dll.
8. (Syifa) berikan contoh syarat sah suatu tuntutan !
Jawab : contoh syarat sah suatu tuntutan antara lain : pertama, tuntutan mesti jelas
tuntutannya atau tidak bersifat global, sesuatu yang di kategorikan sebagai tuntutan yang
bersifat global, misalnya firman Allah yang berbunyi “dirikanlah shalat”. Firman ini
masih bersifat global atau dapat menimbulkan pertanyaan (seperti, bagaimana cara
mendirikan shalat yang benar, apa syarat syaratnya, dll). Kedua, tuntutan harus berasal
dari orang yang berhak mengeluarkan hukum atau membuat hokum yang ada didalam
sumber hukum (al-Quran) menjadi nyata (mujtahid), seperti, imam Syafi’i (mujtahid
mutlak yang mengeluarkan hukum-hukum shalat, puasa, zakat, dll. Ketiga, tuntutan harus
bersifat dapat dilakukan dan tidak mustahil untuk dilakukan misalnya tidak sah sebuah
tuntutan yang menuntut untuk terbang, dll.
9. (Dira) contoh dari tuntutan yang apabila dilakukan dapat menimbulkan kemadharatan !
Jawab : contohnya adalah puasa pati geni (bahasa jawa) atau puasa wishal, puasa ini
dilakukan selama seharian penuh sehingga dapat membahayakan kesehatan orang yang
melakukan puasa tsb. Alkisah, zaman dulu ada orang yang berkata kepada Rasul SAW
bahwa ia akan menjalankan suatu nadzar yang isi dari nadzarnya adalah berdiri sepanjang
hari sambil memandang matahari, namun jawaban rasul adalah melarangnya, karena
perilaku seperti itu dapat membahayakan fisiknya.
10. (Mulya) apa dasar Mu’tazillah shingga mereka menjadikan akal sebagai tolak ukur untuk
menetukan yang baik dan yang benar?
Jawab : menurut yang kami ketahui kaum Mu’tazillah adalah kaum yang sangat
mengutamakan rasionalitas atau akal sehingga mereka berpendapat bahwa akal dapat
menentukan baik dan buruk suatu hal, karena manusia dapat mengetahui hal-hal yang
berbahaya bagi mereka dan yang bermanfaat bagi mereka. Misalnya manusia tahu bahwa
makan dapat mendatangkan kemanfaatan sehingga makan dinilai baik oleh mereka
sedangkan meminum racun dianggap dapat membahayakan sehingga meminum racun di
nilai buruk bagi mereka. Untuk dalil, kami tidak menemukannya.
11. (Fiqoh) apakah mukallaf bisa dituntut karena melakukan putusan akal di samping putusan
syariat?
Jawab : ya, bisa jadi. Karena seorang muslim harus hidup secara islam yang kaffah atau
keseluruhan. Jadi mereka harus melakukan perintah dan menjauhi larangan sesuai dengan
yang telah di putuskan oleh syariat.
12. (Desya) contoh tidak sah suatu tuntutan yang sifatnya masih global !
Jawab : jawaban telah di jelaskan sebelumnya. (jawaban Syifa meliputi jawaban Desya)
13. (Bimo) apakah boleh mengambil hokum selain Al-quran dan hadis?
Jawab : tidak, karena sumber hukum bagi umat islam adalah al-quran dan hadis adapun
sumber hukum yang lain seperti ijma dan qiyas itu merupakan hukum yang di tetapkan
oleh para ulama berdasarkan al-quran dan hadis.
14. (Fauzan N) menurut ulama Asy’ariyah manusia tidak dikenakan dosa dan pahala sebelum
datangnya rasul, kemudian seperti apa kondisi manusia di akhirat kelak?
Jawab : manusia di tuntut berdasarkan ajaran yang disampaikan oleh utusan Allah
sebelum datangnya nabi Muhammad SAW. Sedangkan Jumlah nabi dan rasul yang
tersebar di seluruh dunia itu ribuan. Jadi, menurut kami, diperkirakan hanya sedikit
manusia yang tidak dikenakan taklif (beban hukum).
15. (Akbar) siapa nama imam kaum Asy’ariyah, mu’tazillah, dan maturidiyah ?
Jawab : imam kaum Asy’ariyah adalah
Imam kaum mu’tazillah adalah Washil bin Atha’
16. (Dina) apakah ada manusia yang tidak dikenakan hukum?
Jawab : ada, yaitu : pertama orang yang tertidur sampai ia bangun, kedua orang gila
sampai ia menjadi waras, ketiga anak kecil sampai ia baligh. Jadi orang yang sedang
tidur, orang gila, dan anak kecil adalah mereka yang tidak dikenakan beban hukum.
Adapun orang yang tidak tau sama sekali tentang agama islam karena faktor informasi
yang tidak ia dapatkan maka orang tersebut juga tidak dikenakan beban hukum.
17. (Andi) apa boleh membuat hukum suatu kasus yang hukumnya tidak ada dalam al-Quran!
Jawab : al-Quran merupakan sumber hukum bagi umat islam namun kendalanya adalah
hukum-hukum dalam al-Quran masih bersifat global (umum). Oleh karena itu Rasul
dengan hadisnya menghususkan hukum-hukum dalam al-quran dan ulama dengan
kegiatan ijtihadnya berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan al-quran dan hadis
agar hukum islam selalu berkembang mengikuti zaman (mengatasi problematika
kehidupan) dan semakin jelas hukumnya. Jadi, memutuskan hukum berdasarkan kasus
yang dihadapi dizaman yang berbeda dengan rasul itu diperbolehkan bahkan diperlukan.
18. (Amel) kaidah al-Quran yang menjelaskan tentang hukum wajib, haram, dan sunah?
Jawab : kaidah Allah yang menyatakan tentang hukum wajib, haram, makruh, sunah, dan
mubah didalam al-quran itu tertulis tidak secara langsung. Artinya didalam al-Quran
tidak ada ayat yang menyatakan tentang wajibnya suatu perkara untuk dilakukan atau
tidak lakukan. Namun para ulama yang berijtihad, berpendapat bahwa perintah Allah
dalam al-quran yang bentuknya fi’il amr itu sesungguhnya atau pada hakikatnya adalah
perintah wajib (hokum wajib), dan larangan Allah yang bentuk kalimatnya berupa fi’il
nahyi itu merupakan larangan Allah atau hukum haram. Seperti ayat al-quran yang
berbunyi “aqimshalat” yang artinya dirikanlah shalat, dirikanlah shalat dalam bahasa
arab merupakan bentuk fi’il amr, jadi shalat adalah perintah Allah yang sifatnya wajib
atau berhukum wajib untuk dilakukan.
19. (Ulfa) pengertian masyaqoh?
Jawab : Masyaqat adalah kesulitan. Contohnya seperti melaksanakan haji yang
mengandung kesulitan yakni modal berhaji dan fisik yang kuat ketika haji.
20. (Rifqon) apa perbedaan tahrim dan karohah ?
Jawab : tahrim atau haram (sebutan ulama fiqh) adalah larangan terhadap sesuatu yang
dilarang, dan apabila larangan itu di kerjakan maka orang ybs akan mendapatkan dosa.
Sedangkan karohah atau makruh (sebutan ulama fiqh) adalah anjuran untuk tidak
melakukan sesuatu sehingga orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan
orang yang melakukannya tidak dikenakan pahala atau dosa.
21. (Yani) siapa yang berhak memberi penjelasan mengenai tuntutan yang belum jelas?
Jawab : orang yang berhak memberi penjelasan mengenai tuntutan yang belum jelas
adalah para mujtahid atau al-mudzhir al-hukm, karena mereka mampu mengeluarkan
hukum berdasarkan al-quran dan hadis dengan cara yang telah ditetapkan..
22. (Thoivah) apa perbedaan antara objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi
dan yang berkaitan dengan harta?
Jawab : perbedaan itu didasari pada kemampuan mukallaf dalam melaksanakannya.
Misalnya, objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi adalah shalat dan
puasa, setiap orang wajib melaksanakan shalat dan puasa dan tidak dapat diwakilkan
(fardhu ain). Dan objek hukum yang pelaksanaan nya berkaitan dengan harta adalah
kewajiban zakat, tidak semua orang berkewajiban untuk mengeluarkan zakat maal atau
zakat harta karena tidak semua orang mampu melaksanakannya atau berdasarkan atas
harta yang mereka miliki.
23. (Fika) maksud umum dari penetapan hukum?
Jawab : penetapan hukum misalnya hukum shalat, puasa, dll itu berdasarkan hasil
pemikiran yang dalam dari ulama ulama ushul fiqh (mujtahid) dan kemudian hukum yang
ditetapkan secara individual ini akan di komparatifkan atau didiskusikan oleh para ulama
ahli ushul fiqh untuk di tetapkan dan dibuktikan keabsahannya.
24. (Dara) adakah syarat menjadi mahkum fih ?
Jawab : ya ada. Syarat nya tergantung dari perbuatan apa yang dilakukan oleh mukallaf
misalnya mukallaf yang melakukan ibadah puasa wajib melaksanakan syarat-syarat puasa
Atau jawabannya seperti ini : yang menjadi mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan hukum syara. Dan syarat objek hukum itu adalah seorang mukallaf
yang berakal, terbangun, dan baligh.
25. (Faaizah) Apakah dari setiap pendapat kaum ulama yang berbeda pendapat itu memilki
dalil yang menguatkannya?
Jawab : menurut pemahaman kami dari buku yang kami baca, tidak semua kelompok-
kelompok yang berbeda paham mengenai tolak ukur dalam menentukan baik buruk nya
suatu perkara itu berlandaskan kepada dalil- dalil al-quran. Seperti kelompok mu’tazillah,
pendapat mereka tidak didasari oleh dalil-dalil al-quran mereka berpendapat sesuai
dengan logika mereka saja. Sedangkan kelompok asy’ariyah, pendapat mereka menjadi
pendapat yang di setujui oleh jumhur ulama atau kebanyakan ulama karena kelompok ini
didasari oleh sebuah dalil dalam al-quran yakni QS. Al-Isra’ : 15..
26. (Aisyah) mengapa ulama Mu’tazillah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah berpendapat tentang
sesuatu yang digunakan manusia untuk mengenal baik dan buruk suatu perkara sebelum
datangnya hakim (Allah) ?
Jawab : karena ulama zaman dahulu memiliki kemampuan untuk menganalisis hal tsb
didorong juga oleh rasa ingin tahu mereka tentang islam yang begitu besar merekapun
berspekulasi atau melakukan penelitian (pemikiran yang keras)/ijtihad mengenai hal itu.
Semuanya ini tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat dan bentuk kontribusi mereka
dalam memperkaya dunia ilmu pengetahuan.