DOSIS TOKSIK DARI EKSTRAK DAN RESIDU BUNGKIL BIJI … · digunakan sebagai bahan pelarut adalah...
Transcript of DOSIS TOKSIK DARI EKSTRAK DAN RESIDU BUNGKIL BIJI … · digunakan sebagai bahan pelarut adalah...
DOSIS TOKSIK DARI EKSTRAK DAN RESIDU BUNGKIL BIJI JARAK
PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN PELARUT
METANOL PADA MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI
PATRECIA CHRISTY NANLOHY
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
PATRECIA CHRISTY NANLOHY. D24050548. 2010. Dosis Toksik Dari Ekstrak
dan Residu Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Menggunakan
Pelarut Metanol pada Mencit (Mus musculus). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, MSc.
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman semak atau pohon
yang dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya, mulai dari daun, buah, kulit batang,
getah dan batangnya. Bagian yang pemanfaatannya paling tinggi pada tanaman ini
terdapat pada buahnya yang terdiri dari biji dan cangkang (kulit). Proses pengepresan
yang dilakukan pada biji jarak pagar akan menghasilkan bungkil yang kemudian
diekstraksi menghasilkan minyak jarak pagar. Minyak jarak pagar dapat diolah untuk
menghasilkan biodisel, sedangkan bungkilnya dapat diolah untuk dijadikan bahan
pakan alternatif bagi ternak. Bungkil biji jarak pagar (BBJP) memiliki kandungan
protein tinggi yaitu 19-21%. Pemanfaatan BBJP sebagai pakan ternak masih
membutuhkan pengolahan secara intensif, karena BBJP mengandung zat racun bagi
ternak yang akan menimbulkan kematian apabila dikonsumsi dalam jumlah yang
banyak. Phorbolester dan curcin dalam BBJP merupakan racun utama yang memiliki
konsentrasi tinggi yang terdapat dalam BBJP (Makkar dan Becker, 1997). Zat-zat
antinutrisi tersebut dapat dikonsentrasikan untuk dapat digunakan sebagai bahan
racun atau toksik khususnya hama. Untuk mendapatkan zat antinutrisi yang pekat
dapat dilakukan dengan cara ekstraksi. Salah satu zat pengekstrak yang dapat
digunakan sebagai bahan pelarut adalah metanol. Metanol diketahui merupakan
bahan pengekstrak lemak, sehingga dapat mengikat zat antinutrisi yang mempunyai
sifat larut lemak, termasuk phorbolester. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan dosis toksik pada mencit yang diberi ekstrak metanol BBJP dan
residunya.
Penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan yang memiliki bobot
badan awal 19,15 ± 3,03 g. Perlakuan yang digunakan adalah ekstrak metanol dan
residu residu BBJP melalui kajian 2 tahap. Tahap I berupa kontrol tanpa BBJP (K1),
pemberian 10% residu ekstraksi metanol BBJP (R1-10) dan 20% residu ekstraksi
metanol BBJP (R1-20) dalam ransum, pemberian 5% ekstrak metanol BBJP (E1-5)
dalam air minum, serta 5% ekstrak metanol BBJP yang dicekok (E1-5K). Tahap II
yang merupakan kelanjutan tahap satu, perlakuannya sama dengan tahap sebelumnya
yaitu menjadi K2, R2-10 dan R2-20, sedangkan perlakuan E1-5 ditingkatkan dengan
diberikan dosis 10% ekstrak metanol dalam air minum (E2-10). Adapun peubah yang
diukur dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum, kenaikan bobot badan hewan,
persentase mortalitas hewan, penentuan dosis toksik, dan gambaran darah mencit.
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan penurunan konsumsi ransum dan bobot
badan pada mencit yang mendapatkan perlakuan residu dan ekstrak metanol BBJP
yaitu perlakuan K1, R1-10, R1-20, dan E1-5. Pada perlakuan E1-5C terjadi
mortalitas 100% di hari pertama. Kematian yang terjadi pada perlakuan E1-5C
disebabkan oleh tingginya jumlah kandungan phorbolester yang terdapat didalam
tubuh mencit yang ditandai oleh rusaknya sel hati dan ginjal.
Hasil penelitian tahap II menunjukkan penurunan konsumsi ransum dan
bobot badan yang sangat drastis pada semua perlakuan. Pada perlakuan R2-20 terjadi
mortalitas sebesar 80% pada hari ke-6 yang diikuti oleh perlakuan E2-10 pada hari
ke-9 dengan mortalitas sebesar 80%, yang ditandai dengan pemeriksaan gambaran
darah menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit dan leukosit yang jauh
dibawah normal. Perlakuan R2-10 belum menunjukkan tanda-tanda toksisitas,
walaupun nilai hematokrit dibawah kisaran nilai normal.
Kata-kata kunci : bungkil biji jarak pagar, mencit, metanol, phorbolester
ABSTRACT
Toxic dose of Extract and Residue of Jatropha curcas L. Meal
Using Methanol Solvent on Mice (Mus musculus)
Nanlohy, P. C., D. W. Astuti, and Sumiati
The Jatropha curcas meal is waste product of Jatropha curcas oil production. It
contains high amount of nutrient (56-68% crude protein) which can be used as an
alternative feed source. However, Jatropha curcas meal content high anti nutritive
compund such as phorbolester and lectin (curcin), which can be used as animal
poison. The extraction method was used to get the Jatropha curcas anti nutrition in
high concentration. Methanol solvent was used as lipid and water extractor
substance, including phorbolester which dissolved in fat. This experiment used 25
male mice with average body weight 19.15±3.03 g. This study consisted of two
experiments. The treatments in the first experiment were K1 (the diet without
Jatropha curcas meal), R1-10 (the diet contained 10% residue of Jatropha curcas
methanol extraction), R1-20 (the diet contained 20% residue of Jatropha curcas
methanol extraction), E1-5 (5% methanol extract of Jatropha curcas in dirnking
water), and E1-5C (force drinking of 5% methanol extract of Jatropha curcas meal).
The treatments in the second experiment were same as the first experiment, except
the E1-5 were replaced with E2-10, i.e increasing the dose of methanol extract of
Jatropha curcas meal in drinking water from 5 to 10%. The variables observed were
feed consumption, body weight, mortality, and blood profile of mice. All data were
analyzed descriptively. The results of the first experiment showed that there were a
decreasing the feed consumption and body weight of mice fed on the R1-10, R1-20,
and E1-5. While E1-5C resulted 100% mortality in the first day of treatment. This
mortality due to phorbolester, which were indicated by the damage of liver and
spleen cells in mice. The results of the second experiment showed that there were
decreasing feed consumption and body weight in all treatments drastically. The
treatment R2-20 resulted 80% mortality on sixth days, followed by treatment E2-10
on ninth days, due to the low erythtrocyte and leucocyte values below the normal
rate. There was no mortality affected by the R1-10 treatment eventhough the pack
cell volume decreased.
Keywords : Jatropha curcas meal, mice, methanol, extract
DOSIS TOKSIK DARI EKSTRAK DAN RESIDU BUNGKIL BIJI JARAK
PAGAR (Jatropha curcas L.) MENGGUNAKAN PELARUT
METANOL PADA MENCIT (Mus musculus)
PATRECIA CHRISTY NANLOHY
D24050548
Skirpsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Skripsi : Dosis Toksik dari Ekstrak dan Residu Bungkil Biji Jarak
Pagar (Jatropha curcas, L.) Menggunakan Pelarut Metanol
pada Mencit (Mus musculus)
Nama : Patrecia Christy Nanlohy
NIM : D24050548
Menyetujui :
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Dr. Ir. Sumiati, M.Sc
NIP. 19611005 198503 2 001 NIP. 19611017 198603 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M. Sc.
NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 18 Februari 2010 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 November 1987 di Ambon, Maluku.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Alm. Ir.
Agustinus Nanlohy, MSi. dan Carolina Sahusilawane, SPd.
Penulis menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri I Lateri pada
tahun 1992-1998. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjut Tingkat
Pertama (SLTP) Negeri 9 Lateri pada tahun 1999-2000, kemudian melanjutkan ke
SLTP Negeri 7 Bogor pada tahun 2000-2002. Penulis melanjutkan ke Sekolah
Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Bogor pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005,
Penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan
Bersama (TPB), pada tingkat dua penulis diterima di program mayor Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan (INTP) dan mengambil program minor Budidaya dan Hasil
Produksi Ternak Pedaging, Fakultas Peternakan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus untuk
segala kasih dan anugerah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul ”Dosis Toksik dari
Ekstrak dan Residu Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Menggunakan
Pelarut Metanol pada Mencit (Mus musculus)” dapat diselesaikan. Skripsi ini ditulis
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas,
dan Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai November 2008.
Bungkil biji jarak pagar merupakan salah satu hasil produk sampingan dari
pengolahan biji jarak pagar menjadi minyak jarak pagar dan bahan bakan ramah
lingkungan (biodiesel). Bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan nutrisi yang
tinggi sehingga dimanfaatkan sebagai salah satu pakan alternatif bagi ternak. Selain
itu, bungkil juga memiliki kandungan zat racun yang tinggi, sehingga dapat
digunakan sebagai racun hama. Zat yang bersifat toksik bagi hewan diantaranya
adalah phorbolester dan curcin. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui dosis toksik dari bungkil biji jarak pagar yang diekstrak metanol
terhadap mencit sebagai hewan percobaan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ i
ABSTRACT ............................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................. . .............. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas, L.) .................................. 3
Potensi Tanaman Jarak Pagar di Indonesia ........................ 4
Morfologi Tanaman Jarak Pagar ........................................ 5
Manfaat Jarak Pagar ........................................................... 7
Bungkil Biji Jarak Pagar ................................................................ 7
Toksisitas Bungkil Biji Jarak Pagar ................................... 10
Phorbolester ....................................................................... 12
Curcin ................................................................................ 14
Mencit (Mus musculus) .................................................................. 15
Konsumsi Ransum ......................................................................... 18
Gambaran Darah Mencit ................................................................ 18
Sel Darah Merah (Eritrosit) ............................................... 19
Hematokrit ......................................................................... 19
Hemoglobin ....................................................................... 20
Sel Darah Putih (Leukosit) ................................................ 21
Mortalitas ....................................................................................... 21
MATERI DAN METODE ......................................................................... 22
Lokasi dan Waktu .......................................................................... 22
Materi ............................................................................................. 22
Hewan Percobaan .............................................................. 22
Kandang dan Peralatan ...................................................... 22
Ransum yang Diberikan ..................................................... 23
Metode ........................................................................................... 24
Ekstraksi Bungkil Biji Jarak Pagar dengan Metanol .......... 24
Pemberian Ekstrak Metanol BBJP ...................................... 25
Pemeliharaan Mencit dan Penanganan Mencit yang Mati 25
Pengambilan Sampel Darah ................................................ 25
Histopatologi ...................................................................... 28
Peubah yang Diamati ......................................................... 28
Penyajian Data ................................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 30
Keadaan Umum Penelitian ............................................................ 30
Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit ................................ 30
Konsumsi Phorbolester dan Curcin .............................................. 35
Bobot Badan Mencit ...................................................................... 38
Mortalitas Mencit ........................................................................... 40
Gambaran Darah Mencit ................................................................ 43
Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit ............................................ 45
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 48
Kesimpulan .................................................................................... 48
Saran .............................................................................................. 48
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 50
LAMPIRAN ............................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produksi Jarak Pagar Beberapa Daerah di Indonesia ...................... 5
2. Kandungan Nutrien BBJP Indonesia ............................................... 9
3. Kandungan Racun dan Antinutrisi dalam Bungkil Biji Jatropha
curcas L. .......................................................................................... 9
4. Kandungan Antinutrisi dan Racun Bungkil Biji Jarak Pagar dari 3
Daerah di Indonesia .......................................................................... 10
5. Lethal Doses Minimum Jarak Pagar ............................................... 11
6. Data Biologis Mencit ...................................................................... 17
7. Analisis Kimia Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian ........ 24
8. Contoh Dosis Ekstrak Metanol BBJP yang Diberikan dalam 15 ml
Air Minum ........................................................................................ 25
9. Contoh Dosis Ekstrak Metanol BBJP yang Diberikan secara Cekok 25
10. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Selama Penelitian
Tahap I ............................................................................................. 31
11. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Selama Penelitian
Tahap II ........................................................................................... 34
12. Rataan Konsumsi Harian Phorbolester dan Curcin dalam ransum
Penelitian Tahap I ............................................................................ 36
13. Rataan Konsumsi Harian Phorbolester dan Curcin dalam ransum
Penelitian Tahap II .......................................................................... 36
14. Rataan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Tahap I ................ 38
15. Rataan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Tahap II ............... 39
16. Persentase Mortalitas Mencit Selama Penelitian Tahap I ............... 40
17. Persentase Mortalitas Mencit Selama Penelitian Tahap II .............. 41
18. Hasil Gambaran Hematologi Mencit pada Akhir Penelitian Tahap II 43
19. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit ........................... 46
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tanaman Jatropha curcas L. .......................................................... 4
2. Biji Jarak Pagar ................................................................................ 6
3. Bagan Kegunaan Bagian-Bagian Tanaman Jarak ............................. 7
4. Efek Kerja Phorbolester ................................................................. 13
5. Rumus Bangun Phorbolester ............................................................ 13
6. Rumus Bangun Curcin ..................................................................... 15
7. Mencit (Mus musculus) .................................................................... 16
8. Kandang Penelitian .......................................................................... 22
9. Ekstrak Metanol Bungkil Biji Jarak Pagar ........................................ 24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Prosedur Analisis Curcin (Aregheore et al., 1998) ............................. 57
2. Prosedur Analisis Phorbolester (Makkar et al., 1998) ........................ 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jarak pagar merupakan tanaman yang telah tersebar luas di beberapa wilayah
di Indonesia yang dahulu dikenal sebagai tanaman pembatas, tanaman obat dan
penghasil minyak. Sejak zaman penjajahan Jepang, minyaknya telah diolah sebagai
bahan bakar pesawat terbang. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman
maka terjadilah krisis yang melanda dunia, diantaranya adalah krisis energi sebagai
akibat dari kelangkaan sumber bahan bakar fosil, sehingga berdampak pada kenaikan
harga bahan bakar minyak. Kondisi tersebut telah mendorong pemerintah untuk
mengupayakan penghematan energi nasional dari bahan yang dapat diperbaharui.
Tanaman jarak pagar merupakan alternatif penghasil bahan bakar yang berdasarkan
catatan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati telah dikembangkan di
beberapa provinsi di Indonesia yaitu Sumatra, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Departemen
Pertanian (2008) melaporkan bahwa produksi jarak pagar di beberapa daerah tersebut
berkisar 7.500-37.500 ribu pohon dengan kisaran produksi biji jarak pagar sekitar
759-602.250 juta ton per tahun. Produksi energi yang dihasilkan dari tanaman jarak
pagar dapat menghasilkan produk sampingan berupa bungkil biji jarak pagar (BBJP)
yang memiliki kandungan protein kasar tinggi.
Kandungan protein kasar bungkil biji jarak berkulit di Indonesia adalah 19-
21%, sedangkan protein kasar pada bungkil biji jarak tanpa kulit adalah 45-50%.
Kandungan nutrisi tersebut potensial untuk dijadikan bahan pakan alternatif bagi
ternak dan juga berpotensi untuk menggantikan sebagian bungkil kedelai yang masih
diimpor dalam jumlah banyak. Pemanfaatan BBJP sebagai pakan alternatif hingga
saat ini masih mengalami kendala yaitu adanya racun dan zat antinutrisi yang
terdapat dalam bungkil ini. Zat antinutrisi tersebut berupa saponin, protease inhibitor
dan asam fitat serta racun yaitu phorbolester dan curcin (Trabi et al., 1997). Hasil
penelitian Hadriyanah (2008) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang tidak
didetoksifikasi pada ransum menyebabkan kematian mencit jantan dan betina
masing-masing 80% dan 100%. Pemberian BBJP tanpa pengolahan sebanyak 5%,
10% dan 15% dalam ransum ayam menyebabkan kematian 100% pada hari ke 22, 13
dan ke 7 penelitian (Hidayah, 2007).
Beberapa cara yang telah dilakukan untuk mendapatkan kumpulan racun dan
zat antinutrisi yang terdapat dalam BBJP, salah satunya dengan proses ekstraksi.
Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan senyawa aktif yang terkonsentrasi dari
bungkil biji jarak pagar sehingga cukup ampuh untuk dijadikan bahan racun hama
(tikus) dan serangga lain. Senyawa pengekstrak yang digunakan dapat berupa air,
etanol, metanol, eter, petroleum eter dan heksana. Senyawa pelarut metanol dapat
dimanfaatkan karena menghasilkan ekstrak toksik yang pekat.
Proses ekstraksi yang dilakukan pada BBJP menghasilkan filtrat yang
mengandung racun berkadar tinggi dan bersifat toksik berupa phorbolester, yang
dapat dimanfaatkan sebagai racun hama. Phorbolester menurut beberapa pustaka
diketahui berperan dalam mengakibatkan sakit perut, efek iritasi kulit dan pemacu
tumor serta menyebabkan kematian. Hingga saat ini belum banyak penelitian
pemanfaatan ekstrak dari BBJP sebagai racun hama.
Ekstrak metanol dari limbah bungkil biji jarak pagar sangat potensial untuk
dijadikan bahan racun dengan kandungan kadar toksik yang tinggi, sehingga
mengakibatkan kematian pada hewan yang mengkonsumsi. Proses ekstraksi dapat
menghasilkan senyawa aktif yang bersifat toksik dan lebih terkonsentrasi sehingga
sangat potensial sebagai bahan racun hama.
Pengujian dosis toksik yang tepat pada hewan dengan menggunakan filtrat
hasil ekstrak metanol bungkil biji jarak pagar dan residunya hingga saat ini belum
banyak dilakukan. Pengujian dapat dilakukan dengan cara pemberian melalui oral
ataupun dicampurkan dalam bahan makanan dan air minum. Penelitian ini
diharapkan dapat mengetahui dosis toksik yang tepat serta mekanisme kematian yang
terjadi pada hewan yang mendapat ekstrak metanol dan residu dari bungkil biji jarak
pagar.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dosis toksik pada mencit (Mus
musculus) yang diberi ekstrak metanol dan residu bungkil biji jarak pagar (Jatropha
curcas L.)
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tropis
dan tumbuh menyebar di wilayah tropis dan subtropis hampir di seluruh dunia
(Langdon, 1977). Di Indonesia tanaman ini telah lama dikenal masyarakat di
berbagai daerah, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an,
yang mana masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak pagar
pekarangan (Hambali et al., 2006). Tanaman jarak yang tercatat di Indonesia
termasuk dalam famili Euphorbiaceae, yang memiliki berbagai macam sebutan
antara lain barbados nut, black vomit nut, curcas bean, kukui haole, physic nut,
purge nut, purgeerboontjie, dan purging nut tree (Begg dan Gaskin, 2006).
Klasifikasi jarak pagar menurut Biotechnology (2005) adalah :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super division : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Species : Curcas
Beberapa nama daerah (nama lokal) untuk tanaman jarak pagar, antara lain
jarak budeg, jarak gundul, jarak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); jarak kosta
(Sunda); paku kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura); jarak
pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); kuman nema (Alor);
jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); dan ai huwa
kamala, balacai, kadoto (Maluku) (Hambali et al., 2006). Tanaman jarak pagar dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L. ) (Biotechnology, 2005)
Potensi Tanaman Jarak Pagar di Indonesia
Tanaman jarak memiliki berbagai jenis yang terdapat di Indonesia, antara lain
jarak kepyar (Ricinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung
(Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Diantara jenis
tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil minyak bakar
(biofuel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Selama ini tanaman jarak pagar
hanya ditanam sebagai pagar dan tidak diusahakan secara khusus. Secara agronomis,
tanaman jarak pagar ini dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di
Indonesia (Subhan, 2009). Jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran
rendah sampai dataran tinggi, curah hujan yang rendah maupun tinggi (300-2.380
ml/tahun) dengan rentang suhu 20-26 oC. Sifat tersebut mengakibatkan tanaman
jarak pagar mampu tumbuh pada tanah berpasir, berbatu, lempung ataupun tanah liat,
sehingga jarak pagar dapat dikembangkan pada lahan kritis (Hambali, et al. 2007).
Di Indonesia, jarak pagar dapat dijumpai di beberapa daerah dengan curah hujan
lebih dari 3.000 mm/tahun, seperti di Bogor, Sumatera Barat, dan Minahasa
(Mulyani et al., 2006).
Berdasarkan catatan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
(Timnas BBN), tanaman jarak pagar dikembangkan di Provinsi Sumatra Utara,
Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT). Papua, Irjabar,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Harga biji jarak pagar rata-rata berkisar
antara Rp.1.000-Rp.1.200 per kilogram biji kering di tempat petani. Produksi jarak
pagar beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi Jarak Pagar Beberapa Daerah di Indonesia
Daerah Luas Tanam Produksi
Pohon Produksi Biji Harga
------ha------ ------ribu----- ---Juta ton/tahun--- ----Rp----
Jawa Barat 3.374 8.435 759,15 -
Jawa Timur 3.465,5 8.663,75 779,74 -
Nusa Tenggara 2.677 6.692,5 60.250 -
Sumbawa 15.000 37.500 3.375 700
Kalimantan
Tengah 10.025 25.062,5 2.255,63 1.000
Sulawesi Tengah 3.000 7.500 675 -
Sumber : Departemen Pertanian (2008)
Kelebihan tanaman jarak adalah: (a) relatif bebas dari hama tanaman; (b)
umur pohon bisa mencapai 50 tahun; (c) masa panen cepat yaitu enam bulan setelah
ditanam; (d) kandungan kadar minyak relatif tinggi (rendemen 35%); (e)
diperkirakan menghasilkan 4,5 kg biji/batang/tahun; f) dalam satu hektar lahan dapat
ditanami 2.500 pohon dengan produksi 90 ton biji/ ha/tahun; (g) pada umur lima
tahun, produksi biji dapat mencapai 10 ton/ha/tahun dan (h) produksi minyak
diperkirakan 3.500 l/ha/tahun (Purnomo, 2007).
Morfologi Tanaman Jarak Pagar
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan
karet dan ubikayu. Tanaman ini berupa perdu dengan tinggi 1-7 m dan bercabang
tidak teratur. Batang berkayu dan silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daun
berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut tiga atau lima, tulang daun menjari dengan
5-7 tulang utama dan berwarna hijau dengan permukaan daun bagian bawah lebih
pucat dibanding bagian atas. Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga tanaman
ini berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah
satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan,
yang muncul di ujung batang atau ketiak daun. Buah berbentuk bulat telur dengan
diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak (Hambali
et al., 2006).
Buah jarak memiliki tiga ruang yang masing-masing ruang diisi tiga biji,
yang berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman. Biji inilah yang
banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30-40% (Hariyadi, 2005). Biji
jarak pagar rata-rata berukuran 18 x 11 x 9 mm, berat 0,62 g dan terdiri atas 58,1%
biji inti berupa daging (kernel) dan 41,9% kulit. Kulit hanya mengandung 0,8%
ekstrak eter. Kadar minyak (trigliserida) dalam inti biji ekuivalen dengan 55% atau
33% dari berat total biji. Asam lemak penyusun minyak jarak pagar terdiri atas
22,7% asam jenuh dan 77,3% asam tak jenuh. Kadar asam lemak minyak terdiri dari
17,0% asam palmiat, 5,6% asam stearat, 37,1% asam oleat, dan 40,2% asam linoleat
(Brodjonegoro et al., 2006). Selain itu, biji jarak pagar mengandung toxsalbumin
yaitu curcin yang sangat beracun dan dapat menyebabkan kematian (Watt dan
Breyer-Brandwijk, 1962). Biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Biji Jarak Pagar (Biotechnology, 2005)
Manfaat Jarak Pagar
Jarak pagar bisa dimanfaatkan seluruh bagian, mulai dari daun, buah, kulit
batang, getah dan batang. Daun dapat diekstraksi menjadi bahan pakan ulat sutera
sebagai pengganti daun murbei (di Cina) dan obat-obatan herbal. Kulit batang
diekstraksi menjadi tanin atau sekedar dijadikan bahan bakar lokal untuk kemudian
menghasilkan pupuk. Getah, biji dan batang digunakan sebagai bahan bakar. Bagian
biji dan tanaman yang tidak dimanfaatkan seperti tempurung biji jarak, dahan,
ranting dan kulit buah dapat diolah lebih lanjut untuk biodisel. Produk yang dapat
dihasilkan melalui pemanfaatan hasil samping dan limbah tanaman jarak diantaranya
arang aktif, kompos dan sabun (Hambali et al., 2006). Keunggulan lain dari tanaman
jarak pagar adalah minyaknya bersifat non-pangan (non-edible oil), sehingga tidak
bersaing dengan kepentingan manusia. Potensi dan aneka manfaat tanaman jarak
pagar secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan Kegunaan Bagian-Bagian Tanaman Jarak Pagar (Ans,
2006)
Bungkil Biji Jarak Pagar
Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari pembuatan
minyak biji jarak pagar. Staubmann et al. (1997) menyatakan bahwa bungkil biji
jarak merupakan lebih dari 50% biomas biji jarak yang dihasilkan sebagai hasil
Buah Daun Kulit Batang Tanaman
Biji Kulit Biji
Anti Pendarahan,
Silvikultur, Minyak atsiri
Tannin, Pewarna Pengendali Erosi
Pagar hidup
Pembatas tanaman Inti biji Cangkang
Bahan bakar, Mulsa, Pupuk organik, Biogas
Minyak (Crude
Jatropha Oil)
Biodisel, Minyak Tanah, Sabun, Kosmetik, Obat
Lampu penerangan, Pelumas,
Phorbolester :Anti kanker dan
Biopestisida, Bahan bakar kompor
Ampas Biji Makanan ternak , Pupuk organik,
Penangkal tikus
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
ikutan pembuatan minyak jarak. Permana et al. (2007) melaporkan bahwa rasio
minyak dan bungkil yaitu 38,34% : 61,66%. Staubmann et al. (1997) menyatakan
bahwa pengolahan biji jarak menjadi minyak menyisakan kandungan minyak dalam
bungkil biji jarak sekitar 11%, sedangkan menurut Francis et al. (2006), kadar lemak
bungkil yang diekstraksi beriksar 1-1,5%. Perbedaan kandungan minyak dalam
bungkil disebabkan pada metode teknik ekstraksi minyak biji jarak yang berbeda.
Satu ton biji jarak kering akan menghasilkan 200-300 l minyak jarak dan
700-800 kg bungkil jarak pagar (Brodjonegoro et al., 2006). Bungkil ini
mengandung protein yang sangat tinggi yaitu 56-68% (Becker dan Makkar, 1998).
Menurut Makkar et al. (1997) komposisi nutrien pada bungkil biji jarak pagar
bervariasi cukup tinggi, tergantung pada varietas dan kondisi geografis tempat
tumbuh. Komposisi nutrien bungkil biji jarak pagar bebas minyak terdiri atas 12,9%
air; 10,1% abu; 45,1% protein kasar dan 31,9% serat kasar. Kadar lemak bungkil
yang diekstraksi berkisar 1,0 -1,5%, dengan kandungan abu berkisar 9,7% (Francis et
al., 2006).
Kandungan nutrien bungkil juga dipengaruhi oleh proses pembuatan bungkil.
Nurhikmawati (2007) melaporkan BBJP berkulit memiliki serat kasar yang tinggi
jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Permana et al. (2007). Komposisi
kandungan nutrient BBJP di Indonesia disajikan pada Tabel 2.
Bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan nutrien yang sangat baik untuk
ternak, tetapi terdapat beberapa antinutrisi yang menghambat penggunaannya.
Kandungan antinutrisi mencakup phorbolester, phenol, tannin, phytat, saponin,
antitrypsin dan curcin atau lectin (Makkar et al., 1997). Makkar dan Becker (1997)
menyatakan bahwa phorbolester dan curcin merupakan zat antinutrisi utama yang
memiliki konsentrasi tinggi dan bersifat toksik pada biji jarak pagar. Kemampuan
toksisitas curcin dan phorbolester dipengaruhi oleh varietas tanaman, proses
pengepresan dan teknik ekstraksi.
Tabel 2. Kandungan Nutrien BBJP Indonesia
Zat Makanan
Bungkil Biji Jarak Pagar
Berkulit1)
Tanpa Kulit
2)
Lampung Kebumen Lombok Timur
--------------------------------%-----------------------------------
Bahan Kering
Protein
Serat Kasar
Lemak Kasar
BETN
Abu
Ca
Pospor
Energi Bruto (kkal/kg)
88,82
18,40
31,81
20,62
4,36
12,63
0,56
0,67
-
93,19
42,58
20,52
13,82
-
7,31
-
-
5.062
93,24
37,93
12,97
22,38
-
7,01
-
-
4.713
94,1
32,64
6,58
29,62
-
6,78
-
-
4.915
Sumber : 1) Nurhikmawati (2007), BBJP yang diambil dari Industri pengepresan minyak jarak
2) Permana et al. (2007), BBJP yang berasal dari tiga daerah di Indonesia
Kandungan racun dan zat anti nutrisi dalam bungkil biji Jatropha curcas L.
dari varietas beracun dan tidak beracun dapat dilihat pada Tabel 3, serta kandungan
antinutrisi dan racun dari bungkil biji jarak pagar dari tiga daerah di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Kandungan Racun dan Antinutrisi dalam Bungkil Biji Jatropha
curcas L
Komponen Varietas beracun Varietas tidak beracun
Phorbolester*(mg/g biji) 2,70 0,11
Total fenol** (% setara tannic acid) 0,36 0,22
Tanin** (% setara tannic acid) 0,04 0,02
Phytat** (% BK) 9,40 8,90
Saponin** (% diosgenin equivalent) 2,60 3,40
Anti tripsin** (mg anti tripsin /g sampel) 21,3 26,5
Lectin* (1 mg bungkil yang
menyebabkan hemaglutinasi/ml media
coba)
102 51
Keterangan :* = Racun
** = Antinutrisi
Sumber : Makkar et al. (1997)
Tabel 4. Kandungan Antinutrisi dan Racun Bungkil Biji Jarak Pagar dari 3
Daerah di Indonesia
Peubah Daerah Asal
Lampung Kebumen Lombok Timur
1. Phytat (%)
2. Curcin (%)
3. Phorbolester (mg/g sampel)
7,39
0,72
Nd
6,65
0,70
0,99
7,00
0,63
1,33
Keterangan : Nd = Not determine
Sumber : Triastuty (2007)
Toksisitas Bungkil Biji Jarak Pagar
Toksik atau racun merupakan zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh
dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit bahkan kematian. Antinutrisi
merupakan senyawa yang menjadi faktor pembatas dalam penggunaannya dan dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi hewan.
Bungkil biji jarak pagar ditemukan bersifat toksik pada kambing, domba,
tikus, mencit, dan ikan karena kandungan phorbolester yang terdapat dalam bungkil
biji jarak (Gunjan et al., 2007). Kandungan toksik yang tinggi pada bungkil biji jarak
pagar di satu sisi merugikan bagi konsumen ternak, namun dapat dimanfaatkan untuk
racun hewan hama penyakit. Proses ekstraksi perlu dilakukan untuk mendapatkan
toksik yang terkonsentrasi dari bungkil atau biji jarak pagar. Ekstraksi dapat
dilakukan dengan menggunakan air dan pelarut organik. Ekstraksi menggunakan
pelarut organik seperti heksana, kloroform dan eter yang mampu menghasilkan
persentase minyak yang lebih banyak dibandingkan menggunakan air (Hambali et
al., 2006).
Menurut Makkar dan Becker (1997) konsentrasi phorbolester di dalam
bungkil biji jarak pagar sekitar 1,81 mg/g bahan kering, pada biji inti berupa daging
(kernel) level phorbolester sekitar 2,7 mg/g bahan kering dan terdapat minyak di
dalam 58% inti biji. Dari nilai tersebut, dapat dihitung bahwa sekitar 72% dari total
phorbolester dapat terekstraksi dalam minyak yang menggunakan pelarut petroleum
eter dan sisanya sekitar 28% masih berada di dalam residu bungkil biji jarak pagar
yang telah bebas minyak. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bungkil yang telah
diekstraksi masih mengandung senyawa phorbolester. Keberadaan phorbolester
dengan konsentrasi yang rendah di dalam bungkil biji jarak pagar ini dapat
memberikan pengaruh signifikan yang tidak dapat ditoleransi dalam pakan ternak
yang mengandung bungkil biji jarak pagar karena menyebabkan keracunan. Makkar
dan Becker (1997) juga melaporkan bahwa toksisitas bungkil biji jarak pagar
disebabkan oleh keberadaan toxalbumin curcin.
Penggunaan 40% dan 50% bungkil biji jarak pagar dalam pakan pada mencit
menyebabkan mortalitas sebesar 87% dan 67% pada periode 3-16 hari, sedangkan
pada tikus dengan level pemberian bungkil biji jarak yang rendah sekitar 37% dalam
pakan menyebabkan mortalitas sebesar 100% pada 2-3 hari (Makkar dan Becker,
1997). Lethal doses (LD) merupakan dosis yang menyebabkan hewan percobaan
mati. LD50 merupakan dosis yang menyebabkan 50% hewan percobaan mati,
sedangkan LD100 merupakan dosis yang menyebabkan 100% hewan percobaan mati
dalam seketika. Lethal doses minimum bungkil biji jarak pagar pada beberapa ternak
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Lethal Doses Minimum Jarak Pagar
Ternak Kandungan Bungkil Biji
Jarak Pagar dalam Pakan Asupan Curcin
Mati pada Hari
Ke-
----g/kg---- ------g Total----- -----mg Total----
Domba
Kambing
Anak Sapi
7,4
1,5
3,0
67
8
36
460
55
248
9
12
12
Sumber : Gubitz et al. (1998)
Sumiati et al. (2007) menunjukkan LD50 pada ayam broiler yang diberi 5%,
10% dan 15% bungkil biji jarak pagar dalam ransum memiliki rataan asupan curcin
masing-masing sebanyak 2,33 mg/ekor pada hari ke-28, 1,72 mg/ekor pada hari ke-
14 dan 0,42 mg/ekor pada hari ke -7. Pada LD100 dengan level pemberian bungkil biji
jarak 5%, 10% dan 15% dalam ransum, asupan curcin oleh ayam broiler masing-
masing sebanyak 1,58 mg/ekor pada hari ke-11, 1,22 mg/ekor pada hari ke-4, dan
0,45 mg/ekor pada hari ke-3.
Mekanisme toksisitas yang terjadi oleh penggunaan bungkil biji jarak pagar
pada beberapa ternak, terutama oleh senyawa phorbolester diantaranya adalah
menurunkan level glukosa, meningkatkan konsentrasi arginase, glutamate, dan
oxaloacetate transaminase dalam serum yang ditemukan pada kambing, mengurangi
konsumsi air pada ternak, diare, dehidrasi dan pengaruh pendarahan yang terjadi
pada organ-organ ternak (Adam dan Magzoub, 1975). Makkar dan Becker (1997)
melaporkan bahwa ternak yang mengkonsumsi bungkil biji jarak pagar mengalami
kerusakan pada organ hati, ginjal, jantung, paru-paru, sistem gastrointestinal,
pembuluh darah, sistem nerves dan sumsum tulang.
Toksisitas pada minyak yang terkandung dalam biji jarak pagar menyebabkan
karsinogenesis pada tikus (Gunjan et al., 2007). Gandhi et al. (1995) melaporkan
efek toksikologi dari minyak biji jarak pagar dengan level enam ml/kg bobot badan
pada tikus termasuk pada kategori akut oral dengan lethal dose 50. Minyak tersebut
dapat menyebabkan manifestasi toksikologi berupa diare dan peradangan pada
gastrointestinal dan iritasi yang disertai nekrosis pada kulit. Minyak biji jarak pagar
juga mengaktivasi proses hemolisis pada level 2,5 dan 0,1 mg/ml (Gunjan et al.,
2007).
Phorbolester
Phorbolester merupakan salah satu jenis zat antinutrisi yang cukup banyak
ditemukan dalam bungkil biji jarak. Phorbolester adalah senyawa organik dari
tumbuhan yang merupakan anggota diterpenes. Senyawa ini juga disebut sebagai
diterpene ester. Phorbolester dapat larut dalam air dan larutan organik yang bersifat
polar (Hecker et al., 1967). Menurut Rug et al. (2006) phorbolester dapat diperoleh
dari Jatropha curcas dengan cara mengekstraksi dengan menggunakan pelarut
metanol.
Berbagai ester dari phorbol memiliki sifat biologis yang penting, khususnya
kemampuannya sebagai bahan pemicu tumor (Hecker et al., 1967). Phorbol juga
diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas
diacygliserol (DAG). Protein tersebut merupakan enzim kinase yang memodifikasi
protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh
yang sangat nyata terhadap aktivitas sel. Phorbolester juga diketahui berperan dalam
mengakibatkan sakit perut, efek iritasi kulit dan pemicu tumor karena sifat
prorbolester yang dapat memicu PKC yang dibutuhkan dalam sinyal tranduksi dan
proses perkembangan seluruh sel dan jaringan (Makkar dan Becker, 1997). Efek
yang ditimbulkan oleh kerja phorbolester dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Efek Kerja Phorbolester (Gunjan et al., 2007)
Bentuk phorbolester menyerupai diacylgycerol, turunan gliserol yang
diperoleh dari kelompok hidroksil yang telah bereaksi dengan asam lemak
membentuk ester dan bersifat karsinogenik sehingga dapat memicu tumor. Bentuk
ester phorbol yang paling terkenal yaitu phorbolester disebut juga dengan 12-O-
tetradecanoyphorbol-13-acetate (TPA). Rumus kimia TPA adalah C20H28O6, dengan
berat molekul 364,44g/mol yang dapat mencair pada suhu 250-251 °C (Hecker et al.,
1967). Rumus bangun dari phorbolester dapat dilihat pada Gambar 5.
Phorbolester yang ditemukan pada biji jarak diidentifikasi sebagai zat toksik
utama (Becker dan Makkar, 1998). Hal ini karena beberapa sifat yang dimiliki oleh
zat tersebut seperti stabil pada pemanasan dan dapat bertahan pada pemanasan diatas
suhu 160 °C selama 30 menit (Makkar dan Becker, 1997).
Gambar 5. Rumus Bangun Phorbolester (Gunjan et al., 2007)
Phorbolester Pelepasan histamine
Perubahan
bentuk Vaskular
Aktivasi jumlah
leukosit
Pelepasan protease,
sitokine dan aktivasi
NADPH oksidase
Kebocoran plasma
Migrasi sel
transendothelial Kerusakan jaringan
Tumor, kemerah-
merahan dan kepanasan
sakit
Phorbolester terdapat pada minyak yang masih tersisa di dalam bungkil yang
dapat diambil sempurna dengan cara ekstraksi dengan pelarut, umumnya heksan.
Bungkil ekstraksi dapat hanya mengandung 0,1% minyak (efektivitas pengambilan
minyak lebih dari 99,9%). Konsentrasi phorbolester pada kernel dari varietas toksik
sebesar 2,2-2,7 mg/g sedangkan konsentrasi phorbolester dari varietas non-toksik
adalah 0,11 mg/g (Makkar et al., 1997). Phorbolester pada bungkil biji jarak dapat
direduksi dari level 1,78 menjadi level 0,09 mg/g dengan perlakuan pemanasan (121
°C selama 30 menit) diikuti pencucian sebanyak 4 kali dengan metanol 92%. Bungkil
biji jarak dengan perlakuan tersebut mempunyai protein kasar 68%, lebih tinggi
dibandingkan dengan hampir seluruh bungkil biji-bijian penghasil minyak lain
(Aregheore et al., 2003). Martinez-Herrera et al. (2006) menyatakan bahwa ekstraksi
bungkil biji jarak pagar dengan etanol yang dilanjutkan dengan pencampuran 0,07%
NaHCO3 dapat menurunkan kandungan phorbolester sebanyak 97,9%. Makkar dan
Becker (1997) juga menyatakan bahwa ekstraksi bungkil biji jarak pagar
menggunakan pelarut etanol 80% dengan perbandingan (1:5) mampu menghilangkan
saponin dan phorbolester masing-masing 88% dan 93% setelah empat kali
pencucian. Penggunaan pelarut dichloromethane 100% juga efektif mengekstrak
phorbolester.
Curcin
Curcin atau lectin merupakan phitotoxin atau toxalbumin yang memiliki
molekul protein besar, komplek dan sangat beracun, menyerupai struktur dan
fisiologi racun yang dihasilkan bakteri (Heller, 1996). Curcin adalah suatu protein
non-immunoglobulin alam yang mampu mengenal secara spesifik dan dapat
berikatan dengan sebagian karbohidrat dari komplek karbohidrat tanpa mengubah
struktur kovalen yang dikenal dengan ligan glikosil. Curcin dapat menggumpalkan
sel darah merah pada semua spesies hewan dan semua tipe darah (Cheeke, 1989).
Rumus bangun curcin dapat dilihat pada Gambar 6.
Curcin memiliki fungsi biologis mulai dari pengaturan pelekatan sel hingga
sintesis glikoprotein dan pengontrolan level protein dalam darah. Curcin diketahui
mempunyai peranan penting dalam sistem kekebalan dengan mengenali karbohidrat
khusus yang ditemukan pada patogen atau sebagai penghambat pada sel inang.
Curcin pada tanaman berperan sebagai pengikat glikoprotein pada permukaan sel,
sedangkan pada hewan berperan pada pengikatan cairan ekstraselular dan intraselular
glikoprotein (Komath et al., 2006).
Gambar 6. Rumus Bangun Curcin (Kayser, 2008)
Phitotoxin tidak tahan terhadap panas, karena itu dapat diukur dengan metode
penguapan. Curcin dapat menyebabkan iritasi pada mata dan tetap terdapat pada
fraksi bungkil setelah pengambilan minyak (Heller, 1996). Curcin pada jarak pagar
tidak terlihat sebagai toksisitas jangka pendek (Makkar dan Becker, 1997; Becker
dan Makkar, 1998), tetapi efek toksik akan meningkat jika bergabung dengan toksin
lain seperti phorbolester (Makkar dan Becker, 1997). Curcin dapat diinaktifkan
dengan pemanasan basah dengan kadar air 66% pada suhu 121 °C selama 30 menit
(Aderibigbe et al., 1997). Pada proses ekstraksi menggunakan pelarut, senyawa
curcin, termasuk phytat dan tripsin inhibitor yang terdapat dalam bungkil biji jarak
pagar dengan konsentrasi yang tinggi tidak dapat diekstrak (Makkar dan Becker,
1997).
Mencit (Mus musculus)
Mencit merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari tikus liar yang
sudah diternakkan secara selektif. Mencit saat ini sudah bermacam-macam galur dan
setiap galur memiliki ciri yang berbeda-beda (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Mencit dapat dilihat pada Gambar 7. Taksonomi mencit menurut Wikipedia (2008b),
adalah kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, famili
Muridae, sub famili Murinae, genus Mus dan spesies Musculus.
Gambar 7. Mencit (Mus musculus) (JT. Eaton Product, 2007)
Mencit merupakan hewan yang nocturnal, sehingga aktivitas hidupnya yaitu,
makan minum dan kawin, banyak terjadi pada sore dan malam hari (Inglis, 1980).
Dua atau lebih mencit jantan dewasa yang disatukan dalam satu kandang akan
menunjukkan sifat agresif dan berkelahi satu sama lain. Mencit tidak memiliki
penglihatan yang baik (buta warna), tetapi pendengarannya sangat tajam, yaitu
mampu mendengar frekuensi suara ultrasonik sampai lebih dari 100 kHz (Wikipedia,
2008a). Data biologis mencit ditunjukkan pada Tabel 6.
Kemiripan yang tinggi diantara genom mencit, sapi, babi dan manusia
sehingga mencit digunakan hewan model laboratorium untuk mempelajari
pengetahuan dasar genetika, genetika kuantitatif dan kualitatif dan penelitian
(Schuler, 2006).
Selain digunakan sebagai hewan laboratorium, mencit dapat dikategorikan
sebagai hewan yang merugikan. Tikus sebagai binatang kosmopolitan dan dikenal
sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan pengganggu
yang menjijikkan di perumahan. Belum banyak diketahui dan disadari bahwa
kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai
penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan (Departemen Kesehatan,
2009).
Tabel 6. Data Biologis Mencit
Kriteria Keterangan
Berat Lahir (g) 0,5-1
Berat Badan Dewasa (g) :
Jantan
Betina
20-40
18-35
Harapan Hidup 1-2 tahun
Denyut Jantung (kali/menit) 600-650
Temperatur Tubuh (°C) 36,5-38
Konsumsi Oksigen (ml/gram/jam) 2,38-4,48
Volume Darah (mg/kg) 76-80
Sel darah merah (x106/mm
3) 7,7-12,5
Sel darah putih (x 103/mm
3) 6,0-12,6
Neutrofil (%) 12-30
Limfosit (%) 55-85
Monosit (%) 1-12
Eosinofil (%) 0,2-4,0
PCV (%) 41-48
Hb (g%) 13-16
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Berbagai hal yang mempengaruhi pola distribusi penyakit (bersumber tikus)
dan penyakit menular adalah perubahan ekosistem akibat penebangan hutan,
pembangunan bendungan, pengeringan, perencanaan irigasi pertanian dan perubahan
iklim. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat hidup atau
kegiatan manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan penyakit.
Penyakit yang bersumber pada hewan rodensia yang disebabkan oleh berbagai agen
penyakit seperti virus, riketsia, bakteri, protozoa dan cacing dapat ditularkan kepada
manusia secara langsung, melalui feses, urin dan ludah atau gigitan rodensia dan
tidak langsung melalui gigitan vektor ektoparasit tikus (kutu, pinjal, caplak, tungau).
Dengan adanya dampak tersebut maka perlu penanggulangan atau pengendalian
tikus. Hal yang mungkin dapat dilakukan adalah usaha untuk mengurangi dan
menurunkan populasi satu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia.
Pemberian racun pada tikus sebagai hewan pembawa hama merupakan salah satu
alternatif menurunkan populasi (Departemen Kesehatan, 2009).
Konsumsi Ransum Mencit
Ransum mencit laboratorium tersedia dalam bentuk pelet, dengan berbagai
macam bentuk dan ukuran, atau dalam bentuk tepung yang diberikan ad libitum.
Kebutuhan protein mencit sebesar 20-25%, lemak 10-12%, pati 45-55%, serat kasar
kurang dari 4% dan abu 5-6% dan ditambahkan vitamin dan mineral (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
Kelompok mencit yang berjumlah tujuh ekor dapat menghabiskan makanan
sebanyak 50 g selama 2 hari, sehingga dalam satu hari satu ekor mencit
mengkonsumsi ransum sebanyak kurang lebih 3 g. Ransum dapat diletakkan diatas
jaring kawat yang ditempatkan pada tutup kandang atau dengan cara pemberian
pakan dengan wadah kecil, misalnya kaleng, tetapi perlu diperhatikan dengan cara ini
akan cepat kotor oleh feses dan urine yang tercampur, sehingga pakan banyak yang
rusak dan harus dibuang (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit laboratorium
tidak boleh hidup dalam keadaan tanpa air minum. Air minum dapat diberikan
dengan botol air atau dengan sistem pengairan otomatis, sistem apapun yang
digunakan yang terpenting adalah terhindar dari kebocoran (Malole dan Pramono,
1989).
Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut suhu kandang,
kelembaban, kualitas pakan, kesehatan dan kadar air dalam makanan. Mencit dewasa
memerlukan makanan sebanyak 15 g/100g bobot badan/hari dengan kadar protein
diatas 14% dan air minum 15 ml/100g bobot badan/hari (Malole dan Pramono,
1989).
Gambaran Darah Mencit
Darah merupakan salah satu diantara tiga cairan tubuh utama, sedangkan
cairan lain adalah cairan interstitial dan cairan intraseluler. Fungsi darah adalah
sebagai alat transportasi oksigen dan karbondioksida untuk kebutuhan respirasi paru-
paru (eksternal) dan seluler atau lebih dikenal sebagai respirasi internal (William dan
Wilking, 1986). Darah juga berperan dalam transportasi bahan makanan dari usus ke
sel-sel tubuh, transportasi sisa-sisa metabolisme tubuh ke alat-alat ekskresi tubuh,
transportasi air dan elektrolit. Darah mempunyai peranan penting dalam
mempertahankan homeostasis tubuh yang meliputi keseimbangan cairan tubuh, pH
maupun suhu tubuh, transportasi enzim-enzim dan hormon, pertahanan tubuh
terhadap infiltrasi benda-benda asing dan mikroorganisme (Guyton dan Hall, 1997).
Darah terdiri atas cairan plasma darah dan benda-benda darah. Sel-sel darah
dikenal ada tiga macam, yaitu sel darah merah, sel darah putih dan platelet
(trombosit). Sel darah merah berperan untuk membawa oksigen ke jaringan, sel
darah putih berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan platelet (trombosit)
berfungsi dalam mekanisme pembekuan darah (Guyton dan Hall, 1997).
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Sel darah merah atau eritrosit adalah jenis sel darah yang paling banyak dan
berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh lewat darah dalam hewan
bertulang belakang. Bagian dalam eritrosit terdiri atas hemoglobin, sebuah
biomolekul yang dapat mengikat oksigen (Wikipedia, 2008b). Nilai normal sel darah
merah di dalam mencit berkisar 7,7-12,5x106/mm
3 (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988).
Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, keadaan dan
hipoksia (Sturkie dan Grimingger, 1976). Swenson (1984) menambahkan faktor
status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian juga mempengaruhi jumlah
eritrosit. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi jumlah eritrosit tetapi juga
kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan konsentrasi kandungan darah lain.
Hematokrit
Hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV) adalah suatu ukuran
yang memiliki eritrosit di dalam 100 ml darah, sehingga dilaporkan dalam bentuk
persentase (Schalm et al., 1975), sedangkan menurut Guyton dan Hall (1997),
hematokrit adalah fraksi darah yang terdiri atas sel-sel darah merah, yang ditentukan
melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini menjadi benar-
benar mampat pada bagian bawah tabung.
Kisaran nilai normal hematokrit dalam darah mencit sebesar 41-48% (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan normal hematokrit sebanding dengan
jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas
darah yaitu semakin besar persentase sel darah merah semakin banyak timbul
gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat
pada derajat aliran darah yang melalui pembuluh darah kecil.
Nilai hematokrit sangat bervariasi pada setiap individu. Angka ini bergantung
pada apakah individu tersebut menderita anemia atau tidak, derajat aktivitas tubuh
dan ketinggian tempat dimana individu tersebut berada (Guyton dan Hall, 1997).
Hemoglobin
Hemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah
merah hewan vertebrata yang merupakan suatu protein yang mempunyai berat
molekul 64.450 (Ganong, 1995). Nilai normal hemoglobin dalam darah mencit
berkisar antara 13-16g% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Fungsi hemoglobin adalah sebagai pengangkut oksigen, tiap gram
hemoglobin akan mengangkut sekitar 1,34 ml oksigen (Frandson, 1996). Pigmen
merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah mampu mengkonsentrasikan
hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34 g/dl sel. Bila pembentukan
hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam
sel dapat turun sampai di bawah nilai ini dan volume sel darah merah juga menurun
karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Hemoglobin yang dilepaskan dari
sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di
hampir seluruh tubuh, terutama di hati, limpa dan sumsum tulang (Guyton dan Hall,
1997).
Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan musim. Selain
itu, faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoesis dan jumlah sel darah merah juga
mempengaruhi kadar hemoglobin misalnya keadaan hipoksia dan anemia (Sturkie
dan Grimingger, 1976).
Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel darah putih atau leukosit merupakan unit yang aktif dalam sistem
pertahanan tubuh. Manfaat dari leukosit adalah untuk menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap setiap agen infeksi. Mekanisme pertahanan yang dilakukan
oleh leukosit adalah dengan cara menghancurkan agen infeksi melalui fagositosis
atau dengan membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan (Dellman dan
Brown, 1988).
Nilai normal sel darah putih mencit berkisar antara 6,0-12,6x103/mm
3 (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988). Jumlah seluruh sel darah putih berada jauh di bawah sel
darah merah dan nilai sel darah putih yang beracun tergantung pada jenis hewan serta
kondisi tertentu seperti stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Dellman dan Brown,
1988). Selain itu, jumlah sel darah putih dapat juga dipengaruhi oleh jenis kelamin,
lingkungan, efek dari pelepasan hormon, obat-obatan dan radiasi sinar x (Sturkie dan
Grimingger, 1976).
Mortalitas
Mortalitas merupakan jumlah atau persentase ternak yang mati dalam suatu
populasi ternak tersebut berada. Menurut Blakely dan David (1991), mortalitas
mencit dapat dipengaruhi oleh kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan
kelembaban serta manajemen pemeliharaan mencit. Kondisi lingkungan yang baik
dan sesuai dengan kebutuhan ternak dapat menurunkan angka mortalitas.
Pengukuran dosis kematian untuk memastikan seberapa besar konsentrasi
racun yang menyebabkan hewan tersebut mati, biasa disebut LD50. LD50 merupakan
perhitungan dosis gram pencemar per kg bobot badan yang dapat menyebabkan
kematian 50% populasi makhluk hidup yang dijadikan percobaan. LD50
menggambarkan frekuensi penggunaan dosis sebagai indikator dari uji toksisitas
akut. Jumlah kematian dalam 24 jam dari hewan percobaan per kelompok pada
berbagai dosis uji, dianalisis dengan analisis probit untuk mendapatkan harga LD50.
Mekanisme kematian yang diakibatkan oleh racun terlihat dari perubahan gambaran
darah (eritrosit dan leukosit) serta kerusakan organ yang tercermin dari hasil
gambaran histopatologi (Wikipedia, 2008c).
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Labolatorium Nutrisi Ternak Unggas,
Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian berlangsung dari bulan Mei sampai November 2008, yang terdiri atas dua
tahap, yaitu tahap pertama dengan lima perlakuan lima ulangan dan tahap kedua
terdapat empat perlakuan dengan peningkatan dosis ekstrak bungkil biji jarak pagar
dalam air minum.
Materi
Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus)
putih dewasa jantan dengan bobot badan awal 19,15 ± 3,03 g sebanyak 25 ekor.
Mencit penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Lapang Bagian Non Ruminansia
dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Kandang dan Peralatan
Kandang berukuran 25 x 25 cm, berbentuk kubus yang dibuat dari kawat
dengan ukuran tiap kotak 0,5 x 0,5 cm. Tiap kandang dilengkapi dengan sebuah
tempat pakan dan air minum serta diberi alas berupa sekam padi. Berikut ini kandang
yang digunakan pada penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kandang Penelitian
Peralatan yang digunakan antara lain timbangan digital dan analitik, shaker
water bath, tabung pyrex, ember, gelas ukur, syring, dan seperangkat alat analisis
hematologi dan histopatologi.
Ransum yang Diberikan
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada Nutrient
Requirements of Laboratory Animals (1995) dengan komposisi ransum kontrol yang
dibuat dari jagung, tepung beras, kacang kedelai, kasein, minyak, garam, premix,
CaCO3, DL-metionine, L-lysin, dan DCP. Ransum perlakuan menggunakan bungkil
biji jarak pagar (BBJP) yang diperoleh dari Pusat Studi Surfaktan dan Bioenergi IPB
yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Perlakuan ransum yang diberikan adalah
sebagai berikut :
Penelitian Tahap I diberikan pada mencit umur 1-2 minggu
K1 : Ransum Kontrol (tanpa ekstrak dan residu BBJP)
R1-10 : Ransum Kontrol mengandung 10% residu BBJP
R1-20 : Ransum Kontrol mengandung 20% residu BBJP
E1-5 : Ransum Kontrol + 5% ekstrak metanol BBJP dalam air minum
E1-5C : Ransum Kontrol + 5% ekstrak metanol BBJP yang dicekok
Penelitian Tahap II diberikan pada mencit umur 2-4 minggu
K2 : Ransum Kontrol (tanpa ekstrak dan residu BBJP)
R2-10 : Ransum Kontrol mengandung 10% residu BBJP
R2-20 : Ransum Kontrol mengandung 20% residu BBJP
E2-10 : Ransum Kontrol + 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum
Hasil analisis kimia kandungan zat makanan ransum penelitian tahap I dan
tahap II disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Kimia Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian
Zat Makanan *) Ransum
K1 R1-10 R1-20 E1-5 E1-5C
----------------------------------(%BK) -------------------------
Bahan Kering
Protein Kasar
Serat Kasar
Lemak Kasar
Beta-N
Ca
P
Energi Bruto (kkal/kg)
Phorbolester (mg/g)**
Curcin (%)**
87,88
22,32
1,73
1,72
71,59
1,22
0,28
4.497
1,33
0,63
88,18
20,70
4,94
1,76
58,18
1,03
0,30
3.599
88,34
21,59
7,80
1,97
54,19
1,00
0,35
3.299
87,88
22,32
1,73
1,72
71,59
1,22
0,28
4.497
87,88
22,32
1,73
1,72
71,59
1,22
0,28
4.497
Sumber : *)Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008). ** Permana et al.
(2007)
Metode
Ekstraksi Bungkil Biji Jarak Pagar dengan Metanol
Bungkil biji jarak pagar dicampur dengan larutan metanol 90% dengan
perbandingan (1:4) dan digoyang dengan menggunakan shaker water bath selama 24
jam. Residu yang diperoleh kemudian digoyang kembali dalam shaker water bath
untuk memaksimalkan ekstraksi lemak dan racun larut lemak. Bungkil yang telah
diesktraksi, dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 24 jam. Metanol hasil
ekstrasi tersebut kemudian dievaporasi untuk mendapatkan ekstrak bungkil biji jarak
pagar. Ekstrak metanol bungkil biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Ekstrak Metanol Bungkil Biji Jarak Pagar
Pemberian Ekstrak Metanol BBJP
Melalui Air Minum. Ekstrak diberikan dengan dosis 5% berdasarkan jumlah cairan
tubuh mencit (70% dari total bobot badan) yang dicampurkan dalam air minum 15
ml (Malole dan Pramono, 1989) setiap hari pada tahap pertama. Dosis ditingkatkan
menjadi 10% pada tahap kedua. Contoh perhitungan jumlah ekstrak metanol yang
diberikan pada mencit perlakuan melalui air minum disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Contoh Dosis Ekstrak Metanol BBJP yang diberikan dalam 15 ml
Air Minum
Bobot Badan 70% Cairan Tubuh Dosis 5% dari Cairan Tubuh
------------g------------ ------------------------------------ml----------------------------------------
15,56 10,89 0,54
Pencekokan. Ekstrak diberikan dengan dosis 5% dari jumlah cairan tubuh mencit
(70% dari total bobot badan). Contoh perhitungan jumlah ekstrak metanol yang
diberikan pada mencit perlakuan secara cekok disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Contoh Dosis Ekstrak Metanol BBJP yang diberikan secara Cekok
Bobot Badan 70% Cairan Tubuh Dosis 5% dari Cairan Tubuh
------------g------------ ------------------------------------ml----------------------------------------
13 9,10 0,45
Pemeliharaan Mencit dan Penanganan Mencit yang Mati
Pemeliharaan mencit dilakukan selama empat minggu dalam dua tahap
pengamatan. Mencit yang mati akibat perlakuan, langsung ditimbang dan diambil
organnya untuk dibuat preparat histopatologi.
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan pada akhir penelitian. Mencit dibius
dengan menggunakan eter, dan darah diambil dari bagian jantung dengan
menggunakan syring berukuran 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung berheparin.
Sampel darah dianalisis kandungan haemoglobin (Hb), leukosit dan eritrosit serta
hematokrit (Sastradipradja et al., 1989).
1. Pengukuran Hb Darah dengan Metode Sahli
Tabung Sahli diisi dengan larutan 0,1 N HCl sampai angka 10 (garis paling
bawah pada tabung). Darah dipipet dengan menggunakan pipet Sahli dan
aspiratorinya, darah dihisap sampai batas 20 cm (0,02 ml) perlahan-lahan. Ujung
pipet dibersihkan dan segera memasukkan darah ke dalam tabung Sahli. Tabung
Sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna dalam alat hemoglobinometer.
Selama tiga menit didiamkan sampai terbentuk asam hematin yang berwarna coklat.
Dengan menggunakan pipet tetes, ditambahkan ke dalam tabung setetes demi setetes
aquadest sambil diaduk, sampai warna sama dengan warna standar. Tinggi
permukaan cairan pada tabung Sahli dibaca dengan melihat skala jalur g%, yang
menunjukkan banyaknya hb dalam gram per 100 ml darah. Jalur skala lain pada
tabung Sahli, kalau ada yang menunjukkan %Hb terhadap nilai normal 15,6 g%, atau
nilai normal lainnya yang tertera pada alat hemoglobinometer.
2. Total Eritrosit dan Leukosit (Hemositometer counter)
Pengukuran Eritrosit
Darah dimasukkan ke dalam pipet khusus pengukuran butir darah merah
sampai batas 0,5. Kemudian larutan Hayem (Na2SO4 0,5 g, NaCl 1 g, HgCl2 0,5 g
ditambahkan aquadest 100 ml) dimasukkan hingga batas 101. Cairan dihomogenkan
kemudian dikeluarkan hingga batas 100. Faktor pengencer dilakukan sebanyak 200
kali. Kamar hitung Neubeaur diteteskan 1-2 larutan fisiologis NaCl, kemudian darah
diteteskan pada kaca benda tadi dicampur dengan hati-hati dan ditutup dengan kaca
penutup. Kemudian kamar hitung tersebut diletakkan di bawah mikroskop yang telah
disiapkan lebih dahulu, dan pengamatan dilakukan dengan cermat menggunakan
pembesaran 100 kali dan 400 kali. Eritrosit dapat dihitung.
Rumus Pengukuran Volume Eritrosit (mm3) :
� �5R � p � l � t � faktor pengencer � jumlah eritrosit
Keterangan :
5 = 5 buah kotak yang terletak di bagian tengah kamar hitung Neubauer, 4 buah
kotak yang terletak di sudut dan sebuah terletak ditengah-tengah yang masing-
masing diberi tanda R.
p = panjang kotak ( �
� mm)
l = lebar kotak ( �
� mm)
t = kedalaman kotak (�
�� mm)
Pengukuran Leukosit
Darah dimasukkan ke dalam pipet khusus pengukuran leukosit sampai batas
0,5. Kemudian larutan Truk dimasukkan hingga pada batas 11. Cairan dihomogenkan
kemudian dikeluarkan hingga batas 10. Faktor pengencer 20 kali. Kamar hitung
Neubeaur diteteskan 1-2 larutan fisiologis NaCl, kemudian darah diteteskan pada
kaca benda tadi dicampur dengan hati-hati dan ditutup dengan kaca penutup. Kamar
hitung tersebut kemudian diletakkan di bawah mikroskop yang telah disiapkan lebih
dahulu, dan pengamatan dilakukan dengan cermat menggunakan pembesaran 100
kali dan 400 kali. Leukosit dapat dihitung.
Rumus Pengukuran Volume Leukosit (mm3) :
� �4W � p � l � t x faktor pengencer x jumlah leukosit
Keterangan :
4 = 4 buah kotak yang terletak di keempat sudut kamar hitung Neubauer, yang
masing-masing terdiri atas 16 bujur sangkar, yang diberi tanda W.
p = panjang kotak ( 1 mm)
l = lebar kotak ( 1 mm)
t = kedalaman kotak (�
�� mm)
3. PCV dengan Metode Mikrohematokrit
Ujung mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru) ditempelkan pada
sampel darah. Darah dibiarkan mengalir sendiri mengisi 4/5 bagian pipa kapiler.
Bagian ujung pipa kapiler yang bertanda (tidak selalu bertanda) disumbat dengan
crestaseal atau dibakar ujung pipa tersebut dengan hati-hati. Pipa-pipa kapiler
ditempatkan dalam alat pemusing; bagian yang tersumbat diletakkan menjauhi pusat
alat pemusing. Pipa-pipa kapiler tersebut diputar dengan alat pemusing mikro-kapiler
(microcentrifuge) selama 5 menit dengan kecepatan 11.500-15.000 rpm. Setelah
dipusing, terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri atas lapisan plasma yang jernih
dibagian teratas, kemudian lapisan putih abu-abu ialah trombosit dan leukosit dan
lapisan merah yang terdiri atas eritrosit.
Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan
merah) dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit.
Histopatologi
Pengujian terhadap organ hati dan ginjal mencit dilakukan di laboratorium
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Insitut Pertanian Bogor.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah konsumsi zat makanan dan
ransum mencit per hari, bobot badan (BB) awal dan akhir, mortalitas (%), dosis
kematian/toksik, dan gambaran darah berupa total eritrosit dan leukosit, haemoglobin
(Hb), serta packed cell volume (PCV).
1. Konsumsi ransum (g/ekor/hari)
Konsumsi ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang
diberikan selama tujuh hari dengan sisa ransum pada saat penggantian sekam.
Perhitungan sisa ransum dilakukan dengan cara memisahkan antara sekam, feses
dan sisa ransum.
Nilai konsumsi bahan kering ransum diperoleh dari perhitungan konsumsi
ransum segar dikalikan dengan kandungan bahan kering ransum perlakuan.
Nilai konsumsi protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, dan energi
diperoleh dari perkalian antara konsumsi bahan kering dengan kandungan zat
makanan tersebut dalam persentase bahan kering.
2. Bobot badan (g/ekor)
Perhitungan bobot badan (BB) dilakukan dengan penimbangan setiap minggu
pada saat penggantian sekam.
3. Mortalitas (%)
Daya hidup mencit diukur berdasarkan lama mencit hidup selama penelitian.
Dihitung dalam satuan waktu yaitu jam.
% Kematian (tiap perlakuan) = ∑ hewan mati X 100 %
∑ total hewan
4. Dosis Kematian atau toksik
Jumlah konsentrasi toksik yang mengakibatkan mencit mati.
5. Gambaran Profil Darah Mencit
- Total Eritrosit dan Leukosit : Pengukuran eritrosit dan leukosit pada mencit
menggunakan hemositometer counter.
- Haemoglobin (Hb) : Pengukuran Hb menggunakan metode Sahli.
- Hematokrit: Pengukuran hematokrit pada mencit menggunakan mikrohematokrit
reader.
6. Data gambaran hasil Histopatologi organ ginjal dan hati mencit.
Penyajian Data
Data yang diperoleh dari hasil uji toksisitas ini disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Temperatur dan kelembaban diperhitungkan sebagai faktor penting yang
mempengaruhi keadaan mencit selama penelitian. Hasil pengukuran di lokasi
penelitian menunjukkan temperatur di dalam kandang sebesar 30,12°C dengan
kelembaban sebesar 60%. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, dapat dinyatakan
bahwa temperatur lokasi penelitian adalah cukup ekstrim dan kemungkinan dapat
mempengaruhi parameter-parameter penelitian yang diamati. Inglis (1980)
menyatakan bahwa temperatur dan kelembaban relatif lingkungan yang dibutuhkan
atau sesuai untuk mencit secara berturut-turut berkisar antara 24-25°C dan 45-55%.
Malole dan Pramono (1989) juga menyatakan bahwa temperatur lingkungan yang
ideal untuk mencit adalah 21-29°C dan kelembaban relatif 30-70%.
Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit
Pengaruh pemberian ekstrak metanol dan residu BBJP terhadap konsumsi
ransum dan zat makanan pada mencit selama penelitian tahap I disajikan pada Tabel
10. Rataan konsumsi bahan kering (BK) ransum mencit selama penelitian tahap I
(awal-2 minggu) berkisar antara 2,06-3,02 g/ekor/hari yang setara dengan 10% bobot
badan mencit. Nilai rataan konsumsi yang diperoleh selama penelitian tahap I
sebanding dengan nilai konsumsi menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang
besarnya 3-5 g/ekor/hari. Konsumsi BK ransum mencit perlakuan yang mengandung
10% residu BBJP dalam ransum (R1-10) dan 5% ekstrak metanol BBJP dalam air
minum (E1-5) lebih rendah 14,61% dan 31,56% dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan senyawa curcin dan phorbolester dengan konsentrasi
tinggi yang terdapat dalam residu BBJP dan ekstrak metanol yang digunakan. Pada
mencit yang mendapat perlakuan 20% residu BBJP dalam ransum (R1-20)
menunjukkan nilai konsumsi yang sama dengan perlakuan kontrol (K1).
Tabel 10. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit Selama
Penelitian Tahap I
Peubah (Minggu Ke-0 – 2)
K1 R1-10 R1-20 E1-5 E1-5C
----------------------------------(g/ekor/hari)------------------------------------
Ransum (as fed) 3,43 ± 1,01 2,92 ± 0,96 3,42 ± 1,20 2,53 ± 0,86 *
Ransum (BK) 3,01 ± 0,89 2,57 ± 0,85 3,02 ± 1,06 2,06 ± 0,76 *
Protein Kasar 0,67 ± 0,20 0,53 ± 0,17 0,65 ± 0,23 0,50 ± 0,17 *
Lemak Kasar 0,05 ± 0,01 0,05 ± 0,01 0,06 ± 0,02 0,04 ± 0,01 *
Serat Kasar 0,05 ± 0,01 0,13 ± 0,04 0,24 ± 0,08 0,04 ± 0,01 *
BETN 2,16 ± 0,64 1,49 ± 0,49 1,64 ± 0,57 1,59 ± 0,55 *
Energi
(kal/g/ekor/hari)
135,44 ± 40,31 92,57 ± 30,50 99,69 ± 34,99 99,87 ± 34,27 *
n (ekor) 5 4 5 5 5
Keterangan : BK = Bahan Kering, K1 = Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar), R1-10 = K1
mengandung 10% residu BBJP hasil ekstraksi metanol, R1-20 = K1 mengandung 20% residu
BBJP hasil ekstraksi metanol, E1-5 = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP dalam air minum, E1-5C =
K1 + 5% ekstrak metanol BBJP di cekok. *) Kematian 100% pada hari pertama.
Mencit pada perlakuan E1-5C langsung mati setelah dicekok sehingga tidak
memiliki nilai konsumsi ransum. Pada proses pemberian 5% dosis ekstrak metanol
BBJP yang dicekok (E1-5C) melalui mulut hewan, setelah beberapa jam pencekokan
di hari pertama penelitian, mencit telah menunjukkan gejala-gejala keracunan yang
menuju pada kematian. Gejala-gejala sebagai kematian adalah tubuh menjadi lesu
dan lemas, tidak agresif, gerakannya menjadi lambat hingga tidak mampu untuk
menggerakan tubuhnya.
Pemberian ransum yang mengandung residu BBJP (perlakuan R1-10 dan R1-
20) menyebabkan penurunan konsumsi protein kasar bila dibandingkan dengan
konsumsi protein kasar perlakuan K1 (ransum tanpa residu BBJP). Penurunan
konsumsi protein kasar juga terjadi pada mencit dengan perlakuan E1-5 (K1 + 5%
ekstrak metanol BBJP dalam air minum) dengan persentase penurunan sebesar
25,37% dibandingkan dengan kontrol. Penurunan konsumsi protein kasar pada
perlakuan R1-10 dan R1-20 disebabkan oleh penurunan konsumsi bahan kering dan
ransum yang menjadi tidak palatabel bagi mencit. Semakin rendah ransum yang
dikonsumsi maka semakin rendah protein yang dapat diserap oleh tubuh. Hal ini
dikarenakan racun phorbolester dan curcin. Menurut Lin et al. (2003), curcin atau
lectin dapat mengikat glikoprotein pada permukaan sel yang menyebabkan sel
menjadi mati. Mekanisme dari curcin atau lectin berhubungan dengan aktivitas N-
glycosidase yang kemudian mempengaruhi metabolisme. Curcin sangat beracun bagi
manusia dan ternak karena dapat menghambat sintesis protein di dalam ribosom.
Antitripsin juga merupakan antinutrisi yang terdapat dalam bungkil biji jarak yang
dapat menghambat pemanfaatan protein ransum dengan cara menghambat kerja
enzim tripsin dalam menghidrolisis protein yang diperlukan untuk tumbuh (Andajani
dan Susanto, 1986).
Nilai rataan konsumsi lemak kasar ransum pada perlakuan yang mengandung
residu BBJP serta perlakuan pemberian ekstrak metanol berada pada kisaran yang
mendekati nilai rataan konsumsi lemak kasar ransum perlakuan kontrol, yaitu 0,05-
0,07 g/e/hari. Kisaran konsumsi lemak kasar yang rendah pada semua perlakuan
disebabkan oleh rendahnya lemak ransum. Kandungan lemak dalam ransum-ransum
perlakuan berkisar antara 1,72-1,97%, sedangkan kebutuhan lemak mencit menurut
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 10-12%.
Nilai rataan konsumsi serat kasar tertinggi ditunjukkan oleh mencit dengan
perlakuan 20% residu BBJP dalam ransum (R1-20) dengan persentase penurunan
sebesar 79,16% dibandingkan dengan perlakuan ransum kontrol (K1). Penggunaan
20% residu BBJP dalam ransum secara langsung merubah jumlah total serat kasar
dalam ransum R1-20 sehingga mempengaruhi jumlah serat kasar yang dikonsumsi.
Nilai rataan konsumsi BETN mengalami penurunan pada ransum yang
mengandung residu BBJP, yakni pada perlakuan R1-10 (1,49 g/e/hari) dan perlakuan
R1-20 (1,64 g/e/hari) bila dibandingkan dengan perlakuan K1 (2,16 g/e/hari) dan
perlakuan E1-5 (1,59 g/e/hari). Konsumsi BETN ransum R1-10 yang rendah
(31,01% lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol) diduga disebabkan oleh
rendahnya konsumsi bahan kering, abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar
dari ransum.
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa konsumsi energi ransum perlakuan
mengalami penurunan pada ransum yang mengandung residu BBJP dan juga
perlakuan pemberian ekstrak metanol dalam air minum. Nilai rataan konsumsi energi
ransum terendah terjadi pada perlakuan R1-10 dengan persentase penurunan sebesar
31,65% dibandingkan kontrol. Rendahnya konsumsi energi pada ransum perlakuan
R1-10 diduga dikarenakan rendahnya kandungan energi dalam ransum (3.599
kkal/kg) dibandingkan kandungan energi ransum perlakuan lainnya serta rendahnya
nafsu makan mencit terhadap ransum tersebut. Jadi, semua penurunan konsumsi
nutrien yang terjadi pada semua perlakuan pada tahap I penelitian ini disebabkan
oleh penurunan konsumsi bahan kering dan kualitas ransum yang rendah serta
ransum yang tidak palatabel bagi mencit.
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa perlakuan E1-5C mengalami kematian
secara cepat pada hari pertama penelitian yang disebabkan oleh tingginya senyawa
racun phorbolester yang terdapat di dalam ekstrak bila dibandingkan dengan produk
residunya. Senyawa phorbolester mampu berikatan dengan lemak sehingga melalui
proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol menghasilkan racun yang
terkonsentrasi tinggi dalam ekstrak. Menurut Asaoka et al. (1992) phorbolester
diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacyl
glycerol (DAG). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+
secara
dramatis dan karena phorbolester bersifat stabil dan tidak terdegradasi secara cepat
setelah menstimulasi PKC sehingga menyebabkan aktivasi yang mengarah pada
respon fisiologis seperti poliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol. Menurut
Becker dan Makkar (1998) phorbolester menempel pada bagian reseptor dan
mengaktivasi PKC sehingga dapat merusak sel dan jaringan. Selain sebagai
cocarsinogen, phorbolester dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan
morfologi sel yang berdampak pada kerusakan membran sel sehingga menyebabkan
sel menjadi mati.
Rataan konsumsi zat makanan pada mencit selama penelitian tahap II
ditunjukkan pada Tabel 11. Pada Tabel ini terlihat semakin menurunnya konsumsi
zat makanan (bahan kering ransum, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN
dan energi ransum) yang semakin drastis dibandingkan dengan penelitian tahap I.
Pada tahap II ini konsumsi bahan kering ransum oleh mencit berkisar antara
1,79-2,32 g/ekor/hari yang setara dengan 10% bobot badan mencit. Nilai rataan
konsumsi bahan kering yang diperoleh pada tahap II lebih rendah dibandingkan
dengan nilai rataan konsumsi bahan kering ransum pada penelitian tahap I. Nilai
rataan konsumsi bahan kering ransum yang diperoleh pada tahap II jelas
mempengaruhi konsumsi zat makanan lainnya.
Tabel 11. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit Selama
Penelitian Tahap II
Peubah (Minggu Ke-2 – 4)
K2 R2-10 R2-20 E2-10
-----------------------------------(g/ekor/hari)----------------------------
Ransum (As fed) 2,31 ± 0,73 2,63 ± 1,69 2,35 ± 2,09 2,04 ± 0,83
Ransum (BK) 2,04 ± 0,92 2,32 ± 1,45 2,07 ± 1,85 1,79 ± 0,73
Protein Kasar 0,45 ± 0,14 0,48 ± 0,31 0,45 ± 0,39 0,40 ± 0,16
Lemak Kasar 0,04 ± 0,01 0,04 ± 0,02 0,04 ± 0,03 0,03 ± 0,01
Serat Kasar 0,04 ± 0,01 0,13 ± 0,04 0,16 ± 0,14 0,03 ± 0,01
BETN 1,45 ± 0,46 1,35 ± 0,87 1,12 ± 1,00 1,28 ± 0,52
Energi
(kal/g/ekor/hari)
91,54 ± 28,98 83,65 ± 53,86 68,39 ± 60,95 80,63 ± 32,90
n (ekor) 2 4 1 1
Keterangan : K2 = Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar), R2-10 = K2 mengandung 10% residu BBJP
hasil ekstraksi metanol, R2-20 = K2 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol, E2-10
= K2 + 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum.
Nilai rataan konsumsi bahan kering terendah pada tahap II ini adalah
perlakuan E2-10 (K2 + 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum) sebesar 1,79
g/ekor/hari. Hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak dengan dosis yang
ditingkatkan dalam air minum menyebabkan konsumsi ransum yang rendah.
Konsumsi bahan kering ransum yang rendah disebabkan oleh keberadaan senyawa
phorbolester dengan konsentrasi tinggi yang bersifat toksik dalam ekstrak metanol
yang diberikan. Selain itu, pada minuman mencit ditemukan bau dan rasa yang tidak
enak yang ditimbulkan, sehingga menyebabkan mencit tidak nafsu makan dan
minum. Hal ini didukung oleh pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang
menyatakan bahwa senyawa yang diberikan dengan cara dicampur dalam makanan
atau minuman jika berbau atau menyebabkan rasa yang tidak enak dapat
menyebabkan konsumsi ransum dan minuman tersebut berkurang.
Penurunan konsumsi zat makanan dalam ransum oleh mencit di tahap II
dibandingkan penelitian tahap I, juga dipengaruhi oleh lamanya waktu pemberian
residu BBJP akibat tahap I dan ekstrak metanol pada mencit di setiap perlakuan.
Pada Tabel 11 terlihat bahwa terjadi penurunan yang semakin drastis pada konsumsi
lemak kasar dan serat kasar yang ditunjukkan oleh semua perlakuan. Konsumsi
energi yang ditunjukkan tiap-tiap perlakuan juga mengalami penurunan. Dengan
demikian semakin lama waktu pemberian, semakin banyak zat racun yaitu curcin
dan phorbolester yang akan terakumulasi di dalam tubuh. Keberadaan curcin dan
phorbolester dalam tubuh memiliki aktivitas yang dapat mengganggu proses
pencernaan dan mengganggu proses penyerapan protein dalam usus, serta
menurunkan nilai nutrisi ransum. Adam dan Magzoub (1975) juga menyatakan
bahwa keberadaan phorbolester dalam bungkil biji jarak pagar mampu menyebabkan
penurunan level glukosa dan peningkatan konsentrasi arginase, glutamate dan
oxaloacetate transaminase dalam serum darah. Selain itu, hal tersebut mengurangi
konsumsi air pada ternak yang menyebabkan dehidrasi dan terjadi diare.
Konsumsi Phorbolester dan Curcin
Phorbolester dan curcin merupakan senyawa bersifat racun yang terdapat
dalam bungkil biji jarak pagar. Penggunaan bungkil ini dalam ransum dapat
menyebabkan kematian bagi ternak yang mengkonsumsi. Berikut ini adalah asumsi
nilai asupan phorbolester dan curcin yang dikonsumsi oleh mencit terhadap ransum
yang diberi residu bungkil biji jarak pagar hasil ekstraksi metanol. Tabel 12 dan
Tabel 13 menunjukkan konsumsi harian phorbolester dan curcin dalam ransum pada
penelitian tahap I dan II.
Tabel di bawah menunjukkan nilai dugaan rataan harian phorbolester dan
curcin yang dikonsumsi oleh mencit R1-10 lebih rendah dibandingkan dengan R1-
20. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi penggunaan dosis residu bungkil biji
jarak pagar hasil ekstraksi metanol, maka semakin tinggi pula mencit mengkonsumsi
phorbolester dan curcin. Dugaan rataan konsumsi harian phorbolester oleh R1-10
sebesar 0,34 mg/ekor/hari dan R1-20 sebesar 0,80 mg/ekor/hari tidak dapat
ditoleransi oleh ternak karena menurut Aregheore et al. (2003) kandungan
phorbolester yang aman dalam ransum terdapat pada level 0,014 mg/g.
Tabel 12. Rataan Harian Konsumsi Phorbolester dan Curcin dalam Ransum
Penelitian Tahap I
Perlakuan n
Kandungan Residu
Bungkil Biji Jarak Pagar
dalam Total Ransum
Konsumsi
Phorbolester
Konsumsi
Curcin
--ekor-- ----------------g--------------- --mg/ekor/hari-- ---µg/ekor/hari-
R1-10 4 140 0,34 ± 0,11 115,53 ± 38,09
R1-20 5 280 0,80 ± 0,28 271,44 ± 95,61
Keterangan : n = jumlah mencit. R1-10 = K1 (Ransum Kontrol) mengandung 10% residu bungkil biji jarak pagar
hasil ekstraksi metanol, R1-20 = K1 (Ransum Kontrol) mengandung 20% residu bungkil biji
jarak pagar hasil ekstraksi metanol.
Konsumsi Phorbolester yang tinggi oleh mencit menyebabkan penurunan
konsumsi ransum yang berdampak pada gangguan metabolisme dan selanjutnya
mengakibatkan penurunan bobot badan mencit. Aregheore et al. (2003) juga
menyatakan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung 16% bungkil biji
jarak pagar yang didetoksifikasi memiliki kosentrasi phorbolester sebesar 0,13 mg/g
menyebabkan penurunan konsumsi ransum dan penurunan bobot badan hewan.
Meskipun nilai dugaan konsumsi phorbolester pada penelitian tahap I ini berada
pada level di atas batas yang dapat ditoleransi oleh ternak, namun belum
menyebabkan kematian.
Dugaan rataan konsumsi curcin harian pada Tabel 12 berkisar pada level
115,53-271,44 µg/ekor/hari. Level tertinggi konsumsi curcin ditunjukkan oleh
mencit dengan perlakuan R1-20. Semakin tinggi dosis yang diberikan dalam ransum
maka semakin tinggi pula asupan curcin oleh mencit perlakuan.
Tabel 13. Rataan Harian Konsumsi Phorbolester dan Curcin dalam Ransum
Penelitian Tahap II
Keterangan : n = jumlah mencit. R2-10 = K2 (Ransum Kontrol) mengandung 10% residu bungkil biji jarak pagar
hasil ekstraksi metanol, R2-20 = K2 (Ransum Kontrol) mengandung 20% residu bungkil biji
jarak pagar hasil ekstraksi metanol.
Perlakuan n
Kandungan Residu
Bungkil Biji Jarak Pagar
dalam Total Ransum
Konsumsi
Phorbolester
Konsumsi
Curcin
---ekor-- ---------------g---------------- --mg/ekor/hari-- ---µg/ekor/hari---
R2-10 4 140 0,30 ± 0,19 104,58 ± 58,32
R2-20 1 280 0,55 ± 0,49 186,57 ± 166,28
Penelitian tahap II (Tabel 13) menunjukkan dugaan konsumsi harian
phorbolester pada mencit perlakuan R2-10 dan R2-20 semakin rendah dibandingkan
pada penelitian tahap I. Lamanya waktu perlakuan merupakan faktor yang
mempengaruhi jumlah konsumsi harian phorbolester. Semakin lama waktu
perlakuan, maka semakin terakumulasi phorbolester yang dikonsumsi menyebabkan
ransum yang dikonsumsi semakin rendah. Demikian halnya juga dengan dugaan
konsumsi harian curcin yang semakin menurun dibandingkan dengan tahap I.
Pada penelitian tahap II ini tidak terjadi kematian pada mencit perlakuan R2-
10 (ransum yang mengandung 10% residu bungkil biji jarak pagar hasil ekstraksi
metanol). Meskipun nilai dugaan konsumsi harian phorbolester-nya berada pada
level yang tidak dapat ditoleransi oleh ternak yaitu 0,014 mg/g dalam ransum
(Aregheore et al., 2003).
Nilai dugaan konsumsi harian curcin pada perlakuan R2-10 yang besarnya
104,58 µg/ekor/hari ternyata aman untuk dikonsumsi mencit selama empat minggu.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2007) menunjukkan
pemberian 10% bungkil biji jarak pagar segar dalam ransum pada ayam broiler
menyebabkan LD50 (dosis yang menyebabkan 50% dari hewan percobaan mati) pada
hari ke-7 dengan asupan curcin sebesar 1,72 mg/ekor. Hal ini membuktikan bahwa
penggunaan metanol dalam mengekstraksi bungkil biji jarak pagar mampu
menurunkan level curcin dan phorbolester, sehingga asupan racunnya pun lebih
rendah.
Perlakuan R2-20 pada tahap II menunjukkan kematian pada level dugaan
konsumsi phorbolester sebesar 0,55 mg/ekor/hari dan konsumsi harian curcin
sebesar 186,57 µg/ekor/hari pada hari ke-6 penelitian. Hidayah (2007) melaporkan
LD50 pada ayam broiler yang diberi 15% bungkil biji jarak pagar dalam ransum
memiliki rataan asupan curcin sebesar 0,42 mg/ekor pada hari ke-7. Nilai tersebut
lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan R2-20. Hal ini berkaitan dengan
semakin tinggi dosis yang digunakan serta semakin lama waktu pemberian
menyebabkan semakin banyak racun yang terakumulasi di dalam tubuh mencit
perlakuan sehingga menyebabkan kematian.
Bobot Badan Mencit
Perubahan bobot badan merupakan salah satu cara dalam mengukur
pertumbuhan ternak. Semakin meningkatnya konsumsi ransum maka diharapkan
bobot badan yang dicapai juga akan meningkat. Rataan bobot badan mencit
penelitian selama tahap I disajikan pada Tabel 14.
Pada perlakuan ransum kontrol menunjukkan pertambahan bobot badan
sebesar 1,56% diakhir penelitian tahap I. Pada perlakuan ransum yang mengandung
10% residu BBJP dan 20% residu BBJP, serta penambahan 10% ekstrak metanol
BBJP dalam air minum terjadi penurunan bobot badan dengan masing-masing nilai
penurunan persentase sebesar 0,69%, 2,22%, dan 1,79%. Penurunan bobot badan
mencit pada perlakuan yang diberi residu BBJP hasil ekstraksi metanol menunjukkan
pada dosis 20% lebih rendah dibandingkan pada dosis 10%. Hal ini membuktikan
bahwa di dalam residu BBJP ekstraksi metanol masih mengandung racun curcin dan
phorbolester serta faktor antinutrisi berupa antitripsin yang menyebabkan konsumsi
ransum menurun sehingga pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Antitripsin
merupakan antinutrisi yang mempunyai sifat menghambat kerja enzim tripsin dalam
menghidrolisa protein yang diperlukan untuk tumbuh (Andajani dan Susanto, 1986).
Oleh karena itu, semakin tinggi penggunaan dosis residu BBJP hasil ekstraksi
metanol dalam ransum semakin rendah nilai nutrisi ransum yang dapat dimanfaatkan
mencit untuk pertumbuhan.
Tabel 14. Rataan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Tahap I
Perlakuan
Bobot Badan (BB) Mencit Pertambahan
Bobot Badan (PBB) n Bobot Badan
Awal
Bobot Badan
Akhir
-------------g/ekor---------------- ---------g/ekor/hari--------- ------ekor-----
K1 19,81 ± 2,37 21,37 ± 3,03 0,11 ± 0,25 5
R1-10 21,07 ± 2,24 20,38 ± 2,88 -0,05 ± 0,23 4
R1-20 19,36 ± 3,61 17,14 ± 2,14 -016 ± 0,14 5
E1-5 19,10 ± 2,85 17,31 ± 2,15 -0,13 ± 0,14 5
E1-5C 17,01 ± 3,87 - - 5
Keterangan : n = jumlah mencit. K1 = Ransum kontrol (tanpa BBJP), R1-10 = K1 mengandung 10% residu
BBJP hasil ekstraksi metanol, R1-20= K1 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi methanol,
E1-5 = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP dalam air minum, E1-5C = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP
dicekok.
Penurunan bobot badan mencit pada penelitian tahap I tidak sampai
menyebabkan kematian di semua perlakuan, kecuali pada perlakuan 5% ekstrak
metanol BBJP dicekok (E1-5C) yang mengalami kematian sangat cepat segera
setelah pemberian dosis pada hari pertama. Artinya bahwa dalam waktu dua minggu
dosis ekstrak metanol sebesar 5% yang diaplikasikan pada ternak dengan cara
dicampurkan dalam air minum maupun residu BBJP yang digunakan dalam ransum
dengan dosis 10% (R1-10) dan 20% (R1-20) belum mengakibatkan kematian yang
fatal.
Penelitian pada tahap II menunjukkan penurunan bobot badan yang drastis
untuk semua perlakuan. Nilai rataan bobot badan mencit selama tahap II ditunjukkan
pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Tahap II
Perlakuan
Bobot Badan Mencit Pertambahan
Bobot Badan (PBB) n Bobot Badan
Awal
Bobot Badan
Akhir
--------------g/ekor----------------- -----g/ekor/hari------ --------ekor-------
K2 23,49 ± 3,03 19,25 ± 0,77 -0,30 ± 0,04 2
R2-10 20,38 ± 2,88 16,75 ± 3,36 -0,25 ± 0,05 4
R2-20 17,14 ± 2,14 14,71 ± 1,83 -0,47 ± 0,29 1
E2-10 17,31 ± 2,15 12,88 ± 1,66 -0,45 ± 0,32 1
Keterangan : n = jumlah mencit. K2 = Ransum kontrol (tanpa BBJP), R2-10 = K2 mengandung 10% residu
BBJP hasil ekstraksi metanol, R2-20 =K2 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol,
E2-10 = K2 + 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum.
Persentase penurunan bobot badan mencit tahap II masing-masing adalah
sebesar 3,64% (R2-10), 3,28% (R2-20), dan sebesar 5,08% (E2-10). Nilai persentase
penurunan bobot badan pada penelitian tahap II lebih besar dibandingkan penelitian
tahap I. Berdasarkan persentase penurunan bobot badan tersebut, diketahui bahwa
penurunan bobot badan yang terbesar terjadi pada perlakuan penambahan 10%
ekstrak metanol BBJP dalam air minum (E2-10). Lamanya waktu pemberian dan
tingginya dosis toksik diasumsikan sebagai salah satu penyebab penurunan bobot
badan. Semakin lama pemberian ekstrak metanol dan residu BBJP yang diberikan
dengan dosis yang berbeda-beda maka kandungan phorbolester dan curcin yang
diasumsikan sebagai senyawa yang bersifat racun toksik baik dalam ransum
penelitian maupun yang diberikan lewat air minum makin meningkat dalam tubuh
mencit. Sehingga hal ini sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan diantaranya
terganggunya proses fisiologis yang merupakan efek dari aktivitas zat racun tersebut.
Mortalitas Mencit
Pemberian ransum yang mengandung residu BBJP hasil ekstraksi metanol
dan ekstrak metanol mempengaruhi mortalitas mencit. Selain itu juga cara penentuan
dan media pemberian dosis merupakan faktor yang mempengaruhi nilai pengujian
dosis kematian. Persentase mortalitas mencit selama penelitian tahap I dan II
disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.
Tabel 16. Persentase Mortalitas Mencit Selama Penelitian Tahap I
Perlakuan Mortalitas n Hari ke-
-----------%----------- --------ekor---------
K1 0 5 -
R1-10 0 4 -
R1-20 0 5 -
E1-5 0 5 -
E1-5C 100 5 1
Keterangan : n = jumlah mencit; K1 = Ransum kontrol (tanpa BBJP), R1-10 = K1 mengandung 10% residu
BBJP hasil ekstraksi metanol, R1-20 = K1 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol,
E1-5 = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP dalam air minum, E1-5C = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP
dicekok.
Penelitian tahap I menunjukkan bahwa pemberian ransum kontrol (K1), 10%
residu BBJP dan 20% residu BBJP dalam ransum, serta penambahan 5% ekstrak
metanol BBJP dalam air minum belum menyebabkan kematian. Mortalitas terjadi
pada pemberian 5% ekstrak metanol BBJP secara dicekok (E1-5C). Kematian terjadi
pada hari ke-1 sebesar 100%, 3-6 jam setelah proses pencekokan. Sebelum terjadi
kematian, dalam beberapa menit setelah pencekokan terlihat gejala-gejala seperti
lemas, diam, tidak agresif, daya gerakannya menjadi lambat.
Pada perlakuan E1-5C dapat diidentifikasikan bahwa ekstrak yang diberikan
secara dicekok lebih cepat didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi proses
penyerapan di saluran pencernaan, sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme
di dalam tubuh (Mutschler, 1991) apabila dibandingkan dengan pemberian dalam
ransum dan air minum. Tingginya angka mortalitas yang terjadi pada perlakuan E1-
5C disebabkan tingginya racun phorbolester yang terdapat dalam ekstrak metanol
BBJP. Phorbolester terdapat pada minyak (lemak) yang masih tersisa di dalam
bungkil yang dapat diambil sempurna dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut
heksan (Makkar dan Becker, 1997). Efek toksikologi dari minyak biji jarak menurut
Gandhi et al. (1995) dengan level enam ml/kg bobot badan pada tikus menyebabkan
manifestasi toksikologi berupa diare, peradangan pada gastrointestinal dan iritasi
yang disertai nekrosis pada kulit.
Hasil uji patologi dari sampel organ mencit ditemukan degenerasi hidropis
pada seluruh sel organ hati, terjadi pembendungan pada organ jantung, serta
ditemukannya extramedulary hematopoiesis (pembentukan sel-sel darah meningkat)
yang terjadi pada organ limpa (Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
2008).
Pada Tabel 17 (penelitian tahap II) menunjukkan bahwa mortalitas terjadi
pada perlakuan kontrol (K2) dengan persentase mortalitas sebesar 60% pada hari ke-
12 penelitian. Kematian yang terjadi pada hewan kontrol disebabkan oleh keelakaan
yang terjadi pada saat penelitian berlangsung.
Tabel 17. Persentase Mortalitas Mencit Selama Penelitian Tahap II
Keterangan : * : n = jumlah mencit; K2 = Ransum kontrol (tanpa BBJP), R2-10 = K2 mengandung 10% residu
BBJP hasil ekstraksi metanol, R2-20= K2 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol,
E2-10 = K2 + 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum.
Mortalitas pada mencit juga terjadi pada perlakuan 20% residu BBJP dalam
ransum (R2-20) dan perlakuan pemberian 10% ekstrak metanol BBJP dalam air
minum (E2-10). Angka mortalitas pada perlakuan R2-20 sebesar 80% terjadi pada
pengamatan hari ke-6 (pada minggu ke2-4 pengamatan). Pada residu BBJP hasil
ekstraksi metanol diduga masih mengandung senyawa yang bersifat racun yakni
curcin dengan konsentrasi tinggi yang menurut Makkar dan Becker (1997) tidak
dapat diekstraksi menggunakan pelarut organik atau tidak ikut terekstraksi.
Perlakuan Mortalitas n Hari ke-
------------%------------ --------ekor---------
K2 60 5 12
R2-10 0 4 -
R2-20 80 5 6
E2-10 80 5 9
Aregheore et al. (2003) berpendapat bahwa curcin dapat diinaktifkan dengan
menggunakan perlakuan pemanasan pada suhu 1210C selama 30 menit. Racun ini
mengakibatkan kematian yang sebelumnya ditandai dengan gejala-gejala seperti lesu,
kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum semakin rendah, bobot badan menurun,
dan terjadi kerontokan bulu. Hasil penelitian Fachrudin (2007) juga menunjukkan
bahwa penggunaan BBJP segar pada dosis 15% dapat menyebabkan mencit
mengalami gejala-gejala seperti lesu, bobot badan menurun drastis, konsumsi ransum
menurun, bulu tampak kusam, terdapat cairan kuning kecoklatan di sekitar anus,
anus menjadi bengkak dan berwarna merah, serta feses cair dan berakhir dengan
kematian.
Hasil uji patologi yang dilakukan pada organ mencit perlakuan R2-20
ditemukan keadaan nekrosis dan infiltrasi sel-sel limfosit secara multifokus pada
organ hati, terjadinya degenerasi epitel tubuli dan pembendungan di organ ginjal,
serta degenerasi ringan serabut otot pada jantung mencit. Hasil yang berbeda
didapatkan dari penggunaan dosis 10% residu BBJP dalam ransum masih bisa
dikategorikan aman sampai empat minggu. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya
mortalitas yang terjadi pada perlakuan hingga akhir penelitian (minggu ke-4).
Mortalitas juga terjadi pada perlakuan E2-10 (K2 + 10% ekstrak metanol
BBJP dalam air minum) sebesar 80% pada pengamatan hari ke-9 (Minggu Ke-2–4
penelitian). Berbeda dengan perlakuan R2-20, perlakuan E2-10 disebabkan oleh
konsentrasi phorbolester dalam ekstrak yang tinggi di dalam air minum. Hal ini
mengakibatkan kematian yang ditandai dengan gejala-gejala seperti lesu, kehilangan
nafsu makan, konsumsi ransum semakin rendah, bobot badan menurun, terjadi
kerontokan bulu, terdapat cairan berwana kuning disekitar anus, dan feses cair
(diare). Hasil pemeriksaan histopatologi pada perlakuan E2-10 menunjukkan bagian
organ paru-paru terjadi pneumonia interstisialis, hampir setengah alveoli tidak
berfungsi, pada jantung terjadi pembendungan dan edema, sedangkan pada hati
sinusoid meluas, pembendungan, dan degenerasi ringan sel-sel hati (Laboratorium
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, 2008).
Gambaran Darah Mencit
Pemeriksaan terhadap gambaran darah mencit dilakukan di akhir penelitian.
Hal ini dilakukan untuk melihat mekanisme kematian efek perlakuan dari aspek
hematologi. Gambaran darah pada mencit penelitian ditunjukkan pada Tabel 18.
Hasil pemeriksaan pada perlakuan kontrol (K2) menunjukkan nilai
hemoglobin (Hb), hematokrit, butir darah merah serta butir darah putih masih berada
dalam kisaran normal mencit yang masing-masing adalah 13-16g% untuk nilai Hb,
41-48% nilai hematokrit, 7,7-12,5x106/mm
3 butir darah merah, dan 6,0-
12,6x103/mm
3 untuk butir darah putih (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Pemeriksaan yang dilakukan pada perlakuan yang mengandung 10% residu BBJP
dalam ransum (R2-10) hingga perlakuan penambahan 10% ekstrak metanol BBJP
dalam air minum (E2-10) menunjukkan mulai terjadi penurunan terhadap komponen-
komponen sel darah yang dinyatakan dengan nilai dibawah kondisi normal mencit.
Tabel 18. Hasil Gambaran Hematologi Mencit pada Akhir Penelitian Tahap II
Perlakuan Hb Hematokrit Butir Darah Merah Butir Darah Putih
------g%---- ------%------ -------Juta/mm3------- ------Ribu/mm
3------
K2 13,4 39,5 10,39 4,05
R2-10 9,6 23,25 7,44 8,35
R2-20 12 28,0 7,29 6,4
E2-10 11 33,5 3,65 0,7
Keterangan : K2 = Ransum kontrol (tanpa BBJP), R2-10 = K2 mengandung 10% residu BBJP hasil ekstraksi
metanol, R2-20 = K2 mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol, E2-10 = K2 + 10%
ekstrak metanol BBJP dalam air minum. Hb = Hemoglobin.
Perubahan kondisi gambaran darah terjadi pada perlakuan penggunaan residu
dan ekstrak metanol dari BBJP. Hasil pemeriksaan menunjukkan pada perlakuan R2-
10 dengan pemberian dosis 10% residu BBJP dalam ransum, ternyata mampu
menurunkan nilai Hemoglobin (Hb) dalam darah hingga 9,6 g% dari kondisi normal
Hb dalam darah mencit yaitu 13-16 g% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada
perlakuan penggunaan 20% residu BBJP dalam ransum (R2-20) dan penambahan
10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum (E2-10) memiliki nilai Hb sebesar
12g% dan 11g% yang artinya tidak begitu drastis penurunannya. Penurunan nilai Hb
pada setiap perlakuan disebabkan oleh racun curcin dan phorbolester dalam darah
akibat konsumsi ransum yang mengandung residu BBJP dan ekstrak metanolnya
yang menyebabkan Hb tidak dapat bekerja secara normal untuk mengangkut oksigen
dalam sel darah merah. Adanya racun curcin dan phorbolester yang terakumulasi
dalam tubuh mencit menyebabkan organ hati mencit menjadi tidak mampu untuk
mendetoksifikasi sebagaimana fungsinya, sehingga racun tersebut akan lolos masuk
ke dalam aliran darah dan merusak sel (Fajariah, 2007). Nilai hematokrit menurut
Guyton dan Hall (1997) sebanding dengan jumlah eritrosit dan Hb. Tabel 18
menunjukkan bahwa nilai hematokrit pada tiap perlakuan terjadi perubahan-
perubahan yang bervariasi pada hasil pengukuran nilai Hb, sel darah merah dan
hematokrit.
Pengukuran jumlah sel darah merah pada kondisi dibawah nilai normal
mencit terjadi pada perlakuan penambahan 10% ekstrak metanol BBJP dalam air
minum (E2-10). Hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah sel darah merah mencit
perlakuan E2-10 sebesar 3,65 juta/mm3 jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
jumlah normalnya yaitu sebesar 7,7-12,5 juta/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan curcin dan phorbolester dalam
ekstrak metanol sangat tinggi konsentrasinya. Gunjan et al. (2007) menyatakan
penggunaan minyak (lemak) biji jarak pagar dapat mengaktifasi proses hemolisis
pada level 2,5 dan 0,1 mg/ml.
Aktivitas lektin juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya pembekuan dalam darah. Aktivitas lektin merupakan jumlah minimal
sampel yang dapat menyebabkan aglutinasi pada darah (Aderibigbe et al., 1997).
Besarnya aktivitas lektin dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi ekstrak sampel yang
dapat mengaglutinasi darah. Semakin besar konsentrasi ekstrak sampel yang
dibutuhkan agar darah teraglutinasi menunjukkan aktivitas lektin semakin kecil,
sebaliknya jika semakin kecil ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk terjadi
aglutinasi menunjukkan aktivitas lektin yang semakin besar. Pengujian aktivitas
lektin yang dilakukan pada residu BBJP hasil ekstraksi metanol menunjukkan masih
terjadi aktivitas lektin hingga menit ke-60 sebesar 12,5 mg/ml bila dibandingkan
dengan pengujian aktivitas lektin pada BBJP tanpa pengolahan yang besarnya 6,25
mg/ml. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi lektin pada residu BBJP hasil
ekstrak metanol mengalami sedikit penurunan.
Hasil pemeriksaan sel darah putih pada mencit yang diberi residu BBJP dan
ekstraksi metanol menunjukkan nilai di bawah kondisi normal. Perlakuan yang
mendapatkan residu BBJP dalam ransum (R2-10 dan R2-20) diduga disebabkan oleh
keberadaan senyawa curcin. Heller (1996) menyatakan bahwa curcin merupakan
suatu protein yang non-imunoglobin, oleh karena itu mekanisme kerjanya dalam
tubuh mencit sebagai lawan dari sel darah putih. Konsentrasi racun curcin yang
tinggi dalam darah, mampu memakan sel darah putih.
Kondisi mencit yang mendapat perlakuan 10% ekstrak metanol dalam air
minumnya (E2-10) adalah perlakuan yang jumlah sel darah putihnya sangat rendah,
yaitu 0,7 ribu/mm3 dibandingkan jumlah normalnya menurut Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) yaitu 6,0 – 12,6 ribu/mm3 dan juga dibandingkan perlakuan
lainnya. Penurunan drastis yang terjadi pada perlakuan E2-10 disebabkan sel darah
putih tidak mempu bekerja sesuai dengan fungsinya sebagai antibodi dalam sistem
pertahanan tubuh akibat tingginya konsentrasi racun phorbolester dalam ekstrak
metanol dengan konsentrasi dibandingkan senyawa racun yang lainnya hingga
menghancurkan sistem pertahanan tubuh.
Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit
Analisis sampel histopatologi dilakukan pada mencit yang mengalami
kematian hingga akhir penelitian. Pada R1-10 tidak dilakukan analisis sampel organ
karena (ransum yang mengandung 10% residu bungkil biji jarak pagar hasil ekstraksi
metanol) tidak terjadi kematian hingga akhir penelitian. Gambaran histopatologi hati
dan ginjal berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada Laboratorium Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (2008) disajikan pada Tabel
19.
Pengamatan mikroskopis terhadap preparat histopat hati dan ginjal mencit
perlakuan akibat pengaruh pemberian ekstrak metanol dan residu dari bungkil biji
jarak pagar dalam ransum menunjukkan kerusakan yang terjadi pada organ hati dan
ginjal mencit perlakuan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pengaruh racun
(phorbolester dan curcin) yang terdapat dalam residu bungkil biji jarak pagar hasil
ekstraksi metanol dan ekstrak metanol. Racun yang masuk ke dalam organ hati dan
ginjal tidak mampu didetoksifikasi, akan tetapi racun ini terdeposisi di hati dan ginjal
sehingga mengakibatkan kerusakan struktur sel organ tersebut.
Tabel 19. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Mencit
Perlakuan Hati Ginjal
R2-20 - Sinusoid meluas
- infiltrasi sel-sel limfosit secara
multifokus dan nekrosis
- Pembendungan
- Degenerasi ringan pada
epitel tubuli
E2-10 - Degenerasi ringan sel-sel hati
- Pembendugan
- Sinusoid meluas
- Degenerasi ringan epitel
tubuli
- Pembendungan
E1-5C - Degenerasi hidropis pada seluruh sel hati
- Infiltrasi hebat sel-sel limfosit
- Oedema sinusoid
- Pembendungan
- Degenerasi berbutir dan
lemak meluas pada tubuli
- Dilatasi pada tubuli ginjal
Keterangan : R2-20 = K2 (Ransum kontrol) mengandung 20% residu BBJP hasil ekstraksi metanol, E2-10 = K2
+ 10% ekstrak metanol BBJP dalam air minum, E1-5C = K1 + 5% ekstrak metanol BBJP dicekok.
Pada Tabel 19, tingkat kerusakan terparah pada organ hati dan ginjal
perlakuan terjadi pada mencit yang mendapat perlakuan 5% ekstrak metanol yang
dicekok (E1-5C) yang ditandai dengan waktu kematian yang sangat cepat, yaitu pada
hari pertama pemberian dosis. Hal tersebut berkaitan dengan jumlah racun yakni
phorbolester dan curcin yang terkonsentrasi pada ekstrak metanol lebih tinggi
dibandingkan pada residu dari bungkil biji jarak pagar maupun yang dilarutkan
dalam air minum. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada hati terjadi degenerasi
hidropis pada seluruh sel hati yang disebabkan oleh zat kimia yang bersifat toksik
(Cheville, 1999) yakni phorbolester dan curcin. Racun tersebut menyebabkan
gangguan secara biokimiawi yang berakibat pada kerusakan membran sel normal
sehingga terjadi peningkatan jumlah air ke dalam sel yang menjadikan sitoplasma
bengkak. Keadaan tersebut menyebabkan kematian sel yang bersifat irreversible atau
yang disebut dengan nekrosis pada hati.
Di samping itu, racun phorbolester sangat merusak dan tidak dapat
didegradasi oleh hati maupun ginjal. Menurut Asaoka et al. (1992), phorbolester
bersifat stabil dan tidak mudah didegradasi secara cepat setelah menstimulasi protein
kinase C (PKC), kondisi ini menyebabkan respon fisiologis jangka panjang seperti
proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol.
Pemeriksaan terhadap organ ginjal ditemukan terjadinya dilatasi (kerusakan)
pada tubuli ginjal. Hal tersebut disebabkan oleh substansi toksik, yakni phorbolester
dan curcin yang terdistribusi secara merata melalui aliran darah di dalam nefron yang
merupakan unit fungsional ginjal. Sehingga aliran darah yang masuk ke dalam
glomerulus (bagian pertama dari nefron) yang berfungsi melakukan filtrasi
mengalirkan substansi toksik memasuki proksimal tubulus (bagian ke dua dari
nefron). Hal ini menyebabkan proksimal tubulus melakukan kerja yang maksimal
yang berpusat pada tubuli, akibatnya tubuli mengalami kerusakan (Carlton dan Mc
Gavin, 1995).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis yang ringan sampai ke dosis berat
dari penggunaan ekstrak metanol dan residu bungkil biji jarak pagar (BBJP) berturut-
turut adalah dosis 10% residu BBJP hasil ekstraksi metanol dalam ransum, dosis
10% filtrat ekstrak metanol BBJP dalam air minum, dosis 20% residu BBJP hasil
ekstraksi metanol dalam ransum dan 5% filtrat ekstrak metanol BBJP bentuk cekok.
Kematian yang terjadi disebabkan oleh racun (phorbolester dan curcin) yang
terkonsentrasi di dalam ekstrak metanol dan masih terdapat dalam residu bungkil biji
jarak pagar, melalui mekanisme perusakan sel organ hati dan ginjal serta gambaran
hematologi yang berada di bawah nilai normal.
Saran
Evaluasi dosis toksik di residu dan ekstrak metanol dari bungkil biji jarak
pagar dengan dosis yang lebih tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus untuk segala
kasih dan anugerah-Nya yang melimpah dalam kehidupan penulis. Atas berkat dan
kuasa-Nya pula Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya Penulis sampaikan kepada Dr.
Ir. Dewi Apri Astuti, MS sebagai Dosen Pembimbing Skripsi dan Pembimbing
Akademik serta Dr. Ir. Sumiati, MSc atas kesabaran dalam membimbing,
mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal sampai tahap akhir
penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ir. Rini H.
Mulyono, Msi. sebagai Dosen Penguji Sidang atas sumbangan pemikiran dan
masukan dalam penulisan skrispsi ini. Ucapan terimakasih disampaikan penulis
kepada Sri Suharti, S.Pt sebagai Dosen Penguji Seminar atas saran dan kritiknya.
Terima kasih Penulis sampaikan kepada teman-teman Tim Jarak Pagar
Reikha dan Novita atas kerjasamanya. Kepada Afi, Putri, Lie, Alfian dan teman-
teman INTP 42 atas bantuannya serta persahabatan dan semangatnya. Terima kasih
kepada Alfredo dan Billian atas doa, semangat dan dukungannya. Kepada semua
pihak yang membantu selama penelitian yakni bu Lanjar, bu Yani, mba Eka, bu Ida
di Fakultas Kedokteran Hewan, Penulis ucapkan terima kasih.
Rasa hormat dan terima kasih Penulis ucapkan kepada ibunda tercinta
Carolina Sahusilawane S.Pd yang telah mendidik, membimbing dan memberikan
doa, semangat dan dukungan moril dan material dengan tulus selama ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Adam, S. E. and M. Magzoub. 1975. Toxic effects of Jatropha curcas in goats.
Toxicology. 4:347–354.
Aderibigbe, A. O., C. O. L. E. Johnson, H. P. S. Makkar and K. Becker. 1997.
Chemical composition and effect of heat on organic matter and nitrogen
degradability and some anti-nutritional components of Jatropha meal. Anim.
Feed Sci. Technology. 67: 223-243.
Andajani, S. dan S. Susanto. 1986. Pengaruh penggunaan bungkil kecipir sebagai
bahan penyusun ransum terhadap penampilan ayam pedaging. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Brawijaya, Malang.
Ans. 2006. Proses Pengolahan Biji Jarak (Jatropha curcas L.).
http://www.fierna.com [10 Oktober 2008]
Aregheore, E. M., H. P. S. Makkar and K. Becker. 1998. Assesment of lectin activity
in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex agglutination
and haemaggultination methods and inactivation of lectin by heat treatments.
Sci. Food. Agric. 77:349-352.
Aregheore, E. M., K. Becker and H. P. S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic
variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and
preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci. 21 : 50-60.
Asaoka, Y., S. Nakamura, K. Yoshida and Y. Nishizuka. 1992. Protein kinase C,
calcium and phospholipids degradation. Trend Biochem. Sci. 17:414-417.
Becker, K. and H. P. S. Makkar. 1998. Effects of Phorbol esters in carp (Cyprinus
carpio L.) Vet. Human Toxicol. 40: 82-86.
Begg, J. and T. Gaskin. 2006. Jatropha curcas L.
http://www.IPCS_IntoxDatabank.htm. [14 Juli 2008]
Biotechnology. 2005. Jatropha curcas.
http://www.biotechcitylucknow.org/html/biodiesel/html/plantdeatil1.htm.
[22 September 2008].
Blakely, J. and H. E. David. 1991. Ilmu Peternakan 4th
Ed. Gajah Mada University,
Yogyakarta.
Brodjonegoro, T. P., I. K. Reksowardjojo and T. H. Soerawidjaja. 2006. Jarak Pagar,
Sang Primadona. http://gerbangkota.multiply.com/reviews/item/9. [22
September 2008]
Carlton, W. W. and M. D. Mc Gavin. 1995. Special Veterinary Phatology. 2nd
Ed.
United State of America, Mosby.
Cheeke, P. R. 1989. Toxicants of Plant Origin. Volume III. Protein and Amino
Acids. CRC Press, Inc., 2000 Corporate Blvd., N. W., Boca Raton, Florida.
Cheville, N. F. 1999. Introduction to Veterinary Phatology. Edisi ke-2. Iowa State
University Press, Iowa.
Dellman, H. D. and E.M. Brown. 1988. Buku Teks Histologi Veteriner. Terjemahan :
R. Hartono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Departemen Kesehatan. 2009. Tikus, Masalah dan Pengendaliannya.
http://www.litbang.depkes.go.id/b2p2vrp/reservoir/tikusmasalahnya.html. [4
Januari 2010]
Departemen Pertanian. 2008. Kajian Sistem Usahatani Jarak Pagar di Lahan Kering
Dataran Rendah di Sulawesi Tengah (APBN). BPTP Sulawesi Tengah.
http://sulteng.litbang.deptan.go.id/index2.php?option=com-
content&dopdf=1&id=48 [01 September 2009]
Fachrudin, A. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha
curcas) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit (Mus musculus).
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fajariah, N. 2007. Uji biologis bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas)
terdetoksifikasi menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai hewan
percobaan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Francis, G., H. P. S. Makkar and K. Becker. 2006. Products from little researched
plants as aquaculture feed ingredient.
http://www.fao.org/docrep/article/agrippa/551-en/htm. [21 Juli 2008]
Frandson, R. D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Gandhi, V. M., K. M. Cherian and M. J. Mulky. 1995. Toxicological studies on
ratanjyot oil. Food Chem. Toxicol. 33:39–42.
Ganong, W. F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.
Gubitz, G. M., M. Mittelbach and M. Trabi. 1998. Exploitation of the tropical oil
seed plant Jatropha curcas L. Bioresource Tech. 67:73-82.
Gunjan, G., H. P. S. Makkar, G. Francis and K. Becker. 2007. Phorbolester:
structure, biological activity, and toxicity in animals. International Journal of
Toxicol. 26:279-288.
Guyton, A. C dan J. E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC,
Jakarta.
Hadriyanah. 2008. Respon konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum pada mencit
(Mus musculus) terhadap pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas
L.) yang didetoksifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi dan H. Hanafie. 2006. Jarak Pagar
Tanaman Penghasil Biodisel. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Hariyadi. 2005. Budidaya tanaman jarak (Jatropha curcas) sebagai sumber bahan
alternatif biofuel. http://www.ristek.go.id. [21 Juli 2007].
Hecker E, Bartsch H, H. Bresch, M. Gschwendt, B. Härle, G. Kreibich, H. Kubinyi,
H. U. Schairer, C. V. Szczepanski and H. W. Thielmann. 1967. Structure and
stereochemistry of the tetracyclic diterpene phorbol from Croton Tiglium L.
Tetrahedron Letters. 8 (33): 3165–3170.
Heller, J. 1996. Physic nut. Jatropha curcas L. Promoting the conservation and use
of underutilized and neglected crops 1. Institute of Plant Generics and Crop
Plant Research, Gatersleben/International Plant Genetic Resourch Institute,
Rome.
Hidayah, L. N. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas)
dalam ransum terhadap performan ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Inglis, J. K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology.
Pergamon Press Ltd., Oxford.
JT. Eaton Product. 2007. Pest Identification Guide.
http://www.stickemgluetraps.com/pesttypes.html. [22 Juni 2008]
Kayser, O. 2008. Why is Jatropha curcas in Medicine and Pharmacy Important?.
http://jatropha-biorefinery.org/default.aspx?pi=workpackage3. [22 Juni 2008]
Komath, S. S., M. Kavitha and M. J. Swamy. 2006. Lectin-based food poisoning: a
new mechanism of protein toxicity. Organic and Biomolecular Chemistry.
4:973-988.
Langdon, K. R. 1977. Physic nut, Jatropha curcas. Nemtology (Botany) Circular No.
30.http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http:www.doacs.state.fl.us/pi/en
pp/botany/botcirc/NemBotcirc30.htm [15 Oktober 2008]
Lin, J., F. Yan, L. Tang and F. Chen. 2003. Antitumor effect of curcin from seeds of
Jatropha curcas. Acta Pharmacol Sin. 24(3) : 241-246.
Makkar, H. P. S. and K. Becker. 1997. Potential of Jatropha curcas seed meal as a
protein supplement to live stock feed, constraints to its utilisation and
possible strategies to overcome constraints. Symposium Jatropha 97.
Australian Ministry of Foreign Affairs, Managua.
Makkar, H. P. S., K. Becker, F. Sporer and W. Wink. 1997. Studies on nutritive
potential and toxic constituents of different provenances of Jatropha curcas.
J. Agric. Food Chem. 45: 3152-3157.
Makkar, H. P. S., A. O. Aderibigbe and K. Becker. 1998. Comparative evaluation of
non-toxic and toxic varieties of Jatropha curcas for chemical composition,
digestibility, protein degradability and toxic factors. Food Chem. 62 (2) :207-
215.
Malole, M. B. M. dan C.S.U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
di Labolatorium. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Martinez-Herrera, J., P. Siddhuraju, G. Davila-Ortiz and K. Becker. 2006. Chemical
composition, toxic/antimetabolic constituents and effecta of different
treatments on their levels, in four provenances of Jatropha curcas L. From
Mexico. Food Chem. 96: 80-89.
Mulyani, A., F. Agus dan D. Allelorung. 2006. Potensi sumber daya lahan untuk
pengembangan jarak pagar (Jatropha Curcas L.) di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian. 25 :130-138.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi ke 5. Terjemahan. Penerbit Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Nurhikmawati, I. 2007. Kandungan curcin, komposisi kimia, retensi bahan kering,
kalsium, dan fosfor bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas)
terdetoksifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Nutrient Requirements of Laboratory Animals. 1995. Nutrient Requirements of The
Laboratory Rat. National Academy Press, Washington, D.C.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Indonesia.
Permana, I.G., Despal and L. Gandini. 2007. Nutritional properties of three different
origins of Indonesian Jatropha (Jatropha curcas) meal for ruminant. Seag
Mini Workshop Abstract, Manado.
Purnomo, S. 2007. Minyak jarak alternatif BBM.
http://www.amanah.or.id/detail.php?id=1137. [29 Mei 2008]
Rug, M., F. Sporer, M. Wink, S. Y. Liu, R. Henning and A. Ruppel. 2006.
Molluscicidal properties of Jatropha curcas against vector snails of the
human parasites Schistosoma mansoni and S. Japonicum.
http://jatropha/org/rug1-nic.htm. [2 November 2008]
Sastradipradja, D., S. H. S. Sikar, R. Wijayakusuma, T. Ungerer, A. Maad, H.
Nasution, R. Sariawinata dan R. Hamzah. 1989. Penuntun Praktikum
Fisiologi Veteriner. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Schalm, O. W., N.C. Jain and Carrol. 1975. Veterinary Haemotology. 3rd
Ed. Lea and
Febiger, Philadelphia.
Schuler, L. 2006. Model animals and quantitative genetics. Makalah Kuliah Umum.
Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta.
Staubmann, R., N. Foidl, G. M. Gubitz, R. M. Lafferty and V. M. Valencia. 1997.
Production of biogas from Jatropha curcas seed press cake. In : Gubitz, G.M.,
Mittelbach, M., Trabi, M., Biofuel and Industrial Product from Jatropha
crcas. DBV-Verlag, Graz.
Sturkie, P. D. and Grimingger. 1976. Blood : Phyisical Characteristic, Formed
Elements, Hemoglobin and Coagulation. Dalam: Avian Physiology. Spinger-
Verleg, New York.
Subhan. 2009. Sumber Bahan Bakar Alternatif.
http://pphp.deptan.go.id/smf/index.php?action=printpage;topic=10.0. [08
September 2009]
Sumiati, A. Sudarman, L. N. Hidayah dan W. B. Santoso. 2007. Toksisitas racun
bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada ayam broiler. Seminar
Nasional AINI. 6:195-202.
Swenson M.J. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animals. Edit 10. Cornell
University Press, London.
Trabi, M., G. M. Gubitz, W. Steiner and N. Foidl. 1997. Fermentation of Jatropha
curcas seeds and press cake with Rhizopus oryzae. Dalam: Gubitz, G. M., ;
Mittelbach, M.; Trabi, M.; Biofuel and Industrial Product From Jatropha
curcas. DBV-Verlag, Graz.
Triastuty, L. G. 2007. Evaluasi nilai nutrisi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas
L.) tiga daerah di Indonesia. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Watt, J. M. and G. M. Breyer-Brandwijk. 1962. The medicinal and poisonous plants
of southern and eastern Africa, London.
Wikipedia. 2008a. Tikus. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ab/House_mouse.j
pg [22 Juni 2008]
Wikipedia. 2008b. Darah. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sel_darah_merah. [10 Oktober 2008]
Wikipedia. 2008c. Lethal Doses. The free encyclopedia.
http://en.wikipedia.org/wiki/lectin. [22 Juni 2008]
William, J.B. and Wilking. 1986. Aplied Veterinary Histology. 2nd
Edition. Waverly
Press, Inc, Lousiana.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis Curcin (Aregheore et al., 1998)
a) Persiapan Ekstrak Sampel
Sebanyak 0,5 g tepung Jatropha curcas dimasukkan ke dalam tube sentrifus
polipropilen yang berukuran 50 ml dan ditambahkan 10 ml NaCl 0,9% ke
dalam tube tesebut. Kemudian kedua bahan tersebut dihomogenkan
menggunakan Ultra-Turrax (20.000 rpm) selama 5 menit. Setiap 2,5 menit,
tube tersebut dimasukkan ke dalam kotak es untuk menjaga tetap dingin.
Setelah dihomogenkan, diperoleh supernatan. Supernatan dimasukkan ke
dalam tube Eppendorf dan disentrifusi 3500 x g selama 10 menit, kemudian
disentrifusi lagi pada 9500 x g selama 5 menit. Supernatan diambil dan
dicairkan sebanyak dua kali dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%.
b) Pengujian Aglutinasi
Sebanyak 15µl latex bead (10% glycine Buffer Saline yang mengandung
0,1% serum albumin Bovine) yang berada di sekitar piringan microtitre,
dicampur sehingga memiliki volume yang sama dengan ekstrak tepung.
Piringan tersebut digoyang dalam suhu ruang selama 3-4 jam. Pola
pengendapan diidentifikasikan terjadi penggumpalan pada bead, sedangkan
pola negatif menunjukkan tidak terjadi penggumpalan.
Untuk pengujian heamaglutinasi, piringan tersebut didiamkan di suhu ruang
selama 1-2 jam kemudian dibaca. Pola positif mengidentifikasi terjadi
penggumpalan, yaitu terbentuknya lapisan secara seragam yang terdiri atas
eritrosit di dasar piringan, sedangkan pola negatif menunjukkan tidak terjadi
penggumpalan, yaitu adanya gumpalan sirkuler oleh eritrosit yang dikelilingi
oleh konsentrasi.
Aktivitas lektin ditunjukkan dengan batas minimum jumlah tepung biji jarak
pagar (mg/ml) dari pengujian yang menyebabkan penggumpalan.
Lampiran 2. Prosedur Analisis Phorbolester (Makkar et al., 1998)
a) Kuantifikasi Phorbolester
Sebanyak 4 biji jarak pagar varietas Cape Verde, Nicaragua, Ife-Nigeria,
Non-toxic Mexico ditimbang dan digiling hingga halus menggunakan
penumbuk dan mortar, kemudian ditambahkan 20 ml dichloromethane.
Campuran tesebut digiling kembali dengan mortar selama 5 menit, kemudian
disaring. Pada kertas saring terdapat residu, dan di dalam alat penumbuk
direndam dengan 20 ml dichloromethane dan digiling kembali menggunakan
mortar selama 5 menit. Zat cair tersebut kemudian dikumpulkan. Prosedur
ekstraksi ini diulangi sebanyak tiga kali dan filtrat dari keempat jenis
ekstraksi direndam. Hasil residu mendapat perlakuan gelombang ultrasonic
(105W) selama 3 menit, sambil ditambahkan 50 ml dichloromethane.
Kemudian disaring dan hasil filtratnya direndam dengan filtrat dari keempat
varietas ekstraksi sebelumnya. Filtrat tersebut kemudian dikeringkan dibawah
suhu ruang hampa 40°C. Residu yang dikeringkan kemudian direndam
dengan 5 ml tetrahydrofuran, sambil dilewati 0,2 µm glass filter dan disuntik
20 µl ke dalam HPLC.
b) Kondisi HPLC untuk kuantifikasi Phorbolester
Peralatan HPLC terdiri atas pompa HPLC Merck Hitachi L-7100, ditektor
foto L.7450, autosampler L-7200, modul antarfase D-7000 dan pengatur LC.
Kolom analitik merupakan kebalikan dari fase C18 yang dilindungi dengan
kolom penjaga yang mengandung bahan di dalam kolom utama.
Tiga pelarut yang digunakan :
(A) 1,75 ml asam o-phosphoric (85%) dalam 1 liter air suling;
(B) Acetonitrile;
(C) Tetrahydrofuran.
Pelarut A disaring sebelum digunakan, sedangkan pelarut B dan C digunakan
untuk HPLC dan angka analitik serta digunakan untuk filtrasi.
Gradien yang digunakan dimulai dari 60% pelarut A dan 40% pelarut B,
penurunan pelarut A sampai 50% dan peningkatan pelarut B sampai 50%
setelah 10 menit, penurunan pelarut A ke 25% dan peningkatan pelarut B ke
75% setelah 30 menit, peningkatan pelarut B sampai 100% setelah 15 menit
kemudian.
Setelah itu, kolom dicuci dengan larutan C dengan meningkatkan larutan C
sampai 100% setelah 15 menit dan kemudian kolom diatur seperti kondisi
semula (A 60% dan B 40%). Hasil pemisahan diletakkan pada suhu ruang
(22°C) dengan kecepatan aliran 1,3 ml/menit. Phorbolester akan terlihat
antara menit ke-41 dan 48 dan puncaknya diintegrasikan pada 280 nm, maka
hasilnya akan ditunjukkan setara dengan phorbol-12-myristate 13 acetate,
yang ditunjukkan pada menit ke-52 dan 53.