Emergency

download Emergency

of 41

description

STATUS PENDERITANomor Rekam Medik : 357423Tanggal dan Pukul Masuk RSAM : 27 Oktober 2013Tanggal Pembuatan Status : 27 Oktober 2013A. ANAMNESIS (Aloanamnesis)1. Identitas Pasien• Nama Pasien : An. IH• Jenis Kelamin : laki-laki• Umur : 1 tahun 3 bulan• Agama : Islam• Suku : Jawa• Alamat : Raja Basa, Bandar Lampung• Nama Ayah : Tn. Th- Umur : 39 tahun- Pekerjaan : Petani- Pendidikan : SMA- Penghasilan : ± 1.500.000,-• Nama Ibu : Ny. S- Umur : 29 tahun- Pekerjaan : Ibu rumah tangga- Penghasilan : -• Hubungan dengan Orang tua : Anak Kandung• Jaminan : Jamkesda2. Riwayat Penyakita. Keluhan UtamaKeempat anggota gerak tidak dapat digerakkanb. Keluhan TambahanKeempat anggota gerak dan tubuh kaku, terlambat dalam perkembangan, belum bisa duduk, belum bisa bicara, ngiler berlebihan.c. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan digendong ibunya ke RSAM dengan keluhan keempat anggota geraknya tidak dapat digerakkan sejak usia 3 bulan. Selain tidak dapat digerakkan tubuh dan keempat anggota geraknya kaku. Menurut ibunya sampai usia 1 tahun 3 bulan ini pasien belum bisa melakukan apapun, pasien hanya dapat menggerakan tanganya dengan gerakakn terbatas serta tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Pasien tidak dapat memegang benda di tanganya dan tidak dapat berinteraksi bila diajak berkomunikasi. Menurut ibunya, pasien belum bisa tengkurap, apabila dibantu tengkurap pasien tidak bisa mengangkat kepala dan dadanya. Hingga saat ini pasien blum bisa duduk, jika dibantu duduk pasien cenderung menjatuhkan badanya kebelakang. Pasien sering mengeluarkan air liur yang bnyak dari mulutnya, jika makan dan minum pasien sering tersedak. Sejak usia 3 bulan sampai saat ini pasien sering mengalami kejang, dalam satu hari pasien bisa sampai 3 kali kejang dengan durasi beberapa detik saja. Saat timbul kejang keempat anggota geraknya kaku dan kedua jari-jari tanganya menggenggam serta matanya melotot ke atas. Saat ini pasien hanya diberikan susu formula dan nasi tim. Karena gangguan tersebut, atas saran bidan desa, keluarga membawa pasien ke Rehabilitasi Medik RSAM.Riwayat Penyakit dahulu (Post natal)Menurut ibunya, saat usia 3 bulan pasien mengalami kejang-kejang berulang tanpa sebab yang jelas.Riwayat Penyakit KeluargaRiw. Anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa (-): Riw. Anngota memiliki anak seperti pasien (+); riw. Keluarga dengan cacat kongenital (-).Riwayat Penyakit Kehamilan (Pre Natal)Usia ibu saat hamil adalah 27 tahun, usia kehamilan tidak cukup bulan (8 bulan), dan merupakan kehamilan yang diinginkan. Berat badan ibu saat hamil adalah 58 kg, tinggi badan sekitar 157 cm. Kenaikan BB selama hamil sekitar 7-8 kg. Selama hamil ibu jarang kontrol ke bidan ( 1 kali selama kehamilan), imunisasi TT sebanyak 1 kali. Vitamin dan Zat besi jarang dikonsumsi. Selama hamil ibu juga jarang minum susu namun makanan sehari-hari seperti nasi, tah, tempe dan sayur-sayuran selalu dikonsumsi.Saat hamil ibu memiliki riwayat sakit demam. Riwayat trauma saat hamil ibu pernah terjatuh dengan posisi duduk dan pendarahan. Riwayat sakit berat seperti kencing manis, tekanan darah tinggi, dan kejang tidak ada. Riwayat konsumsi obat-obatan, merokok dan alkohol tidak ada.Riwayat Persalinan (Natal)Pasien lahir dirumah dengan ditolong oleh dukun, bayi lahir prematur, ketuban jernih, saat lahir pasien langsung menangis, bergerak aktif. BB lahir 2700 gram dan tinggi 45 cm.Riwayat Makanan0-3 bulan : ASI3-9 bulan : Sun/ serelak + susu formula 3 kali sehari.9-sekarang : Nasi tim dan lauk-pauk + susu formula sebanyak 2 kali sehari.Kesan : Kualitas baik: kuantitas cukup.Riwayat ImunisasiPasien hanya mendapat imunisasi BCG 1 kali setelah lahir. Setelah usia 3 bulan pasien tidak mendapat imunisasi.Kesan : Tidak LengkapRiwayat Sosial EkonomiAyah pasien bekerja sebagai petani dengan penghasilan sebesar Rp. 1.500.000 perbulan. Dalam ruma

Transcript of Emergency

STEP 5 (Learning Objection)1. Patofisiologi dan tatalaksana eklamsia!2. Keadaan kegawat daruratan obstetri dan ginekologi3. Jenis-jenis luka bakar dan monitoring ketat pada luka bakar ?4. Kegawat daruratan janin (fetal Distres)!5. Bagai manakah cara mendiagnosis kegawat daruratan inhalasi ?

STEP 6 (Belajar Mandiri)

STEP 71. Keadaan gawat darurat pada obstetri dan ginekologi :

Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsi (hipertensi, edems, proteinuri) .

Eklamsi merupakan kasus akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai dengan kejang dan koma yang timbul pada ante, intra dan post partum.

A. Patofisiologi

Penyebabnya sampai sekarang belum jelas. Penyakit ini dianggap sebagai suatu Maldaptation Syndrom dengan akibat suatu vaso spasme general dengan akibat yang lebih serius pada organ hati, ginjal, otak, paru-paru dan jantung yakni tejadi nekrosis dan perdarahan pada organ-organ tersebut.

B. Pembagian EklamsiBerdasarkan waktu terjadinya eklamsi dapat dibagi menjadi:a. Eklamsi gravidarumKejadian 50-60 % serangan terjadi dalam keadaan hamil

b. Eklamsi ParturientumKejadian sekitar 30-35 %, terjadi saatinpartu dimana batas dengan eklamsi gravidarum sukar dibedakan terutama saat mulai inpartu.c. Eklamsi PuerperiumKejadian jarang sekitar 10 %, terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir.

C. Gejala Klinis Eklamsi

Gejala klinis Eklamsi adalah sebagai berikut:

1. Terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih2. Terdapat tanda-tanda pre eklamsi ( hipertensi, edema, proteinuri, sakit kepala yang berat, penglihatan kabur, nyeri ulu hati, kegelisahan atu hiperefleksi)

a. Kejang-kejang atau komaKejang dalam eklamsi ada 4 tingkat, meliputi:

Tingkat awal atau aura (invasi)

Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan kekiri.

Stadium kejang tonik

Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.

Stadium kejang klonik

Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludahberbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.

Stadium koma

Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.

b. Kadang kadang disertai dengan gangguan fungsi organ.

D. Pemeriksaan dan Diagnosis

Diagnosis eklamsi dapat ditegakkan apabila terdapat tanda-tanda sebagai berikut:a. Berdasarkan gejala klinis diatasb. Pemeriksaan laboratoriummeliputi adanya protein dalam air seni, fungsi organ hepar, ginjal dan jantung, fungsi hematologi atau hemostasis

E. PenatalaksanaanPrinsip pengobatan eklamsia pada ibu nifas adalah menghentikan kejang kejang yang terjadi dan mencegah kejang ulang.Konsep pengobatan:

a. Menghindari tejadinya kejang berulang, mengurangi koma, meningkatkan jumlah diuresis.

b. Obat untuk anti kejangMgSO4( Magnesium Sulfat).Dosis awal: 4gr 20 % I.V. pelen-pelan selama 3 menit atau lebih disusul 10gr 40% I.M. terbagi pada bokong kanan dan kiri. Dosis ulangan: tiap 6 jam diberikan 5 gr 50 % I.M. diteruskan sampai 6 jam pasca persalinan atau 6 jam bebas kejang.

Syarat:reflek patela harus positif, tidak ada tanda-tanda depresi pernafasan ( respirasi >16 kali /menit), produksi urine tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc per 6 jam atau 600 cc per hari.

Apabila ada kejang lagi, diberikanMg SO420 %, 2gr I.V.pelan-pelan. Pemberian I.V. ulangan ini hanya sekali saja, apabila masih timbul kejang lagi maka diberikan pentotal 5 mg / kg BB / I.V. pelan-pelan.

Bila ada tanda-tanda keracunan Mg SO 4 diberikan antidotum glukonaskalsikus 10 gr % 10 cc / I.Vpelan-pelan selama 3 menit atau lebih.Apabila diluar sudah diberi pengobatan diazepam, maka dilanjutkan pengobatan dengan MgSO 4

2. Kegawat daruratan obstetri dan ginekologi:

Kasus Emergensi adalah kasus yang memerlukan penanganan segera yang bila terlambat dapat menyebabkan kematian. Didalam bidang ginekologi, terdapat beberapa kasus yang termasuk ke dalam kegawat daruratan antara lain :a. Kehamilan ektopik terganggub. Kista ovarium terpuntirc. Traumad. Kista pecahe. Salfingo-oofaritis akut

A. Kehamilan EktopikSuatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.

Epidemiologi

Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.

Etiologi

Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

Patofisiologi Kehamilan Tuba

Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.

Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella. Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi.

Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah: Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi Abortus ke dalam lumen tuba Ruptur dinding tuba.

Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteriuterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.

Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba Gejala SubjektifSebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.

Temuan objektifPada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.

DiagnosisDiagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, -hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.

Diagnosis BandingKeadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET. Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET antara lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin disfungsional, endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik gestasional. Penyakit di luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah apendisitis.

Penatalaksanaan Kehamilan TubaPenatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan EkspektasiPenatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien -hCG. Padabdengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak adabektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus kurangbmelebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.

Penatalaksanaan MedisPada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.

MethotrexateMethotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.Angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.

ActinomycinNeary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.

Larutan Glukosa HiperosmolarInjeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu.

Penatalaksanaan BedahPenatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.

SalpingostomiSalpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

SalpingotomiPada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. SalpingektomiReseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:a. Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)b. Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatifc. Terjadi kegagalan sterilisasid. Tdilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnyae. Pasien meminta dilakukan sterilisasif. Perdarahan berlanjut pascasalpingotomig. Kehamilan tuba berulangh. Kehamilan heterotopik, dani. Massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.

Evakuasi Fimbrae dan FimbraektomiBila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.B. Kista Ovarium Terpuntir

Torsi/putaran tangkai dapat terjadi pada tangkai kista ovarium dengan diameter 5 cm atau lebih. Kondisi yang mempermudah torsi adalah kehamilan dan sesudah persalinan. Pada kehamilan, uterus yang membesar akan merubah letak kista, sedangkan pada sesudah persalinan dapat terjadi perubahan mendadak dalam rongga abdomen. Torsi pada tangkai tumor akan menyebabkan gangguan sirkulasi karena vena mudah tertekan, terjadi bendungan darah dalam tumor yang berakibat tumor makin besar dengan perdarahan didalamnya. Jika torsi berlanjut akan terjadi nekrosis hemoragik dan jika dibiarkan dapat terjadi robekan pada dinding kista dengan akibat perdarahan intra adominal atau peradangan sekumder dengan manifestasi klinik dengan akut abdomen.

Gejala klinis : Sebelumnya ada terasa ada bengkak pada perut bagian bawah Adanya riwayat massage/pijat abdomen Bisa disertai dengan hamil Nyeri perut mendadak, kadang disertai mual dan muntah USG : ada gambaran kistaPenatalaksanaan : laparotomi kista diangkat

C. Kista Pecah atau Robekan dinding kista

Terjadi pada torsi tangkai kista ovarium dan oleh karena trauma seperti jatuh, diurut, pukulan pada perut, koitus. Apabila kista hanya mengandung cairan serous, rasa nyeri akibat robekan dan iritasi peritoneum tidak begitu hebat, tapi robekan pada dinding kista disertai dengan perdarahan yang timbul mendadak dan berlangsung terus menerus kedalam rongga abdomen, maka akan menimbulkan gejala nyeri yang terus menerus dengan akut abdomen.

Pada kista pecah, misalnya pada kista coklat/kista endometriosis, pecahnya kista terjadi akibat perlengketan-perlengketan yang bersifat infiltratif dan makin menipisnya dinding kista karena karena makin bertambahnya darah yang bertumpuk dalam rongga kista.

Gejala klinis : Sebelumnya ada rasa bengkak pada perut bagian bawah Nyeri pelvis sampai seluruh abdomen Nyeri sangat mendadak

Penatalaksanaan : laparotomi kista dibuang

D. Salpingooforitis Akut

Radang pada tuba Fallopii dan radang ovarium sering terjadi bersamaan. Radang itu kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas lewat uterus, walaupun infeksi ini bisa datang dari tempat ekstravaginal lewat jalan darah, atau menjalar dari jaringanjaringan di sekitarnya.

Salpingooforitis akut yang disebabkan gonorea sampai ke tuba dari uterus melalui mukosa. Pada endosalping tampak edema serta hiperemi dan infiltrasi leukosit, pada infeksi ringan epitel masih utuh tetapi pada infeksi yang lebih berat tampak degenerasi yang kemudian menghilang pada daerah yang agak luas dan ikut juga terlihat lapisan otot dan serosa. Dalam hal yang akhir ini dijumpai eksudat yang purulen yang dapat keluar melalui ostium tuba abdominalis yang menyebabkan peradangan disekitarnya atau peritonitis pelvika.

Akan tetapi pada gonorea ada kecenderungan perlengketan fimbria pada ostium tuba abdominalis yang menyebabkan penutupan pada ostium itu, nanah yang terkumpul dalam tuba menyebabkan terjadinya piosalping. Pada salpingitis gonoroika akuta ada kecenderungan bahwa gonokokus menghilang dalam waktu singkat, biasanya dalam wktu kirakira hari, sehingga pembiakanya negative.

Pada salpingitis akut piogenik banyak ditemukan pada infeksi puerperal atau pada abortus septic, akan tetapi dapat disebabkan pula berbagai tindakan seperti kerokan. Infeksi dapat disebabkan oleh bermacammacam kuman seperti Streptokokus, Stafilokokus, Escheria koli, Klostridium welchii dan lainlain. Infeksi ini menjalar dari serviks uteri atau kavum uteri dengan jalan darah atau limfe ke parametrium terus ke tuba dan dapat pula ke peritoneum pelvic. Di sini timbul salpingitis intersisialis akut, mesosalping dan dinding tuba menebal dan menunjukkan infiltrasi leukosit tetapi mukosa sering normal. Hal ini merupakan perbedaan yang nyata dengan salpingitis gonoroika, dimana radang terutama terdapat pada mukosa dengan sering terdapat penyumbatan pada lumen tuba. Dalam hubungan ini pada salpingitis piogenik kemungkinan lebih besar bahwa tuba terbuka setelah penyakitnya sembuh.

Pada infeksi septic dengan kumankuman yang sangat pathogen, gejalagejala umum lebih menonjol karena terjadinya septicemia atau peritonitis umum, penderita sakit keras dengan sehu dan leukositosi tinggi.

Gambaran klinik salpingooforitis akut ialah demam, leukositosis, dan rasa nyeri pada sebelah kiri atau kanan uterus, penyakit tersebut tidak jarang terdapat pada kedua adneksa. Setelah lewat beberapa hari kadang dijumpai pula tumor dengan batas yang tidak jelas dan yang nyeri tekan.

Diagnosis diferensial dengan apendisitis akut, pielitis akut, torsi adneksa, dan kehamilan ektopik yang terganggu. Biasanya lokasi nyeri tekan pada apendisitis akut lebih tinggi daripada adneksitis akut akan tetapi apabila proses agak meluas perbedaan menjadi kurang jelas. Jika terdapat keraguraguan, perlu diadakan laparotomi percobaan, agar dapat dicegah peritonitis umum akibat apendesitis akut.

Tempat rasa nyeri pada pielitis akut lebih tinggi dan pada daerah ginjal bias juga dijumpai nyeri tekan. Pemeriksaan air kencing kateter menunjukkan banyak selsel radang pada pielitis. Tetapi, karena edema dan penutupan ureter yang neradang mungkin air kencing yang diperiksa saat itu bebas dari selsel radang.

Pada torsi adneksa timbul rasa nyeri mendadak, dan apabiladefence musculairetidak terlalu keras, dapat diraba tumor nyeri tekan yang nyata. Suhu dan leukositosi juga tidak seberapa tinggi. Ruptur tuba pada kehamilan ektopik terganggu disertai dengan gejalagejala yang mendadak, sangat nyeri, dan anemi, umumnya peristiwa ini tidak menimbulkan kesukaran dalam diagnosis diferensial. Yang lebih sulit ialah diagnosis abortus tuba. Umumnya pada abortus tba suhu tidak naik atau hanya sedikit naik dan leukositosis juga tidak seberapa tinggi. Pungsi kavum Douglas dapat memberi kepastian apakah ada abortus tuba atau tidak.

Terapi pada salpingooforitis akut terdiri dari istirahat baring, perawatan umum, pemberian antibiotik, dan analgetik. Dengan terapi tersebut penyakit bias sembuh atau menjadi menahun. Jarang sekali salpingooforitis memerlukan terapi pembedahan.Pembedahan perlu dilakukan : Jika terdapat rupture piosalping atau abses ovarium jika terdapat gejalagejala ileus karena perlengketan Jika terdapat kesukaran untuk membedakan antara apendisitis akut dan salpingooforitis akut

3. Luka Bakar dan monitoring pada pasien luka bakarLuka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan efek baik memanaskan atau mendinginkanTanda dan gejala luka bakar:

Patofisiologi

1. Penanganan dibagian emergensi

Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka masalah inilah yang harus diutamakan

(1) Penanganan Luka Bakar Ringan

Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan memperhatiakn antara lain 1) kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self care), 2) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat dipulangkan.

Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.

a) Managemen nyeriManagemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau meperidine dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.

b) Profilaksis tetanusPetunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.

c) Perawatan luka awalPerawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan klien pada waktu itu.

d) Pendidikan / penyuluhan kesehatanPendidikan tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, diet, berbagai fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika memmerlukan bantuan dan informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong dirinya sendiri.

(2) Penanganan Luka Bakar Berat.

Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi reevaluasiABC(jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter urine; pemasangannasogastric tube(NGT); pemeriksaanvital signsdan laboratorium; management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.

Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut:

Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi. Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini. Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.

Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang). Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan.

Periode resuscitasi dimulai dengan tindakan resusitasi cairan dan diakhiri bila integritas kapiler kembali mendekati keadaan normal dan perpindahan cairan yang banyak mengalami penurunan.

Resusitasi cairan dimulai untuk meminimalkan efek yang merusak dari perpindahan cairan. Tujuan resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan ferfusi organ vital serta menghindari komlikasi terapi yang tidak adekuat atau berlebihan. Terdapat beberapa formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan seperti tampak dalam tabel diatas.

Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan klien dan luasnya injury luka bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi adalah adanya inhalasi injuri, keterlambatan resusitasi awal, atau kerusakan jaringan yang lebih dalam. Faktor-faktor ini cenderung meningkatkan jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan untuk resusitasi adekuat di atas jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada formula Evan dan Brooke, cairan yang mengandung colloid tidak diberikan selama periode ini karena perubahan-perubahan pada permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan yang banyak mengandung protein kedalam ruang interstitial, sehingga meningkatkan pembentukan edema. Selama 24 jam kedua setelah luka bakar, larutan yang mengandung colloid dapat diberikan, dengan dextrose 5% dan air dalam jumlah yang bervariasi.

Sangat penting untuk diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah sebagai alat bantu dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis klien. Keberhasilan atau keadekuatan resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital signs, adekuatnya output urine, dan nadi perifer yang dapat diraba.

A. Pemasangan kateter urinePemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi cairan.

B. Pemasangannasogastric tube(NGT)Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada waktu itu.

C. Pemeriksaanvital signsdan laboratoriumVital signs merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat tidaknya resuscitasi.Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen), creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.

D. Management nyeriPenanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan perpindhan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.

E. Propilaksis tetanusPropilaksis tetanus pada klien LB adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun luka bakar yang ringan.

F. Pengumpulan dataPengumpulan data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi team yang berada di ruang emergensi. Kepada klien atau yang lainnya perlu ditanyakan tentang kejadian kecelakaan LB tersebut. Informasi yang diperlukan meliputi waktu injuri, tingkat kesadaran pada waktu kejadian, apakah ketika injuri terjadi klien berada di ruang tertutup atau terbuka, adakah truma lainya, dan bagaimana mekanisme injurinya. Jika klien terbakar karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa yang menjadi penyebabnya, konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera setelah injuri. Sedangkan jika klien menderita LB karena elektrik, maka perlu ditanyakan tentang sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk menentukan luasnya injuri. Informasi lain yang diperlukan adalah tentang riwayat kesehatan klien masa lalu seperti kesehatan umum klien. Informasi yang lebih khusus adalah berkaitan dengan penyakit-penyakit jantung, pulmoner, endokrin dan penyakit ginjal karena itu semua mempunyai implikasi terhadap treatment. Disamping itu perlu pula diketahui tentang riwayat alergi klien, baik terhadap obat maupun yang lainnya.

G. Perawatan lukaLuka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada LB yang mengenai sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan membantu menurunkan edema dependen; walaupun demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh karena pengkajian yang sering terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk dilakukan.

Escharotomy merupakan tindakan yang tepat untuk masalah gangguan sirkulasi karena LB yang melingkari bagian tubuh. Seorang dokter melaukan insisi terhadap eschar yang akan mengurangi/menghilangkan konstriksi sirkulasi. Umumnya dilakukan ditempat tidur klien dan tanpa menggunakan anaetesi karena eschar tidak berdarah dan tidak nyeri. Namun jaringan yang masih hidup dibawah luka dapat berdarah. Jika perfusi jaringan adekuat tidak berhasil, maka dapat dilakukan fasciotomy. Prosedur ini adalah menginsisi fascia, yang dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi.

Demikian juga, escharotomy dapat dilakukan pada luka bakar yang mengenai torak untuk memperbaiki ventilasi. Setelah dilakukan tindakan escharotomy, maka perawat perlu melakukan monitoring terhadap perbaikan ventilasi.

Perawatan luka dibagian emergensi terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.

2. Fase AkutFase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.

Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, nutrisi, managemen nyeri, dan terapi fisik.a. Mengatasi infeksiSumber-sumber infeksi pada klien dengan luka bakar meliputi autocontaminasi dari: Oropharynx Fecal flora Kulit yg tidak terbakar dan Kontaminasi silang dari staf Kontaminasi silang dari pengunjung Kontaminasi silang dari udaraKegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala, masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.

b. Perawatan lukaPerawatan luka diarahkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari meliputi membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.

1) HidroterapiMembersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri darimerendam(immersion) dan denganshower(spray). Tindakan ini dilakukan selama 30 menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar seminimal mungkin terjadinya pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan. Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka yang secara hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan ditambahkan dengan penggunaan zat antimikroba.

2) DebridemenDebridemen luka meliputi pengangkatan eschar. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah eschar. Debridemen luka pada LB meliputi debridemen secara mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan pembedahan.

a) Debridemen mekanikDebridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan forcep untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara lain yang juga efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering (wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk mengatasi nyeri yang lebih efektif.

b) Debridemen enzymaticDebridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym topical proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan yang necrotik, dan mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment dilakukan.

c) Debridemen pembedahanDebridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang dapat digunakan :Tangential ExcisiondanFascial Excision. Pada tangential exccision adalah dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial excision adlaah mengangkat jaringan luka dan lemak sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang sangat dalam.

3) Balutana) Penggunaan penutup luka khususLuka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan zat/obat antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda-tanda infeksi. Umumnya obat-obat antimikroba yang sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal untuk luka bakar.

b) Metode terbuka dan tertutupLuka pada LB dapat ditreatmen dengan menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun tertutup. Untuk metode terbuka digunakan/dioleskan cream antimikroba secara merata dan dibiarkan terbuka terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang penggunaannya sesuai kebutuhan, yaitu setiap 12 jam sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari metode ini adalah bahwa luka dapat lebih mudah diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan perawatan luka menjadi lebih sederhana/mudah. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan efeknya psikologis pada klien karena seringnya dilihat.

Pada perawatan luka dengan metode tertutup, memerlukan bermacam-macam tipe balutan yang digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai penutup pada cream yang digunakan. Dalam menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari bagian distal kearah proximal untuk menjamin agar sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini adalah mengurangi evavorasi cairan dan kehilangan panas dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam debridemen. Sedangkan kerugiannya adalah membatasi mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena hanya dapat dilakukan jika sedang mengganti balutan saja.

c. Penutupan luka1) Penutupan Luka SementaraPenutupan luka sementara sering digunakan sebagai pembalut luka. Pada tabel dibawah diperlihatkan berbagai macam penutup luka baik yang biologis, biosintetis, dan sintetis yang telah tersedia. Setiap produk penutup luka tersebut mempunyai indikasi khusus. Karakteristik luka (kedalamannya, banyaknya eksudat, lokasi luka pada tubuh dan fase penyembuhan/pemulihan) serta tujuan tindakan/pengobatan perlu dipertimbangkan bila akan memilih penutup luka yang lebih tepat.

3. Fase RehabilitasiFase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka bakar. Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari proses rehabilitasi.

Perhatian khusus aspek psikososial. Rehabilitasi psikologis adalah sama pentingnya dengan rehabilitasi fisik dalam keseluruhan proses pemulihan. Banyak sekali respon psikologis dan emosional terhadap injuri luka bakar yang dapat diidentifikasi, mulai dari ketakutan sampai dengan psikosis . Respon penderita dipengaruhi oleh usia, kepribadian (personality), latar belakang budaya dan etnic, luas dan lokasi injuri, dan akibatnya pada body image. Disamping itu, berpisah dari keluarga dan teman-teman, perubahan pada peran normal klien dan tanggungjawabnya mempengaruhi reaksi terhadap trauma LB.

Fokus perawatan adalah pada upaya memaksimalkan pemulihan psikososial klien melalui intervensi yang tepat. (lihat Rencana Perawatan). Terdapat 4 tahap respon psikososial akibat trauma LB yang ditandai oleh Lee sebagai berikut:impact;retreat or withdrawal ( kemunduran atau menarik diri) ; acknowledgement(menerima) danreconstructive(membangun kembali).

a. Impact.Periodeimpactterjadi segera setelah injuri yang ditandai oleh shock, tidak percaya (disbelieve), perasaanoverwhelmed. Klien dan keluarga mungkin menyadari apa yang terjadi tetapi kopingnya pada waktu itu buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa keluarga dengan klien yang sakit kritis mempunyai kebutuhan untuk kepastian (assurance), kebutuhan untuk dekat dengan anggota keluarga yang lain dan kebutuhan akan informasi. Lebih spesifik lagi keluarga ingin mengetahui kapan anggota keluarganya dapat ditangani, apa yang akan dilakukan terhadap klien/anggota keluarganya, fakta-fakta tentang perkembangan/kemajuan klien, dan mengapa tindakan/prosedur dilakukan terhadap klien.

b. Retreat or withdrawal(kemunduran atau menarik diri)Kemunduran (retreat) ditandai oleh represi, menarik diri (withdrawal), pengingkaran/penolakan (denial) dan supresi.

c. Acknowledgement(menerima)Fase ketiga adalah menerima, dimulai bila klien menerima injuri dan perubahan gambaran tubuh (body image). Selama fase ini klien dapat mengambil manfaat dari pertemuanya dengan klien luka bakar lainnya, baik dalam kontak perorangan maupun dengan kelompok.

d. Reconstructive(membangun kembali)Fase terakhir adalah fase rekonstruksi, dimulai bila klien dan keluarga menerima keterbatasan yang ada akibat injuri dan mulai membuat perencanaan masa datang.

4. Kegawat daruratan Janin (fetal distres)Pada kehamilan postterm terjadi perubahan plasenta, cairan amnion dan janin. Hal ini meningkatkan risiko terjadi oligohidramnion, aspirasi mekonium, asfiksia janin dan distosia bahu. Induksi persalinan dilakukan bila tidak ditemukan adanya kontra indikasi. Selama persalinan pola denyut jantung janin dimonitor untuk menditeksi terjadinya fetal distress. Pengelolaan yang tepat selama kehamilan dan persalinan dapat menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas janin.

Kehamilan postterm menurut American College of Obstetrian & Gynaecologyst adalah usia kehamilan genap atau lebih dari 42 minggu (294 hari) dari hari pertama menstruasi terakhir. Istilah lain yang sering digunakan selain postterm adalah postdates,

post matur.1Angka kejadian postterm sekitar 8% dari 4 juta kelahiran di United States selama 1977. Analisa dari 27.677 kelahiran wanita Norwegia, terjadi peningkatan dari 10% ke 27%, jika kelahiran pertama postterm. Dan menjadi 39% jika dua kali kelahiran postterm.

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan keadaan plasenta, cairan amnion dan janin. Perubahan tersebut meningkatkan risiko luaran perinatal yang buruk. Beberapa keadaan yang penting untuk diwaspadai adalah oligohidramnion, aspirasi mekonium, asfiksia janin dan distosia bahu.

Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka perlu memahami faktor risiko dan mempersiapkan secara seksama pengelolaan sebelum dan selama persalinan.

A. Perubahan Pada Kehamilan Postterem

Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk mengelola persalinan postterm.

Perubahan cairan amnionTerjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42,43 dan 43 minggu.

Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion.

Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnio menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau kuning.

Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada persalinan postterm.

Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan mengukur diameter vertikal darikantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi peningkatan volume cairanamnion. Afi lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.

Perubahan pada plasentaPlasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta.

Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau didahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi 60%-80%. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g/100g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2-3g/100g jaringan plasenta kering.

Secara histologi plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, trombosis arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.

Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut:

Piring korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon (ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik). lapisan basal: daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini dikategorikan tingkat tiga.

Perubahan pada janinSekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu sekitar 43%. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan traumatik.

Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. 2,5

B. Pewngelolaan Antepartum

Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.

Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.

Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan lain yaituOxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat. Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan pengelolaan. Kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umurkehamilan 41 minggu.

C. Pengelolaan Intrapartum

Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang denganmonitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.

Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung janin. Bila ditemukan variabel deselerasi, satu atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea segera dilakukan karena janin dalam bahaya.

Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.

The American College of Obstetricians and Gynecologist mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan antara umur kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya monitoring janin lebih rendah.

5. Kegawat daruratan trauma inhalasi dan diagnosi

Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angkakematian. Kematian akibat trauma inhalasi terjadi dalam waktu singkat 8 sampai 24 jampertama pasca operasi. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakarmengenai daerah muka / wajahdapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas,asap atau uap panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupahambatan jalan napas karena edema laring. Trauma panas langsung adalah terhirup sesuatuyang sangat panas, produk produk yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar sepertibahan jelaga dan bahan khusus yang menyebabkan kerusakan dari mukosa lansung padapercabangantrakheobronkhial.

Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi yangdiproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hydrogen sianida,nitrogen oksida, hydrogen klorida, akreolin dan partikelpartikel tersuspensi. Efek akut daribahan kimia ini menimbulkan iritasi danbronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalannapas akan menjadi lebih hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edem. Efek intoksikasikarbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan. Karbon monoksida(CO) memiliki afinitasyang cukup kuat terhadap pengikatan hemoglobin dengan kemampuan210240 kali lebih kuat disbanding kemampuan O2. Jadi CO akan memisahkan O2 dari Hbsehingga mengakibatkan hipoksia jaringan.

Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panasdan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil daripembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara,partikel padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol daricairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerjasistemik. Partikel padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dannasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial,sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.

Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas, sedangkan gas yangkurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang sangat kurang larut air masukmelewati barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik.Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatusmukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskanmakrofag serta aktivitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigenradikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2, C3A, C5A).

Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada saluran nafas yang rusak, selanjutnyaterjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akanmeningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplians paruakan turun akibat terjadinya edema paru interstitial sehingga terjadi edema pada saluran nafasbagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik,mukus dan sel-sel darah.

Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain :1. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis)Trauma saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidupmelalui obstruksi jalannafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara benar, edema salurannafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari..

2. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis)Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan dalam fungsi parudan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis merupakan trauma kimia yangdisebabkan akibat inhalasi hasil-hasil pembakaran yang bersifat toksik pada lukabakar. Asap memiliki kapasitas membawa panas yang rendah, sehingga jarangdidapatkan trauma termal langsung pada jalan nafas bagian bawah dan parenkim paru,trauma ini terjadi bila seseorang terpapar uap yang sangat panas.3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida (CO) dansianida.Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat akibat api,meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas sistemik terjadibersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO terhadap hemoglobin lebih besardari afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga ikatan CO dan hemoglobinmembentuk suatu karboksihemoglobin dan menyebabkan hipoksia

Gambaran KlinisOleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani sesegeramungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita untuk bertindakdan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma inhalasi antara lain: Luka bakar pada wajah Alis mata dan bulu hidung hangus Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring Sputum yang mengandung arang atau karbon Wheezing, sesak dan suara serak Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah berada dalamlingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakitkepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma.

Pemeriksaan Penunjang1. Laboratorium Pulse oximetryDigunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibatikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobinseringkali diartikan sebagai oksihemaglon

Analisa

Gas DarahUntuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam basa dankadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanyaterjadi peningkatan kadar laktat plasma

ElektrolitUntuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari resusitasi cairandalam jumlah besar.

Darah lengkapHemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat setelahtrauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volumeintravaskular. Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atauketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihatadanya infeksi.

2. Foto ThoraksBiasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya termasukatelektasis, edema paru, dan ARDS.

3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptikKeduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Padabronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang,petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen.Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik padakasus-kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.