EQ News Digital

20
EQNEWS MEI 2013 wartaeq.com MEI 2013 Kedaulatan Pangan Dibawa Kemana? EDISI OPINI

description

Majalah EQ News

Transcript of EQ News Digital

Page 1: EQ News Digital

1

EQNEWS MEI 2013

war

taeq

.com

MEI

201

3

Kedaulatan Pangan Dibawa Kemana?

EDISI OPINI

Page 2: EQ News Digital

2

WARTAEQ.COM MEI 2013

Salam Persma,

Bungkusan-bungkusan lauk dengan kertas minyak itu lama-lama dibuka juga oleh sang empunya. Pada suatu Jumat siang, awak Equilibrium makan siang bersama dengan nasi dan ‘ayam geprek’ di bilik Equilibrium yang menjadi rumah kedua bagi kami. ‘Ayam geprek’ adalah ayam yang ditumbuk bersama sambal yang jumlah cabainya dapat dipesan sesuai selera. Ada sesuatu yang menyentil ingatan saya sembari menyantap makanan itu.

Data dari Asean Development Bank 2013 menyatakan bahwa saat ini Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi nomor tiga di dunia. Sayangnya, inflasi di Indonesia pada Januari hingga Maret 2013 saja sudah mencapai 2,43%. Penyebab inflasi ini tidak lain disebabkan oleh naiknya komoditas pangan di pasaran terutama bawang, cabai, dan gula.

Saat ini, isu ketahanan pangan bisa jadi sedikit tenggelam oleh isu lain seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Akan tetapi, melihat perbaikan terhadap sektor pangan nasional tak kunjung usai, bukan berarti kita tutup buku akan hal ini. Bahkan isu ini memiliki urgensitas tersendiri karena menyangkut kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, pada EQNews edisi Opini kali ini, kami menghadirkan suara dari beberapa elemen masyarakat terkait pandangan mereka terhadap ketahanan pangan nasional.

Akhir kata saya ucapkan selamat membaca! Tak ada pandangan yang sepenuhnya benar tanpa melihat perspektif lainnya.

Pemimpin Redaksi,

Astrini Novi Puspita

Dari Redaksi

Jumat Siang

Ilustrasi sampul: Andi/EQ

PemimpinRedaksi Astrini Novi Puspita Editor Arthur Kemal Pamungkas, Poppy LaksitaRini, Adrian N Perwira, SitiAfiahHestiTriani, M. N. Hidayat Redaktur Pelaksana EQNews

Dwi Lukitosari Redaktur Pelaksana Warta EQ Nabeela Aditya Redaktur Pelaksana PendulumI khsan Brilianto Staff Redaksi Nadia Zamilla Y. H. P., KandrikaFadhlan P., Mer-

linda Hikmawati, Yoga Permana, Anake Nagari,Ferdyani Yulia Atikaputri, Ikhsan Brilianto, Iman Handi P., Kinanti Panglaras Arsyi, Nur Mutiara Sholihah Santosa, Widya Sitaresmi,

Yuvenico Wicaksono, Dhian Ayu Paramita, Ade Maria, Nabeela Aditya, Dwi Lukitosari, Mustika Rizky A., Elsa Sabrina M., Indri Rosita A., Esananda Arifin, Edwin Adisasmita Indri-

antoro, Ganjar Denis Prajasa, Geraldo Sihotang Pemimpin Produksi dan Artistik Andi Anugrah Amrullah Staff Produksi dan Artistik Nadia Deandra, Benedictus Haryanto,

Nindya Saraswati, Guratri Jinggasari, Ridwan Pranoto Adi, Devita Faza, Nisita Putri, Putri Lidya Utami, Raden Aditya Maranantha, Mujibur Rahman, Qanita Chika Pribadi Pem-

impin Penelitian dan Pengembangan Lay Monica Ratna Dewi Staff Penelitian dan Pengembangan Abubakar Adny, Agatya Wahyu Vara Rozi, Alfian Priyo Jatmiko, Arlina

Hapsari, Hesti Juliningsih, Miana Siranda, Tengku Solehan Suyuti, Nur Imanina Arisyi, Vega Ayu K, Rizky Amelia Pemimpin Sirkulasi dan Pendanaan Anita Briana Dewi Staff

Sirkulasi dan Pendanaan Amalia Nur Ilma, Bagus Rizki Kurniawan, Nurita Martani, Widya Septiani, Mradiptya N., Ardita Kinanti Putri, Marsa Amalia, Meilinda Dwi Anugrah

Pemimpin Informasi dan Teknologi Sekar Tiara Primantari Staff Informasi dan Teknologi Ayu Putri Saudia, Teddy Kurniawan, Rizal Imaduddin Yusan Pendiri M. Usman Im-

ran, Ali Sugiharjanto, M. Khaerul Marom, Chandra Ismail Pemimpin Umum Nadia Fitriani Wakil Pemimpin Umum Yoga Permana Koordinator Adminkeu Merlinda Hikmawati

Staff Adminkeu Ayu Putri Saudia, Dhian Ayu Paramitha, Teddy Kurniawan Koordinator PSDM Kandrika Fadhlan Pritularga Staff PSDM Nadia Zamilla Y. H. P., Agatya Wahyu

Vara Rozi, Nur Mutiara Shaoihah Santosa, Iman Handi P. Koordinator Humas dan Alumni Bagus Rizki Kurniawan Staff Humas dan Alumni Nadia Deandra, Kinanti Panglaras

Arsyi, Nisita Putri Pemasangan Iklan hubungi Anita Briana Dewi Telepon 085728032432 BPPM EQUILBRIUM Lantai 1 Sayap Utara Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas

Gadjah Mada Jalan Sosiohumaniora 1 Bulaksumur 55281 Website www.wartaeq.com Email [email protected] Facebook BPPM EQUILIBRIUM Twitter @BPPMEquilibrium

RalatPada EQNews edisi April 2013, artikel dengan judul: Komparasi Dinamika Mahasiswa di PT Indonesia dan Luar Negeri seharusnya ditulis oleh Tim Penelitian dan Pengembangan BPPM Equilibrium Terima kasih

Page 3: EQ News Digital

1

EQNEWS MEI 2013

Galeri

foto: Chika/EQ

Lumayan “Eh, aku bar difoto. Lumayan entuk Rp 20.000 nggo tuku beras”

Page 4: EQ News Digital

2

WARTAEQ.COM MEI 2013

Soeharto. Orang terlama yang menghabiskan usianya untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Beliau sudah wafat, tetapi patron suksesnya akhir-akhir

ini seringkali dimunculkan kembali melalui sentilan bak truk bertuliskan “Piye kabare, Le? Isih penak jamanku to.” Dalam bahasa Indonesia, kalimat ini berbunyi, “Bagimana kabarnya, Nak? Masih enak zamanku kan?” Terlepas dari stigma negatif yang melekat, era Orde Baru yang dikawalnya memang menorehkan segudang prestasi yang membanggakan.

Indonesia mencapai swasem-bada beras pada tahun 1984 dan Soeharto dianugerahi sebuah medali bertuliskan from rice importer to self sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO). Kemudian, prestasi tersebut diikuti dengan efektifnya program Keluarga Berencana dalam mengatasi ledakan penduduk. Pada titik kulminasinya, Indonesia pernah masuk dalam jajaran “Macan Asia” atas produktifnya sektor pertanian.

Layaknya dongeng, dahulu kala pernah berdiri kerajaan nan megah dan kaya-raya. Tetapi, segala kemegahan itu hanya tinggal sejarah. Begitu pula potret sektor pertanian Indonesia. Dari negara pengekspor terbesar, sekarang Indonesia justru menjadi negara yang rajin impor. Permasalahan kesejahteraan petani atau harga pangan yang mencekik menjadi isu menarik bagi media massa. Sungguh memprihatinkan, masalah kebutuhan dasar masih menghambat upaya memajukan bangsa. Padahal, jika melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, permasalahan tersebut seharusnya tidak akan muncul.

Tentu hal ini mengundang pertanyaan besar tentang kondisi nyata pertanian Indonesia sampai menyebabkan masalah itu bisa terjadi. Bisa jadi, transformasi makanan pokok menjadi salah satu

penyebabnya. Upaya Soeharto yang sukses menggenjot pertanian justru mewarisi permasalahan bagi generasi selanjutnya. Hal ini karena program swasembada beras seakan-akan identik dengan upaya penyeragaman makanan pokok, yaitu beras. Padahal, setiap daerah sebelumnya memiliki makanan pokok bukan nasi, melainkan sagu, jagung, dan roti.

Menggunakan kacamata yang sedikit berbeda, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir menduga bahwa fenomena naiknya harga pangan ada kaitannya dengan kepentingan Pemilihan Umum 2014. Logika ini pun mengarah pada iklim politik Indonesia.

Tak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan, maka pada EQNews edisi kali ini kami menghadirkan edisi spesial opini untuk pertanyaan besar tersebut. Kami merangkainya dalam beberapa sub-bahasan, yaitu

pandangan terhadap impor dari sisi pro maupun kontra, swasembada, edukasi petani, sarjana pertanian, dan teknologi pertanian.

Masih ada optimisme bagi sektor pertanian yang saat ini tengah terhuyung. Berkaca dari kisah sukses Singapura yang dijelaskan dalam buku Singapore: From Third World to First, Singapura mampu berevolusi dari sebuah negara kecil dengan pendapatan per kapita US$920 pada tahun 1965 menjadi US$23,300 pada tahun 2000. Poin penting dari keberhasilan tersebut adalah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sejatinya, politik tidaklah buruk, tetapi orang-orang baik tidak mau berpolitik. Sehingga, apabila sektor pertanian digarap dengan tata kelola pemerintahan yang baik, tidak mustahil Indonesia mampu mengejar Singapura. (Ibe)

Kata Kita

Mengeja Prestasi Pertanian Indonesia dalam Dongeng

ilustrasi: Beni/EQ

Page 5: EQ News Digital

3

EQNEWS MEI 2013

Jika kita melihat sistem tata niaga yang berjalan di Indonesia, sistem yang berjalan pada tata niaga produk pertanian saat ini adalah sistem renteng. Dalam sistem ini para petani menjual produknya kepada para tengkulak. Kemampuan petani untuk melakukan sistem tunda-jual melalui lumbung pangan berangsur-angsur digantikan oleh para tengkulak yang berani memberi pinjaman modal bagi petani untuk kebutuhan benih maupun pupuk.

Para tengkulak mampu memberi pinjaman kepada petani untuk kebutuhan sehari-hari. Siklus inilah yang menyebabkan petani tidak bisa lepas dari jeratan para tengkulak. Hal tersebut akan mengurangi semangat dan gairah para petani untuk melanjutkan usaha bertani mereka. Akibatnya, para petani tidak mendapatkan dorongan dari berbagai sisi untuk semakin produktif dan memperkuat ketahanan pangan Indonesia.

Terdapat sistem lain yang dapat menjadi solusi bagi peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Saat ini sedang dikembangkan sistem tata niaga syariah dengan pengembangan input melalui sistem muzaraah dan output melalui sistem murabahah. Sistem ini berfungsi untuk memberikan insentif bagi para petani untuk tetap berproduksi dan berada pada lahan pekerjaan mereka.

Sistem muzaraah akan menyediakan modal bagi para petani yang berlandaskan akad syariah sehingga terjadi sistem profit and loss sharing yang lebih adil bagi para petani. Sementara penerapan murabahah dalam output produk pertanian, para pembeli dapat menggunakan sistem Bai’ Al murabahah untuk membeli hasil panen dari para petani. Kedua pihak yang melaksanakan sistem ini diharuskan memberi informasi biaya secara sempurna terkait biaya pengolahan benih hingga menjadi hasil panen yang dapat diolah.

Pihak yang dapat membantu dalam menjalankan sistem ini tentunya merupakan lembaga-lembaga yang memiliki permodalan yang kuat dan cenderung sudah stabil dalam menjalankan usahanya seperti BMT, koperasi unit desa, atau bank dan lembaga keuangan pemerintah. Istitusi tersebut bisa mengutus satu agen yang berada dekat dengan para petani sehingga memudahkan petani untuk meminta bantuan permodalan dan menjual hasil panen. Hal ini juga untuk menghindari adanya tengkulak yang lebih dahulu mengambil keuntungan dari para petani. Dengan tata niaga lewat syariah seperti ini, diharapkan ketergantungan petani terhadap tengkulak dapat diminimalisasi.

Permasalahan ketahanan pangan di Indonesia menjadi hal yang tidak asing di telinga terutama setelah terjadinya kenaikan harga bawang

beberapa waktu lalu. Kenaikan harga bawang membuat masyarakat Indonesia bertanya-tanya terkait titel negara agragris yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Kebijakan impor yang dilakukan pemerintah merupakan sarana untuk memenuhi ketahanan pangan Indonesia dalam jangka pendek. Kebijakan impor ini bertujuan meningkatkan persediaan dalam negeri sehingga akan memenuhi permintaan pasar. Akan tetapi, kebijakan ini tidak bisa dilaksanakan dalam jangka panjang. Kebijakan ini akan mematikan segala stimulus dan insentif pembangunan pertanian berbasis dalam negeri sebagai penopang utama ketahanan pangan nasional. Dalam jangka panjang pemerintah harus menyiapkan cara lain untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.

Opini

Eskalasi Ketahanan Pangan Lewat Ekonomi Syariaholeh: Muhamad Andira BarmanaKetua Shariah Economics Forum UGM 2013 dan Maha-siswa Jurusan Manajemen UGM Angkatan 2011

foto : Spesial

Page 6: EQ News Digital

4

WARTAEQ.COM MEI 2013

Saya bukan pendukung kaum liberal atau pasar bebas, dan tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari mereka. Namun dalam kesempatan kali ini,

ada argumen yang jarang dibahas oleh para aktivis, entah aktivis mahasiswa yang pro petani, atau mereka yang bersuara di dalam parlemen atas nama kedaulatan pangan tentang pentingnya impor.

Pertama, mengapa impor pangan bisa ada? David Ricardo (1817) telah menjelaskan bahwa keuntungan komparatif dari hasil perdagangan antara kedua negara sangat diperlukan jika dilihat dari segi stabilitas ekonomi negara. Untuk apa Indonesia memproduksi pisang jika Brazil lebih unggul secara biaya dan kualitas? Sementara itu, kondisi di Brazil tidak memungkinkan untuk memproduksi beras dalam jumlah yang besar. Di sini teori keuntungan komparatif berfungsi. Siapa yang diuntungkan dari perdagangan ini? Jelas konsumen. Oleh karena itu, idealnya kita mengimpor pisang, sementara Brazil mengimpor beras dari Indonesia. Hal ini dianggap sangat adil bagi pedagang dan konsumen. Tidak ada permasalahan dalam impor.

Kedua, ada beberapa komoditas pangan yang masih tergantung seratus persen pada impor. Salah satunya adalah tepung gandum. Petani di Indonesia tidak pernah memproduksi gandum. Bahan baku roti dan sereal ini diimpor dari berbagai negara, termasuk

Australia. Ketergantungan kita terhadap impor pangan dari luar ini merupakan hal yang benar. Tapi perlu dicatat, gandum bukan hanya digunakan sebagai bahan produksi sereal mahal untuk sarapan kaum borjuasi kota. Gandum juga digunakan untuk membuat kue di pasar-pasar tradisional hingga roti murahan yang harganya seribu rupiah di warung-warung pinggir jalan.

Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan pernah mengatakan, Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan pangan impor dan beralih ke bahan pangan lokal. Tidakkah sang menteri berpikir ada anak-anak SD yang lebih memilih memakan roti yang terbuat dari gandum daripada nasi karena dalam beberapa kasus, jajanan roti lebih murah dari nasi bungkus? Apakah kita semua harus makan singkong?

Jika pemerintah ingin menjaga kedaulatan pangan dengan menerbitkan peraturan bahwa warga Indonesia wajib memakan panganan lokal seperti singkong, maka itu adalah bentuk kediktatoran baru. Soal pangan tentu sangat tergantung pada selera masing-masing orang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi keuangannya.

Kasus anak SD yang memilih memakan roti memberikan gambaran bahwa impor merupakan sebuah kebutuhan yang justru dapat digunakan untuk menjaga

Opini

Impor Pangan Bukan Sebuah Dosa

oleh: Bhima Yudhistira AdhinegaraAlumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dan Sekretaris Umum HMI Cabang Slemanfoto : Spesial

Page 7: EQ News Digital

5

EQNEWS MEI 2013

stabilitas pangan di Indonesia. Ketika panen raya gagal, entah faktor musim, hama, dan sebagainya, kita justru diuntungkan dari impor gandum. Yang bermasalah bukan barangnya, melainkan spekulan-spekulan di pasar dan pelabuhan yang memainkan harga.

Seperti kita lihat, kenaikan harga bawang putih yang tiba-tiba terjadi di luar kendali ternyata disebabkan oleh para importir bawang putih dari Cina yang menimbun beribu ton bawang putih di pelabuhan sehingga supply (pasokan) terganggu. Ini yang lolos dari analisis aktivis pro kedaulatan pangan. Sekali lagi, impor gandum bukanlah sebuah kesalahan.

Argumen ketiga, impor dapat meningkatkan industri dan membuka investasi baru. Jika Australia hanya mengekspor gandum mentah tanpa diolah menjadi tepung atau produk jadi, maka hal ini adalah hal yang bagus. Pengusaha Indonesia dapat mendirikan pabrik-pabrik baru pengolahan gandum mentah menjadi bahan baku jadi. dilihat dari sisi value-added industry, ini akan lebih menguntungkan. Penyerapan tenaga kerja pun akan meningkat secara linear. Sebagai contoh, distribusi roti dari mal hingga ke pelosok pedesaan tentu membutuhkan tenaga kerja. Pada akhirnya konsumen dan karyawan pabrik pengolahan roti yang akan diuntungkan.

Keempat, teori Karl Marx dalam buku Manifesto of the Communist Party (1848) menyebutkan, masa depan ekonomi dunia terletak di tangan kaum proletar (buruh dan petani). Ramalan ini yang kemudian menjadi bangunan awal teriakan-teriakan di media maupun

Opini

di parlemen tentang keberpihakan pada petani. Saya kemudian bertanya, petani yang mana yang harus diselamatkan?

Lenin semasa revolusi Bolshevik (1917) di Rusia membagi petani ke dalam dua jenis, petani kaya atau kulak dan buruh tani (petani tanpa tanah). Petani kaya memiliki tanah, berkongsi dengan penjual bibit, supplier pupuk dan pedagang, sementara buruh tani tidak mendapatkan hasil yang layak walaupun harga panen sedang naik. Karena buruh tani dibayar berdasarkan jam kerjanya, maka ia tidak berhak merayakan panen. Fakta ini juga terjadi di Indonesia, ada petani yang mampu menyekolahkan anaknya hingga S3, membeli rumah dan mobil mewah, namun statusnya tetap sebagai petani. Inikah jenis petani yang ingin diselamatkan dari impor pangan? Bahkan Lenin sebagai nabi dari kaum sosialis pun mengutuk kaum petani kaya, karena mereka bukan bagian dari massa proletar. Mereka adalah bagian dari petite borjuis (borjuis kecil) dan tuan tanah feodal penghisap.

Seharusnya, dengan adil kita perlu membedakan antara keberpihakan buta dan realitas di lapangan. Sehingga tidak melulu menolak impor. Bagaimana dengan nasib ibu-ibu yang tidak bisa memasak makanan karena bawang putih langka di pasaran? Atau nasib usaha yang mengandalkan bahan baku gandum akan terancam ditutup? Mengenai masalah impor ini, saya memegang prinsip bahwa saya tidak bermasalah dengan impor pangan, pihak asing, atau pedagang. Yang saya permasalahkan adalah ketidakadilan.

Foto: spesial

Page 8: EQ News Digital

6

WARTAEQ.COM MEI 2013

Sumber: Diolah dari Data Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta

Grafik 1.2 menunjukan perkembangan lahan pertanian di DIY selama tahun 2008-2011. Terlihat bahwa luas lahan yang ada di DIY setiap tahunnya cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2008, persentase lahan pertanian mencapai 71,29 persen dan terus menurun menjadi 70,9 persen hingga tahun 2011. Kebanyakan lahan tersebut beralih fungsi untuk pembangunan perumahan dan pemukiman serta digunakan untuk mengembangkan sektor industri.

Kabupaten Bantul dan Sleman menjadi dua kabupaten tertinggi yang melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Di Kabupaten Sleman, lahan pertanian berkurang 70 hektar setiap tahunnya. Sedangkan di Kabupaten Bantul berkurang 12 hektar setiap tahunnya.

Merujuk data Bidang Pertanian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian, rata-rata penyusutan lahan pertanian di Kota Yogyakarta mencapai satu hektar setiap tahunnya. Lahan pertanian di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengalami penurunan sebesar 200 hektar setiap tahunnya.

Ketahanan pangan digambarkan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap rumah tangga. Kebutuhan ini mencakup aspek

makro yaitu tersedianya pangan yang cukup, sekaligus aspek mikro yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan produktif. Kemampuan dalam menyediakan pangan idealnya bersumber dari hasil tani dalam negeri. Untuk menyediakan hasil tani yang memadai, dibutuhkan lahan yang cukup dan berkualitas agar petani dapat menjaga kondisi ketahan pangan di negara ini (Kuncoro, 2009).

Kali ini Tim Penelitian dan Pengembangan BPPM EQUILIBRIUM mencoba untuk menganalisis kondisi lahan pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Grafik 1.1 menunjukkan distribusi lahan sawah berdasarkan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbanyak terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul dengan luas masing masing mencapai 22,79 ribu hektar dan 15,45 ribu hektar.

Untuk lahan bukan sawah, distribusi terbesar terletak di Kabupaten Gunungkidul dengan luas mencapai 104,117 ribu hektar (70 persen dari keseluruhan wilayah Gunungkidul) dan 30 ribu hektar lebih lahan tersebut sudah beralih fungsi. Sedangkan di kabupaten lain seperti Kulon Progo dan Kota Yogyakarta, lahan pertanian juga mengalami penurunan.

Grafik 1.1 Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian di DIY 2011 (Hektar)

Polling

Penyusutan Lahan Mengancam Ketahanan Pangan DIY

Oleh: Tim Penelitian dan Pengembangan BPPM EQUILIBRIUMilustrasi: Jingga/EQ

Page 9: EQ News Digital

7

EQNEWS MEI 2013

Langkah lainnya adalah dengan memberdayakan para petani supaya bisa menghasilkan produk pertanian yang berkualitas. Pemerintah sudah mencoba memberdayakan mereka supaya lebih produktif dengan memberikan bantuan dan subsidi berupa pupuk dan bibit pertanian, serta mengadakan berbagai sosialisasi kepada petani. Namun hingga saat ini, pelaksanaannya tetap belum maksimal dan belum bisa mengingkatkan produktivitas petani.

Banyaknya sarjana pertanian juga bisa dimanfatkan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. Sarjana pertanian diharapkan dapat fokus pada bidangnya dan mengembangkan sektor pertanian supaya lebih produktif. Namun kenyataanya, kebanyakan sarjana pertanian cenderung bekerja tidak sesuai bidangnya. Sehingga sektor pertanian juga cenderung kurang diperhatikan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi berkurangnya lahan pertanian dan masalah ketahanan pangan dibutuhkan sinergi antara pemerintah, petani, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat. Dengan demikian produk-produk pertanian dalam negeri baik di lingkup daerah maupun nasional dapat dikembangkan untuk menciptakan stabilitas harga dan ketahanan pangan di Indonesia. (ABU-ALF)

ReferensiBadan Pusat Statistik. (2012). Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta

2012. Diakses 13 April 2013, dari yogyakarta.bps.go.id: http://yogyakarta.bps.go.id/ebook/Statistik%20Daerah%20Istimewa%20Yogyakarta%202012/HTML/files/assets/basic-html/page43.html

Ismiyanto, A. (2012). Perda Perlindungan Lahan Pertanian di Gunungkidul Segera Disahkan. Diakses 13 April 2013, dari jogja.tribunnews.com: http://jogja.tribunnews.com/2012/10/26/perda-perlindungan-lahan-pertanian-di-gunungkidul-segera-disahkan/

Kuncoro, M. (2009). Ekonomika Indonesia. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Muftisany, H. (2012). Lahan Pertanian di Yogya Menyusut Satu Hektar per Tahun. Diakses 13 April 2013, dari republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/04/10/m29ae6-lahan-pertanian-di-yogya-menyusut-satu-hektar-per-tahun

Sinta, F. (2011). Lahan Pertanian Yogya Terus Berkurang. Diakses 13 April 2013, dari www.greenradio.fm: http://www.greenradio.fm/news/latest/6376-lahan-pertanian-yogya-terus-berkurang-

Suara Merdeka. (2012). Setiap Tahun Lahan Pertanian di Bantul Berkurang 12 Hektare. Diakses 13 April 2013, dari suaramerdeka.com: http://www.suaramerdeka.com/harian/0410/06/ked08.htm

Susmayanti, H. (2012). Industri dan Pemukiman Kurangi Lahan Pertanian di Kulonprogo. Diakses 13 April 2013, dari jogja.tribunnews.com: http://jogja.tribunnews.com/2012/11/14/industri-dan-permukiman-kurangi-lahan-pertanian-di-kulonprogo/

Teras. (2012). Lahan Pertanian Sleman Berkurang 70 Ha Per Tahun. Diakses 13 April 2013, dari terasyogyakarta.com: http://www.terasyogyakarta.com/lahan-pertanian-sleman-berkurang-70-ha-per-tahun/

Berdasarkan perhitungan, setiap satu hektar lahan yang ditanami padi rata-rata mampu memproduksi 10 ton gabah per tahun. Jika alih fungsi lahan per tahunnya mencapai 200 hektar, berarti produksi gabah yang hilang mencapai 2.000 ton. Hal tersebut berdampak pada menurunnya produksi tanaman pangan, khususnya padi di DIY. Sehingga konversi lahan sawah produktif yang terus berlangsung dapat menganggu stabilitas dan ketahanan pangan di DIY dalam jangka panjang.

Grafik 1.2 Persentase Penggunaan Lahan di DIY 2008-2011

Sumber: Diolah dari Data Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta

Salah satu langkah yang dilakukan untuk mengatasi berkurangnya lahan pertanian di Yogyakarta adalah dengan membuat peraturan untuk membatasi pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Langkah tersebut sudah mulai diterapkan di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Sleman.

Sudah ada pula wacana pelarangan dan pembatasan lahan pertanian yang dapat digunakan untuk perumahan ataupun untuk kepentingan industri. Namun, sampai sekarang peraturan tersebut masih digodok dan belum ditetapkan.

Polling

Page 10: EQ News Digital

8

WARTAEQ.COM MEI 2013

Opini

Kedaulatan Pangan, Romantisme Masa Lalu dan Kondisi Kekinianoleh: Suseno Ari WibowoSekretaris Jenderal DEMA Fakultas Pertanian 2012dan Mahasiswa Mikrobiologi UGM Angkatan 2009

Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 mengatakan bahwa peningkatan produksi pangan akan mengikuti deret hitung. Sedangkan

pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga permasalahan pangan akan terus muncul. Bahkan, permasalahan soal penguasaan sumber daya tanah telah merenggut banyak korban, mulai dari harta, benda hingga nyawa. Dengan gelar negara agraris yang telah disandang sejak puluhan tahun lalu, hal ini jelas sebuah ironi.

Bagi Indonesia yang notabene merupakan negara yang subur dan sangat potensial untuk pengembangan pangan, kekurangan pangan tidak bisa dijelaskan dari satu dimensi saja. Selain faktor perubahan iklim dan globalisasi perdagangan, kebijakan politik dan ekonomi dalam negeri juga berpengaruh pada ketahanan pangan dan pemenuhan gizi nasional. Berbagai macam orde kepemimpinan turut serta memberikan berbagai warna terhadap dinamika ketahanan pangan Indonesia.

Soeharto sebagai presiden di era Orde Baru (Orba) mengambil kebijakan berbeda dengan Ir. Soekarno yang jatuh karena masalah pangan. Revolusi hijau mulai diterapkan secara penuh di Indonesia pada zaman Orba. Sawah-sawah baru dicetak menggantikan

sistem pertanian ladang. Waduk-waduk dan sistem irigasi modern banyak dibangun di pulau Jawa. Pabrik pupuk kimia dan pestisida didirikan. Jalur transportasi diperbarui dan institusi penelitian diberi sokongan dana besar untuk meneliti bibit unggul. Tidak lupa, pemerintah juga membangun institusi penyuluhan pertanian serta membina kelompok-kelompok tani dan koperasi. Distribusi dan impor beras dilakukan secara terpusat melalui Badan Urusan Logistik (Bulog).

Semua kegiatan berlangsung masif karena Presiden Soeharto tidak menolak para investor asing sebagai sumber dana. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dilakukan dengan dana sokongan dari luar negeri. Hasilnya, swasembada beras bisa dicapai pada periode 80-an. Presiden Soeharto juga mendapat penghargaan dari Food and Agriculture Organization atas keberhasilannya menerapkan revolusi hijau di Indonesia.

Di balik semua itu, akhirnya pemerintah memiliki pola ketergantungan terhadap luar negeri. Petani juga menjadi bergantung pada pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan produksinya. Tahun 90-an, swasembada justru gagal diciptakan lagi. Gagal panen sering terjadi karena kesuburan tanah yang semakin

“Pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan tidak terpenuhi, maka akan ada ‘malapetaka’. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.”-Bung Karno.

foto : Spesial

Page 11: EQ News Digital

9

EQNEWS MEI 2013

berkurang dan serangan hama yang menyeluruh. Masyarakat yang sudah terbiasa makan beras akhirnya juga mengalami kebingungan karena produksi beras turun. Tahun 1996, krisis moneter melonjakkan jumlah utang Indonesia pada negara kreditor. Indonesia menjadi pesakitan dan akhirnya di tahun 1998 Soeharto dipaksa lengser.

Di era Reformasi, pertanian dan pangan menghadapi tantangan baru. Masa kepemimpinan presiden yang pendek membuat arah kebijakan pangan terkesan tidak fokus. Sektor pertanian dinilai tidak menguntungkan lagi karena kebutuhan terus meningkat, sementara harga pangan cenderung stagnan. Perubahan iklim global ikut memperburuk keadaan tersebut. Akhirnya, keran impor dibuka selebar-lebarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Untuk menekan harga impor, tuntutan liberalisasi perdagangan pangan oleh International Monetary Fund akhirnya disepakati.

Pajak impor yang hampir mencapai nol, membuat harga produk impor semakin murah. Bulog sebagai penguasa pangan dalam negeri dilucuti fungsinya. Hingga kini kita mengenal Bulog yang hanya mampu mengendalikan pasar beras saja. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, serbuan pangan dari luar negeri malah menyurutkan minat masyarakat untuk berusaha di sektor pertanian. Bahkan, kini minat pemuda untuk berusaha di bidang pertanian hampir hilang. Sementara para petani makin tua dan generasi pertanian akan hilang.

Opini

Foto: Ridwan/EQ

Tak hanya pemerintah, konsumen yang lebih memilih produk impor dengan harga terjangkau semakin membuat petani lesu dan memilih untuk beralih ke sektor lain. Risiko besar yang harus ditanggung tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan. Belum lagi, tantangan perubahan iklim global yang membuat ancaman gagal panen makin besar. Masalahnya, saat petani tidak lagi ke sawah, lalu padi siapa yang akan dipanen untuk dimakan? Pada akhirnya negara ini mungkin akan kehilangan title sebagai negara agraris.

Sebagai bentuk dukungan terhadap kemajuan sektor pangan, ada baiknya kita tidak langsung ‘kebakaran jenggot’ ketika ada harga pangan naik. Bentuk support ini merupakan apresiasi dan hadiah atas kerja keras petani dalam mengolah lahan di sawah. Dengan keuntungan produksi yang besar, sektor pertanian akan kembali diminati sebagai ladang pencaharian.

Tak hanya itu, pertanian yang identik dengan pedesaan pun membutuhkan sosok-sosok generasi muda untuk memimpin pembangunan desa. Semangat bali ndeso mbangun ndeso juga harus menjadi pilihan utama untuk para sarjana. Ketika produksi dituntut untuk tinggi, maka inovasi sangat dibutuhkan. Tentu saja, inovasi adalah buah dari kepemimpinan yang cerdas. Bukan hanya menjadi good leader, tetapi juga smart leader. Untuk itu, diperlukan para sarjana untuk memimpin pedesaan dalam pembangunan. Sudah saatnya pemuda dan sarjana kembali menjadi tiang bangsa dengan intelektualitas dan kerja keras.

Page 12: EQ News Digital

10

WARTAEQ.COM MEI 2013

Opini

Kelaparan sebagai indikasi penindasan terhadap hak atas pangan makin bertambah buruk di dunia. India adalah negeri dengan jumlah penderita

kelaparan tertinggi di dunia disusul oleh Cina. Sebanyak 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia sebesar 6%. Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Menurut data People’s Coalition on Food Sovereignty (PCFS) tahun 2007, ada 36 juta rakyat mati setiap tahunnya karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Krisis pangan bermula ketika terjadi peningkatan harga beberapa komoditas pangan dunia secara mengejutkan. Data yang dirilis oleh United Nations Conference On Trade and Development (UNCTAD) dan Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) tahun 2008, secara umum indeks harga pangan dunia antara tahun 2002 sampai 2008 meningkat sebesar 84%. Kenaikan drastis terjadi pada komoditas gandum sebesar 314% dan kedelai sebesar 87%. Harga beras melonjak sebesar 74% dan jagung sebesar 31%.

Krisis pangan berkaitan erat dengan ketergantungan negara berkembang terhadap impor komoditas pangan utamanya dari perusahaan multinasional. Dahulu, ketergantungan tersebut sengaja diciptakan dengan

sesegera mungkin membuka pasar negara berkembang sebelum mereka sempat membangun industri pertanian dalam negeri. Globalisasi neoliberal sebagai imperasi Konsensus Washington 1987 yang dipaksakan Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) serta World Trade Organization (WTO) telah merenggut kemampuan negara-negara miskin untuk menyediakan pangan bagi rakyatnya sendiri.

Model pertanian yang didorong oleh lembaga-lembaga tersebut adalah pertanian monokultur yang berorientasi ekspor seperti kelapa sawit yang kian masif dibuka di Indonesia. Sementara untuk pertanian pangan yang berorientasi dalam negeri sengaja dibuat bergantung pada asupan faktor produksi dari perusahaan multinasional. Luasan areal pertanian pangan mengalami penyempitan drastis akibat konversi ke perkebunan berorientasi ekspor. Pada saat yang sama terjadi proletarisasi petani kecil Indonesia di pedesaan, sehingga rata-rata kepemilikan lahannya terus menyusut sampai hanya tersisa kurang dari 0,3 hektar. Ketergantungan pangan seiring dengan ketergantungan finansial, pasar, dan iptek telah mengakibatkan terus tersedotnya sumber daya negara miskin dan berkembang ke perusahaan multinasional di negara maju.

Neokolonialisme pangan, sebagai bagian dari neokolonialisme ekonomi secara keseluruhan memiliki kaitan erat dengan sebab-sebab fundamental krisis

KEGENTINGAN SWASEMBADA PANGANoleh: Awan SantosaPeneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Staf Pengajar Universitas Mercu Buana Yogyakartafoto : Spesial

Page 13: EQ News Digital

11

EQNEWS MEI 2013

Opini

pangan, seperti kerusakan lingkungan, konversi dan penurunan kualitas lahan, pemanasan global, dan perubahan pola konsumsi. Adapun penentangan terhadap oligarki kekuasaan ekonomi global akan berubah menjadi perang dagang atau perang pangan. Perang yang mencerminkan pertentangan kepentingan antara neokolonialis pedagang pangan multinasional dan pemerintah atau pihak-pihak di dalam negeri yang menginginkan kemandirian pangan. Indonesia dan India sebagai representasi negara berkembang di Asia akan selalu menghadapi situasi dilematis ini.

Krisis pangan sebagai akibat neokolonialisme pangan memerlukan solusi perubahan yang radikal dan struktural terhadap sistem dan kebijakan pertanian serta keuangan global. Sistem pertanian dunia semestinya dikembalikan pada fungsi esensialnya untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh warga dunia tanpa terkecuali. Era komodifikasi dan finansialisasi pangan di bawah

kendali korporasi sudah saatnya diakhiri karena ialah penyebab hakiki dari berulangnya krisis pangan dan bencana kelaparan global.

Oleh karena itu, solusi yang perlu didesakkan lewat forum G-20 adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan dan kontrol pangan ke tangan seluruh rakyat di negara berkembang. Indonesia dan India hendaknya menggunakan forum ini untuk menyuarakan perlunya kedaulatan pangan seperti yang diperjuangkan oleh berbagai gerakan petani secara internasional. Pewujudan kedaulatan pangan memerlukan perombakan sistem pertanian global, dalam lingkup tata produksi, tata alokasi, dan tata niaga pangan.

Pertama, perombakan tata produksi pertanian global dari yang bercorak oligopolis, neokolonialis, dan dependen, diubah menjadi demokratis dan penuh kedaulatan. Solusi ini menuntut demokratisasi alat-alat

produksi pertanian seperti tanah, benih, pupuk, mesin, dan pembasmi hama. Upaya sistematis pembaruan agraria mendesak dilakukan untuk meningkatkan kemerataan produksi dan menghalau dominasi korporasi dan lembaga keuangan internasional di sektor pertanian negara berkembang.

Kedua, perombakan tata alokasi pertanian global, dari yang saat ini bertumpu mekanisme pasar dan berorientasi komodifikasi, menjadi pertanian untuk pemenuhan kebutuhan dan hak pangan bagi semua orang. Solusi ini menuntut pemenuhan pangan sebagai hak dasar setiap orang dan wajib dijamin negara. Hal ini akan menjadi wujud dukungan bagi petani domestik dan bentuk komitmen bagi konsumen marjinal yang mengalami kerentanan pangan. Pemerintah harus berperan kuat dalam memastikan kemerataan alokasi pangan; sebuah hal yang tidak mampu dilakukan oleh pasar.

Ketiga, perombakan tata niaga pertanian global, dari yang saat ini bertumpu pada perdagangan bebas yang dikemudikan oleh korporasi, lembaga keuangan global, dan negara maju menjadi perdagangan adil dengan menjunjung tinggi solidaritas, kebersamaan, dan kedaulatan nasional.

Dalam hal ini, Indonesia dan India dapat memelopori forum G-20 untuk menyusun agenda perubahan model penentuan harga komoditas pangan. Tak sewajarnya lagi harga pangan ditentukan oleh segelintir spekulan di bursa komoditas AS dan Eropa. Melalui perombakan pada tata produksi dan alokasi, maka harga pangan global dapat ditentukan secara adil, terbuka, wajar, dan di bawah kendali negara produsen dan negara tujuan. Tidak perlu lagi lewat perantaraan pasar yang dikuasai oleh pemodal dan spekulan pemburu rente dari transaksi internasional.

Foto: Adit/EQ

Page 14: EQ News Digital

12

WARTAEQ.COM MEI 2013

Opini

Sektor Pertanian merupakan sektor pembangunan di Indonesia yang menyerap tenaga kerja terbesar. Saat ini lebih dari 50% tenaga kerja bekerja di

sektor pertanian. Sektor pertanian sendiri terdiri dari berbagai sub-sektor, yaitu pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, dan perikanan. Pada setiap sub-sektor tersebut sangat sedikit petani bermodal besar dan lebih dominan adanya petani/nelayan kecil.

Seperti yang dijelaskan oleh Nurkse, seorang ekonom berkebangsaan Estonia, tentang lingkaran perangkap kemiskinan (vicious circle of poverty) pada teori pembangunan ekonomi, bahwa sempitnya lahan dan sedikitnya modal usaha menyebabkan produktivitas usaha tani rendah sehingga pendapatan petani juga kecil. Akibat selanjutnya adalah terbatasnya kemampuan memupuk modal sehingga produktivitas tidak dapat ditingkatkan. Petani dan keluarganya tidak akan bisa keluar dari perangkap kemiskinan tersebut apabila tidak ada intervensi guna memutus lingkaran tersebut. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dianjurkan untuk memutus lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.

Berbagai data statistik juga menyatakan bahwa petani di Indonesia cenderung berusia tua karena generasi yang lebih muda di pedesaan berkeinginan untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian

dengan berbagai alasan. Antara lain adalah keinginan memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi, mendapatkan income yang lebih pasti setiap bulannya, dan lain-lain. Hal serupa juga terjadi di negara-negara lain di Asia, baik negara berkembang maupun negara maju. Ditinggalkannya sektor pertanian oleh tenaga kerja berusia muda menyebabkan sektor pertanian kedepan akan bertumpu pada tenaga kerja yang berusia lanjut. Permasalahan ini harus disikapi segera dengan memperbaiki daya tarik sektor pertanian. Dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, stimulus kesejahteraan petani dapat ditingkatkan, contohnya melalui agropolitan.

Pada dasarnya agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah pedesaan menjadi perkotaan yang berbasis pertanian. Dengan konsep agropolitan ini diharapkan kegiatan agribisnis merupakan motor untuk pembangunan ekonomi di kota pertanian tersebut dan pedesaan-pedesaan di sekitarnya. Kegiatan agribisnis yang dikembangkan bukan hanya kegiatan pertanian di lahan (on farm) namun juga agribisnis hulu, on-farm, off-farm, sampai dengan agribisnis hilir dan agribisnis pendukungnya, seperti perdagangan, penyediaan modal, transportasi, dan lain-lain.

Konsep Agropolitan tersebut diharapkan mampu menunda keinginan pemuda-pemuda potensial yang bermigrasi ke perkotaan dan meninggalkan pekerjaan

Pembangunan Pedesaan Itu dari Petanioleh: Any SuryantiniKetua Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis)Fakultas Pertanian UGMfoto : Spesial

Page 15: EQ News Digital

13

EQNEWS MEI 2013

Opini

sebagai petani. Secara umum memang generasi muda di pedesaan berpendidikan lebih tinggi daripada generasi yang lebih tua; mereka lebih responsif terhadap perkembangan teknologi namun gamang dengan kepastian pendapatan dari sektor pertanian.

Dalam Agropolitan, petani didorong melanjutkan kegiatannya setelah memanen komoditas yang ditanamnya dengan melakukan kegiatan pascapanen dan pengolahannya; demikian juga dengan nelayan didorong untuk melakukan usaha pengolahan hasil tangkapan dari lautnya. Mengolah hasil panen dan hasil tangkapan akan meningkatkan nilai tambah sehingga pendapatan yang diperoleh petani juga meningkat. Berbagai kegiatan agribisnis yang ditekankan harus dilakukan di wilayah agropolitan guna mendinamisasikan perekonomian wilayah agropolitan. Hal ini tentu sangat membutuhkan tenaga-tenaga muda potensial.

Apakah tenaga –tenaga muda potensial sudah siap menjalankan kegiatan agribisnis secara menyeluruh? Mereka masih membutuhkan penyuluhan dan pendampingan dari instansi pembina teknis seperti Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Perdagangan, dan Dinas Perindustrian. Dibutuhkan juga berbagai institusi di luar pemerintah seperti Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Instansi pembina teknis dari pemerintah telah menyediakan tenaga penyuluh. Keinginan dan motivasi tinggi untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi petani-petani muda tersebut perlu memperhatikan permasalahan yang riil dihadapi sehingga pengetahuan, keterampilan, maupun teknologi yang disampaikan harus tepat guna.

Kemudian bagaimana dengan petani berusia tua yang relatif berpendidikan lebih rendah daripada generasi yang lebih muda? Bagaimanapun petani berusia tua memiliki komitmen yang lebih tinggi dan pengalaman yang lebih lama dalam berusaha di bidang pertanian. Dengan demikian motivasinya untuk menjaga eksistensi usahanya di bidang pertanian juga tinggi meskipun tidak didukung pengetahuan akademik. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, mereka tetap membutuhkan penyuluhan dan bimbingan dengan pendekatan yang

disesuaikan dengan karakternya.

Dapatkah petani memperoleh sumber pembelajaran selain dari penyuluh dan beberapa instansi yang melakukan pengabdian masyarakat di atas? Apabila dicermati, dari sekian banyak petani yang bersifat pasif dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan dan teknologi, terdapat sedikit petani yang mampu secara aktif mencari pengetahuan. Karakter petani aktif tersebut adalah petani yang berpendidikan tinggi (SMA dan Perguruan Tinggi), bermodal relatif besar, mempunyai hubungan kerja (network) yang luas dan aktif berorganisasi dalam kelompok tani, gabungan kelompok tani, maupun asosiasi agribisnis komoditas tertentu. Mereka mampu secara aktif mencari informasi, pengetahuan, teknologi agribisnis melalui media cetak, audio, visual, maupun internet. Departemen Pertanian sendiri telah menyediakan beberapa website untuk mendiseminasikan berbagai teknologi budidaya komoditas pertanian. Dengan demikian, barangkali waktu adalah sebuah jawaban akhir untuk menghasilkan petani yang berkualitas.

Ilustrasi: Tita/EQ

Page 16: EQ News Digital

14

WARTAEQ.COM MEI 2013

Pemerintah saat ini berupaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dengan aspek yang lebih luas, antara lain: peningkatan produksi

pangan, kesejahteraan petani, dan diversifikasi pangan. Oleh karena itu, pemerintah mengalokasikan Rp 3 triliun sebagai upaya ketahanan dan stabilitas pangan nasional, yang terdiri dari anggaran untuk beras Rp 1 triliun dan Rp 2 triliun untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda pembangunan nasional karena akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak asasi bagi manusia. Kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang penting bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.

Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Dalam memenuhi hal tersebut, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan diutamakan berasal dari pangan lokal.

Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia, ditegaskan oleh pemerintah melalui undang-undang

yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi pemenuhan kebutuhan bagi rumah tangga, yang tercermin dari ketersedian pangan yang cukup.

Beberapa hasil kajian yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin pewujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga, atau individu. Beberapa kajian menunjukkan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang defisit energi di setiap provinsi masih tinggi. Berkaitan dengan hal ini, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Diversifikasi pangan menjadi masalah penting karena tidak semua warga di Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Nasi adalah makanan pokok yang menjadi primadona bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Ada adagium: “Jika belum makan nasi sama saja belum makan”. Hal ini merupakan salah satu penghambat upaya pemerintah untuk merealisasikan program diversifikasi pangan agar pola makan tidak terpusat pada nasi yang telah lama diperkenalkan.

Akan tetapi, sejauh ini upaya tersebut belum berdampak signifikan. Saat ini banyak produk mie instan yang mampu menggantikan posisi nasi pada kondisi

Sebuah Jawaban Ketahanan Pangan Nasionaloleh: Lestari B. M. SiagianMahasiswi Teknik Industri UGM

Opini

foto : Spesial

Page 17: EQ News Digital

15

EQNEWS MEI 2013

tertentu. Namun, nasi tetap saja masih sangat dominan. Selama ini orang selalu menganggap bahwa makan itu adalah makan nasi, sedangkan memakan makanan lain selain nasi disebut ngemil.

Hal ini menunjukkan bahwa nasi masih menjadi simbol semata atau citra dari pangan. Namun, perlu diketahui bahwa masih banyak sumber pangan yang mampu menjadi komplemen dari nasi. Sebagai contoh antara lain: jagung, ubi jalar, singkong, kentang, ganyong, suweg, gembili, dan lain sebagainya.

Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Urgensi diversifikasi pangan tidak hanya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras nasional. Urgensinya juga terletak pada pemenuhan kebutuhan manusia akan

kandungan gizi lengkap untuk kebutuhan aktivitas sehari-harinya. Hasil analisis kandungan gizi pada berbagai jenis pangan menunjukan tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat gizi dengan lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan manusia kecuali Air Susu Ibu.

Namun ASI hanya diperuntukkan pada bayi berusia 4 -6 bulan. Apabila sudah berusia diatas 6 bulan, bayi tersebut membutuhkan makanan tambahan. Oleh karena itu, upaya diversifikasi pangan adalah sebuah kebutuhan di dunia, terutama di negara Indonesia yang memiliki masalah yang sangat kompeks dalam bidang pangan ini.

Apabila banyak orang sadar bahwa makanan beragam itu penting untuk kesehatan, maka semestinya

setiap orang akan makan makanan beragam setiap harinya. Kenyataannya tidaklah demikian. Meskipun mengerti, banyak orang yang tidak dapat melakukannya. Keterbatasan daya beli umumnya merupakan alasan utama mengapa orang tidak bisa makan makanan secara beragam.

Indonesia memiliki beberapa komoditas pangan, yang dapat dikembangkan sebagai komoditas pangan nasional. Diversifikasi produksi pangan ini bisa dilakukan melalui pengembangan pangan karbohidrat khas nusantara, seperti : sukun, talas, garut, sagu, jagung dan lain-lain. Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu berdaya saing. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan

pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang.

Apabila upaya-upaya di atas berhasil dilakukan, maka produksi tanaman pangan sumber karbohidrat lain serta protein dan zat gizi mikro akan semakin meningkat. Konsumsi beras per kapita akan turun dan kualitas konsumsi pangan masyarakat akan semakin beragam, bergizi, dan berimbang.

Dalam mengatasi krisis pangan yang dialami Indonesia, penulis mempunyai harapan dalam perwujudan ketahanan pangan. Salah satunya yaitu dengan melakukan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal yang memiliki peran strategis dalam agenda pembangunan nasional seperti yang telah disebutkan di atas.

Opini

foto : Devita / EQ

Page 18: EQ News Digital
Page 19: EQ News Digital

17

EQNEWS MEI 2013

Mencapai puncak kariernya pada pada usia muda, Billy Boen (35 tahun) kini menduduki jabatan sebagai Chief Executive Officer PT

Jakarta International Management (JIM) dan PT YOT Nusantara. Dia membagi kiat-kiatnya dalam mencapai kesuksesan itu melalui bukunya yang berjudul “Young on Top New Edition 35 Kunci Sukses di Usia Muda.” Lewat buku ini, Billy-lulusan S-2 di State University of West Georgia- menekankan kepada pembaca bahwa kita dapat mencapai kesuksesan sebelum usia 50an.

Buku “Young on Top New Edition” ini sendiri merupakan revisi dari buku “Young On Top” yang telah diterbitkan pada April 2009. Melalui isi yang lebih lengkap dan bahasa yang lebih mengena, buku ini dapat menjadi inspirasi bagi pembacanya. Lewat kutipan dari tokoh-tokoh sukses terkenal, buku ini membawa semangat tersendiri bagi pembacanya untuk mulai meniti puncak kariernya.

Membagi bukunya dalam 4 bagian, “Dream & Think Big” merupakan salah satu tips yang menarik untuk dibaca. Di bab ini ditegaskan bahwa perbedaan antara “orang biasa” dan “orang sukses” adalah “orang biasa” cenderung takut gagal. Mereka takut tidak dapat mencapai impian yang dibuatnya sejak awal sehingga

biasanya impian yang mereka buat adalah impian-impian kecil untuk memastikan bahwa impian tersebut dapat diraih dengan mudah, tanpa usaha keras.

Di sinilah kita sebagai calon orang sukses yang ingin mencapai suksesnya di usia dini ditantang untuk menaklukan ketakutan piki.ran kita akan resiko-resiko yang akan kita hadapi di masa mendatang. Hal ini pada dasarnya karena kesuksesan berbanding lurus dengan resiko yang akan diperoleh. Seperti yang dikutip dalam buku ini dari seorang filsuf bernama Clemente Stoe bahwa, “What the mind can conceive, the mind can achieve.”

Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi tips yang dikupas secara mengena dalam buku ini. Bahasa yang ringan dengan implementasi yang sederhana membuat buku karangan Billy ini direkomendasikan bagi pembaca yang sedang mempersiapkan diri untuk meroket dalam kariernya (GAT).

Judul :

No. ISBN : Penulis :Penyunting :Penerbit : Tanggal terbit : Jumlah Halaman : Jenis Cover : Kategori : Harga :Peresensi :

MENGUAK KISAH SUKSES DI USIA MUDA

Resensi

Young On Top New Edition: 35 Kunci Sukses di Usia Muda 978-602-8864-67-1 Billy Boen Nurjannah IntanB-FirstOktober 2012 228 Soft cover Motivasi Rp 49.500,00Agatya Wahyu Vara Rozifo

to :

Spes

ial

Page 20: EQ News Digital