Etnonesia #mei

32
ETNONESIA ETNONESIA.ORG - MEI 2014 MENCARI TEMPAT BERMAIN BOLA • China, Cina, Tionghoa • Nasionalisme di Long Nawang • Orang Utan, Orang Terbuang

description

 

Transcript of Etnonesia #mei

Page 1: Etnonesia #mei

ETNONESIAETNONESIA.ORG - MEI 2014

MENCARI TEMPAT BERMAIN BOLA

• China, Cina, Tionghoa• Nasionalisme di Long Nawang• Orang Utan, Orang Terbuang

Page 2: Etnonesia #mei

2 ETNONESIA

ETNONESIALocal Exploration

ETNONESIA merupakan organisasi non-profit yang bertujuan memberikan pe-mahaman perihal kajian-kajian dalam ranah sosial, kultural, geografi, antariksa, dan sains. Menerbitkan Majalah ETNONESIA setiap bulannya sebagai jurnal re-smi bagi seluruh kalangan masyarakat. Eksplorasi lokal merupakan misi kami, dalam upaya memahami setiap jengkal kehidupan bermasyarakat setiap umat manusia dulu, kini, dan nanti.

China, Cina, Tionghoa hal...6Oleh Dian Putri

Mencari Tempat Bermain Bola hal..11 Oleh Subagja Sutisna

Bom dan Sakit Jantung hal..20 Oleh Wieldan Akbar

Sajian Utama

EDITOR IN CHIEF: AHMAD ZAENUDIN, EDITOR: MOHAMAD BHISMA, PHO-TO EDITOR: HANY AFRILIYAN, EDITORIAL STAFF: AGUS KUSUMAATMA-JA, SABRIYANI ANGGITA, DESIGNER: TIARA PITALOKA.

ETNONESIA

Page 3: Etnonesia #mei

DARI EDITOR

3 ETNONESIA

Memahami Kenangan

Kenangan, itulah yang hendak disajikan dalam edisi ini. Terutama tentu saja kenangan kita saat masa kanak-kanak. Bermain bola adalah salah satu kenangan yang pernah kita ala-mi. Meskipun saya cukup yakin, banyak diantara Anda yang ku-rang suka dengan sepakbola. Tumpukan sandal atau sepatu, tidak mengenakan alas kaki, hujan-hujanan, bola plastik dan kontroversi seputar gol atau tidak adalah serpihan-serpihan ke-nangan dari masa lalu, masa dimana kita asik bermain bola. Edisi ini mencoba menghadirkan itu semua, dalam bingkai ironi dan narasi kekinian, kita coba memasuki masa itu. Dan tentu saja, itu hanyalah kenangan. Seperti yang tersaji dalam sajian utama edisi ini, urbanisasi menjadi jembatan pemisah kenan-gan-kenangan tersebut yang semakin hilang. Selain itu, dalam edisi ini mencoba melihat sejarah bagaimana China, Cina, dan Tionghoa dihadirkan dalam seja-rah kolektif masyarakat Indonesia. semangat menghargai per-bedaan paling tidak merupakan misi kami. Setelah di edisi lalu menyajikan perihal Orang Arab di Indonesia. Semoga saja, da-lam edisi-edisi yang kami hadirkan, ada pemahaman yang bisa dipelajari. Semoga.

Ahmad ZaenudinEditor in Chief

Page 4: Etnonesia #mei

JELAJAH

4 ETNONESIA

Apakah film Saving Pri-vate Ryan merupakan ki-sah nyata? Benar bahwa film tersebut diilhami dari kisah nyata dan lantas didramatisasi selayaknya sebuah film. Sergeant Frederick “Fritz” Niland adalah anggota pasukan 101st Airborne’s 501st Parachute Infantry Regiment, ia diterjunkan di wilayah Normandi pada tanggal 6 Juni, 1944. Ketiga saudara Niland tersebar dalam berbagai unit di kemiliteran. Technical Sergeant Robert Niland merupakan prajurit di the 82nd Airborne Division. Sementara Lieutenant Preston merupa-kan prajurit the 4th Infantry Division, dan Techni-cal Sergeant Edward Niland merupakan seorang pilot di the Army Air Force. Tiara Pitaloka.

Surat kabar lokal memberitakan tentang kisah keluarga Niland.

Page 5: Etnonesia #mei

JELAJAH

5 ETNONESIA

Orang Utan, Orang Terbuang mungkin itu-lah frase yang tepat meng-gambarkan keadaan Orang Utan. di tahun-tahun awal eksplorasi ke wilayah peda-laman Kalimantan, banyak Orang Utan yang dijad-ikan spesimen untuk diba-wa ke Eropa sebagai upaya para naturalis mempela-jari keanekaragaman fau-na dunia. Sayang, mereka menggunakan cara-cara tak berpri”kehewanan”. Natu-ralis Italia bernama Odoar-do Beccali pergi ke pedala-man Kalimantan. Disana ia “membedah” Orang Utan. Penduduk lokal percaya, roh Orang Utan menggang-gu kehidupan mereka pasca Beccali melakukan risetn-ya tersebut. Kini? Tentu tak jauh berbeda. pembukaan hutan sebagai areal kelapa sawit merupakan salah satu penyebab merosotnya pop-ulasi Orang Utan. Mohamad Bhisma.

Populasi Orang Utan kini hanya 1/7 jumlah Orang Utan 75 tahun lampau. Deforestasi yang kian menggila merupakan penyebab utama Orang Utan “menyusut”.

Page 6: Etnonesia #mei

ETNIS CINA merupakan salah satu etnis yang mengisi

keberagaman Indonesia. Belakangan, panggilan untuk merujuk

orang Cina “dikembalikan” pada penyebutan asalnya yakni

Tionghoa. Dan untuk menyebut Republik Rakyat Cina sebagai negara

leluhur etnis Cina di Indonesia diubah kembali menjadi Republik

Rakyat Tiongkok. Merunut sejarah, penggunaan Cina sebagai sebuah

etnis dan Republik Rakyat Cina sebagai rujukan penyebutan negara

yang berlaku di Indonesia merupakan buah dari tragedi Gerakan 30

September ---beberapa menyebutnya Gestok, Gerakan 1 Oktober---

Leo Suryadinata dalam sebuah tulisannya Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme, menyatakan

bahwa penggunaan istilah Cina memiliki nada merendahkan dan

menghina. Hal ini dikarenakan bahwa Cina adalah negara penganut

komunisme yang menyebabkan tragedi G30S terjadi. Dan sebagai

rangkaian “pemusnahaan” unsur-unsur komunis, segala hal yang

berhubungan dengannya juga akan dihancurkan, termasuk Tionghoa

atau Tiongkok yang selalu dianggap melekat dengan komunis.

China, Cina, Tionghoa

Memahami Tionghoa dari ungkapan “sekali Cina tetap Cina”

Teks olehDian Putri

6 ETNONESIA

Page 7: Etnonesia #mei

Timbulnya rasa tidak senang bukan hanya dimiliki mereka

para keturunan Tionghoa di Indonesia, melainkan juga

menyebar di negeri leluhur Orang Tionghoa pula. Dan

perihal rujukan istilah Cina atau China sebagai rujukan bagi

Orang Tionghoa, bersumber dari nama sebuah dinasti

bernama Ch’in. Ialah sebuah dinasti pertama yang berhasil

menyatukan dinasti-dinasti kecil menjadi sebuah kesatuan

yang sekarang kita ketahui sebagai Republik Rakyat

Tiongkok. Penyatuan dinasti-dinasti tersebut, dalam kajian

sejarawan terjadi sekitar tahun 200 M.

Sedihnya, diskirminasi Orang Tionghoa yang ada di

Indonesia bukan hanya berawal dari peristiwa G30S

tersebut. Dalam sebuah buku berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII karya Hendrik Neimeijer menyatakan

dalam penelusuran sejarahnya bahwa diskriminasi yang

dialami Orang Tionghoa di Indonesia atau Hindia Belanda

telah berlangsung sejak lama. Memusatkan tempat tinggal

Orang Tionghoa di Batavia kala itu merupakan salah

satu strategi bagaimana pemerintah Hindia Belanda

“mengamankan” mereka. Dalam karya tersebut, Hendrik

memaparkan bahwa salah satu sifat yang kurang disukai

Belanda dalam kurun waktu itu adalah bahwa Orang

Tionghoa terkenal dengan kelicikannya. Sebisa mungkin,

pemerintah Hindia Belanda akan menjauhi segala perkara

dengan Orang Tionghoa.

Dalam tulisan lainnya, Odoardo Baccari dalam Wondering in Great Forests of Borneo mengisahkan perjalanannya ke

padalaman Kalimantan. Disana, ia yang seorang saintis

Italia tersebut menerangkan bahwa masyarakat Dayak

yang ditemuinya kala itu memiliki banyak koleksi kepala-

kepala orang Tionghoa. Dan dalam kenyakinannya, 7 ETNONESIA

Page 8: Etnonesia #mei

Odoardo percaya bahwa orang-oang Tionghoa yang hidup

disekitaran masyarakat Dayak dibenci oleh para pribumi

tersebut. Bahkan dalam perkiraannya, orang Dayak tak

akan sungkan jika hendak memenggal kepala orang-orang

Tionghoa tersebut.

CINA WURUNG, LONDO DURING, JAWA TANGGUNG

merupakan sebuah ungkapan untuk menggambarkan

keadaan etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka, dalam

pandangan umum masyarakat selalu dikatakan bukan Orang

Indonesia dan dianggap “Orang Lain”. Sementara, dalam

sejarah kolonial Belanda, toh mereka tak mendapatkan

perlakuan yang istimewa. Bahkan, dalam banyak kasus

mereka diperlakukan layaknya seorang pribumi. Di masa

Orde Baru, Orang Tionghoa dianggap tidak cocok dengan

“kepribadian nasional”. Dalam kebijakan pemerintahan

masa Orde Baru, asimilasi merupakan jalan keluar satu-

satunya bagi Orang Tionghoa yang ingin menjadi warga

negara Indonesia, selain daripada itu, mereka akan

menerima cap sebagai “Cina Totok”. Dan dalam masa-

masa itu, ada dua haluan Orang Tionghoa dalam merespon

program pemerintahan Orde Baru, yakni menyembunyikan

kecinaan mereka atau biasa disebut “Orang Kasno”

dan mereka yang menyangkal kecinaan mereka atau

yang biasa disebut sebagai “Orang Kirno”. Meskipun

belakangan, saat kekuasaan Orbe Baru runtuh, Presiden

Gus Dur mengambalikan status Orang Tionghoa akan

kebebasannya.

Penting utnuk diketahua perihal Orang Tionghoa ini

adalah siapakan mereka sesungguhnya? Dari negeri

Tiongkok bagaian mana mereka berasal? Untuk menjawab

pertanyaan ini, sebuah buku berjudul Cina Khek di Singkawan 8 ETNONESIA

Page 9: Etnonesia #mei

karya Hari Poerwanto memberikan gambaran yang baik.

Dalam penelitiannya, Hari memperkirakan bahwa suku

Hokkian dari provinsi Fujian merupakan Orang Tionghoa

pertama yang datang ke Nusantara. Hal ini didasarkan

pada sensus penduduk yang dibuat pemerintaha kolonial

Belanda pada tahun 1930. Dalam tahun-tahun sebelum

itu, perkiraan yang didapat tidak terlampau jauh berbeda.

Sementara perihal alasan Orang Tionghoa datang ke

Nusantara, paling tidak hipotesis yang paling umum

diketahui adalah urusan perdagangan. Catatan pada masa

pemerintahan Dinasti Song di negeri Tiongkok memberikan

informasi bahwa telah terjalan hubungan perdagangan

dengan Kepulauan Nusantara yang berlangsung sejak

abad ke 3. Sedangkan di masa sebelum abad ke 3, seperti

diceritakan Fa Hian, seorang pendeta Budha yang melawat

ke berbagai negara termasuk ke Nusantara memberitahukan

bahwa dalam erjalanannya di Nusantara, tak diketemukan

Orang Tionghoa. Dan secara umum, Orang Tionghoa

yang berada di Nusantara dan beberapa wilayah asia

tenggara lainnya disebuat sebagai “Cina Nanyang”. Istilah

Nanyang memiliki arti Lautan Selatan. Maksudnya, istilah

ini merujuk pada wilayah-wilayah di semenanjung Indo

Cina, semenanjung Melayu, dan Indonesia. Di abad ke 14,

istilah yang sering dipakai adalah Nan Hai atau Si Nan Hai.

STEREOTIP dalam melihat Orang Tionghoa sudah menjalar

bak akar kayu jati yang kokoh. Dalam ungkapan masyarakat

umum, terindikasi adanya ungakapan “sekali Cina tetap

Cina”. Hal ini bukan tanpa sebab. Dalam penalaran Hari

Poerwanto salah satu penyebab hal demikian terjadi adalah

adanya sikap kurang bergaul dengan masyarakat sekitar

di tubuh Orang Tionghoa sendiri. Mereka seakan memiliki 9 ETNONESIA

Page 10: Etnonesia #mei

kehidupannya sendiri dan terlepas dari masyarakat tempat

tinggal mereka. Mahandis Y. Thamrin dalam tulisannya

berjudul Sang Naga di Barat Jakarta yang dimuat majalah

National Geographic Indonesia mengemukakan “kisah lain”

dari streotip yang selama ini kita dengar tentang Orang

Tionghoa. Dalam tulisannya, Mahandis memaparkan

bagaimana kehidupan masyarakat “Cina Benteng”

terbentuk baik dengan lingkungan sekitarnya. Kultur leluhur

yang terbawa dalam perjalanan panjang ke Nusantara,

tersusun rapih dalam balutan merekat dengan identitas

“kebentengannya”.

Sayangnya, lain “Cina Benteng” lain “Cina Lainnya”.

Keberuntungan ekonomi yang didapatkan rata-rata Orang

Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu faktor penting

stereotip yang hingga kini masih terjaga. Masyarakat

(pribumi) masih kadung menganggap bahwa tanah yang

mereka pijak adalah milik mereka seutuhnya. Siapa-siapa

yang bukan merupakan “pemilik” dan ternyata terlihat

makmur akan dicap sebagi biang dari kesengsaraan yang

mereka alami. Banyak contoh kasus yang pernah terjadi di

negeri ini untuk membuktikan hal demikian. Bahkan hingga

kinipun, masyarakat Indonesia terlanjur susah untuk dididik

menerima perbedaan dengan baik. Alasannya mudah saja,

“sekali Cina tetap Cina”.

10 ETNONESIA

Page 11: Etnonesia #mei

MENCARI TEMPAT BERMAIN BOLA

Ketika pembangunan menghalangi permainan, lahirlah sebuah industri bernama industri bola.

Page 12: Etnonesia #mei

Suatu siang saya mencoba menelusuri jejak-jejak

kenangan masa kecil saya. Tentu tak semua

kenangan masa kecil yang akan saya jelajahi. Paling

tidak, salah satu kenangan masa kecil saya yang cukup

membuat saya terkesan hingga kini akan saya jelajahi. Tak

lain kenangan tersebut adalah bermain. Dan bermain bola

bersama teman-teman merupakan salah satu saat-saat

terindah dalam hidup saya.

Main bola bukan cuma sekedar permainan. Di negeri

penggila bola ini, bermain bola sudah terlanjur menjadi

tradisi yang saban generasi terus dimainkan. Memasuki

masa-masa peralihan, bermain bola juga masih sering

dilakukan. Atau lebih tepatnya tetap melestarikan bermain

bola dengan cara yang berbeda. Apalagi kalau bukan

menonton bola. Ramainya televisi, baik yang gratisan

maupun berbayar membuat semuanya menjadi mungkin.

Kenangan-kenangan tentang bermain bola terus terpelihara

dan terus terjaga.

SELEPAS SEKOLAH USAI DI SIANG HARI, biasanya saya

dan teman-teman tak langsung pulang. Paling tidak, 1-3

jam saya habiskan bersama teman di sebuah lapangan

bola kecil yang berjarak 15 menit berjalan kaki dari sekolah

kami. Tak ada kemuraman dari raut muka kami kala itu,

pelajaran yang sulit dan seramnya wajah guru kami, tak

menyurutkan raut keceriaan saat kami akan bermain

bola. Memang bukan sepakbola ala FIFA dengan segala

aturannya yang hendak kami lakukan. Bermain bola khas

anak-anak dengan aturan yang “disesuaikan” merupakan

ciri khas bermain bola anak-anak. Lapangan yang

dimaksud tentu bukan lapangan dengan ukuran standar

dengan instrumen-instrumen standar pula. Cukup sepetak 12 ETNONESIA

Teks olehSubagja Sutisna

Foto olehAgus Kusumaat-

maja dan Kholidah Zia

Page 13: Etnonesia #mei

lahan kosong dengan tumpukan sendal dan sepatu

sebagai gawangnya, bermain bola sudah bisa dilakukan.

Aturannya, selain bola sepak dan kaki, tentu saja tak boleh

ketinggalan: Keceriaan.

Saya ingat ketika itu, saya dan teman-teman tak selalu

menggunakan sepatu untuk bermain bola. Paling banter,

hanya menggunakan sandal untuk bermain adalah

kenyamanan tersendiri yang bisa disuguhkan. Tentu,

bertelanjang kaki adalah sebuah kelaziman dalam bermain

bola, ala kami anak-anak dahulu. Cerita tentang kaki yang

terluka dan berdarah merupakan cerita biasa yang tak akan

menyurutkan niat kami bermain bola. Kalaupun luka, lalu

apa artinya cuaca buruk semisal hujan. Permainan tetaplah

permainan. Keceriaan harus tetap dilanjutkan.

Sayang, itu cuma kenangan. Dalam kenyataan yang saya

lihat. Sisa-sisa kami pernah bermain bola memang telah

semankin pudar. Apalagi, sepetak lahan kosong yang

dahulu kami gunakan untuk bermain bola telah berubah

menjadi bangunan kokoh. Bukan cuma satu lahan, tapi

banyak lahan yang saya ketahui dulu merupakan tempat

bermain bola anak-anak, kini telah berubah. Apalagi

kalau bukan berubah menjadi bangunan perumahan atau

perkantoran. Seakan sebuah peringatan sudah tertulis

dengan rapih: Tak ada lahan untuk bermain bola.

Semakin kencangnya urbanisasi dan semakin tingginya

taraf hidup masyarakat menjadi “tragedi” tersendiri bagi

anak-anak. Kebanyakan, jika anak-anak ingin bermain

bola, tak ada tempat lain selain jalan-jalan kompleks

yang digunakan. Dan jika bermain bola di “area”

tersebut dianggap berbahaya, satu-satunya tempat yang 13 ETNONESIA

Page 14: Etnonesia #mei

Sebuah lapangan bola dibuat untuk digu-nakan masyarakat di wilayah Malaysia.

Page 15: Etnonesia #mei

Para pemuda bermain bola di atas lapangan. Di Indonesia, lapangan sepakbola kian langka. Lain dengan di Malaysia.

Page 16: Etnonesia #mei

bisa digunakan apa lagi kalau bukan lapangan Futsal.

Sayangnya, lapangan Futsal yang kini menjamur tak sama

dan sebangun dengan lahan kosong yang dijejali sendal

sebagai tiang gawang, Futsal merupakan sebuah industri

bermain, industri olahraga.

TAK ADA YANG GRATIS DI NEGERI INI, merupakan sebuah

ungkapan yang sudah umum terdengar dalam masyarakat

Indonesia. Ungkapan tersebut merupakan buah dari keadaan

bagaimana negeri ini dijalankan. Terutama menyangkut

hajat hidup orang banyak. Dan dalam ungkapan tersebut,

rujukan utamanya tentu saja “kencing bayar”. Ironisnya,

bukan cuma perkara hajat saya masyarakat Indonesia

diharapkan membayar, sekedar memberikan raut keceriaan

bagi anak-anak juga demikian. Dan dalam hal ini, Futsal

adalah kebahagian yang harus dibayar anak-anak kini.

Futsal merupakan sebuah varian sepakbola. Dimainkan

dalam versi resminya, 5 lawan 5 dan menggunakan

lapangan yang telah distandarisasi. Kebanyakan, lapangan

Futsal berada di dalam ruangan. Terlebih, dalam ruangan

tersebut telah dikondisikan suasana yang nyaman lengkap

dengan penyejuk ruangan dan lapangan sintetis yang

bersertifikat.

Tentu ada harga yang harus dibayarkan untuk segala

fasilitas yang diberikan. Paling tidak, lebih dari Rp. 100.000

untuk satu jam bermain di atas lapangan Futsal harus

dikeluarkan. Itu belum memperhitungkan biaya membeli

minuman di area Futsal dan jangan pula lupa membayar

uang parkir saat kita hendak pulang. Harga juga tergantung

waktu, makin malam, makin tinggi biaya yang harus

dikeluarkan. Menurut pengelola, itu adalah waktu favorit 16 ETNONESIA

Page 17: Etnonesia #mei

pengguna lapangan Futsal. Di dalam lapangan Futsal,

tentu saja kita tak harus menumpuk sandal atau sepatu

menjadi tiang gawang. Sudah ada dengan baik dan bagus

tiang disana. Dan jangan pula cemas kala cuaca buruk

menerjang. Karena dimainkan dalam ruangan, bermain

bola di lapangan Futsal jelas memberikan nuansa yang

berbeda. Nuansa yang dibayar oleh uang tentu lain dengan

nuansa gratisan. Jika bermain di lapangan Futsal, hujan,

badai, ataupun apapun tak akan menghalangi niat bermain

bola. Tapi, itulah kelemahannya. Kenangan tetap hanya

menjadi kenangan. Suasana bermain bola di lapangan

terbuka sulit diraih anak-anak kini.

SIANG ITU, SELEPAS SEKOLAH USAI saya menemui

beberapa anak-anak SD yang bermain bola. Mereka

mengaku datang dari sebuah kampung di pinggiran kota

Bandung. Tujuannya tak lain untuk bermain bola. Taman

Persib sudah kadung terkenal di Kota Bandung jauh

sebelum taman tersebut diresmikan. Bak bunga yang

sedang mekar dan anak-anak bagaikan seekor lebah, tentu

banyak akan hinggap diatasnya. Sayang, taman tersebut

hanya berjumlah satu unit. Tak ada taman serupa. Belum

lagi, taman tersebut belum diresmikan. Dari pengamatan

saya, hanya beberapa kelompok saja yang diperbolehkan

bermain sebelum taman benar-benar diresmikan. Belum

lagi ada sebuah aturan, taman bisa dipergunakan sesudah

melakukan “booking” terlebih dahula pada panitian.

Meskipun gratis, sulit bagi anak-anak SD seperti yang

saya temui siang itu untuk mengakses panitia “booking”

tersebut.

“Lapangannya digembok” ujar salah seorang anak kepada

saya. Dari balik pagar mereka hanya bisa menerawang 17 ETNONESIA

Page 18: Etnonesia #mei

taman bola yang bagus tersebut. Kesal hanya bisa

menyaksikan taman dari balik pagar, mereka duduk

sebentar di sebuah warung di pinggir jalan. Dan seperti

anak-anak kebanyakan, habis kesal, terbitlah keceriaan.

Lahan kosong di samping taman bola tersebut mereka

pergunakan untuk bermain bola. Dan keciriaan tumbuh

lagi di raut muka mereka. Sebuah ironi, di negeri pecinta

bola. Tak ada lagi lahan kosong untuk bisa dipergunakan

anak-anak untuk bermain bola. Dan bagaimana mungkin,

uang jajan (anak-anak SD) harus mereka sisihkan untuk

patungan menyewa lapangan Futsal.

Kalau sudah begini, jangan salahkan tak ada anak yang

berniat menjadi pemain bola profesional.

18 ETNONESIA

Page 19: Etnonesia #mei

Taman Persib merupakan nama yang diberikan untuk sebuah lapangan di Jl. Supratman, Bandung. Dibuat sebagai upaya “menyegarkan” ruang bermain bola di tengah pesatnya pembangunan di Kota Bandung.

Page 20: Etnonesia #mei

BOM &SAKIT JANTUNG

Nasionalisme di Long Nawang

Page 21: Etnonesia #mei

Tulisan ini merupakan sebuah kisah nasionalisme.

Kisah ini dimulai ketika rombongan dari Universitas

Indonesia, yang terdiri dari Dave Lumenta (Dosen),

Shindunata (Peneliti Puska), dan ketiga mahasiswa, Zia,

Feni, dan Saya Sendiri, masuk ke desa Long Nawang

pada tanggal 12 Agustus 2014. Kami berniat untuk melihat

ritus tujuh belasan di perbatasan, yang konon sakral di

perkotaan (dapat dilihat dengan upacara di institusi negara

seperti Istana Negara, Kementrian, Markas TNI-POLRI,

Sekolah Negeri, dll). Kami sampai sore hari, setelah

berjibaku dengan lumpur, karena menarik mobil jalan rusak

di Panggung (Malaysia). Semua beristirahat di hari itu,

maklum kelelahan mendera kami semua.

Hari kedua dan ketiga berjalan dengan perjalanan mencari

data oleh anggota tim penelitian. Semua dirasa normal-

normal saja. Namun tidak bagi saya, sesampai di Long

Nawang, saya merasa sangat takjub kepada desa ini.

Jalanan sudah beraspal, jembatan besi besar pun sudah

ada untuk menghubungkan jalan, puskesmas 24 jam sudah

ada, SD-SMA negeri sudah ada (meski masih kekurangan

guru). Wah, sudah lengkap ini desa, cukup “maju”

pembangunannnya”, ujar saya dalam hati. Pembangunan

infrastruktur publik memang gencar dilakukan oleh

Kabupaten Malinau, Provinsi Kaltara (Kalimantan Utara).

Lanjut berjalan keliling desa, mata pun melirik kearah

Markas Polisi dan Tentara.

Ada agen-agen pengaman negara. Saya tidak membenci

mereka dan negara, akan tetapi hanya merasa Indonesia

agak lebay (baca: berlebihan) dalam menjaga tiap jengkal

tanah dan airnya. Sebelumnya kami memang pergi lebih

dahulu ke Long Busang, Desa Kenyah (Sub Etnis Dayak) 21 ETNONESIA

OlehWieldan Akbar

Page 22: Etnonesia #mei

yang berada di Malaysia, dapat dikatakan tetangga Long

Nawang. Beda sekali dengan Long Nawang, di sana tidak

ada yang namanya tentara maupun polisi. Dahulu memang

ada, di garda tedepan pebatasan malaysia, dekat Tapak

Megah, ada kamp tentara, dan pos perbatasan tak resmi

dibangun. Namun umurnya tidak lama, hanya berkisar lima

tahunan, tentaranya tidak betah hidup di alam “liar”, begitu

pendapat Agen Laling, warga Long Busang.

Pasca kaburnya tentara dari pos batas, pemerintah

Malaysia menjaga kedaulatan negaranya dengan suplai

barang subsidi yang lancar. Memang akses telah terbuka

ke Kapit, memudahkan warga Long Busang dan Long Unai

untuk pergi membeli barang (subsidi dan non subsidi ke

Kapit. Hal ini membuat loyalitas warganya secara tidak

langsung terjaga. Patok batas pun hanya di cek beberapa

kali dalam setahun oleh Polis Diraja Malaysia, begitulah

yang saya ketahui dari warga Long Busang. Kembali

lagi ke Long Nawang, hal ini sangat berbeda. Mereka

sulit mendapatkan barang murah. Akses ke Long Bagun

yang dapat tembus ke Samarinda masih dalam proses

pembukaan jalan (saat kami meneliti kesana). Sehingga

warga Long Nawang masih mengandalkan beli barang-

barang maupun sembako lewat pesawat kecil yang terbang

dari Samarinda ke Long Ampung (Dekat Long Nawang).

Harga avtur yang tidak murah menyebabkan harga angkut

barang menjadi mahal, dan tentunya harga menjadi

berkali-kali lipat. Saya beri contoh, Rokok Sampoerna Mild

tujuh belas ribu rupiah (di Jakarta masih empat belas ribu),

dan barang yang jarang laku seperti Air Mineral Aqua, bisa

berkali-kali lipat harganya dari Jakarta, dua puluh ribu

untuk ukuran sedang (600 ml). Harga yang cukup tinggi 22 ETNONESIA

Page 23: Etnonesia #mei

Suasana Upacara Bendera Long Nawang.

Page 24: Etnonesia #mei

membuat mereka harus membeli sembako hingga Minyak

(Bensin dan Solar) ke kamp balak Tapak Megah, desa

tetangga (pemerintah menyebutnya negara tetangga),

Long Busang, bahkan hingga ke Kapit. Mereka menjadi

penumpang “gelap” bersama Kenyah Long Busang

ke Kapit, mungkin itulah perkataan negara jika mereka

mengetahui transaksi transnasional ini.

Kontras memang, pertahanan yang dibangun kedua

negara. Malaysia dengan distribusi material, berupa logistik

kebutuhan sehari-hari. Indonesia? Cukup dengan distribusi

diskursus nasionalisme, bersama penjaga kedaulatan

NKRI, yakni TNI dan POLRI. Bisa dibayangkan betapa

pengagum nasionalisme dan TNI akan terhenyuh ketika

melihat realita ini secara “live” dari TKP. Entah kenapa

saya melihat warga Long Nawang lebih membutuhkan

distribusi material seperti Long Busang, untuk bertahan

hidup, daripada sekedar diskursus Kedaulatan NKRI dan

jago-jagoan ala TNI. Saya menyetujui pendapat Ishikawa

(Antropolog Jepang) yang melihat inskripsi sebuah negara

ke warga perbatasan sebenarnya bukan lewat diskursus,

tapi instrumen material. Ada benarnya, mengingat

diskursus hanya cocok untuk masyarakat yang dekat

dengan pusat pemerintahan, sementara yang jauh, harus

dapat diperlihatkan “fisik” kehadiran negara. Indonesia

memang hadir secara fisik, lewat infrastruktur tadi, plus

aparat keamanan, tapi belum kepada kebutuhan pokok

warga perbatasan. Padahal, “kesetiaan” mereka akan

terjaga dan terjamin, jika kebutuhan pokok mereka terjaga,

menurut hemat saya.

Berbicara soal jago-jagoan, inilah inti ceritanya. Pada hari

kelima kami di Long Nawang, (tepat tanggal 16 agustus 24 ETNONESIA

Page 25: Etnonesia #mei

2013) sehari sebelum ritus kenegaraan itu dijalankan, ada

kejadian yang sangat menarik. TNI akan menggelar atraksi

pada tanggal 17 agustus. Hemm, penasaran juga apa

atraksi yang akan mereka pertunjukkan. Ternyata aksi yang

akan dipentaskan adalah bagaimana TNI memberantas

terorisme yang mengancam keamanan negara. Dalam

teaterikal tersebut, digambarkan pimpinan pemerintahan

diculik sekelompok teroris, dibawalah mereka ke markas

teroris tersebut. Kisah mencapai babak final ketka pasukan

TNI mengendarai motorcross membebaskan pimpinan

tersebut dan membom markasnya. Cerita tersebut saya

ketahui pada tanggal 17 Agustus. Kembali ke sesi latihan,

pada sore itu sedang ada lomba volly tujuh belasan. Saya

dan dua kawan mahasiswa lainnya sedang asik nonton

dari halaman belakang rumah yang kami tumpangi. Tiba-

tiba permainan bola volly dihentikan, dan ada suara

pemberitahuan agar segera menjauh dari lapangan

sepakbola, karena akan diadakan latihan atraksi untuk

tujuh belasan.

“Duar!” Dentuman keras sangat memekik telinga itu

terdengar. Jantung saya berdetak lebih cepat. Rumah kami

yang dari kayu pun bergetar cukup keras untuk bebrapa

detik. Semua orang kaget meski sudah diberi tahu. Sontak

semua warga keluar, penasaran dengan dinamit yang

ditanam ke dalam tanah yang dahsyat tadi. Bekasnya

lubang cukup besar. Saya mendengar salah seorang kapten

upacara besok berkata, “Ini masih satu lho we (Ibu), besok

kita ledakkan tiga!”. Perkataan jenis apa itu, semacam

tidak punya lingkar kepala (umpat saya dalam hati). Saya

sebagai warga Jakarta saja marah dengan dentuman bom

itu, terlebih dengan perkataan si kapten, apalagi warga

sini. Benar saja dugaan saya, seorang warga protes ke 25 ETNONESIA

Page 26: Etnonesia #mei

pimpinan PASPAMTAS (Pasukan Pengaman Perbatasan)

atas perilaku mereka. “Anda itu kira-kira dong! Disini

banyak orang tua (lansia), dan orang sakit jantung. Mau

bikin warga sini mati semua? Sekali lagi saya beri denda

adat kalian!”, hardik orang tersebut kepada si kapten.

Perkataan tersebut saya dapatkan dari We Lencau, Ibu di

rumah kami, bercerita menggambarkan percakapan tadi

lengkap disertai ekspresinya. “Memang itu TNI tidak kira-

kira, itu tadi saudara saya yang beri peringatan, maklum

kakak saya yang perempuan menderita jantung, dan tadi

langsung jantungan”, papar We Lencau, warga Long

Nawang.

Akhirnya pertunjukkan 17 Agustus tidak menggunakan

tiga TNT, hanya menggunakan satu, itupun saya kira daya

ledaknya yang tidak besar macam kemarin. Mungkin si

kapten takut kena denda adat, satu batalion takut dengan

perkara adat. Memang untuk urusan hukum, adat lebih

dominan daripada hukum negara, sekali lagi, ini desa adat.

Upacara berjalan cukup hikmat. Sesuai dengan prosedur

kenegaraan. Camat pun datang, Tapi dengan pelat mobil

Sarawak. Maklum saja, untuk membeli mobil seharga

Jakarta, jalan satu-satu ke desa (negara) tetangga. Warga

pun menonton tidak juga antusias, biasa saja, bahkan

lebih ramai saat menonton datun julut (kontes menari).

Entah apa yang ada di benak mereka semua. Saya hanya

dapat menduga mereka tidak tertarik dengan ritus asing

Indonesia ini, atau mereka tidak mengerti apa guna itu

semua (upacara tujuh belasan). Diskursus kedaulatan

negara atau NKRI harga mati memang tidak sampai ke

mereka.

Jika Ben Anderson mengatakan kapitalisme cetak (koran, 26 ETNONESIA

Page 27: Etnonesia #mei

majalah, dsb) yang menyatukan komunitas hantu bernama

Bangsa, disini tidak berlaku (koran tidak sampai ke Apo

Kayan). Sekali lagi, memang kenapampakan material

lah yang hadir diperbatasan. Ada sisi positif seperti

infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan. Tapi ada juga

yang dirasa tidak begitu “relevan” bagi kehidupan mereka,

seperti Markas Tentara (Markas Polisi masih lebih berguna

menurut hemat saya, untuk pengamanan sipil). Apa yang

mereka lihat dan rasakan secara materil, itulah gambaran

negara. Sedangkan gambaran material kebutuhan pokok

sehari-hari mereka adalah Sarawak, yes Malaysia. Lalu

pertanyaannya, untuk apa Pasukan Loreng itu diletakkan di

Long Nawang dan pintu-pintu desa Lainnya di Apo Kayan,

jika pihak lawan (Malaysia) saja tidak punya Markas disisi

sebelahnya (Panggung)? Mungkin itulah yang disebut

Nasionalisme, Entahlah.

27 ETNONESIA

Page 28: Etnonesia #mei

Seorang petugas sedang memperbaiki jaringan telefon. “Rumit ka-belnya, tapi ada kode-kode tertentu” menurutnya. “Pekerjaan jadi lebih mudah” tambahnya. Foto oleh Effendy Firmansyah.

Page 29: Etnonesia #mei

Seorang pedagang sedang mengikat Iket Kepala dengan pola “Be-rambang Semplak” Edisi Maret lalu diulas bagaimana Iket menjadi ladang bisnis tersendiri. Foto oleh Ahmad Zaenudin.

Page 30: Etnonesia #mei

Bagaikan seekor ayam, kendaraan pun dibuatkan “kandang” oleh pemiliknya. Foto oleh Effendy Firmansyah.

Page 31: Etnonesia #mei
Page 32: Etnonesia #mei

Senikmat es krim, itulah pengetahuan

etnonesia.org